GAMBARAN PROSES PENCAPAIAN STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK PADA MASA
KANAK-KANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
RANY MONIKA PURBA 071301062
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, November 2011
RANY MONIKA PURBA
Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak
Rany Monika Purba dan Silviana Realyta, M.Psi
ABSTRAK
Keluarga adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak dan peran keluarga sangat besar dalam pembentukan tingkah laku, moral, dan pendidikan pada anak. Namun, perlakuan yang salah seperti kekerasan fisik sering diterima anak dari keluarganya, khususnya orang tua. Hal tersebut memberikan dampak fisik dan psikologis yang akan mempengaruhi proses anak tersebut berkembang menjadi seorang remaja yang akan membentuk identitas diri.
Identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang. Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas diri terbagi atas empat yaitu
diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Sedangkan domain identitas diri terdiri dari tiga domain yaitu domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman, dan hubungan dengan pacar/kekasih.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses pencapaian status identitas diri pada remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yang terdiri dari dua orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu remaja yang mengalami kekerasan fisik di keluarga dan terjadi pada masa kanak-kanak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Subjek I berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, achievement pada domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek II berada pada status identitas moratorium pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan,
achievement pada domain hubungan dengan teman dan diffusion pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek III berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Pencapaian status identitas diri pada ketiga responden dipengaruhi oleh pola asuh, homogenitas lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak.
Attainment of Self Identity Status in Adolescent with Physical Abuse while Childhood
Rany Monika Purba and Silviana Realyta, M.Psi
ABSTRACT
Family is a first place in children life and plays a significant role in child’s behavior, moral values, and education. But, children often get mistreatment like physical abuse from their family, especially their parents. That condition gives some physical and psychological effect that influenced process of a child becoming an adolescence who will formed self identity.
Self identity is a development of self understanding that makes people more aware with their similarity and uniqueness from other people and gives direction, goal, and meaning in someone’s life. Self identity can be described based on presence or absence of crisis (exploration) and comitment. Self identity status is divided into four, namely diffusion, foreclosure, moratorium, and achievement. Self identity domain is consisted of three domains. Those domains is vocational domain, relationship with friends domain, and relationship with dates domain.
The purpose of this research is to know the description in attainment process of self identity status in adolescence with physical abuse while childhood, and factors that influence the attainment of self identity status. This research used the qualitative approach. The process of data collection used the interview method. Participants in this research are three adolescent, who consisted of two female and one male. They were victims of physical abuse at childhood and were abused by their family.
Result showed that each respondent has a different self identity status. First subject was in diffusion identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Second subject was in moratorium identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and diffusion in relationship with dates domain. Third subject was in diffusion identity status on vocational domain, in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Identity formation of participants influenced both by factors such as parenting style, childhood experiences, environment, etc.
Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak
Rany Monika Purba dan Silviana Realyta, M.Psi
ABSTRAK
Keluarga adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak dan peran keluarga sangat besar dalam pembentukan tingkah laku, moral, dan pendidikan pada anak. Namun, perlakuan yang salah seperti kekerasan fisik sering diterima anak dari keluarganya, khususnya orang tua. Hal tersebut memberikan dampak fisik dan psikologis yang akan mempengaruhi proses anak tersebut berkembang menjadi seorang remaja yang akan membentuk identitas diri.
Identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang. Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas diri terbagi atas empat yaitu
diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Sedangkan domain identitas diri terdiri dari tiga domain yaitu domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman, dan hubungan dengan pacar/kekasih.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses pencapaian status identitas diri pada remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yang terdiri dari dua orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu remaja yang mengalami kekerasan fisik di keluarga dan terjadi pada masa kanak-kanak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Subjek I berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, achievement pada domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek II berada pada status identitas moratorium pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan,
achievement pada domain hubungan dengan teman dan diffusion pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek III berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Pencapaian status identitas diri pada ketiga responden dipengaruhi oleh pola asuh, homogenitas lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak.
Attainment of Self Identity Status in Adolescent with Physical Abuse while Childhood
Rany Monika Purba and Silviana Realyta, M.Psi
ABSTRACT
Family is a first place in children life and plays a significant role in child’s behavior, moral values, and education. But, children often get mistreatment like physical abuse from their family, especially their parents. That condition gives some physical and psychological effect that influenced process of a child becoming an adolescence who will formed self identity.
Self identity is a development of self understanding that makes people more aware with their similarity and uniqueness from other people and gives direction, goal, and meaning in someone’s life. Self identity can be described based on presence or absence of crisis (exploration) and comitment. Self identity status is divided into four, namely diffusion, foreclosure, moratorium, and achievement. Self identity domain is consisted of three domains. Those domains is vocational domain, relationship with friends domain, and relationship with dates domain.
The purpose of this research is to know the description in attainment process of self identity status in adolescence with physical abuse while childhood, and factors that influence the attainment of self identity status. This research used the qualitative approach. The process of data collection used the interview method. Participants in this research are three adolescent, who consisted of two female and one male. They were victims of physical abuse at childhood and were abused by their family.
Result showed that each respondent has a different self identity status. First subject was in diffusion identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Second subject was in moratorium identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and diffusion in relationship with dates domain. Third subject was in diffusion identity status on vocational domain, in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Identity formation of participants influenced both by factors such as parenting style, childhood experiences, environment, etc.
BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia
belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang
dilakukan anak akan mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya.
Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan
pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan
menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat.
Selain sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga tempat
anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Peranan dan
tanggung jawab yang harus dimainkan orang tua dalam membina anak adalah
besar (Solihin, 2004).
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki tanggung jawab
pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan
mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya
terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan
psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Perlakuan salah yang
sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua membuat keluarga justru
menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang didapatkan oleh Putra (dalam Ervika,2005) melalui penelitiannya
bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak yang terjadi dalam
ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua
mereka. Adapun yang dimaksud dengan perlakuan salah dalam hal ini adalah
segala jenis bentuk perlakuan terhadap anak yang mengancam kesejahteraan anak
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, sosial, psikologis,
mental dan spiritual (Ervika,2005).
Menurut Mash & Wolfe (2005), anak-anak, karena belum dewasa
(immature) secara sosial dan psikologis menjadi sangat tergantung pada orang dewasa terutama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini
membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Umumnya,
orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik. Namun pada
kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu atau tidak mau peduli dan ada
pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka (Papalia,
2004). Bahkan, ada juga orang tua yang mengaku menyayangi anaknya namun
tetap tega menyakiti anak atas nama disiplin dan kasih sayang (Santrock, 1998).
Kekerasan domestik terhadap anak bukanlah peristiwa yang langka karena
sering terjadi di sekitar kita. Kekerasan domestik atau kekerasan yang terjadi di
dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang
menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun. Sebanyak 80% kekerasan yang
menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan
pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal. Pada tahun 2002, setiap bulannya
terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga
korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40%
sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual (Solihin, 2004). Data diatas
menunjukkan bahwa kasus-kasus tindak kekerasan sangat mudah ditemui di
lingkungan keluarga yang secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling
aman bagi anak-anak.
Kekerasan (abuse) terjadi ketika pengasuh (caregiver) anak atau remaja
gagal memberikan sarana untuk kesehatan dan kesejahteraan (well-being) anak atau juga menyebabkan luka-luka dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
mereka (Giardino, 2010). Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan
menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk
menyebut kekerasan terhadap anak. Gelles (dalam Huraerah, 2005)
mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai perbuatan yang disengaja yang
menimbulkan kerusakan atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun
emosional, dan meliputi berbagai bentuk tingkah laku, mulai dari tindakan
ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya yang ikut
menjadi pengasuh sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak
Ada banyak bentuk kekerasan yang bisa dilakukan pada anak. Salah
satunya adalah kekerasan secara fisik. Kekerasan secara fisik (physical abuse)
meliputi penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau
tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau
kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat
pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau
berpola akibat sundutan rokok atau setrika (Huraerah, 2005). Seperti yang dialami
oleh Susi (bukan nama sebenarnya), yang telah bertahun-tahun menerima
kekerasan secara fisik dari ayah kandungnya:
“...bapak biasanya mukul, tumbuk-tumbuk. Bagian paling sering biasanya muka. Itu yang paling sering. Biasanya sampai biru, bengkak, berdarah. Aku kemarin pernah benjol disini, benjol ini, benjol ini (sambil menunjukkan bagian-bagian pada wajah) terus luka. Dan biasanya itu akibat berkali-kali aku ditumbuk. Pokoknya paling sering di bagian kepala lah. Kalo nggak diantukkan begini (sambil memperagakan kepala orang yang dibenturkan kedinding). Kalo badan jarang kena, tapi mau juga. Kalo badan biasanya dipijaknya. Tapi biasanya dimulai dari kepala lah, baru dia tendang pantat kita atau apa gitu...”.
“...pertama dipukul sekali dulu, sejenis pemanasan gitu kan. Trus merepet-merepet, marah-marah, terus dihantam lagi...”.
(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)
Kekerasan fisik dalam keluarga semakin sering terjadi. Ketika
kompleksnya masalah ekonomi hingga sosial berakumulasi, maka anak, sebagai
anggota keluarga terlemah seringkali menjadi korban. Graziano (dalam Fontes,
2002) mengemukakan bahwa semakin besar stres yang dialami sebuah keluarga,
maka kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak akan semakin besar. Selain
itu, semakin seringnya orang tua menggunakan hukuman sebagai cara untuk
mendisiplinkan anak akan memperbesar kecenderungan orang tua tersebut
melakukan kekerasan fisik. Hal tersebut terjadi karena orang tua akan merasa
hukuman fisik ringan yang dilakukan pada anak tidak lagi efektif untuk
mengontrol perilaku anak sehingga mulai melakukan hukuman fisik yang lebih
melegalkan penggunaan kekerasan dalam mendidik anak. Pendidikan tradisional
tersebut kemudian menjadi kebudayaan yang pada akhirnya menjadi lingkaran.
Anak yang mengalami kekerasan cenderung juga akan melakukan hal yang sama
pada anaknya dan begitu seterusnya. Hal tersebut akan membuat kekerasan fisik
semakin banyak dari hari ke hari (“Kekerasan pada Anak karena Kurang
Edukasi”, 2008).
Kekerasan fisik yang diterima anak akan meninggalkan kerusakan ataupun
cacat fisik yang diakibatkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku
kekerasan (abuser). Tanda-tanda fisik yang dialami antara lain adanya riwayat
mengalami luka-luka dalam waktu yang panjang, memar, patah tulang ataupun
kerusakan pada gigi yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan fungsi tubuh dalam
waktu tertentu, kerusakan saraf sementara ataupun permanen, dan luka-luka
lainnya yang tidak dapat dijelaskan. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh
Susi (bukan nama sebenarnya):
“...sering pusing..”.
“..sekarang kan aku juga lagi ikut berobat ke apa itu. Tempat adikku ini berobat kusuk, aku ikut juga. Terus mereka bilang, eh kemaren pernah jatuh ya. Dulu aku waktu SMA hampir tiap hari pusing. Mulanya dari aku kelas tiga SMA sampe tahun lalu, bulan lalu aku hampir tiap hari pusing. Cuman setelah aku kesana itu udah lumayan apa. Karena kemaren juga katanya rahimku uda ntah kekmana mana lah posisinya gitu kan. Pernah jatuh ya dek, katanya. Jatuhnya keras kata tukang pijat itu kan. Pernah kubilang. Ini uda lama kan katanya. Iya waktu SD kubilang gitu. Cuman aku nggak bilang itu karena aku pernah dipukul. Cuma aku bilang aku jatuh karena panjat pagar sekolah, pagar orang sama pohon jambu kubilang. Karna bisa aja kan, nama nya juga waktu SD kan. Iya rahimmu begini begono perutmu begini. Terus payudaramu kena ini. Jadi itu urat-uratnya lari ke kepala makanya sering pusing. Ntah kenapa-kenapa kan sampek kemaren pernah aku berobat ke Pirngadi, disuruh scanning ini itu segala macam rupanya karena uratnya aja yang bermasalah”.
Selain meninggalkan kerusakan ataupun cacat fisik, kekerasan secara fisik
juga memberikan dampak secara psikologis bagi anak. Dampak psikologis yang
dialami anak akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Anak yang mengalami
kekerasan akan menunjukkan respon takut yang berlebihan dan dikombinasikan
dengan perilaku agresif. Anak juga akan menyentak dan menjerit ketika disentuh
tiba-tiba. Selain itu, anak juga cenderung menyembunyikan dan menutupi
luka-luka fisik yang mereka miliki dan akan menolak dengan keras jika disuruh untuk
membuka baju (Manitoba, 2009). Hal yang sama juga dialami oleh Susi (bukan
nama sebenarnya) tentang trauma psikis yang dia alami:
“...trauma aku masih ada cuma aku udah lumayan bisa menenangkan dirilah. Kemaren pas baru tamat SMA, aku paling nggak bisa dengar misalnya piring dicampakkan pelan aja, walaupun dirumah orang, kayaknya aku merasa situasi itu kembali lagi, gitu. Trus kalo misalnya orang tiba-tiba gini (memukul tikar dengan keras) aku langsung gemetaran gitu. Trus kalo orang misalnya marah samaku, yang ini masih terasa sampai sekarang, kalo ada yang marah apalagi usianya ya jauh dari aku trus marahnya pake suara keras, konsentrasiku langsung ga tau lagi aku harus gimana. Aku merasa kejadian yang kemaren-kemaren itu terulang lagi...”.
(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)
Dampak tindakan kekerasan yang dilakukan pada anak sangat beragam.
Menurut Moore (dalam Huraerah, 2005) yang telah mengamati beberapa kasus
anak yang menjadi korban penganiayaan fisik, mengungkapkan bahwa efek
tindakan kekerasan fisik tersebut demikian luas dan secara umum dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Anak yang mengalami kekerasan fisik
ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, sangat pasif dan apatis,
dan merasa tidak mempunyai kepribadian sendiri. Selain itu ada juga yang merasa
tuanya (parental extension) sehingga mereka tidak mampu menghargai dirinya
sendiri (chronically self-esteem). Korban kekerasan fisik lainnya juga mnengalami kesulitan menjalin relasi dengan individu lain.
Penelitian Flisher (dalam Meyerson,Long, Miranda & Marx, 2002)
menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik semasa
kanak-kanaknya akan menunjukkan kesulitan menyesuaikan diri, kompetensi sosial yang
lebih buruk, menurunnya kemampuan bahasa, dan performansi yang buruk di
sekolah dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Hussey &
Singer, Williamson, Borduin, & Howe (dalam Meyerson et.al, 2002) juga
menyatakan bahwa perkembangan emosional, sosial dan fisik yang unik terjadi
selama periode remaja sehingga kekerasan yang dialami anak akan secara berbeda
mempengaruhi fungsi-fungsi psikologis, khususnya pembentukan identitas diri
jika dibandingkan dengan periode perkembangan lainnya.
Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga akan
mengalami masalah psikososial dan perilaku yang lebih banyak dibandingkan
dengan remaja-remaja lainnya. Remaja yang pernah mengalami kekerasan
memiliki gambaran diri (self-image) yang buruk, lebih merasa aneh dengan dirinya sehingga muncul pemikiran serius untuk bunuh diri, lebih banyak
mengkonsumsi rokok, ganja, dan minuman keras dan cenderung terjebak dalam
pergaulan bebas jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami
kekerasan (Fontes, 2002). Dampak buruk yang timbul dari kekerasan yang
dialami akan menimbulkan tekanan pada remaja dan kondisi yang tidak
penuturan Susi, yang mengaku, kekerasan fisik yang dialaminya dalam keluarga
membuatnya sulit untuk berpikir tentang masa depan dan memiliki citra diri yang
buruk.
“Itu nggak tahu gitu-gitu, pokoknya gini lo pandangan ke diri itu, nggak berharga, gelap, terus merasa lebih rendah, lebih jelek, lebih bodoh, lebih apa dari orang lain. Kayak kemarin itu pikirku juga, istilahnya, yaudahlah memang kek gini nasibku, aku bukan manusia. Toh bapakku sama mamakku pun giniin aku. Sama kawan-kawan juga aku tertutup, nggak pala bergaul. Kasarnya, citra diri benar-benar rusak la. Betul la. Nggak tahu mau kekmana. Mau cerita sama orang juga malu, nanti kan diejekin. Apalagi masih smp itu masa-masanya gaya-gayaan.
(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)
Masa remaja adalah saat terpenting dalam proses menuju kedewasaan.
Siapakah saya, apakah yang ada pada diri saya, apa yang akan saya lakukan
dengan hidup saya, apakah yang berbeda dengan diri saya dan bagaimanakah
caranya saya melakukan sesuatu sendiri adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terlalu dipikirkan di masa anak-anak, namun mulai menjadi masalah umum, nyata,
dan universal ketika seseorang memasuki masa remaja (Santrock, 1998). Pada
masa remaja, mereka mulai menyadari tentang kepastian identitas dirinya
sehingga pada remaja awal mereka mulai melakukan eksplorasi terhadap
kepribadian dirinya. Pencarian identitas diri pada masa remaja menjadi lebih kuat
sehingga ia berusaha untuk mencari identitas diri dan mendefinisikan kembali
siapakah ia saat ini dan akan menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan
identitas diri selama masa remaja ini dianggap sangat penting karena identitas diri
tersebut dapat memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi
interpersonal pada masa dewasa (Jones dan Hartmann, 1988). Susi dengan latar
memunculkan keinginannya untuk menjadi seperti sosok Kak Seto atau Ayah Edi
yang peduli pada keselamatan dan kesejahteraan anak. Keinginan itu membuatnya
mencari tahu dan belajar dari berbagai sumber tentang bagaimana menjadi seperti
sosok Kak Seto dan Ayah Edi.
“Waktu SMP sih, itu aja. Aku pengen jadi kayak kak Seto. Gitu. Sampe sekarang juga itu. Memang sih latar belakangnya karna masa laluku juga..”
“..dari TV. Si komo si komo itu. Pokoknya aku mau jadi kayak kayak guru-guru agama tapi sama anak-anak..”
“..soalnya kemarin kak Seto kan dekat sama anak-anak, ramah, baik ya gitu pikirku..”
“..kayak kemarin kan pas seminar kutanya sama ayah Edi. Kalo mau seperti ayah, sekolah dimana. Tapi dia kurang spesifik jawabnya. Dibilangnya cari ajalah pendidikan yang berhubungan ke anak. Katanya kek gitu. Aku juga nggak ngerti kenapa kek gitu, mungkin karna kita tanya langsung tentang ilmunya kali ya?. Terus kan waktu itu, ada juga
talk shownya di StarFM, kutanya lagi, pertanyaan yang sama, gitu juga jawabannya. Kalo lebih spesifik kan bisa awak ngerti kan. Kalo dibilangnya cari ini begini, ada sekolah yang mengapai pendidikan anak, mana tau serba tau semua. Mana tau kekmana-kekmana, sekolah kemana, gitu kan..”
“Selain karna latarbelakangku, aku juga ingin itu karna kemarin aku sempat baca tentang kak Seto ternyata latarbelakangnya nggak jauh-jauh dari yang kualami juga. Ayah Edi juga kayak gitu. Bapaknya tukang tendang, tukang pukul, Jadi kalo kita wujudkan. Karna cita-cita kan nggak jauh-jauh dari latar belakang kan, lebih klop dia. Karna panggilan hati juga. Terus karna gini juga semakin keras tantangan hidup orang, kalau cepat ditangani, akan semakin cepat dewasanya. Itulah dia..”
Paling kutanya lah ahlinya, langsung ke akarnya kutanya. Atau baca-baca buku di Gramed, mau juga ikut seminar-seminar.
(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2011)
Usaha Susi untuk mencari informasi dan belajar dari lingkungan tentang
masa depannya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas diri. Proses
pembentukan identitas diri adalah proses dimana seorang remaja mengembangkan
suatu identitas personal atau sense of self yang unik yang berbeda dari orang lain (individuation). Dalam psikologi perkembangan, pembentukan identitas diri merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan
tercapai pada akhir masa remaja. Sebuah identitas adalah sejumlah nilai personal
yang saling berkaitan mengenai nilai-nilai dalam pekerjaan, hubungan
interpersonal, politik dan agama (Erickson dalam Faber et.al, 2003). Pembentukan
identitas diri sebenarnya sudah dimulai dari masa anak-anak, tetapi pada masa
remaja ia menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan
perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan relasional (Grotevant dan Cooper, 1998).
Melihat pentingnya bagi remaja untuk mengembangkan identitas diri
yang stabil, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri. Sejumlah temuan literatur
(Minuchin, 1974) dan penelitian empiris (Perosa, Perosa, & Tam, 1996)
menyatakan bahwa konteks keluarga memainkan peran yang besar pada
kemampuan remaja untuk mengembangkan identitas diri yang stabil (Faber,2003).
Patterson,dkk (dalam Mullis et.al, 2009) juga menemukan bahwa perasaan remaja
dampak yang besar dan penting pada kemampuan koping dan eksplorasi mereka,
yang juga adalah kemampuan yang penting dimiliki remaja dalam proses
pengembangan identitas diri mereka. Namun, bagi Susi di dalam
mempertimbangkan masa depan menjadi seperti sosok Kak Seto, dia tidak
meminta pertimbangan orangtuanya atau orang lain di dalam mengambil
keputusan.
“Belum. Nanti mamakku pikir, banyak kali ceritanya ini. Gitu pulak nanti..”
Soalnya mamak kami itu agak-agak kolot cara berpikirnya. Nanti kubilang, aku mak mau gini-gini gini-gini, dibilangnya, jangan terlalu tinggi kali mimpi nanti nggak nyampe mereng. Katanya gitu kan. Jadi agak apa..agak susah.
(Susi, wawancara interpersonal, April 2011)
Menurut Erickson, perkembangan identitas diri pada remaja menuntut
mereka melewati tahap memilih dan menyaring begitu banyak pilihan hidup yang
ada sebelum mereka membuat komitmen pada area-area penting dalam hal
hubungan interpersonal dan ideologi hidup (Santrock, 1998). Hal ini juga
diungkapkan oleh Susi (bukan nama sebenarnya):
“...aku nanti ingin seperti kak Seto atau ayah Edi ya. Pokoknya khusus ke anak. Mungkin latar belakangnya karena aku juga dari, karna aku juga waktu kecil ngga tau mau gimana, jadi aku menilai kalau ke anak, pembimbingannya itu, kalau kita masukkan satu kata, kalau dia masih kecil, akan diingat sampai dia besar..”
“Kemarin aku uda cari tau. Di UMA ada katanya kuliah malam. Tapi cuma sekedar info-info aja. Lumayan bagus katanya kalo di UMA..” “Ini lah menyelesaikan tanggungan ini dulu, mungkin tunggu tamatlah sekolah si Abet kan. Kalo toh untuk melanjutkan sekolah, kapan aja bisa..”
Marcia (1993) mengidentifikasi masa eksplorasi—yang mana
menunjukkan pencarian sejumlah tujuan, nilai, kepercayaan—dan komitmen—
yang mana menunjukkan penerimaan satu atau lebih sekumpulan tujuan, nilai, dan
kepercayaan menjadi miliki seseorang—sebagai dua definisi dimensi pada
perkembangan identitas diri. Kemudian berdasarkan dua dimensi inilah Marcia
membagi identitas menjadi 4 status identitas diri (identity statuses) remaja yakni
identity achievement, foreclosure identity, moratorium identity dan identity diffusion.
Marcia (2002) menyatakan bahwa pola yang paling sering dimiliki remaja
dalam membentuk identitas diri dimulai dari tahap foreclosure. Sebagian besar individu meninggalkan masa kanak-kanak dengan pemikiran bahwa nilai orang
tua dan pendidik adalah absolut dan benar. Banyak remaja yang memasuki
periode perkembangan identitas dengan tahap foreclosure kemudian menemukan nilai-nilai dan arah karir mereka tidak seimbang dan searah dengan bagaimana
mereka memandang diri mereka dan dunia. Remaja-remaja inilah yang kemudian
akan memasuki masa krisis identitas. Selanjutnya masuk ke tahap moratorium,
dimana terjadi proses eksplorasi banyak pilihan dan bergumul untuk menentukan
masa depan yang tepat untuk diri mereka. Hasil yang terbaik, tahap moratorium
berakhir pada tahap achievement, dimana masa eksplorasi berakhir dan remaja
mulai membuat komitmen pada pilihan mereka. Pada pola yang tidak optimal dan
lebih sedikit dialami, seseorang akan memasuki masa remaja dengan tahap diffuse
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat remaja yang mengalami
kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya cenderung memiliki gambaran diri
yang buruk dan mengalami kesulitan untuk berpikir tentang masa depan karena
kekerasan yang dialami. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai proses pembentukan status identitas diri remaja yang
mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya.
I. B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran proses pencapaian status identitas diri seorang
remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pencapaian status
identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa
kanak-kanaknya
I. C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
menetapkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah meneliti mengenai proses
pencapaian status identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik
pada masa kanak-kanaknya dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses
I. D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat
manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang
Psikologi Perkembangan khususnya dalam memahami proses pembentukan
identitas diri pada seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa
kanak-kanaknya
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
a. Memberikan informasi bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM), terkhusus
yang bergerak dalam bidang perlindungan anak, agar semakin memahami
dampak kekerasan fisik terhadap pembentukan identitas diri remaja. Dengan
demikian, LSM dapat memberikan bimbingan dan melakukan pendampingan
yang tepat dalam memotivasi dan mengarahkan anak-anak tersebut agar bisa
melanjutkan hidup dengan lebih baik
b. Memberikan informasi masyarakat umum, khususnya para orang tua, agar
memperhatikan proses perkembangan yang sedang dialami anak-anak mereka
khususnya dalam proses pembentukan identitas. Penelitian ini juga diharapkan
dapat membantu orang tua untuk memahami dampak kekerasan pada
pembentukan identitas diri remaja dan memberdayakan masyarakat untuk
c. Membantu individu, khususnya yang pernah mengalami kekerasan pada masa
kanak-kanak, semakin memahami proses psikologis yang terjadi dan
mendorong mereka untuk bangkit dan melanjutkan hidup
I. E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan berisikan inti sari dari :
Bab I : Pendahuluan
Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teoritis
Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan
permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori identitas, pembentukan
identitas, dan kekerasan fisik.
Bab III : Metode Penelitian
Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, responden
penelitian, metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan
prosedur penelitian.
BAB II
II.A. IDENTITAS DIRI II.A.1. Definisi Identitas Diri
Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang
diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat
dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang
yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu
tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang
lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997).
Menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang
jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang
dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang
waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai
dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup
(LeFrancois, 1993).
Marcia (1993) mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen
penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur
pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan
dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan
kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang
berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri seseorang yang membuat
individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan
memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang.
II.A.2. Pembentukan Identitas Diri
Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan:
“ Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification into a more or less coherent, unique whole that provides the young adult with both a sense of continuity with the past and a direction for the future”
(Marcia, 1993:3)
Dari definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pembentukan identitas
diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan
identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan
akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal
baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan
datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat
aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang
menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan
memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan
masa lalu.
Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat
digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis)
periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki
berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius, untuk mencapai sebuah
keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan
keyakinan-keyakinan. Dimensi eksplorasi (krisis) ialah (Marcia, 1993):
a. Sudah melalui eksplorasi (past crisis)
Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past
crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu
mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang
masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah
kesimpulan yang bermakna.
b. Sedang dalam eksplorasi (in crisis)
Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang
sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaan-pertanyaan
mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup
yang penting.
c. Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis)
Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak
pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai
alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun
kepercayaan seseorang.
Komitmen adalah suatu periode dimana adanya pembuatan pilihan yang
yang secara signifikan mengarahkan kepada perwujudan pilihan yang sudah
diambil. Dimensi komitmen ialah (Marcia, 1993):
1. Seseorang dikatakan memiliki komitmen ketika aspek identitas yang
dimiliki individu berguna untuk mengarahkan perilaku di masa depan dan
tidak adanya perubahan yang besar pada aspek tersebut.
2. Tidak adanya komitmen ditunjukkan dengan keragu-raguan yang dialami
seseorang, tindakan yang terus berubah-ubah, tidak terarah, dan
membentuk komitmen personal pada saat ini bukanlah suatu hal yang
penting.
II.A.2.a. Status Identitas
Marcia (1993) mengidentifikasi eksplorasi dan komitmen sebagai dua
dimensi dasar untuk mendefinisikan status seseorang dalam mencapai sebuah
identitas diri. Berdasarkan dua dimensi dasar ini, Marcia kemudian bisa
mengklasifikasikan perkembangan pembentukan identitas diri seseorang kepada
empat status, antara lain (Rice & Dolgin, 2008):
a. Identity Diffused
Seseorang yang berada dalam status identity diffused tidak mengalami sebuah periode eksplorasi (krisis), dan mereka juga tidak membuat
komitmen pada aspek pekerjaan, agama, filosofi politik, peran gender,
ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku. Mereka tidak
telah disebutkan diatas, dan mereka juga tidak melewati proses
mengevaluasi, mencari, ataupun mempertimbangkan alternatif-alternatif.
b. Identity Foreclosure
Seseorang yang berada dalam status identity foreclosure tidak mengalami
periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen
pada aspek-aspek identitas seperti pekerjaan dan ideologi yang bukan
berasal dari pencarian mereka sendiri tapi sudah disiapkan oleh orang
disekitar mereka, khususnya orang tua. Mereka menjadi seseorang yang
diinginkan oleh orang lain, tanpa benar-benar memutuskan untuk diri
mereka sendiri.
c. Identity Moratorium
Seseorang yang berada dalam status identity moratorium sudah ataupun sedang mengalami masa eksplorasi (krisis) terhadap alternatif-alternatif
pilihan namun belum membuat komitmen pada aspek identitas. Beberapa
orang yang berada dalam status moratorium mengalami krisis yang
berkelanjutan, sehingga mereka mengalami kebingungan, tidak stabil, dan
tidak puas. Individu dengan status moratorium juga menghindari
berhadapan dengan masalah, dan mereka memiliki kecenderungan untuk
menunda sampai situasi memaksa sebuah tindakan harus dilakukan.
Seseorang yang berada dalam status identity achievement telah mengalami
sebuah moratorium psikologis, telah menyelesaikan krisis identitas mereka
dengan secara berhati-hati mengevaluasi sejumlah alternatif dan pilihan,
dan telah menyimpulkan dan memutuskan sendiri setiap pilihan yang akan
dilakukan.
Tabel 1. Status Identitas Marcia
Achievement Moratorium Foreclosure Diffusion Eksplorasi
(krisis)
Ada Dalam
proses
Tidak ada Ada atau tidak ada
Commitment Ada Ada tapi
tidak jelas
Ada Tidak
ada
II.A.2.b. Domain Identitas Diri
Marcia (1993) mengungkapkan bahwa ada 11 domain dalam identitas diri
yang terbagi dua bagian yaitu domain utama (core domain) dan domain tambahan (supplemental domain). Domain utama terdiri dari domain pendidikan/karir,
domain religius/agama, domain politik, domain sikap peran jenis kelamin, dan
domain derajat ekpresi seksualitas. Domain tambahan terdiri dari domain
hobi/minat, hubungan dengan teman, hubungan dengan kekasih, peran pasangan,
peran orangtua, dan prioritas antara keluarga dan karir.
Pencapaian kesebelas domain ini dapat meliputi semua tugas
perkembangan pada masa remaja yang pada umumnya dibahas secara
terpisah-pisah. Memasuki masa dewasa, remaja mulai mencari pekerjaan, ketrampilan, dan
profesi yang memberikan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri dan penghasilan
yang dianutnya, peran gender dan ideologi politik yang akan dianutnya. Selain itu,
remaja juga akhirnya akan menemukan teman-teman tempat berbagi dan
mengidentifikasi dirinya.
Domain hubungan dengan teman (relationships with friends) dan domain
hubungan dengan pacar/kekasih (relationships with dates) merupakan domain yang mencakup hubungan dengan orang lain sehingga isu identitas dan intimacy
tumpang-tindih pada kedua domain ini. Marcia (1993) menyatakan bahwa
intimacy adalah kualitas interaksi antar individu, mencakup keterbukaan, saling berbagi, saling percaya satu sama lain, sedangkan identitas dalam kedua domain
ini mencakup bagaimana seseorang mampu mendefinisikan dirinya lewat
hubungannya dengan orang lain, sehingga lewat hubungan tersebut kita mampu
semakin memahami diri kita.
Marcia (1993) menguraikan domain identitas diri tersebut, antara lain:
a. Pilihan pendidikan/karir (vocational choice)
Untuk remaja, hal-hal yang mencakup dalam pilihan pendidikan/karir
adalah apakah akan mencari pekerjaan, menikah dan membentuk keluarga,
atau adanya pendidikan lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mengembangkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya, hal yang disukai ataupun tidak disukai, akan membantu
kemampuan remaja untuk membuat pilihan karir yang semakin spesifik.
Dalam sebuah hubungan pertemanan, seorang remaja mencoba untuk
mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan temannya tersebut.
Hubungan dengan teman sebaya juga mencakup hal-hal seperti dasar-dasar
seseorang untuk memilih teman-temannya, apa yang bisa diberikan,
dibagikan, atau diceritakan kepada teman-temannya, apa yang diharapkan
remaja tersebut dari teman-temannya dan sebaliknya, seperti apa harapan
yang bisa dituntut oleh temannya kepada remaja tersebut.
c. Hubungan dengan pacar/kekasih (relationship with dates)
Hubungan dengan pacar/kekasih memiliki fokus yang hampir sama
dengan hubungan pertemanan, dimana remaja mencoba untuk
mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan kekasihnya. Namun dalam
hubungan ini, terdapat komponen romantis, yang juga menceritakan
bagaimana pandangan remaja tersebut dalam mengekspresikan seksualitas.
Dalam sebuah hubungan romantis, hubungan dengan pacar mencakup
hal-hal seperti apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada
pacar, apa yang diharapkan remaja tersebut dari orang yang menjadi
kekasihnya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh
kekasihnya kepada remaja tersebut.
Goede, Martijn De; Ed Spruijt; Jurjen Iedema; dan Wim Meeus (1999)
menyatakan bahwa transisi pada sebuah kehidupan pendidikan/karir dan
para remaja mengalami masalah pada aspek pendidikan/karir dan hubungan
mereka dengan orang lain, mereka mungkin akan merasa gagal juga dalam hal
lain. Hal tersebut terlihat ketika saat ini banyaknya remaja yang pengangguran
memberikan dampak yang besar dalam masyarakat, dan hal itu juga menjadi
tekanan bagi remaja secara individu. Sebuah lingkungan pendidikan/pekerjaan
yang baik akan memberikan kesempatan untuk belajar, berinisiatif, melakukan
kontak sosial dan melatih ketahanan diri. Era modernisasi dan masyarakat yang
individualis juga memberikan tekanan yang semakin besar bagi seseorang untuk
bertanggungjawab dalam setiap keputusan yang diambil, khususnya ketika
menjalin relasi dengan orang lain. Menurut Goede, et.al (1999), masalah yang
dialami dalam aspek pendidikan/karir dan hubungan dengan orang lain akan
memunculkan ketegangan psikologis yang akan memberikan dampak yang negatif
pada kesehatan mental remaja.
II.A.3. Kriteria Eksplorasi (Krisis) dan Komitmen
Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembentukan identitas diri ditandai
dengan adanya eksplorasi dan komitmen.
Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya eksplorasi ialah (Marcia, 1993):
a. Pengetahuan (knowledgeability)
Seseorang harus menunjukkan pemahaman terhadap isi dan dampak setiap
alternatif yang akan dipilih. Hal itu membuktikan bahwa pengetahuan
seseorang lebih dari sekedar pengetahuan biasa atau sesuatu yang sudah
Informasi yang dimiliki haruslah akurat dan bukan merupakan pemahaman
umum saja. Keinginan individu tersebut untuk membuat interpretasi
sendiri menunjukkan bahwa individu tersebut memang benar-benar ingin
memahami alternatif yang ada.
b. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (activity directed toward the gathering of information)
Ketika seseorang sedang berada dalam krisis identitas, aktif
mengeksplorasi pertimbangan alternatif-alternatif agar mendapatkan
informasi yang berguna untuk menyelesaikan krisis tersebut. Aktivitas
diarahkan untuk belajar lebih lagi tentang alternatif-alternatif yang ada
mencakup membaca, mengikuti kursus, dan melakukan diskusi dengan
teman, orang tua, guru, atau sumber-sumber lain yang memiliki
pemahaman tentang materi tersebut.
c. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of
considering alternative potential identity elements)
Terdapat dua pola yang berbeda ketika mempertimbangkan alternatif
identitas yang akan dicapai. Pola pertama adalah kehadiran secara
simultan dua atau lebih alternatif yang berbeda dan menunjukkan bahwa
individu tersebut sadar dengan setiap alternatif-alternatif yang ada
sehingga mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian yang dimiliki
setiap alternatif. Namun situasi tersebut menimbulkan beberapa konflik
perubahan dalam hal tujuan yang akan dicapai, nilai, ataupun kepercayaan
sepanjang waktu. Individu dengan pola ini telah mengeksplorasi berbagai
alternatif dan memiliki sejarah mengambil sejumlah komitmen pada
sejumlah pilihan, juga telah menolak beberapa alternatif dengan alasan
tertentu.
d. Tingkatan emosi (Emotional tone)
Terdapat berbagai perasaan yang muncul pada tahapan eksplorasi identitas
seperti rasa senang dan tertarik, was-was, dan rasa ingin tahu. Perasaan ini
muncul karena pada tahap eksplorasi, ada begitu banyak hal dalam dunia
yang bisa dieksplorasi dan seseorang ingin memperluas cakrawala
pemikiran mereka dengan merasakan pengalaman dan kesempatan baru.
Intensitas emosi-emosi ini juga akan bervariasi antar individu yang juga
akan merefleksikan temperamen mereka.
e. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an
early decision)
Karena adanya ketidaknyamanan subjektif yang dikaitkan dengan proses
krisis identitas, individu biasanya ingin untuk segera memutuskan sebuah
pilihan dari setiap alternatif yang ada. Keinginan tersebut ditunjukkan
dengan memutuskan sebuah alternatif dengan ragu-ragu dan tidak
mempertimbangkan pilihan tersebut itu dengan serius.
a. Pengetahuan (Knowledgeability)
Seperti kriteria masa eksplorasi, jika seseorang memiliki komitmen yang
sungguh-sungguh pada sebuah tujuan, nilai, ataupun kepercayaan,
seharusnya ada bukti mengenai pemahaman yang detail, jelas dan akurat
mengenai hal tersebut.
b. Aktivitas untuk mengimplementasikan aspek identitas yang dipilih
(Activity directed toward implementing the chosen identity element)
Adanya komitmen pada aspek identitas akan mengarahkan pada ekspresi
atau realisasi dari pilihan yang telah dibuat. Sejumlah aktivitas seperti
persiapan untuk hidup masa depan yang konsisten dengan aspek identitas
yang dimiliki oleh orang tersebut akan menunjukkan implementasi dari
pilihan yang telah dibuat.
c. Tingkatan emosi (Emotional tone)
Adanya komitmen pada identitas biasanya akan diekspresikan dengan
perasaan percaya diri, stabilitas, dan rasa optimisme terhadap masa depan.
Walaupun seringkali kesadaran akan kesulitan-kesulitan yang mungkin
muncul ketika mengimplementasikan aspek identitas tersebut, namun hal
tersebut tidak mengurangi keputusan untuk melakukan pilihan yang telah
diambil.
Sering kali komitmen pada identitas berawal dari identifikasi dengan orang
tua, saudara yang lain, guru, atau orang-orang yang dipelajari dari sekolah
ataupun media massa.
e. Proyeksi terhadap masa depan (Projection of one’s personal future)
Komitmen pada identitas memberikan sebuah mekanisme untuk
mengintegrasikan masa lalu dengan masa kini dan antara masa kini dengan
masa yang akan datang. Aspek identitas akan direfleksikan dalam
kemampuan untuk memproyeksikan diri mereka kepada masa depan dan
mendeskripsikan tipe-tipe aktivitas yang ingin mereka lakukan selama
lima atau sepuluh tahun yang akan datang.
f. Daya tahan terhadap godaan (Resistance to being swayed)
Jika komitmen sudah terbentuk, seseorang akan konsisten dan bertahan
ketika menghadapi godaan atau pengaruh untuk meninjau ulang komitmen
yang telah dibuat bahkan menggantinya.
II. A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri
Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:
a. Pola asuh
Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan
identitas diri remaja
Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada
lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh
komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada
lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan
sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu
pilihan tertentu.
c. Model untuk identifikasi
Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan
harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan
idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai
model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri.
d. Pengalaman masa kanak-kanak
Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa
kanak-kanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas
pada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 1998), identitas
berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak.
e. Perkembangan kognisi
Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan
mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat
menyelesaikan krisis identitas dengan baik.
Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi
membantu tercapainya identity achievement. g. Pengalaman kerja
Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia
kerja akan menstimulasi identitas diri.
h. Identitas etnik
Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan
mempengaruhi pencapaian identitas.
II.B. MASA REMAJA
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat
Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari
identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).
Santrock (1998) menyatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan
perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Sedangkan WHO
(dalam Sarwono, 2000) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologis,
psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga disebutkan bahwa remaja adalah suatu
masa dimana:
a. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri
Piaget (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
berada dalam yang tingkatan yang sama dengan orang dewasa,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur
13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah
menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu
sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya (Ali, 2004). Awal masa remaja
berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja
bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum
(Hurlock, 1999).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa masa
remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana
remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status
anak-anak. Masa remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun.
Havighurst (dalam Dacey & Kenny, 1997) mengemukakan 9 (sembilan)
tugas perkembangan pada tahapan remaja, yaitu:
1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya
6. Mempersiapkan karier ekonomi
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan
untuk berperilaku-mengembangkan ideologi
Pencapaian tugas perkembangan tidak terlepas juga dari pencapaian
identitas diri secara psikososial . Menurut Erikson (dalam Dacey and Kenny,
1997) masa remaja merupakan masa kritis dalam pencapaian identitas diri. Bila
seorang remaja mencapai identitas diri, seorang remaja akan memiliki
gambaran-gambaran diri yang dapat dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan remaja
yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang
disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (kebimbangan akan identitasnya). Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu,
mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan
dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 1998).
Kekerasan dan pengabaian pada anak bisa terjadi dalam banyak bentuk
dan bervariasi. Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi pada anak ialah
kekerasan fisik. The Office on Child Abuse and Neglect mendefinisikan kekerasan fisik (physical abuse) berupa tindakan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan
secara fisik, termasuk kematian pada seorang anak. Kekerasan fisik mencakup
luka pada tubuh lewat tonjokan, pukulan, tendangan, atau pembakaran (National
Center on Child Abuse and Neglect, dalam Clark, Clark, & Adamec, 2007).
Health Canada (dalam Knoke, 2008) mendefinisikan kekerasan fisik
sebagai penggunaan kekerasan dengan sengaja pada bagian tubuh anak apapun,
yang mengakibatkan luka yang tidak terjadi secara kebetulan (non-accidental). Hal tersebut bisa mencakup memukul anak dalam waktu tertentu atau juga
sejumlah kejadian yang berpola. Kekerasan fisik mencakup perilaku-perilaku
seperti mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, membakar atau
meracuni seorang anak, menenggelamkan anak, atau bentuk kekerasan lain yang
berbahaya.
Suyanto (2002) menambahkan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan
yang paling mudah dikenali. Tindakan yang terkategorisasi kekerasan jenis ini
adalah menampar, menendang, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya.
Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban
seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang
kondisinya lebih berat. Dong, Anda, et. al (2004) menyatakan bahwa seseorang
yang mengalami kekerasan fisik adalah seseorang yang sering atau sangat sering
dan kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu
dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh mereka.
II.D. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat
Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari
identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).
Pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian
pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak
kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan
memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu
maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam
pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti
pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya
identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan
dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu (Marcia, 1993). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan
penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja.
Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan
masalah dan emosi (Wahab, 2011). Efek yang timbul akibat perilaku orang tua
yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan
kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan,
secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan
pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak (child abuse) juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada
anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya (abused children) lebih sering menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial
yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang
disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat
anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam
hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis (DeGenova,
2008).
Penelitian Rummell and Hunsen (1993) menyatakan kekerasan fisik akan
memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal
dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami
kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti
merasa malu, sadar diri (self-conscious) dan merasa tidak dimengerti atau tidak disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang
mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal
tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami
memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek
pekerjaan dan pendidikan.
Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx (2002) tentang pengaruh
abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga
menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami
kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang
lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang
lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan.
Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali
menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan
pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya,
sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas
diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi
sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan
teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap
aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan
mengalami hambatan.
Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak
memiliki batasan persepsi (perceptual boundaries) yang lebih luas dalam
mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber
memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah
seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak
membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar
terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom
kecemasan (Shackman, Shackman & Pollack, 2007).
Briere dan Elliot (dalam Kendall-Tackett, 2002) juga menyatakan bahwa
anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola
pemikiran (internal working model) dimana mereka melihat dunia ini sebagai sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka
alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang
ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan
mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi
yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada
stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi.
Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan
membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya
berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa
yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses
pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses
mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup (Marcia, 2002).
Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga
kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses
Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi
- Komitmen
Domain Vocational Domain
Relationship w/
3. Model untuk identifikasi
kanak-BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat
pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam proses pembentukan identitas diri, maka
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi
pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari, 2001).
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) metode kualitatif
memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian
secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh
kategori yang ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah
prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu
dan kasus-kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam
dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian,
orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.
Suparlan (dalam Patilima, 2005) mengatakan bahwa dalam pendekatan
masyarakat sebagai sebuah satuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Karena
itu penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh untuk
memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang
berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial
masyarakat yang diteliti sebagai kasus itu sendiri.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada
peneliti untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan,
perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan
pendekatan kuantitatif. Pemilihan metode kualitatif menjadi metode dalam
penelitian ini karena pembentukan identitas merupakan suatu proses yang
disebabkan tidak hanya sebuah faktor, melainkan berbagai faktor. Selain itu,
faktor yang dialami oleh masing-masing individu dapat berbeda-beda. Peneliti
juga dapat menemukan hal-hal baru dalam pembentukan identitas seseorang yang
mengalami child abuse. Untuk mendapatkan faktor yang mendalam, luas dan
kemungkinan munculnya hal-hal baru inilah yang membuat peneliti memilih
metode kualitatif untuk penelitian ini.
III. B. Metode Pengumpulan Data
Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.
Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya,
analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah