i
SITUASI PEMICU PROBLEM PENYESUAIAN DIRI YANG SERING DIALAMI SISWA TUNARUNGU
PADA SLB-B SWASTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Maria Sri Ismayasari NIM : 059114097
FAKULTAS PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv VA DOVE TI PORTA IL CUORE
Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu Dan kau tak tau jalan mana yang harus kau ambil,
Janganlah memilihnya dengan asal saja, Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.
Tariklah nafas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, Seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, Tunggulah….dan tunggulah lebih lama lagi.
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkan hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,
Dan pergilah ke mana hati membawamu…(Susanna Tamaro)
Semua konflik kehidupan adalah antara
membiarkan atau mempertahankan,
terbuka pada masa kini atau
terjebak di masa lalu,
perkembangan atau penyusutan.
Tuhan, gembalaku yang baik MAZMUR 23:1-4
v
Skripsi ini aku persembahkan untuk :
vii
SITUASI PEMICU PROBLEM PENYESUAIAN DIRI
YANG SERING DIALAMI SISWA TUNARUNGU PADA SLB-B SWASTA Maria Sri Ismayasari
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui 3 situasi pemicu problem penyesuaian diri yang paling sering dialami dalam konteks relasi dengan orang tua di rumah, komunikasi, relasi sosial yang lebih luas, akademik, dan penyesuaian emosi dari siswa tunarungu di SLB-B Wiyata Dharma I Sleman, SLB-B YRTRW Surakarta, SLB-B Santi Rama Jakarta, dan LPATR Pangudi Luhur Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Pengumpulan data memakai kuesioner tanpa skala menggunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup. Subyek penelitian yang berjumlah 125 siswa-siswi mulai dari kelas VII SMPLB hingga kelas XII SMALB. Subyek penelitian memiliki kriteria rentang usia 14 sampai dengan 21 tahun, bersekolah di SLB-B yang menggunakan metode pengajaran bahasa Maternal Reflektif, tidak tinggal di asrama dan tidak mengalami kecacatan lain. Pengolahan data dilakukan dengan membuat tabulasi data, menghitung frekuensi jawaban dan menganalisis hasil penelitian.
Hasil penelitian dari 3 frekuensi jawaban tertinggi menunjukkan (1) Situasi pemicu problem penyesuaian diri yang paling sering dialami dalam konteks relasi dengan keluarga yaitu : (a) Sifat sensitif yang terlalu berlebihan ketika orang tua menegur dengan menampilkan wajah masam siswa tunarungu memandang sikap tersebut sebagai bentuk kemarahan orang tua. (b) Ketika siswa tunarungu merasa tidak diperhatikan pada saat berbicara dengan orang tua karena orang tua sering tidak menyadari bahwa siswa tunarungu hanya dapat memahami pembicaraan dalam posisi bercakap-cakap yang saling berhadapan. (c) Sensitivitas yang terlalu berlebih ketika tidak dilibatkan dalam suatu kegiatan bersama-sama membuat saudara kandung dipandang sering menumpahkan kemarahan terhadap siswa tunarungu. (2) Situasi pemicu problem penyesuaian komunikasi yang paling sering dialami yaitu : (a) Ketika siswa tunarungu tidak dapat menangkap setiap gerak bibir yang diucapkan orang normal karena gerak bibir mereka yang terbiasa berbicara dengan nada cepat. (b) Tidak terbiasa menggunakan bahasa lain selain Bahasa Indonesia ketika siswa tunarungu merasa kesulitan menerima informasi dalam bentuk penyampaian menggunakan Bahasa Inggris. (c) Keterbatasan konsep abstraksi bahasa ketika siswa tunarungu merasa kesulitan dalam merumuskan kata yang hendak disampaikan dalam bentuk tulisan. (3) Situasi pemicu problem penyesuaian relasi sosial yang paling sering dialami yaitu : (a) Siswa tunarungu mudah sekali menirukan kata baru tanpa mengetahui makna sesungguhnya sehingga ketika sesama tunarungu yang mengatakan suatu kata yang ditangkap bermakna kasar maka hatinya dengan mudah akan terluka. (b) Ketika siswa tunarungu sering merasa rendah diri berada di lingkungan berpendengaran normal karena menduga orang berpendengaran normal memandang cara siswa tunarungu berkomunikasi sebagai sesuatu yang tidak lazim. (c) Sifat sensitif yang berlebihan ketika merasa iri dengan siswa tunarungu lain yang sering menutupi kekurangannya dengan bersikap seolah-olah dirinya hebat. (4) Situasi pemicu problem penyesuaian akademik yang paling sering dialami yaitu : (a&b) Keterbatasan konsep dan pemahaman abstrak ketika mempelajari pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. (c) Keterbatasan kosakata ketika mendapat PR dari guru untuk berlatih di rumah yang membuatnya tidak memahami maksud pertanyaan yang diberikan oleh guru. (5) Situasi pemicu problem penyesuaian emosi yang paling sering dialami yaitu : (a) Ketika mudah merasa terancam oleh teman-teman yang sering mengganggu karena kondisi psikologis yang labil dan terlalu sensitif. (b) Ketika mudah merasa tegang sehingga merasa ketakutan karena membayangkan makhluk halus mengerikan. (c) Mudah merasa curiga ketika dirinya tidak ikut dilibatkan melakukan sesuatu bersama teman-temannya siswa tunarungu merasa dikhianati oleh teman-temannya.
viii
CIRCUMSTANCES WHICH TRIGGERED THE ADJUSTMENT PROBLEMS WHICH MOSTLY HAPPENS ON STUDENTS IN
NON-GOVERNMENT SPECIAL SCHOOL FOR THE DEAF Maria Sri Ismayasari
ABSTRACT
The aim of this research was to study circumctance which triggered adjustment problems of hearing impaired students ofWiyata Dharma I Special School for the deaf in Sleman, YRTRW Special School for the deaf in Surakarta, Santi Rama Special School for the deaf in Jakarta, and Pangudi Luhur Special School for the deaf in Jakarta which mostly happen in adjustment process toward relation with parents dan siblings at home, communication, larger social relations, academic, and emotional adjustment. This research was descriptive which applied survey method. The data collecting was done by questionnaire without scale and applied the combination of open and close questions. The research subjects was 125 students from 7th grade Junior High School Special Education until 12th grade Senior High School Special Education. The data processing was executed by tabulating the data, calculating the frequency of the answer, and analyzing the output of the research.
The research from 3 highest frequency resulted that (1) Adjustment problem in context of family relations which mostly happen are : (a) Over-sensitive nature when their parents admonished by displaying awry face to hearing impaired students who view that attitude as a form of angriness. (b) When deaf students was not taken into consideration talking with their parents because the parents often do not realize that deaf students can only understand speech in a position to talk to one another. (c) Over-sensitive of deaf students that often seen spilling anger against deaf students when their siblings didn`t invite them in an activity together. (2) Communiaction adjustment problem of hearing impaired childrent which mostly happen are : (a) When deaf students who can not catch every movement of the lips that uttered a normal person because their lips are used to speaking in a tone quickly. (b) When Deaf students felt difficult to accept the information in the form of the transfer to English because they are not accustomed to hearing another language than Indonesian. (c) Limitations of the concept of language abstraction when deaf students had difficulty in formulating the words to be submitted in written form. (3) Social relation adjustment problem which mostly happen are : (a) Deaf students easily imitate new words without knowing what it really means so when their deaf friends says unrespectfull words, they easily get hurted. (b) When deaf students often feel inferior in a normal environment because they thought that hearing people see them as strange person. (c) The nature of the excessive sensitivity when feeling jealous of the deaf students often mask deficiencies by acting as superior person. (4) Academics adjustment problem which mostly happen are : (a & b) Limitations and understanding of abstract concepts when learning English and Mathematics subjects. (c) The limited vocabulary when deaf students got homework that they can not understanding the purpose of its questions. (5) Emotional adjustment problems which mostly happen are : (a) Psychological condition of deaf students is not stable and too sensitive, so they easily feel threatened by other deaf friends that often interfere them. (b) Over-sensitivity made them easily felt scared because the thought of a terrifying ghost. (c) Deaf students easily feel suspicious so they felt betrayed by his friends when deaf students did not get involved doing something with their deaf friends.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kasih Tuhan Yesus Kristus yang telah memampukan
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak lepas dari kemurahan
hati berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis, untuk itu dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah Bapa – Yesus sang Putera – Roh Kudus.
Di akhir perlombaan dengan waktu akhirnya aku menyadari bahwa aku pasti
masih terombang ambing pada kebimbanganku kalau ku tetap bertahan pada
keangkuhan kekuatanku sendiri dan tidak berserah kepadaNYA. Semua nama
akan kuhapus dari kitab hidupku semoga ENGKAU mengijinkanku hidup
hanya demi kemuliaanMU yang lebih lagi. Ad Maiorem Dei Gloriam.
2. Ibu Christina Siwi Handayani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing dan Kaprodi. Terima kasih sekali atas kesediaan waktu, perhatian, kesabaran dan
ketulusan hati yang amat berharga bagi penulis sehingga karya ini akhirnya
bisa terselesaikan. Terima kasih membuatku berproses,Bu. Tetaplah bersinar
dan ceria yah. ☺
4. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto M.Si. selaku dosen dan Tim Penguji ujian skripsi. Terima kasih untuk inspirasi dan dorongan semangat yang
membuat saya mencintai dunia ketunarunguan. Tuhan memberkati Bapak
sekeluarga.
5. Ibu Maria Laksmi Anantasari, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan tim penguji ujian skripsi. Ketulusan dan Kelembutan hati yang
selalu menginspirasiku. Terima kasih atas pendampingan selama peneliti
kuliah dan berbagai ide briliannya. GBU, Bu Arie ☺
6. Kepada Bapak dan Ibu Kepala Sekolah yang telah bersedia mengijinkan
peneliti melakukan penelitian: Bapak Sudarjo selaku Kepala SLB-B Wiyata
xi
Siti selaku Kepala Sekolah SMPLB dan SMALB Santi Rama Jakarta, Bapak
Subagyo Kepala SLB-B Pangudi Luhur Jakarta.
7. Kepada teman-teman di SLB-B Wiyata Dharma I, SLB-B YRTRW, SLB-B
Santi Rama, SLB-B Pangudi Luhur terima kasih sekaliiiii buat kesediaan
teman-teman membantu mengisi kuesioner, tetap semangat. ☺
8. Bapak & Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima
kasih atas ilmu dan didikannya.
9. Staf sekretariat Fak. Psikologi: Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gie`, Mas Doni
(Staf Ruang Baca) dan Mas Muji (Staf Laboratorium). Matur nuwun sanget.
10.Bapak Mayor. CHB Yoseph Eko Budi Kurnianto dan Ibu Mayor. CHB (K) Catharina Sri Purwatiningsih. Hutang kehidupan yang tak ternilai dengan uang. Terima kasih untuk hadiah anugerah kehidupan ini. Saya
mencintaimu, Pa, Ma.
11.Dalmasius Jati Pangarsa, S.Sing sahabat/ kakak/ kekasih/ saudara/ musuh yang telah mendampingi dalam keadaan seneng dan seneng banget ☺… waktu
yang akan membuktikan segalanya. Saya sangat mengasihimu,Mas. Terima
kasih untuk cinta-mu & -Mu.
12.Keluarga besar Antonius Hadisiswoyo.
13.Keluarga besar Ignatius Kasdoe.
14.Keluarga Julianus Weko Sambodo.
15.Sri Juniyanti Napitupulusoulmate sejati selamanya.
16.‘BARBARIA’ terima kasih menjadi teman berbagi tawa, tangis bahagia. 17.‘LEVINORI’ sobat-sobit tercinta di SMAN 2 Cimahi
18.Mudika Santo Ignatius Cimahi; Lazerus, Fendi, Anni, Eka, Heppi, Edo,
Jimmy.
19.Mas Anggit di Surga.
20.Mbak Dian L.Tobing.
21.Teman-teman angkatan Psikologi 2005 terima kasih buat kebersamaannya.
22.Teman-teman Psikologi angkatan 2002 sampai dengan 2009 yang kenal aku.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING……….ii
HALAMAN PENGESAHAN………....iii
HALAMAN MOTO………...…….….…..iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….……..…v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..…...vi
ABSTRAK……….…vii
ABSTRACT………...…...viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………ix
KATA PENGANTAR………...……..x
DAFTAR ISI………..xii
DAFTAR TABEL……….xvi
DAFTAR LAMPIRAN……….xix
BAB I PENDAHULUAN……….………...1
A. Latar Belakang Penelitian ……….………...1
B. Rumusan Masalah ………...6
C. Tujuan Penelitian………...………..…..7
xiii
BAB II KERANGKA TEORETIS………..………8
A. Siswa Tunarungu………...8
1. Pengertian dan Prevalensi Ketunarunguan………...……8
2. Klasifikasi Ketunarunguan………...……9
3. Kekhasan Perkembangan Siswa Tunarungu………...12
a. Perkembangan Fisik ………...…………...…..12
b. Perkembangan Kognitif dan Bahasa………...….13
c. Perkembangan Psikososial………...…14
4. Sekolah Luar Biasa Bagian B Swasta (SLB-B) swasta ………....15
a. SLB-B Wiyata Dharma I Sleman ..………..17
b. SLB-B YRTRW Surakarta ………..19
c. SLB-B Santi Rama ………..20
d. SLB-B Pangudi Luhur ……….21
B. Problem dalam Proses Penyesuaian Diri Anak Tunarungu………….22
1. Pengertian Penyesuaian diri .……….22
2. Aspek-aspek penyesuaian diri ……….. 23
3. Pengertian problem penyesuaian diri ………24
4. Ciri-ciri munculnya problem penyesuaian diri ………...25
5. Faktor penyesuaian diri ……….26
a. Kondisi Fisik………....26
b. Kondisi Psikologis Diri………....27
c. Kondisi Lingkungan………...27
xiv
6. Proses terjadinya problem dalam proses penyesuaian diri……….29
7. Area Terjadinya Problem Penyesuaian Diri………...…....33
a. Penyesuaian relasi dengan anggota keluarga…………..…….34
b. Penyesuaian Komunikasi………...35
c. Penyesuaian Relasi Sosial di Masyarakat………38
d. Penyesuaian Akademik………..…..38
e. Penyesuaian Emosi………..….39
BAB III METODE PENELITIAN………41
A. Jenis Penelitian………...41
B. Subyek Penelitian ………..42
C. Variabel Penelitian ………42
D. Definisi Operasional Problem dalam Proses Penyesuaian Diri …43 E. Metode Pengumpulan Data………45
1. Tahap Penelitian Pra-survei……….45
2. Tahap Penelitian Survei ……….47
F. Instrumen Penelitian………...49
1. Instrumen Penelitian Pra-survei………...49
2. Instrumen Penelitian Survei……….49
G. Validitas ………..………..51
1. Validitas logis………...52
2. Validitas Muka ………52
xv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...54
A. Pelaksanaan Penelitian………...54
B. Deskripsi Hasil Penelitian………..54
1. Hasil Penelitian Pra-survei………...54
2. Hasil Penelitian Survei……….73
C. Pembahasan………79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………90
A. Kesimpulan………...………..………...90
B. Saran……….….……...92
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persepsi guru SLB-B terhadap problem penyesuaian diri
siswa tunarungu ………...……….. 100
Tabel 2. Persepsi guru SLB-B terhadap problem penyesuaian diri siswa tunarungu ………..……...101
Tabel 3. Blueprint area problem penyesuaian diri siswa tunarungu ………...…….102
Tabel 4. Jawaban Pernah/Tidak mengalami situasi pemicu problem dengan perilaku orangtua…...………...103
Tabel 5. Situasi pemicu problem kekecewaan terhadap perilaku orangtua ………..………..103
Tabel 6. Jawaban Pernah/Tidak mengalami problem dengan saudara kandung………...103
Tabel 7. Situasi pemicu problem dengan saudara kandung……….104
Tabel 8. Frekuensi merasa sulit ketika Berbicara……….104
Tabel 9. Merasa sulit ketika berbicara………..104
Tabel 10. Frekuensi mengalami situasi pemicu problem membaca…………...105
Tabel 11. Situasi pemicu problem membaca………..105
Tabel 12. Frekuensi mengalami situasi pemicu problem mengkomunikasikan ide dalam tulisan………..105
Tabel 13. Situasi pemicu problem mengkomunikasikan ide dalam tulisan…...105
Tabel 14. Frekuensi mengalami situasi pemicu problem terlibat dalam Pembicaraan Orang Normal………106
Tabel 15. Situasi pemicu problem terlibat dalam pembicaraan orang normal...106
Tabel 16. Frekuensi merasa tidak suka dengan cara guru memperbaiki ucapan………...106
Tabel 17. Perasaan tidak suka dengan cara guru pengajar memperbaiki ucapan………....106
xvii
Tabel 19. Situasi pemicu problem yang dialami ketika tidak menggunakan bahasa
isyarat………...107
Tabel 20. Frekuensi Situasi pemicu problem membaca gerak bibir …………..107
Tabel 21. Situasi pemicu problem membaca gerak bibir………....107
Tabel 22. Frekuensi Pernah menggunakan alat bantu dengar………108
Tabel 23. Situasi pemicu problem menggunakan alat bantu dengar…………..108
Tabel 24. Frekuensi situasi pemicu problem penerimaan teman-teman sesama tunarungu………..108
Tabel 25. Frekuensi Situasi pemicu problem penerimaan teman-teman sesama Tunarungu...………...…………..109
Tabel 26. Frekuensi situasi pemicu problem membangun relasi dengan teman berpendengaran normal………...……109
Tabel 27. Situasi pemicu problem membangun relasi dengan masyarakat luas………..109
Tabel 28. Frekuensi situasi pemicu problem berpartisipasi di lingkungan rumah………110
Tabel 29. Situasi pemicu problem berpartisipasi di lingkungan rumah……….110
Tabel 30. Frekuensi situasi pemicu problem relasi dengan guru pengajar…….110
Tabel 31. Situasi pemicu problem relasi dengan guru pengajar……….110
Tabel 32. Frekuensi situasi pemicu problem memahami mata pelajaran……...111
Tabel 33. Situasi pemicu problem memahami mata pelajaran……...111
Tabel 34. Frekuensi Situasi pemicu problem mengerjakan PR………..111
Tabel 35. Situasi pemicu problem mengerjakan PR ………..112
Tabel 36. Frekuensi kebutuhan peningkatan fasilitas sekolah ………...112
Tabel 37. Kebutuhan fasilitas sekolah yang perlu ditingkatkan ………112
Tabel 38. Frekuensi situasi pemicu problem mengikuti kegiatan yang diadakan sekolah………...……….113
Tabel 39. Situasi pemicu problem mengikuti kegiatan yang diadakan sekolah………....113
Tabel 40. Frekuensi keinginan memasuki sekolah umum………..113
xviii
Tabel 42. Frekuensi mengalami frustasi ………....114
Tabel 43. Pengalami frustasi ……….….114
Tabel 44. Frekuensi perasaan Inferior ………....115
Tabel 45. Perasaan Inferior……….…115
Tabel 46. Frekuensi perilaku agresifitas……….…115
Tabel 47. Penyebab perilaku Agresif ……….…115
Tabel 48. Frekuensi Kesadaran akan kekurangan diri ………...116
Tabel 49. Kesadaran akan kekurangan diri ………....116
Tabel 50. Frekuensi perasaan depresi ………....116
Tabel 51. Pengalaman yang membuat depresi ……….…..116
Tabel 52. Frekuensi perasaan cemas………...117
Tabel 53. Hal yang membuat cemas………...117
Tabel 54. Tabel perbandingan peringkat per-area ……….118
Tabel 55. Rincian pelaksanaan pra-survei kelompok guru ………....124
Tabel 56. Rincian pelaksanaan pra-survei kelompok siswa………...125
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Identitas siswa tunarungu subyek wawancara dan keluarga
(pra-survei)…...…...128
Lampiran B. Transkrip wawancara siswa tunarungu………...….133
Lampiran C. Transkrip wawancara kakak dari siswa tunarungu………….…..145
Lampiran D. Transkrip wawancara ibu dari siswa tunarungu…………...…161
Lampiran E. Transkrip wawancara dengan guru SLB-B………..164
Lampiran F. Perbandingan hasil wawancara……….172
Lampiran G. Kuesioner Pra-survei Guru SLB-B………...181
Lampiran H. Rincian jawaban kuesioner guru SLB-B………..191
Lampiran I. Kuesioner Pra-survei siswa tunarungu……….239
Lampiran J. Rincian Jawaban kuesioner siswa tunarungu………...250
Lampiran K. Kuesioner Survei………..278
Lampiran L. Rincian jawaban survei……….…289
Lampiran N. Bukti pemeriksaan validitas oleh Professional judgement ..……304
Lampiran O. Surat Keterangan penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma………...308
Lampiran P. Surat Ijin melakukan penelitian dari BAPPEDA...309
Lampiran R. Surat Keterngan penelitian SLB-B Wiyata Dharma I Sleman...310
Lampiran S. Surat Keterangan Penelitian SLB-B YRTRW Surakarta …...311
Lampiran T. Surat Keterangan Penelitian SLB-B Santi Rama ………...312
Lampiran U. Surat Keterangan Penelitian SLB-B Pangudi Luhur …………...313
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian
Penyesuaian diri merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki
manusia. Setiap individu pernah mengalami problem di kehidupannya.
Problem tersebut merupakan tantangan yang berasal dari dirinya sendiri
maupun orang lain. Problem tersebut muncul ketika individu merasa atau
menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan mengatasi tantangan. Ketika
individu berhasil menghadapi tantangan maka ia dikatakan telah mampu
melakukan proses penyesuaian diri. Kemampuan penyesuaian diri didapat
melalui proses belajar, baik dengan cara mencontoh perilaku orang lain
maupun dengan melakukan cara mencoba-coba (trial and error). Seorang
individu mengalami hambatan dalam proses belajar menyesuaikan diri ketika
muncul keterbatasan secara fisik atau lingkungannya. Contoh dari individu
yang mengalami keterbatasan secara fisik ini yaitu penyandang tunarungu.
Istilah tunarungu merupakan sebutan bagi individu yang mengalami
kegagalan kemampuan dalam mendengar (Boothroyd, 1982 dalam Bunawan
& Yuwati, 2000). Orang pada umumnya memandang tunarungu sebagai suatu
stigma buruk. Kondisi ketunarunguan bersifat unik dan spesial karena
kecacatan yang dialami individu tunarungu tidak terlihat sehingga orang tidak
menyadari pada keterbatasan mendengar yang dialami individu tunarungu,
dengan spontan segera menjauhi. Tindakan ini dilakukan oleh sebagian besar
orang karena mereka kesulitan berkomunikasi dengan individu tunarungu. Hal
ini membuat individu tunarungu merasa tertolak. Situasi–situasi semacam ini
seringkali membuat individu tunarungu tidak dapat mengembangkan
kemampuan penyesuaian dirinya sehingga sering mengalami problem
kehidupan yang belum dapat teratasi.
Berbagai permasalahan yang sering dialami siswa tunarungu
menggugah kepedulian peneliti untuk menelaah situasi yang dialami siswa
tunarungu. Untuk itu peneliti melaksanakan penelitian pra-survei dengan
tujuan menemukan fakta-fakta seputar problem penyesuaian diri siswa
tunarungu. Peneliti dilaksanakan dalam bentuk wawancara terhadap guru
SLB-B, subyek beserta ibu dan kakak dari seorang siswa tunarungu. Peneliti
juga melaksanakan pra-survei terhadap 75 guru dan 18 siswa tunarungu di
SLB-B Swasta untuk mengetahui apakah siswa tunarungu di SLB-B.
Kemampuan berkomunikasi berpengaruh terhadap penyesuaian diri
dalam menghadapi kesulitan hidup siswa tunarungu. Lembaga pendidikan dan
orang tua penyandang tunarungu percaya keterbatasan komunikasi ini dapat
dikurangi dengan menerapkan metode pengajaran bahasa yang tepat kepada
siswa tunarungu. Peneliti melaksanakan penelitian pra-survei di SLB-B
Swasta bermetode Maternal Reflektif karena sejauh ini metode tersebut
dipandang efektif dalam melatih siswa tunarungu berbicara (Bunawan &
Yuwati, 2000). Pandangan akan keefektivan metode Maternal Reflektif
SLB-B swasta bermetode Maternal Reflektif juga mengalami problem
penyesuaian diri seperti yang dialami siswa tunarungu pada umumnya. Hasil
wawancara dan pra-survei peneliti menunjukkan bahwa ternyata siswa
tunarungu di SLB-B yang masih mengalami problem penyesuaian diri.
Masalah yang masih sering dialami siswa tunarungu adalah
permasalahan hubungan timbal balik antara diri anak, keluarga, lingkungan
sekolah, dan masyarakat (Gunarsa, 1987). Berdasarkan hasil wawancara dan
pra-survei ditemukan bahwa siswa tunarungu masih mengalami problem
dalam proses penyesuaian relasi dengan orang tua dan saudara kandung,
penyesuaian dalam hal berkomunikasi, penyesuaian relasi sosial yang lebih
luas, penyesuaian dalam bidang akademik, dan penyesuaian emosi.
Problem penyesuaian diri dalam konteks relasi siswa tunarungu
dengan anggota keluarga di rumah terjadi muncul karena adanya perlakukan
yang tidak menyenangkan dari orang tua. Perilaku tidak menyenangkan
muncul dalam wujud perilaku acuh dan tidak menunjukkan kasih sayang.
Perlakuan semacam ini membuat siswa tunarungu merasa tidak berharga dan
tidak bahagia. Tindakan orang tua yang terlalu overprotected membentuk
siswa tunarungu menjadi pribadi rapuh dan mudah khawatir. Mereka sering
merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tanpa bantuan orang lain dan tidak
berani mencoba hal baru, akibatnya lingkungan menjadi sangat terbatas dan
mereka terkungkung dalam kehidupan yang monoton. Keadaan ini membuat
mereka sering merasa mudah bosan dan tidak mandiri. Perilaku saudara
mengajak siswa tunarungu bermain bersama membuat siswa tunarungu
merasa tertolak.
Penyesuaian diri siswa tunarungu dalam konteks komunikasi
mengalami problem yang disebabkan karena artikulasi yang diucapkan
ataupun pesan yang ingin disampaikan menjadi kurang jelas. Kekurangjelasan
artikulasi ketika berbicara, keterbatasan kosakata, terbiasa menggunakan
bahasa isyarat dan kekurangmampuan mengungkapkan perasaan secara lisan
mengakibatkan penyampaian pesan menjadi kurang efektif serta menyebabkan
lawan bicara tidak menangkap pesan yang disampaikan siswa tunarungu.
Keadaan ini membuat pemenuhan kebutuhan atau tuntutan menjadi terhambat.
Kegagalan melakukan komunikasi secara efektif membawa
keterbatasan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan yaitu ketika
berinteraksi dengan orang asing, tetangga, saudara jauh yang tidak mau
mengerti kondisi siswa tunarungu. Orang disekitar yang tidak terbiasa
berkomunikasi dengan siswa tunarungu akan mengalami kesulitan memahami
pembicaraan. Hal ini terjadi karena pelafalan artikulasi kata yang disampaikan
tidak sejelas dan tidak umum digunakan dalam percakapan sehari-hari pada
orang normal. Kondisi ini membuat mereka memandang rendah dan bersikap
tidak membuka diri terhadap siswa tunarungu. Siswa tunarungu juga
mengalami problem penyesuaian diri dalam berelasi. Problem ini terjadi
karena adanya perilaku diskriminatif dari teman sebaya.
Keadaan emosi yang belum stabil menghambat proses penyesuaian diri
yang sering dialami membuat mereka mudah curiga dengan situasi baru dan
ragu-ragu. Ketakutan akan terulang kembalinya pengalaman yang pahit
seringkali membuat siswa tunarungu tidak berani dalam melangkah.
Pengalaman traumatis disini tidak harus suatu pengalaman yang bersifat besar
dan sungguh menyakitkan secara langsung, pengalaman ditolak oleh
teman-teman karena dianggap aneh, dikucilkan, diejek, atau dianggap bodoh saja
sudah cukup membuat siswa tunarungu sangat berusaha agar kejadian serupa
jangan sampai dialami lagi.
Hasil pra-survei terhadap responden guru SLB-B digunakan sebagai
dasar penyusunan pertanyaan kuesioner penelitian survei kepada siswa
tunarungu. Setiap langkah dalam tahap penelitian ini berada dibawah
pengawasan salah satu pembina dan penatar guru-guru di SLB-B swasta yang
menerapkan metode Maternal Reflektif. Sasaran yang hendak dituju dalam
penelitian survei ini adalah menemukan tiga frekuensi jawaban tertinggi dari
situasi pemicu problem penyesuaian diri siswa tunarungu.
Penetapan membahas tiga frekuensi jawaban tertinggi situasi pemicu
problem penyesuaian diri siswa tunarungu diputuskan dengan asumsi bahwa
setiap situasi memiliki potensi menjadi pemicu munculnya problem
penyesuaian diri siswa tunarungu. Untuk mengajukan solusi atas pemecahan
problem peneliti perlu menjaga fokus pada situasi pemicu problem.
Wauters & Knoors (2007) mengadakan sebuah penelitian mengenai
interaksi siswa tunarungu di lingkungan berpendengaran normal terhadap 18
tunarungu di lingkungan berpendengaran normal hanya memiliki sedikit
teman dan jarang berinteraksi dengan teman berpendengaran normal. Mereka
juga merasa tertolak, terisolasi dan sendiri.
Sebuah penelitian mengenai hubungan antara lingkungan keluarga
dengan penyesuaian diri pada siswa remaja tunarungu (Dhingra, Manhas &
Sethi, 2007) menemukan bahwa lingkungan keluarga memiliki pengaruh yang
besar terhadap penyesuaian yang dimiliki siswa remaja tunarungu. Penelitian
lain mengenai faktor yang mempengaruhi penyesuaian pada siswa remaja
tunarungu menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
penyesuaian yang dimiliki dengan penggunaan alat bantu dengar, kemampuan
berbicara, prestasi akademis, kondisi pendengaran orang tua serta pengalaman
yang dimiliki guru (Polat, 2003).
Telah banyak penelitian mengenai ketunarunguan yang dilakukan,
namun sebagian besar bertujuan membuktikan hubungan dan melihat
perbedaan dalam konteks penyesuaian diri. Hasil penelitian terdahulu juga
telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
problem penyesuaian diri, namun sejauh pengamatan peneliti belum ada yang
mengungkap bilamana faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri tersebut
menimbulkan problem dalam penyesuaian diri.
A. Rumusan masalah penelitian
Pertanyaan utama yang mendasari pelaksanaan penelitian ini adalah:
“Situasi pemicu problem penyesuaian diri manakah yang sering dialami siswa
B. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan situasi pemicu problem
dalam proses penyesuaian diri yang sering dialami siswa tunarungu yang
bersekolah di SLB-B Swasta.
C. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoretis
Penelitian mengenai situasi pemicu problem penyesuaian diri siswa
tunarungu pada SLB-B swasta ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
pengetahuan dalam memahami kondisi siswa tunarungu khususnya dalam
hal situasi pemicu problem penyesuaian diri. Selain itu, penelitian ini
dapat menambah literatur dalam mata kuliah Psikologi Pendidikan Anak
Luar Biasa dan Psikologi Perkembangan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat mengungkap problem penyesuaian diri
yang dialami siswa tunarungu dan memberikan masukan yang dapat
dilaksanakan oleh pihak sekolah untuk memperbaiki penerapan kebijakan
tertentu dalam mendidik siswa tunarungu. Peneliti berharap dengan
ditemukannya situasi yang masih sering dialami ini akan menstimulus
ditemukannya solusi efektif guna mengurangi problem penyesuaian diri
dalam kehidupan siswa tunarungu. Penelitian ini juga menawarkan saran
yang berguna bagi pihak lembaga pendidikan dan orang tua siswa
tunarungu untuk membuka kesempatan bagi siswa tunarungu untuk belajar
8
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Siswa tunarungu
1. Pengertian dan prevalensi ketunarunguan
Tunarungu diartikan sebagai individu yang memiliki kelainan
fungsi pendengaran yang terjadi sebelum atau setelah individu tersebut
dilahirkan, baik yang bersifat ringan maupun berat sehingga
perkembangan bahasanya terlambat dan memerlukan pembinaan,
bimbingan, pelayanan secara khusus untuk mencapai kehidupan yang
layak (Sudjadi, 2000, 2003).
Mangunsong (1998) menyatakan bahwa kerusakan atau kelemahan
(Impairment) merupakan ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang
disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu.. Sedangkan kecacatan atau
ketidakmampuan (Disability/Handicap) merupakan keterbatasan aktivitas
tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama
sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang menyandang Impairment
tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas
sosial.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi
(PUSDATIN) pada tahun 2001 diketahui bahwa jumlah siswa di Indonesia
yang mengalami kecacatan adalah sebesar 41.909 jiwa (Sudjadi, 2000,
Luar Biasa pada tahun 2005 di seluruh Indonesia mengenai keberadaan
siswa yang mengalami ketunarunguan mulai dari jenjang Taman
Kanak-Kanak hingga ke Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah
Kejuruan adalah sebesar 53.688 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh
PUSDATIN dan Dinas Pendidikan Luar Biasa tahun 2005 ini dapat
diprediksikan bahwa jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia pada
tahun 2009 akan meningkat lebih tajam lagi seiring dengan ledakan jumlah
penduduk dalam ancaman kesehatan yang semakin bervariasi.
1. Klasifikasi Ketunarunguan
Pengklasifikasian ketunarunguan digolongkan menjadi beberapa
bentuk, yaitu: berdasarkan kurun waktu terjadinya hambatan pendengaran,
lokasi terjadinya, dan untuk kepentingan pendidikan diklasifikasikan
berdasarkan sisa pendengaran yang masih dimiliki.
Ketunarunguan yang terjadi sebelum masa kelairan (Prenatal)
disebut dengan Congenital, namun apabila ketunarunguan terjadi pada
masa kelahiran atau setelah kelahiran (Postnatal) maka disebut
”Acquired” (Skinner & Shelton, 1979 dalam Efendi, 2006). Tunarungu
Congenital akibat faktor keturunan, penyakit, dan racun. Tunarungu
Acquired terjadi ketika siswa mengalami keterbatasan pendengaran ketika
dilahirkan atau setelah dilahirkan (Moores, 1982 dalam Efendi, 2004;
Soepardjo & Soetomo, 1985).
terjadinya. Ketunarunguan yang terjadi di telinga bagian luar (tunarungu
konduktif) terjadi karena liang telinga, selaput gendang, maupun ketiga
tulang pendengaran mengalami gangguan. Tunarungu perseptif terjadi
karena adanya gangguan organ-organ pendengaran (rumah siput & serabut
saraf pendengaran) yang terdapat di telinga bagian dalam. Sedangkan
tunarungu campuran terjadi karena rangkaian organ telinga tidak dapat
berfungsi sebagai penghantar maupun penerima rangsangan. (Ballantyne,
1970 dalam Efendi, 2006).
Klasifikasi yang sering diterapkan untuk kepentingan pendidikan di
Indonesia adalah kriteria berdasarkan International Standard Organization
(Sastrawinata, 1976; Mangunsong, 1998; Sudjadi, 2003; Efendi, 2006).
Ketunarunguan ini dikelompokkan menjadi :
• Slight losses (20-30dB)
Mengalami kekurangan mendengar tahap ringan, dapat mengikuti
pelajaran di sekolah umum tetapi harus duduk di dekat guru, belajar
berbicara dengan bantuan pendengarannya.
• Mild losses (30-40dB)
Tidak mengalami kesulitan mengekspresikan isi hati, mengerti
percakapan bila jarak sangat dekat, tidak dapat menangkap percakapan
dalam suara lembut, hanya dapat memahami pembicaraan jika dalam
posisi berhadapan, perlu mendapatkan bimbingan intensif untuk
memasuki kelas persiapan terlebih dahulu, disarankan menggunakan
alat bantu dengar.
• Moderate losses (40-60dB)
Mengalami kesulitan membedakan suara, tidak menyadari adanya
getaran suara, memerlukan pelajaran bahasa secara khusus, perlu
menggunakan alat bantu dengar, tidak mampu berbicara secara
spontan, terkadang dapat mendengar bunyi yang sangat keras seperti
deru mesin pesawat terbang atau suara klakson mobil.
• Severe losses (60-75dB)
Hanya memahami ucapan jika dengan suara yang keras dan dari jarak
yang sangat dekat, sering mengalami salah tanggap, mengalami
kelainan dalam mengucapkan konsonan tertentu, kesulitan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam
bercakap-cakap, kosakata yang dimiliki sangat terbatas, perlu menggunakan alat
bantu dengar.
• Profoundly losses (≥75dB)
Tidak dapat mendengar suara keras, memerlukan latihan membaca
gerak bibir, memerlukan latihan mendengar untuk menciptakan
kesadaran bunyi, memerlukan latihan membaca ujaran, menggunakan
2. Kekhasan perkembangan siswa tunarungu
Siswa tunarungu yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
individu tunarungu yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama
Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).
Pada umumnya usia siswa tunarungu yang duduk di bangku SMPLB dan
SMALB berada pada rentang 14 sampai dengan 21 tahun. Rentang usia
ini merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa yang membutuhkan banyak penyesuaian diri. Siswa tunarungu
mulai belajar melakukan penyesuaian diri bukan hanya dengan anggota
keluarga di rumah saja namun juga dalam relasi yang lebih luas.
a. Perkembangan fisik
Kekhasan perkembangan fisik yang terdapat pada siswa
tunarungu terletak gerakan mata yang sangat sensitif terhadap
perubahan gerakan sekecil apapun. Hal tersebut disebabkan karena
organ yang paling berperan menggantikan fungsi pendengaran sebagai
usaha untuk menangkap informasi dari lingkungan adalah organ
penglihatan (Efendi, 2006).
Sebuah paparan artikel mengenai sebab-sebab ketulian dari
sudut pandang kedokteran, Dr. THT H. Soepardjo & Dr. Soetomo
(1985) mengemukakan bahwa ketidaknormalan yang terjadi pada
rumah siput akan berdampak pada menurunnya daya keseimbangan
sebagai organ pendengaran, rumah siput juga bertugas menjaga
keseimbangan tubuh.
Kekhasan perkembangan fisik yang lain yaitu siswa tunarungu
tidak dapat mengerjakan dua hal dalam satu waktu yang bersamaan,
seperti contohnya mendengarkan pembicaraan teman ketika sedang
menulis. Hal ini dikarenakan mereka belum dapat mendengarkan suara
secara spontan, oleh sebab itu diperlukan energi dan konsentrasi yang
terpusat untuk melakukan satu aktivitas.
b. Perkembangan kognitif dan bahasa
Terhambatnya komunikasi siswa tunarungu berdampak luas
terhadap berbagai segi perkembangan, baik perkembangan fisik,
kognitif dan bahasa, maupun perkembangan psikososial (Madhubala &
Rao, 2004). Dalam teori Epigenetik oleh Erik Erikson diungkapkan
bahwa perkembangan seperti halnya organ-organ embrio yang
berkembang tahap demi tahap. Bila organ tertentu tidak berkembang
sebagaimana mestinya dalam periode kritis maka organ tersebut tidak
akan pernah mencapai kemasakan yang sempurna (Alwisol, 2006;
Boeree, 2006; Salkind, 2009). Hal ini dapat diartikan sebagai
kegagalan perkembangan yang terjadi di tahap tertentu akan
berdampak pada terhambatnya perkembangan ke tahap berikutnya.
Siswa tunarungu mengalami keterlambatan 2 samapi dengan 4
tahun pada tahap kognitif operasional kongkrit dan tahap operasional
muncul karena kurangnya kesempatan untuk memiliki pengalaman
terlibat secara langsung dalam dunia nyata sebagai akibat dari
keterbatasan bahasa yang dialami. (Furth, 1961 dalam Bunawan &
Yuwati, 2000).
Kekhasan perkembangan bahasa yang mudah dibedakan
dengan orang berpendengaran normal adalah suara yang dihasilkan
ketika siswa tunarungu berbicara terdengar melengking atau tidak
sesuai intonasi pada umumnya. Hal ini disebabkan terganggunya
organ pendengaran yang berakibat pada berkurangnya kepekaan
membedakan suara nada rendah dan nada tinggi (Efendi, 2006). Ketika
berinteraksi dengan orang lain, siswa tunarungu harus memposisikan
diri berhadapan muka untuk dapat memahami ucapan dan ekspresi
wajah lawan bicara (Mangunsong, 1998; Efendi, 2006).
c. Perkembangan psikososial
Perkembangan psikososial siswa tunarungu sangat unik, aspek
perkembangan ini sering menjadi perhatian utama yang banyak
menimbulkan problematika. Siswa tunarungu menunjukkan adanya
keterlambatan dalam menguasai beberapa konsep abstrak bahasa yang
akibatnya berpengaruh terhadap perkembangan psikososialnya
(Silvernon, 1967 dalam Scheetz 2004). Selain itu siswa tunarungu juga
kurang memahami tugas nonverbal seperti dalam hal tata krama. Hal
ini disebabkan karena tidak adanya stimulasi kognitif dan penerimaan
Emosi siswa tunarungu dipandang kurang stabil dan mudah
berubah, hal ini disebabkan karena adanya perasaan bingung dan tidak
berdaya menghadapi situasi yang ada. Oleh sebab itu sering kali
dikatakan bahwa emosi siswa tunarungu dipandang meledak-ledak.
Adanya dorongan natural dari sifat siswa yang sedang dalam tahap
masih mencari identitas itu sendiri dan ditambah dengan perasaan tidak
berdaya karena keterbatasan pendengaran dan perlakuan individu
sekitar yang diterima membuat siswa tunarungu memiliki emosi yang
rapuh dan kurang stabil (Efendi, 2006).
Siswa tunarungu memiliki kepribadian yang khas dan
berbeda dari kepribadian individu berpendengaran normal pada
umumnya (Sanders, 1988 dalam Widiyanto, 2008). Individu
berpendengaran normal memandang penyandang tunarungu memiliki
kekhasan sikap yaitu; mereka lebih senang menarik diri, memiliki
penilaian diri yang negatif, sering mengalami depresi, terlalu optimis,
mengalami ketegangan yang berlebihan, kecemasan yang tinggi
terhadap kerja, mudah tersinggung, suka menutup-nutupi dan memiliki
reaksi-reaksi yang eksentrik (Widiyanto, 2008).
3. Sekolah Luar Biasa bagian B non-negeri (SLB-B Swasta)
Sekolah Luar Biasa bagian B non-negeri (SLB-B swasta) adalah
sekolah yang didirikan oleh lembaga perseorangan atau yayasan diluar
fisik dalam hal pendengaran. Pada kenyataannya, SLB-B swasta terbentuk
karena adanya desakan keprihatinan orang tua dan segelintir pemerhati
ketimbang merupakan aksi nyata dari para profesional dan pemerintah
(Meadow, 1980). Hal tersebut bukan hanya terjadi di Negara Indonesia
sebagai negara berkembang saja, tetapi juga negara-negara maju seperti
Amerika. SLB yang khusus menangani tunarungu di Propinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta jumlahnya
melebihi 43 sekolah, namun hanya sebagian kecil yang siap menggunakan
metode komunikasi Maternal Reflektif sebagai metode pengajaran bahasa.
Seorang tokoh pendidikan siswa tunarungu dari Belanda yang
bernama Dr. A. Van Uden mengungkapkan bahwa siswa-siswi tunarungu
harus sedini mungkin diperkenalkan dan dilatih dalam kemampuan
bahasanya. Metode yang tepat dalam memperkenalkan siswa-siswa ini
adalah dengan cara seperti seorang ibu ketika mengajarkan siswanya
berbicara, yaitu metode Maternal Reflektif (Sumarwati, 2008). Sampai
saat ini metode ini dianggap paling efektif dalam melatih siswa tunarungu
berbicara karena dengan metode ini perkenalan bahasa pada siswa-siswa
tunarungu usia dini menjadi lebih mudah dan tidak memaksa untuk segera
dapat berbicara (Bunawan & Yuwati, 2000).
Moores menemukan 5 elemen penting yang mengarah kepada
kesuksesan pendidikan tunarungu, yaitu memiliki orientasi kognitif dan
akademik, penggunaan metode komunikasi oral dan bahasa isyarat yang
pelatihan auditori tidak hanya dilakukan di dalam ruangan tetapi juga
dalam situasi nyata di luar sekolah, orang tua sejalan dengan metode
pengajaran bahasa yang digunakan para guru (Meadow, 1980).
Metode pengenalan bahasa yang tepat dapat meningkatkan
kemampuan siswa tunarungu dalam berinteraksi bukan hanya dengan
sesama tunarungu tetapi juga dengan individu berpendengaran normal
(Bunawan, 1997). Tercapainya kemampuan untuk berkomunikasi dengan
efektif merupakan indikator dari kesuksesan pendidikan tunarungu. Hal
tersebut ditandai dengan dikuasainya kecakapan hidup dalam bentuk
kemampuan menyesuaikan diri di dalam diri siswa tunarungu baik dengan
dirinya sendiri maupun dengan individu disekitarnya (Iswari, 2007). Hasil
pencapaian ini akan menghindarkan siswa tunarungu dari problem
penyesuaian diri yang sering diidentikan dengan permasalahan tunarungu.
SLB-B Swasta bermetode Maternal Reflektif yang menjadi sasaran
penelitian yaitu :
a. SLB-B Wiyata Dharma I Sleman
SLB-B Wiyata Dharma I Sleman merupakan Sekolah Luar
Biasa swasta yang berlokasi di Jl. Magelang KM.17 Sleman
Yogakarta. Letaknya tepat berada di pinggir jalan Magelang. Siswa
tunarungu yang bersekolah di SLB-B Wiyata Dharma ini umumnya
berasal dari latar belakang ekonomi menengah kebawah. Siswa – siswi
yang bersekolah di SLB-B ini tidak hanya berasal dari sekitar kota
Jumlah siswa mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai
dengan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa berjumlah 48 siswa
dengan jumlah guru sebanyak 26 orang. Sekolah ini menyelenggarakan
pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar Luar Biasa sampai
dengan tingkat Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Salah satu sumber
bantuan dana dari sekolah ini berasal dari yayasan penyandang anak
cacat di Jepang. Selain kegiatan akademik, kegiatan non akademik
yang terdapat disekolah ini yaitu Pramuka yang bersifat wajib. Sarana
dan prasarana di SLB-B ini dipandang cukup baik, antara lain ruang
latih wicara, ruang latih irama dan lagu, ruang olah raga, ruang
bengkel, ruang menjahit, asrama, toilet, ruang guru, ruang pertemuan,
ruang kepala sekolah, ruang olah raga indoor.
Kondisi ketunarunguan siswa–siswi SMPLB dan SMALB di
SLB-B ini diatas 90 dB, namun di SDLB beberapa siswa memiliki
tingkat ketunarunguan dibawah 75dB. Penggunaan metode pengajaran
bahasa yang diterapkan di SLB-B ini adalah metode Maternal
Reflektif, namun sayangnya penggunaan metode ini belum
menunjukkan kemampuan berbicara yang signifikan. Hal ini
dikarenakan pihak sekolah kurang tegas menerapkan peraturan yang
mengharuskan menggunakan bahasa oral yang berguna melatih
kemampuan berkomunikasi siswa.
b. SLB-B YRTRW Surakarta
SLB-B YRTRW Surakarta terletak diGumunggung RT1/II
Gillingan Banjarsari Surakarta. Letak SLB-B ini tidak jauh dari SLB
Negeri Surakarta dan Terminal Tirtonadi. Orangtua murid dari siswa
tunarungu di SLB-B ini berasal dari tingkat ekonomi menengah
kebawah. Siswa–siswi di SLB-B ini tidak hanya berasal dari sekitar
daerah Surakarta tetapi juga dari luar daerah Surakarta.
Siswa–siswi di SLB-B ini berjumlah kurang 60 orang dengan
jumlah guru sebanyak 22 orang. Tingkat pendidikan yang
diselenggarakan di SLB-B ini mulai dari tingkat Sekolah Dasar Luar
Biasa sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Sekolah ini memiliki kerjasama dengan Fakultas Psikologi dan
Fakultas Keguruan Universitas Muhamadiyah Surakarta. Setiap
semester, Universitas Muhamadiyah Surakarta akan mengirimkan
mahasiswanya untuk melaksanakan praktek kerja lapangan
mendampingi guru mengajar di SLB-B YRTRW. Selain kegiatan
belajar mengajar, kegiatan non-akademik yang dilaksanakan di SLB-B
ini antara lain Pramuka dan rekreasi bersama. Sarana dan prasarana di
SLB-B antara lain; toilet, ruang guru, ruang menjahit, ruang komputer,
ruang bina suara dan persepsi bunyi, perpustakaan, dan asrama.
Kondisi ketunarunguan para siswa di SLB-B YRTRW rata-rata lebih
dari 75dB. Metode pengajaran bahasa yang digunakan di SLB-B ini
c. SLB-B Santi Rama Jakarta
SLB-B Santi Rama terbagi menjadi dua lokasi yaitu bagian
SDLB sampai dengan SMALB berada di Jl. RS. Fatmawati Cipete
Jakarta Selatan, sedangkan Taman Latihan Observasi dan TKLB
terletak di Jl. Kramat Jakarta Timur. Latar belakang ekonomi orangtua
murid siswa tnarungu di SLB-B ini berasal dari kalangan kelas
menengah ke atas.
Jumlah murid mulai dari jenjang Sekolah Dasar Luar Biasa
sampai dengan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa adalah sebesar 146
siswa dengan jumlah guru sebanyak 33 orang. SLB-B ini bekerja sama
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Fakultas Keguruan
Universitas Negeri Jakarta, dll. SLB-B ini dijadikan berbagai
percontohan metode pendidikan karena dinilai kemampuan berbahasa
dari siswa SLB-B Santi Rama cukup baik. Selain kegiatan akademik,
kegiatan non-akademik di SLB-B ini yang wajib diikuti yaitu
Pramuka. Selain itu, kegiatan ekstrakulikuler lain yang ada yaitu:
sepak bola, basket, modelling dan menari.
Sarana dan prasarana di SLB-B ini terbilang lengkap, yaitu
ruang menjahit, toilet, ruang menjahit, ruang kursus tata kecantikan
salon, ruang bengkel otomotif, ruang guru, ruang perpustakaan,
mushola, ruang observasi pengajaran guru, ruang perbaikan lata bantu
Metode pengajaran bahasa yang digunakan adalah Maternal
Reflektif (Oral-Aural). Tingkat ketunarunguan siswa SLB-B Santi
Rama sangat beragam,namun rata-rata berada pada tingkat diatas
95dB. Visi SMPLB & SMALB Santi Rama Jakarta yaitu membimbing
siswa menjadi seorang tunarungu dewasa, mandiri, produktif, memiliki
bekal hidup sesuai dengan keterampilan kerja yang dimiliki,
bertanggung jawab, berguna bagi diri sendiri dan masyarakat.
d. SLB-B Pangudi Luhur
SLB-B Pangudi Luhur terletak di Jl. Pesanggrahan 125
Kembangan Jakarta Barat. Orang tua siswa tunarungu di SLB-B ini
berasal dari tingkat ekonomi menengah keatas. Metode pengajaran
bahasa di SLB-B Pangudi Luhur yaitu metode Maternal Reflektif
(Oral-Aural) dimana setiap siswa wajib menggunakan alat bantu
dengar.
Jumlah siswa di SLB-B Pangudi Luhur mulai dari TKLB
sampai dengan SMALB berjumlah kurang lebih 300 orang, dengan
jumlah guru sebanyak 76 guru dan 6 karyawan. Selain kegiatan
akademik, kegiatan non-akademik di SLB-B ini antara lain Basket,
Sepak Bola, Berenang, Melukis dan Menari. Sarana dan prasarana di
SLB-B ini terbilang cukup lengkap, yaitu; ruang menjahit, toilet, ruang
showroom karya batik, ruang perbaikan alat bantu mendendengar,
ruang tata boga, kapel, ruang presentasi, ruang serbaguna,
B. Problem Penyesuaian Diri Siswa tunarungu 1. Pengertian penyesuaian diri
Menurut Schneider (1964) penyesuaian merupakan proses yang
melibatkan respon mental dan behavioral dimana siswa tersebut mampu
mengatasi kebutuhan-kebutuhan didalam dirinya, frustrasi, dan konflik
dengan baik. Penyesuaian diri berpengaruh pula terhadap keseimbangan
antara kebutuhan dari dalam diri dengan sesuatu yang membebani siswa
tersebut atas lingkungan dimana siswa tersebut berada. Dalam konteks
siswa, Schneider (1964) menambahkan bahwa siswa melakukan
penyesuaian dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan dan kebahagiaan
(Schneider, 1951). Hal ini berarti untuk mendapatkan kepuasan dan
kebahagiaan atau dengan kata lain untuk memiliki penyesuaian yang baik
maka siswa perlu menjaga keseimbangan antara diri sendiri, keseimbangan
antara diri sendiri dengan individu lain, dan menjaga keseimbangan
benda-benda dan peristiwa yang berasal dari lingkungan siswa tersebut.
Mu`tadin dalam http://www.e-psikologi.com/remaja / 060802.htm.
mengungkapkan penyesuaian diri terdiri dari dua aspek, yaitu penyesuaian
personal dan penyesuaian sosial. Penyesuaian personal merupakan
kemampuan siswa untuk menciptakan keadaan seimbang dan harmonis
antara tuntutan harapan yang ada di dalam dirinya dengan kemampuan
yang ada sebenarnya. Kemampuan siswa untuk melakukan
penyesuaiannya secara personal akan membantu menyesuaikan dengan
menjaga harmonisasi antara kebutuhan yang ada didalam dirinya dengan
tuntutan pola kebudayaan dan norma-norma yang ada di masyarakat.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan oleh beberapa
tokoh diatas, maka dapat dilihat adanya kesamaan dari definisi yang telah
diungkapkan tersebut. Persamaan tersebut terletak pada adanya aspek
siswa itu sendiri dan aspek individu lain atau lingkungan. Selain itu pula
ditemukan adanya unsur perubahan dan kemampuan usaha untuk membuat
antara kebutuhan dari dalam diri dengan keberadaan lingkungan menjadi
harmonis. Maka berdasarkan persamaan dari tiap definisi yang
disampaikan oleh tokoh mengenai penyesuaian disimpulkan bahwa
penyesuaian diri adalah suatu proses yang dijalani individu dalam
mencapai kemampuan menyeimbangkan perubahan-perubahan atas
kebutuhan dari dalam diri dengan keberadaan lingkungan melalui sebuah
proses untuk mencapai suatu keadaan yang terbebas dari masalah atau
problem.
2. Aspek-aspek penyesuaian diri
Menurut Mu`tadin dalam http://www.e-psikologi.com/remaja /
060802.htm. penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu: penyesuaian
pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi mengarah pada
kemampuan individu menerima dirinya. Keberhasilan penyesuaian pribadi
ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan, kecewa, tidak
percaya diri, tidak ada kecemasan dan rasa bersalah, rasa kurang puas dan
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkungan sekitar kehidupan
individu, contohnya masyarakat umum, sekolah, teman sebaya dan
keluarga. Penyesuaian sosial mengarah kepada interaksi dengan
lingkungan sosial dan mematuhi norma yang ada.
3. Pengertian problem penyesuaian diri
Menurut Kartono & Gulo (1987) problem diartikan sebagai suatu
situasi yang sulit untuk dipahami dan memerlukan adanya pemecahan
agar dapat terselesaikan. Madhubala dan Rao (2004) mendefiniskan
problem penyesuaian diri sebagai kondisi dimana individu tidak dapat
mencapai interaksi yang efektif dalam mewujudkan harmoniasasi antara
dirinya sendiri dan lingkungannya. Problem penyesuaian diri dimaknai
sebagai keadaan/kondisi dimana terdapat sekurang-kurangnya dua
kepentingan yang saling menghambat atau memandang pihak lain sebagai
hambatan sehingga tidak tercapai keseimbangan antara kepentingan yang
satu dengan kepentingan yang lainnya (Chandra, 1992).
Siswa tunarungu dikatakan berhasil melakukan penyesuaian ketika
ia merasa bahagia dan lingkungan juga merasa bahagia. Maksudnya yaitu
siswa tunarungu berhasil memenuhi tuntutan dari dalam dirinya dan juga
tuntutan diluar dirinya.
4. Ciri-ciri munculnya problem penyesuaian diri
Siswa tunarungu dikatakan mengalami problem dalam proses
sesuai dengan kriteria penyesuaian diri atau siswa tunarungu itu sendiri
merasa mengalami hambatan dalam menjalani kehidupan. Kriteria
penyesuaian diri bersifat subyektif tergantung pada keadaan di lingkungan
tempat penyesuaian diri dan nilai yang dianut, namun pada intinya kriteria
yang berbeda-beda itu memiliki pola yang sama.
Menurut Dapa & Liando (2007) dalam konteks perkembangan
siswa berkebutuhan khusus mengungkapkan bahwa kriteria penyesuaian
diri yang berhasil perlu meliputi ciri-ciri: memiliki penghayatan diri dan
ikhlas kepada Tuhan, bersikap mandiri, mampu berpikir kreatif dan positif,
memahami kelebihan dan kekurangan dirinya, memelihara kesehatan diri
dan lingkungan, disiplin dan bertanggung jawab, percaya diri dan mampu
pecahkan masalah, menghargai dan mau peduli orang lain. Sehingga
apabila siswa tunarungu mengalami problem maka ciri-ciri yang
ditampilkan sifatnya berlawanan atau tidak memenuhi kriteria. Ciri-ciri
penyesuaian diri yang menemui problem yaitu adanya perasaan marah,
sedih, menarik diri, perasaan kecewa berkepanjangan, depresi dan mudah
merasa cemas.
Sunarto & Hartono (2006) mengungkapkan siswa sering kali
berhadapan dengan problem penyesuaian dirinya, terutama yang berkaitan
dengan individu dewasa. Sikap penolakan, otoriter, dan pembedaan gender
dari orang tua berdampak pada penyesuaian diri yang kurang baik di
lingkungan rumah karena siswa merasa tidak diterima apa adanya.
konflik-konflik dengan orang tua, frustrasi, merasa minder, dan merasa
terisolasi.
5. Faktor yang mempengaruhi munculnya problem penyesuaian diri Proses penyesuaian diri yang mempengaruhi siswa yang
bersangkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal.
Ketika interaksi antara individu dengan faktor-faktor tersebut
menunjukkan situasi yang menguntungkan maka individu tersebut
dikatakan mampu melakukan penyesuaian diri, namun ketika interaksi
tersebut dinilai menghambat baik faktor maupun individu maka
penyesuaian tersebut dipandang mengalami hambatan/kegagalan atau
problem.
Menurut Sunarto & Hartono (2006), faktor–faktor yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri dikelompokan sebagai berikut :
a. Kondisi fisik
Keterbatasan kondisi fisik juga termasuk keterbatasan dalam
berkomunikasi bagi siswa tunarungu yang mempengaruhi proses
penyesuaian diri. Siswa tunarungu dapat tinggal di lingkungan yang
sehat dan mendukung perkembangannya, namun apabila keadaan
tersebut tidak ditunjang dengan kemampuan fisik yang memadai maka
tetap proses penyesuaian diri tidak akan berjalan dengan baik, karena
semangat yang kuat tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh tubuh
b. Kondisi psikologis diri
Kondisi psikologis dalam diri sangat menentukan keberhasilan
penyesuaian diri. Kondisi psikologis yang dimaksudkan disini, yaitu
kestabilan emosi, pengalaman yang dimiliki, kemampuan menyerap
informasi, kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, dan frustrasi.
Perilaku yang siswa lakukan pada saat ini seringkali
dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu (Azwar, 2007) dan juga
pengalaman mempengaruhi perilaku siswa tunarungu di masa yang
akan datang. Untuk menjadi dasar adanya perilaku tertentu,
pengalaman harus meninggalkan kesan mendalam dan berbekas yaitu
pengalaman yang melibatkan faktor emosional.
Keterbatasan pendengaran yang terjadi juga berpengaruh
terhadap kemampuan mereka menyerap informasi sebab dengan
berkurangnya kemampuan mendengar maka siswa tunarungu
mengalami keterbatasan dalam menyerap segala ilmu yang ada dengan
maksimal (Widiyanto, 2008). Keterbatasan dalam menyerap informasi
ini juga berakibat pada terhambatnya beberapa aspek interaksi dan
perkembangan psikologis siswa tunarungu itu sendiri.
c. Kondisi Lingkungan
Faktor lingkungan memainkan peranan yang nyata dalam
mental berprestasi siswa, seperti yang terukur pada tes inteligensi dan
membatasi kapasita tubuh. Faktor keturunan dan lingkungan berperan
membentuk kemampuan siswa tunarungu (Young, 1945).
Faktor penentu keberhasilan lainnya yang juga sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan penyesuaian diri adalah lingkungan
di sekitar siswa tunarungu. Lingkungan yang dimaksudkan disini
dimulai dari relasi dengan orang-orang terdekat yang sangat
berpengaruh dikehidupannya (Significant others), saudara, teman,
masyarakat, dan tempat dimana siswa tunarungu tersebut banyak
menghabiskan sebagian besar waktunya diluar rumah. Ketika
lingkungan sosial dan kebutuhan psikologis siswa tunarungu tidak
terpenuhi maka akan berkembang menjadi problem dalam proses
penyesuaian dirinya (Madhubala & Rao, 2004).
d. Agama dan budaya
Penyesuaian diri siswa tunarungu juga dipengaruhi oleh
kepercayaan yang dianut dan budaya dimana ia tinggal. Nilai atau
kepercayaan yang dianut dapat mempengaruhi pola pikir siswa
tunarungu dalam melakukan penyesuaian. Kebudayaan yang
mengarahkan seseorang jalan yang paling sesuai untuk diikuti. Dalam
mayarakat kita, hukum dan norma bersifat kaku dan mengikat
anggotanya, yang biasa kita sebut dalam definisi umum sebagai
“situasi”. Disisi lain, kebudayaan ini memunculkan reaksi, hasil dari
bertemu umum / kultural menjadi sebuah konflik maka siswa tersebut
akan mengalami gangguan emosional yang sangat besar (Young,
1945).
Agama dipandang memiliki pengaruh terhadap
pembentukkan perilaku karena dasar pengertian dan konsep moral
pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan dalam agama Konsep
moral dan ajaran agama tersebut akan mempengaruhi sistem
kepercayaan siswa dan berpengaruh terhadap sikap yang
ditunjukkannya (Azwar, 2007).
Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap siswa
tunarungu terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pula yang memberi
corak pengalaman siswa didalamnya. Hanya siswa yang telah mapan
dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam
pembentukan perilaku siswa tunarungu. Kebudayaan dimana siswa
tunarungu tersebut hidup dan dibesarkan memiliki pengaruh yang
sangat kuat terhadap perilakunya. Apabila siswa tunarungu dibesarkan
di keluarga tunarungu maka ia akan belajar memahami dan bersikap
toleran terhadap keterbatasan pada ketunarunguan (Azwar, 2007).
6. Proses terjadinya problem penyesuaian diri siswa tunarungu
Menurut konsep hubungan antara corak fungsi fisik tertentu
dengan kepribadian (Somatopsikologi) yang diungkapkan oleh L.
dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Namun, kelainan tubuh ini
tidak menyebabkan kelainan/gangguan psikologis secara langsung
melainkan melalui variabel sosial karena adanya hambatan berkomunikasi
dengan siswa normal (Madhubala & Rao, 2004).
Ketika lingkungan menilai siswa berkelainan fisik kurang
berharga, maka siswa tersebut akan merasa dirinya kuirang berharga. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan adanya kegagalan dalam penyesuaian
diri. Problem penyesuaian diri muncul ketika ketika kegagalan memiliki
wujud dan ekspresi yang dapat diamati (Chandra, 1992).
Proses terjadinya problem penyesuaian diri pada siswa
berkebutuhan khusus dapat dijelaskan lewat konsep peran tumpang tindih
yang dikemukakan oleh L. Meyerson (1953). Konsep peran tumpang
tindih memandang siswa berkebutuhan khusus hidup dalam dua dunia
yang mengharuskan mereka memainkan peran tertentu di dunia yang satu
dan mengganti berganti peran di dunia yang lain, yaitu dunia siswa normal
dan dunia luar biasa sebagai akibat kebutuhan khusus ketunaannya. Peran
itu sendiri memiliki makna sebagai fungsi atau tingkah laku yang
diharapkan ada pada individu atau yang menjadi ciri/ sifat dari dirinya
(Chaplin, 2005). Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor (individu
yang bersangkutan) dan merupakan perwujudan perilaku nyata, bukan
hanya sekedar harapan. Konflik akan muncul ketika ketegangan dari dua
pendapat yang berbeda atau dengan kata lain berusaha meniadakan peran
Banyak kegiatan yang terbuka bagi kedua dunia di dalam dunia
siswa tunarungu, namun beberapa hanya bersifat spesifik bagi dunia
tertentu saja. Siswa perlu memainkan peran yang berbeda-beda sesuai
dunia yang ditempati. Peran tersebut ada yang bersifat seiring, misalnya
peran sebagai siswa dan peran sebagai aggota klub sepakbola. Peran yang
bersifat saling mengganggu merupakan dua peran sekaligus yang tidak
mungkin dilakukan disaat bersamaan.
Problem pada peran yang saling berlawanan terjadi apabila dalam
waktu yang bersamaan suatu peran berusaha meniadakan peran yang lain,
misalnya ketika memasuki masa siswa, siswa tunarungu harus memilih
antara tetap menjalani peran sebagai seorang siswa atau individu dewasa.
Situasi peran yang saling meniadakan terjadi apabila seseorang menolak
peran yang terbuka baginya dan mencita-citakan peran yang tidak dapat
dicapainya. Penghalangnya dalam bentuk bidang kemampuan ataupun
penghalang sosial. Contoh pada peran yang saling meniadakan yaitu
cita-cita siswa tunarungu untk menjadi pemain biola sementara siswa tersebut
memiliki keterbatasan pendengaran. Siswa tunarungu paling sering
mengalami peran yang saling meniadakan, hal ini menyebabkan mereka
lebih sering mengalami problem dalam penyesuaian diri (Bunawan &
Yuwati, 2000).
Ketika memasuki situasi baru siswa pada umumnya merasa
ragu-ragu karena tahapan guna mencapai tujuan belum jelas sehingga sifatnya
membuat siswa merasa siswa merasa frustasi dan menghadapi problem
karena adanya pertarungan antara dorongan untuk kembali ke situasi lama
yang telah dikenal dengan masuk ke situasi baru.
Menurut Chandra (1992) pertentangan peran memiliki sifat negatif
(-) dan berpotensi memunculkan problem oleh karena :
a. Munculnya ketegangan yang diekspresikan
Kegagalan dalam menyesuaikan diri yang diekspresikan
muncul sebagai sebuah problem dalam proses penyesuaian diri
(Chandra, 1992). Ekspresi ketidaksesuaian dapat diwujudkan secara
verbal dalam bentuk maupun memiliki tujuan/kepentingan yang
bertentangan.
b. Pemenuhan kebutuhan terbatas
Keterbatasan pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan
kebutuhan jasmani, ekonomi, sosial maupun rohani. Situasi/keadaan
yang membatasi pemenuhan kebutuhan individu akan memunculkan
problem dalam proses penyesuaian diri.
Problem terjadi karena adanya perbedaan tujuan dan cara
pemenuhan, sering kali individu tidak mampu atau tidak mau
merumuskan kebutuhan, keinginan dan cara pemenuhannya akibatnya
situasi menjadi penuh dengan ketidakjelasan karena individu lain tidak
kondisi ketidakjelasan yaitu kebutuhan yang dilihat berbeda,
kebutuhan yang pada kenyataannya memang berbeda, kebutuhan
kedua pihak yang tersamar dan kebutuhan salah satu pihak yang
tersembunyi.
c. Penghambat
Situasi yang memunculkan problem penyesuaian diri akan
terjadi apabila masing-masing pihak merasa pemenuhan tujuannya
terhambat oleh pihak lain, maupun ketika salah satu pihak merasa
pemenuhan tujuanya terhambat oleh pihak lain.
d. Saling bergantung
Maksud dari saling bergantung adalah masing-masing pihak
dapat mengakibatkan sesuatu terjadi pada pihak lain. Misalnya
perilaku orangtua akan mempengaruhi perilaku anak, sikap teman yang
mengganggu akan mempengaruhi perilaku siswa yang diganggu.
7. Area terjadinya problem penyesuaian diri
Penyesuaian diri diri siswa tunarungu meliputi lima area utama
penyesuaian yaitu penyesuaian diri siswa tunarungu di rumah dan
penyesuaian komunikasi, penyesuaian sosial, penyesuaian akademik, dan
penyesuaian emosi (Madhubala & Rao, 2004). Kesulitan dalam melakukan
yang bersangkutan. Problem-problem tersebut dapat muncul pada
beberapa area dalam waktu bersamaan ataupun dalam waktu yang
berbeda. Semakin siswa tersebut mampu melakukan penyesuaian diri
maka indivdu semakin tidak berhadapan dengan problem-problem di area
tersebut.
a. Penyesuaian Relasi dengan anggota keluarga di rumah
Kebutuhan akan afeksi siswa tunarungu datang dalam bentuk
perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh keluarga. Siswa
tunarungu membutuhkan perhatian dan kasih sayang lebih dari
keluarga. Dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, orang tua
memenuhi kebutuhan siswa tunarungu akan afeksi sekaligus mengajari
mereka bagaimana bersikap penuh kasih kepada individu lain.
Keberadaan rasa aman pada diri siswa tunarungu dipengaruhi
gaya pengasuhan orang tua. Seringkali orang tua merasa bersalah
dengan keadaan siswa mereka yang menjadi tunarungu. Hal ini
membuat orang tua bersikap memanjakan dan memiliki harapan
berlebihan pada sang siswa (Sastrawinata, 1976). Perilaku
memanjakan ini membuat siswa tunarungu tidak dapat
mengembangkan sikap mandiri.
Kebutuhan akan afiliasi ini bermula dari dalam lingkungan
keluarga. Afiliasi merupakan kebutuhan untuk menjadi bagian dalam
suatu kelompok. Kebutuhan akan afiliasi ini akan terpenuhi ketika
Beberapa orang tua