Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 35 FAKTOR TERJADINYA BABY BLUES SYNDROM PADA IBU NIFAS DI
BPM SUHATMI PUJI LESTARI
Occurrence Factor Of Baby Blues Syndrom On Postpartum Women In BPM Suhatmi Puji Lestari
Lina Wahyu Susanti
Akademi Kebidanan Citra Medika Surakarta
ABSTRACT
Baby Blues Syndrome, or often called Maternity Blues understood as a mild affective disorder syndrome that is often seen in the first week after delivery and peaked on day three to five, and attacked in the span of 14 days after delivery. Baby Blues Symptoms of the reaction characterized by depression or sadness, crying, irritability, anxiety, feeling unstable, tend to blame themselves, sleep disorders and appetite disorders. The incidence of baby blues or postpartum blues in Asia is quite high and varies between 26-85%, while in Indonesia the incidence of postpartum blues Baby Blues or between 50-70% of women after childbirth
The purpose of this study was to determine the factors that cause maternal postpartum Baby Blues. The benefits of this research for health workers which research results are expected to provide information about the factors that cause the Baby Blues on postpartum mother so that health workers can prevent the postpartum mother can pass puerperal well
This study uses a descriptive study. The sampling technique used was accidental sampling. Analysis of the data in this study using univariate analysis. Factors causing the maternity blues studied were pregnancy preparation, the support of her husband and family and economic conditions and social. From the results, the 34 respondents who experienced maternity blues as much as 20 respondents who did not want her pregnancy so that factor preparation for pregnancy is a factor causes maternity blues, 23 respondents did not have the support of her husband and family, 15 respondents have incomes less, so the support of her husband and family as well as the state of the economy is a factor in maternity blues
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 36 ABSTRAK
Baby Blues Syndrom atau sering juga disebut Maternity Blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan dan memuncak pada hari ke tiga sampai kelima dan menyerang dalam rentang waktu 14 hari terhitung setelah persalinan. Gejala Baby Blues ditandai dengan reaksi depresi atau sedih, menangis, mudah tersinggung, cemas, perasaan yang labil, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Angka kejadian Baby blues atau postpartum blues di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%, sedangkan di Indonesia angka kejadian Baby Blues atau postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Baby Blues pada ibu nifas. Manfaat penelitian ini bagi tenaga kesehatan yaitu hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor yang menyebabkan Baby Blues pada ibu nifas sehingga tenaga kesehatan dapat melakukan pencegahan agar ibu nifas dapat melewati masa nifas dengan baik.
Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa univariat. Faktor penyebab baby blues syndrome yang diteliti adalah persiapan kehamilan, dukungan suami dan keluarga serta kondisi ekonomi dan social. Dari hasil penelitian didapatkan 34 respoden yang mengalami baby blues syndrome sebanyak 20 responden yang tidak menginginkan kehamilannya sehingga factor persiapan kehamilan merupakan factor penyebab baby blues syndrome, 23 responden tidak mendapat dukungan dari suami dan keluarga, 15 responden mempunyai pendapatan yang kurang sehingga dukungan suami dan keluarga serta keadaan ekonomi merupakan factor penyebab baby blues syndrome.
Kata Kunci: Baby blues syndrom, Masa nifas
PENDAHULUAN
Baby Blues Syndrom atau
Postpartum Blues merupakan kesedihan
atau kemurungan setelah melahirkan,
biasanya hanya muncul sementara waktu
yaitu sekitar dua hari sampai tiga
minggu sejak kelahiran bayi (Marmi,
2012). Baby Blues Syndrom atau sering
juga disebut Maternity Blues dimengerti
sebagai suatu sindroma gangguan afek
ringan yang sering tampak dalam
minggu pertama setelah persalinan dan
memuncak pada hari ke tiga sampai
kelima dan menyerang dalam rentang
waktu 14 hari terhitung setelah
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 37 Gejala Baby Blues ditandai dengan
reaksi depresi atau sedih, menangis,
mudah tersinggung, cemas, perasaan
yang labil, cenderung menyalahkan diri
sendiri, gangguan tidur dan gangguan
nafsu makan (Marmi, 2012). Ibu yang
mengalami Baby Blues biasanya
tiba-tiba menangis karena merasa tidak
bahagia, penakut, tidak mau makan,
sering berganti mood, mudah
tersinggung dan terlalu sensitif, tidak
bergairah dan masih banyak lagi
perubahan perilaku.
Angka kejadian Baby blues atau
postpartum blues di Asia cukup tinggi
dan bervariasi antara 26-85%,
sedangkan di Indonesia angka kejadian
Baby Blues atau postpartum blues antara
50-70% dari wanita pasca persalinan. Di
Indonesia kurangnya perhatian terhadap
masalah sindrom baby blues ini semakin
diperparah oleh anggapan awam yang
keliru. Tidak sedikit orang yang
menganggap sindrom baby blues hanya
dialami orang wanita-wanita di luar
Indonesia, Syndrom Baby Blues ini
dianggap tidak terlalu penting. Kalaupun
banyak yang mengalaminya, sering
hanya dianggap sebagai efek samping
dari keletihan setelah melahirkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
postpartum blues adalah faktor
psikologis yang meliputi dukungan
keluarga khusunya suami. faktor
demografi yang meliputi usia dan
paritas, factor fisik yang disebabkan
kelelahan fisik karena aktivitas
mengasuh bayi, meyusui, memandikan,
mengganti popok, dan faktor sosial
meliputi sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, status perkawinan (Nirwana,
2011).Faktor-faktor yang mempengaruhi
post partum blues biasanya tidak berdiri
sendiri sehingga gejala dan tanda post
partum blues sebenarnya adalah suatu
mekanisme multifaktorial.
Berdasarkan studi pendahuluan
yang penulis lakukan di Bidan Praktek
Mandiri Suhatmi Puji Lestari pada bulan
Januari sampai Desember 2015 jumlah
ibu nifas mencapai 150 orang. Jumlah
rata-rata perbulan 12 ibu nifas, dari 12
ibu nifas tersebut yang mengalami Baby
Blues Syndrom sekitar 50%- 70% atau
sekitar 6-8 orang mengalami Baby Blues
Syndrom hal ini dikarenakan beberapa
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 38 dukungan suami dan keluarga, kondisi
sosial, dan lain-lain.
Setyowati dan Uke Riska (2006)
dalam penelitianya menjelaskan
terjadinya Baby Blues diantaranya
pengalaman kehamilan dan persalinan
yang meliputi komplikasi dan persalinan
dengan tindakan, dukungan sosial
diantaranya dukungan kelurga, keadaan
bayi yang tidak sesuai harapan. Dari 31
ibu yang melahirkan dan memenuhi
kriteria, terdapat 17 ibu (54,48%)
mengalami post partum blues yang
disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya, pengalaman kehamilan dan
persalinan sebesar 38,71%, dukungan
social 19,53%, keadaan bayi saat lahir
16,13%. Jika Baby blues tidak segera
ditangani dengan baik akan
mengakibatkan keadaan gangguan
mental yang lebih parah lagi atau biasa
disebut depresi post partum yang salah
satu tanda gejalanya adalah keinginan
untuk menyakiti bayi atau dirinya
sendiri.
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya Baby Blues
pada ibu nifas.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan
metode studi deskriptif adalah penelitian
yang mengumpulkan objek yang
biasanya bertujuan untuk melihat
gambaran fenomena yang terjadi di
dalam suatu populasi tertentu
(Notoadmodjo, 2012). Dalam penelitian
ini, peneliti telah memiliki definisi jelas
tentang subjek penelitian dan akan
menggunakan pertanyaan dalam
menggali informasi yang dibutuhkan.
Tujuan dari penelitian deskriptif adalah
menghasilkan gambaran akurat tentang
sebuah kelompok, memberikan
gambaran lengkap baik dalam bentuk
verbal atau numerikal, menciptakan
seperangkat kategori dan
mengklasifikasikan subjek penelitian.
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua ibu nifas yang mengalami
Baby Blues Syndrom, berdasarkan studi
pendahuluan di BPM Suhatmi Puji
Lestari adalah 96 ibu nifas dari bulan
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 39 pengambilan sampel yang digunakan
adalah accidental sampling yaitu teknik
pengambilan sampel yang secara
kebetulan ditemui selama penelitian
(Notoadmodjo, 2012). Jika jumlah
sample > 100 maka besarnya sampel
diambil antara 10-15% atau 20-25% atau
lebih jika jumlah sampel < 100 maka
diambil semuanya (Arikunto, 2013).
Pada bulan Maret – Agustus jumlah ibu
nifas yang mengalami baby blues
syndrom sebanyak 34 ibu nifas,
berdasarkan rumus pengambilan sampel
dari Arikunto maka jumlah sampel
diambil semuanya yaitu 34 responden.
Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah variabel tunggal
yaitu variabel yang menggunakan jenis
analisis deskriptif, yaitu bentuk analisis
yang menyampaikan sebaran atau
distribusi dalam bentuk frekuensi, yang
disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, diagram atau narasi.
Instrumen yang digunakan adalah
kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang
pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui
(Arikunto, 2013).
Analisa data dalam penelitian ini
menggunakan analisa univariat yaitu
menganalisis tiap variabel penelitian
yang ada secara deskriptif dengan
menghitung distribusi frekuensi. Dalam
penelitian ini akan menganalisis
distribusi frekuensi persiapan kehamilan
ibu, dukungan yang diberikan suami dan
keluarga, serta kondisi ekonomi
keluarga.
Rumus mennghitung besarnya
persentase dalam distribusi frekuensi
adalah :
x 100%
Keterangan : P = Persentase F = Frekuensi N = Jumlah sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Persiapan Kehamilan
Tabel 1. Distribusi frekuensi persiapan ibu dalam kehamilan
Penerimaan ibu Frekuensi Persentase (%)
Kehamilan diinginkan
14 41, 18 %
Kehamilan tidak diinginkan
20 58, 82 %
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 40 Berdasarkan tabel 1 tentang
distribusi frekuensi persiapan ibu dalam
kehamilan didapatkan dari 34 responden
yang mengalami baby blues syndrom,
sebanyak 14 responden (41,18%)
menginginkan kehamilannya.
Menginginkan kehamilan dalam hal ini
yaitu benar-benar mempersiapkan
kehamilan dan memang menginginkan
kehamilanya. Sebanyak 20 responden
(58,82%) tidak menginginkan atau tidak
merencanakan kehamilanya.
Dukungan Suami dan Keluarga
Tabel 2. Distribusi frekuensi dukungan suami dan keluarga
Dukungan suami dan keluarga
Frekuensi Persentase (%)
Suami dan keluarga
membantu merawat bayi
11 32, 36 %
Suami dan keluarga tidak membantu merawat bayi
23 67, 64 %
Jumlah 34 100 %
Berdasarkan tabel 2 tentang
distribusi frekuensi dukungan suami dan
keluarga didapatkan dari 34 responden
yang mendapatkan dukungan suami dan
keluarga dalam hal ini adalah peran
suami dan keluarga dalam membantu
merawat bayi sebanyak 11 responden
(32,36 %) mengalami baby blues
syndrom, sedangkan yang tidak
mendapat dukungan dari suami maupun
keluarga sebanyak 23 responden
(67,64%) mengalami baby blues
syndrom.
Kondisi Ekonomi dan Sosial
Tabel 3. Distribusi frekuensi kondisi ekonomi dan social keluarga
Pendapatan per bulan (Rp)
Frekuensi Persentase (%) 500.000–
1.000.000
5 14, 71 %
1.000.000-2.000.000
15 44, 12 %
>2.000.000 14 41, 17 %
Jumlah 34 100 %
Berdasarkan table 3 tentang
distribusi frekuensi kondisi ekonomi dan
social keluarga didapatkan 34 reponden
yang mengalami baby blues syndrome
sebanyak 5 responden (14,71 %)
mempunyai pendapatan Rp 500.000 –
Rp 1.000.000 perbulan, sebanyak 15
responden (44,12 %) mempunyai
pendapatan Rp 1.000.000 – Rp2.000.000
perbulan sedangkan sebanyak 14
responden (41,17 %) mempunyai
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 41 Keadaan ekonomi mempunyai
dampak yang cukup luas salah satunya
adalah kejadian baby blues yang dialami
oleh ibu postpartum. Ekonomi yang
kurang menyebabkan ibu merasa
kawatir tentang masa depan anaknya
sehingga ibu mengalami tekanan yang
mengakibatkan terjadinya baby blues
syndrome.
Berdasarkan tabel diatas, ibu
yang paling banyak mengalami baby
blues syndrome adalah pada kelompok
pendapatan keluarga Rp 1.000.000 –
2.000.000 perbulan, sedangkan 5
responden yang mengalami baby blues
syndrome memiliki pendapatan Rp
500.000 – 1.000.000 sehingga dapat
disimpulkan bahwa keadaan ekonomi
dan social merupakan factor penyebab
terjadinya baby blues syndrome pada ibu
nifas.
Pembahasan
Persiapan Kehamilan
Dari 34 responden yang
mengalami baby blues syndrom,
sebanyak 14 responden (41,18%)
menginginkan kehamilannya.
Menginginkan kehamilan dalam hal ini
yaitu benar-benar mempersiapkan
kehamilan dan memang menginginkan
kehamilanya. Sebanyak 20 responden
(58,82%) tidak menginginkan atau tidak
merencanakan kehamilanya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa responden
yang tidak menginginkan kehamilanya
lebih banyak mengalami baby blues
syndrome (58,82%) disbanding respoden
yang menginginkan kehamilanya
(41,18%). Hal tersebut disebabkan oleh
latar belakang psikososial salah satunya
adalah kehamilan yang tidak diinginkan
sehingga ibu mempunyai perasaan tidak
ingin merawat bayi karena merasa tidak
menginginkan kehamilan tersebut
sehingga dapat disimpulkan bahwa
persiapan kehamilan merupakan factor
penyebab terjadinya baby blues
syndrome pada ibu nifas.
Dukungan Suami dan Keluarga
Dari 34 responden yang
mendapatkan dukungan suami dan
keluarga dalam hal ini adalah peran
suami dan keluarga dalam membantu
merawat bayi sebanyak 11 responden
(32,36 %) mengalami baby blues
syndrom, sedangkan yang tidak
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 42 keluarga sebanyak 23 responden
(67,64%) mengalami baby blues
syndrom.
Kejadian baby blues syndrome
penyebabnya adalah karena factor
psikologis salah satunya karena
dukungan sosial dari lingkungannya
termasuk suami dan keluarga. Peran
suami dan keluarga dalam merawat bayi
dapat mengurangi rasa lelah ibu
sehingga dapat mengurangi kejadian
baby blues syndrome. Dari tabel diatas
dapat disimpulkan bahwa dukungan
suami dan keluarga merupakan factor
penyebab baby blues syndrome.
Menurut Marmi (2012), penyebab
dari baby blues syndrome yaitu
perubahan hormon, stress, ASI tidak
keluar, frustasi, kelelahan, kurangnya
dukungan dari suami dan keluarga, takut
kehilangan bayi, bosan. Oleh karena itu
sebenarnya adanya dukungan suami dan
keluarga dapat mengurangi kejadian
baby blues syndrome, karena ibu yang
baru melahirkan bayi pasti akan
merasakan capek yang luar biasa apalagi
ibu masih diharuskan mengurus rumah
dan kebutuhan anak jika sudah
mempunyai anak sebelumnya. Keadaan
yang seperti inilah yang dapat membuat
ibu mengalami baby blues syndrome.
Kondisi Ekonomi dan Sosial
Dari 34 reponden yang mengalami
baby blues syndrome sebanyak 5
responden (14,71 %) mempunyai
pendapatan Rp 500.000–Rp 1.000.000
perbulan, sebanyak 15 responden
(44,12%) mempunyai pendapatan
Rp1.000.000 – Rp 2.000.000 perbulan
sedangkan sebanyak 14 responden
(41,17 %) mempunyai pendapatan
>Rp 2.000.000 perbulan.
Keadaan ekonomi mempunyai
dampak yang cukup luas salah satunya
adalah kejadian baby blues yang dialami
oleh ibu postpartum. Ekonomi yang
kurang menyebabkan ibu merasa
kawatir tentang masa depan anaknya
sehingga ibu mengalami tekanan yang
mengakibatkan terjadinya baby blues
syndrome.
Berdasarkan tabel diatas, ibu yang
paling banyak mengalami baby blues
syndrome adalah pada kelompok
pendapatan keluarga Rp1.000.000 –
2.000.000 perbulan, sedangkan 5
responden yang mengalami baby blues
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 43 Rp500.000 – 1.000.000 sehingga dapat
disimpulkan bahwa keadaan ekonomi
dan social merupakan factor penyebab
terjadinya baby blues syndrome pada ibu
nifas.
Menurut Bobak (2005) salah satu
penyebab baby blues syndrome adalah
keadaan ekonomi kelurga. Dimana
factor ekonomi memegang peranan
penting dalam keluarga, jika dalam
suatu kelurga mempunyai pendapatan
yang lebih kecil dibandingkan
kebutuhan yangb harus dipenuhi makan
akan menjadi problem yang dapat
membuat suami dan istri merasa
tertekan. Terlebih jika mempunyai
jumlah anak lebih dari satu, rasa cemas
tidak dapat menyekolahkan dan
membiayai anak akan semakin membuat
ibu merasa stress.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti didapatkan dari
34 responden yang mengalami baby
blues syndrome sebaynyak 20 responden
(58,82%) tidak menginginkan atau tidak
merencanakan kehamilanya mengalami
baby blues syndrome. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa persiapan kehamilan
ibu merupakan factor penyebab
terjadinya baby blues syndrome.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dari 34
responden yang mengalami baby blues
syndrome didapatkan responden yang
tidak mendapat dukungan dari suami
maupun keluarga sebanyak 23
responden (67,64%). Jumlah tersebut
lebih besar dibandingkan responden
yang mendapat dukungan dari suami dan
keluarga. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dukungan suami dan keluarga
merupaka factor penyebab baby blues
syndrome.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
penulis didaptkan 34 reponden yang
mengalami baby blues syndrome
sebanyak 5 responden (14,71 %)
mempunyai pendapatan Rp 500.000 –
Rp 1.000.000 perbulan, sebanyak 15
responden (44,12 %) mempunyai
pendapatan Rp 1.000.000 – Rp2.000.000
perbulan sedangkan sebanyak 14
responden (41,17 %) mempunyai
pendapatan >Rp 2.000.000 perbulan.
Berdasarkan data tersebut dapat
Maternity : Jurnal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan 44 dan social merupakan factor penyebab
baby blues syndrome.
Saran
Bagi tenaga kesehatan, dapat
mendeteksi penyebab baby blues
syndrome sehingga dapat membantu
memberi pencegahan dan penanganan
yang tepat
Bagi tenaga pendidik, dapat
menggunakan hasil penelitian sebagai
bahan referensi dalam kegiatan belajar
mengajar
Bagi klien dan masyarakat, dapat
lebih sadar bahaya dari baby blues
syndrome dan dapat mengenali factor
penyebab dari baby blues syndrome.
DAFTAR PUSTAKA
Arfian. 2012. Baby blues. Metagraf. Surakarta
Arikunto. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta
Bobak, M. Irene, et. Al. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. EGC. Jakarta
Marmi. 2012. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas “Puerpurium Care”. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Nirwana, Ade B, 2011. Psikologi Ibu Bayi dan Anak. Nuha Medika. Yogyakarta
Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta