• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of GAMBARAN ABNORMALITAS ORGAN HATI DAN GINJAL PASIEN TUBERKULOSIS YANG MENDAPATKAN PENGOBATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of GAMBARAN ABNORMALITAS ORGAN HATI DAN GINJAL PASIEN TUBERKULOSIS YANG MENDAPATKAN PENGOBATAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN ABNORMALITAS ORGAN HATI DAN GINJAL PASIEN

TUBERKULOSIS YANG MENDAPATKAN PENGOBATAN

Perdina Nursidika1*), Ayi Furqon2, Fikriani Hanifah3, Dwi Ratna Anggarini4

Prodi Analis Kesehatan, Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi

*Email: Perdina.sidika@gmail.com

ABSTRAK

Pengobatan tuberkulosis dilakukan selama 6-9 bulan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara oral. OAT yang diberikan terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid (PZA), dan etambutol (E). Waktu pengobatan yang lama dapat penyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal. Gangguan fungsi hati dapat dilakukan dengan pemeriksaan aktivitas enzim SGOT dan SGPT. Untuk mengetahui abnormalitas pada organ ginjal diuji dengan pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran aktivitas enzim SGOT dan SGPT, serta kadar kreatinin dalam darah penderita tuberkulosis yang mendapat pengobatan anti tuberkulosis oral. Metode penelitian adalah metode deskriptif dengan jumlah 30 sampel yang diambil pada puskesmas kota Cimahi dan Puskesmas Cimaung kabupaten Bandung. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Klinik Prodi Analis Kesehatan Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi pada bulan Februari – Maret 2015. Hasil menunjukan 20 orang (66,67%) dengan aktivitas enzim SGOT yang normal dan sebanyak 10 orang (33,33%) aktivitas enzim SGOT yang abnormal. Sebanyak 27 orang (90%) menunjukkan aktivitas enzim SGPT normal dan 3 orang (10%) menunjukan aktivitas enzim SGPT abnormal. Hasil pemeriksaan didapatkan kadar kreatinin pada 10 orang pasien laki-laki dengan rata-rata 1,0 mg/dl, 7 orang rata-rata kadar kreatinin 0,85 mg/dl. Pasien perempuan 12 orang dengan rata-rata kadar kreatinin 0,87 mg/dl dan 1 orang dengan kadar kreatinin 0,67 mg/dl. Berdasarkan lama pengobatan didapatkan 14 orang menjalani 2 bulan pengobatan dengan rata-rata kadar kreatinin 0,96 mg/dl, sedangkan 16 orang yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan memiliki kadar kreatinin 0,86 mg/dl. Dapat disimpulkan tidak terdapat pasien yang memiliki kadar kreatinin di atas ambang batas nilai rujukan.

(2)

ABSTRACT

Tuberculosis treatment carried out for 6-9 months using oral anti tuberculosis (OAT). Oral OAT consist of isoniazid (INH), rifampicin (R), pyrazinamide (PZA), and ethambutol ( E). Prolonged treatment of oral OAT might affect liver and kidney function. Liver dysfunction indicated by increasing activity of SGOT and SGPT, while for kidney dysfunction indicated by the level of blood creatinine. This study aimed to figure out the abnormality of liver and kidney’s function of individual with oral anti tuberculosis treatment using SGOT and SGPT enzyme marker for liver function and blood creatinine for kidney function. Using descriptive analysis, this study employed 30 respondents taken from Cimaung Primary health center Bandung. Blood samples been conducted in Health Laboratory Analyst, Stikes Jenderal A. Yani Cimahi, starting from February to March 2015. This study showed that total of 20 respondents (66,7%), have normal SGOT scores, and as many as 10 respondents (33,33%) showed abnormal score of SGOT. Moreover, a total of 27 respondents (90%) showed a normal SGPT level, and 3 respondents (10%) showed abnormal SGPT level. Analysis of creatinine level showed that a total of 10 male respondents have average 1.0 mg/dl, 7 of them have 0,85 mg/dl. The result among female respondents showed that 12 of them have average serum creatinine level of 0.87 mg/dl, and one of them has 0,67 mg/dl creatinine serum level. Based on the length of medication, 14 respondents undergo 2 months of treatment have 0,96 mg/dl of serum creatinine level, while 16 of them whose undergo more than 2 months of treatment had higher levels of creatinine 0,86 mg/dl. It concluded that there is no abnormal serum creatinine level.

(3)

A.PENDAHULUAN

Dalam global tuberculosis report WHO 2014, Indonesia menduduki peringkat kesembilan dengan prevalensi sekitar 748.000–2.420.000 penderita tuberkulosis dan 140.800 meninggal akibat tuberkulosis (WHO, 2014:2). Tuberkulosis merupakan penyebab kematian 9,4% dari total kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi di Indonesia termasuk kematian akibat efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) (Diana, Yuyun, dan Syarifudin, 2014:1).

Kasus tuberkulosis di provinsi Jawa Barat mencapai 38.150 menempati peringkat pertama di Indonesia. Namun dalam masalah pengobatan Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat ketiga (56,2%) setelah DKI Jakarta (68.9%) dan DI Yogyakarta (67,3%) (Riskesdas, 2013:70).

Pengobatan tuberkulosis menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral dan intramuskular. OAT yang diberikan secara oral terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (PZA), dan Etambutol (E). OAT yang diberikat secara Intramuskular adalah Streptomisin (S) (Hudson et al, 2003:14). Obat tuberkulosis oral diberikan selama 6-9 bulan. Pengobatan yang cukup lama, sering memberikan efek samping obat yang harus diperhatikan bagi pasien yang menjalani pengobatan anti tuberkulosis (Wu et al, 2014:1).

Di Indonesia, angka kejadian hepatotoksisitas akibat obat anti-tuberkulosis sekitar 38,2% (Ningrum, 2010:38-52). Obat anti Tuberkulosis yang memiliki efek hepatotoksik adalah Isoniazid (INH), Pirazinamid (PZA), dan Rifampisin (Prihatni, dkk, 2012:1). Isoniazid dimetabolisme di hati menghasilkan senyawa diasetilhidrazi. Pirazinamid dapat mengubah tahap

enzim nikotinamid asetil dehidrogenase. Kedua senyawa obat ini dapat menghasilkan senyawa radikal bebas yang dapat merusak sel-sel hepatosit. Sedangkan Rifampisin dapat mengganggu transportasi bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia yang terkonjugasi kemudian merusak sel-sel hepatosit. Kerusakan sel-sel hepatosit mengakibatkan gangguan fungsi hati (Kumar, 2000:1-46)

Gangguan fungsi hati ditandai dengan meningkatnya enzim-enzim hati dan bilirubin didalam darah. Test Laboratorium untuk menilai Fungsi hati adalah dengan pemeriksaan Gamma

GT, Alkali Phospatase (ALP),

Bilirubin, Lactate Dehydrogenase (LDH), Serum Glutamic Oxaloacetat

Transaminase (SGOT) dan Serum

Glutamic pyruvat Transaminase

(SGPT) (Amirudin, 2009:627).

SGOT dan SGPT adalah enzim yang disekresikan oleh sitoplasma hati, kelompok enzim sebagai katalisator dalam proses pemindahan gugus amino dari suatu asam alfa amino kepada suatu asam alfa keto. Adanya enzim transaminase dalam plasma di atas nilai normal dapat menunjukkan adanya kerusakan jaringan (Meyes et al, 2009:254).

(4)

yaitu sekitar 0,7-1,5 mg/100mL. Pada gangguan fungsi ginjal, tubulus akan mengalami peradangan sehingga tidak dapat melakukan penyaringan kreatinin yang seharusnya di ekskresi sehingga terjadi peningkatan kadar kreatinin dalam darah (Price, 2002 :799).

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan dilakukan dengan 3 tahap penelitian, yaitu:

1. Pemilihan sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien penderita tuberkulosis sebanyak 30 orang bulan Februari-Maret. Bahan pemeriksaan adalah serum ataupun plasma dari pasien yang tidak hemolisis, lipemik, dan ikterik.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pemeriksaan Aktivitas SGOT dan SGPT

Obat anti tuberkulosis yang dikonsumsi berupa kombinasi dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang terdapat dalam satu tablet. Hasil pemeriksaan aktivitas enzim SGOT dan SGPT pada penderita tuberkulosis yang mendapat pengobatan anti tuberkulosis oral dari 30 sampel penderita tuberkulosis didapatkan sebanyak 20 (66,7%) orang dengan interpretasi aktivitas enzim SGOT normal, dan sebanyak 10 (33,3%) orang dengan interpretasi aktivitas enzim SGOT abnormal. Pada aktivitas enzim SGPT didapatkan sebanyak 27 (90%)

Penelitian di Universitas Hasanudin Makasar menemukan hasil dari 38 pasien tuberkulosis yang mendapat pengobatan terdapat 29 pasien yang mengalami kenaikan kadar kreatinin serumnya (Lethet, 2010:6).

Pemeriksaan kreatinin pada penelitian ini digunakan untuk skrining kerusakan ginjal akibat efek samping anti tuberkulosis sehingga bermanfaat untuk memonitoring pengobatan pada pasien tuberkulosis.

Kriteria inklusi : pasien yang sedang mengalami pengobatan lebih dari 2 minggu, pasien dengan pengobatan anti tuberkulosis oral.

1 Pemeriksaan aktivitas SGOT dan SGPT

Menggunakan metode kinetik 2 Pemeriksaan kadar kreatinin

Menggunakan metode Jaffe tanpa deproteinasi.

Analisis pentapan aktivitas enzim SGOT SGPT dan penetapan kadar kreatinin dilakukan dengan metode spektrofotometri.

(5)

Tabel 1 Gambaran Aktivitas Enzim SGOT Pada penderita Tuberkulosis yang Mendapat Pengobatan Antituberkulosis Oral Berdasarkan Jenis Kelamin

(6)

Menurut IFCC expert, nilai rujukan untuk laki-laki aktivitas enzim SGPT adalah 41 U/l dan Perempuan 31 U/l. Pada laki-laki, aktivitas enzim SGPT normal sebanyak 18 orang (90%) dengan rata-rata 19,44 U/l dan abnormal sebanyak 2 orang (10%) dengan rata-rata 53,00U/l. Sedangkan pada perempuan, aktivitas enzim SGPT normal sebanyak 9 orang dijadikan subjek penelitian sebanyak 20 orang (66,7%) orang berjenis kelamin laki-laki dan 10 (33,3%) berjenis kelamin perempuan. Jumlah pasien tuberkulosis laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan pada perempuan terdapat hormon estrogen yang dapat meningkatkan sekresi INF-γ dan mengaktifkan makrofag sehingga respon imun meningkat, sedangkan pada laki-laki terdapat hormon testosteron yang menghambat respon imun (Utami, 2014:11). Makrofag yang diaktivasi oleh bakteri penyebab tuberkulosis akan mengeluarkan sitokin, sitokin tersebut akan bertindak sebagai sitokin proinflamatori yang merangsang produksi INF- γ oleh sel T dan sel Natural Killer yang meningkatkan aktivasi makrofag dalam memfagositosis bakteri (Kaihena, 2013:70).

Makrofag teraktivasi mempunyai kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian dari respons imun spesifik. Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme, kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan kuman

Mycobacterium tuberculosis yang

merupakan benda asing (Kaihena, 2013:76).

(7)

sebanyak 20,9% menunjukan aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Aktivitas enzim SGOT dan SGPT pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas enzim SGOT dan SGPT pada perempuan. Menurut Sloane (2003), ini berhubungan dengan masa otot laki-laki lebih besar dibandingkan dengan masa otot perempuan.

Pengobatan tuberkulosis fase pertama adalah 2-3 bulan dan fase kedua 4-6 bulan. Pada lama pengobatan penderita dari 30 sampel pada lama pengobatan >2 bulan terdapat sebanyak 16 orang (84,21%) memiliki aktivitas enzim SGOT normal dan sebanyak 3 orang (15,79%) memiliki aktivitas enzim SGOT abnormal. Pada lama pengobatan≤2bulan terdapat sebanyak 4 orang (36,36%) memiliki aktivitas enzim SGOT normal dan sebanyak 7 orang (63,63%) memiliki aktivitas enzim SGOT abnormal. Berdasarkan uji

Chi-square didapatkan nilai p value

0,007. . Pada lama pengobatan>2 bulan didapatkan sebanyak 17 orang (89,47%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang normal dan sebanyak 2 orang (10,53%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Pada lama pengobatan ≤

2bulan didapatkan sebanyak 10 orang (90,90%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang normal dan sebanyak 1 orang (9,10%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Berdasarkan uji

Chi-square didapatkan nilai p value 0,9.

Pada lama pengobatan ≤ 2 Bulan didapatkan sebanyak 9 orang (81,81%) menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT ≤ 2 dan sebanyak 2 orang (18,19%) menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT>2. Pada lama pengobatan > 2 bulan didapatkan sebanyak 16 orang (84,21%)

menunjukan rasio akvititas enzim SGOT/SGPT ≤ 2 dan sebanyak 3 orang (15,79%) menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT >2. Berdasarkan uji

Chi-square didapatkan nilai p value

0,86.

Menurut Kemenkes fase pengobatan pertama 2-3 bulan dan aktivitas SGOT dan SGPT harus dievaluasi karena pada fase pertama Obat anti Tuberkulosis yang dikomsumsi oleh penderita tuberkulosis diminum setiap hari selama 2 bulan sehingga adanya peningkatan enzim SGOT dan SGPT lebih besar. Fase Pengobatan ke dua yaitu 4-7 bulan. Pada fase kedua penderita meminum obat antituberkulosis tiga kali dalam seminggu, sehingga sebagian besar penderita tuberkulosis dapat menyelesaikan pengobatannya tanpa efek samping, dan sebagian kecil dapat mengalami efek samping (Kemenkes, 2009:19).

Setelah fase pertama biasanya dilakukan evaluasi pengobatan dengan melihat aktivitas enzim SGOT dan SGPT. Apabila Aktivitas enzim SGOT dan SGPT dalam keadaan normal maka penderita dapat melanjutkan lagi pengobatan ke fase kedua, tetapi apabila aktivitas enzim SGOT dan SGPT nya meningkat maka penderita harus berkonsultasi dengan dokter (Kemenkes, 2009:19).

(8)

aktivitas enzim SGOT/SGPT lebih dari 2.0 . Jadi tidak ada hubungan lama pengobatan terhadap rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT dengan p-value > 0,05.

Hepatotoksik akibat obat dapat memiliki rasio SGOT/SGPT lebih dari 2.0. Drug Included Hepatitis (DIH) menunjukan aktivitas enzim SGOT lebih besar dari Aktivitas enzim SGPT. Ini disebabkan karena obat dapat merusak mitokondria sel, sehingga pelepasan enzim SGOT lebih banyak dikeluarkan dari mitokondria ke sitoplasma dan keluar dari sel.

2. Pemeriksaan kreatinin

Menurut kit insert nilai rujukan kreatinin untuk laki-laki yaitu 0,9-1,5 mg/dl dan Perempuan 0,7-1,3 mg/dl. Pada laki-laki, kadar kreatinin normal sebanyak 10 orang (59%) dengan rata-rata 1,01 mg/dl dan abnormal sebanyak 7 orang (41 %) dengan rata-rata 0.85 mg/dl. Pada pasien perempuan, kadar kreatinin normal sebanyak 12 orang (92%) dengan rata-rata 0.87 mg/dl dan abnormal sebanyak 1 orang (8%) dengan rata-rata 0,67 mg/dl.

Pasien yang menjalani pengobatan ≤2 bulan sebanyak 14 (47%) pasien memiliki kadar kreatinin 0.96 mg/dl. Dari pasien yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan sebanyak 16 (53%) pasien memiliki kadar kreatinin 0,86 mg/dl. Pasien yang mendapat pengobatan kombinasi RHEZ sejumlah 27 (90%) orang dengan rata-rata kadar kreatinin 0,91 mg/dl, sedangkan 3 (10%) lainnya mendapat pengobatan RHEZ+S dengan rata-rata kadar kreatinin 0,92 mg/dl.

Pasien sebanyak 14 (47%) orang yang sedang menjalani pengobatan

kurang dari 2 bulan, memiliki kadar kreatinin lebih tinggi daripada 16 (53%) pasien yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan. Kadar kreatinin pasien yang diteliti masih dalam kisaran ambang batas normal. Pada pasien tuberkulosis, setelah dilakukan pengobatan 2 bulan diperiksa kembali Basil Tahan Asam, apabila hasil pemeriksaan negatif maka dosis pengobatan diturunkan. Pasien yang diteliti, setelah menjalani pengobatan 2 bulan memiliki Basil Tahan Asam negatif, sehingga dosis obat diturunkan dengan mengkonsumsi obat 3 kali dalam satu minggu.

(9)

Sebanyak 3 pasien menjalani pengobatan kategori 2 yaitu dengan kombinasi obat RHEZ+S. Dimana penggunaan aminoglikosida dalam hal ini yang dimaksud adalah streptomisin memiliki waktu paruh daya serap di dalam tubulus ginjal selama 4-5 hari, sehingga akan meningkatkan kadar kreatinin dalam darah selama 7-10 hari pengobatan.

Pada sejumlah kasus dijelaskan bahwa setelah penghentian pengobatan akan menyebabkan kadar kreatinin

D. SIMPULAN

Dari 30 pasien penderita tuberkulosis yang diberi pengobatan menunjukkan terjadi abnormalitas pada organ hati, 10 pasien menunjukkan peningkatan aktivitas enzimSGOTdan 3pasienmenunjukkan

\

normal kembali dengan waktu yang perlahan yaitu selama 4-6 minggu (Sandu, 2007:1).

Pada penelitian lain menyebutkan bahwa kenaikan kreatinin darah akan terjadi setelah menjalani 5 hari pengobatan aminoglikosida. Penggunaan aminoglikosida yang memiliki efek nefrotoksik akan bersifat reversibel, namun pada penggunaannya kadar kreatinin yang ada di dalam plasma harus selalu dimonitor untuk melihat efek sampingnya selama masa pengobatan (Setiawati, 2012 :493).

(10)

E. DAFTAR PUSTAKA

Amirudin R. (2009). Fisiologi dan

Biokimiawi Hati. Dalam: Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. hlm. 627-33.

Chang C H, Chen Y, Wu V C, et all. (2014). Acute kidney injury due to

anti-tubeculosis drus: a five-year

experience in an aging population. 1471-2334

Chasani S, (2008). Antibiotik Nefrotoksik : Penggunaan Pada Gangguan Fungsi

Ginjal. Semarang : Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro

Diana, I.S, Yuyun, dan Syarifudin, (2014). Studi Monitoring Efek Samping Obat Antituberkulosis FDC kategori 1 di

propinsi Jawa barat. Media

Litbangkes Vol. 24 No. 1, Mar 2014, 28-35

Hudson A, Imamura T, Gutteridge W, Kanyok T, Nunn P. (2003). The Current Anti-TB drug Research and

Development pipeline.World Health

Organization on behalf of the Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases Lethet C. Ujneng A., Zul A. Analisis

Kadar Ureum, Kreatinin Serum Dan

Albumin Urin Penderita

Tuberkulosis Yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis 6 Bulan Di Rsud Labuang Baji Makassar. Makasar, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Kaihena M. (2013). Propolis Sebagai Imunostimulator Terhadap Infeksi

Mycobacterium Tuberculosis.

Ambon : Universitas Patimura. ISBN: 978-602-97522-0-5

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Keputusan

Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor

364/menkes/sk/v/2009 Tentang

Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosis (Tb) Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N.,

(2005). Cellular Adaptations, Cell Injury, and Cell death. Dalam

Pathologic Basis of Disease, Edisi ke

7. Philadelphia: WB Saunders Company, hlm 1 46.

Meyes PA, DK Granner, VW Rodwell & DW Martin. (1991) . Biokimia. Alih

Bahasa Iyan Darmawan. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC Ningrum VDA, Megasari A, Hanifah S.

(2010). Hepatotoksisitas pada Pengobatan Tuberkulosis di RSUD

Tangeran. Yogyakarta : Jurnal

Ilmiah Indonesia

Price. (2002). Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : penerbit buku Kedokteran EGC

Prihatni D. (2012). Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Nasional, 1.

Sandu JS, Sehgal A, Gupta O, et all. (2007).

Aminoglycoside Nephrotoxicity

Revisited. JIACM 2007; 8(4): 331-3 Setiawati A. (2012). Drug Use in Patients

with Renal Failurei. Dept. of

(11)

Sloane, Ethel.(2003). Anatomi Dan

Fisiologi. EGC. Jakarta

Sandu JS, Sehgal A, Gupta O, et all. (2007).

Aminoglycoside Nephrotoxicity

Revisited. JIACM 2007; 8(4): 331-3 Utami FA. (2014). Hubungan Usia, Jenis

Kelamin, danTtingkat kepositifan

dengan konversi Basil Tahan Asam

Pasien Tuberkulosis di Unit

Pengobatan Penyakit Paru

Pontianak Periode 2009-2012.

Naskah Publikasi. Pontianak : Universitas Tanjungpura

WHO. (2014). Global Tuberculosis Report 2014. pp. 34, 257. France : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data

Wu S, et al. (2012). Effect of Scheduled monitoring of Liver function during anti- Tuberculosis treatment in a

retrospective cohort in china. BMC

Gambar

Tabel 2. Gambaran Aktivitas Enzim SGPT Pada penderita Tuberkulosis yang  Mendapat Pengobatan Antituberkulosis Oral Berdasarkan Jenis Kelamin

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan Jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, jumlah leukosit, SGOT, SGPT, ureum darah, dan kreatinin darah pada pasien preeklampsia, eklampsia, dan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis biaya dan mengetahui gambaran pengobatan pada pasien tuberkulosis rawat jalan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta

Penelitian ini bertujuan mengetahui besarnya kemampuan membayar pasien Tuberkulosis terhadap pengobatan DOTS, dan untuk menguji hipotesis faktor- faktor yang mempengaruhi

Berdasarkan penelitian dari keseluruhan sampel yang telah meninggal karena TB Paru, sebagian besar (60%) sampel didapatkan tidak melakukan pengobatan OAT.

Hubungan Pengetahuan, Pendidikan, Pendapatan Keluarga dan Persepsi Pasien Tentang Petugas Kesehatan dengan Keteraturan Pengobatan Penderita Tuberkulosis di Kabupaten

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian kuersetin dosis 250mg/kgBB, 500mg/kgBB, dan 1000mg/kgBB dapat menurunkan aktivitas SGPT-SGOT dan rasio berat organ hati

PERBEDAAN HASIL PEMERIKSAAN SPUTUM BASIL TAHAN ASAM ANTARA PASIEN TUBERKULOSIS YANG PEROKOK DAN BUKAN.. PEROKOK DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU LUBUK

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian kuersetin dosis 250mg/kgBB, 500mg/kgBB, dan 1000mg/kgBB dapat menurunkan aktivitas SGPT-SGOT dan rasio berat organ hati