• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSATAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSATAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Kecerdasan Emosional

2.1.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan Emosional terdiri dari dua kata, yaitu kecerdasan dan emosi. Kecerdasan adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Kecerdasan juga erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Sedangkan emosi merupakan perasaan intens yang ditujukan bagi seseorang atau sesuatu. Emosi itu spesifik terhadap objek, dengan kata lain, emosi adalah rekasi akan suatu objek. Dari penelitian yang dilakukan ada enam emosi universal yang telah diidentifikasi: kemarahan, ketakutan, kesedihan, kebahagiaan, rasa jijik, dan rasa kaget, Robbins dan Coulter (2010:51).

Menurut Cooper dan Sawaf (1998) kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh manusia. Kecerdasan emosional membutuhkan perasaan pengawasan, belajar mengenali, menghargai perasaan dalam diri mereka sendiri dan orang lain dan merespon dengan tepat, efektif menerapkan energi emosional dalam kehidupan sehari-hari.

(2)

Menurut Goleman (2009:45) kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Sementara itu, menurut Wirawan (2009:107) kecerdasan emosional (emotional intelligence) merupakan kemampuan untuk memanajemeni emosi diri sendiri dan kemampuan untuk memanajemeni emosi orang lain.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam mengatur suasana hati, mengendalikan emosi, dan dengan selektif menerapkan tindakan, sehingga dapat merespon suatu keadaan dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu, Goleman (2009:267), yaitu: 1. Lingkungan Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi seseorang kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan

(3)

sebagainya. Hal ini akan menjadikan seseorang menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga seseorang dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.

2. Lingkungan Non Keluarga

Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain seseorang seperti bermain peran. Seseorang berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang lainnya.

Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:

1. Faktor psikologis

Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.

(4)

2. Faktor pelatihan emosi

Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan.

3. Faktor pendidikan

Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja.

Jadi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional meliputi faktor internal yang timbul dari dalam diri individu dan dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang serta faktor eksternal yang timbul dari luar individu yang mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat perorangan atau kelompok.

2.1.1.3 Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Goleman (2001) membagi kecerdasan emosi atas lima komponen, yang dapat menjadi pedoman untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

(5)

1. Kesadaran Diri

Kesadaran diri adalah kemampuan dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri dikuasai oleh perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya dan akhirnya berakibat dalam pengambilan keputusan yang salah. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.

Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasayarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosinya. 2. Pengaturan Diri

Pengaturan diri berarti pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang

(6)

yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri.

Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya karena gagalnya keterampilan emosional dasar serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Motivasi

Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri. Dengan kemampuan memotivasi diri sendiri yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya, dan cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang dikerjakannya. 4. Empati

Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan orang lain atau peduli. Empati dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi diri sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia terampil membaca

(7)

emosi orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh oring lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

5. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial yaitu mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Keterampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

2.1.2 Kepuasan Kerja

2.1.2.1 Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya, Mangkunegara (2013:117). Menurut Sutrisno (2010:74) kepuasan kerja adalah suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi

(8)

kerja, kerjasama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan hal-hal yang menyangkut faktor fisik dan psikologis.

Menurut Hariandja (2009:290) bahwa kepuasan kerja adalah merupakan salah satu elemen yang cukup penting dalam organisasi. Hal ini di sebabkan kepuasan kerja dapat mempengaruhi perilaku kerja seperti malas, rajin, produktif, dan lain-lain, atau mempunyai hubungan beberapa jenis perilaku yang sangat penting dalam organisasi. Menurut Rivai (2009:856) pengertian kepuasan kerja adalah Evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap dari karyawan meliputi perasaan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya yang timbul karena beberapa faktor dari luar maupun dari dalam diri karyawan yang dapat mempengaruhi perilaku kerja karyawan.

2.1.2.2 Teori-Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian karyawan lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada karyawan lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Menurut Rivai (2009:856), teori kepuasan kerja antara lain:

(9)

1. Teori ketidaksetaraan (Discrepancy Theory)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya terjadi dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi yang diterimanya maka orang akan lebih puas lagi, sehingga terdapat kesenjangan tetapi merupakan kesenjangan yang positif. Kepuasan seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2. Teori Keadilan (Equety Theory)

Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas/tidak puas, tergantung pada ada/tidak adanya keadilan (equity) dalam suatu sistem, khususnya system kerja. Komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan, dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi pegawai yang dianggap mendukung pekerjaanya seperti, pendidikan, pengalaman, dan peralatan/perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaanya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti: upah atau gaji, simbol, status penghargaan, dan aktualisasi diri.

3. Teori dua Faktor (Two Factor Theory)

Teori ini menunjukan karakteristik pekerjaan menjadi 2 kelompok yaitu satisfieas dan dissatisfieas. Satisfieas (Motivator) adalah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber yang dibutuhkan. Kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan untuk memeperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor

(10)

tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfieas (Hegein Factor) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari gaji atau upah, pengawasan, hubungan antara pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar karyawan. Jika faktor ini tidak terpenuhi, karyawan tidak akan puas. Jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.

Sedangkan menurut Wibowo (2012:502), membagi teori kepuasan kerja terbagi atas dua teori yaitu sebagai berikut:

1. Two-Factor Theory. Teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivators dan hygiene factors. 2. Value Theory: Kepuasan kerja terjadi pada tingkatan di mana hasil pekerjaan

diterima individu seperti diharapkan.

Berdasarkan uraian mengenai teori kepuasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sebuah ungkapan perasaan yang dirasakan oleh pegawai terhadap apa yang telah dicapai (dari ruang lingkup pekerjaan) maupun hal yang mampu mendorong tercapainya pekerjaan itu sendiri (di luar ruang lingkup pekerjaan). Di sisi lain, kepuasan kerja dapat dilihat dari usaha pegawai dalam membuat perbandingan mengenai pekerjaan yang telah dihasilkannya dengan pekerjaan orang lain.

(11)

2.1.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2009:119) faktor-faktor yang mempengaruhi atau menentukan kepuasan kerja adalah:

1. Kepuasan Terhadap Pekerjaan Itu Sendiri

Kepuasan ini tercapai bilamana pekerjaan seorang karyawan sesuai dengan minat dan kemampuan karyawan itu sendiri.

2. Kepuasan Terhadap Imbalan

Kepuasan terhadap imbalan dari pekerjaan yang didapat karyawan merupaka keadaan dimana karyawan merasa gaji atau upah yang diterimanya sesuai dengan beban kerjanya dan seimbang dengan karyawan lain yang bekerja di organisasi itu. 3. Kesempatan Promosi

Karyawan akan merasa puas apabila mereka memiliki kesempatan yang adil untuk meningkatkan posisi jabatan pada struktur organisasi perusahaan.

4. Kepuasan Terhadap Supervisi dari Atasan

Supervisi atau pengawasan dari atasan akan berpengaruh terhadap kepuasan karyawan. Dengan membuat karyawan merasa memiliki atasan yang mampu memberikan bantuan teknis dan motivasi kepada bawahannya, maka karyawan akan merasa puas.

5. Kepuasan Terhdapa Rekan Kerja

Rekan kerja yang ramah menghantar kepuasan kerja yang meningkat termasuk pula penyelia yang bersikap ramah dan menawarkan pujian untuk kinerja

(12)

yang baik dapat meningkatkan kepuasan kerja. Untuk sebagian pekerja, kerja juga mengisi akan kebutuhan interaksi sosial dan bukan sekadar uang atau prestasi dari hasil kerja. Rekan kerja yang mendukung dan kooperatif, akan sangat membantu pekerja merasa puas.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2013:120) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu faktor pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya.

1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan, kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan, yaitu, jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.

2.1.2.4 Korelasi Kepuasan Kerja

Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja. Menurut Wibowo (2007:304) korelasi kepuasan kerja adalah :

1. Motivasi

Penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara motivasi dengan kepuasan kerja. Karena kepuasan kerja dengan supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi, manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan pekerja.

(13)

Manajer secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.

2. Pelibatan kerja

Pelibatan kerja mununjukan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran kerjanya.

3. Organizational citizenship behavior

Organizational citizenship behavior merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya. Organizational citizenship behavior lebih banyak ditentukan oleh kepemimpinan dan karakteristik lingkungan kerja daripada oleh kepribadian pekerja.

4. Komitmen organisasi

Komitmen organisasi mencerminkan tingkatan di mana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Manajer disarankan meningkatkan kepuasan kerja dengan maksud untuk menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi dapat memfasilitasi produktivitas lebih tinggi.

5. Ketidakhadiran

Ketidakhadiran merupakan hal mahal dan manajer secara tetap mencari cara untuk menguranginya. Satu rekomendasi telah meningkatkan kepuasan kerja. Apabila rekomendasinya sah, akan terdapat korelasi negatif yang kuat antara kepuasan kerja dan kemangkiran. Dengan kata lain, apabila kepuasan meningkat, kemangkiran akan

(14)

turun. Oleh karena itu, manajer akan menyadari setiap penurunan signifikan dalam kemangkiran akan meningkatkan kepuasan kerja.

6. Turnover

Turnover sangat penting bagi manajer karena mengganggu kontinuitas organisasi dan sangat mahal. Penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepuasan dan turnover. Dengan kata lain kekuatan hubungan tertentu, manajer disarankan untuk mengurangi perputaran dengan meningkatkan kepuaan kerja pekerja.

7. Perasaan Stres

Stres dapat berpengaruh sangat negatif terhadap prilaku organisasi dan kesehatan individu. Stres secara positif berhubungan dengan kemangkiran, perputaran, sakit jantung koroner dan pemeriksaan virus.

8. Prestasi kerja

Kontroversi tersebar dalam penelitian organisasi adalah tentang hubungan antara kepuasan kerja dan prestasi kerja atau kinerja. Ada yang menyatakan bahwa kepuasan mempengaruhi prestasi kerja lebih tinggi, sedangkan lainnya berpendapat bahwa prestasi kerja mempengaruhi kepuasan kerja.

2.1.3 Komitmen Organisasional

2.1.3.1 Definisi Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki ikatan emosional terhadap perusahaan yang meliputi dukungan moral dan menerima

(15)

nilai yang ada di dalam perusahaan serta tekad dari dalam diri untuk mengabdi pada perusahaan. Menurut Wibowo (2012:507) komitmen organisasional mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuaanya. Menurut Robbins dan Coulter (2010:40) komitmen organisasi adalah derajat dimana seorang karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi tertentu beserta tujuannya dan berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sutrisno (2010:153) yang mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas pekerja terhadap organisasinya dan juga merupakan suatu proses mengekspresikan perhatian dan partisipasinya terhadap terhadap organisasinya. Sementara itu, menurut Sopiah (2008:156) komitmen organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap suatu organisasi. Dengan kata lain komitmen organisasional adalah sikap loyalitas pekerja terhadap organisasi dan proses berkelanjutan dari anggota organisasi untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi yang akan berlanjut pada kesuksesan dan kesejahteraan.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu sikap karyawan yang mencerminkan perasaan, keinginannya, serta tujuannya untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi.

(16)

2.1.3.2 Dimensi-Dimensi Komitmen Organisasional

Meyer dan Allen (1991) mengemukakan ada 3 bentuk dasar dari komitmen organisasi yaitu : Affective Commitment, Continuance Commitment, dan Normative Commitment.

1. Affective Commitment (Komitmen Afektif)

Komitmen afektif berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Artinya bahwa komitmen dipandang sebagai suatu sikap, yaitu suatu usaha dari individu dalam mengidentifikasikan dirinya pada organisasi beserta tujuannya, serta tetap ingin menjadi anggota organisasi tersebut agar bisa mencapai tujuannya. Anggota organisasi dengan komitmen afektif yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu. Komitmen afektif muncul karena terdapat adanya kesesuaian nilai antara organisasi dan pekerja. Diantaranya adalah karakteristik individu, karakterstik struktur organisasi, signifikansi tugas dan keahlian. Komitmen jenis ini akan menjadi kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi/lembaga konsisten atau sesuai dengan harapan – harapan dan dapat memuaskan kebutuhan dasarnya, begitu sebaliknya. 2. Continuance Commitment (Komitmen Berkelanjutan)

Komitmen berkelanjutan mengacu pada komitmen yang didasarkan pada kerugian-kerugian pegawai bila meninggalkan organisasi. Dapat dijelaskan disini bahwa komitmen ini muncul karena adanya suatu ketergantungan pada

(17)

aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan di dalam organisasi pada masa lalu dan hal itu tidak mungkin ditinggalkan karena akan merugikan. Selain itu komitmen jenis ini muncul karena berkaitan dengan investasi yang ditanamkan oleh pekerja dalam organisasi seperti tenaga, pikiran dan waktu yang akan hilang jika mereka meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut seperti agar tidak kehilangan reward yang akan diterima atas pekerjaan yang telah dilakukan, misalnya: pegawai tidak ingin kehilangan dana pensiun, fasilitas, jabatan serta hal lain yang diperoleh selama ini. 3. Normative Commitment (Komitmen Normatif)

Komitmen normatif mengacu pada perasaan pegawai untuk tetap tinggal dalam suatu organisasi. Komitmen ini muncul karena memang sudah seharusnya, dimana pegawai merasa mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi menjadi anggota organisasi. Dengan kata lain bahwa pegawai merasa wajib untuk tetap tinggal dalam suatu organisasi karena adanya perasaan hutang budi pada organisasi sehingga mereka mereka mempunyai kewajiban moral untuk melakukan tindakan imbal balik pada organisasi tempat mereka bekerja.

2.1.3.3 Akibat dari Komitmen Organisasional

Meyer et al. (1990) mengemukakan beberapa hal yang menjadi akibat dari komitmen organisasional:

(18)

1. Turnover

Turnover adalah tingkat pertukaran atau pergantian, yang dalam konteks ini adalah pertukaran tenaga kerja atau karyawan. Tingkat turnover dapat diakibatkan oleh komitmen organisasional. Hubungan antara turnover dan komitmen organisasional adalah hubungan yang negatif. Apabila komitmen organisasional seseorang kepada organisasi tergolong tinggi, keinginannya untuk mengundurkan diri atau meninggalkan organisasi akan rendah, begitu pula sebaliknya. Karyawan yang komitmennya rendah akan dengan mudah memiliki niat untuk keluar dari organisasi. 2. Ketidakhadiran/Tingkat Absensi

Komitmen organisasional juga mempengaruhi karyawan di tempat kerja, karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi akan menunjukkan sikap negatif terhadap ketidakhadiran. Mereka cenderung mengusahakan untuk hadir di tempat kerj. Dari ketiga dimensi komitmen, hanya komitmen afektif yang berhubungan negatif dengan ketidakhadiran.

3. Kinerja Karyawan

Komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja karyawan sesui dengan dugaan sebelumnya. Dengan kata lain, karyawan dengan komitmen terhadap organisasi yang tinggi akan berkinerja lebih baik. Dari dimensi komitmen organisasional hanya komitmen afektif dan normatif yang memiliki hubungan yang negatif. Komitmen afektif ditemukan lebih kuat hubungan positifnya dengan kinerja karyawan.

(19)

4. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Komitmen organisasional memiliki pengaruh tergahap OCB, dimana apabila komitmen karyawan tinggi, wujud OCB mereka juga akan tinggi. Korelasi yang positif ini hanya berlaku bagi komitmen afektif dan komitmen normatif. Komitmen berkelanjutan tidak memiliki hubunga atau dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap OCB.

5. Stres dan Konflik Keluarga-Pekerjaan

Berdasarkan penelitian, komitmen organisasional memiliki hubungan yang negatif dengan stres dan konflik keluarga-pekerjaan. Semakin rendah komitmen seseorang, semakin tinggi stres yang mereka rasakan, begitu juga semakin banyak konflik yang dialami karyawan. Dari ketiga dimensi hanya komitmen afektif yang berhubungan negatif. Komitmen berkelanjutan ternyata berhubungan yang positif, dengan kata lain semakin tinggi komitmen berkelanjutan dalam diri seseorang, semakin tinggi tingkat stress dan konflik keluarga-pekerjaan yang dialaminya semakin sering terjadi. Sedangkan hubungan komitmen normatif dengan stres dan konflik keluarga-pekerjaan mendekati nol atau tidak berhubungan/berpengaruh.

2.1.4 Kinerja

2.1.4.1 Definisi Kinerja

Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian kinerja adalah hasil kinerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang

(20)

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungn jawab yang diberikan kepadanya, Mangkunegara (2013:67).

Menurut Sedarmayanti (2011:260) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat diukur.

Menurut Moeheriono (2009:60) kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan dalam pengukuran, maka kinerja pada seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui bila tidak ada tolok ukur keberhasilannya.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang atau sekelompok orang sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditetapkan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan baik itu secara efektif dan efisien dan bersangkutan secara legal, tidak melanggar aturan dan sesuai dengan moral maupun etika.

2.1.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Boyatzis dan Ron (2001:2) mengemukakan bahwa menemukan orang yang tepat dalam organisasi bukanlah hal yang mudah, karena yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan bukan hanya orang yang berpendidikan lebih baik ataupun

(21)

orang yang berbakat saja. Ada faktor-faktor psikologis yang mendasari hubungan antara seseorang dengan organisasinya. Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh pada kemampuan seseorang di dalam organisasi diantaranya adalah kemampuan mengelola diri sendiri, inisiatif, optimisme, kemampuan mengkoordinasi emosi dalam diri, serta melakukan pemikiran yang tenang tanpa terbawa emosi. Hal-hal tersebut merupakan komponen dari kecerdasan emosional yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang.

Pendapat lain dikemukakan oleh Mathias dan Jackson (2006:115), yang menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja seorang pekerja, antara lain:

1. Kemampuan Individual, komponen kemampuan individual terdiri dari bakat, minat, dan kepribadian individu

2. Usaha yang Dicurahkan, komponen usaha yang dicurahkan terdiri dari komitmen organisasional, motivasi, etika kerja, kehadiran, dan rancangan tugas. Oleh karena itu, walaupun karyawan memiliki kemampuan individual untuk mengerjakan pekerjaan, tetapi tidak akan bekerja tanpa tingkat pencurahan usaha yang rendah.

3. Dukungan Organisasional, komponen dukungan organisasional terdiri dari pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, iklim organisasi, standar kerja, dan manajeman dan rekan kerja.

(22)

Faktor-faktor lain dikemukakan oleh Gibson (2008), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja terdiri dari tiga faktor, sebagai berikut :

1. Faktor Individu: Kemampuan, keterampilan, latar belakang, keluarga, pengalaman tingkat sosial, dan demografi seseorang.

2. Faktor Psikologis: Persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja.

3. Faktor Organisasi: Struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward sistem).

2.1.4.3 Indikator-Indikator Kinerja

Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung, yaitu hal-hal yang bersifat hanya merupakan indikasi kinerja saja sehingga bentuknya cenderung kualitatif atau tidak dapat dihitung, Moeheriono (2009:74).

Indikator yang baik dan ideal dalam pengukuran kinerja yaitu: spesifik dan jelas, dapat diukur, fleksibel dan sensitif terhadap perubahan, efektif dan efisien, konsisten, mempunyai daya banding yang layak dan tepat, sederhana, dapat dikendalikan, dapat merefleksikan semua aspek perilaku dalam pembuatan keputusan manajerial, berfokus pada faktor-faktor utama keberhasilan visi misi organisasi, relevan dengan indikator lainnya, pengumpulan dan laporan data tepat waktu, serta efektif data dan informasi, Moeheriono (2012:34).

Menurut Mathis dan Jackson (2006:378) mengemukakan bahwa terdapat beberapa indikator kinerja, yaitu :

(23)

a. Kualitas Kerja

Kualitas adalah ketaatan dalam prosedur, disiplin dan dedikasi. Tingkat dimana hasil aktivitas yang dikehendaki mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas, maupun memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap ketrampilan dan kemampuan pegawai.

b. Kuantitas Kerja

Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit atau jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan. Kuantitas diukur dari persepsi karyawan terhadap jumlah aktivitas yang ditugaskan beserta hasilnya. c. Ketepatan Waktu

Ketepatan waktu merupakan di mana kegiatan tersebut dapat diselesaikan secara efektif, atau suatu hasil produksi dapat dicapai, pada permulaan waktu yang ditetapkan bersamaan koordinasi dengan hasil produk yang lain dan memaksimalkan waktu yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan lain.

d. Kehadiran

Tingkat kehadiran karyawan dalam perusahaan dapat menentukan baik buruknya kinerja seorang karyawan.

e. Kerja Sama

Kerja Sama dapat diukur dari kemampuan seorang karyawan menangani hubungan dalam pekerjaan dengan rekan kerja dan lingkungannya.

(24)

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Tahun Hasil Penelitian

1. Anak Agung Inten Damaryanthi dan Anak Agung Sagung Kartika Dewi Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kepuasan Kerja, dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Terhadap Kinerja Pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

2016 Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kinerja ini berarti pegawai yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih optimal dalam menunjukkan kinerja mereka, (2) Komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja ini berarti pegawai yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi terhadap tempat ia berkerja akan

menunjukkan kinerja yang mengalami peningkatan, (3) Organizational citizenship behavior (OCB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja ini berarti pegawai yang memiliki OCB yang tinggi terhadap tempat ia berkerja maupun pada pegawai lainnya akan memunjukkan kinerja yang meningkat serta sikap yang lebih mudah bergaul, ramah, dan lebih dapat menerima pekerjaan yang ia

dapatkan tanpa banyak mengeluh.

(25)

2. Dealsy Florida Pengaruh Kecerdasan Emosional, Komitmen Organisasional, dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Perawat) di RSUP. DR. Soeradji Titronegoro Klaten 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kecerdasan emosional secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan (perawat), RSUP. DR. Soeradji Tirtonegoro. Namun secara parsial komitmen organisasi dan kecerdasan emosional mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan, sedangkan kepuasan kerja tidak mempunyai pengaruh yang signifikan tetapi positif terhadap kinerja karyawan. Implikasinya pada penelitian ini adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kecerdasan emosional mempunyai peranan penting yang sama baik secara individu maupun bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawan (Perawat). 3. Sukmawati dan Nurjaya Gani Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Karyawan Pada Koperasi Karyawan PT. Telkom Siporennu Makassar

2014 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial terdapat pengaruh positif kecerdasan emosional, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan kopkar PT. Telkom Siporennu Makassar. Hal

(26)

ini bermakna bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional karyawan maka semakin tinggi pula kinerjanya. 4. Fandy Aryawan, Sugeng Wahyudi, Ahyar Yuniawan Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kepribadian, dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai (Studi Pada Perum BULOG Divisi Regional Jawa Tengah) 2012 Penelitian ini menyimpulkanm bahwa: (1) Semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi tingkat kinerja Karyawan Bulog Divre Jawa

Tengah. Untuk itu dalam proses seleksi pegawai baru di masa yang akan datang diharapkan untuk memprioritaskan calon pegawai dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. (2)

Kepribadian berpengaruh terhadap kinerja

Karyawan Bulog Divre Jawa Tengah, dengan demikian disimpulkan bahwa semakin

mendukung karakteristik kepribadian untuk produktif maka semakin tinggi kinerja.

(3) Kepuasan kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja, artinya bahwa tinggi rendahnya tingkat kepuasan seorang

karyawan tidak berkaitan dengan tinggi rendahnya kinerja mereka.

5. Weihui Fu dan Satish P. Deshpande

The Impact of Caring Climate, Job

Satisfaction, and Organizational

2014 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawatan iklim

(27)

Commitment on Job Performance of Employees in a China’s Insurance Company

sejumlah outcome penting organisasi seperti

kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kinerja karyawan di China, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi, dan pengaruh tidak langsung terhadap kinerja karyawan. 6. R.Rangarajan dan C.Jayamala Impact of Emotional Intelligence on employee performance – An Epigrammatic Survey 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi menunjukkan kualitas kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Lebih jelasnya, kecerdasan emosional memiliki dampak positif terhadap kinerja

karyawan. Selain itu, kemampuan memahami emosi menunjukkan tanda-tanda prestasi kerja yang lebih tinggi dan menegaskan bahwa kecerdasan emosional adalah prediktor signifikan dari kinerja karyawan. 7. Kambiz Heidarzadeh Hanzaee and Majid Mirvaisi A Survey on Impact of emotional intelligence, Organizational Citizenship Behaviors, and Job Satisfaction

2013 Hasil survei ini telah mengkonfirmasi semua hipotesis yang diajukan survei ini kecuali satu, yang terkait dengan

(28)

on Employees’ Performance in

Iranian Hotel Industry

hubungan antara pada Kinerja Karyawan. Oleh karena itu, Kecerdasan Emosional memiliki dampak positif pada kepuasan kerja, OCB dan kinerja karyawan di industri hotel Iran. 8. Hassan Rangriz, Javad Mehrabi The Relationship between Emotional Intelligence, Organisational Commitment and Employees' Performance in Iran 2010 Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan

emosional, komitmen organisasi dan kinerja karyawan. Penelitian juga menemukan bahwa kecerdasan emosional manajer tidak

mempengaruhi karyawan komitmen organisasional dan kinerja karyawan. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kecerdasan

emosional, komitmen organisasional dan kinerja karyawan pria dan wanita. Juga tidak perbedaan yang signifikan antara

kecerdasan emosional manajer dan karyawan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam komitmen

organisasional dan kinerja karyawan.

(29)

2.3 Kerangka Konseptual

Kecerdasan emosional dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Karyawan yang dapat mengontrol emosinya dengan baik akan menghasilkan kinerja yang baik pula. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rangarajan dan Jayamala (2014) dalam judulnya Impact of Emotional Intelligence on employee performance – An Epigrammatic Survey, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja dan merupakan prediktor signifikan dari kinerja karyawan. Penelitian ini menyatakan bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan kualitas kinerja yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Meyer (2000) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan faktor penting untuk menghasilkan kinerja yang optimal.

Kepuasan kerja juga dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Seperti hasil penelitan Sukmawati dan Gani (2015) dalam judulnya Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Karyawan Pada Koperasi Karyawan PT. Telkom Siporennu Makassar menunjukkan bahwa secara parsial terdapat pengaruh positif kecerdasan emosional, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan. Salah satu kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah semakin tinggi kecerdasan emosional karyawan maka semakin tinggi pula kinerjanya. Hal ini didukung oleh teori Robbins (2010:147) yang menyatakan bahwa pegawai yang merasa puas terhadap pekerjaannya akan menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada pegawai yang tidak merasa puas.

(30)

Dalam teori yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1997), menyatakan bahwa dengan komitmen organisasi yang tinggi dapat memperkuat atau meningkatkan kinerja karyawan. Karena dengan terciptanya komitmen organisasional yang tinggi, akan membuat karyawan mencintai dan turut merasa memiliki perusahaan. Karyawan yang mencintai dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada organisasi akan meningkatkan hasil kerja bagi organisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa kecerdasan emosional, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Berikut kerangka konseptual pada penelitian ini:

Sumber: Sukmawati dan Gani (2014), Fu dan Deshpande (2014), Rangarajan dan Jayamala (2014).

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.4 Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, perumusan masalah yang didukung dengan kajian teoritis dan dilengkapi dengan kerangka konseptual, maka hipotesis yang dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

Kecerdasan Emosional (X1) Kepuasan Kerja (X2) Komitmen Organisasional (X3) Kinerja Karyawan (Y)

(31)

H0 : Kecerdasan Emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

karyawan pada PTPN III (Persero) Medan.

H1 : Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

pada PTPN III (Persero) Medan.

H2 : Komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

karyawan pada PTPN III (Persero) Medan.

H3 : Kecerdasan emosional, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan pada PTPN III (Persero) Medan.

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1  Kerangka Konseptual  2.4 Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Limbah B3 yang dihasilkan oleh PG Madukismo adalah bocoran minyak pelumas dan aki bekas. Limbah bocoran minyak pelumas berasal dari pelumas mesin-mesin yang digunakan

Upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung strategi meliputi (1) Peningkatan kualitas SDM di bidang jasa dan perdagangan, (2) Pengembangan produk baru berbahan dasar

Hal ini mengisyaratkan akan masuknya banyak investasi maupun produk- produk asing kedalam negeri, kelemahan daya saing untuk menghadapi kekuatan ekonomi dari Negara

Pelaksanaan grouting yang disarankan adalah dilakukan di tiga area longsor dengan dimensi 20 meter, dengan jarak antar titik grouting adalah 3 meter. Sehingga

Kondisi optimum adsorpsi Co(II) menggunakan adsorben kitin terfosforilasi terjadi pada pH 5, dengan prosen adsorpsi Co(II) sebesar 52,40%, dan waktu kontak optimum adalah

Tujuan Khusus penelitian meliputi: Inventarisasi data hidro-klimatologi dan data geografis (Data kewilayahan), Analisa spasio-temporal terhadap data hidro- klimatologi,

Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai control diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan

Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa dan.. Modal simbolik,