ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
IV. A.1.d.1 Riwayat Kekerasan Fisik
Sejak kecil Tika tinggal bersama bibinya. Ia diberikan ibunya kepada bibinya karena bibinya tidak memiliki anak. Saat tinggal bersama bibinya, dia sangat dimanja dan tidak pernah dimarahi oleh bibinya bahkan saat dia merusak atau memecahkan sesuatu.
“.. waktu kecil kan, sampe dirumah aku tuh umur 5 tahun. Selebihnya dari situ aku nggak dirumah tinggal”
(R1.W2/b.57-60/hal.12)
“ Bou nggak punya anak, jadi kan kemarin karna aku lah yang dibilang agak lumayan manis, ya aku diambil bou”
((R1.W2/b.65-67/hal.12)
“Ya itulah. Bisa dibilang didikan bou samaku, apapun yang aku rusaki, diketawain gitu. Kupegang ini pun sampe pecah diketawain..”
(R1.W2/b.88-91/hal.12)
Saat berusia lima tahun, Tika akhirnya dibawa ibunya kembali ke rumah karena ia mulai memanggil bibinya dengan sebutan ibu. Walaupun sudah dibawa pulang ke rumah, Tika masih sering datang ke rumah bibinya. Sampai ketika sepupunya lahir, Tika merasa cemburu karena bibinya lebih sayang dengan sepupunya tersebut dan akhirnya Tika pun pulang ke rumah.
“..iya. Tapi karna uda sempat yang umur empat atau lima tahun kemaren, aku sempat manggil bou mamak, ditarik mamak lagi. Lagian aku pun, walaupun uda ditarik mamak, masih seringlah kerumah bou, tapi ada lah
bapak, udah lahirlah anaknya yang pertama. Ya bisalah dibilang lebih lucu dia lah daripada aku jadi yah dia lah yang jadi disayang bou. Itulah yang disuruh-suruh datang kerumah. Yaudah, aku cemburu terus pulang kerumah. Aku sendiri yang jadinya pulang..”
((R1.W2/b.69-83/hal.12)
Saat tinggal bersama bibinya, Tika sangat dimanjakan dan jarang dimarahi. Hal tersebut membuatnya merasa tidak perlu takut bertingkah laku sesuka hati dirumah karena sejak kecil dia tidak terbiasa diatur dan dilarang. Ia juga belum menyadari bahwa dirumah mereka ada banyak peraturan yang tidak boleh dilanggar. Tidak terbiasanya Tika dan keinginan untuk masih membawa kebiasaan dan pola hidup saat tinggal bersama bibi membuatnya salah tingkah dan sulit menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku dirumahnya. Akibatnya ia jadi sering membuat keributan saat memecahkan sesuatu dan melanggar larangan- larangan yang dibuat oleh kedua orangtuanya. Hal tersebut yang membuatnya akhirnya sering dimarahi dan dipukul.
“Jadi waktu anak-anak, ya namanya kita tarok yang disana kesini, nggak bisa pulak anak-anak. Dirumah mamak nggak bisa kayak gitu.. Misalnya ini dipegang, bersalahan jadi pecah pasti dimarahi. Dipukul, diapai gitu. Pokoknya ya jadi salah tingkah..”
((R1.W2/b.91-98/hal.12-13)
“..aku pun, kekmanalah ya, disana, ini boleh, itu boleh. Kalo di rumah ada yang nggak boleh, ada yang boleh. Jadi aku, semuanya kutaroklah... Waktu membuat nasi, pecah piring, kayak-kayak gitulah. Makanya aku dimarahi terus”
(R1.W2/b.121-131/hal.13)
Sejak umur lima tahun Tika sudah mendapatkan kekerasan fisik dari orangtuanya. Ketika dia membuat keributan kecil saja dirumah seperti
menjatuhkan atau memecahkan barang, ayahnya langsung emosi dan memukulnya. Jika ayahnya sedang dirumah, ia juga dilarang menonton televisi. Alasan ayahnya, dia sudah membuat keributan sehingga akan dipukul. Padahal Tika sama seperti anak-anak seusianya yang ingin tahu banyak hal sehingga aktif bergerak kesana kemari dan juga merasa ingin tahu dengan lingkungan sekitarnya. Tapi bagi ayah Tika hal itu merupakan pelanggaran dari peraturan yang dibuatnya sehingga dia pun memukuli anak-anaknya.
“Mulai dari kecil sih udah. Bapak pas aku mulai umur lima tahun udah gitu. Misalnya kalau bising dikit aja di rumah, udah emosian bapak”
(R1.W1/b.40-42/hal.1)
“Waktu kecil, misalnya dikit aja aku ribut misalnya masalah TV aja, janganlah kau disitu, bikin ribut aja.... Terus kalo misalnya, dulu kami anak bapak, nggak boleh yang namanya lasak (aktif, bergerak kesana kemari)” (R1.W1/b.168-178/hal.4)
Main-main ke kandang ayam aja untuk liat ayam nggak boleh. Jadi kalo itu, gara-gara itu aja kami pigi ke situ, ketahuan dia, kena pukul..”
(R1.W1/b.168-178/hal.4)
Tika mengaku bahwa dirinya tidak setiap hari dipukul oleh ayahnya. Dia dipukul hanya saat ayahnya sedang marah. Ayah selalu memukulnya dengan menggunakan tali pinggang. Bagian tubuh yang sering menjadi sasaran pemukulan adalah bagian kaki, tidak pernah bagian tubuh yang lain.
“Kalo misalnya marah aja. Gak pala setiap hari kali lah. Waktu misalnya marah kali gitu. Dimana kami salah lah waktu dipukul..”
(R1.W1/b.57-60/hal.12)
“Iya . Nggak pernah yang lain, selalu tali pinggang..” (R1.W1/b.180-181/hal.12)
“Dia mukulnya pake ikat pinggang sambil marah-marah. Bapak biasanya mukul pake ikat pinggang itu kaki. Kaki aja. Kalau yang lain nggak mau bapak..”
(R1.W2/b.141-144/hal.13)
Saat Tika dipukul ayah dengan tali pinggang, ibunya langsung datang membela. Pembelaan itu membuatnya hanya dirambas satu atau dua kali saja dengan tali pinggang ayahnya.
“Itu pun kalo biasanya sih kalo uda dipukul di dapur, mamak langsung datang itu”
(R1.W2/b.306-308/hal.12)
“Langsung mengapai. Jadi kalo apa paling satu atau dua kali aja kenak” (R1.W2/b.309-310/hal.13)
Selain akibat dari keributan ataupun perilaku yang tidak sesuai dengan peraturan dirumah, ia juga pernah mengalami beberapa kekerasan fisik akibat melindungi ibunya dari kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Kekerasan tersebut seperti tersiram kopi panas, kena lemparan puntung rokok, dan disiram air comberan.
“Kalau itu, dulu waktu melindungi mamak, paling sering kena apa rokoknya itu, dilemparkannya ke arah mamak. Itu sering kena ke tangan gitu”
(R1.W1/b.155-158/hal.4)
“...kalau nggak kena itu, paling disiramnyalah air comberan..” (R1.W1/b.161-162/hal.4)
“Jadi kemarin ntah masalah orang itu, masalah keuangan juga, berantam. Jadi disiram bapaklah pake kopi. Aku pun yang namanya panas, kupeluk mamak, kenak juga lah aku. Yaudah. Tangan kena, baju pun kotor juga disitu..”
Ayah Tika sering berselingkuh dengan wanita dari cafe-cafe yang ada di daerah tempat tinggal mereka. Tika sendiri mengetahui sudah berapa jumlah dan siapa saja wanita yang pernah menjadi selingkuhan ayahnya. Perselingkuhan itu membuat ibu berang, marah, dan selalu melakukan konfrontasi secara verbal tentang masalah perselingkuhan tersebut pada ayah. Konfrontasi tersebut selalu berujung pada penyiksaan dan pemukulan secara fisik yang dilakukan ayah kepada ibunya. Pertengkaran dan pemukulan itu sering disaksikan secara langsung oleh Tika.
“..yang sama mamaknya bapak yang ringan tangan kali. Ntah apapun yang kena, terserahlah”
(R1.W2/b.144-147/hal.13-14)
“..yang masalah cewek itu kak. Udah gitu terus bapak mukul, mamak pun terus mamak melawan. Kami pun bilang sama mamak, udalah mak, diamlah mak. Tapi terus mamak mengapai. Kau terus pacaran gini gini. Dari dulu kau uda kubiarkan. Sekarang kau bawa-bawa. Udah besar anakmu. Terus mau dipukul bapaklah, katanya, kau belum pernah merasakan kepala ikat pinggang? Biar kutarok samamu”
(R1.W2/b.164-174/hal.14)
“..Terusnya bapak mu gini gini gini katanyalah gitu. Terus main perempuan, ntah apa terus kerjaannya. Nggak pernah dia ngasih uang kesini. Katanya gitu. Jadi datang bapak, terus mulut kau itu. Dari yang dulu itu terus kau ungkit-ungkit kata bapak gitu. Kopi yang dibuat bapak pun jadi kenaknya ke aku..”
(R1.W2/b.404-412/hal.19)
Selain suka main perempuan, ayahnya juga sering mabuk-mabukkan bersama teman-temannya dirumah mereka. Sehingga ketika ia dan saudara- saudaranya secara tidak sengaja membuat keributan kecil dirumah, seperti berebut saluran televisi yang ingin ditonton, membuat ayahnya marah, berkata kasar, dan memukuli mereka semua dengan tali pinggang.
“Pas pula lagi rame dirumah kawan-kawan bapak. Jadi orang itu, namanya supir, ntah minum-minum dikamar ketiga, ntah gimana, aku nggak tahu.. Jadi udah kayak gitu, aku bising kali disitu.. nonton ini, dipencet ini. Aku nonton ini.. jadi berantam. Bisinglah, ribut jadinya. Keluar bapak marah- marah.. Jadi disuruhlah kami jejer semua, yaudah dipukul pake ikat pinggang juga. Mamak pun jadi ikut kenak”
(R1.W2/b.322-338/hal.17)
“Ntah apalah, cakap kotor, ntah gimana. Apalagi tadinya udah mabuk minuman keras kan. Udah ntah gimana”
(R1.W2/b.341-343/hal.17)
Ia merasa tidak dekat dengan ayahnya, sehingga ketika ayahnya di rumah pun, mereka bisa tidak saling bertegur sapa seharian. Hal tersebut memicu rasa dendam di hati Tika ketika ayah memukulnya. Selain itu, ia merasa kemarahan ayahnya sering tidak beralasan. Sifat ayahnya yang terlalu sensitif tentang masalah-masalah diakuinya sering membuat dirinya menjadi sasaran ayahnya.
“Bapak emang nggak jelas gitu kalo misalnya marah.. Terus dulu kan rame, jadi sering akrab. Kekmana ya, bapak itu sensitif kali orangnya... Walaupun banyak laki-laki dirumah, jangan sampe dekat sama orang itu. Yaudah, kalo aku suka aja, kucakap-cakapi, apa gitu. Bapak marah. Baru kalo misalnya mandinya pun lama-lama, dikit-dikit mandi, pun mau juga marah. Itu keseringan...”
(R1.W2/b.275-300/hal.16-17)
IV.A.1.d.2. Identitas diri pada domain pilihan pendidikan/karir (vocational) IV.A.1.d.2.a. Eksplorasi
Kriteria yang menunjukkan ada atau tidaknya eksplorasi yang dilakukan Tika dalam menentukan identitas diri pada domain pilihan pendidikan/karir dapat digambarkan sebagai berikut.
Saat Tika akan menentukan jenis sekolah yang akan dia pilih setelah tamat dari SMP, ia punya keinginan untuk belajar di sekolah tinggi kejuruan, khususnya bagian otomotif atau listrik. Ketertarikannya dengan jurusan ini berawal dari kesukaannya mengutak-atik benda-benda elektronik dirumahnya. Pemahamannya tentang sekolah kejuruan ini masih sebatas bagaimana perlakuan yang akan diterimanya sebagai seorang perempuan saat proses pendidikan yang didalamnya lebih banyak peserta didik laki-laki. Saat orang tua menyuruhnya melanjutkan pendidikan ke SMA saja, ia memilih SMA berdasarkan banyak tidaknya teman- temannya yang melanjut ke SMA tersebut.
“Sebenarnya sih dulu, aku itu nggak suka yang namanya SMA, karena bosen kali yang namanya itu belajar. Aku pengen kian STM kian, bagian otomotif gitu. Ku bilang kalo misalnya SMA pun biar sama-sama dengan kawan, SMA Negeri 14 aja..”
(R1.W1/b.192-198/hal.4-5)
“..pernahlah nanya-nanya, bang kalau perempuan disitu digimanain? Kubilang gitu kan. Emang sih kalo perempuan disitu, yang namanya laki- laki ya perempuan itu agak-agak disayangi katanya gitu.. Kalo sama laki- laki ngeri katanya. Kalau misalnya kita nggak ngerjain tugas mau nanti push up disuruh, apa disuruh, katanya. Ngeri juga ya kubilang gitu..”
(R1.W1/b.251-261/hal.6)
“Kelas 3 SMP, memang suka gitu aja bagian listrik gitu. Apalagi kalo misalnya dirumah, TV pun rusak itu gara-gara aku. Aku suka menengok- nengok apanya. Ini apa sih, gitu-gitu”
(R1.W1/b.281-285/hal.6)
Untuk pilihan pendidikan setelah lulus SMA, dia juga punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan di bidang hukum. Ketertarikannya pada bidang ini muncul saat dia melihat proses hukum yang dialami ayahnya. Namun pengetahuannya tentang bidang hukum belum ada.
“Kedepannya karna udah SMA ini awak jalani enaknya itu bagian PKN, hukum gitu..”
(R1.W1/b.309-310.hal.7)
“Sebenarnya sih sukanya itu karena kemarin liat masalah bapak itu. Disitu timbulnya, ah pengenlah jadi kayak gini. Kalau misalnya dulu sih, nggak pala niat kali masuknya yang namanya hukum”
(R1.W1/b.318-322.hal.7)
2. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (Activity directed toward the gathering of information)
Ketika mempertimbangkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan, ia mencari informasi dari abang yang tinggal di dekat rumahnya. Informasi yang dia tanyakan ke abang tersebut adalah tentang suasana sekolah kejuruan itu. Ia juga belum mencari informasi tentang bidang hukum yang akan dia tekuni setelah lulus SMA.
“Kelas 3 SMP, kebetulan abang juga SMK itu otomotif karena suka aja..” (R1.W1/b.225-226.hal.5)
“Pengen aja. Lagian kata abang kan, pernahlah nanya-nanya, bang kalau perempuan disitu digimanain?..”
(R1.W1/b.250-251.hal.6)
3. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of considering alternative potential identity elements)
Untuk pilihan pendidikan yang akan ditekuninya setelah lulus SMP, Tika berencana untuk masuk di SMK jurusan otomotif atau listrik. Selain jurusan otomotif, jurusan menjahit juga menjadi pilihannya. Namun pilihan-pilihan tersebut tidak jadi Tika pertimbangkan dengan serius karena orangtuanya tidak
setuju dan banyaknya biaya yang dibutuhkan untuk STM jurusan menjahit tersebut.
“... karena sebagian juga aku suka menjahit aku minta di bagian menjahit kian. Emang sih mamak setuju setuju kian kalo misalnya tentang menjahit itu. Itu nanti banyaknya biaya kau perlu. Mesin jahit mamak mesti ada. Apa lagi nanti kau itunya, praktek-prakteknya kesana-kesini. Katanya gitu..” (R1.W1/b.290-302/hal.6-7)
4. Tingkatan emosi (Emotional tone)
Saat Tika menyampaikan keinginan pada orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di bidang yang diminatinya, orangtuanya tidak menyetujui dan memilihkan alternatif pendidikan yang akan dijalani Tika. Perasaan stress dan bosan karena selalu diatur oleh kedua orangtuanya membuat Tika tidak terlalu serius memutuskan bidang pendidikan apa yang akan ditekuninya. Tindakan kedua orangtuanya membuat Tika merasa pada akhirnya dia hanya akan menjalani pilihan kedua orangtuanya.
“..Stress. Toh ujung-ujungnya juga mamak. Untuk apa..” (R1.W1/b.365-366/hal.8)
“SMA 5 pun kayak gitu. Awak minta kemaren STM, awak minta bagian menjahit juga, nggak mau mamak. Yaudah capeklah aku mikirnya, toh juga ujung-ujungnya mamak..”
(R1.W1/b.384-388/hal.8)
“Nggak ada. Uda bosen. Kayak gitu-gitu..” (R1.W1/b.455/hal.10)
5. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an early decision)
Tika punya pilihan sendiri untuk bidang yang akan ditekuninya di masa depan tapi karena pilihannya tidak pernah disetujui oleh orangtuanya sehingga ia memutuskan akan menjalani pilihan apapun yang disuruh oleh orangtuanya.
“Jadi tergantung mamak karena misalnya aku pengen itu pun, aku mau kayak mana pun, pasti ya diapain mamak. Jangan kesitu katanya. Nanti ke situ kau bakalan nyesal, katanya gitu. Yaudah...”
(R1.W1/b.337-341.hal.7-8)
IV.A.1.d.2.b. Komitmen
Kriteria yang menunjukkan ada atau tidaknya komitmen yang Tika miliki dalam menentukan identitas diri pada domain pilihan pendidikan/karir dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Pengetahuan (Knowledgeability)
Awalnya Tika yang tertarik pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) di sekolahnya ingin mempelajari bidang hukum sehingga nantinya bisa bekerja sebagai seorang hakim. Namun karena orangtuanya melarang dengan alasan biaya dan tidak adanya saudara mereka yang bisa membantu dalam bidang tersebut, akhirnya ia memutuskan untuk melakukan apa yang dipilih oleh orangtuanya untuk dia kerjakan. Ibu menyuruhnya untuk bekerja di salah satu bank swasta dimana saudara mereka bekerja dan ia juga akan mengambil program diploma di bidang ekonomi sambil dia bekerja disana. Seperti saran ibunya, Tika akan kuliah sambil bekerja agar nanti lebih cepat mendapatkan kenaikan jabatan saat bekerja di bank.
“Kedepannya karna udah SMA ini awak jalani enaknya itu bagian PKN, hukum gitu. Sukanya sih hukum, cuman datang mamak lagi, kau pun dikata nantulang, kau masuk bank BCA aja. Nanti kalo misalnya melanjutnya ntah D apa, Diploma masuknya bagian ekonomi aja kata mamak”
(R1.W1/b.309-316.hal.7)
“Kalo misalnya kau udah ekonomi nanti kau dimasukkan nantulang di bank BCA, kau kan bisa nanti kuliah sambil kerja disitu. Bisa memperdalam apa, bisa naik pangkat gara-gara pendidikan kau pun makin bagus, kata mamak gitu. Yaudah lah terserah mamak lah”
(R1.W1/b.427-433.hal.9)
2. Aktivitas untuk mengimplementasikan aspek identitas yang dipilih (Activity directed toward implementing the chosen identity element)
Penolakan orangtuanya atas pilihan pendidikan yang diinginkannya membuatnya menjalani pendidikan sesuai dengan pilihan orangtuanya. Ia juga bisa menemukan hal-hal positif yang membuatnya merasa bahwa pilihan orangtuanya adalah pilihan terbaik untuknya.
“Nggak lagi lah. Uda kemarin aku coba SD, minta kemarin SMP 3, masuknya NEM awak di SMP 3, mamak mintanya SMP 8, yaudah SMP 8” (R1.W1/b.371-374.hal.8)
“Kalo misalnya aku ikuti bisalah dibilang kayak yang di SMA 5 ini, mungkin kalo misalnya aku mengikuti kian di SMA 14 atau STM itu mungkin nggak adalah dibilang orang “ih, masuk SMA 5 berarti pintar lah gitu..” Karena mamak yang bilang SMA 5, emang sih belakangan ini kalo aku bilang, dimana sekolah dek, SMA 5, pintar kau ya. Ada dikit lah enaknya..”
(R1.W1/b.346-356/hal.7-8) 3. Tingkatan emosi (Emotional tone)
Setelah SMP, ia berencana masuk SMA 14 supaya bisa bersama-sama dengan teman-temannya. Tapi orangtuanya akhirnya mendaftarkannya di SMA 5, sehingga Tika pun akhirnya melanjutkan pendidikan di SMA 5. Perasaannya saat menjalani pilihan orangtuanya biasa saja, tapi muncul rasa menyesal karena
akhirnya ia merasa sendirian dan tidak memiliki teman pada tahun pertama dia masuk di SMA tersebut.
“Ya biasa aja. Emang sih kelas 1 sama sekali nggak ada kawan lah. Sama sekali nggak ada..” (R1.W1/b.211-213/hal.5)
“Ya waktu sekolah pertama kali nyesal kali rasanya. Udah nggak ada kawan, nggak ada kenalan. Nyari kawan pun susah, apalagi dibilang di SMA 5 ini orang kaya semua..”
(R1.W1/b.269-273/hal.5)
4. Proyeksi terhadap masa depan (Projection of one’s personal future)
Tika belum memiliki bayangan atau gambaran tentang masa depannya. Ia juga belum memikirkan dan merencanakan aktivitas apa yang akan dia kerjakan di masa yang akan datang.
“Belum terpikir. Belum ada rencana..” (R1.W1/b.360.hal.8)
“..Nggak tahu lagi aku. Nggak ada niat kalo misalnya lanjut-lanjutin..” (R1.W1/b.364-365.hal.8)
5. Daya tahan terhadap godaan (Resistance to being swayed)
Walaupun Tika sudah memutuskan untuk memilih pilihan pendidikan dan karir yang akan dipilih oleh ibunya, namun dia juga masih berusaha menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di bidang hukum.
“Yah kayak gitulah (tertawa). Nggak tahu lagi. Kalo awak bilang sih hakim, cuman ujung-ujungnya kata mamak sarjana ekonomi apa lah, pokoknya di bagian ekonomi kau nanti, yaudah. Gitunya kata mamak.
(R1.W1/b.404-414.hal.9)
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan Tika mencapai status identity diffused pada domain pendidikan/karirnya. Tika memutuskan untuk tidak terlalu
mempertimbangkan dan memikirkan pilihan pendidikannya kedepan. Dia juga berencana untuk melakukan apapun yang akan dipilihkan orangtuanya kepadanya. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di bidang hukum menemui hambatan yaitu tidak adanya persetujuan dari orangtuanya. Hal tersebut membuat Tika tidak lagi benar-benar mencari tahu tentang pilihannya tersebut. Ia merasa keinginan atau ketertarikannya tidak pernah disetujui oleh orangtuanya sehingga dia tidak merasa perlu repot untuk mencari tahu dan mempertimbangkan sejumlah alternatif untuk pilihan pendidikan. Eksplorasi yang tidak dilakukan secara mendalam pada setiap alternatif pilihan pendidikan/karir sehingga menghasilkan komitmen yang belum jelas untuk pilihan pendidikan/karir kedepannya.
IV.A.1.d.3. Identitas diri pada domain hubungan dengan teman (relationship