• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biaya Sosial Korupsi pola perilaku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Biaya Sosial Korupsi pola perilaku"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Biaya Sosial Korupsi

Oleh:

Teddy Lesmana

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

“The idea underlying the notion of social cost is a very simple one. A man

initiating an action does not necessarily bear all the costs ...”

By J. de V. Graaff. From The New Palgrave: A Dictionary of Economics, First

Edition, 1987

Pengungkapan kasus tindak pidana korupsi belakangan ini semakin gencar dilakukan oleh KPK seolah tiada henti menghiasi jagad publik setiap harinya. Tersangka korupsi kelas kakap yang akhir-akhir ini diseret KPK sangat beragam mulai dari Bupati, Gubernur, pejabat tinggi kementerian hingga ketua sebuah lembaga tinggi negara. Hal ini tentu menggembirakan jika kita lihat dari sisi komitmen pemberantasan korupsi di Republik ini, namun di sisi lain juga cukup memprihatinkan karena negeri ini memang sedang berada dalam darurat korupsi.

Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini,

Setidaknya ada dua hal yang menarik. Yang pertama adalah wacana pengenaan biaya sosial terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dalam satu kesempatan Seminar Nasional mengenai Keterkaitan Psikologi dan Korupsi, Kajian Psikologi Terhadap Fenomena Korupsi di Indonesia di Bandung beberapa waktu yang lalu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan bahwa KPK sedang melakukan studi dan menyusun alat untuk menghitung dampak sosial

berdasarkan bidangnya. Koruptor nantinya akan dituntut untuk membayar biaya sosial yang timbul akibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Kedua, Mahkamah Agung (MA) telah memperberat hukuman terpidana kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Angelina Sondakh, dari empat tahun enam bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Dua hal tersebut, setidaknya mulai menunjukkan adanya kemajuan dalam penanganan dan penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi di tengah meruyaknya rasa ketidakadilan atas hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana korupsi yang dipandang terlalu ringan meski telah menyebabkan kerusakan yang sistemik di negeri ini.

(2)

Dalam tulisan ini saya mencoba menyoroti mengenai ide pengenaan biaya sosial terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang bisa dikatakan cukup revolusioner sekiranya nantinya diterapkan di Indonesia. Beberapa Negara di dunia antara lain seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Belanda telah melakukan penaksiran biaya sosial kejahatan. Salah satu tujuan menghitung biaya sosial kejahatan (social cost of crime) tersebut adalah, pertama, fakta bahwa akibat yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut (dalam hal ini korupsi) ternyata ditanggung oleh masyarakat (pembayar pajak). Kedua, untuk menanggulangi kejahatan tersebut dan meminimalisir dampak sosial yang ditimbulkannya , diperlukan perhitungan biaya sosial kejahatan sebagai bagian dari evidence based policy (Pradiptyo, 2012). Evidence based policy itu sendiri adalah kebijakan publik yang didukung oleh bukti – bukti yang objektif. Kebijakan ini berawal dan merupakan perluasan dari gagasan evidence-based medicine yang mulai diterapkan di berbagai area kebijakan publik dengan mencoba

menggunakan studi – studi secara ilmiah yang akurat .

Biaya Sosial Akibat Korupsi

Terkait dengan biaya sosial dan korupsi, dalam studinya mengenai evaluasi kinerja pengadilan, Pradiptyo (2012) menghitung biaya eksplisit dari 549 kasus tipikor yang melibatkan 831 terdakwa yang mencakup skala korupsi mulai dari yang berskala gurem hingga kakap. Dari studi tersebut terungkap biaya eksplisit akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 73, 07 triliun akan tetapi total nilai hukuman hanya sebesar Rp 5, 32 triliun. Dari sini terlihat bahwa kerugian negara secara eksplisit akibat tindak pidana korupsi tidak sebanding dengan nilai

hukumannya. Belum lagi jika kita bicara biaya implisit yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi tersebut.

Secara sederhana biaya sosial dapat digambarkan dalam contoh berikut. Ketika seseorang melakukan sesuatu, seringkali yang dilupakan adalah biaya – biaya yang tidak langsung timbul dari suatu keputusan atau tindakan yang diambil. Misalnya ketika seseorang memiliki kendaraan, umumnya orang akan

memikirkan biaya bahan bakar, pemeliharaan, dan nilai mobil tersebut. Orang tidak begitu memperhatikan soal bagaimana pemeliharaan jalan atau

penyediaan layanan kesehatan terhadap masyarakat yang terdampak polusi.

(3)

Biaya yang yang dikeluarkan oleh pemilik mobil tersebut disebut sebagai biaya privat dan biaya – biaya yang tak lansung yang ditimbulkannya disebut sebagai biaya eksternal. Kombinasi antara biaya privat dan biaya eksternal tersebut merupakan biaya sosial.

Analog dengan konsep di atas, tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan biaya akibat kerugian negara yang ditimbulkannya. Biaya lain yang timbul dari tipikor tersebut adalah biaya pencegahan, biaya implisit dampak sosial dan ekonomi, dan biaya yang timbul dalam penanganan kasus – kasus tindak pidana korupsi tersebut. Biaya implisit dampak sosial ekonomi yang harus ditanggung masyarakat misalnya hilangnya kesempatan untuk pemupukan dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia melalui pendidikan akibat ketidakefektifan pengeluaran publik di sektor pendidikan. Dalam Human Development Index (HDI) 2013 yang salah satunya memasukan indikator knowledge, misalnya, Indonesia menempati ranking ke-121 dari 186 negara. Dalam pembangunan infrastruktur juga dilihat biaya sosial akibat korupsi yang tercermin dengan semakin lemahnya dan rapuhnya kuantitas dan kualitas infrastruktur. Bukan itu saja, terlepas dari biaya yang bersifat finansial, korupsi juga mengakibatkan tergerusnya kepercayaan akan kredibilitas politik, hukum, dan institusi – institusi yang terdampak olehnya.

Menghitung biaya – biaya yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi memang tidak mudah. Korupsi terjadi di belakang pintu yang membuat sulit untuk

mengumpukan data – data yang diperlukan dan bukti terjadinya korupsi. Banyak eksternalitas yang disebabkan oleh korupsi yang seringkali tidak dimasukkan ke dalam analisis kuantitatif seperti biaya sosial. Tantangannya adalah kemudian bagaimana cara mengukur, kerusakan yang diakibatkan oleh korupsi yang memang tidak mudah mengukurnya tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Dampak sosial dari korupsi sangatlah masif.

Jika kita tidak bisa mengatasi persoalan korupsi ini dengan radikal, dampaknya akan menyebabkan degradasi moral di kalangan masyarakat. Hukuman terhadap para pelaku korupsi harus jelas dan sepadan dengan perbuatannya termasuk berapa lama para pelakunya harus dipenjara dan mengembalikan uang yang diperolehnya dengan cara ilegal dari negara, termasuk biaya sosial yang ditimbulkannya dari uang yang sedianya digunakan untuk kepentingan umum

(4)

dan dikorupsi dengan menghitung dampak kerugian yang ditimbulkannya ketika uang tersebut dikorupsi dan tidak menjadi investasi produktif untuk kepentingan publik. Untuk itu, para ahli hukum, ekonomi, dan politik diharapkan bisa duduk bersama merumuskan konsep biaya sosial yang berlandaskan bukti empiris atas tindak pidana korupsi yang terukur dan mampu menjawab rasa keadilan yang didambakan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

3.4.3.1 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999, persaingan usaha tidak sehat adalah ” persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan

Kesulitan yang akan ditemui dalam mengukur self-esteem dijelaskan oleh Lawrence (2006: 54-55) yaitu (1) kurangnya kesadaran yang dimiliki siswa dalam memahami

Pada siklus perbaikan mutu yang ke-2 GKM Bahagia berhasil memperbaiki cacat mutu “kurangnya isi potongan nata dalam produk akhir” dengan indikator : (1) jumlah produk yang

ofcscur'da olduğu gibi, benimle oyunlar oynayan o erişilmez, bulanık, nüfuz edilemez, tanrısal Arzuya takıntılıyım); fakat temel kayma, Hegelci bir şekilde, "Mısırlıların

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Azmi Fitriati dan Sri Mulyani (2015) mengatakan bahwa budaya organisasi secara signifikan

Inward K-snare adalah imitasi bunyi dari snare drum yang cara. membunyikannya dengan menghirup udara melalui mulut

Anda juga menemukan beberapa makanan terasa berbeda dari biasanya dan berhenti menyukai sesuatu rasa, yang biasanya anda suka (kopi). Beberapa wanita mulai menginginkan makanan

Mengintegrasikan teori utama yang digunakan dalam penelitian ini tentang organisasi pembelajar, teori motivasi, teori modal sosial, dan teori pertukaran sosial dalam