• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORETIS

B. Problem Penyesuaian Diri Siswa tunarungu 1.Pengertian penyesuaian diri

7. Area terjadinya problem penyesuaian diri

Penyesuaian diri diri siswa tunarungu meliputi lima area utama penyesuaian yaitu penyesuaian diri siswa tunarungu di rumah dan penyesuaian komunikasi, penyesuaian sosial, penyesuaian akademik, dan penyesuaian emosi (Madhubala & Rao, 2004). Kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri pada area tersebut akan memunculkan problem pada area

yang bersangkutan. Problem-problem tersebut dapat muncul pada beberapa area dalam waktu bersamaan ataupun dalam waktu yang berbeda. Semakin siswa tersebut mampu melakukan penyesuaian diri maka indivdu semakin tidak berhadapan dengan problem-problem di area tersebut.

a. Penyesuaian Relasi dengan anggota keluarga di rumah

Kebutuhan akan afeksi siswa tunarungu datang dalam bentuk perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh keluarga. Siswa tunarungu membutuhkan perhatian dan kasih sayang lebih dari keluarga. Dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, orang tua memenuhi kebutuhan siswa tunarungu akan afeksi sekaligus mengajari mereka bagaimana bersikap penuh kasih kepada individu lain.

Keberadaan rasa aman pada diri siswa tunarungu dipengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Seringkali orang tua merasa bersalah dengan keadaan siswa mereka yang menjadi tunarungu. Hal ini membuat orang tua bersikap memanjakan dan memiliki harapan berlebihan pada sang siswa (Sastrawinata, 1976). Perilaku memanjakan ini membuat siswa tunarungu tidak dapat mengembangkan sikap mandiri.

Kebutuhan akan afiliasi ini bermula dari dalam lingkungan keluarga. Afiliasi merupakan kebutuhan untuk menjadi bagian dalam suatu kelompok. Kebutuhan akan afiliasi ini akan terpenuhi ketika keluarga menunjukan penerimaan mereka atas diri siswa tunarungu.

Beberapa orang tua ataupun anggota keluarga lainnya malu dengan keadaan yang dialami siswa tunarungu sehingga mereka menjaga jarak (Meadow, 1980).

Sunarto & Hartono (2006) mengungkapkan siswa sering kali berhadapan dengan problem penyesuaian dirinya, terutama yang berkaitan dengan orang dewasa. Sikap penolakan, otoriter, dan pembedaan gender dari orang tua berdampak pada penyesuaian diri yang kurang baik di lingkungan rumah karena siswa merasa tidak diterima apa adanya. Perasaan tidak diterima apa adanya berdampak pada sering munculnya konflik-konflik dengan orang tua, frustrasi, merasa minder, dan merasa terisolasi (Barsch, 1968 dalam Meadow, 1980). Seringkali keterbatasan komunikasi antara siswa tunarungu dengan orang tua membuat orang tua sering merasa mereka tidak cukup mampu menjelaskan setiap kejadian yang dialami siswa tunarungu (Meadow, 1980). Hal ini membuat anak merasa tidak mendapatkan perlakuan yang bersahabat dari orang tua, orang tua berpura-pura tidak mendengar ketika siswa tunarungu berbicara, hingga perasaan kesal yang terwujud dalam perilaku kasar.

b. Penyesuaian komunikasi

Penyesuaian masalah komunikasi dalam penelitian ini berkaitan dengan kemampuan mereka berbicara, membaca, menulis, memahami pembicaraan dengan orang lain, metode pengajaran, penggunaan bahasa isyarat, membaca gerak bibir, dan penguasaan

bahasa untuk mengungkapkan kesulitan berkomunikasi (Madhubala & Rao, 2004). Keterbatasan pesan dalam komunikasi siswa tunarungu berdampak baik pada isi dan proses pertukaran komunikasi yang efektif. Mereka yang mampu mengembangkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi akan membawa mereka untuk menyerap informasi dan meraih prestasi yang gemilang di sekolah, serta memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain (Scheetz, 2004).

Silvestre, Rumspott & Pareto (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan berbicara siswa tunarungu dalam aspek kompetensi berbicara (Morfosintaksis, bahasa dan tulisan, serta performa ketika berbicara) kepada 56 sampel siswa tunarungu dari Spanyol dengan cara wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan problem dalam berkomunikasi terjadi dalam respon jawaban yang tidak jelas (tidak dapat dimengerti lawan bicara), tidak bisa mengikuti dan mengerti topik pembicaraan dan respon hanya mengerti sebagian dari topik pembicaraan. Dominasi guru dalam mengontrol pembicaraan berakibat pada terbatasnya produksi bahasa siswa tunarungu dalam berbicara. Melengkapi hasil penelitian tersebut berdasarkan hasil penelitian serupa yang telah dilakukan oleh Garrison dan Stinson (1994) diungkapkan bahwa menurut hasil penelitian, sebagian besar kesulitan komunikasi terjadi karena lawan bicara terlalu cepat berbicara, adanya perubahan sikap yang tidak diharapkan dari

lawan bicara, perubahan topik pembicaraan yang tiba-tiba, suasana kelas yang ribut, keterbatasan mengklarifikasi kekeliruan, atau lawan bicara yang terlalu mengarahkan topik pembicaraan.

Persepsi diri siswa tunarungu mempengaruhi penggunaan alat bantu dengar. Keinginan untuk menjadi mandiri dan normal bersifat sangat subyektif dan dipengaruhi pandangan mereka terhadap kemampuan mereka sendiri dalam mendengar atau peningkatan kemampuan setelah menggunakan alat bantu dengar (Ohna, 2004 dalam Smith & Kent, 2006). Evaluasi diri yang optimis dari siswa tunarungu bergantung dari kemampuan mereka melakukan strategi coping untuk menutupi kekurangan mereka (tuli) dengan cara meniru

apa yang teman sebaya normal lakukan. Selain usia identifikasi dini terhadap ketunarunguan dan pemasangan alat bantu dengar, persepsi diri tentang normalitas juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri.

Sebuah studi kasus pada 16 siswa tunarungu yang berusia 12 hingga 17 tahun mengungkapkan bahwa faktor psikososial merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi keputusan siswa tunarungu untuk tidak atau menggunakan alat bantu dengar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perkembangan dan pengaturan penerimaan siswa tunarungu terhadap penerimaan identitas dirinya sangat mempengaruhi keputusan yang mereka ambil untuk menggunakan alat bantu dengar atau tidak (Hetu, 1996 dalam Smith & Kent, 2006).

c. Penyesuaian relasi sosial yang lebih luas

Siswa tunarungu mengalami problem penyesuaian diri dalam konteks relasi tidak hanya dengan individu berpendengaran normal tetapi juga terhadap sesama penyandang. Menurut Madhubala & Rao (2004) siswa tunarungu menunjukkan adanya problem-problem dalam perkembangan diri dan sosial. Hal ini terjadi karena adanya hambatan berkomunikasi dengan siswa normal.

Seperti remaja pada umumnya, siswa tunarungu juga menginginkan dapat menjalin relasi pertemanan sebanyak-banyaknya baik dengan teman berpendengaran normal maupun dengan sesama tunarungu, namun keadaan ini terhambat oleh kekurangmampuan mereka mengerti perasaan dan keadaan orang lain. Seringkali mereka ragu-ragu terjun berpartisipasi di lingkungan rumah mereka dan memilih untuk menarik diri karena malu dengan kecacatan mereka. Akibatnya, lingkungan semakin asing dengan keberadaan siswa tunarungu ini.

d. Penyesuaian akademik

Siswa tunarungu menghadapi berbagai permasalahan berkaitan dengan kegiatan akademik, relasi dengan teman sebaya dan guru, serta peraturan sekolah. Ketidakmampuan siswa menyesuaiakan diri membuat siswa tersebut terlibat masalah di sekolah dan terkena hukuman (Sunarto & Hartono, 2006). Selain itu, prestasi akademiknya juga mengalami

penurunan. Hal ini dapat dikarenakan karena siswa tidak memiliki kebiasaan belajar yang baik akibat rendahnya kesadaran dan tanggung jawab diri, tidak mampu menyesuaikan diri dengan guru ataupun dengan mata pelajaran tersebut (Dapa & Liando, 2006).

Guru dan lembaga pendidikan memainkan peranan penting dalam segala aspek perkembangan siswa tunarungu (Meadow, 1980). Keterbatasan bahasa dan konsep membuat siswa tunarungu sering mengalami kesulitan memahami soal pertanyaan yang diberikan oleh guru (Bunawan & Yuwati, 2000). Siswa tunarungu mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang menuntut pemahaman abstrak (Myklebust, 1964 dalam Bunawan & Yuwati,2000).

Sebuah buku tentang bahasa dan pendidikan siswa tunarungu yang ditulis oleh Greenberg & Calderon (2005) menjabarkan problem-problem penyesuaian diri yang dialami siswa tunarungu, yaitu prestasi akademik yang rendah, tidak mandiri, mengalami maladaptasi sosial (terlibat alkohol, obat terlarang, dan kekerasan), frustrasi, keterlambatan perkembangan bahasa, bersikap impulsif, regulasi emosi rendah, sulit mengungkapkan emosi, tidak spontan, kegagalan mempelajari bahasa, lingkungan keluarga yang tidak kondusif, dan sikap orang tua yang menolak.

e. Penyesuaian Emosi

Permasalahan penyesuaian emosi siswa tunarungu tampak dalam perilaku kesehariannya (Meadow, 1980). Sebuah pelatihan

kesadaran emosi menggunakan kartu bergambar (Hendriani, 2004, 2006) menemukan bahwa masalah yang dialami siswa tunarungu berawal dari ketidakmampuan mendengar suara di sekeliling sehingga memunculkan ketidaknyamanan ketika berbicara dan berhubungan dengan orang lain. Keadaan yang sulit mereka pahami dan sulit untuk merasakan situasi yang berbeda cara berkomunikasi dengan mereka ini membuat mereka sering merasa bingung memahami maksud pembicaraan orang lain sehingga citra diri mereka menjadi rendah. Schloss (1988 dalam Hendriani, 2004, 2006) mengungkapkan kesulitan menafsirkan keadaan emosional yang terjadi di sekitar membuat respon mereka menjadi tidak tepat dan kurang kondusif.

Mereka harus berhadapan dengan berbagai permasalahan penyesuaian diri yang cukup memadai karena keterbatasan fisiknya, hal ini menyebabkan mereka mengalami keterbatasan untuk bebas melakukan aktivitas seperti orang-orang pada umumnya yang berdampak pada timbulnya permasalahan emosi, seperti perasaan dendam dan tidak didukung. Secara berlebihan mereka mengembangkan pemikiran bahwa orang-orang memandang rendah diri yang berdampak pada tumbuhnya perasaan inferior dan mengasihani diri sendiri (Madhubala & Rao, 2004).

41

BAB III