• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Biografi Singkat Jenderal Soedirman

Pada tahun 1914 Karsid Kartawiraji menikah dengan Siyem. Selanjutnya karsid bekerja sebagai pengawas perkebunan tebu milik pabrik gula di desa Kalibagor. Perkebunan ini dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda di sebelah tenggara Purwokerto. Menginjak tahun 1915 Siyem mengandung. Pada waktu yang bersamaan keluarga Kartawiraji meninggalkan Kalibagor menuju Rembang, kabupaten Purbalingga. Kepergian Karsid dan Siyem adalah untuk bertemu kakak perempuan Siyem yaitu Turidawati. Pada waktu itu Turidawati telah diperistri oleh R. Cokrosunaryo, yaitu seorang pejabat asisten wedana atau camat di Bodaskarangjati.

Setelah beberapa bulan Karsid dan Siyem tinggal di Rembang, maka pada tanggal 24 Januari 1916 yang bertepatan dengan Maulud Nabi, Soedirman dilahirkan. Kemudian Soedirman diangkat sebagai anak oleh R. Cokrosunaryo, sehingga di depan namanya diberi gelar raden menjadi Raden Soedirman. Pengambilan anak angkat itu memang sudah lama dirundingkan bersama Karsid dan Siyem. Hal itu dilakukan karena R, Cokrosunaryo memang tidak dikaruniai anak (Gamal Komandoko, 2000:315) .

Soedirman kecil tidak lama tinggal di Purbalingga. Pada waktu ia berusia setengah tahun, keluarga R. Cokrosunaryo pindah ke Cilacap. Hal ini dilakukan karena R. Cokrosunaryo pensiun dari jabatan camat. Beliau kemudian diangkat menjadi penasihat Pengadilan Negeri di Cilacap. Pada saat di Cilacap keluarga R. Cokrosunaryo tinggal di kampung Manggisan. Di kampung inilah Soedirman dididik dan dibesarkan oleh keluarga R. Cokrosunaryo.

(2)

Sejak masa kanak-kanak penampilan dan kepribadian Soedirman tidak lepas dari lingkungan keluarga tempat ia dibesarkan. Di lingkungan keluarga besarnya ia berkembang dalam dua subkultur, yakni kultur priyayi dan kultur wong cilik. Soedirman keturunan wong cilik dan kemudian diangkat dan dibesarkan oleh priyayi.

Dari orang tua kandungnya telah mewariskan dan mangajarkan nilai kesederhanaan, laku prihatin dan kerja keras. Soedirman kecil juga sering diajarkan pekerjaan yang melatih kekuatan fisik seperti ngangsu atau mengambil air. Sementara dari ibu angkatnya, yaitu Turidawati ia diajarkan berbagai budaya adiluhung. Soedirman diajarkan tentang adat istiadat, sopan-santun, dan berakhlak luhur. Soedirman tumbuh menjadi anak yang sangat santun, ramah dan tidak pernah menyakiti (Sardiman, 2008: 12-13).

Dari sisi lain, peran ayah angkatnya juga sangat penting dalam pembentukan kepribadian Soedirman. Dengan melalui kisah-kisah kesatriaan dan pewayangan, telah banyak andil dalam menumbuhkan sikap kesatria, disiplin, dan pemberani. Selain itu Soedirman juga tumbuh menjadi seorang yang mempunyai jiwa pengabdi.

Dalam segi agama, Soedirman tumbuh menjadi anak yang saleh. Ia rajin mengaji dan menunaikan sholat. Soedirman menjadi anak yang lurus, menjaga nilai-nilai moral dan spiritualitasnya. Dalam kehidupan beragama, Soedirman kecil memang menjadi contoh bagi kawan-kawannya yang lebih dewasa.

Tentunya maklum bahwa pada masa penjajahan Belanda, tidak semua bumiputera dapat bersekolah. Hanya anak-anak priyayi yang dapat mengenyam pendidikan. Soedirman dapat masuk ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) karena telah diangkat anak oleh R. Cokrosunaryo. Waktu itu usianya menginjak 7 tahun. Dalam mengikuti pelajaran di HIS Gubernemen prestasi Soedirman tidak terlalu menonjol.

Pada saat naik ke kelas VII ia pindah ke HIS Taman Siswa. Sekolah ini memang disediakan untuk bumiputera. Belum genap Soedirman bersekolah di sini, sekolah tersebut

(3)

ditutup karena kekurangan dana. Kemudian Soedirman pindah ke sekolah Wiworotomo di Cilacap.

Setelah lulus dari HIS Wiworotomo, Soedirman masuk ke Taman Dewasa (SLTP di Taman Siswa). Namun pada saat masih duduk di kelas II, ia harus pindah ke Meer Uitgebreid Large Onderwijs (MULO) Wiworotomo. Kepindahan Soedirman ke Wiworotomo tidak lepas dari saran gurunya yang bernama R. Sumirat Danudiprojo. Selama bersekolah di Wiworotomo, Soedirman dikenal sebagai murid yang tekun. Ia menonjol dalam ilmu aljabar, tata negara, sejarah, dan bahasa Belanda. Soedirman sering membimbing teman-temannya. Ia dikenal sebagai “pembantu guru”. Bagi teman-temannya dia dipanggil “guru kecil” (Hamid Hasan, 1976: 5-6).

Di sekolah Wiworotomo, Soedirman aktif dalam kegiatan berorganisasi. Ia selalu berhasil mengkoordinir setiap kegiatan sekolah yang diadakan para siswa. Ia ikut dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo. Di sekolah itu ia dididik berdisiplin, diajarkan tentang paham dan gerakan nasional, jiwa kemiliteran dan kepanduan. Soedirman sangat menyenangi baris-berbaris. Tidak jarang ia diminta untuk menjadi komandan baris-berbaris. Dari sini tampak jelas bahwa ada bakat pemimpin dalam diri Soedirman (Sardiman, 2008: 22-23).

Bakat kepanduan Soedirman bisa tersalurkan setelah ia aktif dalam organisasi kepanduan Muhammadyah yang dikenal dengan Hizboel Wathan (HW). Aktifnya Soedirman dalam HW bukan kerena kebetulan. Ia ingin mengembangkan bakat, minat, dan keyakinannya terhadap ajaran Islam.

Wawasan dan pengalaman Islam, kedisiplinan, kematangan dia, kejujuran, dan jiwa pengabdian Soedirman sebagai anggota HW membuat ia disegani teman-temannya. Pada waktu diadakan pemilihan pimpinan HW di Banyumas, ia terpilih sebagai ketua HW atau Menteri Daerah Hizboel Wathan. Selama ia menjadi pemimpin HW, ia dikenal pemimpin yang tekun berlatih, berdisiplin dan penuh tanggung jawab. Dia meningkatkan kegiatan

(4)

jambore dan perkemahan. Melalui jambore ini, ia ingin benar-benar membina fisik, mental, serta uji ketakwaan bagi setiap anggota HW. Dalam rangkaian kegiatan jambore, ia sering memberikan ceramah-ceramah, pengajian, dan nasihat-nasihat yang sesuai dengan ajaran Islam dan etika kepanduan.

B. Perjalanan Karir Jenderal Soedirman

Setelah lulus dari MULO, Soedirman sempat melanjutkan ke HIK Muhammadyah Surakarta. Tidak sampai dari satu tahun Soedirman keluar. Ia kembali ke Cilacap dan menjadi guru dan aktif di gerakan Muhammadyah. Ia berdakwah dan mengajarkan tentang Islam.

Pada tahun 1933-1937, Soedirman sangat aktif di dalam organisasi pergerakan Muhammadyah di Cilacap. Ia memulai aktivitasnya di organisasi Pemuda Muhammadyah. Selain itu, Soedirman juga pandai berpidato. Ia selalu menggunakan bahasa-bahasa yang santun dan sederhana. Cara bicaranya jelas dan perlahan. Isi dari pidato Soedirman tidak muluk-muluk. Pidato adalah salah satu kelebihan lain dari Soedirman.

Pada tahun 1937 diadakan pemilihan Pimpinan Pemuda Muhammadyah. Soedirman terpilih sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadyah (WMPM) wilayah Banyumas. Dengan jabatan itu, maka Soedirman memiliki posisi tertinggi di dalam organisasi Pemuda Muhammadyah di Banyumas. Soedirman sangat paham apa yang menjadi keinginan dari para anggota. Keinginan itu misalnya kegiatan olahraga, kesenian, dan kegiatan kepanduan. Tidak hanya itu, kegiatan kursus-kursus untuk menambah wawasan, keterampilan, dan pengetahuan para anggota pun juga diperhatikan. Dengan kegiatan itu, maka di bawah kepemimpinan Soedirman organisasi Pemuda Muhammadyah Banyumas berkembang pesat.

Tahun 1934 Soedirman lulus dari MULO Wiworotomo. Sebagai lulusan MULO ia belum berkompeten untuk menjadi guru. Padahal Soedirman sangat ingin menjadi seorang pendidik. Pada saat itu memang tidak banyak guru yang memiliki kualifikasi ijazah sekolah

(5)

guru. Guru biasa pun boleh asal yang bersangkutan mau belajar dan menyempurnakan pengetahuan dalam bidang keguruan. Kebijakan ini memang tepat diambil sesuai dengan kondisi wilayah Cilacap, mengingat waktu itu sedang dalam perjuangan melawan kolonial. Kebetulan HIS Muhammadyah Cilacap sedang membutuhkan guru. Soedirman memberanikan diri untuk mengikuti les privat kepada guru-guru yang pernah mengajar di Wiworotomo. Semua itu dilakukan agar keinginannya untuk menjadi pendidik. Usaha Soedirman didukung olehn R. Moh. Kholil sebagai pihak pimpinan Muhammadyah. Dengan keseriusan dan ketekunannya, ia menguasai teori-teori dan praktek sebagai layaknya seorang guru . bahkan tanpa ragu-ragu pimpinan Muhammadyah Cilacap menetapkan secara resmi dan mengangkat Soedirman sebagai guru di HIS Muhammadyah.

Selain sebagai guru di HIS Muhammadyah, Soedirman juga bekerja di Koperasi Wijayakusuma Cilacap. Bahkan dia juga pernah menjadi Ketua Perkoperasian Bangsa Indonesia. Meskipun begitu, Soedirman tetap memiliki komitmen yang tinggi sebagai guru. Dia pandai membagai waktu, meskipun dia juga sibuk sebagai pimpinan HW dan anggota Pemuda Muhammadyah.

Soedirman dikenal sebagai guru yang tertib, disiplin, dan bertanggung jawab. Mengingat prestasi, penampilan, wawasan, dan kepemimpinannya maka Soedirman dipilih sebagai Kepala Sekolah di HIS Muhammadyah. Soedirman menjadi Kepala Sekolah yang moderat, demokratis, dan akomodatif. Inilah Soedirman sebagai guru yang teladan. Ia selalu memegang prinsip kepemimpinannya yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani . Arti dari prinsip itu adalah “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan” (Sardiman, 2008: 83).

Pada tahun 1936, Soedirman mulai melakukan kegiatan dakwah. Soedirman banyak minta bimbingan dengan R. Moh. Kholil seorang perintis perkembangan Muhammadyah di

(6)

Cilacap. Mereka bertukar pikiran seputar dakwah . Selain itu, Soedirman juga belajar dari Kiai Markhum, yaitu seorang Imam Besar Masjid Cilacap saat itu.

Dalam dakwahnya Soedirman sangat memperhatikan keadaan kehidupan masyarakat. Ia menekankan pentingnya kehidupan beragama bagi masyarakat. Untuk itu para anggota masyarakat perlu berpedoman pada tali agama. Soedirman selalu memberikan contoh tentang hubungan antara anak dan orang tua. Lebih luas lagi bagaimana hubungan antar manusia di dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan Tuhan (Dinas Sejarah TNI AD, 1985:19).

Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, tidak begitu memperhatikan sistem pertahanan rakyat. Hal itu dikarenakan pihak Belanda sangat curiga dengan adanya pertahanan rakyat yang dibentuk kaum bumiputera. Namun pada masa Perang Dunia II berkobar, hal itu sangat mengancam kawasan Asia khususnya tanah Hindia Belanda. Pemerintah Belanda mulai berpikir perlu adanya pasukan pertahanan oleh bumiputera.

Tahun 1940 tercapai persetujuan Tripartie Pact antara Jerman, Italia, dan Jepang. Persetujuan itu menunjukkan bahwa perang akan meluas ke daerah selatan seperti Indocina, Birma, Thailand, Jepang, Indonesia, dan Filiphina. Hal itu terbukti setelah Jepang berhasil menggempur pangkalan Amerika Serikat di kepulauan Hawai. Itu semua membuat pecahnya Perang Pasifik. Tentara Jepang melakukan ofensif ke daerah-daerah selatan, termasuk Indonesia.

Berkaitan dengan itu, Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia mulai sadar pentingnya pertahanan rakyat. Untuk menghadapi keadaan itu, pada tahun1941 dibentuklah Inheemse Militer. Rakyat mulai diberi penerangan serta latihan cara menghadapi serangan udara. Untuk menertibkan masyarakat menghadapi bahaya udara itu, maka dibentuklah Luch Bischermen Diens (LBD) atau Penjagaan Bahaya Udara (Solichin Salam, 1963:23)

Soedirman sebagai tokoh masyarakatikut terjun ke dalam LBD Cilacap. Mengingat ketokohan dan aktivitasnya, ia ditunjuk sebagai kepala LBD Sektor Cilacap. Sebagai kepala

(7)

LBD maka Soedirman bertanggung jawab atas keamanan masyarakat. Ia berkeliling ke berbagai tempat untuk memberikan penerangan tentang cara menyelamatkan diri apabila terjadi serangan udara. Soedirman sebagai tokoh di Cilacap selalu berupaya membela rakyat. Ia mulai mewaspadai tindakan Jepang. Mengingat Jepang telah berhasil mendarat di Jawa sejak 1 Maret 1942 yang dipimpin Jenderal Immamura.

Memasuki tahun 1942-1943, perkembangan Perang Pasifik menunjukkan titik balik. Di beberapa tempat, Jepang mulai terdesak oleh Sekutu. Hal itu juga mengancam kedudukan Jepang di Indonesia. Jepang meningkatkan usahanya untuk menarik simpati rakyat untuk mempertahankan kedudukannya di Indonesia. Kaitannya dengan itu Jepang mulai mendirikan organisasi pergerakan seperti Seinendan dan Keibodan. Selain itu Jepang juga mendirikan Chuo Sangi In (Dewan Penasihat) yang berada di Jakarta. Dewan Penasihat ini diketuai oleh Soekarno. Di daerah karesidenan, mulai didirikan Syu Sangi Kai. Di daerah karesidenan Banyumas yang terpilih sebagai anggota dari daerah Cilacap adalah Soedirman dan Efendi (Sardiman, 2008: 105).

Bagi Soedirman kedudukan sebagai anggota dewan ini merupakan suatu kepercayaan. Namun demikian Soedirman tetap waspada dan berhati-hati. Jepang mengharapkan agar Soedirman dengan pengaruhnya dapat menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menyerahkan hasil bumi. Namun dalam hati nuraninya, Soedirman menolak kebijakan Jepang.

Pada tahun 1944 dibentuklah Jawa Hokokai oleh Jepang di Banyumas. Soedirman juga terpilih sebagai anggota. Pada saat masuk organisasi ini, Soedirman tetap memikirkan nasib rakyat. Soedirman mengurangi upaya-upaya pemerintah Jepang untuk merampas kekayaan bumiputera.

Jepang juga membentuk pasukan inti penggerak rakyat, sebagai bentuk pasukan yang mempertahankan daerahnya masing-masing secara regional. Pasukan itu disebut dengan

(8)

Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tahun 1943. Banyak dari pemuda Indonesia masuk sebagai anggota PETA. Hal itu dikarenakan rakyat dan para tokoh Indonesia menghendaki untuk ikut serta secara aktif membela bangsanya.

Salah seorang yang ikut sebgai anggota PETA adalah Soedirman. Soedirman pada waktu itu terpilih sebagai calon Daidancho (komandan batalyon). Untuk menjadi calon Daidancho memang tidak memandang latar belakang pendidikan. Akan tetapi yang paling penting adalah memiliki kecakapan memimpin dan mengatur rombongan. Soedirman adalah figur yang tepat untuk itu. Ia harus meninggalkan Cilacap untuk dilatih di Bogor. Tempat pendidikan PETA di Bogor itu dikenal dengan Bogor Renseitai (N.S.S. Tarjo, 1984:5).

Dalam pendidikan PETA, Soedirman merasa mendapatkan wadah yang tepat untuk mengembangkan jiwa kemiliterannya. Setelah kurang lebih empat bulan, pendidikan PETA di Bogor diakhiri. Sesampainya di Cilacap, Soedirman ditugasi untuk membentuk Daidan (Batalyon) PETA. Sedangkan Soedirman sendiri menempati Daidan III yang berada di Kroya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, maka segera dibentuk pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan ini terdiri dari bekas para anggota PETA. Soedirman dipilih sebagai ketua BKR Banyumas. Organisasi BKR mempunyai peranan penting dalam rangka melucuti senjata Jepang.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk menegakkan pemerintahan belum lengkap. Hal itu dikarenakan belum memiliki tentara sebagai perangkat penting dalam perjuangan fisik. Oleh karena itu, timbullah pikiran perlunya badan ketentaraan. Sehubungan dengan itu, maka dekeluarkanlah maklumat pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945. Maklumat itu berisi tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di Jawa Tengah waktu itu ada empat Divisi (Jahja Muhaimin, 1971:29).

(9)

Dalam perkembangannya, TKR itu dibentuk di daerah-daerah. Begitu juga di Banyumas mulai dibentuk TKR. Para pemuda yang aktif di BKR kemudian lebur dan masuk sebagai anggota TKR. Di wilayah Karesidenan Banyumas, TKR dijadikan dua resimen. Yakni Resimen Banyumas dan Purwokerto,dengan pangkat Kolonel. Langkah pertama yang diambil Soedirman selaku komandan adalah menertibkan susunan organisasi TKR, termasuk melengkapi personel pimpinan TKR di wilayah Purwokerto. Sudirman mulai memberikan wejangan kepada anak buahnya dalam rangka meningkatkan disiplin dan mempertebal semangat juangnya.

Tidak berapa lama masuk sebagai anggota TKR, Soedirman terpilih sebagai pimpinan TKR. Sambil menunggu pengesahan dan pelantikan dari Pemerintah Pusat, Kolonel Sudirman melanjutkan tugas-tugasnya sebagai Komandan Divisi V Purwokerto. Ia terus melakukan koordinasi dengan para anggota TKR setempat, mengingat situasi negara semakin memanas. Di samping persoalan pelucutan senjata tentara Jepang yang belum tuntas, menyusul kedatangan tentara Sekutu. Ini semua memerlukan penanganan yang tegas dan arif, termasuk menyempurnakan organisasi ketentaraan (Sardiman, 2008:135).

C. Pertempuran Ambarawa

1. Kedatangan Kembali Sekutu ke Indonesia

Pada tanggal 29 September 1945 pada pukul 10.00, mendaratlah pasukan khusus Sekutu. Pasukan ini tergabung dalam Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) yang dibentuk oleh Mountbatten. Pemimpin pasukan ini adalah Jenderal Sir Philip Christison. Kemudian disusul dengan pasukan-pasukan lain yang mencapai tiga divisi. Pasukan-pasukan itu adalah :

1. 23-rd India Division, dipimpin oleh Mayjen D.C. Hawthorn untuk wilayah Jawa Barat dan Jakarta.

(10)

2. 5-th India Division, dipimpin oleh Mayjen E.C. Mansergh untuk wilayah Jawa Timur dan Bali.

3. 26-th India Division, dipimpin oleh Mayjen H.M Chambers untuk wilayah Sumatera dan berkedudukan di Medan.

Kedatangan pasukan ini diterima dengan baik oleh bangsa Indonesia, karena mereka berjanji akan menjaga ketenteraman (Tjokropranolo, 1992:48). Mengenai pendaratan Sekutu ini, radio South East Asia Command (SEAC) di Singapura menyatakan bahwa tugas Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) di Indonesia adalah melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang dan tawanan biasa. Mereka juga bertugas melucuti dan mengembalikan tentara Jepang. Sesungguhnya sikap Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia bersimpang siur. Christison menyatakan bahwa ia mengakui kekuasaan de facto atas Republik Indonesia. Namun di sisi lain, Mountbatten menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak dapat dibenarkan selama likuidasi pasukan Jepang di Indonesia belum selesai. Sehari sesudah pendaratan tentara Sekutu, pada tanggal 30 September 1945, presiden Soekarno menghimbau agar rakyat tidak menghalangi Sekutu. Hal itu dilakukan jika memang pendaratan hanya untuk urusan ketenteraman. Namun di sisi lain, pemimpin India yaitu Jawaharlal Nehru, mengecam keras atas diikutsertakannya tentara India dan Ghurka. pada tanggal 2 Oktober, dilakukan pendaratan Sekutu di Surabaya yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S Wallaby.

Setelah semua persiapan selesai, maka seluruh pasukan Inggris pun bergerak untuk menempati wilayah-wilayah yang telah ditentukan. Sasaran mereka adalah kota Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Balikpapan, serta beberapa kota lain di pedalaman. Melihat gerakan ini jelaslah bahwa sesungguhnya tujuan mereka hanya melikuidasi kekuatan Jepang di Indonesia. Secara militer, mereka berusaha merebut sebanyak mungkin daerah di Indonesia. Selain itu mereka juga mencoba

(11)

mematahkan kekuatan fisik bangsa Indonesia. Secara politis, mereka bermaksud mempersiapkan wilayah Indonesia bagi kekuasaan Belanda yang tidak lama lagi akan menggantikan kedudukan mereka (“ Majalah Vidya Yudha” No. 9 Tahun II, Januari 1997:7).

Diawali oleh insiden bendera tanggal 19 September 1945 di Surabaya, Sekutu yang diboncengi (Netherlands Indies Civil Administration) NICA dan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) mulai mengadakan aksi teror. Aksi ini dilakukan di sekitar Jakarta. Belanda menyusup masuk bersama pasukan Sekutu, mengadakan provokasi-provokasi (Tjokropranolo, 1992: 49-50).

Kedatangan dan kegiatan Sekutu di Indonesia, membuat situasi semakin sulit. Sementara pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang belum selesai, Sekutu telah melakukan aksi-aksi yang menyinggung perasaan Bangsa Indonesia. Bahkan kemudian hal itu menimbulkan pertempuran-pertempuran besar. Pada kenyataannya bangsa Indonesia harus menghadapi lawan yang kuat baik dari segi organisasi, perlengkapan, pengalaman, dan kecakapan.

Dari sekian banyak peristiwa pertempuran dalam Sejarah Nasional Bangsa Indonesia, tercatatlah delapan pertempuran atau palagan. Kedelapan palagan itu adalah: Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Ambarawa, Surabaya, Makassar, dan Bali. Pertempuran ini mencerminkan semangat juang bangsa Indonesia. Kesemuanya itu mengandung beberapa ciri pokok untuk dapat disebut Delapan Palagan yang Menentukan. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

a. Kedelapan palagan ini menunjukkan adanya the sense to be a nation. Yaitu kesadaran bahwa dirinya merupakan sutu bangsa.

b. Dalam kedelapan palagan ini bangsa Indonesia menghadapi beberapa lawan sekaligus. Bangsa yang baru saja merdeka, menghadapi lawan yang tangguh baik dari segi ilmu perang maupun pendidikan.

(12)

c. Kedelapan palagan ini terjadi pada waktu yang hampir bersamaan. 2. Magelang Dikuasai Sekutu

Di dalam usaha menengahi pertempuran 5 hari di Semarang, tentara Sekutu pimpinan Brigjen Bethel mendarat di pelabuhan Semarang pada 20 Oktober 1945. Tujuan utamanya adalah mengurus tawanan perang, melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang yang ada di Jawa Tengah. Tugas itu dilaksanakan Inggris atas nama Sekutu. Mereka juga berjanji akan menjaga ketentraman serta mengakui kedaulatan Indonesia (Tjokropranolo, 1992: 52).

Pada waktu itu, TKR dan barisan pemuda lainnya sedang menghadapi kekuatan Jepang. Jadi tentara Sekutu dapat melakukan pendaratan secara leluasa tanpa hambatan dari pihak Indonesia. Karena pada waktu itu kekuatan bangsa Indonesia sepenuhnya tertuju pada Jepang. Kedatangan tentara Sekutu justru disambut baik oleh rakyat dan pemerintah setempat. Bahkan Wongsonegoro yaitu Gubernur Jawa Tengah waktu itu berjanji akan mengirimkan bahan makanan dan keperluan sehari-hari untuk tentara Sekutu tersebut (“ Majalah Vidya Yudha” No. 9 Tahun II, Januari 1997:84-85).

Pada waktu itu Brigadir Jenderal Bethel dan Gubernur Wongsonegoro melakukan perundingan. Dalam perundingan itu ditentukan syarat-syarat sebagai berikut yang harus dipenuhi Sekutu, yaitu :

1. Orang-orang Indonesia yang ditahan oleh Jepang harus segera dibebaskan. 2. Tentara Jepang akan dilucuti oleh tentara Sekutu.

3. Tentara Sekutu tidak akan mencampuri urusan pemerintah Indonesia. 4. Keamanan daerah akan dilaksanakan oleh polisi Indonesia.

Sekutu menyetujui semua syarat tersebut. Namun di sisi lain, rakyat senantiasa tetap waspada. Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjebak oleh janji Sekutu, yang ternyata itu hanya sebagai kedok (Syamsuar Said, 1984: 20-21).

(13)

Dengan adanya persetujuan tersebut, Sekutu mulai mengirimkan sebagian pasukannnya ke Magelang dan singgah di Ambarawa. Karena di kedua tempat tersebut terdapat penampungan tawanan Belanda terutama di Ambarawa. Ternyata dalam mengirimkan pasukan, Sekutu telah menyelundupkan anggota-anggota NICA. Sehingga sesampainya di kedua tempat tersebut , mereka langsung sengaja menimbulkan kekacauan.

Kekacauan yang dilakukan oleh anggota NICA tersebut mempunyai maksud. NICA berharap dengan adanya kekacauan tersebut, memudahkan mereka untuk kembali menguasai Indonesia. Dengan kekacauan itu tentunya Sekutu akan mengirimkan balabantuan yang lebih banyak. Dengan begitu orang NICA banyak yang bisa ikut menyelundup masuk bersama Sekutu (“ Majalah Vidya Yudha” No. 9 Tahun II, Januari 1997: 85) .

Anggota-anggota NICA yang ikut membonceng tentara Sekutu, kemudian membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di penampungan Ambarawa maupun Magelang. Setelah terbebas dari tawanan, mereka tidak mau tahu bahwa yang menguasai Indonesia sekarang adalah rakyat Indonesia sendiri. Demikian juga dengan orang Jepang yang baru saja dilepaskan dari tawanan. Mereka dibebaskan oleh Sekutu dan diberi senjata. Bersama-sama dengan tentara Gurkha, mereka merampas harta rakyat. Dengan demikian jelaslah bahwa Belanda mengkhianati janji mereka sendiri.

Belanda berusaha mengganggu kedaulatan bangsa Indonesia. Hal itulah yang menyebabkan rakyat Indonesia marah terutama rakyat Jawa Tengah. Oleh sebab itu rakyat Jawa Tengah melakukan pemboikotan makanan dan keperluan sehari-hari milik para Sekutu. Untuk mempersiapkan tindakan Sekutu yang semakin memperlihatkan sikap kurang baiknya di kota Semarang dan Magelang, Indonesia telah menyiapkan pasukannya. TKR dan badan kelaskaran lainnya disiapkan di Jawa Tengah. Kekuatan tersebut untuk mengepung Sekutu jika nantinya dipandang perlu.

(14)

Dari kota Ambarawa, Sekutu melanjutkan ke Magelang. Gerakan Sekutu pada awalnya berlangsung aman. Mereka diberi kebebasan untuk mendatangi tempat-tempat tahanan orang Belanda dan Jepang. Namun ketika tahanan sudah dilepaskan, mereka dipersenjatai oleh para tentara Sekutu. Mereka mulai berani bertindak. Bahkan bendera merah putih, sengaja mereka ganti dengan bendera Inggeris. Sekutu berniat menguasai Magelang karena memang pada waktu itu, Magelang mempunyai peranan penting dalam bidang militer (Syamsuar Said, 1984: 25).

Kota Magelang pada waktu itu termasuk dalam kekuasaan Kedu Tengah. Adapun Komandan Resimennya adalah Letnan Kolonel Sarbini. Resimen Kedu Tengah ini mempunyai lima batalyon, yaitu:

1. Batalyon I dengan Komandannya Mayor Suryosumpeno. 2. Batalyon II dengan Komandannya Mayor Kusen.

3. Batalyon III dengan Komandannya Mayor Ahmad Yani. 4. Batalyon IV dengan Komandannya Mayor Suwito Harjoko. 5. Batalyon V dengan Komandannya Mayor Wagiman.

Selain kekuatan tersebut, di Kedu Tengah masi ada kekuatan yang terdiri dari badan-badan kelaskaran. Badan-badan-badan itu diantaranya BPRI, Pesindo, Hizbullah, Sabilillah, dan lain sebagainya. Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan Sekutu akan datang ke Yogyakarta. Sekutu akan membuat alasan akan mengambil tawanan perang orang-orang Belanda secara besar-besaran. Untuk itu pasukan mencegah Sekutu agar tidak bergerak ke arah selatan. Pada waktu itu Sekutu yang datang ke Magelang mencapai dua infanteri yang dipimpin oleh Kolonel Eduard (Tjokropranolo, 1992: 87).

Sejak kedatangan Sekutu ke Magelang, suasana kota kota menjadi makin genting. Kekacauan yang dibuat oleh Sekutu sengaja untuk memancing kemarahan pasukan

(15)

Indonesia. Untuk itu Magelang dibanjiri dengan balabantuan dari kota lainnya. Adapun kesatuan TKR yang berdatangan ke Magelang adalah:

1. TKR dari Purwokerto sebanyak 2 batalyon dengan senjata lengkap. Batalyon I dipimpin oleh Imam Adrongi dan batalyon gabungan oleh Mayor Sugeng Tirtosewojo. Kedua batalyon tersebut berada di bawah pimpinan Komandan Resimen I Divisi V Purwokerto yaitu Kolonel Isdiman.

2. Dari Yogyakarta mengirimkan 2 batalyon yang berada di bawah pimpinan Oemar Slamet. 3. Tentara Rakyat Mataram (TRM) yang dipimpin oleh Sutarjo.

4. Polisi Istimewa (PI) pimpinan Sastroatmojo.

Menjelang akhir bulan Oktober 1945 kekacauan di Magelang sudah tidak terkendalikan lagi, maka pada tanggal 2 November 1945 meletuslah pertempuran antara kesatuan – kesatuan T.K.R. bersama para pemuda pejuang malawan tentara Sekutu dengan NICA. Dalam pertempuran ini pihak Sekutu agak terdesak. Sebelum mengalami kehancuran, mereka berusaha menyelamatkan kedudukannya secara hormat dengan mengadakan perundingan. Usaha Sekutu itu tercapai maka pada tanggal 2 November 1945 diadakan perundingan antara Pemerintah R.I dengan pihak Sekutu di Magelang (“Majalah Vidya Yudha” No. 9 Tahun II, Januari 1997:87).

Akhir dari pada perundingan itu,pada tanggal 2 November 1945. Pukul 02.30 Presiden menyampaikan pidato melalui radio. Isinya memerintahkan agar seluruh pasukan TKR dan badan perjuangan menghentikan tembak-menembak. Dari Semarang rombongan Presiden terus ke Magelang. Maksudnya adalah untuk langsung memerintahkan gencatan senjata dan melihat pelaksanaannya,

Pasukan TKR dan barisan kelaskaran menerima dan mentaati perintah Presiden dengan hati yang sangat berat. Tetapi tidak ada lagi pilihan lain kecuali melaksanakan perintah itu. Akhirnya setelah gencatan senjata itu, diadakan perundingan lagi.Isi

(16)

perundingan itu terdiri 12 pasal yang harus ditaati olel TKR dan Sekutu. Bunyi dari pada persetujuan itu,adalah:

1. Membentuk suatu badan penghubung di Magelang yang terdiri dari 9 orang Perwira Sekutu dan bangsa Indonesia.

2. Sekutu menempatkan pasukan di Magelang secukupnya untuk mengurus pengungsian tawanan.

3. Badan Penghubung menentukan daerah untuk tempat tinggal pasukan Sekutu. Keamanan dan ketenteraman diselenggarakan bersama oleh pasukan Sekutu, Polisi dan TKR yang jumlahnya ditentukan.

4. Jepang di Magelang harus secepat mungkin ditarik kembali ke Semarang.

5. Jalan raya Magelang – Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan siapapun tidak boleh dihalangi dan dianiaya.

6. Indonesia membantu mengurus makan dan hiburan bagi tawanan serta pasukan Sekutu. 7. Sekutu selekas mungkin mengangkut para tawanan dan segera memberitahukan kepada

Gubernur Jawa Tengah setelah tugas selesai.

8. Sekutu tidak akan mengakui kegiatan NICA. Terhadap anggota pasukannya yang terbukti membantu NICA akan dikeluarkan dari tentara.

9. Indonesia membantu hubungan telepon Magelang– Semarang bagi Sekutu. 10. Setiap perselisihan yang timbul diselesaikan Badan Penghubung.

11. Badan Penghubung mengadakan perlindungan setiap saat dan melaporkan hasilnya kepada pimpinan Sekutu dan Gubernur Jawa Tengah.

12. Pimpinan Sekutu dan Gubernur Jawa Tengah sependapat bahwa Badan – badan Penghubung akan berhasil melaksanakan tugas didaerahnya.

Tindakan Sekutu untuk menghentikan pertempuran hanyalah suatu cara untuk mengulur waktu saja. Pihak Sekutu memang membutuhkan waktu. Tetapi bukan untuk segera

(17)

mengungsikan para tawanan dari Magelang ke Semarang. Melainkan adalah untuk mempersiapkan diri. Mendatangkan pasukan dan senjata guna menghadapi pasukan Indonesia.

Untuk menghadapinya, TKR juga mengadakan persiapan.Pasukan bantuan dari daerah lain terus berdatangan. Penjagaan kota Magelang dari arah mana saja dijaga ketat. Siapapun yang membawa bahan makanan dilarang masuk kota. Tetapi barang-barang yang dibawa dari dalam ke luar kota diperbolehkan. Tindakan TKR itu dinamakan Blokade. 3. Sekutu Mundur ke Ambarawa

Karena merasa terdesak, Sekutu mengajukan protes kepada pemerintah Indonesia di Magelang. Tetapi protes itu tidak dihiraukan sama sekali. Bahkan blokade TKR makin diperketat. Blokade yang dilakukan oleh TKR sangat berhasil. Karena Sekutu tidak sanggup lebih lama bertahan di Magelang. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mulai bergerak mundur. Malam hari sebanyak 62 truk beriring – iringan menuju Semarang. Truk tersebut berisi persenjataan dan perlengkapan tentaranya. Untuk menjaga agar jangan diserang oleh TKR, maka mereka dikawal oleh 1 kompi tank. Gerakan mundur itu dipimpin oleh kolonel Pugh (Syamsuar Said, 1984: 31-32).

Dalam gerakan pemunduran ini, Sekutu mendapat perlindungan pesawat terbang. Setibanya di desa Pingit mereka melakukan teror terhadap rakyat. Perbuatan teror inilah yang telah membangkitkan kemarahan rakyat. Pengunduran Sekutu ke Ambarawa itu dimaksudkan juga untuk memperkuat/membantu pasukannya yang terlibat dalam suatu insiden dengan penduduk Ambarawa yang terjadi pada tanggal 20 November 1945 yang disebut insiden air. Insiden itu terjadi disebuah aliran sungai kecil di ujung dusun Ngampon, Kelurahan Panjang , Kecamatan Ambarawa.

Tanggal 20 November 1945, Selasa Legi pukul 13.00 sebuah jeep tentara Sekutu Ghurkha , berhenti di muka pintu gerbang kamp Pastoran Gereja Jago. Beberapa saat

(18)

kemudian mereka keluar. Mereka berjalan kaki menuju ke jalan timur kamp dan ke utara menyusuri sungai kecil di tepi kamp interniran. Kemudian aliran air pun diperiksa. mereka terkejut ketika melihat air tidak mengalir.

Para petani yang menggarap sawah di belakang komplek sekola Mulo Pangudi Luhur, menggunakan aliran air itu untuk kebutuhan mereka. Aliran sungai itu dialirkan ke sungai yang digarap, dengan menyumbat simpangan air yang mengalir ke interniran. Bila telah selesai, sore harinya sumbatan dibuka kembali. Akan tetapi tentara Gurkha mengaggap hal ini kurang ajar. Pada akhirnya terjadilah tembak menembak yang dilakukan tentara Ghurkha terhadap para petani dan pasukan AMRI. Demikianlah awal insiden air yang berlanjut menjadi sebuah pertempuran Ambarawa. (Sarmudji: 2001:3).

Pertempuran Ambarawa ini seolah – olah telah membentuk suatu garis medan, dimana rel kereta api kota Ambarawa merupakan garis pemisahnya. Sebab pertahanan kita berada di sebelah utara rel kereta api, sedangkan Sekutu bertahan disekitar tangsi yang terletak di sebelah selatan rel kereta api. Pada tanggal 22 November 1945 pukul 17.30 Sekutu membuka serangan utamanya ke arah kampung Temenggungan dan Panjang Kidul. Dalam penyerangannya Sekutu mempergunakan pasukan – pasukan Jepang yang sengaja ditawan. Oleh karena itu mereka dapat mendesak pertahanan TKR. Hal ini disebabkan tentara Jepang mengetahui kelemahan kita. Maka pasukan TKR mundur dari kampung Temenggungan dan menyusun pertahanan di kampung Panjang Kidul.

Keesokan harinya tentara Sekutu yang diperkuat dengan pasukan tank, melancarkan serangan ke arah seberang timur kali Panjang kemudian menuju Kawedanan dan Pasar Projo. Setelah terjadinya pertempuran ini maka pertahanan kita berada di kampung Kranggan dan Kupang. Pertahanan tersebut merupakan lini pertama, sedangkan lini kedua berada di desa Baran.

(19)

Setelah mengetahui bahwa Sekutu sudah melakukan penarikan dari Magelang, kemudian disusul dengan berita keganasan Sekutu di Pingit. Tindakan mereka ditangani oleh Batalyon Imam Adrongi pada Resimen I Divisi V Purwokerto. Aksi yang dipimpin oleh Imam Adrongi dilakukan pada saat subuh, namun setelah sampai di Pingit ternyata tentara Sekutu telah meninggalkan tempat itu. Setelah mengetahi bahwa tentara Sekutu telah meneruskan gerakannya menuju Ambarawa, maka Batalyon Imam Adrongi segera melakukan pengejaran. Pada kira-kira pukul 16.00 pasukan ini berhasil memasuki desa Tempuran setelah terjadi tembak-menembak dengan Sekutu selama satu jam.

Batalyon Imam Adrongi merupakan paruh dari sayap pasukan penyerang. Sedangkan di kanan kiri jalan merupakan sayap penyerangan terdapat Batalyon Cilacap di bawah pimpinan Mayor Sugeng Tirtosewoyo. Sedangkan yang lainnya adalah Kompi Sarwo Edi Wibowo dari Batalyon Magelang, dua kompi dari Batalyon Sarjono dan kompi Widodo dari Batalyon Suharto. Di tambah lahi Tentara Rakyat Mataram (TRM) pimpinan Bung Tardjo. Kesemuanya itu bergabung dengan Batalyon Imam Adrongi di desa Tempuran. Dari desa Tempuran ini Mayor Imam Adrongi memerintahkan satu Kompi untuk bergerak menyusup ke Banyubiru.

Keesokan harinya tanggal 23 Nopember 1945 pada pukul 05.00 pasukan yang telah berada di Tempuran meneruskan gerakannya. Gerakan ini dilakukan untuk mengejar Sekutu yang telah berda di Ambarawa. Gerakan pasukan tersebut diatur dengan seteliti mungkin. Batalyon Imam Adrongi bergerak melalui jalan yang besar dengan tujuan desa Sumber. Batalyon Sugeng Tirtosewoyo dan pasukan Tentara Rakyat Mataram (TRM), bergerak melalui sebelah kiri dan janan jalan besar dengan tujuan desa Sumber pula. Selain pasukan itu masih banyak Batalyon lain yang bergerak ke Ambarawa (“ Majalah Palagan” Desember 2006: 17).

(20)

Pertempuran berlangsung dengan cukup mencekam. Tembakan mortir Sekutu, dibalas dengan tembakan morir pasukan Indonesia. Tembakan meriam pun tak henti-hentinya dilontarkan. Mendapat tekanan kuat dari TKR, Sekutu mengerahkan pesawat-pesawat terbangnya untuk membantu melawan pemboman. Pasukan Sekutu menghamburkan peluru ke arah pasukan TKR dari udara. Sekutu memerintahkan tawanan Jepang untuk melakukan penyusupan ke daerah kedudukan pasukan Indonesia. Mengetahui posisi pasukan kita terancam, maka TKR memutuskan untuk mundur ke desa Bedono.

Dengan adanya desakan dari Sekutu, pasukan TKR mendapatkan bala bantuan dari luar Ambarawa. Untuk mengkoordinir pasukan-pasukan dari Divisi V di Ambarawa, maka dipandang perlu memperkuat tenaga-tenaga pimpinan. Kolonel Soedirman sebagai panlima Divisi V memutuskan mengirimkam Letnan Kolonel Isdiman ke Ambarawa. Letkol Isdiman merupakan orang kepercayaan Soedirman. Akan tetapi Letkol Isdiman gugur pada tanggal 26 November 1945. Letkol Isdiman mendapat serangan udara yang dilancarkan di desa Kelurahan.

D. Peran Jenderal Soedirman dalam Pertempuran Ambarawa

Gugurnya Letkol Isdiman merupakan suatu pukulan berat bagi Kolonel Soedirman. Kolonel Isdiman merupakan orang kepercayaan Soedirman. Hal itu menyebabkan Soedirman turun sendiri ke medan laga Ambarawa. Dengan demikian Soedirman bertanggung jawab penuh terhadap berlangsungnya penyerangan terhadap tentara Sekutu. Minggu pertama di bulan Desember 1945 Soedirman telah datang ke sektor barat, tepatnya di desa Kelurahan termasuk Kecamatan Jambu.

Beberapa hari Soedirman disertai perwira staf kepercayaannya berjalan kaki menyisir sektor barat tersebut. Soedirman menemui seluruh anggota TKR yang ada di sektor barat tersebut. Soedirman memberikan semangat bagi para anggota TKR untuk terus gigih merebut kota Ambarawa kembali.

(21)

Kehadiran Soedirman tersebut membawa “nafas baru yang segar” bagi gerakan pasukan-pasukan Republik Indonesia. Bahkan nantinya akan menjadi titik balik yang menentukan jalannya pertempuran di medan laga Ambarawa. Dalam waktu yang singkat telah tercipta koordinasi dan konsolidasi di antara pasukan. Gerakan pasukan-pasukan TKR makin berhasil, sehingga pengepungan dapat berjalan lancar. Di samping itu, penyusupan ke dalam kota pun semakin rapi. Penghadangan konvoi tentara Sekutu makin rapi (Maskur Sumodiharjo, 1974: 205).

Perkembangan situasi pertempuran pun mengarah kepada keuntungan Indonesia. Tanggal 5 Desember 1945 Sekutu meninggalkan benteng Banyubiru. Mereka sudah tidak mampu lagi untuk mempertahankan lebih lama lagi. Empat hari kemudian Sekutu mengalamai kerugian kembali. Lapangan terbang Kalibanteng di Semarang berhasil diduduki TKR pada tanggal 9 Desember 1945. Dengan jatuh nya Kalibanteng ke tangan kita, ini berarti pihak Sekutu tidak dapat menyalurkan bala bantuannnya dari udara secepatnya.

Kesempatan tersebut dipergunakan dengan baik oleh Soedirman untuk segera bertindak. Pada tanggal 11 Desember 1945 pukul 20.00 Soedirman mengumpulkan para Komandan TKR dan Komandan Badan Kelaskaran. Perkumpulan itu untuk membicarakan rencana serangan umum membebaskan kota Ambarawa (Soepardjo, 1986:24).

Dalam pertemuan tersebut Soedirman menguraikan perlunya tentara Sekutu diusir dari Ambarawa secepat mungkin. Jika hal itu tidak segera dilakukan, tentara Sekutu akan menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah. Mengingat jarak antara kota Ambarawa dan Yogyakarta sebagai Markas Tertinggi TKR hanya 95 Km. Secara strategi militer, keadaan ini sangat berbahaya sekali.

Setelah mendengar penjelasan dari Soedirman, maka pertemuan itu memutuskan: a. Siasat yang dilaksanakan dalam pembebasan Ambarawa tersebut ialah pendadakan.

(22)

b. Komandan penyerangan dipegang oleh Komandan Sektor TKR.

c. Pasukan-pasukan dari badan perjuangan/ Kelaskaran merupakan barisan belakang. d. Serangan dimulai besok pagi tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 tepat.

e. Komandan menembak jam 04.30 tepat.

Soedirman begitu jeli. Ia tidak mau serangannya gagal hanya karena masalah perbedaan waktu meskipun hanya satu menit. Untuk itu, setelah pertemuan selesai Soedirman memerintahkan para Komandan untuk mencocokkan jamnya masing-masing. Kemudian Soedirman memerintahkan agar mereka segera menyiapkan peralatan dan menunggu perintah untuk bergerak. Secara tidak langsung Soedirman sudah menyiapkan pasukannnya ke garis awal untuk melangkah.

Dalam merencanakan serangan, tentu saja ada masalah yang perlu dipecahkan. Soedirman mempertimbangkan keadaan tenaga manusia yang tersedia namun peralatan dan persenjataan masih belum tercukupi. Persenjataan tersebut juga masih sederhana. Dengan keadaan tersebut pasukan dituntut untuk secepatnya mendesak Sekutu untuk mundur dari Ambarawa.

Keadaan tersebut bisa dijadikan tolak ukur seberapa kemampuan Soedirman dalam memimpin sebuah pertempuran. Dengan jiwa kepemimpinan dan kecerdasan di bidang militer, ia melihat kondisi geografi Ambarawa. Kota Ambarawa berada di tanah yang miring dan terdapat Rawa Pening di sebelah selatan. Dengan kondisi ini, Soedirman akan menerapkan tata yudha tradisional/ strategi Supit Udang. Bila diterjemahkan dalam bahasa Jawa yaitu Capit Urang.

Dalam pertemuan tersebut Soedirman menjelaskan langkah-langkah strategi ini. Pasukan dibagi atas tiga kelompok. bagian pertama berda di tengah, yang merupakan pasukan Komando. Bagian kedua ada pada sayap kanan yang berperan sebagai supit kanan. Bagian ketiga sebagai supit kiri. Supit kanan dan kiri merupakan penjepit. Oleh karena itu, pasukan

(23)

kanan dan kiri dibagi lagi menjadi dua bagian. Serangan pertama dilakukan oleh pasukan induk yang berada di tengah. Serangan ini untuk menarik musuh sebanyak-banyaknya. Harapannnya seluruh kekuatan musuh dikerahkan untuk menanggulangi serangan tengah ini.

Kemudian selama pasukan tengah melakukan serangan, supit kanan dan kiri mulai menyusup mendekatimedan pertempuran lambung kanan dan kiri. Tugas dari pasukan sayap kanan dan kiri adalah melakukan penyergapan. Sergapan dilakukan sedikit demi sedikit seperti udang sedang makan.

Sambil melakukan sergapan-sergapan ini musuh digiring untuk berkumpul di tengah. Dari sinilah akhir dari serangan. Sayap kanan dan kiri kemudian membentuk lingkaran. Demikian pula pasukan induk menyebarkan diri, dan menghubungkan dengan sayap kanan dan kiri. Pada bagian depan diberikan lubang kecil agar Sekutu dapat mundur ke arah utara. Daerah-daerah yang dipakai untuk melakukan pengepungan adalah Ambarawa, Bawen, Lemahabang, Bandungan, Tuntang, Banyubiru, Ngampin, Jambu, Kelurahan, dan Baran.

Dalam memberikan penjelasan itu, Soedirman menggambarkannya pada papan tulis. Ia juga menjelaskan bagaimana pasukan harus bergerak, menyergap, dan menggirin musuh ke tengah yang kemudian dilakukan pengepungan. Keterangan Soedirman jelas sekali. Mengingat Soedirman mantan seorang guru yang profesional. Keterangannya terperinci dan mudah dimengerti. Didukung lagi oleh karakter Soedirman yang sabar, telaten, dan teliti akan tetapi tegas serta berwibawa (Syamsuar Said, 1984: 69).

Keesokan harinya tanggal 12 Desember, letusan tembakan sebagai isyarat dimulainya pertempuran terjadi pada pukul 04.30. Maka para pejuang yang telah siap mulai merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan lindungan tembakan-tembakan senapan mesin mereka harus mendekati musuh sampai jarak 200 meter. Setelah mereka sampai pada jarak 200 meter, barulah mereka diperbolehkan untuk melepas tembakan. Semua

(24)

ini merupakan perintah langsung dari Soedirman dengan maksud menghemat peluru. Mengingat senjata yang dimiliki pasukan Indonesia sangat minim (“ Majalah Vidya Yudha” No. 9 Tahun II, Januari 1997: 85) .

Dalam pertempuran Ambarawa ini Soedirman yang didampingi oleh stafnya yaitu Soepardjo. Soedirman bertindak sebagai koordinator Komando Sektor. Ia memimpin langsung pertempuran tersebut. Ia memimpin di desa Jambu (Wawancara dengan Sarmudji pada tanggal 14 Agustus 2012).

Pasukan Indonesia mendapat tugas dari Soedirman untuk menguasai jalan besar yang menghubungkan Ambarawa dan Semarang. Pada pukul 16.00 telah ada laporan bahwa mereka telah berhasil menguasai sasarannya. Setelah menerima laporan tersebut, Soedirman memerintahkan agar jalan besar yang telah dikuasai itu dipertahankan. Dengan demikian, pengepungan yang dilakukan di Ambarawa dapat disempurnakan.

Setelah penyerangan di Ambarawa berjalan lebih kurang satu setengah jam, ternyata pasukan Indonesia berhasil menghimpit pasukan Sekutu secara ketat. Penghimpitan itu dilakukan dari segala penjuru di wilayah Ambarawa. Dalam himpitan yang ketat itu, Sekutu hanya mempunyai kesempatan lolos dari satu arah saja yaitu melalui jalan besar Ambarawa Semarang.

Serangan umum yang dilancarkan pasukan TKR merupakan suatu gerakan pendobrakan. Pasukan pemukul bergerak dari barat ke arah timur menuju Semarang. Sedangkan pasukan pasukan yang bergerak dari arah samping kanan dan kiri merupakan suatu gerakan jepitan. Hal itu seperti layaknya gerakan Supit Udang yang kedua ujungnya bertemu di bagian luar kota Ambarawa.

Serangan pembebasan Ambarawa telah dilancarkan dengan penuh rasa tanggung jawab dan semangat pantang mundur. Pertempuran itu berlangsung selama empat hari empat malam. Pada tanggal 15 Desember 1945 tentara Sekutu menyingkir dari Ambarawa. Sekutu

(25)

meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan sebab tidak sempat membawa mundur ke Semarang. Sekutu juga membuat Ambarawa menjadi lautan api. Dalam perjalanannya mundur ke Semarang, Sekutu melakukan pemboman terhadap rumah penduduk.

Dengan mundurnya Sekutu dari Ambarawa ke Semarang, merupakan suatu peristiwa penting. Peristiwa ini merupakan pertempuran yang berhasil dimenangkan pertama kali setelah proklamasi kemerdekaan. Ini merupakan suatu keistimewaan yang didapatkan untuk ukuran kota kecil seperti Ambarawa. Kemenangan ini merupakan suatu hasil yang diperoleh atas kerjasama dari berbagai pihak. Soedirman berhasil mempersatukan berbagai laskar ke dalam tubuh ketentaraan untuk bekerjasama mengusir Sekutu. Ini dipandang sebagai prestasi yang tidak sederhana (“ Majalah Palagan” Desember 2006: 27).

Palagan Ambarawa telah memberikan dua makna besar dalam perjuangan bersenjata bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Adapun yang pertama adalah lahirnya seorang pemimpin militer sejati yaitu Soedirman. Kedua adalah terbuktinya kepeloporan infantri. Oleh karena itu tanggal 15 Desember ditetapkan sebagai hari Infantri. Palagan Ambarawa merupakan kebanggaan bagi Korps Infantri yang dikenal dengan Thee Queen of Battlefield (Rudini, 1992: 448).

Dari medan Ambarawa telah lahir pemimpin militer kaliber Internasional yang tahan uji. Hal itu dapat diperbandingkan dengan kekuatan, kemampuan dan pengalaman. Soedirman dapat memimpin pertempuran yang lawannya adalah Sekutu. Pasukan Sekutu telah berpengalaman dalam Perand Dunia ke II dan keluar sebagai pemenang. Namun dalam hal ini, Sekutu harus mengakui keunggulan pasukan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Soedirman (Sejarah DAM VII/Diponegoro, 1974:62).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kesehatan jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa kesehatan jiwa adalah suatu kondisi

Ini menunjukkan setiap terjadi peningkatan permintaan tenaga kerja sebanyak 1 jiwa saja maka akan meningkatkan upah minimum provinsi sebesar 0,855 rupiah dengan

A adalah lambang dari data garis dasar ( baseline data ), B untuk data perlakuan ( treatment data ), dan A kedua ditujukan untuk mengetahui apakah tanpa

Katalis pada reaksi hidrogen peroksida dengan iodida pada suasana asam Berdasarkan hukum laju reaksi hidrogen peroksida dengan iodida yang dinyatakan berupa penjumlahan [1] oleh

Pembuatan kolostomi permanen biasanya dilakukan apabila pasien sudah tidak memungkinkan untuk defekasi secara normal karena adanya keganasan, perlengketan, atau pengangkatan

Setiap siswa yang berprestasi baik dalam bidang akademis maupun non-akademis akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan Beasiswa Prestasi dari pihak Yayasan,

Kabupaten Barito Kuala yang beribukota Marabahan terletak paling barat dari Provinsi Kalimantan Selatan dengan batas-batas sebelah utara Kabupaten Hulu Sungai Utara dan