• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2 (Studi Kasus Pada Mahasiswi S2 Psikologi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2 (Studi Kasus Pada Mahasiswi S2 Psikologi)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2 (Studi Kasus Pada Mahasiswi S2 Psikologi)

Abstract

Readiness married a ready state, ready to accept responsibility as a husband or wife, ready to intercourse, ready set and ready family child care. Women receive greater pressure to get married than men after a certain age, usually around the age of 30 years. This research is a case study which aims to describe the dynamics of readiness to marry educated women S2. The sample in this study is three (3) subjects with backgrounds are studying Psychology and S2 are female. The results of the study showed no similarity in all three subjects in readiness to marry, namely: tolerance, willing intimate relationships, affection and willing to share with others. These three themes have in common a high intensity. Background owned by each of the three subjects with the pair making the subject has an emotional maturity level is different.

Kata kunci : saham, nilai intrinsik, proyeksi harga wajar

Sri Nugroho Jati, M.Psi, Psi

Universitas Muhammadiyah Pontianak

Latar Belakang

Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami ataupun istri, siap terhadap hubungan seksual, siap mengatur keluarga dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller, 1985). Jika seseorang telah memiliki kesiapan maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami-istri. Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan lingkungan untuk menikah (Hurlock, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa mengalaminya.

(2)

dalam agama telah dapat dipenuhi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh individu yang bersangkutan (Walgito, 2002). Menurut Jacoby dan Bernard (dalam Shavreni, 2013) wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun. Hurlock (1999) mengatakan pria yang melajang tidak mengalami masalah seperti yang dialami wanita yang belum menikah karena pria dapat menikah kapan saja. Pria juga mudah melakukan adaptasi dengan kehidupan melajang dibandingkan dengan wanita.

Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Shavreni, 2013) pun menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah dibandingkan dengan pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang istri dan ibu. Perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan untuk memilih antara melanjutkan pendidikan atau menikah. Dan justru banyak dari mereka yang pada akhirnya memilih untuk menikah dari pada mewujudkan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Seperti yang sering kita lihat, masya-rakat Indonesia selalu memberikan tem-pat yang sangat tinggi bagi perempuan-perempuan yang sukses di rumah tang-ganya. Dia diharapkan dapat menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan istri yang sangat patuh dan bisa

membaha-giakan suami. Masyarakat juga berpan-dangan sinis bila perempuan dalam usia yang sudah kepala tiga masih berstatus single. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Anne Wilson Schaef dalam bukunya Women’s Reality: An emerging Female System in A White Society. Menurut Schaef, “the perfect marriage” atau perkawinan yang sempurna adalah dambaan bagi semua perempuan . (Shavreni, 2013)

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, fenomena yang terjadi sekarang ini justru wanita dewasa dini memilih untuk menunda pernikahan dan lebih memilih melanjutkan pendidikan tinggi serta selanjutnya berkarir. Hal ini membuat pertanyaan yang menarik tentang kesiapan menikah pada wanita dewasa dini yang berpendidikan tinggi yang merupakan satu studi kasus pada mahasiswa S2.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dilihat bahwa terdapat wanita dewasa dini yang belum menikah dan melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi, sehingga dapat dirumuskan identifikasi masalah penelitian ini. Sehingga pertanyaan yang diajukan adalah:

1. Bagaimana kesiapan menikah wanita berpendidikan tinggi (S2) ? 2. Faktor yang mempengaruhi wanita

(3)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian studi kasus ini adalah memahami dinamika kesiapan menikah pada wanita berpendidikan S2.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharap-kan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi, terutama psikologi perkem-bangan dan psikologi wanita mengenai kesiapan menikah pada dewasa awal terutama pada wanita yang sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi S2.

Manfaat Praktis: Penelitian ini diharap-kan dapat memberidiharap-kan informasi pada dewasa awal terutama wanita yang masih belum menikah mengenai hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah dan agar dapat lebih memperhatikan salah satu tugas perkembangan yang belum diselesaikan yaitu menikah. Selain itu, hasil penelitian kualitatif ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian sebelumnya.

Tinjauan Teori Kesiapan Menikah

Pengertian Kesiapan Menikah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indo-nesia (2002), nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawin-an, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Menurut Duvall & Miller (1985) menikah merupa-kan hubungan antara pria dan wanita

yang melibatkan hubungan seksual, kekuasaan dalam hal mengasuh anak dan, membentuk tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Menikah adalah menyediakan keintiman, komitmen, per-sahabatan, perasaan, memenuhi kebu-tuhan seksual, kerjasama, kesempatan untuk pertumbuhan emosional sebagai sebuah sumber baru dari identitas dan

self esteem(Papalia, 2004).

Berdasarkan pengertian kesiapan dan menikah, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menikah adalah keadaan siap dalam berhubungan dengan seorang pria atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga dan mengasuh anak.

Aspek-Aspek Menikah

vKesiapan Pribadi (Personal)

∑ Kematangan Emosi ∑ Kesiapan Usia

∑ Kematangan sosial,. ∑ Kesehatan Emosional ∑ Kesiapan Model Peran

v Kesiapan Situasi (Circumstantial)

∑ Kesiapan Finansial ∑ Kesiapan Waktu

Faktor-Faktor Kesiapan Menikah

Walgito (2000) mengatakan bahwa kesiapan memasuki dunia perkawinan dipengaruhi oleh:

Faktor fisiologis: Faktor fisiologis berkaitan dengan 3 hal yaitu segi kesehatan, keturunan, dan sexual fitness.

(4)

∑ Faktor Agama dan Kepercayaan ∑ Faktor Psikologis

Dewasa Awal

Pengertian

Menurut Elizabeth B. Hurlock, Masa Dewasa Awal (Young Adult Hood) adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan kete-gangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.

Menurut Piaget, pada tahap Masa Dewasa Awal ini, para dewasa muda sedang berada dalam tahap kognitif

postformal thought. Cara pemikiran orang dewasa biasanya sudah fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistik. Bi-sanya ditandai dengan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian, keti-dakstabilan, sesuatu yang kontradiktif, ketidaksempurnaan, dan berkompromi.

Perkembangan Fisik Dewasa Muda Awal

vDewasa Muda sebagai Masa Transisi

Transisi Fisik: Dari pertumbuhan fisik, menurut Santrock (1999) diketahui bahwa dewasa muda sedang mengalami peralihan dari masa remaja untuk memasuki masa tua.

Transisi Intelektual: Menurut anggapan Piaget (dalam Grain, 1992; Miller, 1993; Santrock, 1999; Papalia, Olds, & Feld-man, 1998), kapasitas kognitif dewasa muda

tergolong masa operational formal,

bahkan kadang-kadang mencapai masa post-operasi formal (Turner & Helms, 1995). Taraf ini menyebab-kan, dewasa muda mampu meme-cahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional.

vTransisi Peran Sosial

Di dalam kehidupan rumah tangga yang baru, masing-masing pihak baik laki-laki maupun wanita dewasa, memi-liki peran ganda, yakni sebagai individu yang bekerja di lembaga pekerjaan ataupun sebagai ayah atau ibu bagi anak-anaknya. Sebagai anggota masya-rakat, mereka pun terlibat dalam akti-vitas-aktivitas sosial, misalnya dalam kegiatan pen-didikan kesejahteraan keluarga (PKK) dan pengurus RT/RW.

Aspek-aspek Perkembangan Fisik

Aspek-aspek perkembangan fisik meliputi:

∑ Kekuatan dan Energi ∑ Ketekunan

∑ Motivasi

Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Muda

(5)

memben-tuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan tetap harus memperhatikan orang tua yang makin tua.

Selain itu, dewasa muda mulai membentuk kehidupan keluarga dengan pasangan hidupnya, yang telah dibina sejak masa remaja/masa sebelumnya. Havighurst (Turner dan Helms, 1995) mengemukakan tugas-tugas perkem-bangan dewasa muda, di antaranya (a) mencari dan menemukan calon pasang-an hidup, (b) membina kehiduppasang-an rumah tangga, (c) meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga, dan (d) menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Kesiapan Menikah Pada Wanita yang Berpendidikan Tinggi (S2)

Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Seba-gian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan teman-teman untuk menikah (Hurlock, 1999). Selain sebagai peme-nuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga dapat memenuhi kebutuhan psiko-logis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan religi seseorang (Walgito, 2002). Menu-rut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menikah merupakan tugas perkembang-an yperkembang-ang muncul pada masa dewasa awal.

Jacoby dan Bernard (dalam Setyowati & Riyono, 2003) mengatakan bahwa wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria umumnya sekitar usia 30 tahun. Menurut Hurlock (1999) bahwa saat berusia dua-puluhan tahun wanita

yang belum menikah tujuan hidupnya adalah perkawinan, tetapi pada saat ia belum juga menikah pada waktu usianya mencapai tiga puluh tahun, maka ia cenderung untuk menukar tujuan hidup-nya ke arah nilai, tujuan dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan. Kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kese-hatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara yang termasuk dalam kesiapan situasi adalah kesiapan finansial dan kesiapan waktu.

(6)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dengan pendekatan studi kasus dan bertujuan untuk melihat kesiapan menikah wanita yang berpen-didikan tinggi dan sedang menempuh S2.

Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : subjek kasus dan subjek partisipan. Adapun karakteristik respon-den dalam penelitian ini adalah:

∑ Dewasa dini dengan kisaran usia 24 sampai 30 tahun.

∑ Berjenis kelamin wanita ∑ Sedang menempuh S2 ∑ belum pernah menikah

Lokasi & Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sebuah universitas swasta di Semarang yang memiliki program pascasarjana. Tempat disesuaikan dengan kemauan respon-den, dengan syarat responden merasa aman dan nyaman dengan keberadaan-nya dalam mengunkapkan hal-hal mengenai dirinya.

Waktu penelitian dilakukan pada hari yang berbeda pada masing-masing subyek. Pada subyek I waktu penelitia dilakukan pada tanggal 1 Juli 2010 di rumah subyek, pada pukul 14.30 WIB dan berlangsung selama 45 menit dan tanggal 3 Juli 2010 pukul 10.30 WIB waktu untuk wawancara selama 20 menit. Subyek II waktu penelitian di laksanakan pada tanggal 9 Juli 2010 di kos subyek, pada pukul 14.00 WIB dan wawancara berlangsung selama 1 jam. Pada subyek III wawancara dilakukan

pada tanggal 4 Juli 2010 di rumah sub-yek, pada pukul 13.00 WIB dan wawan-cara berlangsung selama 60 menit.

Teknik Pengukuran

Wawancara

Panduan wawancara dalam penelitian terdiri dari tujuh topik pertanyaan, antara lain :

∑ kematangan emosi ∑ usia

∑ kematangan sosial ∑ kesehatan emosional ∑ kesiapan model peran ∑ finansial

∑ waktu

Panduan wawancara untuk penelitian ini, dapat dilihat pada bagian lampiran penelitian.

Observasi

Selain menggunakan metode wawan-cara, peneliti menggunakan metode observasi untuk melakukan triangulasi di lapangan penelitian. Jenis observasi dalam penelitian ini adalah observasi partisipan, di mana orang yang menga-dakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan observee. ∑ Analisis Data

(7)

kontinyu; (c) memberi nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

∑ Keterandalan

Berdasakan teknik-teknik pemeriksan keabsahan data tersebut, dalam peneli-tian ini peneliti menggunakan teknik ketekunan pengamatan, serta kecukup-an referensial dalam trikecukup-angulasi data. Moleong (2007: 329) mengatakan bah-wa ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

Triangulasi adalah teknik pemerik-saan keabsahan data yang memanfaat-kan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau seba-gai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007).

∑ Prosedur Penelitian o Tahap Awal Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan pene-litian sebagai berikut: (a) Mengumpul-kan informasi dan teori yang berhu-bungan dengan kesiapan menikah, (b) Mencari responden penelitian, (c) Menyusun pedoman wawancara, (d) Persiapan untuk pengumpulan data, (e) Membangun rapport

o Tahap Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini diawali dengan perke-nalan serta memberi penjelasan pada responden mengenai tujuan

peneli-tian. Peneliti juga menjelaskan mengenai prosedur dan kerahasiaan data penelitian, kemudia wawancara dilakukan di tempat yang disepakati oleh peneliti dan responden penelitian. Proses wawancara akan direkam dengan perekam dari awal hingga akhir wawancara

o Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

o Prosedur Analisis Data

Beberapa tahapan dalam meng-analisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu: (1) Koding, (2) Organisasi Data, (3) Analisis Te-matik, (4) Tahapan Interpretasi Anali-sis, (5) Pengujian Terhadap Dugaan.

Hasil Penelitian

Analisa Data Subjek I

Menikah bagi subyek adalah salah satu hal penting yang nantinya akan dijalani dengan pasangan hidupnya. Tetapi untuk saat ini, subyek lebih me-musatkan diri pada pendidikan, apalagi mengingat tidak sedikit pengorbanan materi dan mental yang harus dia persiapkan. Apalagi sebelumnya subyek pernah mengalami masalah yang cukup berat dengan lawan jenis.

(8)

teman salah satunya pacar subyek. Proses menjalin hubungan sudah 3 tahun berjalan akan tetapi putus di tengah jalan. Subyek semasa menjalani hubungan dengan pasangan dan teman dapat cukup baik dan bisa memberikan kasih sayang, hal ini dikatakan kalau subyek berusaha menjalani hubungan secara baik dalam suka dan duka. Ketika hubungan dengan pasangan mulai kurang baik dan putus subyek masih bisa merasakan perasaan sayang belum hilang.

Perhatian pada pasangan diberikan subyek melalui komunikasi ketika pa-sangan dalam masalah. Subyek menco-ba memberi masukan dan selalu mengingatkan untuk tetap ibadah dan berdoa agar hati bisa tenang. Sebaliknya ketika subyek mengalami masalah, biasanya pasangan subyek juga mena-nyakan masalah subyek kemudian mencari solusi bersama. Biasanya subyek kurang bisa menerima saran pada orang yang dianggapnya belum berpengalaman dan kondisi subyek masih belum reda emosinya. Terkadang muncul sikap subyek yang semaunya sendiri kalau ternyata lingkungan tidak menunjukkan contoh yang baik buat subyek.

Teman-teman subyek memberikan dorongan ketika subyek dalam masalah. Hal ini karena subyek juga termasuk orang yang suka memberikan perhatian dan menolong pada orang sekitarnya dengan tidak menghindar ketika teman ada masalah, dengan memberikan saran dan solusi pada masalah yang dialami orang lain. Perhatian pada orang lain

membuat subyek banyak memiliki teman dan mudah bersosialisasi di lingkungan rumah maupun kampus.

Ketika subyek dihadapkan pada permasalahan subyek banyak diam dan menyendiri untuk bisa menyelesaikan-nya, baru setelah beberapa waktu subyek mulai mencari penyelesaian dengan yang bersangkutan. Sikap diam subyek saat menghadapi masalah terkadang membawa dampak yang kurang baik, subyek menjadi mudah depresi, karena mencoba menahan rasa tertekannya dan akhirnya sakit.

Kemampuan subyek dalam mengha-dapi kesukaran secara konstruktif mun-cul saat subyek mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan memilih untuk melanjutkan kuliah jenjang S2 bukan tanpa alasan dan pertimbangan. Subyek merasa sudah tidak kondusif lagi suasana kerja dan bagi subyek banyak hal yang bertentangan dengan hati nuraninya. Perusahaan tempat subyek bekerja tidak lagi proposional dalam memandang tenaga kerja. Di satu sisi subyek dituntut untuk bertanggung jawab pada perusahaan atas posisi yang di dudukinya, disatu sisi subyek harus juga memperhatikan nasib karyawan di bawahnya. Karena tidak mampu lagi menghadapi sikap perusahaan yang arogan, subyek memilih untuk keluar kerja.

(9)

keada-an sakit dkeada-an diopname di rumah sakit. Permasalahan yang cukup berat harus subyek hadapi dalam waktu yang hampir bersamaan. Beberapa waktu subyek sempat mengalami stress kondisi badannya yang waktu itu sakit sempat melemah bahkan berat badannya menurun drastis.

Selama beberapa waktu subyek mencoba untuk menenangkan diri dan mencari solusi permasalahan dengan banyak berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Dukungan keluarga saat subyek mengutarakan untuk melanjut-kan S2 sangat baik. Apalagi keluarga sudah bersedia membantu membiayai kuliahnya. Hal ini menjadi penyemangat bagi subyek untuk terus bisa lebih optimis dan berfikir positif bagi masa depannya.

Setelah melewati masa-masa yang tidak menyenangkan dalam pengalaman menjalin hubungan serius dengan lawan jenis subyek memutuskan untuk menja-lani kehidupan sendiri. Saat menjamenja-lani kesendirian, subyek lebih bisa tenang dan fokus pada pendidikannya. Walau-pun tidak menutupi kemungkinan juga masih mau membuka diri bagi orang lain dan nantinya menikah.

Kesiapan menikah bagi subyek tidak melihat harus ditentukan usia. Yang lebih diutamakan adalah kesiapan mental dan finansialnya. Subyek sendiri berkeinginan menikah di usia 28 tahun, dengan pertiimbangan telah lulus S2, memperoleh pekerjaan dan kemudian mencari pasangan. Apalagi dalam keluarga subyek usia pernikahan tidak dipermasalahkan, karena dalam

keluar-ganya sudah bisa brpikir lebih ke depan dalam hal pendidikan.

Intensitas tema

Tabel 1

Intensitas Tema Subyek I

Aspek-Aspek Kesiapan Menikah Pada Wanita yang Berpendidikan S2

Matrik Antar Tema Tabel 2

Matriks Antar Tema Subyek I

Analisa Data Subyek II

Saat dihadapkan pada pilihan meni-kah atau melanjutkan S2, subyek lang-sung memutuskan untuk kuliah lagi. Alasan subyek karena saat itu subyek belum benar-benar serius berpacaran dan masih pendekatan. Akan tetapi dukungan orang tua terutama ayah membuat subyek semakin semangat untuk kuliah lagi.

(10)

kema-tangan secara emosi terutama mental dalam menghadapi permasalahan dalam pernikahan. Subyek menjalani hubungan dengan pasangan selayaknya pasangan lain, bedanya hanya subyek tidak bisa menentukan untuk tiap hari atau bahkan seminggu sekali bisa ketemu karena jarak yang lumayan jauh. Namun, rasa sayang subyek tidak berkurang dan bisa menerima keterbatasan itu.

Saat menghadapi masalah yang menyangkut hubungan psibadi kedua-nya, subyek berusaha menyelesaikan secara bersama-sama. Kadang-kadang sikap posesif, curiga juga muncul dan menjadi pemicu kesalahpahaman. Pada awal hubungan subyek cenderung posesif, begitupula pasangannya. Tapi seiring perjalanan sikap posesif mulai berkurang karena masing-masing mera-sa tidak nyaman dengan kondisi mera-saling salah paham dan curiga.

Kekhawatiran subyek juga muncul saat pasangan mengalami masalah ber-usaha untuk membantu walaupun komu-nikasi terbatas hanya dengan telepon dan sms. Subyek sendiri cenderung orang yang agak tertutup untuk masa-lah-masalah pribadi karena takut bulkan konflik. Hal ini terkadang menim-bulkan emosi pacar subyek, karena tidak langsung menyampaikannya akan tetapi terkadang dipendam dulu oleh subyek.

Pada hal-hal yang bisa membuat stress dan frustasi, subyek cenderung melampiaskannya dengan menangis, curhat dengan teman apalagi kalau menyangkut hubungan psibadi dan ini berlangsung beberapa waktu. Subyek termasuk orang yang mudah panik bila

mendapat kegagalan, rasa bersalah dan penuh kekhawatiran. Kondisi ini bisa mempengaruhi perilaku dan motivasi belajar subyek.

Secara sosialisasi subyek termasuk orang yang mudah bergaul dengan sia-pa saja, memiliki sahabat dan ling-kungan teman yang baik. Begitupula hubungan lawan jenis baik itu pasangan atau teman laki-lakinya. Karena pada dasarnya subyek sangat senang ber-gaul, tapi juga menginginkan menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki. Walaupun pernah sebelumnya menjalani kesendirian tanpa pasangan, subyek tetap memiliki hubungan dekat dengan seorang teman laki-laki yang usianya lebih tua 3 tahun diatasnya dan subyek merasa nyaman dengan kesendrian saat itu.

Usia subyek saat ini 24 tahun dan sudah memasuki tahap usia dewasa awal kalau dalam tahapan perkem-bangan sudah memasuki tahapan untuk mulai mempersiapkan pernikahan. Sub-yek sendiri menginginkan menikah di usia 30 tahun ke atas. Alasannya karena subyek ingin benar-benar mempersi-apkan diri baik secara intelektual, mental dan materi. Target yang subyek ingin raih saat ini adalah lulus kuliah lalu bekerja baru kemudian menikah.

(11)

akhirnya subyek memiliki mama serta adik tiri.

Kecukupan Finansial bagi subyek sangat perlu dipersiapkan sebelum menikah, karena memiliki penghasilan sendiri dengan bekal pendidikan S2 yang dimilikinya kelak membuat subyek memiliki harapan bisa mencukupi kebutuhan keluarganya bersama-sama pasangan hidupnya kelak.

Intensitas tema

Tabel 3 Intensitas Tema Subyek II

Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2

Matrik Antar Tema

Tabel 4

Matriks Antar Tema Subyek II

Subyek III Analisa Data III

Dilihat dari usia subyek sudah matang secara emosi, dalam arti sudah cukup mengalami pengalaman hidup baik suka

maupun duka. Ketika menjalani hubung-an denghubung-an pashubung-anghubung-an subyek juga bisa merespon dengan baik permasalahan yang pernah dihadapi, karena subyek bisa menerima kekurangan pasangan. Hanya saja respon positif subyek tidak diimbangi dengan respon positif keluarganya terhadap pasangannya. Subyek saat itu juga sudah berusaha untuk menerima kenyataan harus berpisah jauh dan berhubungan jarak jauh, komunikasi menjadi terbatas, sampai dengan perbedaan agama. Akan tetapi pada akhirnya keduanya harus putus jalinan, dan subyek saat meng-hadapi kegagalan cukup bisa membe-rikan sikap yang positif, tidak mau berlarut-larut dan mulai berpikir untuk melakukan aktifitas yang bisa memoti-vasinya dengan bekerja dan kuliah.

Subyek telah menjalin hubungan beberapa kali dan gagal juga. Saat menjalani kesendiriannya sekarang subyek lebih banyak melakukan aktifitas kuliah dan bekerja. Disini nampak bahwa subyek merasa tidak keberatan dengan kesendiriannya sekarang, karena dalam dirinya optimis kelak akan mendapatkan jodoh yang sesuai.

(12)

Kemapanan dari segi finansial juga perlu menurut subyek. Tentu saja karena subyek sendiri merasa untuk bisa mera-wat dan memberikan pendidikan pada anak-anaknya nanti kecukupan secara finansial sangat penting dan subyek nantinya menginginkan pasangan yang juga siap secara mental dan finansial.

Intensitas tema

Tabel 5

Intensitas Tema Subyek III

Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2

Matrik Antar Tema

Tabel 6

Matriks Antar Tema Subyek III

Pembahasan

Intensitas tema antar kasus

Berdasarkan pada analisis yang telah dilakukan terhadap ketiga subyek dite-mukan beberapa tema yang sama dan memiliki intensitas yang cukup tinggi. Meskipun terdapat sedikit perbedaan

tetapi pada umumnya kesiapan menikah yang terjadi pada ketiga subyek muncul karena alasan yang sama. Namun ada tema yang berbeda, hal itu disebabkan oleh karena masalah pribadi dalam diri seseorang yang berbeda dari yang lainnya.

Tabel 7

Tema-Tema Kesiapan Menikah Pada Wanita yang Berpendidikan S2

Tabel 8

Faktor-faktor Kesiapan Menikah Pada Wanita Berpendidikan S2

Keterangan :

+ : kecil ++ : sedang +++ : besar

(13)

keadaan sosial ekonomi. Sebelum memasuki dunia pernikahan, seorang individu memerlukan suatu kesiapan agar dapat menuju suatu pernikahan yang bahagia. Oleh karena itu, kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk dapat menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik. (Blood).

Ada kesamaan tema pada ketiga subyek dalam kesiapan menikah yaitu: toleransi, bersedia membina hubungan intim, kasih sayang dan bersedia berbagi dengan orang lain. Ketiga tema tersebut memiliki kesamaan intensitas tinggi. Pada intensitas toleransi yang tinggi menunjukkan bahwa subyek memiliki kemampuan untuk bisa menerima keku-rangan dan kelebihan orang lain, mampu memberi membangun dan memperta-hankan hubungan pribadi, mampu mengerti perasaan orang lain (empati), dan sanggup membuat komitmen jangka panjang dimana kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Harapan yang realistik dapat membuat seseorang mampu menerima dirinya sendiri dan mampu menerima orang lain apa adanya. Kehidupan pernikahan yang memiliki pasangan yang matang secara emosi dan memiliki harapan-harapan pernikahan yang realistik akan lebih mudah dipertahankan.

Intensitas yang tinggi pada tema kasih sayang pada ketiga subyek sesuai dengan yang dikatakan Murria (1992) menunujukkan individu yang matang dalam arti mampu memberikan meng-ekspresikan rasa kasih sayang yang diberikan orang lain. Hal ini juga menjadi salah satu wujud kematangan emosi,

individu yang belum memiliki kema-tangan emosi akan bersikap egosentris hanya mau menerima kasih sayang orang lain tetapi tidak mau mengasihi orang lain.

Intensitas yang tinggi pada ketiga subyek menunjukkan bahwa dalam tahapan usia subyek sudah memiliki siap dengan komitmen membina rumah tangga. Membentuk suatu hubungan dan memilih pasangan yang bijak merupakan langkah pertama yang dilakukan menuju suatu pernikahan yang bahagia. Walaupun dalam kenyataannya ketiga subyek belum menemukan yang benar-benar sesuai dengan yang diha-rapkan dan masih menemui kegagalan. Hal ini dikarenakan suatu pernikahan selain mental dan fisik juga melibatkan banyak aspek. (Blood 1988)

Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Suryani, 2005) menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk meni-kah dibanding pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang ibu dan istri. Penundaan pernikahan bisa terjadi karenan wanita dewasa mempertim-bangkan karir, pendidikan dan finansial sebagai prasyarat dalam melakukan pernikahan. Wanita berpendidikan tinggi lebih memilih untuk menata karir dan pendidikan terlebih dahulu.

(14)

lagi. Seperti disampaikan bahwa Masa perkembangan dewasa muda (young adulthood] ditandai dengan keinginan mengaktualisasikan segala ide-pemikir-an yide-pemikir-ang dimatide-pemikir-angkide-pemikir-an selama mengikuti pendidikan tinggi (universitas/akademi). Mereka bersemangat untuk meraih ting-kat kehidupan ekonomi yang tinggi (mapan).

Pada kesiapan menghadapi masalah kehidupan ketiga subyek memiliki inten-sitas yang berbeda-beda. Pada subyek III memiliki intensitas paling tinggi dibanding dengan subyek I dan subyek II. Kesiapan menghadapi masalah kehi-dupan diantaranya kemampuan untuk menghadapi peristiwa secara positif, memiliki kemampuan dalam menghadapi peristiwa yang menimbulkan frustasi, memiliki kemampuan mengatasi kesu-karan secara konstruktif. Pada subyek III saat menghadapi permasalahan yang sempat membuat subyek merasa stress karena kegagalan menjalin hubungan dengan pasangan subyek mampu mengatasinya dengan berpikir positif dan lebih mengalihkan pada hal-hal yang positif. Sehingga subyek III bisa cepat mengambil keputusan untuk tidak larut dalam kesedihan dan mencoba membangun keyakinan dengan keya-kinan bahwa akan menemukan jodoh yang tepat.

Sedangkan pada subyek I dan subyek II dalam reaksinya menghadapi masalah kehidupan yang menimbulkan frustasi akibat kegagalan dengan reaksi yang hampir sama walaupun dalam situasi dan latar belakang yang berbeda, yaitu lebih pada mencari dukungan pada

teman, menangis dan sempat menga-lami kesedihan yang cukup mendalam.

Dalam menjalani kesendirian ketiga subyek mengaku menjalaninya dengan lebih santai. Saat ini hanya subyek II yang memiliki pasangan sedangkan subyek I dan subyek III belum beren-cana untuk mencari pasangan lagi.

Single life membuat individu memiliki waktu luang untuk diri sendiri agar mandiri dan waktu bersama orang lain serta keluarga. Dalam penelitian ini waktu luang digunakan subyek untuk lebih memusatkan diri pada kuliah S2 nya, menjalin hubungan pertemanan lebih luas dan melakukan aktifitas-aktifitas sosial lainnya.

(15)

Matriks Antar Tema

Tabel 9

Matrik Antar Tema: Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang sedang S2

Keterangan :

KE : Kematangan Emosi TR : Toleransi

BHI : Bersedia membina hubungan Intim KS : Kasih sayang pada orang lain BG : Bersedia berbagi dengan orang lain BTS : Menerima keterbatasan orang lain TJ : Siap bertanggungjawab

MK : Siap menghadapi masalah kehidupan MD : Mandiri

= X mempengaruhi Y

= Y mempengaruhi X

= X dan Y saling

mempengaruhi

Tabel 10

Matrik Antar Kasus: Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang sedang S2

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah pada wanita yang memiliki dan sedang melanjutkan S2 bahwa pada

dasarnya perlu mempersiapkan diri se-cara mental, spiritual dan juga finansial. Oleh karena itu perlu diperhatikan juga faktor kematangan emosi dan kesiapan untuk menghadapi permasalahan dalam memasuki jenjang pendidikan. Subyek yang ada dalam penelitian ini memiliki kesamaan dalam kematangan emosi walaupun dengan latar belakang perma-salahan yang berbeda akan tetapi pada penentuan penyelesaian masalah memi-liki cara yang berlainan.

Saran

Melihat hasil penelitian yang diper-oleh, maka peneliti memiliki beberapa saran:

Saran Metodologis

∑ Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, disaarankan untuk peneliti selan-jutnya tidak hanya menggunakan me-tode wawancara dan observasi tapi bisa menggunakan asesmen lainnya sebagai tambahan dokumen pene-litian.

∑ Perlu uji keabsahan data untuk pene-litian lanjutan dengan menggunakan alat bantu berupa pengumpulan data informasi tambahan dari pihak-pihak lain yang terkait seperti keluarga, teman, serta dokumentasi pribadi seperti catatan harian subyek, agar data lebih akurat

∑ Diharapkan peneliti selanjutnya agar dalam melakukan wawancara lebih mendalami teknik-teknik mengenai

(16)

Saran Praktis

∑ Perlunya dukungan dari keluarga un-tuk tetap memotivasi pilihan individu yang melanjutkan pendidikan S2 dan tetap memberikan arahan ketika individu sudah siap untuk menikah ∑ Perlu kesiapan pada masing-masing

individu yang ingin menikah agar dapat menghadapi dan menjalani permasalahan yang ada dalam suatu rumah tangga.

Daftar Pustaka

Alsa, A. 2003. Pendekatan Kuantitahf dan Kualitahf Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogya-karta: Pustaka Pelajar.

Blood, Margaret, Bob. 1988. Marriage . New York : Free Press.

Chaplin, J.P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkem-bangan Dewasa Muda. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Duvall, E.M. & Miller, B.C. 1985.

Marriage and Family Development. New York : Harper & Row Publisher.

Hurlock, E. 1999. Psikologi Perkem-bangan: Suatu Pendekatan Sepan-jang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Gramedia Pustaka Utama.

Moleong. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda-karya.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. 2004. Human Development.

USA : McGraw Hill.

Santrock, John W. 2002. Life Span Development. Dallas : Brown & Benchmark.

Setyowati, Retno, & Riyono,.2003.

Perbedaan Aspirasi Karir Antar Wanita Yang Sudah Menikah dan yang Belum Menikah Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Psikologika, Vol.8, No.16.

Shavreni Oktadi Putri, 2007. Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja. Sripsi. USU

Turner,J.S. & Helms, D.B,. 1995.. Life

Span Development. Forth wort : Harcout Brace College Publisher.

Gambar

Tabel 1Intensitas Tema Subyek I
Tabel 7
Matrik Antar Kasus: Kesiapan Menikah Pada Wanita Tabel 10alat bantu berupa pengumpulan data

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi ekstrak daun bandotan yang tinggi dapat mempertahankan kelangsungan hidup benih ikan nila, dapat menurunkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen sehingga mampu

Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah

(3) Menyelenggarakan Administrasi Perkara dan Administrasi Umum lainnya; (4) Melaksanakan tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Untuk dapat tercapainya kinerja yang

Penelitian pertama yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Yudaningrum (2014) yang berjudul “Keefektifan Strategi POINT dalam Pembelajaran Membaca

kepercayaan (α) 5%, menunjukan bahwa keinginan untuk mengurangi kemacetan, tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor internal bank yang terdiri dari Dana Pihak Ketiga (DPK), CAR, ROA, NPL’s terhadap jumlah kredit yang disalurkan oleh bank

OM Berasal dari Kata AUM atau singkatan dari kata ANG UNG dan MANG yang merupakan aksara suci dari Tuhan yang Maha Esa dalam wujud Dewa Trimurti (Brahma = Ang, Wisnu = Ung, dan Siwa

Dengan demikian dampak dari pelaksanaan program Kependudukan dan KB dari sisi guru akan mampu memperkuat fungsi dan peran guru sebagai role models sehingga guru