• Tidak ada hasil yang ditemukan

SITUASI PEMICU PROBLEM PENYESUAIAN DIRI YANG SERING DIALAMI SISWA TUNARUNGU PADA SLB-B SWASTA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SITUASI PEMICU PROBLEM PENYESUAIAN DIRI YANG SERING DIALAMI SISWA TUNARUNGU PADA SLB-B SWASTA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
377
0
0

Teks penuh

(1)

  i

SITUASI PEMICU PROBLEM PENYESUAIAN DIRI YANG SERING DIALAMI SISWA TUNARUNGU

PADA SLB-B SWASTA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Maria Sri Ismayasari NIM : 059114097

FAKULTAS PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv VA DOVE TI PORTA IL CUORE

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu Dan kau tak tau jalan mana yang harus kau ambil,

Janganlah memilihnya dengan asal saja, Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.

Tariklah nafas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, Seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, Tunggulah….dan tunggulah lebih lama lagi.

Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkan hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,

Dan pergilah ke mana hati membawamu…(Susanna Tamaro)

Semua konflik kehidupan adalah antara

membiarkan atau mempertahankan,

terbuka pada masa kini atau

terjebak di masa lalu,

perkembangan atau penyusutan.

Tuhan, gembalaku yang baik MAZMUR 23:1-4

(5)

v

Skripsi ini aku persembahkan untuk :

(6)
(7)

vii

SITUASI PEMICU PROBLEM PENYESUAIAN DIRI

YANG SERING DIALAMI SISWA TUNARUNGU PADA SLB-B SWASTA Maria Sri Ismayasari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui 3 situasi pemicu problem penyesuaian diri yang paling sering dialami dalam konteks relasi dengan orang tua di rumah, komunikasi, relasi sosial yang lebih luas, akademik, dan penyesuaian emosi dari siswa tunarungu di SLB-B Wiyata Dharma I Sleman, SLB-B YRTRW Surakarta, SLB-B Santi Rama Jakarta, dan LPATR Pangudi Luhur Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Pengumpulan data memakai kuesioner tanpa skala menggunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup. Subyek penelitian yang berjumlah 125 siswa-siswi mulai dari kelas VII SMPLB hingga kelas XII SMALB. Subyek penelitian memiliki kriteria rentang usia 14 sampai dengan 21 tahun, bersekolah di SLB-B yang menggunakan metode pengajaran bahasa Maternal Reflektif, tidak tinggal di asrama dan tidak mengalami kecacatan lain. Pengolahan data dilakukan dengan membuat tabulasi data, menghitung frekuensi jawaban dan menganalisis hasil penelitian.

Hasil penelitian dari 3 frekuensi jawaban tertinggi menunjukkan (1) Situasi pemicu problem penyesuaian diri yang paling sering dialami dalam konteks relasi dengan keluarga yaitu : (a) Sifat sensitif yang terlalu berlebihan ketika orang tua menegur dengan menampilkan wajah masam siswa tunarungu memandang sikap tersebut sebagai bentuk kemarahan orang tua. (b) Ketika siswa tunarungu merasa tidak diperhatikan pada saat berbicara dengan orang tua karena orang tua sering tidak menyadari bahwa siswa tunarungu hanya dapat memahami pembicaraan dalam posisi bercakap-cakap yang saling berhadapan. (c) Sensitivitas yang terlalu berlebih ketika tidak dilibatkan dalam suatu kegiatan bersama-sama membuat saudara kandung dipandang sering menumpahkan kemarahan terhadap siswa tunarungu. (2) Situasi pemicu problem penyesuaian komunikasi yang paling sering dialami yaitu : (a) Ketika siswa tunarungu tidak dapat menangkap setiap gerak bibir yang diucapkan orang normal karena gerak bibir mereka yang terbiasa berbicara dengan nada cepat. (b) Tidak terbiasa menggunakan bahasa lain selain Bahasa Indonesia ketika siswa tunarungu merasa kesulitan menerima informasi dalam bentuk penyampaian menggunakan Bahasa Inggris. (c) Keterbatasan konsep abstraksi bahasa ketika siswa tunarungu merasa kesulitan dalam merumuskan kata yang hendak disampaikan dalam bentuk tulisan. (3) Situasi pemicu problem penyesuaian relasi sosial yang paling sering dialami yaitu : (a) Siswa tunarungu mudah sekali menirukan kata baru tanpa mengetahui makna sesungguhnya sehingga ketika sesama tunarungu yang mengatakan suatu kata yang ditangkap bermakna kasar maka hatinya dengan mudah akan terluka. (b) Ketika siswa tunarungu sering merasa rendah diri berada di lingkungan berpendengaran normal karena menduga orang berpendengaran normal memandang cara siswa tunarungu berkomunikasi sebagai sesuatu yang tidak lazim. (c) Sifat sensitif yang berlebihan ketika merasa iri dengan siswa tunarungu lain yang sering menutupi kekurangannya dengan bersikap seolah-olah dirinya hebat. (4) Situasi pemicu problem penyesuaian akademik yang paling sering dialami yaitu : (a&b) Keterbatasan konsep dan pemahaman abstrak ketika mempelajari pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. (c) Keterbatasan kosakata ketika mendapat PR dari guru untuk berlatih di rumah yang membuatnya tidak memahami maksud pertanyaan yang diberikan oleh guru. (5) Situasi pemicu problem penyesuaian emosi yang paling sering dialami yaitu : (a) Ketika mudah merasa terancam oleh teman-teman yang sering mengganggu karena kondisi psikologis yang labil dan terlalu sensitif. (b) Ketika mudah merasa tegang sehingga merasa ketakutan karena membayangkan makhluk halus mengerikan. (c) Mudah merasa curiga ketika dirinya tidak ikut dilibatkan melakukan sesuatu bersama teman-temannya siswa tunarungu merasa dikhianati oleh teman-temannya.

(8)

viii

CIRCUMSTANCES WHICH TRIGGERED THE ADJUSTMENT PROBLEMS WHICH MOSTLY HAPPENS ON STUDENTS IN

NON-GOVERNMENT SPECIAL SCHOOL FOR THE DEAF Maria Sri Ismayasari

ABSTRACT

The aim of this research was to study circumctance which triggered adjustment problems of hearing impaired students ofWiyata Dharma I Special School for the deaf in Sleman, YRTRW Special School for the deaf in Surakarta, Santi Rama Special School for the deaf in Jakarta, and Pangudi Luhur Special School for the deaf in Jakarta which mostly happen in adjustment process toward relation with parents dan siblings at home, communication, larger social relations, academic, and emotional adjustment. This research was descriptive which applied survey method. The data collecting was done by questionnaire without scale and applied the combination of open and close questions. The research subjects was 125 students from 7th grade Junior High School Special Education until 12th grade Senior High School Special Education. The data processing was executed by tabulating the data, calculating the frequency of the answer, and analyzing the output of the research.

The research from 3 highest frequency resulted that (1) Adjustment problem in context of family relations which mostly happen are : (a) Over-sensitive nature when their parents admonished by displaying awry face to hearing impaired students who view that attitude as a form of angriness. (b) When deaf students was not taken into consideration talking with their parents because the parents often do not realize that deaf students can only understand speech in a position to talk to one another. (c) Over-sensitive of deaf students that often seen spilling anger against deaf students when their siblings didn`t invite them in an activity together. (2) Communiaction adjustment problem of hearing impaired childrent which mostly happen are : (a) When deaf students who can not catch every movement of the lips that uttered a normal person because their lips are used to speaking in a tone quickly. (b) When Deaf students felt difficult to accept the information in the form of the transfer to English because they are not accustomed to hearing another language than Indonesian. (c) Limitations of the concept of language abstraction when deaf students had difficulty in formulating the words to be submitted in written form. (3) Social relation adjustment problem which mostly happen are : (a) Deaf students easily imitate new words without knowing what it really means so when their deaf friends says unrespectfull words, they easily get hurted. (b) When deaf students often feel inferior in a normal environment because they thought that hearing people see them as strange person. (c) The nature of the excessive sensitivity when feeling jealous of the deaf students often mask deficiencies by acting as superior person. (4) Academics adjustment problem which mostly happen are : (a & b) Limitations and understanding of abstract concepts when learning English and Mathematics subjects. (c) The limited vocabulary when deaf students got homework that they can not understanding the purpose of its questions. (5) Emotional adjustment problems which mostly happen are : (a) Psychological condition of deaf students is not stable and too sensitive, so they easily feel threatened by other deaf friends that often interfere them. (b) Over-sensitivity made them easily felt scared because the thought of a terrifying ghost. (c) Deaf students easily feel suspicious so they felt betrayed by his friends when deaf students did not get involved doing something with their deaf friends.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kasih Tuhan Yesus Kristus yang telah memampukan

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak lepas dari kemurahan

hati berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis, untuk itu dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah Bapa – Yesus sang Putera – Roh Kudus.

Di akhir perlombaan dengan waktu akhirnya aku menyadari bahwa aku pasti

masih terombang ambing pada kebimbanganku kalau ku tetap bertahan pada

keangkuhan kekuatanku sendiri dan tidak berserah kepadaNYA. Semua nama

akan kuhapus dari kitab hidupku semoga ENGKAU mengijinkanku hidup

hanya demi kemuliaanMU yang lebih lagi. Ad Maiorem Dei Gloriam.

2. Ibu Christina Siwi Handayani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing dan Kaprodi. Terima kasih sekali atas kesediaan waktu, perhatian, kesabaran dan

ketulusan hati yang amat berharga bagi penulis sehingga karya ini akhirnya

bisa terselesaikan. Terima kasih membuatku berproses,Bu. Tetaplah bersinar

dan ceria yah.

4. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto M.Si. selaku dosen dan Tim Penguji ujian skripsi. Terima kasih untuk inspirasi dan dorongan semangat yang

membuat saya mencintai dunia ketunarunguan. Tuhan memberkati Bapak

sekeluarga.

5. Ibu Maria Laksmi Anantasari, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan tim penguji ujian skripsi. Ketulusan dan Kelembutan hati yang

selalu menginspirasiku. Terima kasih atas pendampingan selama peneliti

kuliah dan berbagai ide briliannya. GBU, Bu Arie ☺

6. Kepada Bapak dan Ibu Kepala Sekolah yang telah bersedia mengijinkan

peneliti melakukan penelitian: Bapak Sudarjo selaku Kepala SLB-B Wiyata

(11)

xi

Siti selaku Kepala Sekolah SMPLB dan SMALB Santi Rama Jakarta, Bapak

Subagyo Kepala SLB-B Pangudi Luhur Jakarta.

7. Kepada teman-teman di SLB-B Wiyata Dharma I, SLB-B YRTRW, SLB-B

Santi Rama, SLB-B Pangudi Luhur terima kasih sekaliiiii buat kesediaan

teman-teman membantu mengisi kuesioner, tetap semangat. ☺

8. Bapak & Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima

kasih atas ilmu dan didikannya.

9. Staf sekretariat Fak. Psikologi: Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gie`, Mas Doni

(Staf Ruang Baca) dan Mas Muji (Staf Laboratorium). Matur nuwun sanget.

10.Bapak Mayor. CHB Yoseph Eko Budi Kurnianto dan Ibu Mayor. CHB (K) Catharina Sri Purwatiningsih. Hutang kehidupan yang tak ternilai dengan uang. Terima kasih untuk hadiah anugerah kehidupan ini. Saya

mencintaimu, Pa, Ma.

11.Dalmasius Jati Pangarsa, S.Sing sahabat/ kakak/ kekasih/ saudara/ musuh yang telah mendampingi dalam keadaan seneng dan seneng banget ☺… waktu

yang akan membuktikan segalanya. Saya sangat mengasihimu,Mas. Terima

kasih untuk cinta-mu & -Mu.

12.Keluarga besar Antonius Hadisiswoyo.

13.Keluarga besar Ignatius Kasdoe.

14.Keluarga Julianus Weko Sambodo.

15.Sri Juniyanti Napitupulusoulmate sejati selamanya.

16.‘BARBARIA’ terima kasih menjadi teman berbagi tawa, tangis bahagia. 17.‘LEVINORI’ sobat-sobit tercinta di SMAN 2 Cimahi

18.Mudika Santo Ignatius Cimahi; Lazerus, Fendi, Anni, Eka, Heppi, Edo,

Jimmy.

19.Mas Anggit di Surga.

20.Mbak Dian L.Tobing.

21.Teman-teman angkatan Psikologi 2005 terima kasih buat kebersamaannya.

22.Teman-teman Psikologi angkatan 2002 sampai dengan 2009 yang kenal aku.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………....iii

HALAMAN MOTO………...…….….…..iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……..…v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..…...vi

ABSTRAK……….…vii

ABSTRACT………...…...viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………ix

KATA PENGANTAR………...……..x

DAFTAR ISI………..xii

DAFTAR TABEL……….xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….xix

BAB I PENDAHULUAN……….………...1

A. Latar Belakang Penelitian ……….………...1

B. Rumusan Masalah ………...6

C. Tujuan Penelitian………...………..…..7

(13)

xiii

BAB II KERANGKA TEORETIS………..………8

A. Siswa Tunarungu………...8

1. Pengertian dan Prevalensi Ketunarunguan………...……8

2. Klasifikasi Ketunarunguan………...……9

3. Kekhasan Perkembangan Siswa Tunarungu………...12

a. Perkembangan Fisik ………...…………...…..12

b. Perkembangan Kognitif dan Bahasa………...….13

c. Perkembangan Psikososial………...…14

4. Sekolah Luar Biasa Bagian B Swasta (SLB-B) swasta ………....15

a. SLB-B Wiyata Dharma I Sleman ..………..17

b. SLB-B YRTRW Surakarta ………..19

c. SLB-B Santi Rama ………..20

d. SLB-B Pangudi Luhur ……….21

B. Problem dalam Proses Penyesuaian Diri Anak Tunarungu………….22

1. Pengertian Penyesuaian diri .……….22

2. Aspek-aspek penyesuaian diri ……….. 23

3. Pengertian problem penyesuaian diri ………24

4. Ciri-ciri munculnya problem penyesuaian diri ………...25

5. Faktor penyesuaian diri ……….26

a. Kondisi Fisik………....26

b. Kondisi Psikologis Diri………....27

c. Kondisi Lingkungan………...27

(14)

xiv

6. Proses terjadinya problem dalam proses penyesuaian diri……….29

7. Area Terjadinya Problem Penyesuaian Diri………...…....33

a. Penyesuaian relasi dengan anggota keluarga…………..…….34

b. Penyesuaian Komunikasi………...35

c. Penyesuaian Relasi Sosial di Masyarakat………38

d. Penyesuaian Akademik………..…..38

e. Penyesuaian Emosi………..….39

BAB III METODE PENELITIAN………41

A. Jenis Penelitian………...41

B. Subyek Penelitian ………..42

C. Variabel Penelitian ………42

D. Definisi Operasional Problem dalam Proses Penyesuaian Diri …43 E. Metode Pengumpulan Data………45

1. Tahap Penelitian Pra-survei……….45

2. Tahap Penelitian Survei ……….47

F. Instrumen Penelitian………...49

1. Instrumen Penelitian Pra-survei………...49

2. Instrumen Penelitian Survei……….49

G. Validitas ………..………..51

1. Validitas logis………...52

2. Validitas Muka ………52

(15)

xv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...54

A. Pelaksanaan Penelitian………...54

B. Deskripsi Hasil Penelitian………..54

1. Hasil Penelitian Pra-survei………...54

2. Hasil Penelitian Survei……….73

C. Pembahasan………79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………90

A. Kesimpulan………...………..………...90

B. Saran……….….……...92

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persepsi guru SLB-B terhadap problem penyesuaian diri

siswa tunarungu ………...……….. 100

Tabel 2. Persepsi guru SLB-B terhadap problem penyesuaian diri siswa tunarungu ………..……...101

Tabel 3. Blueprint area problem penyesuaian diri siswa tunarungu ………...…….102

Tabel 4. Jawaban Pernah/Tidak mengalami situasi pemicu problem dengan perilaku orangtua…...………...103

Tabel 5. Situasi pemicu problem kekecewaan terhadap perilaku orangtua ………..………..103

Tabel 6. Jawaban Pernah/Tidak mengalami problem dengan saudara kandung………...103

Tabel 7. Situasi pemicu problem dengan saudara kandung……….104

Tabel 8. Frekuensi merasa sulit ketika Berbicara……….104

Tabel 9. Merasa sulit ketika berbicara………..104

Tabel 10. Frekuensi mengalami situasi pemicu problem membaca…………...105

Tabel 11. Situasi pemicu problem membaca………..105

Tabel 12. Frekuensi mengalami situasi pemicu problem mengkomunikasikan ide dalam tulisan………..105

Tabel 13. Situasi pemicu problem mengkomunikasikan ide dalam tulisan…...105

Tabel 14. Frekuensi mengalami situasi pemicu problem terlibat dalam Pembicaraan Orang Normal………106

Tabel 15. Situasi pemicu problem terlibat dalam pembicaraan orang normal...106

Tabel 16. Frekuensi merasa tidak suka dengan cara guru memperbaiki ucapan………...106

Tabel 17. Perasaan tidak suka dengan cara guru pengajar memperbaiki ucapan………....106

(17)

xvii

Tabel 19. Situasi pemicu problem yang dialami ketika tidak menggunakan bahasa

isyarat………...107

Tabel 20. Frekuensi Situasi pemicu problem membaca gerak bibir …………..107

Tabel 21. Situasi pemicu problem membaca gerak bibir………....107

Tabel 22. Frekuensi Pernah menggunakan alat bantu dengar………108

Tabel 23. Situasi pemicu problem menggunakan alat bantu dengar…………..108

Tabel 24. Frekuensi situasi pemicu problem penerimaan teman-teman sesama tunarungu………..108

Tabel 25. Frekuensi Situasi pemicu problem penerimaan teman-teman sesama Tunarungu...………...…………..109

Tabel 26. Frekuensi situasi pemicu problem membangun relasi dengan teman berpendengaran normal………...……109

Tabel 27. Situasi pemicu problem membangun relasi dengan masyarakat luas………..109

Tabel 28. Frekuensi situasi pemicu problem berpartisipasi di lingkungan rumah………110

Tabel 29. Situasi pemicu problem berpartisipasi di lingkungan rumah……….110

Tabel 30. Frekuensi situasi pemicu problem relasi dengan guru pengajar…….110

Tabel 31. Situasi pemicu problem relasi dengan guru pengajar……….110

Tabel 32. Frekuensi situasi pemicu problem memahami mata pelajaran……...111

Tabel 33. Situasi pemicu problem memahami mata pelajaran……...111

Tabel 34. Frekuensi Situasi pemicu problem mengerjakan PR………..111

Tabel 35. Situasi pemicu problem mengerjakan PR ………..112

Tabel 36. Frekuensi kebutuhan peningkatan fasilitas sekolah ………...112

Tabel 37. Kebutuhan fasilitas sekolah yang perlu ditingkatkan ………112

Tabel 38. Frekuensi situasi pemicu problem mengikuti kegiatan yang diadakan sekolah………...……….113

Tabel 39. Situasi pemicu problem mengikuti kegiatan yang diadakan sekolah………....113

Tabel 40. Frekuensi keinginan memasuki sekolah umum………..113

(18)

xviii

Tabel 42. Frekuensi mengalami frustasi ………....114

Tabel 43. Pengalami frustasi ……….….114

Tabel 44. Frekuensi perasaan Inferior ………....115

Tabel 45. Perasaan Inferior……….…115

Tabel 46. Frekuensi perilaku agresifitas……….…115

Tabel 47. Penyebab perilaku Agresif ……….…115

Tabel 48. Frekuensi Kesadaran akan kekurangan diri ………...116

Tabel 49. Kesadaran akan kekurangan diri ………....116

Tabel 50. Frekuensi perasaan depresi ………....116

Tabel 51. Pengalaman yang membuat depresi ……….…..116

Tabel 52. Frekuensi perasaan cemas………...117

Tabel 53. Hal yang membuat cemas………...117

Tabel 54. Tabel perbandingan peringkat per-area ……….118

Tabel 55. Rincian pelaksanaan pra-survei kelompok guru ………....124

Tabel 56. Rincian pelaksanaan pra-survei kelompok siswa………...125

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Identitas siswa tunarungu subyek wawancara dan keluarga

(pra-survei)…...…...128

Lampiran B. Transkrip wawancara siswa tunarungu………...….133

Lampiran C. Transkrip wawancara kakak dari siswa tunarungu………….…..145

Lampiran D. Transkrip wawancara ibu dari siswa tunarungu…………...…161

Lampiran E. Transkrip wawancara dengan guru SLB-B………..164

Lampiran F. Perbandingan hasil wawancara……….172

Lampiran G. Kuesioner Pra-survei Guru SLB-B………...181

Lampiran H. Rincian jawaban kuesioner guru SLB-B………..191

Lampiran I. Kuesioner Pra-survei siswa tunarungu……….239

Lampiran J. Rincian Jawaban kuesioner siswa tunarungu………...250

Lampiran K. Kuesioner Survei………..278

Lampiran L. Rincian jawaban survei……….…289

Lampiran N. Bukti pemeriksaan validitas oleh Professional judgement ..……304

Lampiran O. Surat Keterangan penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma………...308

Lampiran P. Surat Ijin melakukan penelitian dari BAPPEDA...309

Lampiran R. Surat Keterngan penelitian SLB-B Wiyata Dharma I Sleman...310

Lampiran S. Surat Keterangan Penelitian SLB-B YRTRW Surakarta …...311

Lampiran T. Surat Keterangan Penelitian SLB-B Santi Rama ………...312

Lampiran U. Surat Keterangan Penelitian SLB-B Pangudi Luhur …………...313

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang penelitian

Penyesuaian diri merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki

manusia. Setiap individu pernah mengalami problem di kehidupannya.

Problem tersebut merupakan tantangan yang berasal dari dirinya sendiri

maupun orang lain. Problem tersebut muncul ketika individu merasa atau

menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan mengatasi tantangan. Ketika

individu berhasil menghadapi tantangan maka ia dikatakan telah mampu

melakukan proses penyesuaian diri. Kemampuan penyesuaian diri didapat

melalui proses belajar, baik dengan cara mencontoh perilaku orang lain

maupun dengan melakukan cara mencoba-coba (trial and error). Seorang

individu mengalami hambatan dalam proses belajar menyesuaikan diri ketika

muncul keterbatasan secara fisik atau lingkungannya. Contoh dari individu

yang mengalami keterbatasan secara fisik ini yaitu penyandang tunarungu.

Istilah tunarungu merupakan sebutan bagi individu yang mengalami

kegagalan kemampuan dalam mendengar (Boothroyd, 1982 dalam Bunawan

& Yuwati, 2000). Orang pada umumnya memandang tunarungu sebagai suatu

stigma buruk. Kondisi ketunarunguan bersifat unik dan spesial karena

kecacatan yang dialami individu tunarungu tidak terlihat sehingga orang tidak

menyadari pada keterbatasan mendengar yang dialami individu tunarungu,

(21)

dengan spontan segera menjauhi. Tindakan ini dilakukan oleh sebagian besar

orang karena mereka kesulitan berkomunikasi dengan individu tunarungu. Hal

ini membuat individu tunarungu merasa tertolak. Situasi–situasi semacam ini

seringkali membuat individu tunarungu tidak dapat mengembangkan

kemampuan penyesuaian dirinya sehingga sering mengalami problem

kehidupan yang belum dapat teratasi.

Berbagai permasalahan yang sering dialami siswa tunarungu

menggugah kepedulian peneliti untuk menelaah situasi yang dialami siswa

tunarungu. Untuk itu peneliti melaksanakan penelitian pra-survei dengan

tujuan menemukan fakta-fakta seputar problem penyesuaian diri siswa

tunarungu.  Peneliti dilaksanakan dalam bentuk wawancara terhadap guru

SLB-B, subyek beserta ibu dan kakak dari seorang siswa tunarungu. Peneliti

juga melaksanakan pra-survei terhadap 75 guru dan 18 siswa tunarungu di

SLB-B Swasta untuk mengetahui apakah siswa tunarungu di SLB-B.

Kemampuan berkomunikasi berpengaruh terhadap penyesuaian diri

dalam menghadapi kesulitan hidup siswa tunarungu. Lembaga pendidikan dan

orang tua penyandang tunarungu percaya keterbatasan komunikasi ini dapat

dikurangi dengan menerapkan metode pengajaran bahasa yang tepat kepada

siswa tunarungu. Peneliti melaksanakan penelitian pra-survei di SLB-B

Swasta bermetode Maternal Reflektif karena sejauh ini metode tersebut

dipandang efektif dalam melatih siswa tunarungu berbicara (Bunawan &

Yuwati, 2000). Pandangan akan keefektivan metode Maternal Reflektif

(22)

SLB-B swasta bermetode Maternal Reflektif juga mengalami problem

penyesuaian diri seperti yang dialami siswa tunarungu pada umumnya. Hasil

wawancara dan pra-survei peneliti menunjukkan bahwa ternyata siswa

tunarungu di SLB-B yang masih mengalami problem penyesuaian diri.

Masalah yang masih sering dialami siswa tunarungu adalah

permasalahan hubungan timbal balik antara diri anak, keluarga, lingkungan

sekolah, dan masyarakat (Gunarsa, 1987). Berdasarkan hasil wawancara dan

pra-survei ditemukan bahwa siswa tunarungu masih mengalami problem

dalam proses penyesuaian relasi dengan orang tua dan saudara kandung,

penyesuaian dalam hal berkomunikasi, penyesuaian relasi sosial yang lebih

luas, penyesuaian dalam bidang akademik, dan penyesuaian emosi.

Problem penyesuaian diri dalam konteks relasi siswa tunarungu

dengan anggota keluarga di rumah terjadi muncul karena adanya perlakukan

yang tidak menyenangkan dari orang tua. Perilaku tidak menyenangkan

muncul dalam wujud perilaku acuh dan tidak menunjukkan kasih sayang.

Perlakuan semacam ini membuat siswa tunarungu merasa tidak berharga dan

tidak bahagia. Tindakan orang tua yang terlalu overprotected membentuk

siswa tunarungu menjadi pribadi rapuh dan mudah khawatir. Mereka sering

merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tanpa bantuan orang lain dan tidak

berani mencoba hal baru, akibatnya lingkungan menjadi sangat terbatas dan

mereka terkungkung dalam kehidupan yang monoton. Keadaan ini membuat

mereka sering merasa mudah bosan dan tidak mandiri. Perilaku saudara

(23)

mengajak siswa tunarungu bermain bersama membuat siswa tunarungu

merasa tertolak.

Penyesuaian diri siswa tunarungu dalam konteks komunikasi

mengalami problem yang disebabkan karena artikulasi yang diucapkan

ataupun pesan yang ingin disampaikan menjadi kurang jelas. Kekurangjelasan

artikulasi ketika berbicara, keterbatasan kosakata, terbiasa menggunakan

bahasa isyarat dan kekurangmampuan mengungkapkan perasaan secara lisan

mengakibatkan penyampaian pesan menjadi kurang efektif serta menyebabkan

lawan bicara tidak menangkap pesan yang disampaikan siswa tunarungu.

Keadaan ini membuat pemenuhan kebutuhan atau tuntutan menjadi terhambat.

Kegagalan melakukan komunikasi secara efektif membawa

keterbatasan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan yaitu ketika

berinteraksi dengan orang asing, tetangga, saudara jauh yang tidak mau

mengerti kondisi siswa tunarungu. Orang disekitar yang tidak terbiasa

berkomunikasi dengan siswa tunarungu akan mengalami kesulitan memahami

pembicaraan. Hal ini terjadi karena pelafalan artikulasi kata yang disampaikan

tidak sejelas dan tidak umum digunakan dalam percakapan sehari-hari pada

orang normal. Kondisi ini membuat mereka memandang rendah dan bersikap

tidak membuka diri terhadap siswa tunarungu. Siswa tunarungu juga

mengalami problem penyesuaian diri dalam berelasi. Problem ini terjadi

karena adanya perilaku diskriminatif dari teman sebaya.

Keadaan emosi yang belum stabil menghambat proses penyesuaian diri

(24)

yang sering dialami membuat mereka mudah curiga dengan situasi baru dan

ragu-ragu. Ketakutan akan terulang kembalinya pengalaman yang pahit

seringkali membuat siswa tunarungu tidak berani dalam melangkah.

Pengalaman traumatis disini tidak harus suatu pengalaman yang bersifat besar

dan sungguh menyakitkan secara langsung, pengalaman ditolak oleh

teman-teman karena dianggap aneh, dikucilkan, diejek, atau dianggap bodoh saja

sudah cukup membuat siswa tunarungu sangat berusaha agar kejadian serupa

jangan sampai dialami lagi.

Hasil pra-survei terhadap responden guru SLB-B digunakan sebagai

dasar penyusunan pertanyaan kuesioner penelitian survei kepada siswa

tunarungu. Setiap langkah dalam tahap penelitian ini berada dibawah

pengawasan salah satu pembina dan penatar guru-guru di SLB-B swasta yang

menerapkan metode Maternal Reflektif. Sasaran yang hendak dituju dalam

penelitian survei ini adalah menemukan tiga frekuensi jawaban tertinggi dari

situasi pemicu problem penyesuaian diri siswa tunarungu.

Penetapan membahas tiga frekuensi jawaban tertinggi situasi pemicu

problem penyesuaian diri siswa tunarungu diputuskan dengan asumsi bahwa

setiap situasi memiliki potensi menjadi pemicu munculnya problem

penyesuaian diri siswa tunarungu. Untuk mengajukan solusi atas pemecahan

problem peneliti perlu menjaga fokus pada situasi pemicu problem.

Wauters & Knoors (2007) mengadakan sebuah penelitian mengenai

interaksi siswa tunarungu di lingkungan berpendengaran normal terhadap 18

(25)

tunarungu di lingkungan berpendengaran normal hanya memiliki sedikit

teman dan jarang berinteraksi dengan teman berpendengaran normal. Mereka

juga merasa tertolak, terisolasi dan sendiri.

Sebuah penelitian mengenai hubungan antara lingkungan keluarga

dengan penyesuaian diri pada siswa remaja tunarungu (Dhingra, Manhas &

Sethi, 2007) menemukan bahwa lingkungan keluarga memiliki pengaruh yang

besar terhadap penyesuaian yang dimiliki siswa remaja tunarungu. Penelitian

lain mengenai faktor yang mempengaruhi penyesuaian pada siswa remaja

tunarungu menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara

penyesuaian yang dimiliki dengan penggunaan alat bantu dengar, kemampuan

berbicara, prestasi akademis, kondisi pendengaran orang tua serta pengalaman

yang dimiliki guru (Polat, 2003).

Telah banyak penelitian mengenai ketunarunguan yang dilakukan,

namun sebagian besar bertujuan membuktikan hubungan dan melihat

perbedaan dalam konteks penyesuaian diri. Hasil penelitian terdahulu juga

telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya

problem penyesuaian diri, namun sejauh pengamatan peneliti belum ada yang

mengungkap bilamana faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri tersebut

menimbulkan problem dalam penyesuaian diri.

A. Rumusan masalah penelitian

Pertanyaan utama yang mendasari pelaksanaan penelitian ini adalah:

“Situasi pemicu problem penyesuaian diri manakah yang sering dialami siswa

(26)

B. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan situasi pemicu problem

dalam proses penyesuaian diri yang sering dialami siswa tunarungu yang

bersekolah di SLB-B Swasta.

C. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian mengenai situasi pemicu problem penyesuaian diri siswa

tunarungu pada SLB-B swasta ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

pengetahuan dalam memahami kondisi siswa tunarungu khususnya dalam

hal situasi pemicu problem penyesuaian diri. Selain itu, penelitian ini

dapat menambah literatur dalam mata kuliah Psikologi Pendidikan Anak

Luar Biasa dan Psikologi Perkembangan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat mengungkap problem penyesuaian diri

yang dialami siswa tunarungu dan memberikan masukan yang dapat

dilaksanakan oleh pihak sekolah untuk memperbaiki penerapan kebijakan

tertentu dalam mendidik siswa tunarungu. Peneliti berharap dengan

ditemukannya situasi yang masih sering dialami ini akan menstimulus

ditemukannya solusi efektif guna mengurangi problem penyesuaian diri

dalam kehidupan siswa tunarungu. Penelitian ini juga menawarkan saran

yang berguna bagi pihak lembaga pendidikan dan orang tua siswa

tunarungu untuk membuka kesempatan bagi siswa tunarungu untuk belajar

(27)

8

BAB II

KERANGKA TEORETIS

A. Siswa tunarungu

1. Pengertian dan prevalensi ketunarunguan

Tunarungu diartikan sebagai individu yang memiliki kelainan

fungsi pendengaran yang terjadi sebelum atau setelah individu tersebut

dilahirkan, baik yang bersifat ringan maupun berat sehingga

perkembangan bahasanya terlambat dan memerlukan pembinaan,

bimbingan, pelayanan secara khusus untuk mencapai kehidupan yang

layak (Sudjadi, 2000, 2003).

Mangunsong (1998) menyatakan bahwa kerusakan atau kelemahan

(Impairment) merupakan ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang

disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu.. Sedangkan kecacatan atau

ketidakmampuan (Disability/Handicap) merupakan keterbatasan aktivitas

tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama

sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang menyandang Impairment

tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas

sosial.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi

(PUSDATIN) pada tahun 2001 diketahui bahwa jumlah siswa di Indonesia

yang mengalami kecacatan adalah sebesar 41.909 jiwa (Sudjadi, 2000,

(28)

Luar Biasa pada tahun 2005 di seluruh Indonesia mengenai keberadaan

siswa yang mengalami ketunarunguan mulai dari jenjang Taman

Kanak-Kanak hingga ke Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah

Kejuruan adalah sebesar 53.688 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh

PUSDATIN dan Dinas Pendidikan Luar Biasa tahun 2005 ini dapat

diprediksikan bahwa jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia pada

tahun 2009 akan meningkat lebih tajam lagi seiring dengan ledakan jumlah

penduduk dalam ancaman kesehatan yang semakin bervariasi.

1. Klasifikasi Ketunarunguan

Pengklasifikasian ketunarunguan digolongkan menjadi beberapa

bentuk, yaitu: berdasarkan kurun waktu terjadinya hambatan pendengaran,

lokasi terjadinya, dan untuk kepentingan pendidikan diklasifikasikan

berdasarkan sisa pendengaran yang masih dimiliki.

Ketunarunguan yang terjadi sebelum masa kelairan (Prenatal)

disebut dengan Congenital, namun apabila ketunarunguan terjadi pada

masa kelahiran atau setelah kelahiran (Postnatal) maka disebut

Acquired” (Skinner & Shelton, 1979 dalam Efendi, 2006). Tunarungu

Congenital akibat faktor keturunan, penyakit, dan racun. Tunarungu

Acquired terjadi ketika siswa mengalami keterbatasan pendengaran ketika

dilahirkan atau setelah dilahirkan (Moores, 1982 dalam Efendi, 2004;

Soepardjo & Soetomo, 1985).

(29)

terjadinya. Ketunarunguan yang terjadi di telinga bagian luar (tunarungu

konduktif) terjadi karena liang telinga, selaput gendang, maupun ketiga

tulang pendengaran mengalami gangguan. Tunarungu perseptif terjadi

karena adanya gangguan organ-organ pendengaran (rumah siput & serabut

saraf pendengaran) yang terdapat di telinga bagian dalam. Sedangkan

tunarungu campuran terjadi karena rangkaian organ telinga tidak dapat

berfungsi sebagai penghantar maupun penerima rangsangan. (Ballantyne,

1970 dalam Efendi, 2006).

Klasifikasi yang sering diterapkan untuk kepentingan pendidikan di

Indonesia adalah kriteria berdasarkan International Standard Organization

(Sastrawinata, 1976; Mangunsong, 1998; Sudjadi, 2003; Efendi, 2006).

Ketunarunguan ini dikelompokkan menjadi :

Slight losses (20-30dB)

Mengalami kekurangan mendengar tahap ringan, dapat mengikuti

pelajaran di sekolah umum tetapi harus duduk di dekat guru, belajar

berbicara dengan bantuan pendengarannya.

Mild losses (30-40dB)

Tidak mengalami kesulitan mengekspresikan isi hati, mengerti

percakapan bila jarak sangat dekat, tidak dapat menangkap percakapan

dalam suara lembut, hanya dapat memahami pembicaraan jika dalam

posisi berhadapan, perlu mendapatkan bimbingan intensif untuk

(30)

memasuki kelas persiapan terlebih dahulu, disarankan menggunakan

alat bantu dengar.

Moderate losses (40-60dB)

Mengalami kesulitan membedakan suara, tidak menyadari adanya

getaran suara, memerlukan pelajaran bahasa secara khusus, perlu

menggunakan alat bantu dengar, tidak mampu berbicara secara

spontan, terkadang dapat mendengar bunyi yang sangat keras seperti

deru mesin pesawat terbang atau suara klakson mobil.

Severe losses (60-75dB)

Hanya memahami ucapan jika dengan suara yang keras dan dari jarak

yang sangat dekat, sering mengalami salah tanggap, mengalami

kelainan dalam mengucapkan konsonan tertentu, kesulitan

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam

bercakap-cakap, kosakata yang dimiliki sangat terbatas, perlu menggunakan alat

bantu dengar.

Profoundly losses (≥75dB)

Tidak dapat mendengar suara keras, memerlukan latihan membaca

gerak bibir, memerlukan latihan mendengar untuk menciptakan

kesadaran bunyi, memerlukan latihan membaca ujaran, menggunakan

(31)

2. Kekhasan perkembangan siswa tunarungu

Siswa tunarungu yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

individu tunarungu yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama

Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).

Pada umumnya usia siswa tunarungu yang duduk di bangku SMPLB dan

SMALB berada pada rentang 14 sampai dengan 21 tahun. Rentang usia

ini merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

dewasa yang membutuhkan banyak penyesuaian diri. Siswa tunarungu

mulai belajar melakukan penyesuaian diri bukan hanya dengan anggota

keluarga di rumah saja namun juga dalam relasi yang lebih luas.

a. Perkembangan fisik

Kekhasan perkembangan fisik yang terdapat pada siswa

tunarungu terletak gerakan mata yang sangat sensitif terhadap

perubahan gerakan sekecil apapun. Hal tersebut disebabkan karena

organ yang paling berperan menggantikan fungsi pendengaran sebagai

usaha untuk menangkap informasi dari lingkungan adalah organ

penglihatan (Efendi, 2006).

Sebuah paparan artikel mengenai sebab-sebab ketulian dari

sudut pandang kedokteran, Dr. THT H. Soepardjo & Dr. Soetomo

(1985) mengemukakan bahwa ketidaknormalan yang terjadi pada

rumah siput akan berdampak pada menurunnya daya keseimbangan

(32)

sebagai organ pendengaran, rumah siput juga bertugas menjaga

keseimbangan tubuh.

Kekhasan perkembangan fisik yang lain yaitu siswa tunarungu

tidak dapat mengerjakan dua hal dalam satu waktu yang bersamaan,

seperti contohnya mendengarkan pembicaraan teman ketika sedang

menulis. Hal ini dikarenakan mereka belum dapat mendengarkan suara

secara spontan, oleh sebab itu diperlukan energi dan konsentrasi yang

terpusat untuk melakukan satu aktivitas.

b. Perkembangan kognitif dan bahasa

Terhambatnya komunikasi siswa tunarungu berdampak luas

terhadap berbagai segi perkembangan, baik perkembangan fisik,

kognitif dan bahasa, maupun perkembangan psikososial (Madhubala &

Rao, 2004). Dalam teori Epigenetik oleh Erik Erikson diungkapkan

bahwa perkembangan seperti halnya organ-organ embrio yang

berkembang tahap demi tahap. Bila organ tertentu tidak berkembang

sebagaimana mestinya dalam periode kritis maka organ tersebut tidak

akan pernah mencapai kemasakan yang sempurna (Alwisol, 2006;

Boeree, 2006; Salkind, 2009). Hal ini dapat diartikan sebagai

kegagalan perkembangan yang terjadi di tahap tertentu akan

berdampak pada terhambatnya perkembangan ke tahap berikutnya.

Siswa tunarungu mengalami keterlambatan 2 samapi dengan 4

tahun pada tahap kognitif operasional kongkrit dan tahap operasional

(33)

muncul karena kurangnya kesempatan untuk memiliki pengalaman

terlibat secara langsung dalam dunia nyata sebagai akibat dari

keterbatasan bahasa yang dialami. (Furth, 1961 dalam Bunawan &

Yuwati, 2000).

Kekhasan perkembangan bahasa yang mudah dibedakan

dengan orang berpendengaran normal adalah suara yang dihasilkan

ketika siswa tunarungu berbicara terdengar melengking atau tidak

sesuai intonasi pada umumnya. Hal ini disebabkan terganggunya

organ pendengaran yang berakibat pada berkurangnya kepekaan

membedakan suara nada rendah dan nada tinggi (Efendi, 2006). Ketika

berinteraksi dengan orang lain, siswa tunarungu harus memposisikan

diri berhadapan muka untuk dapat memahami ucapan dan ekspresi

wajah lawan bicara (Mangunsong, 1998; Efendi, 2006).

c. Perkembangan psikososial

Perkembangan psikososial siswa tunarungu sangat unik, aspek

perkembangan ini sering menjadi perhatian utama yang banyak

menimbulkan problematika. Siswa tunarungu menunjukkan adanya

keterlambatan dalam menguasai beberapa konsep abstrak bahasa yang

akibatnya berpengaruh terhadap perkembangan psikososialnya

(Silvernon, 1967 dalam Scheetz 2004). Selain itu siswa tunarungu juga

kurang memahami tugas nonverbal seperti dalam hal tata krama. Hal

ini disebabkan karena tidak adanya stimulasi kognitif dan penerimaan

(34)

Emosi siswa tunarungu dipandang kurang stabil dan mudah

berubah, hal ini disebabkan karena adanya perasaan bingung dan tidak

berdaya menghadapi situasi yang ada. Oleh sebab itu sering kali

dikatakan bahwa emosi siswa tunarungu dipandang meledak-ledak.

Adanya dorongan natural dari sifat siswa yang sedang dalam tahap

masih mencari identitas itu sendiri dan ditambah dengan perasaan tidak

berdaya karena keterbatasan pendengaran dan perlakuan individu

sekitar yang diterima membuat siswa tunarungu memiliki emosi yang

rapuh dan kurang stabil (Efendi, 2006).

Siswa tunarungu memiliki kepribadian yang khas dan

berbeda dari kepribadian individu berpendengaran normal pada

umumnya (Sanders, 1988 dalam Widiyanto, 2008). Individu

berpendengaran normal memandang penyandang tunarungu memiliki

kekhasan sikap yaitu; mereka lebih senang menarik diri, memiliki

penilaian diri yang negatif, sering mengalami depresi, terlalu optimis,

mengalami ketegangan yang berlebihan, kecemasan yang tinggi

terhadap kerja, mudah tersinggung, suka menutup-nutupi dan memiliki

reaksi-reaksi yang eksentrik (Widiyanto, 2008).

3. Sekolah Luar Biasa bagian B non-negeri (SLB-B Swasta)

Sekolah Luar Biasa bagian B non-negeri (SLB-B swasta) adalah

sekolah yang didirikan oleh lembaga perseorangan atau yayasan diluar

(35)

fisik dalam hal pendengaran. Pada kenyataannya, SLB-B swasta terbentuk

karena adanya desakan keprihatinan orang tua dan segelintir pemerhati

ketimbang merupakan aksi nyata dari para profesional dan pemerintah

(Meadow, 1980). Hal tersebut bukan hanya terjadi di Negara Indonesia

sebagai negara berkembang saja, tetapi juga negara-negara maju seperti

Amerika. SLB yang khusus menangani tunarungu di Propinsi DKI Jakarta,

Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta jumlahnya

melebihi 43 sekolah, namun hanya sebagian kecil yang siap menggunakan

metode komunikasi Maternal Reflektif sebagai metode pengajaran bahasa.

Seorang tokoh pendidikan siswa tunarungu dari Belanda yang

bernama Dr. A. Van Uden mengungkapkan bahwa siswa-siswi tunarungu

harus sedini mungkin diperkenalkan dan dilatih dalam kemampuan

bahasanya. Metode yang tepat dalam memperkenalkan siswa-siswa ini

adalah dengan cara seperti seorang ibu ketika mengajarkan siswanya

berbicara, yaitu metode Maternal Reflektif (Sumarwati, 2008). Sampai

saat ini metode ini dianggap paling efektif dalam melatih siswa tunarungu

berbicara karena dengan metode ini perkenalan bahasa pada siswa-siswa

tunarungu usia dini menjadi lebih mudah dan tidak memaksa untuk segera

dapat berbicara (Bunawan & Yuwati, 2000).

Moores menemukan 5 elemen penting yang mengarah kepada

kesuksesan pendidikan tunarungu, yaitu memiliki orientasi kognitif dan

akademik, penggunaan metode komunikasi oral dan bahasa isyarat yang

(36)

pelatihan auditori tidak hanya dilakukan di dalam ruangan tetapi juga

dalam situasi nyata di luar sekolah, orang tua sejalan dengan metode

pengajaran bahasa yang digunakan para guru (Meadow, 1980).

Metode pengenalan bahasa yang tepat dapat meningkatkan

kemampuan siswa tunarungu dalam berinteraksi bukan hanya dengan

sesama tunarungu tetapi juga dengan individu berpendengaran normal

(Bunawan, 1997). Tercapainya kemampuan untuk berkomunikasi dengan

efektif merupakan indikator dari kesuksesan pendidikan tunarungu. Hal

tersebut ditandai dengan dikuasainya kecakapan hidup dalam bentuk

kemampuan menyesuaikan diri di dalam diri siswa tunarungu baik dengan

dirinya sendiri maupun dengan individu disekitarnya (Iswari, 2007). Hasil

pencapaian ini akan menghindarkan siswa tunarungu dari problem

penyesuaian diri yang sering diidentikan dengan permasalahan tunarungu.

SLB-B Swasta bermetode Maternal Reflektif yang menjadi sasaran

penelitian yaitu :

a. SLB-B Wiyata Dharma I Sleman

SLB-B Wiyata Dharma I Sleman merupakan Sekolah Luar

Biasa swasta yang berlokasi di Jl. Magelang KM.17 Sleman

Yogakarta. Letaknya tepat berada di pinggir jalan Magelang. Siswa

tunarungu yang bersekolah di SLB-B Wiyata Dharma ini umumnya

berasal dari latar belakang ekonomi menengah kebawah. Siswa – siswi

yang bersekolah di SLB-B ini tidak hanya berasal dari sekitar kota

(37)

Jumlah siswa mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai

dengan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa berjumlah 48 siswa

dengan jumlah guru sebanyak 26 orang. Sekolah ini menyelenggarakan

pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar Luar Biasa sampai

dengan tingkat Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Salah satu sumber

bantuan dana dari sekolah ini berasal dari yayasan penyandang anak

cacat di Jepang. Selain kegiatan akademik, kegiatan non akademik

yang terdapat disekolah ini yaitu Pramuka yang bersifat wajib. Sarana

dan prasarana di SLB-B ini dipandang cukup baik, antara lain ruang

latih wicara, ruang latih irama dan lagu, ruang olah raga, ruang

bengkel, ruang menjahit, asrama, toilet, ruang guru, ruang pertemuan,

ruang kepala sekolah, ruang olah raga indoor.

Kondisi ketunarunguan siswa–siswi SMPLB dan SMALB di

SLB-B ini diatas 90 dB, namun di SDLB beberapa siswa memiliki

tingkat ketunarunguan dibawah 75dB. Penggunaan metode pengajaran

bahasa yang diterapkan di SLB-B ini adalah metode Maternal

Reflektif, namun sayangnya penggunaan metode ini belum

menunjukkan kemampuan berbicara yang signifikan. Hal ini

dikarenakan pihak sekolah kurang tegas menerapkan peraturan yang

mengharuskan menggunakan bahasa oral yang berguna melatih

kemampuan berkomunikasi siswa.

(38)

b. SLB-B YRTRW Surakarta

SLB-B YRTRW Surakarta terletak diGumunggung RT1/II

Gillingan Banjarsari Surakarta. Letak SLB-B ini tidak jauh dari SLB

Negeri Surakarta dan Terminal Tirtonadi. Orangtua murid dari siswa

tunarungu di SLB-B ini berasal dari tingkat ekonomi menengah

kebawah. Siswa–siswi di SLB-B ini tidak hanya berasal dari sekitar

daerah Surakarta tetapi juga dari luar daerah Surakarta.

Siswa–siswi di SLB-B ini berjumlah kurang 60 orang dengan

jumlah guru sebanyak 22 orang. Tingkat pendidikan yang

diselenggarakan di SLB-B ini mulai dari tingkat Sekolah Dasar Luar

Biasa sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.

Sekolah ini memiliki kerjasama dengan Fakultas Psikologi dan

Fakultas Keguruan Universitas Muhamadiyah Surakarta. Setiap

semester, Universitas Muhamadiyah Surakarta akan mengirimkan

mahasiswanya untuk melaksanakan praktek kerja lapangan

mendampingi guru mengajar di SLB-B YRTRW. Selain kegiatan

belajar mengajar, kegiatan non-akademik yang dilaksanakan di SLB-B

ini antara lain Pramuka dan rekreasi bersama. Sarana dan prasarana di

SLB-B antara lain; toilet, ruang guru, ruang menjahit, ruang komputer,

ruang bina suara dan persepsi bunyi, perpustakaan, dan asrama.

Kondisi ketunarunguan para siswa di SLB-B YRTRW rata-rata lebih

dari 75dB. Metode pengajaran bahasa yang digunakan di SLB-B ini

(39)

c. SLB-B Santi Rama Jakarta

SLB-B Santi Rama terbagi menjadi dua lokasi yaitu bagian

SDLB sampai dengan SMALB berada di Jl. RS. Fatmawati Cipete

Jakarta Selatan, sedangkan Taman Latihan Observasi dan TKLB

terletak di Jl. Kramat Jakarta Timur. Latar belakang ekonomi orangtua

murid siswa tnarungu di SLB-B ini berasal dari kalangan kelas

menengah ke atas.

Jumlah murid mulai dari jenjang Sekolah Dasar Luar Biasa

sampai dengan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa adalah sebesar 146

siswa dengan jumlah guru sebanyak 33 orang. SLB-B ini bekerja sama

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Fakultas Keguruan

Universitas Negeri Jakarta, dll. SLB-B ini dijadikan berbagai

percontohan metode pendidikan karena dinilai kemampuan berbahasa

dari siswa SLB-B Santi Rama cukup baik. Selain kegiatan akademik,

kegiatan non-akademik di SLB-B ini yang wajib diikuti yaitu

Pramuka. Selain itu, kegiatan ekstrakulikuler lain yang ada yaitu:

sepak bola, basket, modelling dan menari.

Sarana dan prasarana di SLB-B ini terbilang lengkap, yaitu

ruang menjahit, toilet, ruang menjahit, ruang kursus tata kecantikan

salon, ruang bengkel otomotif, ruang guru, ruang perpustakaan,

mushola, ruang observasi pengajaran guru, ruang perbaikan lata bantu

(40)

Metode pengajaran bahasa yang digunakan adalah Maternal

Reflektif (Oral-Aural). Tingkat ketunarunguan siswa SLB-B Santi

Rama sangat beragam,namun rata-rata berada pada tingkat diatas

95dB. Visi SMPLB & SMALB Santi Rama Jakarta yaitu membimbing

siswa menjadi seorang tunarungu dewasa, mandiri, produktif, memiliki

bekal hidup sesuai dengan keterampilan kerja yang dimiliki,

bertanggung jawab, berguna bagi diri sendiri dan masyarakat.

d. SLB-B Pangudi Luhur

SLB-B Pangudi Luhur terletak di Jl. Pesanggrahan 125

Kembangan Jakarta Barat. Orang tua siswa tunarungu di SLB-B ini

berasal dari tingkat ekonomi menengah keatas. Metode pengajaran

bahasa di SLB-B Pangudi Luhur yaitu metode Maternal Reflektif

(Oral-Aural) dimana setiap siswa wajib menggunakan alat bantu

dengar.

Jumlah siswa di SLB-B Pangudi Luhur mulai dari TKLB

sampai dengan SMALB berjumlah kurang lebih 300 orang, dengan

jumlah guru sebanyak 76 guru dan 6 karyawan. Selain kegiatan

akademik, kegiatan non-akademik di SLB-B ini antara lain Basket,

Sepak Bola, Berenang, Melukis dan Menari. Sarana dan prasarana di

SLB-B ini terbilang cukup lengkap, yaitu; ruang menjahit, toilet, ruang

showroom karya batik, ruang perbaikan alat bantu mendendengar,

ruang tata boga, kapel, ruang presentasi, ruang serbaguna,

(41)

B. Problem Penyesuaian Diri Siswa tunarungu 1. Pengertian penyesuaian diri

Menurut Schneider (1964) penyesuaian merupakan proses yang

melibatkan respon mental dan behavioral dimana siswa tersebut mampu

mengatasi kebutuhan-kebutuhan didalam dirinya, frustrasi, dan konflik

dengan baik. Penyesuaian diri berpengaruh pula terhadap keseimbangan

antara kebutuhan dari dalam diri dengan sesuatu yang membebani siswa

tersebut atas lingkungan dimana siswa tersebut berada. Dalam konteks

siswa, Schneider (1964) menambahkan bahwa siswa melakukan

penyesuaian dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan dan kebahagiaan

(Schneider, 1951). Hal ini berarti untuk mendapatkan kepuasan dan

kebahagiaan atau dengan kata lain untuk memiliki penyesuaian yang baik

maka siswa perlu menjaga keseimbangan antara diri sendiri, keseimbangan

antara diri sendiri dengan individu lain, dan menjaga keseimbangan

benda-benda dan peristiwa yang berasal dari lingkungan siswa tersebut.

Mu`tadin dalam http://www.e-psikologi.com/remaja / 060802.htm.

mengungkapkan penyesuaian diri terdiri dari dua aspek, yaitu penyesuaian

personal dan penyesuaian sosial. Penyesuaian personal merupakan

kemampuan siswa untuk menciptakan keadaan seimbang dan harmonis

antara tuntutan harapan yang ada di dalam dirinya dengan kemampuan

yang ada sebenarnya. Kemampuan siswa untuk melakukan

penyesuaiannya secara personal akan membantu menyesuaikan dengan

(42)

menjaga harmonisasi antara kebutuhan yang ada didalam dirinya dengan

tuntutan pola kebudayaan dan norma-norma yang ada di masyarakat.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan oleh beberapa

tokoh diatas, maka dapat dilihat adanya kesamaan dari definisi yang telah

diungkapkan tersebut. Persamaan tersebut terletak pada adanya aspek

siswa itu sendiri dan aspek individu lain atau lingkungan. Selain itu pula

ditemukan adanya unsur perubahan dan kemampuan usaha untuk membuat

antara kebutuhan dari dalam diri dengan keberadaan lingkungan menjadi

harmonis. Maka berdasarkan persamaan dari tiap definisi yang

disampaikan oleh tokoh mengenai penyesuaian disimpulkan bahwa

penyesuaian diri adalah suatu proses yang dijalani individu dalam

mencapai kemampuan menyeimbangkan perubahan-perubahan atas

kebutuhan dari dalam diri dengan keberadaan lingkungan melalui sebuah

proses untuk mencapai suatu keadaan yang terbebas dari masalah atau

problem.

2. Aspek-aspek penyesuaian diri

Menurut Mu`tadin dalam http://www.e-psikologi.com/remaja /

060802.htm. penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu: penyesuaian

pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi mengarah pada

kemampuan individu menerima dirinya. Keberhasilan penyesuaian pribadi

ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan, kecewa, tidak

percaya diri, tidak ada kecemasan dan rasa bersalah, rasa kurang puas dan

(43)

Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkungan sekitar kehidupan

individu, contohnya masyarakat umum, sekolah, teman sebaya dan

keluarga. Penyesuaian sosial mengarah kepada interaksi dengan

lingkungan sosial dan mematuhi norma yang ada.

3. Pengertian problem penyesuaian diri

Menurut Kartono & Gulo (1987) problem diartikan sebagai suatu

situasi yang sulit untuk dipahami dan memerlukan adanya pemecahan

agar dapat terselesaikan. Madhubala dan Rao (2004) mendefiniskan

problem penyesuaian diri sebagai kondisi dimana individu tidak dapat

mencapai interaksi yang efektif dalam mewujudkan harmoniasasi antara

dirinya sendiri dan lingkungannya. Problem penyesuaian diri dimaknai

sebagai keadaan/kondisi dimana terdapat sekurang-kurangnya dua

kepentingan yang saling menghambat atau memandang pihak lain sebagai

hambatan sehingga tidak tercapai keseimbangan antara kepentingan yang

satu dengan kepentingan yang lainnya (Chandra, 1992).

Siswa tunarungu dikatakan berhasil melakukan penyesuaian ketika

ia merasa bahagia dan lingkungan juga merasa bahagia. Maksudnya yaitu

siswa tunarungu berhasil memenuhi tuntutan dari dalam dirinya dan juga

tuntutan diluar dirinya.

4. Ciri-ciri munculnya problem penyesuaian diri

Siswa tunarungu dikatakan mengalami problem dalam proses

(44)

sesuai dengan kriteria penyesuaian diri atau siswa tunarungu itu sendiri

merasa mengalami hambatan dalam menjalani kehidupan. Kriteria

penyesuaian diri bersifat subyektif tergantung pada keadaan di lingkungan

tempat penyesuaian diri dan nilai yang dianut, namun pada intinya kriteria

yang berbeda-beda itu memiliki pola yang sama.

Menurut Dapa & Liando (2007) dalam konteks perkembangan

siswa berkebutuhan khusus mengungkapkan bahwa kriteria penyesuaian

diri yang berhasil perlu meliputi ciri-ciri: memiliki penghayatan diri dan

ikhlas kepada Tuhan, bersikap mandiri, mampu berpikir kreatif dan positif,

memahami kelebihan dan kekurangan dirinya, memelihara kesehatan diri

dan lingkungan, disiplin dan bertanggung jawab, percaya diri dan mampu

pecahkan masalah, menghargai dan mau peduli orang lain. Sehingga

apabila siswa tunarungu mengalami problem maka ciri-ciri yang

ditampilkan sifatnya berlawanan atau tidak memenuhi kriteria. Ciri-ciri

penyesuaian diri yang menemui problem yaitu adanya perasaan marah,

sedih, menarik diri, perasaan kecewa berkepanjangan, depresi dan mudah

merasa cemas.

Sunarto & Hartono (2006) mengungkapkan siswa sering kali

berhadapan dengan problem penyesuaian dirinya, terutama yang berkaitan

dengan individu dewasa. Sikap penolakan, otoriter, dan pembedaan gender

dari orang tua berdampak pada penyesuaian diri yang kurang baik di

lingkungan rumah karena siswa merasa tidak diterima apa adanya.

(45)

konflik-konflik dengan orang tua, frustrasi, merasa minder, dan merasa

terisolasi.

5. Faktor yang mempengaruhi munculnya problem penyesuaian diri Proses penyesuaian diri yang mempengaruhi siswa yang

bersangkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal.

Ketika interaksi antara individu dengan faktor-faktor tersebut

menunjukkan situasi yang menguntungkan maka individu tersebut

dikatakan mampu melakukan penyesuaian diri, namun ketika interaksi

tersebut dinilai menghambat baik faktor maupun individu maka

penyesuaian tersebut dipandang mengalami hambatan/kegagalan atau

problem.

Menurut Sunarto & Hartono (2006), faktor–faktor yang dapat

mempengaruhi penyesuaian diri dikelompokan sebagai berikut :

a. Kondisi fisik

Keterbatasan kondisi fisik juga termasuk keterbatasan dalam

berkomunikasi bagi siswa tunarungu yang mempengaruhi proses

penyesuaian diri. Siswa tunarungu dapat tinggal di lingkungan yang

sehat dan mendukung perkembangannya, namun apabila keadaan

tersebut tidak ditunjang dengan kemampuan fisik yang memadai maka

tetap proses penyesuaian diri tidak akan berjalan dengan baik, karena

semangat yang kuat tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh tubuh

(46)

b. Kondisi psikologis diri

Kondisi psikologis dalam diri sangat menentukan keberhasilan

penyesuaian diri. Kondisi psikologis yang dimaksudkan disini, yaitu

kestabilan emosi, pengalaman yang dimiliki, kemampuan menyerap

informasi, kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, dan frustrasi.

Perilaku yang siswa lakukan pada saat ini seringkali

dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu (Azwar, 2007) dan juga

pengalaman mempengaruhi perilaku siswa tunarungu di masa yang

akan datang. Untuk menjadi dasar adanya perilaku tertentu,

pengalaman harus meninggalkan kesan mendalam dan berbekas yaitu

pengalaman yang melibatkan faktor emosional.

Keterbatasan pendengaran yang terjadi juga berpengaruh

terhadap kemampuan mereka menyerap informasi sebab dengan

berkurangnya kemampuan mendengar maka siswa tunarungu

mengalami keterbatasan dalam menyerap segala ilmu yang ada dengan

maksimal (Widiyanto, 2008). Keterbatasan dalam menyerap informasi

ini juga berakibat pada terhambatnya beberapa aspek interaksi dan

perkembangan psikologis siswa tunarungu itu sendiri.

c. Kondisi Lingkungan

Faktor lingkungan memainkan peranan yang nyata dalam

mental berprestasi siswa, seperti yang terukur pada tes inteligensi dan

(47)

membatasi kapasita tubuh. Faktor keturunan dan lingkungan berperan

membentuk kemampuan siswa tunarungu (Young, 1945).

Faktor penentu keberhasilan lainnya yang juga sangat

berpengaruh terhadap keberhasilan penyesuaian diri adalah lingkungan

di sekitar siswa tunarungu. Lingkungan yang dimaksudkan disini

dimulai dari relasi dengan orang-orang terdekat yang sangat

berpengaruh dikehidupannya (Significant others), saudara, teman,

masyarakat, dan tempat dimana siswa tunarungu tersebut banyak

menghabiskan sebagian besar waktunya diluar rumah. Ketika

lingkungan sosial dan kebutuhan psikologis siswa tunarungu tidak

terpenuhi maka akan berkembang menjadi problem dalam proses

penyesuaian dirinya (Madhubala & Rao, 2004).

d. Agama dan budaya

Penyesuaian diri siswa tunarungu juga dipengaruhi oleh

kepercayaan yang dianut dan budaya dimana ia tinggal. Nilai atau

kepercayaan yang dianut dapat mempengaruhi pola pikir siswa

tunarungu dalam melakukan penyesuaian. Kebudayaan yang

mengarahkan seseorang jalan yang paling sesuai untuk diikuti. Dalam

mayarakat kita, hukum dan norma bersifat kaku dan mengikat

anggotanya, yang biasa kita sebut dalam definisi umum sebagai

“situasi”. Disisi lain, kebudayaan ini memunculkan reaksi, hasil dari

(48)

bertemu umum / kultural menjadi sebuah konflik maka siswa tersebut

akan mengalami gangguan emosional yang sangat besar (Young,

1945).

Agama dipandang memiliki pengaruh terhadap

pembentukkan perilaku karena dasar pengertian dan konsep moral

pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan dalam agama Konsep

moral dan ajaran agama tersebut akan mempengaruhi sistem

kepercayaan siswa dan berpengaruh terhadap sikap yang

ditunjukkannya (Azwar, 2007).

Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap siswa

tunarungu terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai

sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pula yang memberi

corak pengalaman siswa didalamnya. Hanya siswa yang telah mapan

dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam

pembentukan perilaku siswa tunarungu. Kebudayaan dimana siswa

tunarungu tersebut hidup dan dibesarkan memiliki pengaruh yang

sangat kuat terhadap perilakunya. Apabila siswa tunarungu dibesarkan

di keluarga tunarungu maka ia akan belajar memahami dan bersikap

toleran terhadap keterbatasan pada ketunarunguan (Azwar, 2007).

6. Proses terjadinya problem penyesuaian diri siswa tunarungu

Menurut konsep hubungan antara corak fungsi fisik tertentu

dengan kepribadian (Somatopsikologi) yang diungkapkan oleh L.

(49)

dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Namun, kelainan tubuh ini

tidak menyebabkan kelainan/gangguan psikologis secara langsung

melainkan melalui variabel sosial karena adanya hambatan berkomunikasi

dengan siswa normal (Madhubala & Rao, 2004).

Ketika lingkungan menilai siswa berkelainan fisik kurang

berharga, maka siswa tersebut akan merasa dirinya kuirang berharga. Hal

inilah yang kemudian menyebabkan adanya kegagalan dalam penyesuaian

diri. Problem penyesuaian diri muncul ketika ketika kegagalan memiliki

wujud dan ekspresi yang dapat diamati (Chandra, 1992).

Proses terjadinya problem penyesuaian diri pada siswa

berkebutuhan khusus dapat dijelaskan lewat konsep peran tumpang tindih

yang dikemukakan oleh L. Meyerson (1953). Konsep peran tumpang

tindih memandang siswa berkebutuhan khusus hidup dalam dua dunia

yang mengharuskan mereka memainkan peran tertentu di dunia yang satu

dan mengganti berganti peran di dunia yang lain, yaitu dunia siswa normal

dan dunia luar biasa sebagai akibat kebutuhan khusus ketunaannya. Peran

itu sendiri memiliki makna sebagai fungsi atau tingkah laku yang

diharapkan ada pada individu atau yang menjadi ciri/ sifat dari dirinya

(Chaplin, 2005). Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor (individu

yang bersangkutan) dan merupakan perwujudan perilaku nyata, bukan

hanya sekedar harapan. Konflik akan muncul ketika ketegangan dari dua

pendapat yang berbeda atau dengan kata lain berusaha meniadakan peran

(50)

Banyak kegiatan yang terbuka bagi kedua dunia di dalam dunia

siswa tunarungu, namun beberapa hanya bersifat spesifik bagi dunia

tertentu saja. Siswa perlu memainkan peran yang berbeda-beda sesuai

dunia yang ditempati. Peran tersebut ada yang bersifat seiring, misalnya

peran sebagai siswa dan peran sebagai aggota klub sepakbola. Peran yang

bersifat saling mengganggu merupakan dua peran sekaligus yang tidak

mungkin dilakukan disaat bersamaan.

Problem pada peran yang saling berlawanan terjadi apabila dalam

waktu yang bersamaan suatu peran berusaha meniadakan peran yang lain,

misalnya ketika memasuki masa siswa, siswa tunarungu harus memilih

antara tetap menjalani peran sebagai seorang siswa atau individu dewasa.

Situasi peran yang saling meniadakan terjadi apabila seseorang menolak

peran yang terbuka baginya dan mencita-citakan peran yang tidak dapat

dicapainya. Penghalangnya dalam bentuk bidang kemampuan ataupun

penghalang sosial. Contoh pada peran yang saling meniadakan yaitu

cita-cita siswa tunarungu untk menjadi pemain biola sementara siswa tersebut

memiliki keterbatasan pendengaran. Siswa tunarungu paling sering

mengalami peran yang saling meniadakan, hal ini menyebabkan mereka

lebih sering mengalami problem dalam penyesuaian diri (Bunawan &

Yuwati, 2000).

Ketika memasuki situasi baru siswa pada umumnya merasa

ragu-ragu karena tahapan guna mencapai tujuan belum jelas sehingga sifatnya

(51)

membuat siswa merasa siswa merasa frustasi dan menghadapi problem

karena adanya pertarungan antara dorongan untuk kembali ke situasi lama

yang telah dikenal dengan masuk ke situasi baru.

Menurut Chandra (1992) pertentangan peran memiliki sifat negatif

(-) dan berpotensi memunculkan problem oleh karena :

a. Munculnya ketegangan yang diekspresikan

Kegagalan dalam menyesuaikan diri yang diekspresikan

muncul sebagai sebuah problem dalam proses penyesuaian diri

(Chandra, 1992). Ekspresi ketidaksesuaian dapat diwujudkan secara

verbal dalam bentuk maupun memiliki tujuan/kepentingan yang

bertentangan.

b. Pemenuhan kebutuhan terbatas

Keterbatasan pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan

kebutuhan jasmani, ekonomi, sosial maupun rohani. Situasi/keadaan

yang membatasi pemenuhan kebutuhan individu akan memunculkan

problem dalam proses penyesuaian diri.

Problem terjadi karena adanya perbedaan tujuan dan cara

pemenuhan, sering kali individu tidak mampu atau tidak mau

merumuskan kebutuhan, keinginan dan cara pemenuhannya akibatnya

situasi menjadi penuh dengan ketidakjelasan karena individu lain tidak

(52)

kondisi ketidakjelasan yaitu kebutuhan yang dilihat berbeda,

kebutuhan yang pada kenyataannya memang berbeda, kebutuhan

kedua pihak yang tersamar dan kebutuhan salah satu pihak yang

tersembunyi.

c. Penghambat

Situasi yang memunculkan problem penyesuaian diri akan

terjadi apabila masing-masing pihak merasa pemenuhan tujuannya

terhambat oleh pihak lain, maupun ketika salah satu pihak merasa

pemenuhan tujuanya terhambat oleh pihak lain.

d. Saling bergantung

Maksud dari saling bergantung adalah masing-masing pihak

dapat mengakibatkan sesuatu terjadi pada pihak lain. Misalnya

perilaku orangtua akan mempengaruhi perilaku anak, sikap teman yang

mengganggu akan mempengaruhi perilaku siswa yang diganggu.

7. Area terjadinya problem penyesuaian diri

Penyesuaian diri diri siswa tunarungu meliputi lima area utama

penyesuaian yaitu penyesuaian diri siswa tunarungu di rumah dan

penyesuaian komunikasi, penyesuaian sosial, penyesuaian akademik, dan

penyesuaian emosi (Madhubala & Rao, 2004). Kesulitan dalam melakukan

(53)

yang bersangkutan. Problem-problem tersebut dapat muncul pada

beberapa area dalam waktu bersamaan ataupun dalam waktu yang

berbeda. Semakin siswa tersebut mampu melakukan penyesuaian diri

maka indivdu semakin tidak berhadapan dengan problem-problem di area

tersebut.

a. Penyesuaian Relasi dengan anggota keluarga di rumah

Kebutuhan akan afeksi siswa tunarungu datang dalam bentuk

perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh keluarga. Siswa

tunarungu membutuhkan perhatian dan kasih sayang lebih dari

keluarga. Dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, orang tua

memenuhi kebutuhan siswa tunarungu akan afeksi sekaligus mengajari

mereka bagaimana bersikap penuh kasih kepada individu lain.

Keberadaan rasa aman pada diri siswa tunarungu dipengaruhi

gaya pengasuhan orang tua. Seringkali orang tua merasa bersalah

dengan keadaan siswa mereka yang menjadi tunarungu. Hal ini

membuat orang tua bersikap memanjakan dan memiliki harapan

berlebihan pada sang siswa (Sastrawinata, 1976). Perilaku

memanjakan ini membuat siswa tunarungu tidak dapat

mengembangkan sikap mandiri.

Kebutuhan akan afiliasi ini bermula dari dalam lingkungan

keluarga. Afiliasi merupakan kebutuhan untuk menjadi bagian dalam

suatu kelompok. Kebutuhan akan afiliasi ini akan terpenuhi ketika

(54)

Beberapa orang tua

Gambar

gambar ilustrasi yang peneliti buat  agar dapat memberikan motivasi
TABEL
Tabel 1
Tabel 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat