• Tidak ada hasil yang ditemukan

D Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

LANDASAN TEOR

II. D Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).

Pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu (Marcia, 1993). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja.

Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan

masalah dan emosi (Wahab, 2011). Efek yang timbul akibat perilaku orang tua yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan, secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak (child abuse) juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya (abused children) lebih sering menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis (DeGenova, 2008).

Penelitian Rummell and Hunsen (1993) menyatakan kekerasan fisik akan memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti merasa malu, sadar diri (self-conscious) dan merasa tidak dimengerti atau tidak disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami kekerasan fisik dan yang tidak. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik juga

memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek pekerjaan dan pendidikan.

Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx (2002) tentang pengaruh

abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan mengalami hambatan.

Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak memiliki batasan persepsi (perceptual boundaries) yang lebih luas dalam mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber daya atensi (attentional resources) untuk memproses ekspresi marah, dan

memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom kecemasan (Shackman, Shackman & Pollack, 2007).

Briere dan Elliot (dalam Kendall-Tackett, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola pemikiran (internal working model) dimana mereka melihat dunia ini sebagai sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi.

Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup (Marcia, 2002). Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga mengalami berbagai masalah baik secara fisik dan psikologis sebagai dampak dari

kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses pembentukan identitas dirinya.

KERANGKA BERPIKIR Masa Anak-anak Masa Remaja Remaja Physical Abuse dalam Keluarga

Dampak Fisik dan Psikologis

Pembentukan Identitas Diri

Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi

- Komitmen

Domain Vocational Domain

Relationship w/ Friends Domain Relationship w/ Dates Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Pola Asuh 2. Homogenitas Lingkungan

3. Model untuk identifikasi

4. Pengalaman masa kanak-

kanak

5. Perkembangan kognisi

6. Sifat individu

7. Pengalaman kerja