• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Saya yang bernama Frana Citra Simanungkalit adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Saat inisaya sedang melakukan penelitian tentang “Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan Tahun 2014”. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Perawat dapat mencegah terjadinya atau menyebarnya infeksi dengan meminimalkan jumlah dan jenis organism yang ditularkan kedaerah yang berpotensi mengalami infeksi.

Untuk keperluan tersebut saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya mohon kesediaan Bapak/ibu untuk menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan.

Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifa sukarela, sehingga Bapak/Ibu bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa sanksi apapun. Identitas pribadi Bapak/Ibu dan semua informasi yang diberikan akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian.

Terima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini.

Medan, Januari 2016

Responden

(2)

   

Data Demografi Responden

JenisKelamin : Laki – laki Perempua

Tingkat Pendidikan : S1 Keperawatan

D-III Keperawatan

(3)

Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan.

KodeResponden :

Persiapan alat folcy cateter sesuai ukuran , urin bag, sarung tangan, lubricant/jelly, cairan antiseptik steril, nierbeken, pinset anatomis, plester fiksasi/fixoaral, kapas atau kasa diberi yodium, selimut mandi.

Persiapan pasien: Perawat menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga.

Perawat mengatur posisi pasien wanita dorsal rekumben, pria posisi supine dan beri selimut mandi. Perawat mencuci tangan dan kenakan sarung tangan steril.

Untuk wanita, dengan tangan noa dominan membuka labia minora sampai meatus uretra tampak, pria meregangkan meatus uretra dengan ibu jari dan telunjuk dan tangan dominan membersihkan meatus uretra dengan larutan yodium-povidin.

Perawat memberi pelumas pada ujung kateter (wanita), masukkan pelumas 5 cc dengan menggunakan spuit 5 cc, tunggu 3-5 menit.

(4)

 

Bila urin sudah keluar pertanda kateter sudah mencapai kandung kemih, pegang kateter dengan kuat dan masukkan kateter 2-3 cm.

Isi balon kateter dengan cairan steril sesuai dengan kebutuhan yang tertera pada kateter tersebut (20-25 cc). Hubungkan ujung kateter dengan urinary bag steril dan plester kateter pada paha bagian depan.

Lepaskan sarung tangan dan buang sampah dan urin ke wadah yang tersedia.

Bantu pasien ke posisi semula dengan nyaman dan bersihkan area perineal sesuai kebutuhan.

Periksa kandung kemih untuk memastikan tidak ada distensi.

Cuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

Data Pribadi

a. Nama : Frana Citra Simanungkalit b. Tempat/ Tanggal Lahir : Perbaungan, 21 Juni 1992 c. Jenis Kelamin : Laki-laki

d. Anak ke : 3 dari 3 bersaudara

e. Ayah : Drs. Anggiat Simanungkalit M.Pd

f. Ibu : Rismawaty Pangaribuan

g. Agama : Kristen Protestan

h. Alamat : Jl. Malinda 2 blok 55 Perbaungan

Riwayat Pendidikan

a. Tahun 1998-2004 : SD Negeri 101935 Batang Terap b. Tahun 2004-2007 : SMP Negeri 1 Perbaungan c. Tahun 2007-2010 : SMA Negeri 1 Perbaungan

d. Tahun 2010-2013 : AKPER Poltekkes Kemenkes Medan e. Tahun 2014-sekarang : Program Studi S1 Keperawatan USU

Medan, Februari 2016 Yang Bersangkutan

(16)

   

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Azis. (2008). Keterampilan dasar praktik klinik untuk kebidanan, Jakarta: Salemba Medika.

Alimul, Azis. (2009). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data, Jakarta: Salemba Medika.

Bea, B.S.(2012). Infeksi nosokomial, Yogyakarta: Nuha Medika. Bruner&Suddarth. (2000). Buku ajar keperawatan medikal bedah,

Terjemahan Suzanne C.Smeltzer, edisi 8. Vol.8 buku kedokteran Jakarta : EGC

Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial, Jakarta: Salemba Medika.

Ducel,G.et al. (2009). Pervention of hospital-acquired infections, a practical guide: Edisi 2 world health organization. Department of communicable disease, surveillance and response. Diambil tanggal 2 April 2015 dari http//klikharry.wordpress.com/2015/04/02/infeksi-nosokomial.html. Jhonkarto. (2009). Macam-macam infeksi nosokomial. Diambil tanggal 26 Maret

2015 dari http://jhonkarto.blogspot.com/2009/02/infeksinosokomial.html Kozier. (2010). Fundamental keperawatan: konsep, proses & praktek, Edisi 7.,

Jakarta: EGC

Larson, E. L. (1995). APIC Guideline for handwashing and hand antiseptic in health care settings. APIC Guideline committee, infect control and edidemiology, 24:253-257

Linda., dkk.(2004). Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan dengan sumber daya terbatas.

Jakarta: Yayasan Bina PustakaSarwono Prawiroharjo.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

(17)

Rasyid. R. (2000). Prevalensi infeksi nosokomial pada pasien post sectio sesaria pada bagian kebidanan dan penyakit kandungan.

Padang: Majalah Kedokteran Andalas. Juli-Desember 2000 Siregar, (2004) . Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan.

Jakarta: EGC

Sumber: http://www.google.com.data infeksi nosokomial di Indonesia 2010. Diambil tanggal 26 April 2015.

Taylor, P. W, Jeremy, M. T, Hamilton, M. J, Stapleton, P. D. (2005).

Antimicrobial properties of green tea catechins pubmed, 2:71-81. Diambil

tanggal 2 mei 2015 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2763290/

Tiejen, L. dkk. (2004). Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.

Parningsih, SH (2008). Gambaran kewaspadaan universal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Jurnal ilmu keperawatan, vol 1.

Ponce-de-leon, S. (1991). The needs of developing countries and the resources required. J hosp infect.

(18)

39 BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan, sesuai dengan tujuan maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Skema 3.1.

Kerangka penelitian tentang tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan

Tahun 2015. Tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan keteter urin :

1. Persiapan alat 2. Persiapan pasien 3. Posisi pasien

4. Cuci tangan dan pemakaian sarung tangan

5. Membersihkan meatus uretra 6. Memberi pelumas pada ujung

kateter

7. Memasukkan ujung kateter ke meatus uretra

8. Pastikan urin sudah keluar 9. Isi balon kateter

10.Pasang urinary bag steril 11.Lepaskan sarung tangan 12.Bersihkan area perineal 13.Pemeriksaan kandung kemih 14.Cuci tangan setelah melakukan

tindakan 15.Dokumentasi

(19)

3.2 Defenisi Konseptual

Infeksi nosokomial meliputi infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lain.

Infeksi nosokomial dibagi 3 jenis, yaitu infeksi silang (cross infection) infeksi yang disebabkan kuman didapat dari orang atau pasien lain secara langsung atau tidak langsung. Infeksi lingkungan (environtmental infection), infeksi yang disebabkan kiuman yang diadapat dari benda atau bahan tak bernyawa di lingkungan rumah sakit. Infeksi sendiri yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari pasien sendiri, karena perpindahan kuman dari jaringan lain ke jaringan lainnya

Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu diantaranya: 1. Pada waktu penderita mulai dirawat dirumah sakit tidak didapatkan

tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat dirumah sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai oerawatan.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

(20)

   

sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut :

1. Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat menyebabkan cacat yang permanen serta kematian.

2. Dampak tertinggi pada Negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi.

3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai Negara yang tidak mampu, dengan mengingkatkan lama perawatan di Rumah Sakit, pengobatan denngan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.

4. Morbiditas, dan mortalitas semakin tinggi. 5. Adanya tuntutan secara hukum.

(21)

3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.3. Defenisi Operasional tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Tahun 2015.

Variabel Defenisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala ukur di RS Martha Friska Pulo Brayan.

(22)

43 BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Disain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi adalah subjek yang memiliki kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang melakukan tindakan pemasangan kateter urin di rumah sakit Martha friska Pulo Brayan Medan. Jumlah perawat di rumah sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan pada bulan April 2015 adalah 230 orang.

4.2.2 Sampel

1. Besar Sampel

(23)

n = N 1+N (d2) Keterangan

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

d : tingkat signifikan (d= 10%)

maka,

n = N

1 + N (d2)

= 230

1 + 230 (0,1)2

= 230

1 + 230 (0,01)

= 230

3,3

= 69,69 ( dibulatkan menjadi 70 )

(24)

   

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode non propability sampling dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling yaitu teknik

penentuan sampel dengan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti (Nursalan, 2013).

Adapun kriteria sampel yang digunakan adalah kriteria inkulasi yang ditentukan sebagai sampel penelitian ini adalah (1) perawat yang melakukan tindakan pemasangan kateter urin (2) bersedia menjadi responden.

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian

4.3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan. Pemilihan rumah sakit ini sebagai tempat penelitian karena tersedianya responden yang memadai di rumah sakit ini.

4.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dimulai dari juli 2015 sampai selesai.

4.4 Pertimbangan Etik

(25)

pengembangan RS Martha Friska Medan. Sesudah diterima pihak rumah sakit, peneliti membuat surat persetujuan dengan calon responden dan kemudian menjelaskan kepada calon responden penelitian tentang tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon responden bersedia, maka responden dipersilahkan untuk menandatangani informend consent. Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang menjadi responden, baik resiko fisik maupun psikologis. Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan cara tidak menuliskan nama inisial responden pada instrumen yang digunakan untuk menjaga kerahasiaan semua informasi yang diberikan. Data-data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar ceklis atau lembar observasi untuk mengukur variabel dependen dengan tujuan untuk mengetahui tentang tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala guttman yaitu skala yang bersifat tegas dan konsisten dan memberikan jawaban yang tegas seperti memberikan jawaban dari pertanyaan atau pernyataan : ya dan tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. (Aziz, 2009).

(26)

   

Standard Operational Prosedure (SOP) yang ditetapkan Rumah Sakit Marta Friska Pulo Brayan Medan yang terdiri dari 15 observasi. 

Bentuk observasi tindakan pencegahan infeksi nosokomial :

a. Jika jawaban ya diberi skor 1 b. Jika jawaban tidak diberi skor 0

Penilaian tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin dikategorikan tindakan baik apabilaapabila perawat melaksanakan 15 tindakan sesuai dengan SOP dan tindakan buruk apabila perawat tidak melaksanakan 15 tindakan sesuai dengan SOP.

4.7 Teknik Pengumpulan Data 4.7.1 Prosedur Pengambilan Data 1. Tahap persiapan pengumpulan data

Persiapan pengumpulan data dilakukan melalui prosedur administrasi dengan memperoleh izin dari Fakultas Keperawatan USU dan izin dari rumah sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan.

2. Tahap melakukan pengumpulan data

Setelah mendapat izin dari rumah sakit Martha Friska Pulo Brayan Medan peneliti menemui calon responden yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut :

(27)

2) Mencari perawat yang melakukan tindakan pemasangan kateter urin

3) Mendampingi dan melakukan observasi kepada perawat yang melakukan tindakan pemasangan kateter urin

4) Lembar observasi dirapikan kembali dan diperiksa kelengkapannya oleh peneliti.

5) Peneliti mengucapkan terima kasih atas partisipasinya dalam penelitian ini dan setelah sampel tercukupi selanjutnya peneliti melapor kembali ke bidang pendidikan dan penelitian untuk memperoleh surat selesai melakukan penelitian.

4.8 Pengolahan Data

Wahyuni (2007) mengatakan bahwa, Setelah data diperoleh maka selanjutnya data tersebut diolah melalui tahap sebagai berikut :

1. Editing, adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang telah diperoleh atau dikumpulkan

2. Coding, yaitu memberikan kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk

mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa.

3. Data entry, adalah memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam

database computer secara manual.

4. Cleaning, adalah pemeriksaan kembali semua data yang telah dimasukkan

untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

(28)

   

pernyataan dan data demografi sehingga terbentuk suatu kumpulan data yang sama untuk dapat dianalisa selanjutnya pada tahapan berikutnya.

4.9 Analisa Data

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit marta friska pulo brayan Medan. Penelitian ini telah dilaksanakandi rumah sakit marta friska Pulo brayan Medan dengan jumlah responden 70 orang perawat yang melaksanakan tindakan pemasangan kateter urin.

5.1 HASIL

Bab ini menjelaskan uraian hasil penelitian tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit marta friska pulo brayan Medan berdasarkanobservasi pada responden yang sudah menyetujui tindakan penelitian. hasil penelitian diperoleh data distribusi sebagai berikut:

1. Data demografi responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden umumnya berjenis kelamin perempuan (81,4 %), tingkat pendidikan D3 Keperawatan (92,9 %) dan lama bekerja < 1 tahun (48,6 %).

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama bekerja

(30)

   

2. Tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin berdasarkan pengamatan/ observasi

Tabel 5.3 Tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin sesuai Standart Operasional Prosedur(SOP) berdasarkan pengamatan/ observasi

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan perawat yang melaksanakan tindakan pemasangan kateter urin sesuai Standart Operasional Prosedur (SOP) sebanyak 54 responden (77,1 %), perawat yang tidak melaksanakan tindakan pemasangan kateter urin sesuai Standart Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan sebanyak 16 responden (22,9 %).

No KriteriaHasil Frekuensi Persentase %

1. Baik 54 77,1 %

2. Tidakbaik 16 22,9 %

5.2 PEMBAHASAN

(31)

perpindahan mikroorganisme ke meatus urinaria, memberi pelumas pada kateter dapat mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra akibat pergesekan dengan kateter, penggunaan tehnik aseptik dapat mencegah masuknya mikroorganisme kedalam tubuh melalui kateter yang kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi, isi balon kateter dilakukan agar selang kateter tidak mudah lepas dari kandung kemih dan juga untuk mencegah kateter keluar masuk uretra yang memungkinkan infeksi dan iritasi, pemakaian urinary bag bertujuan untuk menampung urin yang keluar, membersihkan area perineal dapat mengurangi perpindahan organisme ke meatus urinaria, periksa kandung kemih untuk memastikan tidak ada distensi yang dapat menimbulkan nyeri dan keadaan ini mengakibatkan penurunan retensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri, mencuci tangan setelah melakukan tindakan merupakan salah satu unsur pencegahan penularan infeksi, dokumentasi bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas dari tindakan keperawatan yang telah diberikan. Hal ini sejalan dengan hasil survey yang dilakukan di rumah sakit marta friska pulo brayan bahwa rumah sakit rutin mengadakan seminar atau pelatihan kewaspadaan universal dalam meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.

Pittet dkk (2006), mengatakan bahwa perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang sering melakukan tindakan pemasangan kateter urin, maka perlu memahami pentingnya melakukan pemasangan kateter urin sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP).

(32)

   

pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi dengan cara melakukan tindakan-tindakan seperti mencuci tangan, pemakaian sarung tangan, pemakaian masker, pengelolaan cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai, dan pengelolaan sampah medik.

Hal inisesuai dengan pernyataan rasyid (2000), bahwa tata cara yang aseptik pada saat melakukan tindakan merupakan syarat mutlak untuk mencegah terjadinya infeksi, begitu pula dengan Kozier (2010) yang menyatakan bahwa mencuci tangan merupakan tindakan yang sangat penting di semua tatanan termasuk rumah sakit karena mencuci tangan adalah salah satu tindakan paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan resiko terinfeksi mikroorganisme.

Meskipun hasil penelitian terhadap tindakan perawat dalam ketegori baik, namun ada tindakan yang harus diperbaiki dan ditingkatkan pelaksanaannya untuk mengontrol terjadinya peningkatan infeksi nosokomial seperti persiapan pasien, perawat tidak menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, perawat tidak memeriksa kandung kemih untuk memastikan tidak ada distensi.

Hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit marta friska pulo brayan medan terdapat perawat yang tidak melakukan tindakan pemasangan kateter urin yang sesuai dengan standart operasional prosedur (SOP) diantaranya persiapan alat, persiapan pasien, posisi pasien, cuci tangan, pemakaian sarung tangan, proses pemasangan dan dokumentasi sebanyak 16 perawat (22,9%).

(33)

jarum dan alat tajam kurang, serta pengelolaan limbah ruangan masih kurang sempurna.

Penyebab lain dari masuknya mikroorganisme kedalam tubuh adalah penanganan dan penatalaksanaan yang tidak tepat terhadap kateter urin dan set drainase. Titik temu antara kateter dan selang drainase harus tetap tertutup dan menyambung. Selama sistem tersebut tertutup, isinya masih tetap dianggap steril. Aliran keluar dari klep pada kantung drainase harus juga tetap diminimalkan untuk mengurangi kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra masuk kedalam kandung kemih (Potter&Perry, 2005).

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan, dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan juga setiap orang yang datang ke rumah sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit (Betty, 2012).

(34)

   

yang memerlukan pemasangan kateter yang lama (Furqan, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Praningsih (2008), menyatakan bahwa masih adanya perawat yang melakukan cuci tangan kurang sempurna, menggunakan alat pelindung diri yang kurang, pengelolaan alat bekas pakai kurang sempurna, pengelolaan jarum dan alat tajam kurang, serta pengelolaan limbah ruangan masih kurang sempurna.

Dampak infeksi nosokomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian. Rasional ketidakberdayaan fungsional berhubungan dengan ketergantungan dengan orang lain. (Ponce-de-leon, 1991).

(35)

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis menarik kesimpulan hasil penelitian mengenai tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit marta friska pulo brayan Medan, sudah melakukan tindakan baik dalam pencegahan infeksi nososkomial pada pemasangan kateter urin sesuai Standart Operasional Prosedur (SOP) sebanyak (77,1 %)..

6.2 Saran

1. Bagi Rumah Sakit Marta Friska Pulo Brayan Medan.

Upaya agar lebih meningkatkan tindakan pencegahan infeksi nosokomial dikalangan tenaga kesehatan, perlu diadakan pelatihan secara berkala dari pihak rumah sakit tentang tindakan pencegahan infeksi nosokomial dan memberi peringatan kepada atasan/kepala ruang bila ada petugas yang tidak patuh dalam melaksanakan tindakan yang tidak sesuai dengan Standard Operational Prosedure (SOP) yang telah ditetapkan.

2. Bagi Institusi Pendidikan

(36)

   

(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Nosokomial

2.1.1 Pengertian Infeksi Nosokomial

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di Rumah Sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan juga setiap orang yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi Rumah Sakit (Betty, 2012).

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan, dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia (Betty, 2012).

2.1.2 Macam-macam Infeksi Nosokomial

(38)

   

lingkungan rumah sakit. Infeksi sendiri yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari pasien sendiri, karena perpindahan kuman dari jaringan lain ke jaringan lainnya (Jhonkarto, 2009).

2.1.3 Dampak infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi kecacatan shingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian (Ponce-de-Leon 1991).

Dampak infeksi nosokomial lebih jelas di Negara miskin, terutama yang dilanda HIV/AIDS, karena temuan terakhir membuktikan bahwa pelayanan medis yang tidak aman merupakan faktor penting dalam transmisi HIV (Gisselquist dkk 2002).

Menurut Betty (2012), infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut :

1. Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat menyebabkan cacat yang permanen serta kematian.

(39)

3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai Negara yang tidak mampu, dengan mengingkatkan lama perawatan di Rumah Sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.

4. Morbiditas, dan mortalitas semakin tinggi. 5. Adanya tuntutan secara hukum.

6. Penurunan citra Rumah Sakit.

2.1.4 Penyebab Infeksi Nosokomial

1. Agen infeksi

(40)

   

2. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri pathogen. Tetapi dalam beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme.

3. Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfuse, dialysis, suntikan dan endoskopi. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan (Wenzel, 2002).

4. Parasit dan Jamur

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan. 5. Faktor alat

(41)

% pasien memerlukan terapi infuse. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.

2.1.5 Batasan Infeksi Nosokomial

Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit. Siregar (2004) mengatakan bahwa, suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tentu diantaranya:

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

(42)

   

2.1.6 Cara Penularan Infeksi Nosokomial

Betty (2012) mengatakan bahwa, cara penularan infeksi nosokomial yaitu : 1. Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung, dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber berhubungan langsung dengan penjamu. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganime.

2. Penularan melalui common vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari suatu penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya.

3. Penularan melalui udara, dan inhalasi

Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus), dan tuberculosis.

4. Penularan dengan cara perantara vector

(43)

dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella, dan salmonella oleh lalat.

Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis.

2.1.7 Pengelolaan Infeksi Nosokomial

Betty (2012) mengatakan bahwa, terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh :

1. Banyaknya pasien yang dirawat dapat menjadi sumber infeksi bagi lingkungan, dan pasien lainnya.

2. Kontak langsung antara pasin yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya.

3. Kontak langsung antara petugas Rumah sakit yanmg tercemar kuman dengan pasien.

4. Penggunaan alat/peralatan medis yang tercemar oleh kuman. 5. Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya

(44)

   

keperawatan. Untuk dapat mengendalikannya diperlukan adanya mekanisme kerja atau system yang bersifat lintas sektoral/bagian, dan diperlukan adanya sebuah wadah/organisasi di luar struktur organisasi rumah sakit yang telah ada. Dengan demikian diharapkan adanya kemudahan berkomunikasi, dan berkonsultasi langsung dengan petugas pelaksana disetiap bagian/ruang/bangsal yang terindikasi adanya infeksi nosokomial. Wadah atau organisasi ini adalah panitia medic pengendali infeksi (Betty, 2012).

2.1.8 Pengendalian, dan Pencegahan Infeksi Nosokomial

Betty (2012) mengatakan bahwa, dalam mengendalikan infeksi nosokomial di rumah sakit, ada tiga hal yang perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit, diantaranya :

1. Adanya sistem surveilan yang mantap

(45)

2. Adanya peraturan yang jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi. Adanya peraturan yang jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang sangat penting. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas. Standar ini meliputi standar diagnosis ataupun standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini, peran perawat sangat besar sekali.

3. Adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam merawat penderita.

Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar, dan mengajar yang terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial.

Betty (2012) mengatakan bahwa, pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring, dan program. Program yang termasuk diantaranya :

1. Membatasi transmisi organism dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan, dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, sterilisasi dan disinfeksi.

(46)

   

3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.

4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif. 5. Pengawasan infeksi, identifikasi, dan mengontrol penyebarannya.

6. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit.

7. Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian infeksi, dan aseptic telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

8. Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang dengan member informasi pada kepala bagian dan memberikan nasihat tentang masalah pengendalian infeksi.

9. Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi (occupational health staf) dalam pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat, catering,

domestic, dan berbagai golongan staf lainnya yang terinfeksi.

10. Melakukan kerjasama dengan, dan member petunjuk kepeda perawat komunitas tentang berbagai masalah infeksi.

11. Member informasi segera melelui telepon tentang penyakit yang harus diberitahukan kepada petugas kesehatan masyarakat.

12. Memberitahu berbagai rumah sakit lain dan praktisi lain yang berkepentingan ketika pasien yang terinfeksi dibebaskan dari rumah sakit atau di pindahkan ke tempat lain.

(47)

14. Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam melaksanakanprosedur rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan pengendalian infeksi.

15. Menghadiri berbagai komite relavan yang biasanya mengendalikan infeksi dari berbagai komite prosedur perawatan.

16. Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril tentang infeksi tertentu dalam rumah sakit.

2.2 Pemasangan Kateter Urin 2.2.1 Defenisi

Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter kedalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukkan selang plastic atay karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obtruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamikanya tidak stabil (Potter dan Perry, 2002)

(48)

   

Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Pada pasien yang menggunakan kateter, mikroorganisme dapat menjangkau saluran kemih melalui tiga lintasan utama: (1) dari uretra ke dalam kandung kemih pada saat kateterisasi; (2) melalui jalur dalam lapisan tipis cairan uretra yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa bersentuhan; dan (3) cara yang paling sering melalui migrasi ke dalam kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter terkontaminasi (Brunner & Suddarth, 2000).

Rasyid (2000) menguraikan bahwa penderita yang mengalami infeksi nosokomial yang salah satunya adalah akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan yang lebih lama sehingga penderitaan klien mejadi bertambah biaya, selain itu pihak rumah sakit juga akan menanggung kerugian karena kondisi tersebut yaitu: lama hari perawatan bertambah panjang dan biaya menjadi meningkat. Furqan (2003) menegaskan bahwa infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini dapat membahayakan hidup karena dapat berlanjut pada septikemia dan berakhir pada kematian.

(49)

ini merupakan salah satu otonomi perawat yang lazim dilakukan oleh perawat di rumah sakit, maka perawat mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter urin (Bouwhuizen, 1996).

2.2.2 Infeksi Saluran Kemih (ISK) Pasca Kateterisasi

Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini merupakan salah satu bentuk infeksi nosokomial. Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi merupakan porsi terbesar dari infeksi nosokomial (Furqan, 2003). Sekitar 40% dari infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin (Utama, 2006). Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter juga sebagai akibat sulitnya pengontrolan dan perawatan serta penggantian kateter pada penderita yang memerlukan pemasangan kateter yang lama (Furqan, 2003).

Organisme yang menyerang bagian tertentu system urin menyebabkan infeksi pada saluran kencing yaitu ginjal, kandung kemih, prostat, uretra, atau urin. Setiap kali bakteri menginfeksi bagian tertentu, seluruh bagian akan beresiko terkena infeksi. Apabila gejalanya muncul, biasanya berupa demam ringan, panas, ingin kencing terus, dan nyeri. Gejala serupa mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan kateter dalam jangka waktu lama, tapi pasien tersebut juga akan mengalami obstuksi batu saluran kencing, gagal ginjal (Waren, 2000).

2.2.3 Indikasi Kateterisasi

(50)

   

kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut Hidayat (2006), kateterisasi sementara di indikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidah mampu berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi neuromuscular secara progresifdan pengeluaran urin residual.

2.3Tindakan 2.3.1 Defenisi

Menurut Notoadmodjo (2007), defenisi tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan. Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :

1. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek yang akan dilakukan.

2. Respon terpimpin yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

3. Mekanisme yaitu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis.

4. Adaptasi yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dan dilakukan dengan baik.

2.3.2 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi

(51)

1. Setiap orang, baik ibu, bayi baru lahir, dan penolong persalinan harus dianggap dapat menularkan penyakit, karena infeksi yang terjadi bersifat asimptomatik atau tanpa gejala.

2. Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.

3. Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan dan telah bersentuhan dengan kulit tak utuh seperti selaput mukosa atau darah, harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah selesai digunakan harus dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.

4. Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah diproses denngan benar, harus dianggap telah terkontaminasi.

5. Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tetapi dapat dikurangi hingga sekecil mungkin kejadiannya dengan melaksanakan prosedur tindakan pencegahan infeksi yang benar dan konsisten.

2.3.3Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi

(52)

   

mudah tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. 

(53)

Menurut Depkes RI (2004), Ada berbagai yang dilaksanakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau mencegah mikroorganisme berpindah dari suatu individu ke individu yang lain yang dapat menyebarkan infeksi, yaitu pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi dengan cara melakukan tindakan-tindakan esensial sebagai berikut :

1. Cuci tangan

Cuci tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan timbulnya infeksi yang menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir. Prosedur cuci tangan :

1. melepaskan perhiasan di tangann dan pergelangan. 2. Membasahi tangan dengan air bersih dan air mengalir

3. Menggosok dengan kuat kedua tangan dengan menggunakan sabun biasa atau yang mengandung anti mikroba selama 15 sampai 30 detik dan telah dipastikan sudah menggosok sela-sela jari. Tangan yang terlihat kotor harus dicuci lebih lama.

4. Membilas tangan dengan air bersih dan mengalir

5. Membiarkan tangan kering dengan diangin-anginkan atau dikeringkan dengan kertas tisu yang bersih dan kering atau handuk pribadi yang bersih dan kering.

(54)

   

7. Jangan mencuci tangan dengan mencelupkan kedalam wadah berisi air meskipun air tersebut sudah ditambah larutan aseptik, karena mikroorganisme dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam larutan tersebut.

8. Bila tidak tersedia air mengalir : menggunakan ember tertutup dengan kran yang bisa ditutup pada saat mencuci tangan dan dibuka kembali jika ingin membilas, menggunakan botol yang sudah diberi lubang agar bisa mengalir, minta orang lain menyiramkan air ketangan.

9. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih dan kering. Jangan menggunakan handuk yang juga digunakan orang lain. Handuk basah atau lembab adalah tempat yang baik untuk mikroorganisme berkembangbiak. 10.Bila tidak ada saluran air untuk membuang air yang sudah digunakan,

kumpulkan air di baskom dan buang kesaluran limbah atau jamban dikamar mandi.

2. Pemakaian sarung tangan.

Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah baik kulit tak utuh, selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya maupun peralatan. Sarung tangan sekali pakai lebih dianjurkan.

3. Pemakaian masker

4. Pengelolaan cairan antiseptik 5. Pemrosesan alat bekas pakai

(55)

6. Pengelolaan sampah medik

2.3.4 Kontrol Atau Eliminasi Agens Infeksius

Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang terkontaminasi secara signifikan mengurangi dan sering kali memusnahkan mikroorganisme. Di pusat perawatan kesehatan departemen suplai sentral mendesinfeksi dan menyucihamakan barang-barang yang dapat digunakan kembali. Namun, perawat dapat mengatasi situasi yang memerlukan penggunaan teknik-teknik tersebut. Banyak prinsip pembersihan dan desinfeksi juga dilakukan dirumah (Potter&Perry, 2005).

Pembersihan adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan materi organic dari suatu objek (Rutala, 1990). Biasanya, pembersihan termasuk menggunakan air dan kerja mekanis dengan atau tanpa deterjen. Pada saat objek kontak dengan material infeksius atau berpotensi infeksius, objek menjadi terkontaminasi. Jika objek sekali pakai, objek tersebut dibuang. Objek yang dapat digunakan kembali harus dibersihkan seluruhnya bahkan di desinfeksi atau disterilisasi sebelum digunakan kembali (Potter&Perry, 2005).

Potter&Perry (2005) menyatakan bahwa, langkah yang menjamin bahwa suatu objek disebut bersih yaitu :

(56)

   

protein pada materi organic berkoagulasi dan menempel pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.

2. Setelah pembilasan, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun atau deterjen mengurangi area tagangan air dan mengemulsi materi yang kotor atau sisa. Namun, beberapa deterjen rumah tangga memiliki kandungan desinfektan. Membilas objek sepenuhnya untuk membuang kotoran yang teremulsi.

3. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada lekukan atau lipatan. Gesekan mengeluarkan materi yang mengontaminasi sehingga mudah dibuang. Buka engsel dari alat-alat.

4. Bilas objek di air hangat.

5. Keringkan objek dan persiapkan untuk desinfeksi dan sterilisasi.

6. Sikat, sarung tangan dan bak tempat objek dibersihkan harus dianggap juga terkontaminasi dan harus dibersihkan.

Desinfeksi menggambarkan proses yang memusnahkan banyak atau semua mikroorganisme, dengan pengecualian spora bakteri, dari objek yang mati (Rutala, 1995). Biasanya dilakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernapasan). Contoh desinfektan adalah alcohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Zat-zat kimia ini dapat membakar dan toksik terhadap jarringan (Potter&Perry, 2005).

(57)

2.3.5 Pengendalian Penularan Infeksi

Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat untuk tetap waspada tentang jenis penularan dan cara untuk mengontrolya. Di rumah sakit, di rumah, maupun di fasilitas perawatan yang lebih luas, klien harus memiliki set peralatan perawatan pribadi. Menggunakan bedpan, urinal, Waskom mandi dan alat-alat makan secara bersama dapat dengan mudah menularkan infeksi. Thermometer gelas, sekalipun digunakan secara individu, memerlukan perawatan yang khusus. Karena mucus klien sendiri dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme, setelah setiap kali digunakan thermometer gelas dicuci dalam air sabun dan dikeringkan (Potter & Perry, 2005).

Tietjen (2004) mengatakan bahwa, sebagian besar infeksi ini dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia, secara relatif murah, yaitu :

1. Mentaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan,

2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikiuti dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi: dan

3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya dimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering terjadi.

(58)

   

dengan baju perawat. Tindakan salah yang sering dilakukan adalah mengengkat linen yang kotor langsung dengan tangan mengenai seragam. Harus menggunakan kantung linen yang tahan cairan atau linen yang kotor harus diangkat dengan posisi tangan jauh dari tubuh. Kerangjang cuci tidak boleh dibiarkan sampai sangat penuh (Potter&Perry, 2005).

Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan poengontrolan penularan infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas dibawah aliran air (Larson, 1995). Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organism yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi (Potter&Perry, 2005)

Menurut Potter&Perry (2005), langkah-langkah mencuci tangan yang benar yaitu :

1. Gunakan wastafel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun biasa atau sabun antimicrobial, lap tangan kertas atau pengering. 2. Lepaskan jam tanan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan

tangan. Hindari memakai cincin. Jika memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.

(59)

4. Inspeksi permukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan kutikula. Laporkan adanya lesi pada saat merawat klien yang sangat rentan.

5. Berdiri didepan wastafe. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh wastafel. (jika tangan menyentuh permukaan wastafel selama mencuci tangan, ulangi)

6. Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.

7. Hindari percikan air mengenai seragam. 8. Atur aliran air sehingga suhu hangat.

9. Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah daripada siku selama mencuci tangan.

10.Taruh sedikit sabun biasa atau sabun antimicrobial cair pada tanga, sabuni dengan seksama. Dapat digunakan butiran sabun siap pakai.

11.Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10-15 detik. Jalin jari-jari tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan gerakan sirkular paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme. 12.Jika daerah bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang

satunya dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih.

(60)

   

14.Ulangi langkah 10 sampai 12 namun tambah periode mencuci tangannya 1,2 dan 3 detik.

15.Keringkan tangan dengan seksama dari jari tangan ke pergelangan tangan dan lengan bawah dengan handuk kertas atau pengering.

16.Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.

17.Tutup air dengan kaki dan pedal lutut. Untuk menutup keran yang menggunakan tangan, pakai handuk kertas yang kering.

Larson (1995) merekomendasikan bahwa perawat mencuci tangan dalam situasi seperti berikut ini :

1. Jika tampak kotor

2. Sebelum dan setelah kontak dengan klien

3. Setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan tubuh, membrane mukosa, kulit yang tidak utuh, atau objek mati yang mungkin terkontaminasi)

4. Sebelum melakukan prosedur invasive seperti pemesangan kateter intravascular atau kateter menetap (dianjurkan menggunakan sabun antimikroba)

5. Setelah melepaskan sarung tangan.

(61)

2.3.6 Perlindungan Bagi Pekerja

Potter&Perry (2005) mengatakan bahwa perlindungan barier harus sudah tersedia bagi pekerja yang memasuki kamar isolasi. Kadang-kadang anteroom atau rak dorong khusus di gang menjadi tempat barang seperti gown, masker dan sarung tangan.

1. Gown

Alasan utama menggunakan gown adalah untuk mencegah pakaian menjadi kotor selama kontak dengan klien. Gown melindungi pekerja pelayanan kesehatan dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gown diwajibkan bila kontak dalam ruang isolasi. Terdapat gown yang dapat digunakan kembali dan ada yang sekali pakai. 2. Masker

Masker harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu, masker menghindarkan perawat menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien.

3. Sarung tangan

Sarung tangan mencegah penularan patogen melalui cara kontak langsung maupun tidak langsung.

4. Kacamata pelindung

(62)

   

perawat harus mengenakan kacamata pelindung, masker atau pelindung wajah (Garner, 1996).

5. Membungkus barang atau linen

Perawat menggunakan prosedur membungkus yang khusus untuk membuang barang yang terkontaminasi disekitar klien. Membungkus barang-barang mencegah terpaparnya individu tanpa sengaja pada barang-barang yang terkontaminasi dan mencegah kontaminasi terhadap lingkungan sekitar.

6. Memindahkan klien

Klien terinfeksi organisme yang menyebar melalui udara harus meninggalkan kamarnya hanya untuk tujuan yang esensial seperti prosedur diagnostic atau pembedahan. Sebelum memindahkan klien ke kursi roda atau brankar, perawat memberikan klien gown yang berfungsi sebagai jubah. Klien yang terinfeksi oleh organism yang ditularkan melalui saluran pernapasan harus juga memakai masker. Petugas yang memindahkan klien-klien ini harus juga memakai perlindungan barier yang diperlukan.

2.3.7 Prosedur Pemasangan Kateter Uretra Rumah Sakit Marta Friska Sesuai SK Direktur Utama No. 011/SK/MP/III/2008 tentang kebijakan keperawatan dengan tujuan sebagai acuan bagi perawat untuk pemasangan kateter uretra pada pasien sesuai prosedur/standar.

1. Persiapan alat folcy cateter sesuai ukuran , urin bag, sarung tangan, lubricant/jelly, cairan antiseptik steril, nierbeken, pinset anatomis, plester

(63)

2. Persiapan pasien: Perawat menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga.

3. Perawat mengatur posisi pasien wanita dorsal rekumben, pria posisi supine dan beri selimut mandi.

4. Perawat mencuci tangan dan kenakan sarung tangan steril.

5. Untuk wanita, dengan tangan noa dominan membuka labia minora sampai meatus uretra tampak, pria meregangkan meatus uretra dengan ibu jari dan telunjuk dan tangan dominan membersihkan meatus uretra dengan larutan yodium-povidin.

6. Perawat memberi pelumas pada ujung kateter (wanita), masukkan pelumas 5 cc dengan menggunakan spuit 5 cc, tunggu 3-5 menit.

7. Masukkan ujung kateter ke meatus uretra dengan tehnik aseptik; wanita 5 cm dan pria masukkan kateter sampai 20 cm (dewasa) dan 7,5 cm (anak). 8. Bila urin sudah keluar pertanda kateter sudah mencapai kandung kemih,

pegang kateter dengan kuat dan masukkan kateter 2-3 cm.

9. Isi balon kateter dengan cairan steril sesuai dengan kebutuhan yang tertera pada kateter tersebut (20-25 cc).

10.Hubungkan ujung kateter dengan urinary bag steril dan plester kateter pada paha bagian depan.

11.Lepaskan sarung tangan dan buang sampah dan urin ke wadah yang tersedia.

(64)

   

13.Periksa kandung kemih untuk memastikan tidak ada distensi. 14.Cuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.

15. Catat warna, kejernihan, jumlah, dan prosedur tindakan dalam catatan

(65)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rumah sakit merupakan salah salah satu tempat yang paling mungkin mendapat infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang mungkin resisten terhadap antibiotika. Masyarakat yang menerima pelayanan medis dan kesehatan, baik diruangan rumah sakit atau klinik, dihadapkan kepada resiko terinfeksi. Selain itu, petugas kesehatan yang melayani mereka dihadapkan kepada resiko. Infeksi rumah sakit (infeksi nosokomial) dan infeksi dari pekerjaan merupakan masalah yang penting di seluruh dunia dan terus meningkat. Infeksi nosokomial ini berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh, infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam dan berpindah ketempat baru yang kita dengan self infection, sementara infeksi eksogen disebabkan oleh mikroorganisme yang

berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien yang lainnya (Yasmin, 2006). Infeksi nosokomial bukan hanya terjadi pada pasien yang di rawat di rumah sakit tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah perawat yang dalam sehari-harinya kontak langsung dengan pasien.

(66)

   

terjadi setiap tahun walaupun telah dilakukan pendidikan berkelanjutan dan upaya pencegahan kecelakaan tersebut (Rogers, 1997).

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial tidak akan lepas dari upaya mengeliminasi mikroba pathogen. Klien yang sedang dalam proses asuhan keperawatan diruangan/bangsal perawatan berada dalam posisi rentan, dan mudah terinvasi oleh berbagai mikroba pathogen yang ada di sekitarnya. Penderita akan selalu terancam oleh adanya mikroba pathogen yang bersarang pada benda-benda disekitarnya, sebut saja berbagai peralatan medis dan non medis yang ada diruangan/bangsal pun dapat member kontribusi terjadinya infeksi nosokomial, termasuk pula halnya dengan petugas (Betty, 2012)

Perawat sangat berperan penting dalam pencegahan infeksi nosokomial, sebab perawat merupakan praktisi kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien dan bahan infeksi di ruang perawatan. Perawat mampu untuk mencegah penularan infeksi nosokomial dengan prosedur dan cara yang tepat. Contoh tindakan yang salah yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial adalah mengangkat lien yang kotor dan bersentuhan langsung dengan seragam, ada juga dikarenakan perawat yang menggunakan sarung tangan dan lupa menggantinya sewaktu memeriksa pasien ke pasien lainnya, atau dari satu bagian ke bagian lainnya. Dengan kejadian seperti diatas maka tindakan pencegahan infeksi harus diketahui oleh petugas rumah sakit dan dilaksanakan (Potter, 2005).

Center of Desease and Prevention (CDP, 1995) menetapkan dua bentuk

(67)

sebelumnya. Tindakan pencegahan transmisi yang dibagi dalam kategori udara, droplet dan kontak yang digunakan pada pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi dapat ditularkan melalui udara dan kontak. Di beberapa bagian, terutama bagian penyakit dalam terdapat banyak prosedur dan tindakan yang dilakukan baik untuk membantu diagnosa maupun monitor perjalanan penyakit dan terapi yang dapat menyebabkan pasien cukup rentan terkena infeksi nosokomial (Swearing, 2002).

Infeksi nosokomial dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Semmelweis, dan hingga saat ini tetap menjadi masalah yang cukup menyita perhatian. Sejak tahun 1950 infeksi nosokomial mulai diteliti dengan sungguh-sungguh di berbagai Negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa.

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lain (Azis, 2008)

(68)

   

yang didapat dari pasien sendiri, karena perpindahan kuman dari jaringan lain ke jaringan lainnya.(Jhonkarto,2009). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau tidak dalam masa inkubasi pada saat pasien masuk dirumah sakit. (Linda, 2004)

Infeksi nosokomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian (Ponce-de-Leon 1991).

Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu diantaranya adalah pada waktu penderita mulai dirawat dirumah sakit tidak didapatkan tanda klinik dari infeksi tersebut, pada waktu penderita mulai dirawat dirumah sakit/tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut, tanda-tanda klinik infeksi sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan, infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya, bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial (Siregar, 2004).

(69)

kateterisasi (Asher dkk,1986). Kerena hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap menggunakan kateter, pencegahan infeksi ISK merupakan faktor utama dalam mengurangi infeksi nosokomial.

Kozier (2010) menyebutkan kontra indikasi pemasangan kateter yaitu: adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan pendarahan pada uretra.Kateter urin adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007).

Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air kemih yang terdapat di dalamnya (Perry & Potter, 2000). Kateterisasi kandung kemih merupakan prosedur perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit dimana lebih dari 12% pasien yang ada di rumah sakit akan terpasang kateter (Rahmawati, 2008). Kateterisasi dilakukan pada seorang pasien jika diperlukan mengingat tindakan ini sering menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Brunner & Suddarth, 2000).

Gejala yang timbul pada infeksi saluran kemih akibat pemakaian kateter urin beragam tergantung kuman penyebab infeksi tersebut. Gejala yang umum terjadi adalah nyeri atau rasa terbakar saat berkemih dan frekuensi berkemih yang meningkat, rasa nyeri atau terbakar pada perut bagian bawah, dan demam.

(70)

   

harus didahului dengan tindakan aseptik (mematikan kuman utnuk mencegah infeksi) dan menjaga alat yang digunakan tetap steril (bebas dari kuman).

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulasi dalam bentuk nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulasi tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan yang dengan mudah atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003).

Tingkatan dalam tindakan adalah persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil dan merupakan tindakan tingkat pertama, Respon terpimpin (quided response) yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh dan merupakan indikator tindakan tingkat kedua, Mekanisme (mechanism) yaitu telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan, maka sudah mencapai tingkat 3, Adaptasi (adaptation) yaitu suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Pengukuran tindakan dapat secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoadmodjo, 2003).

(71)

rumah sakit di 14 negara yang berasal dari eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial dimana 10% diantaranya terjadi di Asia Tenggara. Semakin meningkatnya pasien dengan kasus immunocompromised merupakan penyebab banyaknya kematian akibat infeksi

nosokomial hingga 88.000 kasus setiap tahunnya. Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak perkembangan yang dilakukan untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak Negara dan di beberapa Negara. Kondisi meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial justru sangat memprihatinkan. Akibat dari terjadinya infeksi nosokomial justru memperpanjang waktu perawatan dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta penggunaan jasa di rumah sakit. Karena itulah di beberapa Negara-negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih diutakmakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien di rumah sakit dan fasilitas lainnya (Linda dkk, 2004).

Sementara itu data infeksi nosokomial di Indonesia sendiri dapat dilihat dari data surveilans yang dilakukan oleh departemen kesehatan RI tahun 2004 diperoleh data proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah dan jumlah pasien 1.527 orang dari jumlah pasien beresiko 160.417 (55,1%), sedangkan untuk rumah sakit swasta dengan jumlah pasien 991 pasien dari jumlah pasien beresiko 130.047 (35,7%). Untuk rumah sakit ABRI dengan jumlah pasien 254 pasien dari jumlah pasien beresiko 1.672 (9,1%).

(72)

   

angka kejadian infeksi nosokomial sebanyak 2590 pasien dari 282.388 (0,9%) pasien beresiko dan di rumah sakit swasta jumlah 182 pasien dari 18470 (1%) paien beresiko terkena infeksi nosokomial (Vandir, 2008).

Infeksi Saluran Kencing (ISK) merupakan jenis infeksi nosokomial yang paling sering terjadi sekitar 40% dari seluruh infeksi pada rumah sakit setiap tahunnya (Burke dan Zavasky 1999). Selain itu, dari beberapa penelitian dilaporkan sekitar 80% ISK nosokomial terjadi sesudah penggunaan instrument, terutama kateterisasi. Karena hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap menggunakan kateter, pencegahan infeksi ISK merupakan faktor utama dalam mengurangi infeksi nosokomial (Betty, 2012).

(73)

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian adalah bagaimanakah tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit umum Marta Friska P. Brayan Medan

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit umum Marta Friska P. Brayan Medan.

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Rumah sakit

Agar dapat dipakai sebagai bahan informasi dan bahan masukan bagi Rumah sakit umum Marta Friska Pulo Brayan Medan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya perawat agar tidak terjadi kesalahan praktek yang menimbulkan terjadinya infeksi nosokomial.

2. Bagi perawat

Sebagai masukan dan tolak ukur dalam merubah tindakan agar infeksi nosokomial dapat ditekan/ditanggulangi.

3. Bagi pasien

(74)

   

4. Bagi institusi pendidikan

Dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan atau refrensi di perpustakaan Universitas Sumatera Utara fakultas Keperawatan.

5. Bagi peneliti

(75)

Program Studi : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2016

Abstrak

Infeksi nosokomial adalah pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit yang telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.Dalam meningkatkan upaya pencegahan infeksi nosokomial maka diperlukan tindakan perawat yang mendukung menuju perubahan yang lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit marta friska pulo brayan medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Jumlah sampel 70 orang yang diambil dengan teknik purposive sampling.Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016. Penelitian ini menggunakan lembar observasi. Hasil yang diperoleh dianalisa dalam bentuk distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di Rumah Sakit Marta Friska Pulo Brayan Medan paling banyak baik sebanyak 54 orang (77,1%). Saran penelitian ini adalah dengan pengetahuan yang sudah baik dan fasilitas yang memadai diharapkan kepada perawat agar lebih meningkatkan tindakan pencegahan infeksi nosokomial dikalangan tenaga kesehatan.

Kata Kunci: Tindakan Perawat, Infeksi Nosokomial, Pemasangan Kateter Urin

(76)
(77)

TAHUN 2015

SKRIPSI

Oleh :

Frana Citra Simanungkalit 141121110

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(78)
(79)
(80)

iii

Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014”, untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Pada penyelesaian proposal ini peneliti mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti sehingga proposal ini terselesaikan.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat :

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keeperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS selaku pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp., MNS selaku pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp., MNS selaku pembantu Dekan III Fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Salbiah, S.Kp., M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, bimbingan, masukan dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan proposal ini dapat diselesaikan.

(81)

9. Direktur Rumah Sakit Martha Friska Tempat peneliti meneliti.

10. Buat teman-teman S1 Keperawatan Ekstensi angkatan 2014 yang memberikan masukan dan semangat selama pengerjaan proposal.

Peneliti menyadari dalam pembuatan proposal ini masih ada yang kurang sempurna, maka dari itu peneliti menerima kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan proposal ini.

Medan, Maret 2016

Penulis,

Frana Citra Simanungkalit

(82)

v

2.1.1 Pengertia infeksi nosokomial ... ... 11

2.1.2 Macam-macam infeksi nosokomial ... ... 11

2.1.3 Dampak infeksi nosokomial ... ... 12

2.1.4 Penyebab infeksi nosokomial ... ... 13

2.1.5 Batasan infeksi nosokomial ... ... 15

2.1.6 Cara penularan infeksi nosokomial ... ... 16

2.1.7 Pengelolaan infeksi nosokomial ... ... 17

2.1.8 Pengendalian, dan pencegahan infeksi nosokomial ... ... 18

2.2 Pemasangan kateter urin ... ... 21

2.2.1 Defenisi ... ... 21

2.2.2 ISK pada pemasangan kateter ... ... 22

2.2.3 Indikasi kateterisasi ... ... 23

2.3 Tindakan ... ... 23

2.3.1 Defenisi ... ... 23

2.3.2 Prinsip pelaksanaan pencegahan infeksi ... ... 24

2.3.3 Pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi ... ... 24

2.3.4 Kontrol atau eliminasi agens infeksius ... ... 27

2.3.5 Kontrol atau eliminasi reservoir ... ... 29

2.3.6 Kontrol terhadap portal keluar ... ... 31

2.3.7 kontrol terhadap portal masuk ... ... 32

2.3.8 Pengendalian penularan infeksi ... ... 32

2.3.9 Perlindungan terhadap penjamu yang rentan ... ... 36

2.3.10 Perlindungan bagi pekerja ... ... 36

Bab 3 Kerangka Penelitian ... ... 38

3.1 Kerangka penelitian ... ... 38

3.2 Defenisi konseptual ... ... 38

Gambar

Tabel 3.3. Defenisi Operasional tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Tahun 2015
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama bekerja

Referensi

Dokumen terkait

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes

Q3. Packet Tracer 7.0 introduce user authentication into Packet Tracer. NetAcad user are required to sign in when first time launch the Packet Tracer. Please ask your instructor

Hasil titer antibodi pada perlakuan C yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,25% dan perlakuan E yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,75% meningkat tinggi

Sony Kurniawan 091 BANYUWANGI... SHOHIBUL FARIZ

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) bentuk kesalahan penggunaan bahasa Indonesia yang meliputi kesalahan ejaan, diksi, kalimat, dan paragraf;

Penurunan kadar Fe dan Mn juga dapat menggunakan media karbon aktif dan zeolit. seperti yang telah uji oleh Hardini dan

Dengan ini menyatakan bahwa Penerima Tunjangan Profesi Guru PNSD di Unit Kerja yang saya pimpin benar-benar melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun

Hal ini juga sama dengan nilai efficiency of conversion of feed ingested (ECI), bahwa tanpa kejut panas berbeda nyata dengan yang diberi kejut panas. Analisis indeks