• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PROSES PENCAPAIAN STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK PADA MASA

KANAK-KANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

RANY MONIKA PURBA 071301062

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, November 2011

RANY MONIKA PURBA

(3)

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Rany Monika Purba dan Silviana Realyta, M.Psi

ABSTRAK

Keluarga adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak dan peran keluarga sangat besar dalam pembentukan tingkah laku, moral, dan pendidikan pada anak. Namun, perlakuan yang salah seperti kekerasan fisik sering diterima anak dari keluarganya, khususnya orang tua. Hal tersebut memberikan dampak fisik dan psikologis yang akan mempengaruhi proses anak tersebut berkembang menjadi seorang remaja yang akan membentuk identitas diri.

Identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang. Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas diri terbagi atas empat yaitu

diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Sedangkan domain identitas diri terdiri dari tiga domain yaitu domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman, dan hubungan dengan pacar/kekasih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses pencapaian status identitas diri pada remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yang terdiri dari dua orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu remaja yang mengalami kekerasan fisik di keluarga dan terjadi pada masa kanak-kanak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Subjek I berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, achievement pada domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek II berada pada status identitas moratorium pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan,

achievement pada domain hubungan dengan teman dan diffusion pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek III berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Pencapaian status identitas diri pada ketiga responden dipengaruhi oleh pola asuh, homogenitas lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak.

(4)

Attainment of Self Identity Status in Adolescent with Physical Abuse while Childhood

Rany Monika Purba and Silviana Realyta, M.Psi

ABSTRACT

Family is a first place in children life and plays a significant role in child’s behavior, moral values, and education. But, children often get mistreatment like physical abuse from their family, especially their parents. That condition gives some physical and psychological effect that influenced process of a child becoming an adolescence who will formed self identity.

Self identity is a development of self understanding that makes people more aware with their similarity and uniqueness from other people and gives direction, goal, and meaning in someone’s life. Self identity can be described based on presence or absence of crisis (exploration) and comitment. Self identity status is divided into four, namely diffusion, foreclosure, moratorium, and achievement. Self identity domain is consisted of three domains. Those domains is vocational domain, relationship with friends domain, and relationship with dates domain.

The purpose of this research is to know the description in attainment process of self identity status in adolescence with physical abuse while childhood, and factors that influence the attainment of self identity status. This research used the qualitative approach. The process of data collection used the interview method. Participants in this research are three adolescent, who consisted of two female and one male. They were victims of physical abuse at childhood and were abused by their family.

Result showed that each respondent has a different self identity status. First subject was in diffusion identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Second subject was in moratorium identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and diffusion in relationship with dates domain. Third subject was in diffusion identity status on vocational domain, in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Identity formation of participants influenced both by factors such as parenting style, childhood experiences, environment, etc.

(5)

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Rany Monika Purba dan Silviana Realyta, M.Psi

ABSTRAK

Keluarga adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak dan peran keluarga sangat besar dalam pembentukan tingkah laku, moral, dan pendidikan pada anak. Namun, perlakuan yang salah seperti kekerasan fisik sering diterima anak dari keluarganya, khususnya orang tua. Hal tersebut memberikan dampak fisik dan psikologis yang akan mempengaruhi proses anak tersebut berkembang menjadi seorang remaja yang akan membentuk identitas diri.

Identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang. Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas diri terbagi atas empat yaitu

diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Sedangkan domain identitas diri terdiri dari tiga domain yaitu domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman, dan hubungan dengan pacar/kekasih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses pencapaian status identitas diri pada remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yang terdiri dari dua orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu remaja yang mengalami kekerasan fisik di keluarga dan terjadi pada masa kanak-kanak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Subjek I berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, achievement pada domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek II berada pada status identitas moratorium pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan,

achievement pada domain hubungan dengan teman dan diffusion pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek III berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Pencapaian status identitas diri pada ketiga responden dipengaruhi oleh pola asuh, homogenitas lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak.

(6)

Attainment of Self Identity Status in Adolescent with Physical Abuse while Childhood

Rany Monika Purba and Silviana Realyta, M.Psi

ABSTRACT

Family is a first place in children life and plays a significant role in child’s behavior, moral values, and education. But, children often get mistreatment like physical abuse from their family, especially their parents. That condition gives some physical and psychological effect that influenced process of a child becoming an adolescence who will formed self identity.

Self identity is a development of self understanding that makes people more aware with their similarity and uniqueness from other people and gives direction, goal, and meaning in someone’s life. Self identity can be described based on presence or absence of crisis (exploration) and comitment. Self identity status is divided into four, namely diffusion, foreclosure, moratorium, and achievement. Self identity domain is consisted of three domains. Those domains is vocational domain, relationship with friends domain, and relationship with dates domain.

The purpose of this research is to know the description in attainment process of self identity status in adolescence with physical abuse while childhood, and factors that influence the attainment of self identity status. This research used the qualitative approach. The process of data collection used the interview method. Participants in this research are three adolescent, who consisted of two female and one male. They were victims of physical abuse at childhood and were abused by their family.

Result showed that each respondent has a different self identity status. First subject was in diffusion identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Second subject was in moratorium identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and diffusion in relationship with dates domain. Third subject was in diffusion identity status on vocational domain, in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Identity formation of participants influenced both by factors such as parenting style, childhood experiences, environment, etc.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia

belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang

dilakukan anak akan mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya.

Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan

pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan

menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat.

Selain sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga tempat

anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Peranan dan

tanggung jawab yang harus dimainkan orang tua dalam membina anak adalah

besar (Solihin, 2004).

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki tanggung jawab

pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan

mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya

terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan

psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Perlakuan salah yang

sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua membuat keluarga justru

menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian yang didapatkan oleh Putra (dalam Ervika,2005) melalui penelitiannya

(8)

bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak yang terjadi dalam

ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua

mereka. Adapun yang dimaksud dengan perlakuan salah dalam hal ini adalah

segala jenis bentuk perlakuan terhadap anak yang mengancam kesejahteraan anak

untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, sosial, psikologis,

mental dan spiritual (Ervika,2005).

Menurut Mash & Wolfe (2005), anak-anak, karena belum dewasa

(immature) secara sosial dan psikologis menjadi sangat tergantung pada orang dewasa terutama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini

membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Umumnya,

orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik. Namun pada

kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu atau tidak mau peduli dan ada

pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka (Papalia,

2004). Bahkan, ada juga orang tua yang mengaku menyayangi anaknya namun

tetap tega menyakiti anak atas nama disiplin dan kasih sayang (Santrock, 1998).

Kekerasan domestik terhadap anak bukanlah peristiwa yang langka karena

sering terjadi di sekitar kita. Kekerasan domestik atau kekerasan yang terjadi di

dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang

menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun. Sebanyak 80% kekerasan yang

menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan

pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal. Pada tahun 2002, setiap bulannya

terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga

(9)

korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40%

sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual (Solihin, 2004). Data diatas

menunjukkan bahwa kasus-kasus tindak kekerasan sangat mudah ditemui di

lingkungan keluarga yang secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling

aman bagi anak-anak.

Kekerasan (abuse) terjadi ketika pengasuh (caregiver) anak atau remaja

gagal memberikan sarana untuk kesehatan dan kesejahteraan (well-being) anak atau juga menyebabkan luka-luka dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar

mereka (Giardino, 2010). Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan

menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk

menyebut kekerasan terhadap anak. Gelles (dalam Huraerah, 2005)

mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai perbuatan yang disengaja yang

menimbulkan kerusakan atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun

emosional, dan meliputi berbagai bentuk tingkah laku, mulai dari tindakan

ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya yang ikut

menjadi pengasuh sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak

Ada banyak bentuk kekerasan yang bisa dilakukan pada anak. Salah

satunya adalah kekerasan secara fisik. Kekerasan secara fisik (physical abuse)

meliputi penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau

tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau

kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat

(10)

pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau

berpola akibat sundutan rokok atau setrika (Huraerah, 2005). Seperti yang dialami

oleh Susi (bukan nama sebenarnya), yang telah bertahun-tahun menerima

kekerasan secara fisik dari ayah kandungnya:

“...bapak biasanya mukul, tumbuk-tumbuk. Bagian paling sering biasanya muka. Itu yang paling sering. Biasanya sampai biru, bengkak, berdarah. Aku kemarin pernah benjol disini, benjol ini, benjol ini (sambil menunjukkan bagian-bagian pada wajah) terus luka. Dan biasanya itu akibat berkali-kali aku ditumbuk. Pokoknya paling sering di bagian kepala lah. Kalo nggak diantukkan begini (sambil memperagakan kepala orang yang dibenturkan kedinding). Kalo badan jarang kena, tapi mau juga. Kalo badan biasanya dipijaknya. Tapi biasanya dimulai dari kepala lah, baru dia tendang pantat kita atau apa gitu...”.

“...pertama dipukul sekali dulu, sejenis pemanasan gitu kan. Trus merepet-merepet, marah-marah, terus dihantam lagi...”.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)

Kekerasan fisik dalam keluarga semakin sering terjadi. Ketika

kompleksnya masalah ekonomi hingga sosial berakumulasi, maka anak, sebagai

anggota keluarga terlemah seringkali menjadi korban. Graziano (dalam Fontes,

2002) mengemukakan bahwa semakin besar stres yang dialami sebuah keluarga,

maka kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak akan semakin besar. Selain

itu, semakin seringnya orang tua menggunakan hukuman sebagai cara untuk

mendisiplinkan anak akan memperbesar kecenderungan orang tua tersebut

melakukan kekerasan fisik. Hal tersebut terjadi karena orang tua akan merasa

hukuman fisik ringan yang dilakukan pada anak tidak lagi efektif untuk

mengontrol perilaku anak sehingga mulai melakukan hukuman fisik yang lebih

(11)

melegalkan penggunaan kekerasan dalam mendidik anak. Pendidikan tradisional

tersebut kemudian menjadi kebudayaan yang pada akhirnya menjadi lingkaran.

Anak yang mengalami kekerasan cenderung juga akan melakukan hal yang sama

pada anaknya dan begitu seterusnya. Hal tersebut akan membuat kekerasan fisik

semakin banyak dari hari ke hari (“Kekerasan pada Anak karena Kurang

Edukasi”, 2008).

Kekerasan fisik yang diterima anak akan meninggalkan kerusakan ataupun

cacat fisik yang diakibatkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku

kekerasan (abuser). Tanda-tanda fisik yang dialami antara lain adanya riwayat

mengalami luka-luka dalam waktu yang panjang, memar, patah tulang ataupun

kerusakan pada gigi yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan fungsi tubuh dalam

waktu tertentu, kerusakan saraf sementara ataupun permanen, dan luka-luka

lainnya yang tidak dapat dijelaskan. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh

Susi (bukan nama sebenarnya):

“...sering pusing..”.

“..sekarang kan aku juga lagi ikut berobat ke apa itu. Tempat adikku ini berobat kusuk, aku ikut juga. Terus mereka bilang, eh kemaren pernah jatuh ya. Dulu aku waktu SMA hampir tiap hari pusing. Mulanya dari aku kelas tiga SMA sampe tahun lalu, bulan lalu aku hampir tiap hari pusing. Cuman setelah aku kesana itu udah lumayan apa. Karena kemaren juga katanya rahimku uda ntah kekmana mana lah posisinya gitu kan. Pernah jatuh ya dek, katanya. Jatuhnya keras kata tukang pijat itu kan. Pernah kubilang. Ini uda lama kan katanya. Iya waktu SD kubilang gitu. Cuman aku nggak bilang itu karena aku pernah dipukul. Cuma aku bilang aku jatuh karena panjat pagar sekolah, pagar orang sama pohon jambu kubilang. Karna bisa aja kan, nama nya juga waktu SD kan. Iya rahimmu begini begono perutmu begini. Terus payudaramu kena ini. Jadi itu urat-uratnya lari ke kepala makanya sering pusing. Ntah kenapa-kenapa kan sampek kemaren pernah aku berobat ke Pirngadi, disuruh scanning ini itu segala macam rupanya karena uratnya aja yang bermasalah”.

(12)

Selain meninggalkan kerusakan ataupun cacat fisik, kekerasan secara fisik

juga memberikan dampak secara psikologis bagi anak. Dampak psikologis yang

dialami anak akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Anak yang mengalami

kekerasan akan menunjukkan respon takut yang berlebihan dan dikombinasikan

dengan perilaku agresif. Anak juga akan menyentak dan menjerit ketika disentuh

tiba-tiba. Selain itu, anak juga cenderung menyembunyikan dan menutupi

luka-luka fisik yang mereka miliki dan akan menolak dengan keras jika disuruh untuk

membuka baju (Manitoba, 2009). Hal yang sama juga dialami oleh Susi (bukan

nama sebenarnya) tentang trauma psikis yang dia alami:

“...trauma aku masih ada cuma aku udah lumayan bisa menenangkan dirilah. Kemaren pas baru tamat SMA, aku paling nggak bisa dengar misalnya piring dicampakkan pelan aja, walaupun dirumah orang, kayaknya aku merasa situasi itu kembali lagi, gitu. Trus kalo misalnya orang tiba-tiba gini (memukul tikar dengan keras) aku langsung gemetaran gitu. Trus kalo orang misalnya marah samaku, yang ini masih terasa sampai sekarang, kalo ada yang marah apalagi usianya ya jauh dari aku trus marahnya pake suara keras, konsentrasiku langsung ga tau lagi aku harus gimana. Aku merasa kejadian yang kemaren-kemaren itu terulang lagi...”.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)

Dampak tindakan kekerasan yang dilakukan pada anak sangat beragam.

Menurut Moore (dalam Huraerah, 2005) yang telah mengamati beberapa kasus

anak yang menjadi korban penganiayaan fisik, mengungkapkan bahwa efek

tindakan kekerasan fisik tersebut demikian luas dan secara umum dapat

diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Anak yang mengalami kekerasan fisik

ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, sangat pasif dan apatis,

dan merasa tidak mempunyai kepribadian sendiri. Selain itu ada juga yang merasa

(13)

tuanya (parental extension) sehingga mereka tidak mampu menghargai dirinya

sendiri (chronically self-esteem). Korban kekerasan fisik lainnya juga mnengalami kesulitan menjalin relasi dengan individu lain.

Penelitian Flisher (dalam Meyerson,Long, Miranda & Marx, 2002)

menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik semasa

kanak-kanaknya akan menunjukkan kesulitan menyesuaikan diri, kompetensi sosial yang

lebih buruk, menurunnya kemampuan bahasa, dan performansi yang buruk di

sekolah dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Hussey &

Singer, Williamson, Borduin, & Howe (dalam Meyerson et.al, 2002) juga

menyatakan bahwa perkembangan emosional, sosial dan fisik yang unik terjadi

selama periode remaja sehingga kekerasan yang dialami anak akan secara berbeda

mempengaruhi fungsi-fungsi psikologis, khususnya pembentukan identitas diri

jika dibandingkan dengan periode perkembangan lainnya.

Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga akan

mengalami masalah psikososial dan perilaku yang lebih banyak dibandingkan

dengan remaja-remaja lainnya. Remaja yang pernah mengalami kekerasan

memiliki gambaran diri (self-image) yang buruk, lebih merasa aneh dengan dirinya sehingga muncul pemikiran serius untuk bunuh diri, lebih banyak

mengkonsumsi rokok, ganja, dan minuman keras dan cenderung terjebak dalam

pergaulan bebas jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami

kekerasan (Fontes, 2002). Dampak buruk yang timbul dari kekerasan yang

dialami akan menimbulkan tekanan pada remaja dan kondisi yang tidak

(14)

penuturan Susi, yang mengaku, kekerasan fisik yang dialaminya dalam keluarga

membuatnya sulit untuk berpikir tentang masa depan dan memiliki citra diri yang

buruk.

“Itu nggak tahu gitu-gitu, pokoknya gini lo pandangan ke diri itu, nggak berharga, gelap, terus merasa lebih rendah, lebih jelek, lebih bodoh, lebih apa dari orang lain. Kayak kemarin itu pikirku juga, istilahnya, yaudahlah memang kek gini nasibku, aku bukan manusia. Toh bapakku sama mamakku pun giniin aku. Sama kawan-kawan juga aku tertutup, nggak pala bergaul. Kasarnya, citra diri benar-benar rusak la. Betul la. Nggak tahu mau kekmana. Mau cerita sama orang juga malu, nanti kan diejekin. Apalagi masih smp itu masa-masanya gaya-gayaan.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)

Masa remaja adalah saat terpenting dalam proses menuju kedewasaan.

Siapakah saya, apakah yang ada pada diri saya, apa yang akan saya lakukan

dengan hidup saya, apakah yang berbeda dengan diri saya dan bagaimanakah

caranya saya melakukan sesuatu sendiri adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak

terlalu dipikirkan di masa anak-anak, namun mulai menjadi masalah umum, nyata,

dan universal ketika seseorang memasuki masa remaja (Santrock, 1998). Pada

masa remaja, mereka mulai menyadari tentang kepastian identitas dirinya

sehingga pada remaja awal mereka mulai melakukan eksplorasi terhadap

kepribadian dirinya. Pencarian identitas diri pada masa remaja menjadi lebih kuat

sehingga ia berusaha untuk mencari identitas diri dan mendefinisikan kembali

siapakah ia saat ini dan akan menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan

identitas diri selama masa remaja ini dianggap sangat penting karena identitas diri

tersebut dapat memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi

interpersonal pada masa dewasa (Jones dan Hartmann, 1988). Susi dengan latar

(15)

memunculkan keinginannya untuk menjadi seperti sosok Kak Seto atau Ayah Edi

yang peduli pada keselamatan dan kesejahteraan anak. Keinginan itu membuatnya

mencari tahu dan belajar dari berbagai sumber tentang bagaimana menjadi seperti

sosok Kak Seto dan Ayah Edi.

“Waktu SMP sih, itu aja. Aku pengen jadi kayak kak Seto. Gitu. Sampe sekarang juga itu. Memang sih latar belakangnya karna masa laluku juga..”

“..dari TV. Si komo si komo itu. Pokoknya aku mau jadi kayak kayak guru-guru agama tapi sama anak-anak..”

“..soalnya kemarin kak Seto kan dekat sama anak-anak, ramah, baik ya gitu pikirku..”

“..kayak kemarin kan pas seminar kutanya sama ayah Edi. Kalo mau seperti ayah, sekolah dimana. Tapi dia kurang spesifik jawabnya. Dibilangnya cari ajalah pendidikan yang berhubungan ke anak. Katanya kek gitu. Aku juga nggak ngerti kenapa kek gitu, mungkin karna kita tanya langsung tentang ilmunya kali ya?. Terus kan waktu itu, ada juga

talk shownya di StarFM, kutanya lagi, pertanyaan yang sama, gitu juga jawabannya. Kalo lebih spesifik kan bisa awak ngerti kan. Kalo dibilangnya cari ini begini, ada sekolah yang mengapai pendidikan anak, mana tau serba tau semua. Mana tau kekmana-kekmana, sekolah kemana, gitu kan..”

“Selain karna latarbelakangku, aku juga ingin itu karna kemarin aku sempat baca tentang kak Seto ternyata latarbelakangnya nggak jauh-jauh dari yang kualami juga. Ayah Edi juga kayak gitu. Bapaknya tukang tendang, tukang pukul, Jadi kalo kita wujudkan. Karna cita-cita kan nggak jauh-jauh dari latar belakang kan, lebih klop dia. Karna panggilan hati juga. Terus karna gini juga semakin keras tantangan hidup orang, kalau cepat ditangani, akan semakin cepat dewasanya. Itulah dia..”

(16)

Paling kutanya lah ahlinya, langsung ke akarnya kutanya. Atau baca-baca buku di Gramed, mau juga ikut seminar-seminar.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2011)

Usaha Susi untuk mencari informasi dan belajar dari lingkungan tentang

masa depannya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas diri. Proses

pembentukan identitas diri adalah proses dimana seorang remaja mengembangkan

suatu identitas personal atau sense of self yang unik yang berbeda dari orang lain (individuation). Dalam psikologi perkembangan, pembentukan identitas diri merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan

tercapai pada akhir masa remaja. Sebuah identitas adalah sejumlah nilai personal

yang saling berkaitan mengenai nilai-nilai dalam pekerjaan, hubungan

interpersonal, politik dan agama (Erickson dalam Faber et.al, 2003). Pembentukan

identitas diri sebenarnya sudah dimulai dari masa anak-anak, tetapi pada masa

remaja ia menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan

perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan relasional (Grotevant dan Cooper, 1998).

Melihat pentingnya bagi remaja untuk mengembangkan identitas diri

yang stabil, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi

faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri. Sejumlah temuan literatur

(Minuchin, 1974) dan penelitian empiris (Perosa, Perosa, & Tam, 1996)

menyatakan bahwa konteks keluarga memainkan peran yang besar pada

kemampuan remaja untuk mengembangkan identitas diri yang stabil (Faber,2003).

Patterson,dkk (dalam Mullis et.al, 2009) juga menemukan bahwa perasaan remaja

(17)

dampak yang besar dan penting pada kemampuan koping dan eksplorasi mereka,

yang juga adalah kemampuan yang penting dimiliki remaja dalam proses

pengembangan identitas diri mereka. Namun, bagi Susi di dalam

mempertimbangkan masa depan menjadi seperti sosok Kak Seto, dia tidak

meminta pertimbangan orangtuanya atau orang lain di dalam mengambil

keputusan.

“Belum. Nanti mamakku pikir, banyak kali ceritanya ini. Gitu pulak nanti..”

Soalnya mamak kami itu agak-agak kolot cara berpikirnya. Nanti kubilang, aku mak mau gini-gini gini-gini, dibilangnya, jangan terlalu tinggi kali mimpi nanti nggak nyampe mereng. Katanya gitu kan. Jadi agak apa..agak susah.

(Susi, wawancara interpersonal, April 2011)

Menurut Erickson, perkembangan identitas diri pada remaja menuntut

mereka melewati tahap memilih dan menyaring begitu banyak pilihan hidup yang

ada sebelum mereka membuat komitmen pada area-area penting dalam hal

hubungan interpersonal dan ideologi hidup (Santrock, 1998). Hal ini juga

diungkapkan oleh Susi (bukan nama sebenarnya):

“...aku nanti ingin seperti kak Seto atau ayah Edi ya. Pokoknya khusus ke anak. Mungkin latar belakangnya karena aku juga dari, karna aku juga waktu kecil ngga tau mau gimana, jadi aku menilai kalau ke anak, pembimbingannya itu, kalau kita masukkan satu kata, kalau dia masih kecil, akan diingat sampai dia besar..”

“Kemarin aku uda cari tau. Di UMA ada katanya kuliah malam. Tapi cuma sekedar info-info aja. Lumayan bagus katanya kalo di UMA..” “Ini lah menyelesaikan tanggungan ini dulu, mungkin tunggu tamatlah sekolah si Abet kan. Kalo toh untuk melanjutkan sekolah, kapan aja bisa..”

(18)

Marcia (1993) mengidentifikasi masa eksplorasiyang mana

menunjukkan pencarian sejumlah tujuan, nilai, kepercayaandan komitmen

yang mana menunjukkan penerimaan satu atau lebih sekumpulan tujuan, nilai, dan

kepercayaan menjadi miliki seseorangsebagai dua definisi dimensi pada

perkembangan identitas diri. Kemudian berdasarkan dua dimensi inilah Marcia

membagi identitas menjadi 4 status identitas diri (identity statuses) remaja yakni

identity achievement, foreclosure identity, moratorium identity dan identity diffusion.

Marcia (2002) menyatakan bahwa pola yang paling sering dimiliki remaja

dalam membentuk identitas diri dimulai dari tahap foreclosure. Sebagian besar individu meninggalkan masa kanak-kanak dengan pemikiran bahwa nilai orang

tua dan pendidik adalah absolut dan benar. Banyak remaja yang memasuki

periode perkembangan identitas dengan tahap foreclosure kemudian menemukan nilai-nilai dan arah karir mereka tidak seimbang dan searah dengan bagaimana

mereka memandang diri mereka dan dunia. Remaja-remaja inilah yang kemudian

akan memasuki masa krisis identitas. Selanjutnya masuk ke tahap moratorium,

dimana terjadi proses eksplorasi banyak pilihan dan bergumul untuk menentukan

masa depan yang tepat untuk diri mereka. Hasil yang terbaik, tahap moratorium

berakhir pada tahap achievement, dimana masa eksplorasi berakhir dan remaja

mulai membuat komitmen pada pilihan mereka. Pada pola yang tidak optimal dan

lebih sedikit dialami, seseorang akan memasuki masa remaja dengan tahap diffuse

(19)

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat remaja yang mengalami

kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya cenderung memiliki gambaran diri

yang buruk dan mengalami kesulitan untuk berpikir tentang masa depan karena

kekerasan yang dialami. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai proses pembentukan status identitas diri remaja yang

mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya.

I. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran proses pencapaian status identitas diri seorang

remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pencapaian status

identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa

kanak-kanaknya

I. C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti

menetapkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah meneliti mengenai proses

pencapaian status identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik

pada masa kanak-kanaknya dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses

(20)

I. D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat

manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang

Psikologi Perkembangan khususnya dalam memahami proses pembentukan

identitas diri pada seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa

kanak-kanaknya

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

a. Memberikan informasi bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM), terkhusus

yang bergerak dalam bidang perlindungan anak, agar semakin memahami

dampak kekerasan fisik terhadap pembentukan identitas diri remaja. Dengan

demikian, LSM dapat memberikan bimbingan dan melakukan pendampingan

yang tepat dalam memotivasi dan mengarahkan anak-anak tersebut agar bisa

melanjutkan hidup dengan lebih baik

b. Memberikan informasi masyarakat umum, khususnya para orang tua, agar

memperhatikan proses perkembangan yang sedang dialami anak-anak mereka

khususnya dalam proses pembentukan identitas. Penelitian ini juga diharapkan

dapat membantu orang tua untuk memahami dampak kekerasan pada

pembentukan identitas diri remaja dan memberdayakan masyarakat untuk

(21)

c. Membantu individu, khususnya yang pernah mengalami kekerasan pada masa

kanak-kanak, semakin memahami proses psikologis yang terjadi dan

mendorong mereka untuk bangkit dan melanjutkan hidup

I. E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisikan inti sari dari :

Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teoritis

Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan

permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori identitas, pembentukan

identitas, dan kekerasan fisik.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, responden

penelitian, metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan

prosedur penelitian.

BAB II

(22)

II.A. IDENTITAS DIRI II.A.1. Definisi Identitas Diri

Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang

diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat

dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang

yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu

tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang

lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997).

Menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang

jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang

dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang

waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai

dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup

(LeFrancois, 1993).

Marcia (1993) mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen

penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur

pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan

dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan

kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang

berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal

(23)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri seseorang yang membuat

individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan

memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang.

II.A.2. Pembentukan Identitas Diri

Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan:

“ Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification into a more or less coherent, unique whole that provides the young adult with both a sense of continuity with the past and a direction for the future”

(Marcia, 1993:3)

Dari definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pembentukan identitas

diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan

identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan

akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal

baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan

datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat

aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang

menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan

memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan

masa lalu.

Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat

digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis)

(24)

periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki

berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius, untuk mencapai sebuah

keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan

keyakinan-keyakinan. Dimensi eksplorasi (krisis) ialah (Marcia, 1993):

a. Sudah melalui eksplorasi (past crisis)

Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past

crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu

mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang

masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah

kesimpulan yang bermakna.

b. Sedang dalam eksplorasi (in crisis)

Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang

sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaan-pertanyaan

mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup

yang penting.

c. Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis)

Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak

pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai

alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun

kepercayaan seseorang.

Komitmen adalah suatu periode dimana adanya pembuatan pilihan yang

(25)

yang secara signifikan mengarahkan kepada perwujudan pilihan yang sudah

diambil. Dimensi komitmen ialah (Marcia, 1993):

1. Seseorang dikatakan memiliki komitmen ketika aspek identitas yang

dimiliki individu berguna untuk mengarahkan perilaku di masa depan dan

tidak adanya perubahan yang besar pada aspek tersebut.

2. Tidak adanya komitmen ditunjukkan dengan keragu-raguan yang dialami

seseorang, tindakan yang terus berubah-ubah, tidak terarah, dan

membentuk komitmen personal pada saat ini bukanlah suatu hal yang

penting.

II.A.2.a. Status Identitas

Marcia (1993) mengidentifikasi eksplorasi dan komitmen sebagai dua

dimensi dasar untuk mendefinisikan status seseorang dalam mencapai sebuah

identitas diri. Berdasarkan dua dimensi dasar ini, Marcia kemudian bisa

mengklasifikasikan perkembangan pembentukan identitas diri seseorang kepada

empat status, antara lain (Rice & Dolgin, 2008):

a. Identity Diffused

Seseorang yang berada dalam status identity diffused tidak mengalami sebuah periode eksplorasi (krisis), dan mereka juga tidak membuat

komitmen pada aspek pekerjaan, agama, filosofi politik, peran gender,

ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku. Mereka tidak

(26)

telah disebutkan diatas, dan mereka juga tidak melewati proses

mengevaluasi, mencari, ataupun mempertimbangkan alternatif-alternatif.

b. Identity Foreclosure

Seseorang yang berada dalam status identity foreclosure tidak mengalami

periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen

pada aspek-aspek identitas seperti pekerjaan dan ideologi yang bukan

berasal dari pencarian mereka sendiri tapi sudah disiapkan oleh orang

disekitar mereka, khususnya orang tua. Mereka menjadi seseorang yang

diinginkan oleh orang lain, tanpa benar-benar memutuskan untuk diri

mereka sendiri.

c. Identity Moratorium

Seseorang yang berada dalam status identity moratorium sudah ataupun sedang mengalami masa eksplorasi (krisis) terhadap alternatif-alternatif

pilihan namun belum membuat komitmen pada aspek identitas. Beberapa

orang yang berada dalam status moratorium mengalami krisis yang

berkelanjutan, sehingga mereka mengalami kebingungan, tidak stabil, dan

tidak puas. Individu dengan status moratorium juga menghindari

berhadapan dengan masalah, dan mereka memiliki kecenderungan untuk

menunda sampai situasi memaksa sebuah tindakan harus dilakukan.

(27)

Seseorang yang berada dalam status identity achievement telah mengalami

sebuah moratorium psikologis, telah menyelesaikan krisis identitas mereka

dengan secara berhati-hati mengevaluasi sejumlah alternatif dan pilihan,

dan telah menyimpulkan dan memutuskan sendiri setiap pilihan yang akan

dilakukan.

Tabel 1. Status Identitas Marcia

Achievement Moratorium Foreclosure Diffusion Eksplorasi

(krisis)

Ada Dalam

proses

Tidak ada Ada atau tidak ada

Commitment Ada Ada tapi

tidak jelas

Ada Tidak

ada

II.A.2.b. Domain Identitas Diri

Marcia (1993) mengungkapkan bahwa ada 11 domain dalam identitas diri

yang terbagi dua bagian yaitu domain utama (core domain) dan domain tambahan (supplemental domain). Domain utama terdiri dari domain pendidikan/karir,

domain religius/agama, domain politik, domain sikap peran jenis kelamin, dan

domain derajat ekpresi seksualitas. Domain tambahan terdiri dari domain

hobi/minat, hubungan dengan teman, hubungan dengan kekasih, peran pasangan,

peran orangtua, dan prioritas antara keluarga dan karir.

Pencapaian kesebelas domain ini dapat meliputi semua tugas

perkembangan pada masa remaja yang pada umumnya dibahas secara

terpisah-pisah. Memasuki masa dewasa, remaja mulai mencari pekerjaan, ketrampilan, dan

profesi yang memberikan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri dan penghasilan

(28)

yang dianutnya, peran gender dan ideologi politik yang akan dianutnya. Selain itu,

remaja juga akhirnya akan menemukan teman-teman tempat berbagi dan

mengidentifikasi dirinya.

Domain hubungan dengan teman (relationships with friends) dan domain

hubungan dengan pacar/kekasih (relationships with dates) merupakan domain yang mencakup hubungan dengan orang lain sehingga isu identitas dan intimacy

tumpang-tindih pada kedua domain ini. Marcia (1993) menyatakan bahwa

intimacy adalah kualitas interaksi antar individu, mencakup keterbukaan, saling berbagi, saling percaya satu sama lain, sedangkan identitas dalam kedua domain

ini mencakup bagaimana seseorang mampu mendefinisikan dirinya lewat

hubungannya dengan orang lain, sehingga lewat hubungan tersebut kita mampu

semakin memahami diri kita.

Marcia (1993) menguraikan domain identitas diri tersebut, antara lain:

a. Pilihan pendidikan/karir (vocational choice)

Untuk remaja, hal-hal yang mencakup dalam pilihan pendidikan/karir

adalah apakah akan mencari pekerjaan, menikah dan membentuk keluarga,

atau adanya pendidikan lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi.

Mengembangkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan yang

dimilikinya, hal yang disukai ataupun tidak disukai, akan membantu

kemampuan remaja untuk membuat pilihan karir yang semakin spesifik.

(29)

Dalam sebuah hubungan pertemanan, seorang remaja mencoba untuk

mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan temannya tersebut.

Hubungan dengan teman sebaya juga mencakup hal-hal seperti dasar-dasar

seseorang untuk memilih teman-temannya, apa yang bisa diberikan,

dibagikan, atau diceritakan kepada teman-temannya, apa yang diharapkan

remaja tersebut dari teman-temannya dan sebaliknya, seperti apa harapan

yang bisa dituntut oleh temannya kepada remaja tersebut.

c. Hubungan dengan pacar/kekasih (relationship with dates)

Hubungan dengan pacar/kekasih memiliki fokus yang hampir sama

dengan hubungan pertemanan, dimana remaja mencoba untuk

mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan kekasihnya. Namun dalam

hubungan ini, terdapat komponen romantis, yang juga menceritakan

bagaimana pandangan remaja tersebut dalam mengekspresikan seksualitas.

Dalam sebuah hubungan romantis, hubungan dengan pacar mencakup

hal-hal seperti apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada

pacar, apa yang diharapkan remaja tersebut dari orang yang menjadi

kekasihnya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh

kekasihnya kepada remaja tersebut.

Goede, Martijn De; Ed Spruijt; Jurjen Iedema; dan Wim Meeus (1999)

menyatakan bahwa transisi pada sebuah kehidupan pendidikan/karir dan

(30)

para remaja mengalami masalah pada aspek pendidikan/karir dan hubungan

mereka dengan orang lain, mereka mungkin akan merasa gagal juga dalam hal

lain. Hal tersebut terlihat ketika saat ini banyaknya remaja yang pengangguran

memberikan dampak yang besar dalam masyarakat, dan hal itu juga menjadi

tekanan bagi remaja secara individu. Sebuah lingkungan pendidikan/pekerjaan

yang baik akan memberikan kesempatan untuk belajar, berinisiatif, melakukan

kontak sosial dan melatih ketahanan diri. Era modernisasi dan masyarakat yang

individualis juga memberikan tekanan yang semakin besar bagi seseorang untuk

bertanggungjawab dalam setiap keputusan yang diambil, khususnya ketika

menjalin relasi dengan orang lain. Menurut Goede, et.al (1999), masalah yang

dialami dalam aspek pendidikan/karir dan hubungan dengan orang lain akan

memunculkan ketegangan psikologis yang akan memberikan dampak yang negatif

pada kesehatan mental remaja.

II.A.3. Kriteria Eksplorasi (Krisis) dan Komitmen

Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembentukan identitas diri ditandai

dengan adanya eksplorasi dan komitmen.

Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya eksplorasi ialah (Marcia, 1993):

a. Pengetahuan (knowledgeability)

Seseorang harus menunjukkan pemahaman terhadap isi dan dampak setiap

alternatif yang akan dipilih. Hal itu membuktikan bahwa pengetahuan

seseorang lebih dari sekedar pengetahuan biasa atau sesuatu yang sudah

(31)

Informasi yang dimiliki haruslah akurat dan bukan merupakan pemahaman

umum saja. Keinginan individu tersebut untuk membuat interpretasi

sendiri menunjukkan bahwa individu tersebut memang benar-benar ingin

memahami alternatif yang ada.

b. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (activity directed toward the gathering of information)

Ketika seseorang sedang berada dalam krisis identitas, aktif

mengeksplorasi pertimbangan alternatif-alternatif agar mendapatkan

informasi yang berguna untuk menyelesaikan krisis tersebut. Aktivitas

diarahkan untuk belajar lebih lagi tentang alternatif-alternatif yang ada

mencakup membaca, mengikuti kursus, dan melakukan diskusi dengan

teman, orang tua, guru, atau sumber-sumber lain yang memiliki

pemahaman tentang materi tersebut.

c. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of

considering alternative potential identity elements)

Terdapat dua pola yang berbeda ketika mempertimbangkan alternatif

identitas yang akan dicapai. Pola pertama adalah kehadiran secara

simultan dua atau lebih alternatif yang berbeda dan menunjukkan bahwa

individu tersebut sadar dengan setiap alternatif-alternatif yang ada

sehingga mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian yang dimiliki

setiap alternatif. Namun situasi tersebut menimbulkan beberapa konflik

(32)

perubahan dalam hal tujuan yang akan dicapai, nilai, ataupun kepercayaan

sepanjang waktu. Individu dengan pola ini telah mengeksplorasi berbagai

alternatif dan memiliki sejarah mengambil sejumlah komitmen pada

sejumlah pilihan, juga telah menolak beberapa alternatif dengan alasan

tertentu.

d. Tingkatan emosi (Emotional tone)

Terdapat berbagai perasaan yang muncul pada tahapan eksplorasi identitas

seperti rasa senang dan tertarik, was-was, dan rasa ingin tahu. Perasaan ini

muncul karena pada tahap eksplorasi, ada begitu banyak hal dalam dunia

yang bisa dieksplorasi dan seseorang ingin memperluas cakrawala

pemikiran mereka dengan merasakan pengalaman dan kesempatan baru.

Intensitas emosi-emosi ini juga akan bervariasi antar individu yang juga

akan merefleksikan temperamen mereka.

e. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an

early decision)

Karena adanya ketidaknyamanan subjektif yang dikaitkan dengan proses

krisis identitas, individu biasanya ingin untuk segera memutuskan sebuah

pilihan dari setiap alternatif yang ada. Keinginan tersebut ditunjukkan

dengan memutuskan sebuah alternatif dengan ragu-ragu dan tidak

mempertimbangkan pilihan tersebut itu dengan serius.

(33)

a. Pengetahuan (Knowledgeability)

Seperti kriteria masa eksplorasi, jika seseorang memiliki komitmen yang

sungguh-sungguh pada sebuah tujuan, nilai, ataupun kepercayaan,

seharusnya ada bukti mengenai pemahaman yang detail, jelas dan akurat

mengenai hal tersebut.

b. Aktivitas untuk mengimplementasikan aspek identitas yang dipilih

(Activity directed toward implementing the chosen identity element)

Adanya komitmen pada aspek identitas akan mengarahkan pada ekspresi

atau realisasi dari pilihan yang telah dibuat. Sejumlah aktivitas seperti

persiapan untuk hidup masa depan yang konsisten dengan aspek identitas

yang dimiliki oleh orang tersebut akan menunjukkan implementasi dari

pilihan yang telah dibuat.

c. Tingkatan emosi (Emotional tone)

Adanya komitmen pada identitas biasanya akan diekspresikan dengan

perasaan percaya diri, stabilitas, dan rasa optimisme terhadap masa depan.

Walaupun seringkali kesadaran akan kesulitan-kesulitan yang mungkin

muncul ketika mengimplementasikan aspek identitas tersebut, namun hal

tersebut tidak mengurangi keputusan untuk melakukan pilihan yang telah

diambil.

(34)

Sering kali komitmen pada identitas berawal dari identifikasi dengan orang

tua, saudara yang lain, guru, atau orang-orang yang dipelajari dari sekolah

ataupun media massa.

e. Proyeksi terhadap masa depan (Projection of one’s personal future)

Komitmen pada identitas memberikan sebuah mekanisme untuk

mengintegrasikan masa lalu dengan masa kini dan antara masa kini dengan

masa yang akan datang. Aspek identitas akan direfleksikan dalam

kemampuan untuk memproyeksikan diri mereka kepada masa depan dan

mendeskripsikan tipe-tipe aktivitas yang ingin mereka lakukan selama

lima atau sepuluh tahun yang akan datang.

f. Daya tahan terhadap godaan (Resistance to being swayed)

Jika komitmen sudah terbentuk, seseorang akan konsisten dan bertahan

ketika menghadapi godaan atau pengaruh untuk meninjau ulang komitmen

yang telah dibuat bahkan menggantinya.

II. A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri

Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:

a. Pola asuh

Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan

identitas diri remaja

(35)

Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada

lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh

komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada

lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan

sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu

pilihan tertentu.

c. Model untuk identifikasi

Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan

harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan

idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai

model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri.

d. Pengalaman masa kanak-kanak

Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa

kanak-kanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas

pada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 1998), identitas

berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak.

e. Perkembangan kognisi

Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan

mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat

menyelesaikan krisis identitas dengan baik.

(36)

Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi

membantu tercapainya identity achievement. g. Pengalaman kerja

Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia

kerja akan menstimulasi identitas diri.

h. Identitas etnik

Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan

mempengaruhi pencapaian identitas.

II.B. MASA REMAJA

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek

fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat

Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari

identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).

Santrock (1998) menyatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan

perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Sedangkan WHO

(dalam Sarwono, 2000) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat

konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologis,

psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga disebutkan bahwa remaja adalah suatu

masa dimana:

a. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda

(37)

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada

keadaan yang relatif lebih mandiri

Piaget (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa secara psikologis masa

remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,

berada dalam yang tingkatan yang sama dengan orang dewasa,

sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur

13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah

menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu

sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya (Ali, 2004). Awal masa remaja

berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja

bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum

(Hurlock, 1999).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa masa

remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana

remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status

anak-anak. Masa remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun.

Havighurst (dalam Dacey & Kenny, 1997) mengemukakan 9 (sembilan)

tugas perkembangan pada tahapan remaja, yaitu:

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman

sebaya baik pria maupun wanita

(38)

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara

efektif

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung

jawab

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya

6. Mempersiapkan karier ekonomi

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan

untuk berperilaku-mengembangkan ideologi

Pencapaian tugas perkembangan tidak terlepas juga dari pencapaian

identitas diri secara psikososial . Menurut Erikson (dalam Dacey and Kenny,

1997) masa remaja merupakan masa kritis dalam pencapaian identitas diri. Bila

seorang remaja mencapai identitas diri, seorang remaja akan memiliki

gambaran-gambaran diri yang dapat dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan remaja

yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang

disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (kebimbangan akan identitasnya). Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu,

mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan

dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 1998).

(39)

Kekerasan dan pengabaian pada anak bisa terjadi dalam banyak bentuk

dan bervariasi. Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi pada anak ialah

kekerasan fisik. The Office on Child Abuse and Neglect mendefinisikan kekerasan fisik (physical abuse) berupa tindakan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan

secara fisik, termasuk kematian pada seorang anak. Kekerasan fisik mencakup

luka pada tubuh lewat tonjokan, pukulan, tendangan, atau pembakaran (National

Center on Child Abuse and Neglect, dalam Clark, Clark, & Adamec, 2007).

Health Canada (dalam Knoke, 2008) mendefinisikan kekerasan fisik

sebagai penggunaan kekerasan dengan sengaja pada bagian tubuh anak apapun,

yang mengakibatkan luka yang tidak terjadi secara kebetulan (non-accidental). Hal tersebut bisa mencakup memukul anak dalam waktu tertentu atau juga

sejumlah kejadian yang berpola. Kekerasan fisik mencakup perilaku-perilaku

seperti mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, membakar atau

meracuni seorang anak, menenggelamkan anak, atau bentuk kekerasan lain yang

berbahaya.

Suyanto (2002) menambahkan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan

yang paling mudah dikenali. Tindakan yang terkategorisasi kekerasan jenis ini

adalah menampar, menendang, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya.

Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban

seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang

kondisinya lebih berat. Dong, Anda, et. al (2004) menyatakan bahwa seseorang

yang mengalami kekerasan fisik adalah seseorang yang sering atau sangat sering

(40)

dan kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu

dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh mereka.

II.D. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek

fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat

Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari

identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).

Pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian

pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak

kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan

memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu

maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam

pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti

pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya

identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan

dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu (Marcia, 1993). Sehingga

dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan

penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja.

Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan

(41)

masalah dan emosi (Wahab, 2011). Efek yang timbul akibat perilaku orang tua

yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan

kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan,

secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan

pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak (child abuse) juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada

anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya (abused children) lebih sering menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial

yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang

disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat

anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam

hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis (DeGenova,

2008).

Penelitian Rummell and Hunsen (1993) menyatakan kekerasan fisik akan

memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal

dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami

kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti

merasa malu, sadar diri (self-conscious) dan merasa tidak dimengerti atau tidak disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang

mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal

tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami

(42)

memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek

pekerjaan dan pendidikan.

Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx (2002) tentang pengaruh

abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga

menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami

kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang

lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang

lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan.

Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali

menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan

pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya,

sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas

diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi

sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan

teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap

aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan

mengalami hambatan.

Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak

memiliki batasan persepsi (perceptual boundaries) yang lebih luas dalam

mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber

(43)

memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah

seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak

membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar

terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom

kecemasan (Shackman, Shackman & Pollack, 2007).

Briere dan Elliot (dalam Kendall-Tackett, 2002) juga menyatakan bahwa

anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola

pemikiran (internal working model) dimana mereka melihat dunia ini sebagai sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka

alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang

ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan

mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi

yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada

stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi.

Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan

membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya

berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa

yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses

pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses

mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup (Marcia, 2002).

Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga

(44)

kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses

Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi

- Komitmen

Domain Vocational Domain

Relationship w/

3. Model untuk identifikasi

(45)

kanak-BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat

pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam proses pembentukan identitas diri, maka

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif

memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi

pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari, 2001).

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) metode kualitatif

memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian

secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh

kategori yang ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah

prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu

dan kasus-kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam

dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian,

orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Suparlan (dalam Patilima, 2005) mengatakan bahwa dalam pendekatan

(46)

masyarakat sebagai sebuah satuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Karena

itu penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh untuk

memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang

berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial

masyarakat yang diteliti sebagai kasus itu sendiri.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada

peneliti untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan,

perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan

pendekatan kuantitatif. Pemilihan metode kualitatif menjadi metode dalam

penelitian ini karena pembentukan identitas merupakan suatu proses yang

disebabkan tidak hanya sebuah faktor, melainkan berbagai faktor. Selain itu,

faktor yang dialami oleh masing-masing individu dapat berbeda-beda. Peneliti

juga dapat menemukan hal-hal baru dalam pembentukan identitas seseorang yang

mengalami child abuse. Untuk mendapatkan faktor yang mendalam, luas dan

kemungkinan munculnya hal-hal baru inilah yang membuat peneliti memilih

metode kualitatif untuk penelitian ini.

III. B. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,

disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.

Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya,

analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah

Gambar

Tabel 1. Status Identitas Marcia
Tabel I Riwayat Kekerasan Responden I
Tabel III
Gambaran Status Identitas Responden I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Hasil U.1i Tusuk Kulit Alergen Nyarnuk Terhadap Keparahan Klinis Dermarftis Atopik di.. RSUP Dr. Moharnmad Hoesin

The used media in the implementation of learning trajectory of ordering decimal numbers in this study was picture of number line, LCD projector, body scales, cards of

Widodo, D., 2006, Demam Tifoid dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (IV), Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Pengelolaan efektif didefinisikan sebagai “(tingkat) sejauh mana upaya-upaya pengelolaan memberikan hasil atau dampak yang positif baik bagi sumberdaya hayati dalam kawasan maupun

1) Didapatkannya gambaran pengetahuan ibu hamil tentang HIV-AIDS dan PMT-CT yaitu baik sebanyak 33 responden ( 66%). Hasil uji statistik diperoleh nilai P =

warna merupakan ciri yang paling baik digunakan dalam pengelompokan pola.. batik Yogyakarta dengan akurasi sebesar 60% pada 5 kali

(Učenje Spenglera o ciklusima koji se ponavljaju realizirat će se, na primjer, u strukturi cirkusa s više arena.) Upravo zato su prikazi cirkuskih siţea u umjetnosti često

a. Tidak mempunyai seseorang sebagai panutan dalam memahami dan meresapi tata nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kondisi semacam ini lazim disebut sebagai hasil