• Tidak ada hasil yang ditemukan

Positivisme and Perkembangan Teistis dal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Positivisme and Perkembangan Teistis dal"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN LOGIS ANTARA POSITIVISME AWAL DAN PERKEMBANGAN TEISTIS DALAM HINDUISME

1. Pengantar

Mungkinkah dua aliran pemikiran yang tampaknya berbeda memiliki hubungan logis? Mungkin! Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan hubungan logis antara dua aliran yang berbeda yakni positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hindusime. Dalam pencarian pengetahuan yang benar, positivisme awal menekankan pentingnya fakta positif (nyata, jelas, konkret) dan bisa diselidiki dengan metode ilmu pengetahuan (observasi, komparasi dan eksperimentasi). Di pihak lain, pemikir Hinduisme menekankan refleksi atas hal-hal metafisis yakni realitas tertinggi sebagai kebenaran tertinggi (Brahman) yang dipersonifikasikan melalui dewa-dewi. Selain itu, penulis juga akan memaparkan relevansi kedua aliran pemikiran ini bagi pewartaan iman kristiani.

2. Positivisme Awal: Auguste Comte dan Ernst Mach 2.1. Auguste Comte

Apakah positivisme itu? Positivisme adalah aliran filsafat Barat yang mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif. Fakta-fakta ini harus bisa didekati dengan metode ilmu pengetahuan yakni ekperimentasi, observasi dan komparasi.1

Dengan kata lain, ekperimentasi, observasi dan komparasi adalah metode positivisme. Apa yang dimaksudkan dengan fakta positif? Maksudnya adalah fakta yang sungguh nyata, pasti, berguna, jelas dan langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan untuk menelitinya.

Ketika orang membicarakan tentang positivisme mau tak mau mereka harus berhadapan dengan Auguste Comte (1798-1857). Sebab dialah bapak positivisme. Ia juga menandaskan bahwa pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang benar. Pemikiran ini menyingkirkan metafisika. Mengapa? Karena metafisika mengulas tentang pengetahuan yang melampaui fakta inderawi. Bahkan dengan tegas sekali Auguste Comte mengungkapkan bahwa metafisika itu spekulasi liar atau khayalan.

Comte memahami kata ‘positif’ itu sebagai ‘apa yang berdasarkan fakta.’ Ia juga membedakan antara yang nyata dan yang khayal; yang pasti dan yang meragukan; yang tepat dan yang kabur; yang berguna dan yang sia-sia; serta kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Pengetahuan manusia tidak boleh melampaui fakta. Pemahaman ini menunjukkan bahwa Comte ingin memisahkan ilmu pengetahuan dengan metafisika. Penyelidikan itu dibatasi hanya pada fakta. Bahkan menurutnya, penyelidikan atas hal-hal yang metafisis harus dilenyapkan karena

(2)

tidak menghasilkan makna apa-apa dan sia-sia. Pernyataan di luar pernyataan positif dinilai tidak bermakna; tidak nyata!

Hal penting yang ditegaskan dalam positivisme awal adalah hilangnya peranan subjek dalam meneliti pengetahuan yang benar. Refleksi subjek atas pengetahuannya diganti dengan penyelidikan atas metodologi dan prosedur ilmu pengetahuan. Hilangnya peran subjek ini menandaskan bahwa positivisme sangat menekankan objektivitas pengetahuan. Maksudnya adalah kebenaran pengetahuan itu tidak bergantung pada subjek tetapi pada objeknya. Menurut Comte, ilmu-ilmu alam adalah contoh pengetahuan yang benar. Mengapa demikian? Karena ilmu-ilmu alam mempunyai objek atau fakta empiris yang bisa diteliti.

Comte juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sosial (sosiologi) merupakan puncak perkembangan pelbagai disiplin ilmiah. Jadi, positivisme awal melahirkan sosiologi. Yang menarik adalah ilmu sosial dianggap sebagai ilmu ilmiah yang berlandaskan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah adanya perbedaan objek observasi antara ilmu alam dan ilmu sosial. Objek ilmu alam bisa diprediksi dan dikuasai secara teknis, sementara itu objek ilmu sosial adalah manusia sebagai makhluk historis yang tindakannya tidak begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Pemikiran Comte ini bermaksud merancang kontrol atas masyarakat menurut kontrol atas alam. Dengan demikian, ilmu sosial menjadi positivistik! Tentu, inilah bahayanya ketika pandangan positivistis diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.

2.2. Ernst Mach

Ernst Mach (1838-1916) adalah seorang filsuf positivisme awal dari Austria. Pada zamannya, positivisme dikritik. Melihat kenyataan ini, ia berusaha membela positivisme. Menurutnya, positivisme merupakan paham yang mengajarkan banyak orang tentang bagaimana mencari pengetahuan yang benar. Mach menegaskan bahwa para ilmuwan harus mendisiplinkan diri mereka dalam menentang penggunaan pelbagai istilah dan teori yang tidak memiliki hubungan dengan fakta pengalaman yang bisa diindrai. Apakah fakta positif itu? Menurutnya, fakta positif adalah objek yang dialami secara indrawi.

Jenis fakta yang diselidiki secara metodologis menunjukkan jenis ilmu pengetahuan. Misalnya, jika fakta itu masyarakat, ilmunya sosiologi; jika faktanya ‘gejala kehidupan material’, ilmunya biologi; jika fakta itu benda, ilmunya fisika. Dengan demikian, semua ilmu menyelidiki fakta secara metodologis. Akibatnya, ilmu pengetahuan tak lebih dari prosedur metodologis belaka. Semuanya bertujuan menghancurkan metafisika sebagai hal yang tak bermakna. Ia mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus memiliki domain obyektif dan bukan domain subyektif seperti metafisika. Karena itu ia memilih ilmu alam sebagai contoh pengetahuan yang benar sebab memiliki data obyektif untuk dianalisis dan diteliti.

(3)

yang benar tentang kenyataan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menyalin fakta dan fakta tersebut adalah kenyataan yang dapat diindrai. Maksudnya, harus ada kesesuaian pikiran dan fakta. Anggapan dasarnya adalah kebenaran merupakan korespondensi antara pengetahuan dan fakta inderawi. Prosedur yang dibenarkan adalah prosedur ilmu-ilmu alam sebab ilmu alam itu objektif. Dengan demikian, pengetahuan diperoleh dengan meniru fakta (mimesis). Menurut Habermas, pendapat ini tak lain adalah ilusi objektivisme karena positivisme menipu ilmu pengetahuan dengan gambaran dunia otonom yang terdiri atas susunan fakta yang dapat diindrai. Tetapi dengan ilusi objektivisme ini, subjek tak sanggup melakukan refleksi atas pengetahuannya karena jalan masuk ke dalam kenyataan telah dihalangi oleh patok-patok positif.

3. Perkembangan Teistis dalam Hinduisme

Brahman adalah realitas tertinggi yang tidak dapat didefinisikan secara harfiah. Ia dapat didekati dan dipahami secara konseptual. Karena Brahman berada di balik konsep, maka pada akhirnya kualitas-kualitas yang melukiskan Brahman harus disangkal dengan jalan via negativa. Penyangkalan dengan cara ini dalam tradisi India dikenal sebagai neti-neti (bukan begitu, bukan begitu). Neti-neti dengan jelas menyingkapkan pengertian filosofis bahwa Brahman tidak dapat dimengerti dalam term-term konseptual.

Kendati demikian, realitas dapat juga didekati dengan jalan yang tidak konseptual. Para pemikir Hinduisme menekankan bahwa indra-indra merangsang perasaan dan iman serta pikiran. Pengertian religius nilainya sama tinggi dengan pengertian yang dicapai melalui pemikiran abstrak. Pengertian religius bersifat aktif dan menuntun seorang untuk memeluk atau menghindari realitas dalam bentuk-bentuknya yang langsung dan konkret. Berikut ini adalah ulasan tentang dewa-dewi yang merupakan perwujudan Brahman dalam Hinduisme.

VISHNU

Vishnu dikenal sebagai dewa pengasuh dan penopang hidup. Ia merupakan personifikasi cinta, keindahan dan kebaikan realitas. Karena Vishnu juga merupakan personifikasi cinta dan keindahan, maka hal ini kemudian dikaitkan dengan pengalaman manusia yang hampir universal bahwa hidup diasuh dan ditopang oleh cinta.

Bentuk-bentuk Vishnu

(4)

benar. Sedangkan Vishnu yang menjelma dalam sosok Krishna hadir sebagai dewa yang paling populer dan sangat dicintai dari semua dewa lainnya, sebab ia merupakan perwujudan utama cinta dan keindahan.

Kendatipun perhatian terhadap penjelmaan Vishnu ini pertama-tama lebih kepada Krishna, namun perlu diingat bahwa Vishnu juga mengambil banyak bentuk lain dalam usahanya untuk melindungi dan menopang dunia. Dalam tradisi Hindu dikenal sepuluh penjelmaan utama Vishnu, yakni Matsya, Kurma, Varaha, Narasimha, Vamana, Paraushrama, Rama, Krishna, Buddha (pendiri Hinduisme yang mengalami pencerahan) dan Kalkin.

Krishna

Dalam 18 bab dari syair “Nyanyian Tuhan” (Bhagavad Gita), Krishna digambarkan sebagai sosok pengemudi kereta perang Arjuna. Ia datang membawa berita gembira kepada umat manusia dan mengajarkan jalan devosi kepada Dewa yang memadukan pengetahuan dan tindakan. Krishna menyatakan bahwa meskipun ia hadir dalam bentuk manusia sebagai seorang pengemudi kereta perang, namun ia sesungguhnya adalah realitas tertinggi, sumber, pemimpin, kuasa dan kesatuan yang berdiam dalam semua eksistensi. Sebagai Dewa yang mahatinggi, segala sesuatu hadir dalam dia, dan ia hadir dalam segala sesuatu. Meskipun Krishna sebagai Dewa hadir dalam segala hal, namun keberadaannya jauh melampaui segala hal itu.

Krishna Vrindavana hadir untuk menjawab kondisi manusia yang menuntut suatu bentuk Dewa yang agak rendah hati dan lebih manusiawi. Krishna Vridavana adalah Dewa yang hadir sebagai sosok penggembala sapi yang juga membakar semangat devosional dan imaginasi Hindu. Krishna inilah yang disingkapkan sebagai seorang bayi mungil yang dapat disembah, seorang bocah laki-laki sebagai penggembala yang rendah hati dan menyingkapkan keindahan ilahi, kegembiraan dan cinta akan realitas tertinggi.

KALI

(5)

SHIVA

Shiva adalah Dewa yang bersifat paradoks. Ia tuan atas kematian tetapi serentak tuan atas ciptaan; ia adalah penari kosmis dan serempak sang yogi yang tidak bergerak. Shiva juga merupakan dewa tertinggi yang berkuasa atas kehancuran, ciptaan dan yang memelihara dunia. Ia dapat menggabungkan semua fungsi yang dimainkan oleh para dewa lain. Ia melampaui semua eksistensi, karena segala eksistensi itu terbentuk dan keluar dari dirinya.

Shiva juga digambarkan sebagai dewa penari yang dapat diuji dengan ketiga fungsi yang disatukan dalam dirinya, yaitu menyatukan, memelihara dan merusak dunia, namun serempak ia juga melampaui semua polaritas-polaritas itu. Ketika menari dalam lingkaran api, Shiva menjelmakan energi kreatif primordialnya menjadi eksistensi. Ritme tariannya dan energi geraknya mentransformasi energi primordial menjadi hidup. Seluruh alam semesta adalah akibat tarian kekal Shiva yang secara serempak menciptakan dan menghancurkan dunia dalam satu proses yang tak pernah berakhir.

4. Hubungan Logis

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hubungan logis antara positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hinduisme.

4.1. Titik Temu

a. Mencari Kebenaran

Pemikir positivisme awal mencari kebenaran. Tepatnya, mereka mencari pengetahuan yang benar melalui metode ekperimentasi, observasi dan komparasi. Bahwasannya pengetahuan yang benar harus jelas, nyata dan bisa diteliti. Di pihak lain, para pemikir Hinduisme juga mencari kebenaran. Kebenaran itu ditemukan dalam Brahman sebagai realitas tertinggi. Uraian tentang penjelmaan Brahman dalam rupa dewa-dewi merupakan upaya untuk mendekatkan diri para pendevosinya dengan sang Kebenaran itu. Jadi, baik postivisme awal maupun pemikir Hinduisme sama-sama mencari kebenaran menurut cara pandangnya masing-masing.

b. Pemahaman manusia tentang realitas selalu berkembang

Pada abad pertengahan, banyak pemikir yang sibuk merefleksikan hal-hal metafisis atau yang melampaui bukti-bukti empiris. Kemudian, kaum positivis ‘meruntuhkan’ cara berpikir metafisis itu dan mengajak orang untuk berpusat pada objek yang bisa diobservasi dan diteliti secara ilmiah oleh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia tentang realitas itu selalu berkembang seiring dengan kemajuan zamannya.

(6)

paling tidak berkat penjelmaannya dalam rupa dewa-dewi, para pendevosinya mengalami kedekatan dengannya. Inipun merupakan gambaran bahwa cara memahami realitas tertinggi dalam Hinduisme turut berkembang seiring kemajuan cara berpikir para pendevosinya.

c. Kebenaran tidak pernah tuntas

Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bisa diuji, diteliti dengan metode-metode ilmu pengetahuan. Inilah yang diperjuangkan oleh positivisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang benar itu selalu membuka ruangnya untuk diteliti kembali oleh ilmuwan lain. Dengan kata lain, kebenaran pengetahuan itu tidak pernah tuntas.

Di pihak lain, dalam perkembangan teistis Hinduisme, kebenaran itu juga tidak pernah tuntas dibahas. Sebab personifikasi dewa-dewi bukanlah Sang Kebenaran itu sendiri. Kehadiran dewa-dewi hanyalah sarana untuk mendekatkan para pendevosinya dengan Sang Kebenaran tertinggi yang tidak pernah dipahami secara tuntas.

4.2. Perbedaan

a. Peranan Subjek Pengetahuan

Dalam positivisme awal, subjek kehilangan peranannya dalam menemukan pengetahuan yang benar, sebab positivisme sangat menekankan objektivitas. Sedangkan dalam perkembangan teistis Hinduisme, subjek berperan penting dalam merefleksikan kehadiran Brahman melalui penjelmaannya dalam rupa dewa-dewi.

b. Objek pengetahuan

Yang menjadi objek pengetahuan dalam positivisme awal adalah fakta positif yang bisa didekati dengan metode ilmiah (observasi, ekperimentasi dan komparasi). Sedangkan dalam perkembangan teistis Hinduisme, yang menjadi objek pengetahuan adalah hal-hal metafisis yakni Brahman yang menjelma dalam rupa dewa-dewi.

c. Tujuan pencarian kebenaran

Dalam positivisme awal, tujuan pencarian kebenaran adalah mencapai ‘kepuasan’ intelektual. Sedangkan dalam perkembangan teistis Hinduisme, tujuan pencarian kebenaran adalah menggapai ‘kepenuhan’ spiritual. Ketika dekat dengan realitas tertinggi, mereka merasa dilindungi sehingga menciptakan rasa aman dan damai dalam hidupnya.

5. Relevansi

Penulis memilih dua hal penting yang perlu diulas tentang relevansi pemikiran positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hinduisme bagi pewartaan iman Katolik zaman ini.

a. Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (Yakobus 2:17)

(7)

mengalami kebaikan, cinta dan keindahan sang realitas tertinggi. Dalam agama Katolik, hal ini bisa dikatakan sebagai refleksi teologis. Sebuah refleksi tentang cinta Allah yang tak berhingga kepada umatnya. Akan tetapi, refleksi ini perlu dikonkretkan dengan tindakan-tindakan kasih sehari-hari. Tindakan kasih yang nyata inilah yang menjadi sumbangan positivisme awal bagi pewartaan iman kristiani. Bahwasannya, cinta Tuhan yang dialami hendaknya dibagikan kepada orang lain. Misalnya, ketika ada orang yang kelaparan hendaknya dibantu, atau ketika ada warga yang mengalami bencana alam hendaknya diberikan sumbangan. Yang pasti bukan hanya melalui kata-kata peneguhan, tetapi terutama melalui bantuan nyata (misalnya uang, pakaian, makanan). Inilah ungkapan iman kepada Allah sang Cinta! Iman ini hendaknya dibuktikan dalam perbuatan kasih. Tindakan ini sejalan dengan ungkapan terkenal dari Surat Yakobus: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (Yak 2:17).

b. Pastoral berbasis data

Dalam Gereja Katolik sering didiskusikan tentang pastoral berbasis data. Apa maksudnya? Maksudnya adalah karya pastoral Gereja hendaknya memperhatikan data-data konkret yang berkaitan dengan kehidupan umat beriman.2 Jadi, karya pastoral Gereja bukan

tindakan spekulatif, tetapi berdasarkan fakta positif. Untuk mendapat data-data tersebut, petugas pastoral membutuhkan ilmu lain, misalnya Sosiologi dan Antropologi. Ketika data diperoleh, petugas pastoral bisa melakukan karya yang menyentuh kebutuhan umat. Hampir pasti bahwa karya pastoral yang demikian akan membawa perubahan hidup bagi umat yang dilayani. Dengan kata lain, umat akan semakin beriman kepada Tuhan karena karya pelayanan yang menyentuh persoalan hidup mereka; bahkan ‘mengeluarkan’ mereka dari persoalan hidup tertentu. Penghargaan terhadap data-data inilah yang diperjuangkan oleh positivisme awal. Dan hal demikian merupakan sumbangan untuk karya pastoral Gereja. Singkatnya, refleksi tentang Tuhan yang Mahatinggi (sebagaimana juga dilakukan oleh pemikir Hinduisme) akan bermanfaat bagi umat beriman apabila pelayan pastoral melakukan karya-karya konkret (fakta positif, sebagaimana diperjuangkan oleh Positivisme awal) yang memenuhi kebutuhan umat.

6. Penutup

Penulis telah berusaha menjelaskan tentang positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hinduisme. Selain itu, penulis juga telah berusaha menemukan hubungan logis antara keduanya. Pemikiran positivisme awal dan perkembangan teistis dalam Hinduisme ternyata juga memiliki relevansinya untuk pewartaan iman kristiani. Akhirnya, penulis menemukan bahwa dua aliran pemikiran yang berbeda ternyata masih memiliki hubungan logis dan relevansinya, asalkan dianalisis dengan baik dalam sudut pandang filsafat. Inilah yang luar biasa dari filsafat!

2 Ignatius Haryanto, Pastoral Berbasis Data, dalam

(8)

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Koller, John M., Filsafat Asia (terj. Donatus Sermada), Maumere: Ledalero, 2010.

Sermada, Donatus, Pengantar Ilmu Perbandingan Agama, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2011.

Ignatius Haryanto, Pastoral Berbasis Data, dalam

Referensi

Dokumen terkait

Dianugerahkan kepada Artis, Komposer dan Penulis Lirik untuk lagu baru yang diterbitkan dalam tempoh kelayakan. Kategori ini adalah untuk persembahan solo, duo

[r]

Kedua , alat Penilaian Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran dengan Pendekatan Tematik Terpadu dan Pendekatan Saintifik (APKM2) adalah sangat layak untuk digunakan

Kelebihan- kelebihan pendekatan Ki Hajar Dewantara adalah: (1) membiasakan siswa belajar aktif dan mandiri dalam memecahkan suatu persoalan/ masalah yang mampu mengurangi dominasi

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul: ANALISIS KESESUAIAN ANTARA SINGLE TUNED FILTER

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa

• Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015...

Kemampuan bakteri untuk mendegradasi suatu hidrokarbon dari limbah minyak bumi berbeda-beda, karena komposisi senyawa hidrokarbon yang terdapat di dalam minyak bumi berbeda