GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI
GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)
YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Elisa Wahyu Dewayanti
069114052
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI
GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)
YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Elisa Wahyu Dewayanti
069114052
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
SKRIPSI
GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI
GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)
YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)
Oleh:
Elisa Wahyu Dewayanti NIM : 069114052
Telah disetujui oleh
Dosen Pembimbing Skripsi:
iii
SKRIPSI
GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI
GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)
YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)
Dipersiapkan dan ditulis oleh Elisa Wahyu Dewayanti
NIM : 06114052
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 18 Juli 2013
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Panitia Penguji Tanda tangan
1. Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si ……….
2. Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. ………. 3. Aquilina Tanti Arini, S.Psi., M.Si. ……….
Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
...pijakan terkuat dalam hidup manusia adalah DOA
……
karena hidup ini adalah sebuah perjuangan,
maka BERJUANGLAH UNTUK HIDUP!
v
Penelitian ini, saya persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kritus,
Sang pemberi inspirasi……
Keluarga,
pemberi semangat dan doa tiada h
enti……
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Juli 2013
Penulis
(Elisa Wahyu Dewayanti)
vii
GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB) YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)
Elisa Wahyu Dewayanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri guru non pendidikan luar biasa (non-plb) yang mengajar siswa di Sekolah Luar Biasa bagian B (tunarungu), ditinjau dari periode waktu mengajar yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja). Penyesuaian diri tersebut ditinjau dari aspek pribadi dan sosial dari penyesuaian diri subjek dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya penyesuaian diri. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang guru pengajar di SLB-B Karnnamanohara yang berstatus sebagai guru non-plb atau tidak pernah menempuh pendidikan secara formal di jurusan pendidikan luar biasa (plb). Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan menggunakan wawancara semi-terstruktur untuk menggali data dari subjek. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis induktif. Hasil penelitian menunjukkan gambaran penyesuaian diri guru non-plb seperti berikut: (1) di masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama), masih mengalami gejala fisik (munculnya keringat dingin,jantung berdebar), secara psikis (cemas, takut), belum terjalinnya relasi yang dekat dengan rekan kerja, kesulitan berkomunikasi dengan siswa dan pemenuhan tugas yang belum maksimal. Beberapa faktor penghambat dan pendukung muncul selama proses penyesuian diri. Faktor penghambat, seperti latar belakang pendidikan non-plb, tidak terbiasa dengan budaya teguran langsung dan pengawasan selama masa observasi. Faktor pendukung, seperti latar belakang pendidikan psikologi, kemauan untuk belajar, pengetahuan kemampuan diri, keikutsertaan pelatihan, fasilitas sekolah dan informasi dari rekan kerja. Faktor pendukung ini membantu proses penyesuaian diri di masa mengajar saat ini. (2) Di masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja), gambaran penyesuaian diri yang nampak adalah secara fisik sehat dan tidak ada gejala lainnya, secara psikis tidak lagi mengalami ketakutan maupun cemas, relasi yang terjalin dengan rekan kerja juga semakin akrab, komunikasi yang lancar dengan siswa, munculnya dukungan penuh dari keluarga dan pemenuhan tugas sekolah secara maksimal.
viii
THE DESCRIPTION OF NON-SPECIALIZED TEACHER’S SELF -ADJUSTMENT WHO TEACHES HEARING-IMPAIRED STUDENTS
Elisa Wahyu Dewayanti
ABSTRACT
This research is aimed to find out the image of a deaf school (SLB B) teacher without special education background adjustments, seen from the teaching period, which are the early time (3 month observation) and the present teaching time (8 years of work). Those adjustments are studied from the personal and social aspects and factors that affected the self-adjustments process. Subject in this research is a teacher of Karnnamanohara Deaf School (SLB B), that is a teacher without special education background or never attend any formal education of special education. The research was using a qualitative descriptive and semi-structured interview to gain data/information from the subject. The analysis method is inductive analysis. The research results show that: (1) at the early time in teaching (3 months observation), the teacher still have physical limitation (sweating, fast heart beat), physics limitation (anxiety, frightening), yet close to the intertwining relations co-workers, difficulty communicating with students and fulfillment of tasks is not maximized. Several factors inhibiting and supporting emerging during the process of self-adjustment. Inhibiting factors, such as educational background without special education, was not familiar with the culture of immediate warning and surveillance during the observation period. Supporting factors, such as educational psychology background, willingness to learn, ability to self-knowledge, training participation, school facilities and information from colleagues. Factors supporting this helps the process of adjustment in the present teaching period. (2) In present teaching period (8 years of work), the adjustment of teacher without special education background is physically appear healthy and there are no other symptoms, a psychic no longer experience fear and anxiety, intertwined relationships with co-workers are also more familiar, communication smooth with students, the emergence of the full support of family and school work to the maximum fulfillment.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Elisa Wahyu Dewayanti
NIM : 069114052
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Gambaran Penyesuaian Diri
Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB)
yang Mengajar Siswa SLB-B (Tunarungu)
beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media cetak lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena cinta kasih dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditulis dengan maksud untuk memenuhi salah satu persyaratan
mencapai gelar Sarjana pada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan tulus hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. sebagai Kepala Program Studi Psikologi
2. Bapak Dr.T.Priyo Widiyanto, M.Si. sebagai pembimbing yang dengan segala ketulusan telah memberikan ilmu dan wawasannya kepada penulis. 3. Ibu Aquilina Tantri Arini, S.Psi., M.Si, selaku dosen penguji.
4. Ibu Sylvia Carolina Murtisari, S.Psi., M.Si selaku kepala PSIBK USD yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan mencari literatur
tentang tunarungu di PSIBK.
5. Ibu Sri Kumorowati, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta atas ijin yang diberikan kepada penulis
untuk melaksanakan penelitian.
6. Ibu Siti yang telah bersedia menjadi subjek dan mengorbankan waktu
xi
7. Keluarga besak PSIBK (Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus) Universitas Sanata Dharma, terimakasih untuk kesempatannya bisa
bekerja dan belajar bersama.
8. Keluarga sekretariat Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak
Giek), matur nuwun atas kesabaran pelayanannya, Berkah Dalem….
9. Crew Laboran Fakultas Psikologi (Mas Doni, Mas Muji), matur nuwun
atas bantuan dan obrolannya….
10.Bapak dan Ibu, yang telah begitu banyak membantu doa dan segalanya, terlebih dukungan moral dan peluk ciumnya, matur sembah nuwun Pak Buk...
11.Mas Pur, Mas Guntur, Mas Rinto, Mbak Erna, Mbak Maria, Mbak Agnes dan keluarga besar saya, matur nuwun kagem sedoyo atas bantuan semangat dan doanya…
12.Mas Ignatius Hendriawan, yang sudah hadir dalam segala suasana,
terimakasih atas doa, semangat dan waktunya…semoga Tuhan selalu bersama kita dalam proses perjalanan ini ya Mas, amin…
13.Malaikat kecilnya Wikcha *Cita, Ito, Willie, Woodie, Onald, Akbar, Fadil-Fakhri*, karena kalian adalah malaikat penyemangat yang dikirim khusus buat Wikcha, love you all....
14.Rekan-rekan seperjuangan, anak-anak Psikologi USD angkatan 2006 : Jojo, Guntur, Timo, Komenk, Wulan, Sentya, Liza, Arya, Kris, Jina, Bro
Pras, dan lainnya…karena Tuhan tidak pernah terlambat teman-teman,
xii
15.Sahabat tercinta yang selalu siap menerima cerita : Vichu, Mita, Meme, Ana, Maria, Shinta, Ance, Cepriez Girls (Ellisa *EB, Gita), Thatha, Dhyna
dan semua sahabat yang telah membantu memberi semangat dan doa. 16.Berbagai pihak yang turut mendukung dan membantu penulis dari awal
hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat berbagai kekurangan
dalam penulisan skripsi ini. Namun, penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca.
Yogyakarta, Juli 2013
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Motto... iv
Halaman Persembahan ... v
Halaman Pernyataaan Keaslian Karya ... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Lembar Persetujuan Publikasi ... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi... xii
Daftar Lampiran ... xiv
Bab I. Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian... 6
Bab II. Landasan Teori ... 8
A. Penyesuaian Diri ... 8
1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 8
2. Aspek – aspek dalam Penyesuaian Diri ... 9
xiv
4. Kriteria Penyesuaian Diri ... 15
B. Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB) ... 22
C. Siswa Tunarungu (Siswa SLB – B) ... 24
1. Pengertian Tunarungu ... 24
2. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 25
3. Anak Tunarungu sebagai Siswa Sekolah Luar Biasa... 27
D. Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu) ...………...………27
E. Penyesuaian Diri Guru Non-PLB yang Mengajar Siswa SLB-B………..28
F. Pertanyaan Penelitian………....28
BAB III. Metode Penelitian ... 29
A. Jenis penelitian ... 29
B. Subjek penelitian ... 30
C. Definisi Variabel Penelitian ... 30
1. Penyesuaian Diri ... 30
2. Guru Non-PLB ... 32
3. Siswa Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu) ... 32
4. Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu)………...32
D. Metode Pengambilan Data ... 32
E. Metode Analisis Data ... 33
F. Keabsahan Data ... 34
1. Kredibilitas ... 34
2. Dependabilitas ... 36
xv
4. Objektifitas ... 36
BAB IV. Data Penelitian dan Pembahasan ... 38
A. Deskripsi Subjek Penelitian ... 38
B. Pelaksanaan Penelitian ... C. Kategorisasi Hasil Penelitian ... 43
D. Deskripsi dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 44
1. Masa Awal Mengajar ... 44
a. Aspek Pribadi ... 45
b. Aspek Sosial ... 53
c. Tugas Sekolah ... 53
2. Masa Mengajar Saat Ini ... 56
a. Aspek Pribadi ... 56
b. Aspek Sosial ... 62
c. Tugas Sekolah ... 62
3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Subjek ... 56
a. Faktor Internal ... 56
1) Faktor Pendukung ... 56
2) Faktor Penghambat ... 56
b. Faktor Eksternal ... 56
1) Faktor Pendukung ... 56
2) Faktor Penghambat ... 56
BAB V. Kesimpulan dan Saran ... 67
xvi
2. Keterbatasan Penelitian ... 67
3. Saran ... 68
Daftar Pustaka ... 70
xvii DAFTAR TABEL
xviii DAFTAR GAMBAR
xix DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Keterangan Penelitian……….………73 Lampiran 2 : Verbatim dan Koding………...74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Guru merupakan pilar penting bagi perkembangan peserta didik,
terutama bagi mereka yang berkebutuhan khusus seperti para siswa penyandang tunarungu, tunanetra, tunadaksa, anak berbakat dan lain-lain. Guru menjadi acuan dan sumber informasi bagi mereka. Amanat dalam
UUD 1945 bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa, termasuk juga mereka yang berkebutuhan khusus. Hal ini juga ditegaskan dalam
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa: “pendidikan khusus (pendidikan luar
biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental dan sosial”. Ketetapan undang-undang inilah yang
menjadi landasan bagi anak berkebutuhan khusus untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan pengajaran (Efendi,
2006).
Namun, masalah yang kerap kali muncul di kalangan Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah kurangnya tenaga pengajar. Kekurangan tenaga
pengajar tersebut menjadi salah satu contoh nyata dari minimnya sarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan data NUPTK
Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa, jumlah guru pengajar SLB di Indonesia adalah 16.102 orang. Dari data
tersebut, jumlah guru yang mengajar siswa dan telah sesuai dengan latar belakang pendidikannya sekitar 5.588 (34,70%), sedangkan yang masih
belum sesuai terdapat sekitar 10.514 (65,30%). Jumlah guru pengajar tersebut tidak sebanding dengan jumlah siswa yang harus dilayani yaitu berkisar 75.000 anak (PPPPTK-PLB, 2011).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya tenaga pengajar ini, seperti menurunnya alokasi dana anggaran pendidikan luar biasa
sehingga berdampak pada kurangnya fasilitas pendidikan dan rendahnya pendapatan guru pengajarnya (Bernas, 15 Desember 2006). Kurangnya tenaga pengajar yang ada akhirnya membawa Sekolah Luar Biasa
menerima guru pengajar yang tidak memiliki kualifikasi secara khusus untuk mengajar siswanya. Salah satu contoh kasusnya terjadi di Provinsi
Riau. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, yang mengatakan bahwa di tahun 2010 Riau masih kekurangan banyak guru tamatan Sarjana Pendidikan Luar Biasa (PLB), sehingga guru yang
mengajar murid SLB saat ini kebanyakan diambil dari non-plb. Dia menjelaskan akibat kurangnya tenaga pengajar tersebut terpaksa saat ini
Guru sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus ini mempunyai beban yang cukup kompleks.
Efendi (2001) mengungkapkan bahwa seorang guru SLB tidak hanya dituntut untuk mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan
ketrampilan yang sesuai dengan potensi dan karateristik siswanya, melainkan juga harus mampu berperan sebagai terapis, pekerja sosial, konselor, paramedis dan administrasi. Tidak hanya itu, berdasarkan hasil
penelitian oleh Dalimunthe (dalam Herawaty dan Budiharto, 2008) guru SLB juga dituntut untuk memiliki kesabaran yang tinggi dan ketelatenan.
Peran dan tugas yang kompleks inilah yang juga dialami oleh guru non-plb, sebagai guru dituntut untuk bisa berpikir kreatif dalam mengembangkan pengajaran dan sekaligus mendampingi anak selama
proses pembelajaran di sekolah. Di sisi lain, guru non-plb juga dituntut untuk tidak mengabaikan tugasnya sebagai warga sekolah. Tugas dan
peran ini menjadi semakin kompleks karena latar belakang pendidikan guru non-plb yang bukan dari pendidikan luar biasa. Adanya tugas yang beragam dan latar belakang pendidikan guru non-plb ini berpengaruh pada
kemampuan subjek untuk menyesuaikan diri, baik sebagai guru maupun warga sekolah. Penyesuaian diri merupakan salah satu kemampuan yang
dimiliki oleh manusia. Dalam proses belajar mengajar, penyesuaian diri menjadi salah satu elemen penting yang harus dikuasai oleh guru. Samantaray (dalam Anju, 2012) mengungkapkan bahwa ada korelasi yang
dalam bekerja. Guru yang mampu menyesuaikan diri dengan baik maka akan bekerja secara efisien.
Penyesuaian diri menurut Schneiders (1964) memiliki pengertian sebagai sebuah proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku
dimana seseorang berjuang untuk menguasai kebutuhan dalam diri, frustasi dan konflik, dan juga tingkatan efek harmonisasi antara keinginan dalam diri dan terhadap hal-hal di lingkungan individu yang
membebaninya. Salah satu tugas subjek yang mempengaruhi proses penyesuaian dirinya adalah kewajiban untuk bisa berkomunikasi dengan
siswa di kelas. Pada masa awal mengajar, subjek sempat merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan para siswa di kelasnya yang memiliki kekurangan dalam pendengaran dan berbicara. Masa awal mengajar yang
dimaksud adalah masa pendampingan dan orientasi bagi guru baru di SLB-B Karnnamanohara. Di masa observasi ini, guru baru akan diminta untuk
mengajar siswa dan akan didampingi oleh guru senior yang bertindak untuk memberikan contoh cara mengajar sekaligus melakukan observasi terhadap guru baru tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ducheva (2005) mengenai penyesuaian diri profesional dalam perkembangan karir guru, menemukan
bahwa penyesuaian diri guru tersebut mengandung arti tidak hanya penguasaan terhadap prestasi di bidang tertentu, tetapi juga pembentukan orientasi sosial yang berbasis pada nilai dan orientasi hidup. Dikatakan
profesionalitas komunitas dan stereotipe. Hal ini juga nampak dalam proses penyesuaian diri yang terjadi pada subjek, dimana rekan guru di
sekolah berpartisipasi sebagai tim kerja dengan memberikan dukungan dan bantuan kepada subjek.
Penelitian dari Anju (2012) mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan dalam penyesuaian diri antara guru yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki serta guru di desa maupun di kota. Hal terpenting
adalah bagaimana guru tersebut mengembangkan kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik di lingkungannya sehingga bisa dikatakan
berhasil dalam mengajar. Penelitian lain mengenai kecemasan bekerja dan penyesuaian kepribadian guru (Shri dan Badri, 2013) menyebutkan bahwa pencapaian tujuan dalam pendidikan akan terwujud ketika guru merasa
nyaman dengan pekerjaannya, tidak merasa cemas dalam bekerja dan memiliki penyesuaian kepribadian yang baik dalam mengajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengungkap bagaimana gambaran penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa tunarungu di SLB-B?. Gambaran ini akan diperoleh
melalui hal-hal yang muncul terkait dengan aspek penyesuaian diri dan faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, peneliti membatasi proses
penyesuaian diri dengan periode waktu mengajar guru non-plb yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (kurun waktu setelah masa observasi sampai dengan saat ini yaitu 8 tahun
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan permasalahannya
sebagai berikut : “bagaimana gambaran penyesuaian diri guru non-plb
yang mengajar siswa SLB-B (tunarungu) di masa awal mengajar dan masa
mengajar sekarang?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa di SLB-B
(tunarungu) di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoretis :
Memberikan manfaat bagi psikologi pendidikan luar biasa,
yaitu diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan memperluas konsep serta pandangan khususnya dalam hal penyesuaian diri guru pengajar siswa tunarungu di SLB. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan dapat menambah wacana mengenai konsep penyesuaian diri sebagai salah satu bagian penting dalam proses
a. Bagi sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
sekolah luar biasa mengenai penyesuaian diri guru, khususnya guru yang non-plb. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
dijadikan tambahan informasi apabila akan mengadakan pelatihan guna mengembangkan kualitas para guru pengajar non-plb yang bekerja di instasi mereka.
b. Bagi guru non-plb pengajar siswa di SLB-B
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Haber dan Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri seringkali dihubungkan dengan suatu kondisi yang seimbang antara organisme dengan lingkungannya, juga
sering dihubungkan dengan proses perubahan seseorang dan atau lingkungan untuk mencapai dan mengatur hubungan yang optimal
diantara keduanya. Berdasarkan konsep dari proses penyesuaian, keefektifan penyesuaian diri dapat dihitung dari bagaimana
seseorang mengatasi keadaan yang selalu berubah. Oleh karena itu, proses penyesuaian diri akan terjadi terus-menerus dan berlanjut dalam hidup seseorang.
Schneiders (1964) menjelaskan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku
yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan keselarasan antara tuntutan dari dalam diri
Penyesuaian diri dijelaskan oleh Lazarus (1961) sebagai sebuah proses yang di dalamnya terdapat interaksi yang kompleks
(rumit) antara perilaku, pemikiran dan sistem emosional. Di dalamnya terdapat dinamika komponen kepribadian yang secara
berkesinambungan memiliki interaksi dengan perubahan situasi dalam suatu kehidupan.
Berdasarkan uraian beberapa tokoh di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang individu untuk menyeimbangkan berbagai
komponen dari dalam dirinya sendiri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan sekitar sehingga bisa menciptakan kondisi yang seimbang di antara keduanya.
2. Aspek-aspek dalam Penyesuaian Diri
Menurut Schneiders (1964), aspek penyesuaian diri meliputi:
a. Aspek self knowledge dan self insight, yaitu kemampuan mengenal kelebihan dan kelemahan diri b. Aspek self objective dan self acceptance, lebih
mengarah pada objektivitas dan penerimaan diri
pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku yang sesuai
d. Aspek satisfaction in work, menunjukkan aktivitas kerja merupakan pengalaman yang memuaskan.
Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009) ada empat aspek dalam penyesuaian diri antara lain :
a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek :
1) Kemantapan suasana kehidupan emosional
2) Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan
dengan orang lain
3) Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan
4) Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri
b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek : 1) Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri
2) Kemampuan memahami orang lain dan
keragamannya
3) Kemampuan mengambil keputusan
4) Keterbukaan dalam mengenal lingkungan c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek :
1) Keterlibatan dalam partisipasi sosial
3) Kemampuan kepemimpinan
4) Sikap toleransi
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek : 1) Sikap produktif dalam mengembangkan diri
2) Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel
3) Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal
4) Kesadaran akan etika dan hidup jujur
Berdasarkan uraian mengenai aspek penyesuaian diri dari tokoh diatas, maka disimpulkan bahwa aspek dalam penyesuaian diri terdiri dari aspek pribadi dan sosial. Aspek pribadi lebih
ditekankan pada kemampuan individu untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, aspek yang dimaksud
seperti mengetahui kekurangan dan kelebihan diri, penerimaan diri, memiliki wawasan diri dan mampu mengambil keputusan sendiri.
Aspek sosial dalam hal ini terkait dengan kemampuan
individu dalam menjalankan aktivitas di lingkungannya dengan tetap memperhatikan kenyamanan diri. Adanya keseimbangan
diantara keduanya memunculkan kenyamanan dalam bekerja, kemantapan, kesediaan untuk bekerjasama, munculnya sikap toleransi, empati, kerjasama dan adanya keterbukaan dalam
3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:
a. Keadaan fisik
Faktor fisik tidak dapat dipisahkan dengan proses penyesuaian diri seseorang. Sistem tubuh ini berkaitan langsung dengan individu, seperti syaraf , kelenjar, otot
dan lain-lain. Keadaan fisik secara umum seperti kesehatan dan penyakit juga memiliki kaitan erat dengan
proses penyesuaian diri yang terjadi.
b. Perkembangan dan kematangan
Perkembangan dan kematangan setiap individu
berbeda-beda. Kematangan disini adalah kematangan secara intelektual, sosial dan emosi. Pola-pola
penyesuaian diri individu juga mengalami perubahan seiring dengan tingkat perkembangan dan
kematangannya.
c. Faktor psikologis
Faktor psikologis tersebut meliputi pengalaman,
maka bisa memberikan pengaruh yang positif terhadap
proses penyesuaian diri dan begitu pula sebaliknya.
Faktor pembelajaran merupakan dasar yang paling penting pada penyesuaian diri. Seseorang bisa
mempelajari berbagai pola atau cara untuk menyesuaikan diri dari lingkungannya. Kemampuan penyesuaian diri juga diperoleh dari pelatihan dan
pendidikan.
Pelatihan lebih kepada mendapatkan kebiasaan atau ketrampilan khusus yang dibutuhkan untuk penyesuaian
yang efektif. Pendidikan lebih kepada mendapatkan pengetahuan yang lebih luas yang menyediakan nilai,
prinsip, sikap yang berkontribusi terhadap kehidupan yang sehat.
d. Keadaan lingkungan
Manusia tidak dapat dilepaskan dari keterikatan dengan sesamanya. Hal ini juga banyak mempengaruhi
proses penyesuaian diri seseorang. Relasi antar manusia membantu terciptanya penyesuaian diri. Lingkungan
e. Faktor kebudayaan
Individu dapat mencerminkan ciri pikiran dan
perilaku mereka sesuai dengan konteks budaya dan adat istiadat yang mereka miliki. Agama juga tidak dapat
dipisahkan dari bagian budaya tersebut. Adat dan agama menjadi salah satu bagian penting pada proses
penyesuaian diri individu.
Calhoun dan Acocella (dalam Ratna, 2007) menyatakan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh:
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah segala hal yang menyangkut diri individu itu sendiri (pikiran, perasaan, sikap, kondisi
fisiologis, nilai, ideologi, pengalaman, determinasi diri, serta kecemasan pribadi) yang dapat mempengaruhi
individu dalam menyesuaikan diri.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan segala hal yang berasal
dari luar individu yang mampu mempengaruhi proses penyesuaian dirinya. Faktor eksternal ini bisa berupa
dan faktor eksternal-sosial (kondisi sosial di lingkungan,
seperti norma sosial, budaya dan sebagainya).
Berdasarkan pendapat tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyesuaian diri, antara lain:
a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, seperti faktor kondisi fisiologis,
kematangan diri, kondisi psikologis, nilai yang dianut dan berbagai sikap yang muncul.
b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, baik dari lingkungan tempat bekerja maupun keluarga, seperti budaya lingkungan, norma-norma yang
ada dan kondisi sosial yang muncul.
4. Kriteria Penyesuaian Diri
Dalam melakukan proses penyesuaian diri, individu akan berhadapan dengan berbagai hal, baik yang muncul dari dalam
dirinya sendiri maupun dari lingkungan. Tidak hanya hal-hal yang menunjang tercapainya proses penyesuaian diri, tetapi juga hal-hal
yang dianggap oleh individu menghambat. Kutev (dalam Ducheva, 2005) menggambarkan bahwa penyesuaian diri guru secara professional meliputi kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri
menyeluruh dan penyesuaian terhadap rekan kerja (kerjasama dan komunikasi).
Kriteria penyesuaian diri yang bisa digunakan untuk melihat proses yang terjadi pada individu adalah sebagai berikut:
a. Penyesuaian Diri Positif (Tepat)
Haber dan Runyon (1984) memberikan kriteria penyesuaian diri yang baik dan efektif adalah:
1) Persepsi terhadap realitas yang akurat
Biasanya individu yang mampu
mempersepsikan realitas memiliki tujuan hidup realistis yaitu sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada di lingkungannya.
Individu ini juga mampu memodifikasi tujuan tersebut dan bersedia menerima konsekuensi
dari setiap tindakannya.
2) Mampu mengatasi stress dan kecemasan
Penyesuaian diri yang efektif adalah apabila
seseorang mampu mengatasi kecemasan dan stress ini dengan cara membuat tujuan hidup.
3) Gambaran diri yang positif
Apabila individu mempersepsikan kelemahan dan kelebihan dirinya sesuai dengan
dirinya, maka individu tersebut dapat menerima diri apa adanya. Dengan demikian gambaran
dirinya positif. Individu seperti ini dapat menyesuaiakn diri di lingkungan secara lebih
efektif.
4) Kemampuan mengekspresikan perasaan
Individu yang sehat secara emosional adalah
individu yang mampu merasakan dan mengekspresikan emosinya secara nyata. Selain
itu, pelampiasan emosinya tetap dilakukan di bawah kontrol atau dengan kata lain individu tersebut mampu mengendalikan diri ketika
sedang mengalami masalah. 5) Hubungan interpersonal yang baik
Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik memiliki tingkat keakraban yang cocok dalam berhubungan sosialnya. Dalam
hubungan ini diharapkan kedua belah pihak bisa menjadi produktif sehingga memberikan
keuntungan satu sama lain.
Lazarus (1961) mengungkapkan bahwa ada 4 kriteria untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu
1) Nyaman secara psikologis
Seseorang dikatakan mampu menyesuaikan
diri dengan baik apabila secara psikologis sudah merasa nyaman, tidak lagi merasa depresi,
cemas berlebihan, ketakutan atau bahkan kematian.
2) Efisiensi kerja
Lingkungan kerja merupakan salah satu tempat dimana individu menerapkan proses
penyesuaian diri. Kemampuan bekerja dengan efisien juga menjadi penentu berhasil atau tidaknya seseorang di tempat tersebut
menyesuaikan diri. Individu yang berhasil menyesuaikan diri tentu akan memiliki efisiensi
yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak. 3) Gejala fisik
Tubuh manusia juga bisa menjadi salah satu
pertanda bagi perkembangan diri. Hal ini juga terjadi pada proses penyesuaian diri, dimana
4) Penerimaan masyarakat
Penerimaan masyarakat menjadi penting
karena individu tinggal di dalam masyarakat itu sendiri. Penyesuaian yang baik akan
mendukung terciptanya suasana kemasyarakatan yang baik pula. Individu yang mampu menjadi bagian dari keberhasilan
tersebut akan diterima dengan baik oleh lingkungan dan masyarakat yang tinggal di
dalamnya.
Berdasarkan uraian para tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria penyesuaian diri yang
positif, antara lain: 1) Gejala fisik
Individu bebas dari gejala penyakit tertentu atau dinyatakan sehat. Dalam hal ini, individu tidak mengalami gangguan kesehatan seperti
penyakit yang bisa mengancam keselamatan dan mengganggu proses penyesuaian diri.
2) Penerimaan sosial
Adanya relasi yang akrab dan saling menguntungkan diantara individu dengan
lingkungan tempatnya berada. b) Penerimaan masyarakat
Individu yang mampu menjalin relasi dengan baik dan turut serta dalam bagian dari lingkungannya, maka akan diterima
dengan baik pula oleh masyarakat. 3) Kepuasan psikis
Individu merasakan nyaman secara psikologis dengan kemampuannya mengatasi kecemasan dan ketakutan serta mampu
mengekspresikan emosinya secara nyata. 4) Pengetahuan diri
a) Memiliki persepsi terhadap realitas yang akurat
Individu mempersepsikan realitas
tersebut dengan memiliki tujuan hidup yang disesuaikan dengan kemampuan serta
kesempatan yang ada.
b) Memiliki gambaran diri yang positif
Individu yang menyesuaikan diri dengan
dirinya sesuai dengan kenyataan dan persepsi orang lain terhadap dirinya.
b. Penyesuaian Diri Negatif (Tidak Tepat)
Ketika seseorang tidak berhasil melakukan
penyesuaian diri, maka biasanya individu tersebut akan terdorong untuk melakukan penyesuaian diri secara negatif (tidak tepat).
Menurut Schneiders (1964) ciri-ciri individu yang penyesuaian dirinya terhambat yaitu :
1) Tidak dapat menahan diri dari emosi yang berlebihan, cenderung kaku dan tidak fleksibel dalam berhubungan dengan orang lain
2) Mengalami kesulitan untuk bangkit kembali setelah mengalami masalah yang berat
3) Tidak mampu mengatur dan menentukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan yang sesuai dengan lingkungan, baik di dalam pikiran
maupun sikapnya
4) Individu lebih terpaku pada aturan yang
5) Kurang realitas dalam memandang dan menerima dirinya, serta memiliki tuntutan yang
melebihi kemampuan dirinya.
Menurut Lazarus (1961), penyesuaian diri yang
buruk atau tidak sehat terjadi ketika seseorang menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya.
Dari uraian Schneider dan Lazarus tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa kriteria penyesuaian diri yang tidak sehat antara lain:
1) Ketika individu tidak bisa menerima realitas
atau kenyataan yang terjadi dalam hidupnya 2) Mengalami kesulitan untuk bisa mengatasi
hambatan yang muncul
3) Tidak berusaha menyelesaikan masalahnya 4) Individu tidak mampu menahan emosinya
5) Kaku dan tidak fleksibel ketika melakukan relasi dengan lingkungan.
B. Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB)
Guru non-pendidikan luar biasa (non-plb) adalah guru pengajar di
jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa. Latar belakang pendidikan guru tersebut biasanya di luar program studi Pendidikan Luar Biasa, seperti
lulusan jenjang SMA/SMK, Diploma dan Sarjana dengan jurusan di luar PLB (seperti Psikologi, Sejarah, PGSD, dan lain-lain).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, pasal 20 menyatakan bahwa tenaga pendidik di lingkungan pendidikan luar biasa merupakan tenaga pendidik yang memiliki
kualifikasi khusus sebagai guru pendidikan luar biasa (Universitas Sam
Ratulangi, 2009). Hal ini tentu menjadi pertimbangan tersediri mengingat data yang ada menunjukkan bahwa tenaga pendidik atau guru SLB masih
kurang. Oleh karena itu, sekolah menerima tenaga pendidik yang secara khusus tidak memiliki kualifikasi yang dimaksud. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan
Jawa Barat, Dr. Dadang Rahman, bahwa masih ada banyak kekurangan tenaga guru slb di wilayahnya dan akhirnya menutup kekurangan tersebut
dengan menerima guru sukarelawan yang berijazah SMA, bukan dari PLB (Radjiman, 2013).
Peran guru di SLB menjadi berbeda karena mereka melayani anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam hal ini, termasuk para guru
yang berstatus non-plb tersebut. Prinsip yang harus dikembangkan dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus antara kasih sayang, layanan secara
prinsip tersebut, dibutuhkan kemauan yang keras pada diri guru dalam menjalani pekerjaannya (Herawaty & Budiharto, 2008). Hal ini juga berlaku
bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan non-plb.
C. Siswa Tunarungu (Siswa SLB-B)
1. Pengertian Tunarungu
Jika dalam proses mendengar, terdapat satu atau lebih organ telinga
yang mengalami gangguan atau kerusakan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik maka keadaan tersebut dikenal
dengan berkelainan pendengaran atau tunarungu. Kerusakan pada organ telinga tersebut bisa disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau sebab lain
yang tidak diketahui (Efendi, 2006).
Menurut Slavin (2003), anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat
pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan sedang, 71 dB –
90 dB dikatakan berat, dan 91 ke atas dikatakan tuli.
Sudjadi (dalam Ismayasari, 2005), menyatakan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki kelainan fungsi pendengaran yang terjadi
sebelum atau setelah individu tersebut dilahirkan, bisa bersifat ringan maupun berat sehingga perkembangan bahasanya terlambat dan memerlukan pembinaan, bimbingan, pelayanan secara khusus untuk
Berdasarkan batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu
kondisi atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi tingkatan ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini walaupun telah
diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan, bimbingan dan pendidikan khsusus.
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Menurut kriteria International Standard Organization (ISO)
klasifikasi ketunarunguan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. seseorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.
b. seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar (Kirk dan Moores, dalam Effendi, 2006).
Ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, Efendi (2006) mengklasifikasikan anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai
a. Tunarungu konduktif
Ketunarunguan tipe ini terjadi karena beberapa organ
yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga begian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang
pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami
gangguan.
b. Tunarungu perseptif
Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya
organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telingan bagian dalam. Sebagaimana diketahui organ telinga di bagian dalam memiliki fungsi sebagai alat persepsi dari getaran suara
yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di belahan telinga bagian luar dan tengah.
c. Tunarungu campuran
Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama rangkaian
organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima ransangan suara mengalami gangguan, jadi yang nampak pada
3. Anak Tunarungu sebagai Siswa Sekolah Luar Biasa
Anak tunarungu di Indonesia biasanya terdaftar di sekolah-sekolah
khusus yaitu Sekolah Luar Biasa bagian B. Namun, dalam menjalankan aktivitasnya sebagai siswa atau pelajar, mereka mengalami beberapa
hambatan. Seperti diungkapkan Efendi (2006), pertama adalah konsekuensi akibat kelainan pendengaran berdampak pada kesulitan dalam menerima ransang bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat
keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi
bahasa yang ada di sekitarnya. Kemunculan kedua kondisi tersebut pada siswa tunarungu, secara langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran bahasa dan bicaranya.
D. Sekolah Luar Biasa Bagian B (Tunarungu)
Secara teknis operasional pendidikan khusus diatur dalam Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus. Salah satu poin penting dari Permendiknas tersebut adalah pengaturan mengenai pembagian
sekolah berdasarkan jenis kebutuhan khusus yang dialami oleh anak. Salah satu kelompok anak yang mendapatkan fasilitas pendidikan luar biasa ini adalah anak
tunarungu. Anak-anak dengan kebutuhan khusus ini ditempatkan di Sekolah Luar Biasa bagian B. Karateristik dari siswa ini dinilai oleh pemerintah memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus disesuaikan dengan kemampuan dan potensi
E. Penyesuaian Diri Guru Non-PLB yang Mengajar Siswa SLB-B (Tunarungu)
Penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa SLB-B merupakan
kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan internal dari dalam diri dan menyeimbangkannya dengan tuntutan eksternal yang berasal dari lingkungannya.
Kemampuan ini ditinjau dari aspek pribadi dan sosial yang ada dalam penyesuaian diri dan faktor yang mempengaruhi proses tersebut ditinjau dari periode masa mengajar, yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan
masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja).
F. Pertanyaan Penelitian
Berikut ini beberapa pertanyaan yang muncul berdasarkan teori awal yang dikaji oleh peneliti.
1. Berdasarkan aspek pribadi dan sosial yang ada di dalam proses penyesuaian diri, hal-hal apa saja yang muncul terkait aspek tersebut di
masa awal mengajar dan di masa mengajar saat ini pada guru non-plb? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri guru non-plb di
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif
deskriptif. Dimana peneliti mengumpulkan data berupa hasil wawancara dengan subjek. Menurut Moleong (2007), laporan penelitian kualitatif deskriptif akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran
penyajian laporan tersebut. Jadi, peneliti tidak melakukan pengukuran dengan angka-angka melainkan berdasarkan pemahaman terhadap
gambaran yang apa adanya mengenai penyesuaian diri guru non-plb dalam mengajar siswa penyandang tunarungu.
Gambaran ini akan diperoleh berdasarkan aspek pribadi dan sosial dalam penyesuaian diri guru non-plb dan faktor-faktor yang mempengaruhinya proses penyesuaian diri tersebut. Proses penyesuaian
diri guru non-plb disini berdasarkan periode waktunya, yaitu pada proses penyesuaian diri di awal masa mengajar dan di masa mengajar saat ini.
B. SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah guru Sekolah Luar Biasa yang
mengajar khusus siswa tunarungu (SLB-B) tetapi tidak pernah menempuh pendidikan formal program studi pendidikan luar biasa (non-plb). Latar
belakang pendidikan para guru tersebut biasanya di luar program studi Pendidikan Luar Biasa, seperti lulusan jenjang SMA/SMK, Diploma dan Sarjana dengan jurusan di luar PLB (Psikologi, Sejarah, PGSD, dan
lain-lain). Subjek mengajar di sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak tunarungu, bukan sekolah luar biasa yang umum (berbagai ketunaan).
C. DEFINISI VARIABEL PENELITIAN
1. Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dalam penelitian ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang individu untuk menyeimbangkan
berbagai komponen dari dalam dirinya sendiri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan sekitar sehingga bisa menciptakan kondisi yang seimbang di antara keduanya.
Penyesuaian diri memiliki dua aspek:
a. Aspek pribadi, yang lebih ditekankan lebih ditekankan pada
diri, memiliki wawasan diri dan mampu mengambil keputusan sendiri.
b. Aspek sosial, dalam hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjalankan aktivitas di lingkungannya
dengan tetap memperhatikan kenyamanan diri. Adanya keseimbangan diantara keduanya memunculkan kenyamanan dalam bekerja, kemantapan, kesediaan untuk
bekerjasama, munculnya sikap toleransi, empati, kerjasama dan adanya keterbukaan dalam mengenal lingkungan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:
a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
individu itu sendiri, seperti faktor kondisi fisiologis, kematangan diri, kondisi psikologis, nilai yang dianut
dan berbagai sikap yang muncul.
b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, baik dari lingkungan tempat bekerja maupun
keluarga, seperti budaya lingkungan, norma-norma yang ada dan kondisi sosial yang muncul.
Penyesuaian diri dalam penelitian ini ditinjau dari periode masa mengajar guru non-plb yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (8 tahun
2. Guru Non-PLB
Guru non-pendidikan luar biasa (non-plb) adalah guru pengajar
di Sekolah Luar Biasa yang tidak menempuh pendidikan secara formal di jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa.
3. Siswa Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu)
Siswa sekolah dalam penelitian ini adalah anak-anak tunarungu yang terdaftar dan menempuh pendidikan di Sekolah luar Biasa bagian
B (tunarungu).
4. Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu)
Sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu.
D. METODE PENGAMBILAN DATA
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara
untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara interaksi lisan dan tatap muka (face to face). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara semi ter-struktur. Wawancara ini
dipilih agar bisa mengeksplorasi berbagai hal sehingga dapat diperoleh data yang lengkap. Ketika melakukan wawancara semi-terstruktur,
penyelidik memiliki seperangkat panduan pertanyaan, tetapi wawancara tidak didikte oleh panduan tersebut (Smith, 2009).
Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan utama yang akan
1. Pertanyaan untuk mengungkap hal-hal apa yang muncul dalam aspek penyesuaian diri guru non-plb
a. Bagaimana persiapan guru non-plb secara pribadi di masa awal mengajar? Dan bagaimana dengan di masa
mengajar sekarang?
b. Bagaimana relasi sosial yang terjalin antara guru non-plb dengan warga sekolah di masa awal mengajar? Dan
bagaimana dengan di masa mengajar sekarang?
2. Pertanyaan untuk mengungkap faktor-faktor apa yang muncul
dalam proses penyesuaian diri guru non-plb
a. Bagaimana kondisi fisik guru non-plb di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang?
b. Bagaimana kondisi psikis guru non-plb di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang?
c. Bagaimana kondisi lingkungan di tempat mengajar guru non-plb?
d. Bagaimana budaya sekolah tempat guru non-plb
mengajar?
E. METODE ANALISIS DATA
Penelitian ini menggunakan metode analisis induktif sebagai metode analisis data. Metode analisis induktif berarti peneliti berusaha
menampilkan diri. Dengan kata lain, data-data mengenai fakta-fakta khusus yang diperoleh digeneralisasikan ke fakta-fakta atau peristiwa yang
lebih umum. Analisisi induktif diberlakukan untuk data kualitatif hasil dari wawancara (verbatim) tema-tema, kategori-kategori dan pola hubungan
antara kategori yang satu dengan kategori yang lain.
Langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis data adalah sebagai berikut (Poerwandari, 1998):
1. Memindahkan setiap data yang diperoleh dari wawancara ke dalam transkrip verbatim.
2. Membaca, mempelajari, dan menelaah data dengan seksama. 3. Mereduksi data dengan cara membuat abstraksi yaitu usaha
untuk membuat rangkuman inti atau tema yang berkaitan
dengan topik penelitian.
4. Menyusun hasil reduksi data ke dalam pola-pola.
5. Membuat kategorisasi.
6. Melakukan interpretasi dan pembahasan.
F. KEABSAHAN DATA
1. Kredibilitas
Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud eksplorasi masalah
interaksi yang kompleks. Pada penelitian kualitatif, validitas tidak dicapai dengan memanipulasi variabel melainkan dengan
menggunakan metode yang paling sesuai untuk memperoleh dan menganalisis data (Poerwandari, 1998). Kredibilitas penelitian dicapai
melalui:
a. Peneliti melakukan penelitian awal berupa pendekatan personal kepada subyek untuk mengetahui latar belakang subyek secara
detail supaya tidak salah memilih subyek.
b. Konfirmasi data dan analisisnya pada subyek penelitian.
Setelah wawancara, peneliti mengkonfirmasikan data yang didapat kepada subyek untuk memastikan bahwa tidak ada salah pengertian atau salah paham terhadap data yang telah
dikumpulkan peneliti.
c. Presentasi temuan dan kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan rasionalitasnya serta dapat dibuktikan dengan kembali melihat data mentahnya (validitas argumentatif). Setiap data yang menjadi pokok pembahasan
dapat dicek validitasnya dalam data mentah (verbatim) sehingga pembahasan yang disajikan bukan merupakan
subyektivitas peneliti.
eksperimen apapun kepada subyek sehingga kondisi subyek saat diteliti adalah kondisi yang alamiah.
2. Dependabilitas
Dependabilitas yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada
tingkat konsistensi dalam mengumpulkan data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik sebuah kesimpulan.
3. Konfirmabilitas
Konfirmasi data hasil penelitian pada responden disebut juga
dengan validasi komunikatif (Poerwandari, 1998). Data-data yang dihasilkan dalam penelitian dikonfirmasikan atau ditanyakan langsung kebenarannya kepada subjek penelitian.
4. Objektifitas
Objektifitas bermakna sebagai proses kerja yang dilakukan
untuk mencapai kondisi objektif. Adapun kriteria objektifitas sebagai berikut:
a. Desain penelitian dibuat secara baik dan benar
b. Fokus penelitian tepat
c. Kajian literatur yang relevan
d. Instrumen dan cara pendataan yang akurat
e. Teknik pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti
g. Hasil penelitian bermanfaat
Peneliti melakukan ketiga hal tersebut saat penyusunan skripsi dan
38
BAB IV
DATA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang guru di SLB-B
Karnnamanohara Yogyakarta. Subjek merupakan guru pengajar siswa tunarungu yang tidak pernah menempuh pendidikan secara formal di jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Latar belakang
pendidikan subjek adalah lulusan program studi psikologi dengan jenjang pendidikannya adalah strata 1 atau sarjana.
Subjek berjenis kelamin perempuan dan berusia 36 tahun. Subjek bergabung menjadi guru untuk mengajar di SLB-B Karnnamanohara sejak
tahun 2005. Setelah lulus kuliah di tahun 2004, subjek sempat mendaftarkan diri untuk bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta. Namun, sebelum ada panggilan kerja dari LSM
tersebut, subjek ditawari oleh salah satu wali murid dari siswa SLB-B Karnnamanohara untuk mencoba mendaftar menjadi guru di sekolah
tersebut. Subjek kemudian mencoba memasukkan lamaran ke sekolah dan akhirnya diterima bekerja sebagai guru sampai dengan sekarang.
Di SLB-B Karnnamanohara, subjek mendapatkan tugas untuk
mengajar di kelas kecil atau kelas persiapan. Penugasan tersebut dimulai setelah subjek mengikuti proses tahapan observasi dan penentuan kelas.
kelas taman. Di kelas ini, subjek menjadi guru pendamping. Menurut penuturan subjek, guru pendamping bertugas membantu guru kelas untuk
mendampingi siswa saat menempuh pelajaran bersama guru kelas. Tugas guru pendamping adalah membantu guru kelas untuk mengarahkan siswa
agar tetap fokus pada pelajaran. Guru pendamping diperlukan karena seringkali siswa-siswa tunarungu ini tidak memperhatikan guru kelas yang sedang mengajar. Disinilah guru pendamping berperan mendampingi
siswa agar kembali fokus yaitu dengan cara mengarahkan siswa untuk kembali duduk dan memberitahu sikap yang benar.
Setelah masa observasi selesai, subjek ditempatkan di kelas kecil dengan siswa berusia 2 hingga 7 tahun. Di kelas ini subjek tidak lagi menjadi guru pendamping melainkan guru kelas. Namun, subjek tetap
didampingi guru senior di kelas, masa pendampingannya hanya berlangsung kurang lebih 2 tahun. Saat ini subjek bertanggungjawab untuk
mengajar 17 siswa di kelas kecil. Subjek dibantu oleh 3 orang guru pendamping. Guru kelas bertugas mengajarkan mata pelajaran tematik atau berbahasa. Bagi kelas kecil seperti yang diampu oleh subjek,
pelajaran berbahasa menjadi sangat penting karena biasanya siswa baru yang masuk masih belum bisa berbahasa sama sekali atau istilahnya “nol
bahasa”. Oleh karena itu, guru kelas kecil mendapatkan porsi guru
Di SLB-B Karnnamanohara sendiri menerapkan metode pembelajaran MMR (Metode Maternal Reflektif). Subjek menjelaskan
bahwa metode MMR ini memiliki cukup banyak cakupan dan biasanya spontan dari anak, jadi apa yang dibawa oleh anak bisa dikembangkan
sebagai bahan pembelajaran di kelas. Sekolah hanya memberikan metode pengajarannya saja dan biasanya guru yang mengembangkan. Metode ini diajarkan hingga sekarang, subjek menuturkan bahwa sekolah masih
memberikan bimbingan rutin kepada guru. Bimbingan ini silaksanakan dengan jadwal tertentu, antara 2 minggu atau 3 minggu sekali. SLB-B
Karnnamanohara juga memfasilitasi guru untuk mendapatkan pelatihan MMR dari sekolah yang juga sudah menerapkan metode ini, biasanya mereka mengundang dari SLB-B Santi Rama Jakarta. Selain bimbingan
tersebut, sekolah juga menyediakan buku-buku serta video pengajaran MMR yang bisa dipelajari oleh guru, termasuk subjek.
Di sekolah, subjek termasuk salah satu guru yang tidak menempuh pendidikan PLB secara formal sehingga jika ada pelatihan atau diklat dari Dinas PLB, maka subjek diikutsertakan. Subjek pernah
mengikuti pelatihan tersebut di tahun 2010. Pelatihan tersebut membahas mengenai hal-hal apa saja yang terkait dengan bidang ke-PLB-an.
B. PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di SLB-B Karnnamanohara yang beralamat
hari Senin, tanggal 20 Juni 2013, pukul 08.00 WIB. Wawancara dilakukan di ruang untuk penerimaan tamu. Peneliti bertemu dahulu dengan wakil
sekolah terlebih dahulu untuk menyampaikan surat ijin penelitian. Setelah bertemu dengan wakil dari sekolah tersebut, peneliti segera
mempersiapkan untuk wawancara dengan subjek.
Peneliti bertemu langsung dengan subjek dan melakukan rapport
terlebih dahulu. Peneliti mengungkapkan maksud dan tujuan
kedatangannya kepada subjek. Peneliti juga menanyakan perihal waktu untuk melakukan pengumpulan data bersama dengan subjek. Setelah
mendapat jawaban bahwa subjek memiliki waktu saat itu, maka pengambilan data dilakukan.
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan metode wawancara
semi-terstruktur. Subjek diwanwancarai dengan menggunakan panduan pertanyaan tetapi kemudian dikembangkan seiring dengan munculnya
respon dari subjek. Peneliti menggunakan alat perekam guna menyimpan data yang sudah diperoleh dari subjek. Peneliti juga menyiapkan semacam lembar panduan pertanyaan yang digunakan sekaligus sebagi transkripsi.
Peneliti memulai wawancara dengan menanyakan identitas subjek terlebih dahulu. Setelah sesi awal tersebut selesai, peneliti melanjutkan
proses wawancara lebih mendalam dengan subjek. Beberapa pertanyaan diajukan oleh peneliti. Subjek menjawab dengan suara yang cukup keras sehingga memudahkan peneliti untuk menggunakan alat perekam. Peneliti
pengambilan data tersebut ditutup oleh peneliti dengan menyampaikan bahwa peneliti akan melakukan kroscek data setelah penyusunan verbatim.
Peneliti kemudian langsung melakukan penulisan verbatim guna mengkroscek data kembali dengan subjek. Proses penulisan verbatim
memakan waktu kurang lebih 2 jam. Selain mendengarkan hasil rekaman yang sudah ada, peneliti juga menambahkan data yang tertulis dalam transkripsi. Transkripsi tersebut ditulis pada saat bersamaan dengan
wawancara dilakukan. Ada beberapa info penting yang ditulis oleh peneliti guna mempermudah menemukan kata kunci untuk melakukan tahapan
penggalian tema dan kategorisasi.
C. KATEGORISASI DAN HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Tabel Kategorisasi Aspek Penyesuaian Diri Subjek
Masa Awal Mengajar Masa Mengajar Saat Ini
1. Pribadi
a. Tanda fisiologis: 1) sehat
2) menangis
3) keringat dingin dan jantung berdebar b. Gejala psikologis
1) kurangnya rasa percaya diri
2) cemas dan takut
2. Sosial
a. Relasi interpersonal yang masih kaku
b. Kesulitan berkomunikasi dengan siswa
c. Keraguan keluarga akan karir subjek
a. Relasi interpersonal yang dekat dan akrab
b. Kelancaran dalam berkomunikasi dengan siswa
c. Kepercayaan keluarga pada karir subjek
3. Tugas sekolah
3. Tugas sekolah
Pemenuhan tugas sekolah belum maksimal
secara maksimal
Tabel 2. Tabel Kategorisasi Faktor Penyesuaian Diri Subjek
Faktor Internal Faktor Eksternal
Faktor pendukung:
1. Latar belakang pendidikan psikologi
2. Kemauan untuk belajar 3. Pengetahuan kemampuan diri
Faktor pendukung:
1. Diklat atau pelatihan tentang ke-plb-an dan MMR
2. Fasilitas sekolah
3. Informasi dari rekan kerja Faktor penghambat:
1. Latar belakang pendidikan non-plb
2. Tidak terbiasa dengan budaya teguran langsung
Faktor penghambat:
i. Pengawasan rekan kerja senior saat menjadi observer
D. DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1. Masa Awal Mengajar (Periode 3 Bulan Pertama)
Masa awal mengajar merupakan periode masa observasi setelah subjek resmi diterima bekerja di SLB-B Karnnamanohara.
Periode masa awal adalah 3 bulan pertama subjek mengajar di sekolah. Di masa awal mengajar, subjek mendapatkan kelas di kelas taman.
mengajar subjek. Observasi ini digunakan sebagai bahan untuk evaluasi dalam penempatan guru baru di SLB-B Karnnamanohara.
Ditinjau dari aspek yang ada dalam penyesuaian diri, berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian terhadap subjek berdasarkan
aspek penyesuaian diri di masa awal mengajar. a.Aspek Pribadi
1) Tanda fisiologis
Berdasarkan hasil wawancara, subjek menyatakan bahwa selama proses awal mengajar tidak mengalami sakit atau
terjangkit suatu penyakit (sht.76). Sakit yang dimaksud bisa berupa pusing, sakit perut, kejang hingga penyakit membahayakan lainnya. Selama menjalani masa masa-masa
awal, subjek merasa tidak mengalami gangguan terkait dengan kondisi tubuhnya. Tidak adanya keluhan terkait dengan
kesehatan menjadi salah satu faktor yang membantu subjek melewati masa observasinya dengan lancar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lazarus (1961) bahwa tubuh
manusia juga bisa menjadi salah satu tanda bagi perkembangan diri. Hal tersebut juga berlaku ketika seseorang menyesuaikan
diri, dimana penyesuaian diri yang baik akan membentuk fisik yang sehat.
Saat masa observasi, subjek sempat menangis melihat
subjek ini muncul ketika melihat kondisi anak di dalam kelasnya. Pemikiran subjek yang membuatnya menangis adalah saat
melihat anak dalam satu kelas tersebut hampir semuanya tidak dapat berbicara (kbs.22).
Di sisi lain, subjek yang merasakan tubuhnya sehat mengalami gejala fisik lainnya. Subjek menjelaskan bahwa pada saat awal masa mengajar, subjek sempat mengalami keringat
dingin dan jantung berdebar kencang (kdj.65-67). Gejala fisik ini muncul beberapa kali ketika masa observasi berlangsung.
2) Gejala psikis
Subjek sempat mengalami penurunan rasa percaya diri. Pernyataan subjek yang mengungkapkan hal tersebut adalah
subjek sempat berpikir tidak bisa dan ini diungkapkan beberapa kali (kpd.22, kpd.33, kpd.60). Pemikiran subjek didasari oleh
munculnya rasa keraguan dalam dirinya (kpd23, kpd.60-63). Rasa percaya diri subjek yang menurun akhirnya mempengaruhi respon mental secara keseluruhan. Subjek
mengatakan bahwa dirinya merasa “down” ketika pertama kali masuk dan bergabung dengan rekan kerja di kelas (kpd.20).
Persiapan mental yang subjek katakan menjadi bukti bahwa dirinya merasa kesulitan untuk menjalani masa observasi. Hal ini diperkuat dengan kebingungan subjek ketika harus mengajar.
bagaimana cara mengajar, cara penyampaian (ct.23-24), semua membuat subjek semakin merasa cemas dan takut.
Berbagai gejala psikis tersebut mempengaruhi kepuasan diri subjek secara menyeluruh. Masa awal mengajar bagi subjek
merupakan masa yang cukup sulit hingga menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, subjek juga merasakan bahwa apa yang dihadapinya adalah sebuah tantangan.
b. Aspek Sosial
1) Relasi interpersonal yang masih kaku
Lingkungan sekolah menjadi ruang lingkup yang diteliti oleh peneliti. Subjek menjadi guru sejak tahun 2005 sampai
dengan saat ini. Subjek sebagai guru memiliki peran ganda di dalam sekolah, sebagai guru bagi siswa dan sebagai karyawan
untuk sekolah. Selama masa awal mengajar, subjek merasa banyak sekali bantuan yang diperoleh dari rekan kerja yang senior meskipun belum terlalu mengenal karateristik mereka
(rik.31-32). Namun, di awal masa mengajar ini subjek juga melihat rekan kerja tersebut sebagai senior dan observer. Hal ini
berpengaruh pada cara subjek berelasi, cenderung kaku karena adanya batasan antara observer dan yang diawasi (rik.65-66).
Selain dengan rekan kerja, relasi interpersonal subjek