• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Pelaksanaan Penelitian

B. Deskripsi Hasil Penelitian 1.Hasil Penelitian Pra-Survei 1.Hasil Penelitian Pra-Survei

2. Hasil penelitian survei

Deskripsi hasil penelitian survei berisi analisis jawaban 125 siswa

tunarungu yang memenuhi kriteria (rincian jawaban survei terlampir Tabel

4 sampai dengan Tabel 53).

a. Problem penyesuaian relasi dengan anggota keluarga di rumah

Menurut hasil survei (Tabel 4), mengungkapkan bahwa 98,4%

dari 125 siswa tunarungu mengaku merasa kecewa karena

mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua. Situasi

yang paling sering (68%) memunculkan perasaan kecewa yaitu ketika

siswa tunarungu merasa dimarahi orang tua (Tabel 5). Sebesar 91,2%

dari 125 siswa tunarungu (Tabel 6) merasa kesal dengan perilaku

saudara kandung. Situasi yang paling sering pemicu situasi yang paling

sering dialami dalam relasi dengan kakak atau adik (53,6%) yaitu

ketika siswa tunarungu merasa kakak atau adik sering marah-marah

b. Problem penyesuaian berkomunikasi

Penyesuaian diri siswa tunarungu dalam konteks

berkomunikasi mengalami situasi ketika berbicara sebesar 89,6% dari

125 siswa tunarungu (Tabel 8). Situasi yang paling sering (55,2%)

memunculkan kesulitan berbicara yaitu ketika siswa tunarungu

berusaha berbicara dengan lancar seperti orang normal (Tabel 9). Hasil

survei (Tabel 10) menunjukkan 97,6% dari 125 siswa tunarungu

menjawab pernah mengalami kesulitan ketika membaca. Situasi

pemicu (76,8%) kesulitan membaca yang paling sering dialami adalah

pada saat membaca kata dalam bahasa Inggris (Tabel 11).

Menurut hasil survei (Tabel 12) 92,8% dari 125 siswa

tunarungu pernah mengalami kesulitan mengkomunikasikan gagasan

ke dalam bentuk tulisan. Situasi yang paling sering (74,4%)

menimbulkan kesulitan etika hendak mengkomunikasikan gagasan

kedalam bentuk tulisan yaitu kebingungan mereka dalam merumuskan

gagasan ide (Tabel 13). Sebesar 98,4% dari 125 siswa tunarungu

(Tabel 14) menjawab pernah mengalami kesulitan ketika terlibat

pembicaraan dengan orang normal. Situasi yang paling sering (77,6%)

muncul ketika siswa tunarungu terlibat dalam suatu pembicaraan

dengan orang berpendengaran normal yaitu pada saat lawan bicara

berbicara terlalu cepat sehingga siswa tunarungu tidak dapat

menangkap seluruh pesan dengan jelas (Tabel 15). Sebesar 85,6% dari

dengan cara guru mengajarkan mereka berbicara. Situasi yang paling

sering muncul (57,6%) yaitu ketika kata yang harus dipelajari pada

saat itu terlalu banyak dan siswa tunarungu merasa kesulitan

menirukan gerak bibir seperti yang guru contohkan (Tabel 17).

Menurut hasil survei (Tabel 18) sebesar 89,6% dari 125 siswa

tunarungu masih sering menggunakan bahasa isyarat dalam

berkomunikasi. Situasi pemicu problem yang paling sering (73,6%)

muncul ketika siswa tunarungu tidak menggunakan bahasa isyarat

yaitu teman-teman yang lain hanya mampu berbicara bahasa isyarat

(Tabel 19). Hasil survei (Tabel 20) menunjukkan sebesar 98,4% dari

125 siswa tunarungu mengalami kesulitan dalam membaca gerak

bibir. Situasi yang paling sering muncul (69,6%) ketika siswa

tunarungu membaca gerak bibir yaitu ketika lawan bicara berbicara

terlalu cepat (Tabel 21). Hasil survei (Tabel 22) menunjukkan sebesar

98,4% siswa pernah menggunakan alat bantu dengar. Situasi pemicu

problem (Tabel 23) yang paling sering dialami berkaitan dengan alat

bantu dengar yang berharga mahal (51,2%).

c. Problem penyesuian relasi sosial yang lebih luas (teman sesama tunarungu, teman normal, masyarakat)

Ditinjau dari area penyesuaian diri siswa tunarungu dalam

konteks lingkungan sosialnya, survei (Tabel 24) menunjukkan 95,2%

teman-teman sesama tunarungu. Situasi yang paling sering muncul

(76%) pada saat berinteraksi dengan teman-temannya sesama

tunarungu yaitu ketika kata-kata teman terasa menyakitkan hati (Tabel

25). Sedangkan ditinjau dari interaksinya dengan orang yang belum ia

kenal sebelumnya dan berpendengaran normal, survei (Tabel 26)

menunjukkan 90,4% dari 125 siswa tunarungu menjawab pernah

mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan teman-teman

berpendengaran normal. Situasi yang paling sering (62,4%) dialami

yaitu masalah ketidakpercayaan diri siswa tunarungu (Tabel 27).

Sebesar 88% (Tabel 28) siswa tunarungu pernah mengalami kesulitan

ketika hendak berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat. Situasi

pemicu problem yang paling sering muncul (60%) ketika

bermasyarakat yaitu ketika mereka tidak diajak mengobrol sehingga

mereka sering merasa asing dan sendiri (Tabel 29).

d. Problem penyesuaian akademik

Ditinjau dari area penyesuaian diri siswa tunarungu dalam

bidang akademik, 85,6% dari 125 siswa tunarungu (Tabel 30) merasa

kesulitan dalam memahami pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru.

Situasi yang paling sering (Tabel 31) dikeluhkan berkaitan dengan hal

ini adalah karena cara guru tersebut rmengajar dirasa membosankan

dan monoton (47,2%). Seluruh siswa tunarungu responden survei

yang paling sering (Tabel 33) dianggap sulit oleh siswa tunarungu

adalah pelajaran Bahasa Inggris (63,2%). Berdasarkan survei (Tabel

34) ditemukan bahwa 92,8% dari 125 siswa tunarungu mengalami

kesulitan saat mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika mendapatkan

tugas dari guru pengajar untuk berlatih soal di rumah (mengerjakan

PR) situasi yang paling sering (Tabel 35) memunculkan kesulitan

siswa tunarungu yaitu mereka tidak memahami maksud pertanyaan

yang diberikan oleh guru pengajar (60%). Banyak siswa tunarungu

yang memiliki bakat dan potensi yang besar dalam suatu hal, namun

sayangnya seringkali potensi tersebut tidak terasah baik karena

terbatasnya kesempatan maupun fasilitas pendukung.

Berdasarkan hasil survei 92,8% dari 125 siswa tunarungu

merasa perlu adanya peningkatan fasilitas sekolah (Tabel 36). Fasilitas

yang sangat dibutuhkan siswa tunarungu (Tabel 37) adalah pelajaran

tambahan (59,2%). Sekolah sebagai lembaga pendidikan

mengupayakan keseimbangan antara kemampuan akademis dengan

kemampuan interpersonal yang diadakan dalam bentuk kegiatan diluar

belajar mengajar, namun masih ada siswa tunarungu yang tidak

mengikuti acara yang telah diadakan sekolah.

Hasil survei (Tabel 38) menunjukkan 88,8% dari 125 siswa

tunarungu mengalami kesulitan ketika hendak mengikuti kegiatan

yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Kesulitan dalam mengikuti

siswa tunarungu berada dalam situasi yang tidak memungkinkannya

ikut karena harus membantu orang tua di rumah (51,2%). Sebesar

75,2% dari 125 siswa tunarungu (Tabel 40) memiliki harapan dapat

bersekolah di sekolah umum, namun tidak seluruh siswa dapat

mewujudkan impiannya. Situasi yang sering membuat mereka tidak

dapat bersekolah di sekolah umum (Tabel 41) adalah karena siswa

tunarungu menganggap pelajaran di sekolah umum sulit dipahami

(54,4%).

e. Problem penyesuaian emosi

Proses penyesuaian diri siswa tunarungu dalam mengendalikan

emosi juga masih sering mengamai hambatan. Hasil survei

menunjukkan (Tabel 42) sebesar 76,8% dari 125 siswa tunarungu

pernah merasakan frustrasi. Situasi yang paling sering memunculkan

perasaan frustrasi (Tabel 43) adalah ketika siswa tunarungu gagal

memenangkan lomba yang mereka ikuti (45,6%). Perasaan Inferior

pernah dialami 68,8% dari 125 siswa tunarungu (Tabel 44). Situasi

yang paling sering memunculkan perasaan inferior (Tabel 45) adalah

ketika mereka tidak dipilih mengikuti acara perlombaan (42,4%).

Sebesar 84% dari 125 siswa tunarungu merasa pernah melakukan

tindakan agresif (Tabel 46). Keadaan yang paling sering membuat

mereka merasa bertindak agresif (Tabel 47) adalah ketika merasa

Berdasarkan survei (Tabel 48) diketahui bahwa prosentase

sebesar 79,2% dari 125 siswa tunarungu merasa kekurangan yang

mereka miliki selalu diperhatikan dan dibicarakan oleh orang normal.

Situasi yang sering dialami (Tabel 49) yaitu tidak mau berkenalan

dengan orang normal karena khawatir kekurangannya akan

menimbulkan cemoohan (46,4%). Sebesar 68,8% dari 125 siswa

tunarungu menjawab pernah merasa depresi (Tabel 50). Situasi yang

sering membuatnya merasa tidak berguna dan ingin mati (Tabel 51)

yaitu ketika dirinya merasa tidak ada orang yang menyayanginya

(33,6%). Siswa tunarungu dipandang sebagai siswa yang pencemas

dan mudah merasa khawatir. Hasil survei (Tabel 52) menunjukkan

bahwa 94,4% dari 125 siswa tunarungu menjawab mudah merasa

cemas. Perasaan cemas yang paling sering muncul (Tabel 53)

disebabkan adanya ketakutan mereka terhadap bayangan mengerikan

dari makhluk hasil imajinasi mereka (57,6%).

B. Pembahasan

Pengenalan bahasa dengan metode yang tepat akan meningkatkan

kemampuan berkomunikasi yang membuka kesempatan bagi siswa

tunarungu untuk belajar melakukan proses penyesuaian diri lebih baik

(Bunawan & Yuwati, 2000). Metode Maternal Reflektif dipandang sebagai

metode yang paling efektif memperkenalkan bahasa kepada siswa

tunarungu. Berdasarkan hasil penelitian pra-survei ditemukan bahwa

Maternal Reflektif sekalipun juga mengalami problem penyesuaian diri.

Hal ini bukan merupakan pertanda kegagalan metode Maternal Reflektif

tetapi karena kondisi keterbatasan pendengaran tunarungu yang khas

semakin memperburuk keterhambatan siswa tunarungu dalam melakukan

proses penyesuaian diri.

Penyesuaian diri merupakan usaha siswa dalam menyesuaikan

dengan perubahan atas kebutuhan-kebutuhan diri dengan tuntutan dari luar

diri atau lingkungan agar dapat berjalan dengan harmonis sehingga

konflik, kesulitan, dan frustrasi tidak terjadi (Ali & Asrori, 2005). Masalah

yang masih sering dialami siswa adalah permasalahan hubungan timbal

balik antara diri siswa, keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat

(Gunarsa, 1987). Menurut Madhubala & Bhaskara (2006) siswa tunarungu

melakukan penyesuaian diri terhadap relasi dengan anggota keluarga di

rumah, penyesuaian diri dalam berkomunikasi, penyesuaian diri di

lingkungan sosial, penyesuaian diri dalam bidang akademik, dan

penyesuaian diri dengan emosi.

Peneliti menyusun pertanyaan penelitian berdasarkan hasil

pra-survei. Jawaban-jawaban yang terkumpul dalam penelitian survei

dikumpulkan dan menjadi alternatif jawaban yang akan dipilih oleh

responden siswa tunarungu. Hasil penelitian survei dibahas dengan

menyebutkan 3 situasi dengan urutan frekuensi terbesar dari setiap konteks

yang paling sering dialami siswa tunarungu (rincian frekuensi dan

prosentase terlampir dalam Tabel 54).

Berdasarkan hasil survei, problem penyesuaian diri dalam konteks

relasi dengan anggota keluarga yang sering dialami adalah ketika siswa

tunarungu merasa kecewa karena merasa selalu dimarahi oleh orang tua.

Proses penyesuaian diri siswa tunarungu di rumah mengalami problem

kurangnya perhatian dari orang tua yang sering dan tidak adanya

penerimaan saudara kandung. Problem tersebut muncul dalam bentuk

perasaan kecewa terhadap orang tua. Kekecewaan ini seringkali muncul

ketika siswa tunarungu merasa sering ditegur oleh orang tua yang

dipandang oleh siswa tunarungu sebagai perilaku memarahi (Bunawan &

Yuwati, 2000). Disatu sisi siswa tunarungu berperan sebagai seorang anak

yang kemauannya selalu ingin dituruti disisi lain orang tua berharap

anaknya mulai dewasa dan memahami kondisi orang tua, akibatnya

muncul gesekkan karena perbedaan kepentingan.

Pada kondisi senyatanya sangatlah mungkin orang tua tidak merasa

marah seperti apa yang digambarkan oleh siswa tunarungu, namun kondisi

keterbatasan pendengaran membuatnya tidak dapat membedakan intonasi

suara (Efendi, 2006) dan merasa ekspresi ketidaksukaan orang tua

dipandang sebagai sebuah amarah (Mangunsong, 1998; Efendi 2006).

Faktor lain yang memungkinkan siswa tunarungu memandang teguran

orangtua sebagai suatu kemarahan adalah karena keterbatasan kosakata

sensitivitas berlebihan sebagai kondisi psikososial yang khas (Widiyanto,

2008). Hal tersebut membuat orang tua merasa mereka tidak cukup

mampu menjelaskan setiap kejadian yang dialami siswa tunarungu

(Meadow, 1980) dan mencari jalan pintas dengan mengatakan bahwa

mereka “marah” terhadap siswa tunarungu.

Bentuk hambatan kurangnya perhatian orang tua juga muncul

ketika siswa tunarunngu merasa orang tua tidak memberikan perhatian

yang dibutuhkan sehingga terkesan cuek. Siswa tunarungu memerlukan

perasaan dicintai dan diperhatikan terutama oleh orang-orang terdekat

yang sangat berpengaruh di dalam kehidupannya (Madhubala & Rao,

2004), namun sayangnya orang tua yang kurang memiliki kesabaran

menganggap hal tersebut sebagai tindakan mencari perhatian sehingga

orang tua pura-pura tidak memperhatikan. Hal ini sesuai dengan hasil

wawancara yang diungkapkan kakak subyek B ketika menceritakan ayah

subyek B sebagai orang yang dianggap paling dekat dengan subyek B.

Walaupun ayah subyek B dipandang sabar dalam berkomunikasi namun

ada kalanya sanga ayah bosan dan pura-pura tidak mendengar apa yang

sedang diucapkan subyek B. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah

ketika sedang berkomunikasi, orang tua tidak sedang dalam keadaan

berhadapan dengan siswa tunarungu (Mangunsong, 1998; Efedi, 2006)

sehingga siswa tunarungu tidak dapat menangkap tanggapan yang

Situasi yang sering memunculkan problem relasi dengan anggota

keluarga yang juga sering dialami siswa tunarungu adalah perilaku tidak

menyenangkan yang dipandang siswa tunarungu sebagai kemarahan.

Penjelasan mengenai hal ini sama halnya seperti ketika siswa tunarungu

mempersepsikan kemarahan orang tua terhadapnya. Kemungkinan lain

yang melatarbelakangi siswa tunarungu mempersepsikan situasi tersebut

adalah saudara kandung merasa malu dengan ketunaan yang dialami

saudara mereka (Meadow, 1980). Rasa malu ini ditunjukkan dalam

perlakukan kasar ataupun tidak mengajaknya bermain bersama (Barsch,

1968 dalam Meadow, 1980). Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara

dengan kakak kedua subyek B yang menyatakan bahwa kakak subyek B

yang lainnya sering berbuat kasar dan marah terhadap subyek B karena

malu akan ketunarunguan subyek B.

Proses penyesuaian diri siswa tunarungu dalam hal berkomunikasi

mengalami hambatan memahami dan mengikuti alur suatu percakapan

dengan orang normal, membaca buku, dan dalam menuangkan ide ke

dalam bentuk tulisan. Penyesuaian diri siswa tunarungu mengalami

problem dalam mengikuti alur suatu percakapan. Problem tersebut muncul

dalam bentuk kesulitan pada waktu mengobrol dengan orang

berpendengaran normal. Kesulitan muncul ketika orang berpendengaran

normal berbicara terlalu cepat. Untuk dapat memahami kata yang

dimaksudkan dibutuhkan beberapa kali pengulangan kata hingga siswa

sehingga siswa tunarungu kesulitan memahami apa yang diucapkan oleh

sebagian besar orang normal ketika berbicara. Hal tersebut disebabkan

sebagian besar dari siswa tunarungu tidak mempelajari bahasa pada

periode bayi belajar mengenal bunyi dan ucapan yaitu usia 2-3 tahun

sehingga untuk mengucapkan suatu kata mereka perlu mengingat memori

mengenai bagaimana cara mengucapkan suatu kata yang pernah diajarkan

oleh guru (Garrison & Stinson, 1994).

Membaca termasuk salah satu sarana memasukan informasi ke

dalam diri individu. Bagi siswa tunarungu, ternyata membaca bukalah hal

yang mudah. Hal ini dikarenakan sehari-hari mereka diajarkan bagaimana

cara membaca dan mengungkapakan kata dalam bahasa Indonesia dimana

penulisan dan cara membaca tidak mengalami perbedaan. Sementara

antara penulisan dan pengucapan dalam Bahasa Inggris sangat berbeda,

sehingga mengelola informasi dalam bahasa Inggris menjadi situasi yang

dipandang sulit bagi siswa tunarungu.

Siswa tunarungu mengalami problem dalam berkomunikasi ketika

membaca pesan atau informasi tertulis. Problem tersebut tertuang dalam

perasaan sulit membaca buku. Kesulitan dalam membaca buku seringkali

dialami ketika pesan/kalimat yang dituliskan menggunakan Bahasa Inggris

karena siswa tunarungu tidak memiliki cukup banyak kosakata untuk

memahami arti. Ditambah lagi sebagian besar dari siswa tunarungu tidak

maka belajar bahasa asing (Inggris) termasuk bagaimana cara membaca

menjadi suatu kesulitan yang kompleks bagi mereka.

Berdasarkan hasil wawancara dengan subyek B, diketahui bahwa

subyek B jarang mengulang kembali pelajaran yang telah diajarkan di

sekolah. Menurut peneliti, ketidaktertiban dalam belajar inilah yang

menyebabkan siswa tunarungu mengalami kesulitan dalam suatu

pelajaran. Siswa tunarungu juga sering mengalami problem dalam

menuangkan ide/perasaan ke dalam bentuk tulisan. Contoh problem

tersebut tergambar dalam bentuk kesulitan sewaktu hendak menulis

karangan (mengarang). Situasi yang sering memunculkan kesulitan

sewaktu hendak mengarang adalah adanya perasaan bingung merumuskan

ide yang akan ditulis.

Proses penyesuaian diri siswa tunarungu dalam konteks relasi

sosial yang lebih luas mengalami problem dalam hal penerimaan teman

terhadap diri siswa tunarungu dan membangun relasi dengan orang

normal. Siswa tunarungu mengalami problem penyesuaian diri dalam

penerimaan diri teman-teman terhadap siswa. Problem tersebut tergambar

dalam perasaan marah terhadap teman-teman. Kemarahan tersebut muncul

ketika teman mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan hati siswa

tunarungu. Selain itu kemarahan ini muncul ketika ada teman-teman yang

menunjukkan bersikap seakan-akan dirinya yang paling hebat/bersikap

sombong. Situasi tersebut muncul karena adanya dua peran yang saling

siswa tersebut tertarik untuk bermain dengan teman tersebut namun disisi

lain teman itu tidak mau bermain dengannya dan merasa terganggu dengan

kehadiran siswa tunarungu.

Problem lain yang dialami siswa tunarungu dalam konteks relasi

sosial yang lebih luas adalah dalam membangun relasi. Problem tersebut

tergambar dalam kesulitan berkenalan dengan orang yang belum dikenal

khususnya dengan orang berpendengaran normal. Kesulitan tersebut

muncul ketika siswa tunarungu merasa enggan dan memilih untuk bermain

hanya dengan teman sesama tunarungu.

Pada hasil wawancara pra-survei, problem tersebut muncul ketika

beberapa teman menjauhi subyek B dan tidak mau bermain bersamanya

karena alasan perbedaan agama. Hal tersebut membuat subyek menjadi

individu yang tidak percaya diri dan pasif. Terdapat pertentangan peran di

dalam diri subyek antara adanya peran untuk bersosialisasi dengan

teman-teman dengan tujuan mendapatkan dukungan namun disisi lain terdapat

peran sebagai individu yang dianggap tidak berharga sehingga tidak

diterima oleh teman-temannya.

Hal yang cukup sulit dan menjadi problematika yang harus

dihadapi dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan adalah ketika

harus berinteraksi dengan orang asing, tetangga, saudara jauh yang tidak

mau mengerti kondisi siswa tunarungu. Mereka yang tidak terbiasa

berkomunikasi dengan siswa tunarungu akan mengalami kesulitan

tidak sejelas dan umum digunakan dalam percakapan sehari-hari pada

orang normal (Silvestre, Rumspott & Pareto, 2006). Kondisi ini membuat

mereka memandang rendah atau bersikap tidak semestinya.

Dalam hal berelasi dengan kawan sebaya siswa tunarungu

menghadapi ancaman dalam proses penyesuaian diri. Ancaman ini dapat

berupa pandangan aneh dan perilaku diskriminatif dari teman sebaya

ataupun ingin selalu bersama teman-teman (Azwar, 2007) yang memiliki

pendengaran normal namun karena keterbatasan yang dialami maka tidak

semua kegiatan dapat diikuti. Kondisi yang tidak nyaman seperti ini

menjadikan mereka enggan berusaha memperbaiki keadaan yang dirasa

tidak membuatnya nyaman, dan terjebak pada problem yang terus menerus

membuat diri mereka merasa terancam. Keadaan emosi yang belum stabil

(Efendi, 2006) ini menghambat proses penyesuaian diri dalam kehidupan

siswa tunarungu. Pengalaman traumatis dan mengecewakan yang sering

dialami membuat mereka mudah curiga dengan problem baru dan

ragu-ragu.

Ketakutan akan terulang kembalinya pengalaman yang pahit

seringkali membuat siswa tunarungu tidak berani dalam melangkah

(Azwar, 2007). Pengalaman traumatis disini tidak harus suatu pengalaman

yang bersifat besar dan sungguh menyakitkan secara langsung,

pengalaman ditolak oleh teman-teman karena dianggap aneh, dikucilkan,

diejek, atau dianggap bodoh saja sudah cukup membuat siswa tunarungu

Sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman traumatis ini dapat

membayangi dan menjadi ancaman dalam proses penyesuaian diri. Selain

pengalaman traumatis, pengalaman pahit terulang kembali tanpa siswa

tunarungu mampu memperbaikinya juga menimbulkan kekecewaan karena

merasa tidak mendapatkan dukungan (Madhubala & Rao, 2004).

Kekesalan menumpuk membuat mereka belajar untuk mengabaikan

kesalahan, akibatnya terjadi hubungan tidak selaras antara keinginan

mereka untuk memenuhi kebutuhan dengan keadan lingkungan tidak

mendukung.

Proses penyesuaian diri siswa tunarungu dalam konteks akademik

mengalami kesulitan dalam hal pelajaran dan mengerjakan PR. Proses

penyesuaian diri siswa tunarungu terhadap kegiatan akademik seringkali

menghadapi problem dalam memahami mata pelajaran dan mengerjakan

tugas rumah (PR). Problem dalam memahami mata pelajaran tergambar

dalam pilihan jawaban dimana siswa tunarungu merasa kesulitan

memahami pelajaran. Kesulitan ini muncul ketika siswa tunarungu

mempelajari pelajaran matematika dan Bahasa Inggris.

Problem dalam mengerjakan tugas rumah yang diberikan guru

(PR) muncul dalam bentuk kesulitan mengerjakan mengerjakan PR di

rumah. Kesulitan ini seringkali muncul ketika siswa tunarungu tidak dapat

memahami maksud pertanyaan yang diajukan. Banyak siswa tunarungu

yang memiliki bakat dan potensi yang besar dalam suatu hal, namun

kesempatan maupun fasilitas pendukung. Berdasarkan hasil survei,

fasilitas yang sangat dibutuhkan siswa tunarungu adalah pelajaran

tambahan. Sebagian besar siswa tunarungu memiliki kebutuhan untuk

berprestasi dengan berusaha memahami pelajaran dengan baik namun

sayangnya karena mereka mengalami hambatan maka ilmu yang

diserappun terbatas. Oleh karena itu siswa tunarungu berharap

diadakannya pelajaran tambahan agar dapat membantu mereka yang

belum memahami pelajaran.

Proses penyesuaian diri siswa tunarungu dalam konteks emosi

mengalami kesulitan dalam mengendalikan agresi dan kecemasan.

Problem dalam mengendalikan agresi muncul dalam bentuk kemarahan,

keinginan untuk mumukul dan membanting barang. Contoh perilaku

agresi ini seringkali dialami ketika siswa tunarungu merasa terusik dengan

perilaku mengganggu yang dilakukan teman-temannya. Selain itu problem

tersebut juga sering dialami ketika siswa tunarungu merasa tertipu/merasa

dikhianati oleh teman-teman. Keadaan ini membuat mereka merasa

terpojok dan memunculkan perilaku agresif adalah ketika ada teman yang

mengganggu. Siswa tunarungu dipandang sebagai individu yang pencemas

dan mudah merasa khawatir. Problem penyesuaian diri dalam mengatasi

kecemasan muncul dalam bentuk perasaan mudah takut terhadap sesuatu

yang dikhawatirkan. Situasi yang sering memunculkan problem dalam hal

ini adalah ketika siswa tunarungu merasa khawatir terhadap bayangan

90

BAB V