• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Tikus sawah (Rattus argentiventer : Robb & Kloss) merupakan salah satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Tikus sawah (Rattus argentiventer : Robb & Kloss) merupakan salah satu"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tikus sawah (Rattus argentiventer : Robb & Kloss) merupakan salah satu hama utama pertanaman padi yang dapat menyebabkan tanaman puso atau gagal panen. Kehilangan hasil gabah akibat serangan hama itu hampir terjadi setiap musim tanam dengan kerusakan mencapai 15-20% tiap tahunnya (Anonim, 2011). Dalam usaha mengatasi masalah tikus berbagai alternatif pengendalian telah dilakukan, baik secara kultur teknis, fisik mekanik, maupun secara kimia. Sunarjo, (1992) mengemukakan bahwa pengendalian hama tikus secara kimiawi merupakan alternatif yang paling umum dilakukan karena hasilnya dapat segera terlihat dan mudah diaplikasikan pada areal yang luas. Namun penggunaan bahan kimia secara terus menerus untuk mengendalikan berbagai hama dan penyakit telah menimbulkan berbagai masalah baru, terutama bagi lingkungan (Anonim, 2011).

Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimiawi untuk mengendalikan tikus, maka perlu dicari alternatif-alternatif pengendalian yang lainnya. Penggunaan bahan-bahan yang disukai atau tidak disukai oleh tikus yang dikenal dengan istilah preferensi merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang relatif lebih aman, karena secara umum bahan tersebut tidak meracuni, tetapi bekerja dengan cara mempengaruhi indera penciuman tikus yang berkembang sangat baik. Penggunaan bahan yang tidak disukai tikus dapat mengurangi daya bertahan tikus karena aktivitas makan, minum, mencari pasangan, serta reproduksi terganggu (Priyambodo, 1995). Secara tidak langsung

(2)

bahan yang tidak disukai oleh tikus dapat menyebabkan kematian dan kemampuan bertahan tikus (Purwanto, 2009).

Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki bau khas, antara lain Bangle (Zingiber cassumunar Roxb), Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium), dan Mengkudu (Morinda citrifolia L.). Purwanto, (2009) menyatakan bahwa rimpang bangle memiliki tingkat preferensi yang rendah jika dibandingkan dengan jenis bahan preferensi sereh dan kemangi, serta efektif untuk dijadikan sebagai bahan untuk menghambat aktivitas makan tikus.

Berdasarkan informasi yang didapat dari kearifan lokal yang berkembang di masyarakat wilayah Barru dan sekitarnya menyatakan bahwa buah mengkudu sangat efektif dijadikan sebagai bahan yang tidak disukai oleh tikus. Menurut warga, di sekitar sawah dekat pohon mengkudu yang semula terdapat banyak tikus menjadi berkurang populasinya setelah pohon mengkudu tersebut berbuah matang dan buahnya berguguran, sehingga diduga bahwa aroma buah mengkudu memiliki kemampuan untuk mengurangi populasi tikus.

Habitat tikus biasanya di tanggul irigasi primer, sekitar pekarangan, got, semak, dan tepi rawa. Pada tempat itu pula sering kita jumpai tanaman talas kimpul. Di pinggir sungai dekat kebun jagung warga Desa Kupa, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru juga banyak tumbuh talas kimpul. Pada kebun yang dekat dari tempat tumbuhnya talas kimpul tidak ditemukan lubang ataupun jejak tikus sedangkan kebun yang jauh dari tempat tumbuhnya talas kimpul terdapat lubang dan sisa makanan tikus. Hal ini bisa disebabkan karena keberadaan talas kimpul berpengaruh terhadap keberadaan tikus. Tetapi apakah talas kimpul yang

(3)

banyak itu juga merupakan habitat ular (predator tikus), sehingga tempat tersebut tidak memberikan perlindungan yang aman dari bahaya predator? Atau apakah talas kimpul mengeluarkan bau yang tidak disukai tikus yang dapat mengganggu aktivitas makan, minum, mencari pasangan, serta bereproduksi.

Penggunaan bau-bauan untuk mengatasi serangan hama tikus masih kurang sehingga informasi yang didapat masih sedikit. Berdasarkan hal tersebut yang telah diuraikan sebelumnya maka penelitian dalam bentuk percobaan akan dilakukan untuk mengetahui preferensi tikus pada pakan yang diperlakukan dengan ekstrak bangle, talas, dan mengkudu.

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui preferensi tikus pada pakan yang diperlakukan dengan ekstrak bangle, talas, dan mengkudu. Dengan pengetahuan itu dapat dimanfaatkan dalam upaya mendapatkan teknik pengendalian tikus sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) yang berkaitan dengan pemanfaatan ekstrak yang tidak disukai tikus.

1.3. Hipotesis Penelitian

Tikus mempunyai preferensi yang berbeda terhadap pakan yang diberi ekstrak yang berbeda.

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Bioekologi

Tikus sawah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit. Tikus sawah mudah ditemukan di perkotaan dan pedesaan di seluruh penjuru Asia Tenggara. Hewan pengerat itu menyukai persawahan, ladang, dan padang rumput tempat tikus itu memperoleh makanannya berupa bulir padi, jagung, atau rumput. Tikus sawah membuat sarang di lubang-lubang, di bawah batu, atau di dalam sisa-sisa kayu. Tikus sawah itu adalah jenis hama pengganggu pertanian utama dan sulit dikendalikan karena tikus itu mampu ”belajar” dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya.

Tikus menyerang padi pada malam hari, pada siang hari tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian tikus bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan akan kembali ke sawah setelah pertanaman padi menjelang fase generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina mengalami masa bunting sekitar 21-23 hari dan mampu beranak rata-rata sejumlah 10 ekor. Tikus dapat berkembang biak apabila makanannya banyak mengandung zat tepung. Populasi tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan tempat persembunyian yang memadai. Tempat persembunyian tikus

(5)

antara lain tanaman, semak belukar, rumpun bambu, pematang sawah yang ditumbuhi gulma, dan kebun yang kotor (Sudarmaji, 2005).

Pengendalian hama tanaman melalui pendekatan ekologi, baik hama dari kelompok serangga maupun arthropoda lainnya, dapat berhasil dengan baik jika bioekologi hama tersebut diketahui dengan baik pula. Hal yang sama juga berlaku bagi pengendalian hama tikus (Baco, D, 2011).

Kemampuan Indera Penciuman Tikus

Tikus memiliki indera penciuman yang berkembang dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas tikus menggerak-gerakkan kepala serta mendengus pada saat mencium bau pakan, tikus lain, atau musuhnya (predator). Penciuman tikus yang baik ini juga bermanfaat untuk mencium urine dan sekresi genitalia. Dengan kemampuan ini tikus dapat menandai wilayah pergerakan tikus lainnya, mengenali jejak tikus yang masih tergolong dalam kelompoknya, mendeteksi tikus betina yang sedang estrus (berahi) (Priyambodo, 2003) dan mendeteksi anaknya yang keluar dari sarang berdasarkan air seni yang dikeluarkan oleh anaknya (Anonima, 2012).

Indera penciuman tikus yang tajam dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menarik atau mengusir tikus dari suatu tempat. Salah satu contoh, untuk menarik tikus jantan dapat digunakan bahan kimia (attractant). Bahan kimia ini dapat dibuat dari senyawa kimia sintetis yang mirip dengan senyawa yang dikeluarkan oleh tikus betina pada saat berahi (Priyambodo, 1995).

Tikus secara genetik dapat mengetahui kedatangan kucing atau bahaya yang mendekatinya. Indera penciumannya yang hebat diperoleh sejak lahir.

(6)

Bagaimana kemampuan tersebut bekerja terungkap berkat teknik rekayasa genetika. Dengan teknik tersebut, para ilmuan Jepang dapat mengembangbiakkan tikus yang tidak dapat membedakan bahaya atau bukan, bahkan tikus-tikus tersebut bermanja-manja kalau ada kucing di dekatnya.

Indera penciuman tikus diketahui memiliki dua jenis reseptor yang berbeda. Dalam kondisi normal, reseptor berfungsi mengidentifikasi bau. Reseptor mengirimkan informasi ke otak untuk mengasosiasikan bau dengan bahaya, misalnya bau tubuh kucing, atau bau tidak menyenangkan, seperti bau busuk yang berarti makanan tidak layak.

Peneliti Universitas Tokyo yang dipimpin Hitoshi Nakano merekayasa agar tikus yang dikembangbiakkan di laboratorium tidak memiliki salah satu jenis reseptor di hidungnya. Ternyata tikus menjadi tak dapat membedakan makanan basi dan tak peduli dengan kehadiran kucing. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi normal salah satu jenis reseptor berfungsi aktif mengasosiasikan sesuatu sedangkan reseptor lainnya hanya membedakan bau. Namun, setelah kucing dilatih dengan cara menyajikan bau dan memberikannya kejutan listrik reseptor dapat mengirimkan sinyal kepada otak untuk mengasosiasikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tikus normal, salah satu jenis reseptor tidak aktif kecuali dirangsang (Anonimb, 2012).

Pengendalian tikus sawah

Dalam usaha untuk mengatasi kendala yang diakibatkan oleh keberadaan tikus tersebut berbagai alternatif pengendalian telah dilakukan, baik secara kultur teknis, fisik, mekanik, maupun secara kimia. Beberapa peneliti mengemukakan

(7)

bahwa pengendalian hama tikus secara kimiawi merupakan alternatif yang paling umum ditempuh dibandingkan dengan cara pengendalian lainnya. Hal tersebut dapat dimengerti karena dengan penggunaan bahan kimia yang beracun, hasilnya dapat segera terlihat dan dapat diaplikasikan secara mudah untuk areal yang luas. Namun penggunaan bahan kimia secara terus menerus untuk mengendalikan berbagai hama dan penyakit telah menimbulkan berbagai masalah baru, terutama bagi lingkungan (Sunarjo, 1992). Cara pengendalian lain yang dapat dilakukan adalah tanam serempak, sanitasi, pengendalian fisik mekanis, dan pemanfaatan musuh alami (predator).

Pengendalian dengan tanam serempak diupayakan keserentakan pada saat tanaman padi bunting dan bermalai padi pada areal meliputi satu WKPP (200 ha) dengan selisih waktu tanam antar hamparan kurang dari satu bulan. Pengendalian ini merupakan langkah awal untuk mencegah meledaknya populasi tikus.

Sanitasi habitat dilakukan selama musim tanam padi, yaitu dengan cara membersihkan gulma dan semak-semak pada habitat utama tikus antara lain tanggul irigasi, jalan sawah, batas perkampungan, pematang, parit, dan saluran irigasi. Selain itu, dilakukan minimalisasi ukuran pematang (tinggi dan lebar pematang) kurang 30 cm agar tidak digunakan sebagai tempat bersarang tikus.

Pengendalian dengan fisik mekanis dilakukan apabila tindakan yang telah dilakukan tidak mendapat hasil yang optimal. Pengendalian secara mekanis yaitu membongkar liang, mengguyur liang dengan air, membunuh dengan gropyokan, pengemposan dengan asap blerang dan membuat tanaman perangkap/TBS. Pengemposan lubang tikus yang aktif dianjurkan untuk dilakukan selama masa

(8)

reproduksi pada tanaman, yaitu pada saat umpan beracun menjadi tidak efektif. Pengemposan dihentikan apabila tikus tidak lagi hidup di lubang yakni pada saat tanaman mulai menyediakan tempat berlindung yang memadai bagi tikus. Pengemposan sarang tikus hanya berpengaruh sebagian saja karena hanya tikus yang masih tinggal disarangnya saja yang mati. Pengemposan tidak hanya akan membunuh tikus dewasa tetapi juga anak-anak tikus.

Penggunaan perangkap merupakan metode pengendalian fisik mekanis terhadap tikus yang paling tua digunakan. Dalam aplikasinya, metode ini merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat digunakan beberapa kali dan pemasangan umpan pada perangkap dapat mengintensifkan jumlah tenaga kerja. Perangkap dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu live-trap (perangkap hidup), snap-trap (perangkap yang dapat membunuh tikus), sticky board-trap (perangkap berperekat), dan pit fall-trap (perangkap jatuhan) (Mutiarani, 2009).

Pengendalian secara biologis yaitu pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami tikus. Musuh alami tikus yang paling dikenal adalah kucing, anjing, ular, dan burung hantu. Predator ini sangat membantu usaha menjaga tetap rendahnya tingkat populasi tikus. Sayangnya predator berkembang biak jauh lebih lambat dibandingkan tikus. Oleh karena itu predator tidak dapat mengurangi populasi tikus yang tinggi dalam jumlah besar. Predator akan membantu petani menjaga populasi tikus agar tetap rendah. Predator juga mungkin memakan tikus yang keracunan, oleh karena itu diperlukan perhatian besar untuk memusnahkan

(9)

bangkai tikus dari sawah sesudah pengumpanan guna menghindari keracunan pada predator dan hewan pemakan bangkai (Syamsuddin, 2007).

Pengendalian dengan rodentisida merupakan tindakan akhir yang dilakukan apabila semua pengendalian tidak mendapatkan hasil yang optimal. Rodentisida merupakan bahan kimia yang apabila masuk ke dalam tubuh tikus akan mengganggu metabolisme tikus sehingga menyebabkan tikus keracunan dan mati. Rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida kronis dan akut. Rodentisida kronis atau antikoagulan merupakan racun yang bekerja lambat, gejala keracunan pada hewan sasaran akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu 24 jam atau lebih. Rodentisida akut merupakan racun yang bekerja dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian tikus lebih cepat dibandingkan rodentisida kronis. Gejala keracunan hewan sasaran akan terlihat dalam waktu yang relatif singkat yaitu kurang dari 24 jam bahkan dalam waktu beberapa jam saja (Syamsuddin, 2007).

Alternatif pengendalian

Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimiawi untuk mengendalikan tikus, maka perlu dicari alternatif-alternatif pengendalian yang lainnya. Penggunaan bahan-bahan yang tidak disukai oleh tikus atau yang dikenal dengan istilah nonpreferensi merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang relatif lebih aman, karena secara umum bahan tersebut tidak meracuni, tetapi bekerja dengan cara mempengaruhi indera penciuman tikus yang berkembang sangat baik (Muchrodji,dkk, 2006).

(10)

Di antara berbagai bahan preferensi, bau-bauan dapat dijadikan salah satu bahan preferensi karena menghasilkan bau khas dan menyengat. Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bau yang menyengat antara lain bangle, talas kimpul, dan mengkudu. Karena ketiga jenis tanaman ini banyak terdapat di Indonesia dan sangat mudah untuk memperolehnya, maka banyak masyarakat memanfaatkannya. Selain digunakan sebagai sebagai bahan obat, masyarakat juga menggunakan sebagai bahan untuk mengendalikan tikus.

Bangle (Zingiber cassumunar Roxb.)

Bangle merupakan tumbuhan dari Famili Zingiberaceae yang banyak tumbuh di daerah Asia tropika, dari India sampai Indonesia. Di Jawa, bangle dibudidayakan atau ditanam di pekarangan pada tempat-tempat yang cukup mendapat sinar matahari, mulai dari dataran rendah sampai 1.300 m dpl. Bangle mempunyai rimpang yang menjalar dan berdaging, bentuknya hampir bundar sampai jorong atau tidak beraturan dengan tebal 2-5 mm. Permukaan luar tidak rata, berkerut, berwarna coklat muda kekuningan, bila dibelah berwarna kuning muda sampai kuning kecoklatan. Rasanya tidak enak, pedas dan pahit. Bangle digolongkan sebagai rempah-rempah yang memiliki khasiat obat (Anonimc, 2012).

Rimpang bangle memiliki kandungan minyak atsiri yakni Sineol, pinen, sesquiterpen, asam organik, damar pahit, pati, lemak, gom albuminoit, gula, mineral, resin, dan albuminoid.

Dalam kehidupan masyarakat lokal Indonesia bangle banyak digunakan sebagai rempah-rempah untuk mengobati berbagai jenis penyakit yang

(11)

mempunyai efek karminatif (membantu mengeluarkan gas dari saluran pencernaan), anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik (Anonimc, 2012).

Gambar 1. Bangle

Talas Kimpul (Xanthosoma sagittifolium L. Schott)

Talas merupakan tanaman pangan berupa herba menahun. Talas termasuk dalam suku talas-talasan (Araceae), berperawakan tegak, tingginya 100 cm atau lebih dan merupakan tanaman semusim atau sepanjang tahun. Talas mempunyai beberapa nama umum yaitu Taro, Old cocoyam, ‘Dash(e)en’ dan ‘Eddo (e)’. Di beberapa negara dikenal dengan nama lain, seperti: Abalong (Philipina), Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaya), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol) dan Yu-tao (China). Asal mula tanaman ini berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke China dalam abad pertama, ke Jepang, ke daerah Asia Tenggara lainnya dan ke beberapa pulau di Samudra Pasifik, terbawa penduduk yang bermigrasi. Di Indonesia talas bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan di atas 1000 m dpl., baik liar maupun di tanam (Anonim, 2009).

(12)

Tanaman talas mengandung asam perusi (asam biru atau HCN). Sistem perakaran serabut, liar dan pendek. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih, berbentuk selinder, berukuran 30 cm x 10 cm, berwarna coklat, dagingnya berwarna putih. Daunnya berbentuk hati, lembaran daunnya 20 - 50 cm panjangnya, dengan tangkai mencapai 30 - 50 cm panjangnya, warna pelepah berwarna hijau. Bunganya terdiri atas tongkol, seludang dan tangkai. Bunga jantan dan bunga betina terpisah, yang betina berada di bawah, bunga jantan di bagian atasnya, dan pada puncaknya terdapat bunga mandul (Anonim, 2009).

Gambar 2. Talas kimpul

Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.)

Mengkudu atau pace (Morinda citrifolia L.) merupakan salah satu tanaman obat yang dalam beberapa tahun terakhir banyak peminatnya. Mengkudu adalah tanaman tropis dan liar, mengkudu dapat tumbuh di tepi pantai hingga ketinggian 1500 m dpl (di atas permukaan laut), baik di lahan subur maupun marginal. Penyebarannya cukup luas, meliputi seluruh kepulauan Pasifik Selatan, Malaysia, Indonesia, Taiwan, Filipina, Vietnam, India, Afrika, dan Hindia Barat (Solomon, 1999).

(13)

Tanaman mengkudu berbuah sepanjang tahun. Ukuran dan bentuk buahnya bervariasi, pada umumnya mengandung banyak biji, dalam satu buah terdapat >300 biji, namun ada juga tipe mengkudu yang memiliki sedikit biji. Bijinya dibungkus oleh suatu lapisan atau kantong biji, sehingga daya simpannya lama dan daya tumbuhnya tinggi. Dengan demikian, perbanyakan mengkudu dengan biji sangat mudah dilakukan.

Selain kandungan asam organik seperti asam askorbat yang berfungsi sebagai antioksidan, mengkudu mengandung asam kaproat, asam kaprilat dan asam kaprat yang merupakan golongan asam lemak. Asam kaproat dan kaprat dalam buah mengkudu menyebabkan bau busuk dan tajam menyengat, terutama pada buah matang. Untuk menetralisir bau tidak sedap tersebut dapat ditambahkan aroma (essence), asam sitrat, dan madu, atau dicampur dengan teh dan gula. Cara sederhana menghilangkan bau adalah dengan mencampurkan gula merah atau madu ke dalam larutan sari buah, kemudian sari buah ditempatkan dalam gelas atau botol dan disimpan 2−4 hari sampai terjadi proses fermentasi sehingga komponen asam penghasil bau terurai (Winarti, 2005).

Gambar 3. Mengkudu

(14)

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Rumah Kaca (Green House), Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar yang berlangsung dari Januari 2012 sampai April 2012.

3.2. Metode Pelaksanaan

Persiapan Penelitian

Penyediaan Tikus Percobaan. Tikus sawah percobaan ditangkap langsung dari lokasi perangkap tikus raksasa, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang. Tikus ditangkap dengan cara memakai perangkap bubu. Tikus yang telah tertangkap dikumpulkan di dalam sangkar tikus sebanyak 2 buah yang berukuran 30 x 30 x 20 cm³. Tikus betina dan tikus jantan ditimbang masing-masing 1 ekor dan diambil besar yang sama. Tikus betina diambil dengan berat sekitar 80-90 gram (stadia dewasa) dan tikus jantan diambil dengan berat sekitar 90-100 gram (stadia dewasa). Tikus yang memenuhi persyaratan adalah sebanyak 28 ekor yaitu 15 ekor tikus betina dan 13 ekor tikus jantan, kemudian dibawa ke rumah kaca untuk adaptasi di wadah percobaan. Tikus dipindahkan ke wadah percobaan dengan cara menghubungkan pintu masuk bagian tengah wadah percobaan dengan pintu masuk wadah tikus dengan posisi terbalik. Selama proses adaptasi, tikus diberi pakan berupa beras dan air minum. Jumlah pakan dan air minum yang diberikan pada saat proses adaptasi tidak diukur. Proses adaptasi dilakukan selama 7 hari, setelah itu dipuasakan selama 24 jam sebelum percobaan.

(15)

Pembuatan ekstrak. Umbi talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium), rimpang bangle (Zingiber cassumunar Roxb.), dan buah mengkudu (Morinda citrifolia L) diambil dari Desa Kupa, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru sebanyak masing-masing 5 kg. Masing-masing bahan tanaman dibersihkan dan dipotong-potong secara terpisah. Setelah itu diblender dan dimasukkan air sebanyak 50 ml untuk mempermudah proses penghancuran bahan preferensi. Kemudian diperas dan disaring dengan menggunakan kain kaos. Pada proses ini, tangan dilapisi dengan kantong plastik untuk menghindari rasa gatal yang ditimbulkan oleh bahan preferensi. Setelah itu dicampur air dengan perbandingan 1:2 pada mangkok berdiameter 10 cm. Kemudian dituang ke dalam botol dan disimpan ditempat yang sejuk. Jumlah ekstrak yang dihasilkan dari 5 kg bahan ekstrak berbeda, tetapi pada percobaan ini tidak diukur volumenya (Gambar 4).

Gambar 4. Proses pembuatan ekstrak: 1 = Persiapan bahan ekstrak, 2 = Pembersihan bahan ekstrak, 3 = Bahan ekstrak dipotong-potong, 4 = Bahan ekstrak diblender, 5 = Bahan ekstrak diperas dan disaring, 6 = Bahan ekstrak

(16)

Wadah percobaan. Wadah percobaan terdiri dari 5 kotak, kotak pertama berukuran 45 cm x 40 cm x 20 cm diletakkan pada bagian tengah wadah percobaan dan digunakan sebagai tempat tikus percobaan (kotak A). Dinding, bagian atas, dan alas kotak A terbuat dari kawat ram, sedangkan rangka kotak terbuat dari kawat baja. Pintu masuk berukuran 7 cm x 7 cm diletakkan pada bagian atas kotak untuk menghindari lepasnya tikus dari ruang perlakuan. Keempat kotak lainnya masing-masing berukuran 30 cm x 30 cm x 20 cm (kotak B, C, D, dan E). Dinding dan bagian atas kotak terbuat dari kawat ram sedangkan bagian alas kotak terbuat dari papan kayu setebal ± 1,5 cm. Masing-masing kotak mempunyai pintu masuk yang berukuran 7 cm x 7 cm dan diletakkan pada bagian atas kotak. Keempat kotak ini digunakan sebagai kotak perlakuan dan diletakkan di sekeliling kotak A. Selanjutnya, dihubungkan dengan pipa berukuran 2 inchi sepanjang 100 cm sebanyak 4 buah pada kotak A. Pipa itu digunakan sebagai jalanan tikus saat berkunjung ke kotak perlakuan. Setelah dihubungkan dan membentuk persilangan, keempat kotak perlakuan ditutup dengan plastik. Plastik penutup pada setiap kotak perlakuan terdiri dari 2 jenis, yaitu plastik bagian atas berwarna bening dan plastik bagian pinggir berwarna hitam. Plastik bening digunakan untuk mempermudah melihat perilaku tikus pada saat pengamatan. Sedangkan plastik warna hitam digunakan untuk meminimalisir cahaya yang masuk pada kotak perlakuan. Pemasangan plastik pada kotak perlakuan bertujuan untuk menghindari cekaman (stress) tikus dan mencegah terjadinya bias bau yang dihasilkan oleh bahan perlakuan maupun lingkungan di sekitar tempat percobaan (Gambar 5).

(17)

Gambar 5. Pola wadah percobaan Keterangan:

1. Kawat ram 4. Pipa paralon

2. Papan pengalas 5. Kawat baja 3. Kawat pengikat 6. Plastik

Wadah percobaan lain dibuat seperti pada Gambar 4, tetapi kotak B (perlakuan kontrol) dihilangkan. Kemudian lubang menuju kotak perlakuan ditutup dengan menggunakan kawat ram (Gambar 6).

(18)

Keterangan:

1. Kawat ram 4. Pipa paralon

2. Papan pengalas 5. Kawat baja 3. Kawat pengikat 6. Plastik

Pelaksanaan Percobaan

Percobaan yang dilakukan merupakan percobaan faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu perlakuan ekstrak dan perlakuan hari. Perlakuan ekstrak terdiri dari taraf : (1) Kontrol, (2) ekstrak rimpang bangle, (3) ekstrak umbi talas kimpul, (4) ekstrak buah mengkudu dan perlakuan hari terdiri dari 4 taraf : hari I, hari II, hari III, dan hari IV. Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan sehingga terdapat 16 satuan perlakuan. Karena jumlah wadah percobaan hanya 2 buah, maka percobaan dilakukan sebanyak 2 kali terhadap tikus betina dan tikus jantan. Setiap kotak perlakuan berisi beras sebanyak 90 gram dan air minum sebanyak 50 ml pada wadah bekas kaleng susu krim yang telah dipotong setinggi ± 1,5 cm, kemudian diletakkan di bagian sudut depan dan bagian sudut belakang kotak perlakuan. Jumlah ini diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan 10 ekor tikus selama sehari.

Sebelum diaplikasikan, ekstrak diaduk sehingga tercampur merata. Pada kotak B tidak diisi bahan ekstrak, sedangkan kotak C, D, dan E masing-masing dimasukkan ekstrak sebanyak 1 ml dalam bentuk resapan pada kertas saring, dan disemprotkan sebanyak 5 ml pada kotak perlakuan, sehingga terdapat 6 ml ekstrak yang diaplikasikan pada kotak C, D, dan E. Selanjutnya dimasukkan 10 ekor tikus pada kotak A. Pengamatan dilakukan selama 11 jam, yaitu pada pukul 18.30

(19)

sampai dengan 05.30, hal tersebut disesuaikan dengan sifat tikus yang bersifat nokturnal atau aktif mencari makan di malam hari. Pengamatan jumlah konsumsi

pakan tikus dilakukan setiap hari selama 4 hari, dan setiap pagi setelah pengamatan jumlah pakan yang tersisa ditimbang dengan menggunakan neraca ohaus. Setelah pengamatan, dilakukan penggantian pakan dan air minum dalam jumlah yang sama pada pengamatan sebelumya. Pembersihan wadah percobaan juga dilakukan setiap hari untuk menghilangkan kotoran tikus dan jejak informasi bahaya yang dikeluarkan tikus.

(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Jumlah Konsumsi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh utama (perlakuan ekstrak dan waktu pengamatan) berbeda nyata terhadap jumlah konsumsi tikus, baik pada percobaan dengan perlakuan kontrol maupun pada percobaan tanpa perlakuan kontrol. Data pengamatan secara lengkap dan analisis ragamnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 1 sampai Tabel lampiran 2. Tetapi, pengaruh interaksi antara perlakuan ekstrak dan waktu pengamatan hanya berbeda nyata pada percobaan dengan perlakuan kontrol. Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi oleh tikus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus (gram) pada percobaan dengan perlakuan kontrol hasil pengaruh interaksi ekstrak yang berbeda pada lama pengamatan (hari) yang sama.

Ekstrak Hari 1 2 3 4 Kontrol 65,32 a 67,52 a 59,82 a 52,85 a Bangle 41,4 b 44,52 b 37,07 b 38,75 b Mengkudu 9,6 c 8,8 c 14,57 c 13,92 c Talas 6,22 c 5,25 c 9,5 d 14,72 c BNJ = 4,92

Keterangan: Angka-angka pada pengaruh ekstrak yang berbeda yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Taraf Uji BNJ (0,05). Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pengaruh interaksi pada percobaan dengan kontrol berarti pengaruh ekstrak berbeda pada waktu pengamatan yang berbeda dan sebaliknya pengaruh waktu pengamatan berbeda pada ekstrak yang berbeda. Uji beda rata-rata dengan BNJ menunjukkan bahwa pada waktu yang

(21)

sama perlakuan ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas tidak berbeda nyata pada waktu pengamatan hari 1, 2, dan 4. Rata-rata konsumsi pada kedua ekstrak itu berbeda nyata pada pengamatan hari 3. Pada semua pengamatan rata-rata konsumsi pada kedua ekstrak itu jauh lebih rendah dan berbeda nyata baik dengan perlakuan kontrol maupun dengan ekstrak rimpang bangle. Pada semua pengamatan perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak rimpang bangle. Hal ini disebabkan karena bangle memiliki kandungan minyak atsiri sineol, pinen, damar, pati, lemak, gom, mineral, resin, dan albuminoid yang dapat menghasilkan bau yang khas. Tetapi karena kebiasaan tikus mencium aroma ini, bisa menjadi penyebab tikus terus mengkonsumsi pakan dan tidak terlalu merasa terganggu dengan bau ekstrak rimpang bangle. Sedangkan jumlah konsumsi tikus rendah pada perlakuan ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas karena umbi talas dan buah mengkudu mempunyai bau yang sangat menyengat yang tidak disukai tikus. Umbi talas merupakan tumbuhan gulma yang memiliki bau tajam, rasa pahit dan gatal. Bau dan rasa gatal dari umbi talas sukar hilang, dan untuk menghilangkannya harus dicuci dengan sabun secara berkali-kali. Bau dan rasa gatal ini dihasilkan oleh kristal kalsium oksalat dan saponin memiliki rasa pahit yang tidak disukai tikus (Anonim, 2011). Winarti, 2005 menyatakan bahwa mengkudu mengandung asam kaproat dan asam kaprat yang merupakan golongan asam lemak dalam buah mengkudu yang menyebabkan bau busuk yang menyengat, terutama pada buah matang. Asam kaproat dan kaprat itu dapat dicurigai tikus sebagai bahan yang berbahaya bagi tubuh tikus. Tetapi pada pengamatan ini tidak menunjukkan adanya gejala toksisitas buah mengkudu

(22)

terhadap tikus. Hal ini didukung oleh pendapat Winarti, 2005 yang menyatakan bahwa efek alergi dan toksisitas dari mengkudu menunjukkan bahwa pada tikus tidak terdapat tanda toksisitas.

Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi oleh tikus pada percobaan dengan perlakuan kontrol hasil pengaruh lama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata berat pakan yang konsumsi tikus (gram) pada percobaan

dengan perlakuan kontrol hasil pengaruh interaksi lama pengamatan (hari) yang berbeda pada ekstrak yang sama.

Hari Ekstrak

Kontrol Bangle Mengkudu Talas

1 65,32 a 41,4 a 9,6 a 6,22 a

2 67,52 a 44,52 a 8,8 a 5,25 a

3 59,82 b 37,07 b 14,57 b 9,5 b

4 52,85 c 38,75 b 13,92 b 14,72 c

BNJ = 4,92

Keterangan: Angka-angka pada pengaruh hari yang berbeda yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Taraf Uji BNJ (0,05). Pada tabel 2 memperlihatkan bahwa uji beda rata-rata dengan BNJ menunjukkan bahwa pada ekstrak yang sama hari 1 dan 2 tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Pada hari 3 dan 4 tidak berbeda nyata pada perlakuan ekstrak rimpang bangle dan perlakuan ekstrak buah mengkudu, tetapi rata-rata konsumsi pada kedua waktu itu berbeda nyata perlakuan kontrol dan perlakuan ekstrak umbi talas. Pada perlakuan ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas mengalami peningkatan jumlah konsumsi pakan setiap hari, sedangkan pada perlakuan kontrol dan perlakuan ekstrak rimpang bangle mengalami penurunan jumlah konsumsi pakan. Hal ini menunjukkan bahwa tikus setiap harinya mulai sedikit demi sedikit mengkonsumsi pakan pada perlakuan ekstrak buah mengkudu

(23)

dan perlakuan ekstrak umbi talas, sehingga perilaku mengkonsumsi pakan pada perlakuan kontrol dan perlakuan ekstrak rimpang bangle berkurang setiap hari. Dalam proses pengenalan dan pengambilan pakan yang disediakan manusia, tikus tidak langsung memakan semuanya, tetapi mencicipi terlebih dahulu sebagian pakan itu untuk melihat reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya. Jika setelah beberapa saat tidak ada reaksi yang membahayakan bagi dirinya, maka tikus akan memakan dalam jumlah yang lebih banyak, demikian seterusnya sampai pakan tersebut habis (Anonimb, 2012).

Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus jantan dan betina pada percobaan dengan perlakuan kontrol dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus jantan dan betina (gram) pada percobaan dengan perlakuan kontrol berdasarkan Uji BNJ (0,05). Perlakuan Berat Pakan yang Dikonsumsi

oleh Tikus Jantan (gram) hari ke-

Berat Pakan yang Dikonsumsi oleh Tikus Betina (gram) hari ke-

1 2 3 4 1 2 3 4 Kontrol 67,5a 69,6a 59,05a 53,8a 63,15a 65,45a 60,6a 51,9a Bangle 48,95b 42,4b 40,05b 36,55b 33,85b 46,65b 34,1b 40,95b Talas 5,15c 4,65c 10,85d 19,25c 7,3c 6,55c 7,85d 10,2c Mengkudu 9,5c 9,05c 15,55c 18,75c 9,7c 7,3c 13,45c 9,1c BNJ = 4,92

Keterangan: Angka-angka pada pengaruh ekstrak yang berbeda terhadap tikus jantan dan tikus betina yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Taraf Uji BNJ (0,05).

Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa uji beda rata-rata dengan BNJ menunjukkan bahwa pada ekstrak yang sama perlakuan kontrol berbeda nyata pada semua perlakuan ekstrak baik pada tikus jantan maupun pada tikus betina. Perlakuan ekstrak bangle berbeda nyata pada semua perlakuan ekstrak dan juga

(24)

mengalami penurunan tingkat konsumsi setiap harinya pada tikus jantan. Hal ini menunjukkan bahwa tikus jantan setiap harinya mulai sedikit demi sedikit mengkonsumsi pakan pada perlakuan ekstrak mengkudu dan perlakuan ekstrak talas, sehingga perilaku mengkonsumsi pakan pada perlakuan ekstrak bangle berkurang setiap hari. Dalam proses pengenalan dan pengambilan pakan yang disediakan manusia, tikus tidak langsung memakan semuanya, tetapi mencicipi terlebih dahulu sebagian pakan itu untuk melihat reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya. Jika setelah beberapa saat tidak ada reaksi yang membahayakan bagi dirinya, maka tikus akan memakan dalam jumlah yang lebih banyak, demikian seterusnya sampai pakan tersebut habis (Anonimb, 2012). Pada perlakuan ekstrak mengkudu dan ekstrak talas berbeda nyata pada hari ketiga baik pada tikus jantan maupun pada tikus betina. Tingkat konsumsi pakan paling rendah yaitu pada perlakuan ekstrak talas hari kedua pada tikus jantan sebesar 4,65 gram, tetapi tingkat konsumsi pakan paling tinggi yaitu pada ekstrak bangle hari pertama pada tikus jantan yaitu sebesar 48,95 gram dibandingkan dengan perlakuan ekstrak talas dan mengkudu. Hal ini menunjukkan bahwa tikus jantan lebih aktif mencari makanan. Sedangkan tikus betina lebih banyak berdiam dalam kotak percobaan dengan dan sekali-kali keluar untuk mencari makanan. Fatmal (2007), menyatakan bahwa setiap hari tikus jantan mampu menimbun 5-8 kg persediaan makanan di dalam liangnya. Hal ini dilakukan untuk menghindar dari pemangsa seperti ular sawah, ular tikus, dan burung elang serta burung hantu sebagai predator. Tikus jantan mampu merusak tanaman budidaya dalam waktu yang singkat dan menimbulkan kehilangan hasil dalam jumlah yang besar. Kerusakan

(25)

tanaman padi di Indonesia yang disebabkan oleh tikus jantan dapat mencapai 20% setiap tahunnya.

Pada percobaan tanpa perlakuan kontrol dapat dilihat bahwa tikus sering mengkonsumsi pakan yang berada pada perlakuan ekstrak rimpang bangle, dan jarang mengkonsumsi pakan pada perlakuan ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas. Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus pada percobaan tanpa perlakuan kontrol hasil pengaruh perlakuan ekstrak dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus (gram) pada percobaan tanpa perlakuan kontrol hasil pengaruh perlakuan ekstrak.

Uji beda rata-rata dengan BNJ menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi tikus pada perlakuan ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas tidak berbeda nyata. Tetapi kedua ekstrak itu berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak rimpang bangle. Hal ini menunjukkan bahwa bahan ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kemampuan yang berbeda dengan ekstrak rimpang bangle untuk menghambat konsumsi tikus

0 10 20 30 40 50 60

Bangle Mengkudu Talas

B e ra t k o n su m si p ak an ( gr am )/ h ar i Ekstrak Rata-rata jumlah konsumsi BNJ = 6,48 55,9 b 22,28 a 16,01 a

(26)

selama percobaan dilakukan. Hal ini terjadi karena tikus mulai mencurigai lingkungan yang berbeda pada kotak perlakuan yang diberi bau ekstrak buah mengkudu dan ekstrak umbi talas sehingga tikus lebih sering untuk mengkonsumsi pakan yang berada dalam kotak perlakuan ekstrak rimpang bangle yang aman baginya sehingga pada akhirnya tikus menjadi terbiasa melalui jalur yang menuju kotak perlakuan ekstrak rimpang bangle. Hal ini terjadi karena sifat tikus yang mudah curiga terhadap benda-benda yang baru ditemuinya atau lazim disebut dengan istilah neo-phobia. Hal tersebut termasuk juga terhadap suasana lingkungan yang berubah. Fenomena ini sesuai dengan pendapat Liem (1979) yang menyebutkan bahwa setiap perubahan yang terjadi pada lingkungannya akan segera dijauhi dan dihindari oleh tikus.

Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus (gram) pada percobaan tanpa perlakuan kontrol hasil pengaruh perlakuan hari dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Rata-rata berat pakan yang dikonsumsi tikus (gram) pada percobaan tanpa perlakuan kontrol hasil pengaruh perlakuan hari.

90 91 92 93 94 95 96 97 98

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4

B er at k o n su m si p ak an ( gr am ) 1 0 e ko r ti ku s/ h ar i

Waktu pengamatan (hari)

Rata-rata jumlah konsumsi BNJ = 6,48

98,8 bc

95,07 abc

92,62 abc 92,23 a

(27)

Pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa hasil pengaruh hari menunjukkan bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi tikus semakin meningkat dari awal pengamatan sampai akhir pengamatan. Uji beda rata-rata dengan BNJ menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pakan dikonsumsi tikus pada waktu pengamatan hari 1 dan 4 berbeda nyata dengan rata-rata jumlah pakan yang konsumsi dimuat pada Gambar 8. Tetapi kedua waktu pengamatan itu tidak berbeda nyata dengan waktu pengamatan hari 2 dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa tikus mengkonsumsi pakan pada wadah percobaan dengan jumlah konsumsi yang tidak jauh berbeda setiap harinya dan memiliki kebutuhan pakan yang sama setiap harinya. Tikus juga berusaha mengkonsumsi pakan pada perlakuan ekstrak karena tidak ada pilihan lain yang lebih aman. Sehingga jumlah konsumsi tikus setiap hari semakin meningkat. Menurut (Priyambodo, 1995) menyatakan bahwa kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, jika pakan tersebut berupa pakan kering. Jumlah ini dapat berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah mengandung banyak air.

(28)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tingkat konsumsi tikus terhadap pakan yang diberi ekstrak paling tinggi yaitu pada perlakuan ekstrak bangle sebanyak 44,52 gram, sedangkan tingkat konsumsi pakan terendah pada ekstrak talas sebanyak 5,25 gram. Berat konsumsi pakan yang diperlakukan dengan ekstrak bangle lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pakan yang diperlakukan dengan ekstrak talas dan mengkudu relatif kurang disukai dibanding dengan yang diperlakukan dengan ekstrak bangle. Tingkat preferensi tikus meningkat dengan bertambahnya waktu.

Saran

Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dilakukan penelitian lanjutan terhadap pengaruh preferensi tikus terhadap pakan yang diperlakukan dengan ekstrak tumbuhan yang memiliki kandungan nutrisi, rasa, atau bau yang tidak disukai oleh tikus. Dengan demikian dapat mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya serta dapat memanfaatkan potensi yang ada untuk mengendalikan populasi tikus sawah.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. http://mahkotadewa.com/blog/2009/01/bangle/. Diakses pada tanggal 23 februari 2012.

Anonim. 2010. http://puspa-notes.blogspot.com/2010/07/manfaat-rimpang-bangle.html. Diakses pada tanggal 23 februari 2012.

Anonim, 2011. http://lordbroken.wordpress.com/2011/01/04/kimpul/. Diakses pada tanggal 10 April 2012.

Anonima. 2012. http://2.bp.blogspot.com/3tHf44D3zpM/TPeAA2t50kI/ AAAAAAAAAi8/Ydp1JEezu1k/s320/Talas.bmp. Diakses pada tanggal 8 april 2012.

Anonimb. 2012. http://infotani.com/2012/03/27/kearifan-lokal-di-dalam-mengendalikan-tikus/. Diakses pada tanggal 23 februari 2012.

Anonimc. 2012. http://sangasiji.blogspot.com/2012/01/.html. Diakses pada tanggal 7 april 2012.

Baco, D. 2011. Pengendalian Tikus Pada Tanaman Padi Melalui Pendekatan Ekologi. Jurnal Pengembangan inovasi pertanian 4 (I) 2011. halaman 47-60. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.

Cahyani, F.N. 2002. Uji Beberapa Bahan Repellent Nabati Terhadap Intensitas Kerusakan Tanaman Padi Oleh Tikus di Desa Mekar Pawitan, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Skripsi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung.

Daradjat WN, Ichsan NB dan Susanto A. 2003. Repelensi Minyak Cendana, Nilam dan Akar Wangi Terhadap Tikus (Rattus argentiventer Rob & Kloss) di Laboratorium. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung.

Djauhariya dan Rosman. 2004. Status Perkembangan Teknologi Tanaman Mengkudu. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Jakarta.

Irvandra Fatmal, 2008. Preferensi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Terhadap Jenis Dan Bentuk Umpan Pada Tanaman Padi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Liem, JS. 1979. Prinsip Dasar Pengendalian Hama Tikus. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hlm. 11-12

(30)

Muchrodji, Santosa Y, Mustari AH. 2006. Prospek Penggunaan Sarcocystis Singaporensis Untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Mutiarani, M. 2009. Perancangan dan Pengujian Perangkap, Pengujian Jenis Rodentisida dalam Pengendalian Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Mill.), Tikus Rumah (Rattus rattus diardii Linn.), dan Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) di Laboratorium. Skripsi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Priyambodo S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Purwanto. 2009. Pengujian Tiga Jenis Rempah-Rempah Sebagai Repelen Terhadap Tikus Rumah (Rattus Rattus Diardii Linn.) dan Tikus Pohon (Rattus Tiomanicus Mill.). Skripsi Jurusan HPT. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian. Bogor.

Sunarjo, PI. 1992. Pengendalian Kimiawi Tikus Hama. Makalah Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Bogor.

Syamsuddin, 2007. Tingkah Laku Tikus Dan Pengendaliannya. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros.

Winarti, C. 2005. Peluang Pengembangan Minuman Fungsional Dari Buah Mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal Litbang Pertanian, 24(4). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Hal 149-155.

(31)

Lampiran 1a. Berat konsumsi pakan (gram) tikus akibat perlakuan ekstrak dan lama pengamatan (hari) dengan perlakuan kontrol.

Perlakuan Hari Ulangan Total

1 2 3 4 Kontrol 1 70,7 58,5 64,3 67,8 261,3 2 79,8 66,2 59,4 64,7 270,1 3 63,7 59,8 54,4 61,4 239,3 4 60,4 57,7 47,2 46,1 211,4 Bangle 1 51,1 36,3 46,8 31,4 165,6 2 46,5 47,4 38,3 45,9 178,1 3 40,4 33,4 39,7 34,8 148,3 4 32,3 42,4 40,8 39,5 155 Talas 1 2,7 3,8 7,6 10,8 24,9 2 1,3 8,4 6,6 4,7 21 3 12,2 10,1 9,5 6,2 38 4 21,2 12,5 17,3 7,9 58,9 Mengkudu 1 6,6 11,7 12,4 7,7 38,4 2 9,1 6,3 11,5 8,3 35,2 3 17,9 13,5 13,2 13,7 58,3 4 29,1 6,6 8,4 11,6 55,7

Tabel 1b. Sidik ragam pengaruh bahan ekstrak dan lama pengamatan terhadap berat konsumsi pakan tikus dengan perlakuan kontrol.

SK db JK KT Fhit Ftabel 0,01 0,05 Ulangan 3 261,07 87,02 3,2305* 4,25 2,81 Perlakuan 15 30889,67 2059,31 76,45** 2,46 1,89 Ekstrak 3 29925,31 9975,10 370,29** 4,25 2,81 Waktu 3 413,83 137,94 5,12** 4,25 2,8 Interaksi 9 550,53 61,17 2,27* 2,83 2,09 Acak 45 1212,21 26,94 Total 63 32362,95

(32)

Lampiran 2a. Berat konsumsi pakan (gram) tikus akibat perlakuan ekstrak pada lama pengamatan (hari) tanpa perlakuan kontrol.

Perlakuan Hari Ulangan Total

1 2 3 4 Bangle 1 59,7 47,2 56,4 61,7 225 2 62,1 52,3 61,7 54,5 230,6 3 60,2 50,8 50 56,4 217,4 4 57,4 61,4 53,2 49,5 221,5 Talas 1 2,4 13,2 8,8 12,6 37 2 17,2 20,6 9,4 10,8 58 3 21,7 17,9 17,7 9,5 66,8 4 29,3 24,9 15,3 24,9 94,4 Mengkudu 1 46,2 37,8 13,9 9,4 107,3 2 21,7 23,5 18,6 18,1 81,9 3 23,6 28,5 23,6 20,4 96,1 4 22,7 16,2 18,8 13,6 71,3

Tabel 2b. Sidik ragam pengaruh bahan ekstrak dan lama pengamatan terhadap berat konsumsi pakan tikus tanpa perlakuan kontrol.

SK db JK KT Fhit Ftabel 0,01 0,05 Ulangan 3 389,21 129,74 3,13* 4,44 2,89 Perlakuan 11 15360,83 1396,44 33,74** 2,83 2,09 Ekstrak 2 14725,90 7362,95 177,88** 5,31 3,28 Waktu 3 444,84 148,28 3,58* 4,44 2,89 Interaksi 6 190,08 31,68 0,76tn 3,40 2,39 Acak 33 1365,93 41,39 Total 47 17115,97

Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata * = berpengaruh nyata

(33)

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1. Pembuatan wadah percobaan.

Gambar 2. Wadah percobaan dengan menggunakan perlakuan kontrol

(34)

Gambar 4 . Lokasi pengambilan tikus percobaan.

Gambar 5. Perangkap yang digunakan dalam memperoleh tikus sawah.

Gambar 6. Tikus sawah betina

(35)

Gambar 8. Kanibalisme pada tikus.

Gambar 9. Pengamatan tingkah laku tikus

(36)

Gambar 11. Sisa konsumsi pakan.

Gambar 12. Timbangan sisa konsumsi pakan.

Gambar

Gambar 1. Bangle
Gambar 2. Talas kimpul
Gambar 4. Proses pembuatan ekstrak: 1 = Persiapan bahan ekstrak, 2 =  Pembersihan bahan ekstrak, 3 = Bahan ekstrak dipotong-potong, 4 = Bahan  ekstrak diblender, 5 = Bahan ekstrak diperas dan disaring, 6 = Bahan ekstrak
Gambar 6. Pola wadah percobaan tanpa perlakuan kontrol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Pascal merupakan bahasa pemrograman yang fleksibel, dalam arti dapat digunakan pada banyak bidang sehingga kita bisa mengambil manfaat

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten

N0 Nama Peneliti Judul Penelitian PRODI FAKULTAS SKIM Usulan Dana Keterangan..

Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Fauzi dan Anggorowati tahun 2013 yang melibatkan sebanyak 36 pasien DM di paguyuban diabetes mellitus Ngudi Laras Purbalingga

Signifikasi Bahasa Inggris dalam Proses Belajar-Mengajar Gamelan Gong Kebyar bagi Mahasiswa Asing dalam Upaya ISI Denpasar Go Internasional. Seni Karawitan FSP HIBAH

Disarankan jika salinitas air formasi cenderung tinggi maka jangan pilih polimer dengan konsentrasi lebih tinggi karena hal ini dapat menyebabkan pore clogging sehingga

1 I Ketut Garwa, SSn.,MSn Perbaikan Proses Produksi Dan Fumigasi Dalam Meningkatkan Kualitas Ekspor Gamelan Bali Ke luar Negeri Seni Karawitan FSP STRATEGIS NAS.

Hasil analisa dan perhitungan dari keempat jenis model PSC diatas maka dapat dilihat bahwa indikator keekonomian dari PSC Sliding Scale dan Gross PSC tidak begitu