• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

IV. A.3.d.1 Riwayat Kekerasan Fisik

Sejak kecil, Josh sudah sering pergi dari rumah. Awalnya hanya satu atau dua hari saja. Lama kelamaan dia terbiasa tidak pulang ke rumah. Ia lebih memilih tinggal di lampu merah dari pada tinggal di rumah. Ia pun akhirnya pulang ke rumah jika keberadaannya sudah diketahui oleh orangtuanya dan mereka datang menjemputnya.

“Sebenarnya sebelum kelas enam udah keluar juga. Dari kelas tiga, aku udah mulai begadang lah..”

“Kalau main ke rumah teman nggak pernah. Cuman nggak pulang aja aku, di lampu merah aja..”

(R3.W1/b.21-23 /hal.128)

“Kalau dulu, aku pulang kalau dijemput. Sebelumnya pernah juga sampai setahun, orang itu nggak tahu aku dimana..”

(R3.W1/b.27-29/hal.128)

Di luar rumah, Josh bergaul dengan banyak orang. Tidak jarang teman- temannya mengajaknya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik seperti bermain

playstation sepanjang hari dan ngelem (menghirup lem). Ia pun terpaksa ngamen

(bernyanyi di jalan) untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membeli makanan dan bermain playstation. Dia tertarik ngelem karena melihat temannya sedang ngelem di rumah. Saat ini Josh sudah tidak lagi bermain

playstation dan ngelem. Dia merasa hal-hal tersebut tidak berguna dan justru membawa dampak buruk bagi dirinya.

“Diajak begadang. Ayok begadang. Aku dulu juga suka main PS. Makanya ngamen lah supaya dapat duit untuk main PS. Tapi sekarang aku udah berpikir, PS itu nggak ada gunanya. Nggak bisa dimakan..”

(R3.W1/b.306-311 /hal.134)

“Dulu pernah aku nge-lem. Disitu kutengoklah kan, orang itu pun kalo udah nge-lem kan, gilak orang itu. Tapi nggak lama kutinggalkan juga..”

(R3.W1/b.323-326 /hal.134)

“Pertamanya aku nge-lem juga. Sebelum aku di simpang pos ini. Nge- lemnya waktu dirumah. Kan main-main ke tempat kawan, kawannya ini ada yang nge-lem waktu sekolah. Kutengok. Satu sekolah. Nge-lem di sekolah aku pernah juga”

(R3.W1/b.328-334 /hal.134)

Saat ini Josh mencari uang dengan ngamen di daerah Simpang Pos. Dulu ia juga sempat menjadi penjual koran dan penjual rokok. Tapi dua profesi itu tidak

lagi dijalankannya karena ia mengaku dirinya pernah ditipu oleh agen koran yang mempekerjakannya dan ia juga merasa tidak sanggup berjualan rokok yang sering malah dipakainya sendiri.

“Iya kak. Jual koran, jual rokok juga. Jual koran aku pagilah. Dulu pernah juga, aku emosi kali liat apanya.. agen korannya itu..”

(R3.W1/b.376-379 /hal.135)

“Jual tiga hari aja. Nggak tahan aku. Habis rokoknya ntah kemana-mana aja. Daripada berutang banyak aku, bagus berhenti..”

(R3.W1/b.405-408 /hal.136)

“Sebenarnya yang diajaknya cuman empat orang, lima orang. Tapi disuruhnya semua masuk.. Jadi.. cobalah kalau semua datang kan.. disitu aku belum makan, jadi semangat kali lah aku kan jualan koran. Ternyata waktu mau ngambil korannya, banyak kutengok juga yang ngambil. Padahal cuma lima orang yang disuruhnya datang. Emosi kali lah aku. Besoknya kuminta gajiku. Kalau tahu awak tadi kayak gitu, nggak datang aku. Aku ngamen disimpang, makan aku..”

(R3.W1/b.381-398 /hal.135-136)

Josh memiliki satu orang abang dan empat orang adik. Empat orang adiknya yang masih kecil-kecil tinggal bersama orangtuanya. Sedangkan abangnya saat ini tinggal di Yogyakarta. Dulu abangnya juga seorang pengamen, tapi saat ini abangnya bekerja sebagai pegawai reparasi handphone. Akibat gaji yang kecil sebagai pegawai reparasi handphone, abangnya di sana pun kembali menjadi seorang pengamen.

“Sekarang abang udah kerja di Jogja, sebelumnya dia ngamen juga. Dulu waktu dia masih disini, kami tinggal sama.. Tapi setelah dia pigi, awak pun sedih nengok dia. Gajinya disana nggak jelas. Kerja sih kerja. Bagusin satu HP dapat empat ribu cuman. Itulah ongkos bagusin aja. Dia pun kerja sampingan ngamen juga disana..”

Josh dan abangnya memilih pergi dari rumah dengan alasan yang berbeda- beda. Ia pergi duluan dari rumah karena ia sudah terpengaruh pergaulan yang salah. Saat itu ia merasa bermain playstation adalah hal yang paling penting dan ia ingin melakukannya sepanjang hari. Sedangkan abangnya memilih keluar dari rumah karena dilarang ayah mereka bertemu dengan pacarnya. Josh juga pernah melihat ayahnya memukuli abangnya sampai berdarah karena abangnya pergi ke rumah pacarnya empat hari berturut-turut.

“Nggak, satu-satu. Pertama aku baru dia. Dia keluarnya gara-gara cewek. Cewek dia, sampai sekarang. Lima tahunan lah udah orang itu.

(R3.W1/b.431-434 /hal.136)

“Nggak puas. Maunya main 24 jam. Gitu lah dulu, terus gara-gara internet. Sekarang gara-gara cewek.

(R3.W1/b.459-461 /hal.137)

“Dia kan suka sama cewek ini. Cewek ini pun juga. Jadi karena.. kami kan nggak dikasih keluar kalo dirumah, sama bapak ngga ngasih. Jadi dia pun keluarlah untuk nemui cewek itu. Pernah yang hari itu, empat hari berturut- turut dia ke tempat cewek itu terus, tapi pulang terus dia. Ingatnya dia pulang. Sebelum dia pergi, dibilangnya dulu. Tapi sampe dirumah, terus dia dipukuli. Pernahlah aku, kuliat badan abang aku berdarah, disitu aku emosi kalilah nengoknya..”

(R3.W1/b.436-447 /hal.136-137)

Josh mengakui bahwa ayahnya sering melakukan kekerasan fisik padanya, abangnya, dan ibunya. Ayah sering memukulnya di bagian badan dan tidak pernah memukul dengan tangan. Ia lebih sering memukul dengan batang-batangan seperti bambu ataupun kayu. Ketika Josh dan abangnya melanggar peraturan ayahnya, maka mereka akan dicambuk ayahnya dengan kayu-kayu tersebut di bagian punggung. Ayahnya memukul mereka dengan beberapa batang kayu yang

dikumpulkan jadi satu. Saat dipukul Josh merasakan punggungnya sakit sekali dan pedih. Tidak jarang punggungnya akhirnya berdarah setelah dipukul ayahnya.

“Seringan di badan...” (R3.W1/b.463/hal.137)

“Nggak. Pake benda. Dia sering pake.. mirip kayu tapi bukan kayu.. e.. adalah batang-batang cuman dia bukan kayu. Tapi sakitlah. Pedih dia dipukul pake itu. Ke punggung dibuatnya. Kayak dicambuk lah. Dilibaskannya aja gitu. Dicambuknya lah gitu. Dikumpul-kumpulkannya kayunya. Kalau itu yang kemarin, banyaklah yang berdarah gara-gara itu..” (R3.W1/b.465-475 /hal.137)

Suatu hari ia pernah dipukul ayahnya dengan balok kayu di betis kaki sebelah kanan. Ia lupa apa penyebab ayahnya memukulinya saat itu. Tapi ia merasa kejadian tersebut adalah kekerasan fisik yang paling parah dan yang paling dia ingat dari semua pemukulan yang dilakukan ayahnya kepadanya.

“Tapi aku yang paling ingatnya waktu dibalok itu.. Dipukul pake balok, dibetis ini. Kaki ku yang kanan..”

(R3.W1/b.475-479 /hal.137)

“Yang pake balok itulah. Masih kuingat sampai sekarang..” (R3.W1/b.495-496 /hal.137-138)

Ibunya tidak pernah bisa mencegah ayah memukuli Josh dan abangnya. Jika ibunya mencoba mencegah, maka ia pun juga menjadi sasaran pemukulan suaminya. Melihat perilaku kasar ayahnya, Josh merasa benci dan kesal. Ia sangat ingin melawan dan berkelahi dengan ayahnya. Menurutnya, ayah adalah seorang suami dan orang tua yang egois dan tidak pernah memikirkan keluarganya. Josh menilai ayahnya egois karena untuk kebutuhan sehari-hari mereka semuanya dipenuhi oleh penghasilan ibunya, sementara penghasilan ayahnya dipakai untuk kepentingannya sendiri.

“Mamak nggak bisa mencegah. Kemarin itu dia mau melarang kan, dia pun jadi ikut kena. Dipukul pake sapu hari itu. Aku terus terang benci kali liat dia. Mau kupegangkan aja kayunya itu..”

(R3.W1/b.488-492/hal.137)

“Ya kesal jugalah. Kalau misalnya kayak gitu lagi samaku, kumainkanlah. Kuajaklah berantam. Dia itu orangnya egois..”

(R3.W1/b.502-505 /hal.138)

“Semua kebutuhan dirumah, makan, apalah.. itu mamak semua. Makanya kubilang dia egois. Duit dia, duit sendiri. duit mamak, baru duit dia..”

(R3.W1/b.507-510 /hal.138)

“Cuma dia aja yang egois orangnya. Kuakui dia memang egois. Nggak pernah dia memikirkan keluarganya..”

(R3.W1/b.482-485/hal.138)

Kekerasan fisik yang dilakukan ayahnya menimbulkan dampak fisik pada tubuh Josh. Ia mengakui dampak fisik yang berkepanjangan tidak ada ia rasakan. Tapi setiap ayahnya memukul badannya, ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian tubuh yang dipukul. Apalagi ia juga pernah dicambuk ayahnya dengan menggunakan selang. Pemukulan-pemukulan itu membuat Josh sering memakai banyak baju dalam dan jaket. Ia mengaku saat memakai jaket ataupun banyak baju dalam, ia merasa badannya akan menjadi lebih kebal dari pukulan-pukulan ayahnya. Sampai sekarang ia pergi kemana pun selalu mengenakan jaket walaupun cuaca hari itu sangat panas.

“Sakitlah. Tapi kalau yang berkepanjangan nggak ada. Cuma waktu yang dipukul itulah.. minta ampun. Pernah juga aku waktu itu dipukul pake selang. Selangnya tebal. Kayak dicambuk gitu. Itu lah sakitnya minta ampun, sampe biru-biru..”

(R3.W1/b.515-520/hal.138)

“Iya itu juga. Pernah dulu waktu itu, dua.. double lah celana. Baju ada tiga. Kupake lagi juga jaket. Nggak tahu kenapa, tahu juga dia. Kau buka itu bajumu, celanamu..katanya. ke kamarlah aku karena malu ya kan.. nanti ketahuan awak dobelkan bajunya.. Supaya nggak apa.. nggak parah kali sakitnya..”

(R3.W1/b.562-569/hal.139)

Ayahnya sering memukul dan memarahi mereka karena Josh dan abangnya pergi bermain keluar rumah. Padahal Josh merasa ia dan abangnya hanya bermain sebentar saja di luar karena mereka juga ingin bermain dengan teman-temannya di luar rumah. Penyebab lain biasanya karena Josh berkelahi dengan adiknya dan membuat adiknya menangis. Ia merasa dialah yang harus dihukum karena dia anak yang lebih besar. Josh mengakui bahwa ia dan abangnya yang paling sering dipukul dan mendapatkan kekerasan dari ayah mereka.

“Pernah gara-gara adek. Aku sama adek berkelahi, dia nangis kubuat. Terakhirnya aku yang kena. Kekmana pun kan aku yang abangan..”

(R3.W1/b.531-534 /hal.138)

“Kamilah seringan, yang ceweknya kena pun.. jarang kali lah kena.. dipukul jaranglah.. yang paling sering aku sama abang aku..”

(R3.W1/b.537-540 /hal.138)

“Gara-gara keluar rumah, kami nggak boleh keluar rumah katanya. Dia maunya kami di rumah aja. Kami pun pengen keluar juga kan, main-main. Bukannya lama-lama kami pigi..”

(R3.W1/b.524-528 /hal.138)

“Pas pulang kerjalah dia. Ditengoknya kami main-main, dipukulinya lah kami...”

IV.A.3.d.2. Identitas diri pada domain pendidikan/karir (vocational) IV.A.3.d.2.a. Eksplorasi

Kriteria yang menunjukkan ada atau tidaknya eksplorasi yang dilakukan Josh dalam menentukan identitas diri pada domain pendidikan/karir dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Pengetahuan (Knowledgeability)

Ketika Josh pergi dari rumah, ia juga memutuskan untuk meninggalkan sekolahnya. Saat itu ia sedang duduk di kelas enam SD. Di sekolah, ia dikenal sebagai siswa yang nakal, suka melawan guru dan bolos sekolah walaupun untuk masalah prestasi belajar, ia mengaku selama kelas satu sampai kelas tiga selalu masuk tiga besar dikelasnya. Ia merasa pelajaran di sekolah tidak sulit dimengerti, hanya saja dia tidak bisa lagi mengikuti pelajaran karena sejak kelas empat dia mulai sering bolos sekolah.

“Kalau di sekolah, tiap minggu, tiap hari, masuk kantor. Hari itu pertama kali buat masalah, aku mecahkan jendela sekolah pake batu. Yang kedua pake bola. Itulah terakhir kali dikasih peringatan. Kalau kayak gini terus kau, keluar aja. Satu pun murid kami kalau bisa diajar, lebih bagus katanya. Santai ajalah aku..”

(R3.W1/b.63-70 /hal.129)

“Itulah semenjak aku keluar-keluar itu.. sebenarnya sih pelajarannya mudah, ku dapatnya.. cuma karena kebanyakan absen..”

(R3.W1/b.86-89/hal.129)

“Lumayanlah. Aku dapat juara sebenarnya dari kelas satu sampai kelas tiga dapat juara..”

(R3.W1/b.80-82 /hal.129)

sekarang akhirnya tidak memiliki ijazah sekolah dasar. Ia mengetahui ada sekolah bernama “Empati” yang terletak di daerah Simpang Pos yang membantu anak- anak yang putus sekolah ataupun anak-anak jalanan untuk bisa sekolah lagi dan mendapatkan ijazah SD, SMP atau SMA dengan ujian sistem paket. Sekolah tersebut juga tidak dikategorikan sebagai sekolah formal yang jam belajarnya harus setiap hari. Jenis paket yang diambil akan menentukan jumlah jam belajar siswa tersebut. Ia mengambil paket untuk kelas enam agar dapat langsung ujian dan mendapatkan ijazah.

“Paket Empati. Ada SD, SMP, SMA... Paket I untuk kelas enam” (R3.W1/b.109,111 /hal.130)

“Itu bukan sekolah formal. Kalau sekolah formal kan, belajar setiap hari, kalau yang nggak formal kan, kayak itulah. Ngambil paket apa, waktu belajarnya disesuaikan. Bisa juga sih ngambil yang setiap harinya. Tapi aku nggak bisa karena harus kerja. Jadi aku ambil ujiannya aja..”

(R3.W1/b.216-223 /hal.132)

“Nggak. SDnya kan udah kemarin. Supaya aku dapat ijazah SDnya” (R3.W1/b.232-233 /hal.132)

Ia sudah mendaftarkan diri tapi ia tidak jadi masuk ke sana karena tidak mengikuti ujian. Josh mengaku dirinya tidak ujian karena ia tidak tahu jadwal ujian dan tidak ada yang memberitahunya akan ada ujian di sekolah itu. Sampai saat ini ia belum memutuskan akan melanjutkan sekolah disana dan ia juga tidak melakukan konfirmasi ke pihak sekolah. Josh memilih pasrah dengan kondisi saat ini dan mungkin akan mendaftar lagi di waktu yang belum ditentukan.

“.. bagusan aku sekolah sendiri aja..mau ngambil yang paket..sebenarnya sih aku udah daftar, cuma ujian itu aku nggak tahu kapan..”

“Sebenarnya udah jadi, cuma waktu ujian itu aku nggak tahu. Dia pun nggak ngabarin juga. Nomor aku pun dia nggak tahu. Karena sering-sering ganti nomor..”

(R3.W1/b.58-61/hal.129)

“Cemanalah.. udah.. udah kekgitu dia, gitulah. Pasrah aja lah..” (R3.W1/b.92-93 /hal.129)

Josh merasa pendidikan adalah sesuatu yang harus dimiliki untuk pekerjaan dan masa depan yang lebih baik. Dia menyadari pekerjaan kedua orangtuanya yang memiliki penghasilan sangat kecil diakibatkan pendidikan mereka yang rendah. Menurutnya, jika seseorang tidak memiliki pendidikan, ia juga akan sulit mencari pekerjaan, apalagi mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia sendiri masih memiliki keinginan untuk menjutkan pendidikan tapi saat ini ia merasa belum memiliki waktu untuk mengurus kembali ke sekolah tersebut. Alasannya tidak punya waktu karena banyaknya kegiatan di LSM, tidak adanya dana, dan hidupnya yang tidak teratur jika tidak sedang di kantor LSM.

“Sedangkan yang sekolah aja pun payah dapat kerja. Apalagi yang nggak sekolah. Karena kutengok juga contoh dari orangtuaku, tamatan kayak bapak, gitu-gitu aja kerjanya”

(R3.W1/b.96-100 /hal.130)

“Maksudnya kan, itu salah satu untuk mata pencaharian. Tanpa ijazah kan orang ngga bisa dapat kerja yang layak. Aku sebenarnya sih mau cuman lagi kayak gini. Di kantor pun banyak kegiatan. Kalau aku lagi disimpang sih sebenarnya bisa. Cuma lebih payah lagi. Bangunnya lama, ntah diajak kawan kemana, mandi dan makan pun ntah cemana. Kalau disini, hidup lebih teratur. Tapi nggak ada waktu kesana..”

Untuk pekerjaan di masa depan, Josh ingin menjadi vokalis sebuah band. Ia merasa sudah memiliki ketertarikan dengan dunia musik sejak dia masih duduk di sekolah dasar. Saat ini ia sudah mengetahui cara memainkan alat musik gitar, jimbe (alat musik pukul) dan beberapa alat musik sampah lainnya. Ia mempelajari semuanya itu dari Rumah Musik yang diselenggarakan oleh LSM KKSP. Sampai sekarang ia merasa hanya bidang musik yang ingin ditekuninya kebih dalam. Josh tertarik untuk menjadi vokalis sebuah band karena ia merasa menjadi vokalis itu keren karena posisinya selalu didepan. Selain karena hobinya bermain musik, ia juga ingin menjadi orang yang dikenal banyak orang.

“Sebenarnya sih pengennya jadi vokal. Mau buat band nanti, aku jadi vokalnya”

(R3.W1/b.131-132/hal.130)

“Dari dulu. Di sekolah dulu, abis kena banting itu semua meja sekolah. Kalau udah keluar gurunya bentar aja, kamar mandi gurunya, udah retak mejanya.. langsung rame lah nanti itu..”

(R3.W1/b.138-142 /hal.130)

“Aku belajar alat musik lah kak. Yang mau kupelajari inilah (menunjuk alat musik yang terbuat dari gesekan biola dan gergaji), gitar sama jimbe (alat musik pukul). Karena musiknya unik aja. Yang pertama kan gitar. Udah wajib lah kalo itu. Alat musiknya aku yang suka yang bahan bakunya dari sampah, karena unik dia bagi orang. Sampah-sampah bisa dijadikan alat musik..”

(R3.W1/b.153-157 /hal.131)

“Nggak ada. Saat ini masih musiklah. Kalau kedepannya nggak tahu..” (R3.W1/b.204-205 /hal.132)

“Keren aja gitu. Misalnya kalo vokal, itulah kalau apa kan, main kan, dia yang di depan..”

Aku suka terkenal aja (tertawa). Selain karena aku hobi lah bermain musik.. (R3.W1/b.212-213 /hal.138)

Selain profesi sebagai seorang anak band, Josh juga tertarik menjadi seorang tentara (TNI). Ia kagum dengan postur tubuh para tentara tersebut dan keberanian mereka untuk mati karena membela negara. Walaupun saat ini ia mengaku lebih fokus pada dunia musik, ia mempertimbangkan mendaftar masuk TNI menjadi alternatif utama jika akhirnya ia tidak jadi menekuni dunia musik. Ia tidak mencari tahu lebih lanjut tentang pendidikan TNI karena ada teman ayahnya yang akan mengurus.

“TNI.. Badannya besar-besar. Beranilah membela negara. Dan mati untuk negara. Apalagi kan ulang tahun ku 17 Agustus, dari dulu pas kemerdekaan, sering juga aku liat TNI..”

(R3.W1/b.249,251-255 /hal.133)

“Sampai sekarang pun masih. Kalau sekarang ini, pikiran lebih ke musik. Kalau nggak musik, ya keinginan lah yang mau sekolah ini. Kalau nggak dapat nanti musik, daftar langsung. Itu pun kalo jebol..”

(R3.W1/b.258-263 /hal.133)

“Kalau itu sih, ada juga kawannya bapak, bisanya nanti ke situ. Nantikan dia yang daftarin”

(R3.W1/b.268-270 /hal.133)

Josh mengaku orangtuanya tidak memiliki peran apa-apa di dalam dia mempertimbangkan pendidikan apa yang akan dijalaninya di masa yang akan datang. Namun, ia pernah diajak ayahnya masuk sekolah pendeta. Ia sempat mengikuti pelatihan selama tiga minggu dan sudah mempelajari beberapa hal. Tapi akhirnya ia memilih kabur dari pelatihan itu karena ia tidak mau menjadi seorang pendeta.

“Kalau orang tua bilangnya aku ke depannya nggak usah jadi apa-apa. Dia bilangnya aku jadi pendeta, tapi aku nggak mau. Untuk apa aku jadi pendeta kalau cuma modus aja. Awak jahat tapi awak jadi pendeta..”

(R3.W2/b.190-195 /hal.144)

“Udah. Udah sering aku diajak bapak. Baptis udah, pembinaan agama kristen udah, tinggal pelayanan-pelayanan lah aku belum.. soalnya kemarin waktu mau pelayanan-pelayanan, pergi lagi aku..”

(R3.W2/b.203-207 /hal.145)

“Kalo nggak salah tiga minggu. Tapi jumat, sabtu, minggu libur. Dari senin sampe kamis aja”

(R3.W2/b.223-225/hal.145)

2. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (Activity directed toward the gathering of information)

Walaupun ia memiliki keinginan untuk menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, usaha Josh sangat kurang untuk mengumpulkan informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah itu. Ia sudah mengurus berkas administrasinya tapi ia tidak bertanya pada pihak sekolah tentang jadwal ujian yang akan ia ikuti. Ia justru mendapatkan informasi bahwa ada ujian dari orang lain. Josh juga tidak mau bertanya langsung kepada pihak sekolah tentang informasi yang ia butuhkan. Ia lebih suka bertanya pada teman-temannya yang juga mendaftar ke sekolah itu.

“Berkasnya udah masuk, tapi ujiannya itu yang aku tahu dari orang. Itu aku nggak ikut karena aku nggak tahu apa-apa tentang ujiannya”

(R3.W1/b.123-126 /hal.130)

“Belum kak. Kalau apa.. bisanya itu masuk lagi..” (R3.W1/b.128-129 /hal.130)

3. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of considering alternative potential identity elements)

Keinginannya untuk bersekolah tidak lagi ia pertimbangkan dengan serius karena kesibukannya saat ini di LSM. Saat ini ia sedang mengikuti banyak kegiatan latihan musik yang diselenggarakan oleh LSM. Disana ia banyak diajari tentang alat musik dan ketrampilan lainnya.

“Nggak ada aku cerita sama orang ini. Sebenarnya juga, aku juga sih yang mau. Aku juga yang mau sibuk disini. Karena berkutatnya sekarang lagi disini. Lagi di kantor ini”

(R3.W2/b.134-138 /hal.143)

“Belajarnya banyak. Musik, apa juga.. ketrampilan.. “ (R3.W2/b.140-141 /hal.143)

IV.A.3.d.2.b. Komitmen

Kriteria yang menunjukkan ada atau tidaknya komitmen yang Josh miliki dalam menentukan identitas diri pada domain pendidikan/karir dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Pengetahuan (Knowledgeability)

Josh belum bisa memutuskan akan serius melanjutkan sekolah lagi atau tidak. Pertimbangannya karena ia merasa malu jika harus masuk SD lagi karena sudah lama ia tidak sekolah sehingga merasa tidak bisa lagi mengikuti pelajarannya. Tapi ia sudah merencanakan, jika nanti ia akan melanjutkan sekolah, ia tidak akan melibatkan orangtuanya dalam hal pendidikannya. Ia akan mencari biaya sekolahnya sendiri dan melanjutkan hidupnya. Saat ini ia mengaku belum memikirkan dengan serius tentang pendidikannya untuk masa depan.

“Ah, nggak tahulah kak...Malu kali SD lagi..” (R3.W2/b.20,22 /hal.141)

“Sama semualah. Sebenarnya mau sekolah, tapi maunya sendiri. nggak mau didampingi orang tua..”

(R3.W2/b.24-26 /hal.141)

“Karena uda tiga tahun nggak nganggur. Terasa malu aja. Nggak tahu lagi aku pelajarannya.

(R3.W2/b.44-46 /hal.141-142)

“Biayanya sendiri, hidup sendiri. nggak mau didampingi orang tua.” (R3.W2/b.28-29 /hal.141)

“Aku pun lagi berpikir ke yang lain sekarang, ya ke yang lainlah. Kalau nanti udah berpikir ke situ baru lah kesitu.”

(R3.W1/b.127-129 /hal.143)

Josh sudah pernah bersekolah di “Empati”. Saat dia bersekolah, tiba-tiba ia dijemput oleh ayahnya. Ia berusaha menjelaskan pada ayah bahwa ia sudah