• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Perjuangan Warga Kebun Sa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan Hukum Perjuangan Warga Kebun Sa (1)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal

Rencana Penggusuran Warga di Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur

oleh:

Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2015 dan

Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FHUI 2015

A. Kasus Posisi

Sejak tahun 1980-an lahan kosong bercirikan semak belukar dengan kisaran luas 5,3 hektar di kawasan Ciracas, Jakarta Timur telah menjadi hunian para pendatang dari luar Jakarta bahkan luar Pulau Jawa. Melihat kondisi tanah yang terbengkalai dan diimbangi dengan kebutuhan akan mata pencaharian di Ibukota, warga pendatang kemudian menempati dan menggarap lahan kosong yang ada menjadi kebun sayur. Nyaris tanpa dinamika yang berarti, warga Desa Kebun Sayur Ciracas menjalani kehidupan selama hampir 20 tahun. Adapun guncangan pertama pada harmonisme hidup warga Desa Kebun Sayur terjadi pada saat 6 Mei 2009 silam, yang ketika itu Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) melayangkan surat permohonan No. 10/RTP/VI/2009 yang ditujukan untuk PLN cabang Ciracas terkait pemutusan aliran listrik warga Kebun Sayur. Gempuran kedua kemudian menyusul dengan skala yang lebih besar saat PPD memberikan ultimatum secara sepihak, dengan dasar hukum yang dipertanyakan validitasnya1 perihal batas waktu bagi warga untuk meninggalkan lokasi Ciracas dari mulai 10 Juni-10 Agustus 2009 disertai dengan pendirian pos penjagaan dan penutupan seluruh akses jalan warga. Opresi dari luar secara otomatis membangkitkan upaya konsolidasi internal warga Desa Kebun Sayur Ciracas melalui pembentukan Tim Sembilan pada 9 Juni 2009.

Tim Sembilan merupakan pelembagaan suara dan aspirasi warga Desa Kebun Sayur yang mengemban tugas untuk berhubungan langsung dengan pihak-pihak eksternal dalam upaya pengadvokasian dan pengembalian hak-hak warga Desa Kebun Sayur yang tercederai dengan ultimatum sepihak Perum PPD. Perjuangan demi perjuangan dilakukan Tim Sembilan dengan didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum

(2)

Jakarta, mulai dari tahap permohonan perundingan yang ditujukan kepada pihak PPD, permohonan bantuan mediasi sengketa kepada berbagai instansi termasuk Komnas HAM dan Komisi III DPR-RI dan permohonan bantuan pemenuhan identitas warga yang ditujukan pada Lurah Ciracas. Upaya-upaya yang digulirkan berhasil meredam tekanan dari PPD walau dalam perjalanannya tetap dibumbui intimidasi2 dari pihak PPD. Satu hal yang masih menjadi kegamangan warga Desa Kebun Sayur sampai saat ini ialah tidak diakuinya entitas Desa Kebun Sayur sebagai kawasan di kelurahan Ciracas dan warga tidak terpenuhi hak administratifnya karena warga Desa Kebun Sayur tidak dapat mengurus KTP ber-domisili Ciracas dengan alasan lahan yang ditempati merupakan milik orang lain.3

B. Tinjauan Mengenai PP Nomor 42 Tahun 2003 Tentang Penyertaan Modal Kepada Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD)

Permasalahan penyertaan modal negara dalam bentuk tanah kepada Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) merupakan suatu permasalahan yang sangat pelik, dimana penyertaan modal dalam bentuk tanah ini dicantumkan di dalam PP No.42 tahun 2003. Permasalahan yang terjadi adalah penyertaan modal dalam bentuk tanah tersebut yang salah satunya berada di kawasan Ciracas telah ditempati oleh orang-orang yang mengelola tanah tersebut sedari dulu. Adapun orang-orang tersebut dikenal sebagai masyarakat Kebun Sayur Ciracas.

1. Tata Cara Pemberian Penyertaan Modal

Di dalam PP No.42 tahun 2003 disebutkan bahwa alasan di dalam penyertaan modal negara kepada PPD adalah “untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usaha Perusahaan Umum (PERUM) Pengangkutan Penumpang Djakarta, dipandang perlu untuk melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (PERUM) Pengangkutan Penumpang Djakarta”4. Di dalam PP tersebut salah satu modal negara yang diberikan

2 Bentuk-bentuk intimidasi antara lain: 1) Pihak PPD mendatangi warga door-to-door dikawal kepolisian berpakaian preman dan oknum Satpol PP, 2) Penutupan akses jalan masuk, 3) Pencurian ternak dan pompa air milik warga 3 Berdasarkan pernyataan Kepala Lurah Ciracas pada April 2010 setelah pertemuan dengan Pihak PPD. Sumber: Team Sembilan Perwakilan Warga Kebun Sayur Ciracas, Kronologis Warga Menempati Kebun Sayur

(3)

kepada PPD adalah tanah di ciracas seluas 53.817 m2, namun kita harus meninjau ulang bagaimana sejatinya tata cara pemberian penyertaan modal tersebut kepada pihak PPD.

Di dalam lampiran X Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 tentang tata cara pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindahtanganan barang milik negara, mengatur tentang tata cara pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat yang berasal dari barang milik negara, dimana dinyatakan dalam angka romawi IV lampiran peraturan menteri di atas dinyatakan bahwa barang milik negara yang dapat dilakukan penyertaan modal pemerintah terdiri dari :

1. tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengelola barang.

2. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggarannya.

3. selain tanah dan/atau bangunan.

Lalu dalam angka romawi V lampiran peraturan menteri di atas dijelaskan bahwa subjek pelaksana penyertaan modal pemerintah pusat terdiri dari :

1. Pihak-pihak yang dapat melaksanakan penyertaan modal pemerintah pusat adalah:

a. Pengelola Barang, untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang.

b. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang untuk:

i. Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran.

ii. Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan. 2. Pihak-pihak yang dapat menerima penyertaan modal pemerintah pusat :

a. Badan Usaha Milik Negara. b. Badan Usaha Milik Daerah.

c. Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.

(4)

bendahara umum negara, selain itu yang dimaksud dengan pengguna barang merujuk pada Pasal 6 PP No. 27 tahun 2014 adalah Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pimpinan Kementerian/Lembaga.

Tanah Kebun Sayur Ciracas sendiri sejatinya adalah aset yang dimiliki oleh pemerintah pusat selaku pengelola barang, yang mana di dalam PP No. 42 tahun 2003 tanah tersebut diberikan kepada Perum PPD yang nantinya akan menjadi pengguna barang. Namun kita harus mengetahui bahwa sejatinya sebelum PP No. 42 tahun 2003 tersebut diterbitkan terdapat berbagai tata cara yang harus dilewati oleh pemerintah selaku pengelola barang, yang mana diampukan kepada Menteri keuangan.

Di dalam angka romawi VII angka 2 lampiran Peraturan Menteri Keuangan di atas, diatur mengenai tata cara pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat tentang barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengelola barang. Bahwa sejatinya sebelum tanah tersebut diberikan kepada pihak pengguna barang nantinya, pihak pengelola barang harus menyetujui untuk menyertakan modal yang diajukan oleh pihak pengguna barang. Nantinya bila pihak pengelola barang menyetujui pengajuan tersebut, maka pihak pengelola barang harus membentuk tim yang terdiri dari pengelola barang, wakil dari instansi yang bertanggung jawab dalam pembinaan penerima penyertaan modal, serta dapat melibatkan wakil dari instansi teknis yang kompeten, dan wakil dari calon penerima penyertaan modal.

Tim ini nantinya akan melakukan penelitian atas tanah dan/atau bangunan yang akan dijadikan penyertaan modal, serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis dalam pelaksanaan penyertaan modal tersebut. Berdasarkan laporan tim ini pengelola barang akan menetapkan nilai barang milik negara yang akan disertakan sebagai modal menyusun rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal, selain itu di dalam laporan tersebut juga terdapat tentang kelayakan tanah tersebut. Selanjutnya pengelola barang akan mengajukan permohonan persetujuan kepada DPR terkait penyertaan modal tersebut beserta hasil laporan dari tim, lalu berdasarkan surat persetujuan dari DPR, Pengelola Barang mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan di dalam PP.

(5)

DPR, pemerintah selaku pengelola barang yang diwakilkan oleh Menteri Keuangan, mengetahui apakah tanah tersebut sekarang sudah ditempati atau dikelola oleh satu maupun beberapa orang, dikarenakan terdapat alur penilitian terhadap tanah tersebut sebelum tanah tersebut ditetapkan sebagai penyertaan modal pemerintah kepada BUMN. Pun saat meminta persetujuan DPR, sudah sejatinya DPR seharusnya meminta persetujuan masyarakat sekitar tempat tersebut, apakah masyarakat nantinya akan setuju bila tempat/tanah tersebut dijadikan sebagai apa yang diinginkan oleh BUMN atau BUMD yang diberikan tanah, bila nantinya warga menyetujui barulah DPR seharusnya menyetujui usulan dari pengelola barang yang mana adalah Menteri Keuangan.

Terkait dengan tanah di Ciracas yang notabene sudah dikelola dan ditempati sedari dulu sebelum dikeluarkannya PP tersebut, maka sejatinya di sini pemerintah selaku pengelola barang seharusnya sudah mengetahui bahwa tanah tersebut telah ditempati dan dikelola oleh warga Kebun Sayur Ciracas pada saat penelitian terhadap tanah tersebut. Maka terjadi sebuah kejanggalan saat tanah tersebut telah ditempati dan diusahakan oleh beberapa orang, namun tetap disertakan sebagai penyertaan modal negara kepada BUMN yang mana disini adalah PPD, pun kejanggalan lainnya adalah bagaimana mungkin DPR yang sudah sewajarnya adalah perwakilan rakyat menyetujui usulan dari Menteri Keuangan tersebut saat DPR pun seharusnya mengetahui dari hasil penelitian pengelola barang yaitu Menteri Keuangan bahwa lahan tersebut sudah ditempati dan diusahakan oleh beberapa orang, yang notabene orang-orang tersebut telah menetap lama dan merupakan masyarakat miskin yang ingin mencari kehidupan yang lebih layak.

2. PP Penyertaan Modal Sebagai Dasar Kepemilikan Atas Tanah

(6)

dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang masih memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Adapun subyek dari hak milik sendiri terdiri dari:

a. Perseorangan, yang mana diatur lebih lanjut bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (1) UUPA) b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat mempunyai

hak milik dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA)

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga Indonesia saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang di luar negeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam PP No. 38 Tahun 1963. Yang terdiri dari :

1. Bank-bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara) Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas UU No. 79 Tahun 1958. 2. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar pendapat dari Menteri Agama

3. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar pendapat dari Menteri Kesejahteraan Sosial.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya hak milik diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal, baik untuk tanah yang diusahakan maupun untuk keperluan membangun sesuatu di atasnya.

Terjadinya hak milik atas tanah sendiri dapat melalui 3 cara yang disebutkan dalam Pasal 22 UUPA yaitu :

1. Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat :

Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibing)

2. Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah :

(7)

pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh BPN.

3. Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang-undang :

4. Hak milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1, Pasal II, dan Pasal III dan Pasal VII ayat(1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan kasus Kebun Sayur Ciracas dapat disimpulkan, walaupun berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPA oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, namun PP Nomor 42 tahun 2003 yang digunakan oleh PPD sebagai dasar kepemilikan tanah mereka sebenarnya dapat dikatakan cacat hukum karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, sebab PPD sendiri tidak termasuk dalam Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah berdasarkan Pasal 1 PP tersebut5.

PP yang mengatur tentang penyertaan modal pemerintah yang mana salah satunya adalah tanah yang terdapat di Ciracas tidak dicantumkan dengan jelas tanah Ciracas bagian mana yang menjadi hak PPD berdasarkan PP No. 42 tahun 2003 tersebut6, sehingga terjadi sebuah pertanyaan besar apakah tanah yang dicantumkan di dalam PP tersebut adalah tanah Kebun Sayur Ciracas atau bukan.

Perihal perlibatan masyarakat dalam pembuatan PP No.42 tahun 2003 tersebut tentu berkaitan erat dengan peran/perlibatan masyarakat dalam penataan ruang perkotaan. Sebab salah satu hal yang terkandung dalam PP tersebut adalah perihal penambahan modal berupa tanah. Seperti tertuang dalam Pasal 12 UU No. 24 Tahun 1992 bahwa penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat7. Hal tersebut berarti bahwa dari saat lahirnya UU No. 24 Tahun 1992 masyarakat sudah diperankan sebagai mitra (secara hitam diatas putih) namun dalam kenyataannya masih belum dilaksanakan.

5 lihat peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 38 tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah

6 lihat peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 42 tahun 2003tentang penambahan penyertaan modal negara

republik Indonesia ke dalam modal perusahaan umum (perum) pengangkutan penumpang Djakarta

(8)

Sementara itu dalam PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan dan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, dalam Pasal 2 PP tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat berhak untuk :

a. Berperan serta b. Mengetahui

c. Menikmati manfaat d. Mendapat ganti8

Jika dikaitkan dengan kasus Ciracas, dapat dikatakan bahwa pihak-pihak terkait telah mengabaikan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dan mengabaikan hak-hak masyarakat Ciracas, pun saat pemerintah memberikan tanah tersebut kepada pihak PPD berdasarkan PP di atas sudah seharusnya masyarakat Kebun Sayur Ciracas mendapat ganti tanah oleh pemerintah di tempat lain selebar tanah yang selama ini ditempati dan dikelola oleh masyarakat Kebun Sayur Ciracas.

C. Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Penggusuran

Penggusuran menjadi masalah yang pelik dalam konteks sosiologis manusia dimana kebutuhan akan tempat perlindungan (rumah) menjadi hal esensial bagi keberlangsungan hidup manusia. Rumah menjadi esensial bagi keberlangsungan hidup karena memberikan proteksi dan kemampuan bagi manusia untuk membangun dirinya menjadi manusia sebenarnya lewat aktifitas-aktifitas yang dilakukannya di rumah seperti makan, tidur, beristirahat, penyimpanan makanan dan harta, serta pertumbuhan keluarga. Dalam konteks tempat sebagai lokasi usaha, keberlangsungan hidup secara langsung terusik dengan adanya penggusuran. Hal ini terjadi jika usaha yang menggunakan tempat tersebut menjadi mata pencaharian utama bagi pengusaha tersebut.

Menimbang hal-hal tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memasukkan hak atas tempat tinggal dalam hak yang layak disebut sebagai hak paling esensial bagi manusia, yaitu Hak Asasi Manusia. The Universal Declaration of Human Rights menyatakan :

(9)

No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks (Article 12)”, dan “Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control (Article 25 para. 1)”.

Mengenai hak atas tempat tinggal juga telah masuk ke dalam the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang menyatakan :

The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to an adequate standard of living for himself and his family, including adequate food, clothing and housing, and to the continuous improvement of living conditions. The States Parties will take appropriate steps to ensure the realization of this right, recognizing to this effect the essential importance of international co-operation based on free consent

(Article 11 para.1)”.

Dari berbagai dokumen PBB tersebut, Indonesia telah memasukkannya ke dalam beberapa produk hukum. Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah, juga pada Pasal 19 undang-undang yang sama menyatakan bahwa penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat (ayat 1), dan penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (ayat 2). Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

(10)

dan setelah penggusuran terjadi. Sebelum penggusuran terjadi, haruslah ada alasan yang seimbang dalam melaksanakan penggusuran, yaitu pembangunan untuk kepentingan umum. Hal tersebut telah diimplikasikan dalam penerbitan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Saat berlangsungnya penggusuran, proses penggusuran haruslah jauh dari keterpaksaan tergusur9 dan kekerasan10. Dalam pelaksanaan penggusuran, pemerintah juga haruslah memberikan ganti rugi kepada pihak yang berhak melalui musyawarah penetapan ganti kerugian.11

D. Tinjauan Sosiologis Masyarakat Kebun Sayur dari Dulu Hingga Sekarang Sekilas balik napak tilas perjuangan warga Desa Kebun Sayur memiliki sebuah alur dari perspektif psikologi yang dapat dibagi kedalam tiga periodisasi yakni tinjauan psikologis terhadap: (1) Masa Pra Opresi PPD (1990-sebelum Mei 2009), (2) Masa Rawan Opresi PPD (Mei 2009-Des 2010), (3) Masa Pasca Opresi PPD (Awal 2011-sekarang). Suatu tinjauan sosiologis berarti sorotan yang didasarkan pada hubungan antarmanusia, hubungan antar kelompok serta hubungan antara manusia dengan kelompok, di dalam proses kehidupan masyarakat. 12 Dalam kasus warga Desa Kebun Sayur Ciracas, pergesekan antar kelompok yaitu kelompok masyarakat Desa Kebun Sayur sebagai satu entitas dan Perum PPD sebagai entitas lain. Pergesakan tersebut menimbulkan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat, atau dapat disebut juga sebagai gejala abnormal/gejala patologis. Dikatakan sebagai suatu gejala abnormal karena kehadirannya menimbulkan kekecewaan atau penderitaan yang membahayakan hubungan-hubungan sosial dan berujung pada kegoyahan dalam kehidupan masyarakat.

Tinjauan sosiologis masyarakat Desa Kebun Sayur Ciracas dapat dilakukan dengan mengikuti periodisasi sebagaimana telah dijabarkan diatas dan juga alur peristiwa yang dimulai dari timbulnya suatu interaksi sosial bersifat disosiatif yang dikualifisir dalam bentuk pertentangan/konflik, kemudian pertentangan/konflik melahirkan penguatan konsolidasi ke dalam, konsolidasi bentuk reorganisasi warga masyarakat, yang

9 Lihat Pasal 19 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan 10 HAM menolak bentuk opresif terhadap warga negara oleh pemerintah

11Lihat Pasal 27 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

(11)

reorganisasi kemudian melahirkan proses pelembagaan yang berfungsi untuk merealisasikan gerakan sosial sebagai reaksi dari kondisi sosial yang ada.

Terbentuknya komunitas di lahan yang sekarang bernama Desa Kebun Sayur bermula dari warga luar Jakarta yang menjadi pendatang. Sebagian besar warga pendatang berasal dari Karawang, Jawa Barat dan sebagian besar lagi berasal dari Medan, Sumatera Utara. Warga pendatang yang melakukan urbanisasi atas dorongan ketidakmampuan dalam segi ekonomi dan keingingan untuk memiliki mata pencaharian di Ibu Kota kemudian melihat adanya potensi dari sebuah lahan kosong tak berpenghuni di kawasan Ciracas, Jakarta Timur sehingga timbul keinginan untuk menggarapnya. Kuantitas pendatang makin-bertambah seiring berjalannya waktu dan lama-kelamaan secara alamiah membentuk apa yang disebut dengan kelompok sosial. Kelompok sosial merupakan himpunan manusia yang hidup bersama dan diantara mereka terdapat hubungan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling-menolong. 13 Kelompok sosial yang terbentuk di Desa Kebun Sayur termasuk pada kualifikasi kelompok sosial berbentuk paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place). Rasa solidaritas diantara masyarakatnya terbangun atas kesatuan wilayah. Masyarakat Desa Kebun Sayur Ciracas memenuhi klafisikasi suatu kelompok sosial untuk disebut sebagai paguyuban yaitu diantaranya ditandai dengan ciri saling mengenal antar anggotanya, adanya suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian dan juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut.

Kesatuan batin yang menandai kelompok sosial paguyuban tercermin di periode kedua yaitu kondisi masyarakat Desa Kebun Sayur pada masa rawan opresi PPD. Surat peringatan yang dilayangkan PPD untuk mengklaim tanah yang telah ditempati warga selama kurang lebih 20 tahun merupakan bentuk interaksi sosial antar-kelompok yang bersifat disosiatif yaitu pertentangan atau pertikaian. Pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Akar dari pertentangan dalam kasus PPD dengan warga Desa Kebun Sayur adalah perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan didasari oleh

(12)

aspek ekonomi, warga Desa Kebun Sayur merasa mereka layak atas tanah yang telah mereka garap dan menjadi sumber mata pencaharian mereka. Di lain pihak Perum PPD mengklaim bahwa tanah yang awalnya tak berpenguhi di kawasan Ciracas tersebut sebagai milik mereka.

Masyarakat Ciracas yang memiliki kekhasan kelompok sosial gemeinschaft by place yaitu rasa solidaritas yang alami merespon pertikaian dengan positif. Positif dalam artian bahwa sesungguhnya pertentangan sebagai proses disosiatif tidak selamanya hanya membawa penderitaan atau gangguan pada rasa kelanggengan masyarakat. Dalam teori sosiologi yang mengkaji tentang dampak konflik dalam suatu masyarakat, konflik terbukti membawa dampak positif karena keberadaannya yang secara otomatis memperkuat solidaritas intern dari rasa in-group suatu kelompok. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan akan meningkat pesat dengan hadirnya konflik dengan pihak luar.14

Rasa solidaritas sebagai pihsk yang menderita dibawah opresi, warga Desa Kebun Sayur membentuk Tim Sembilan sebagai pengrealisasian konkret dari konsolidasi ke dalam masyarakat Desa Kebun Sayur setelah terjadinya pertikaian dengan PPD. Sebagai sebuah lembaga sosial, Tim Sembilan dapat diklafisikan sebagai

enacted institutions atau jenis lembaga sosial yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu15. Pembentukan Tim Sembilan sebagai sebuah lemaga sosial bertujuan untuk menjadi jembatan penghubung bagi warga Desa Kebun Sayur dengan instansi-instansi luar dalam rangka pengadvokasian aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Setelah pembentukan Tim Sembilan sebagai sebuah lembaga sosial yang turut menjadi substitusi kehadiran Rukun Tetangga di wilayah Desa Kebun Sayur, tinjauan sosiologis terhadap kondisi masyarakat masuk ke dalam periode ketiga yaitu ketika pertentangan dengan pihak DPD sudah mulai mereda. Meredanya konflik dengan DPD tidak semata-mata menurunkan kadar keawasan warga Desa Kebun Sayur terhadap posisi mereka yang masih rawan. Status mereka yang tidak diakui sebagai warga DKI Jakarta dengan dipersulitnya kepemilikan Kartu Tanda Penduduk oleh petugas administratif setempat

14 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005, hlm. 68.

(13)

serta ditambah dengan status lahan sengketa yang menambah ketidakpastian masa depan Warga Desa Kebun Sayur.

Pada periode ketiga, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Pak Darwin Sinaga, mantan ketua Tim Sembilan Desa Kebun Sayur Ciracas periode 2014-2015, kegiatan yang dilakukan Tim Sembilan lebih banyak terfokus pada pemupukan kembali solidaritas paguyuban antar warga masyarakat. Interaksi yang terjalin dalam fase ini adalah interaksi sosial asosiatif dalam bentuk kerjasama. Unsur kerjasama sebenarnya sudah tertanam dalam diri warga Desa Kebun Sayur pada periode kedua, dimana kerjasama bertambah kuat setelah ada bahaya luar yang mengancam atau tindakan-tindakan luar yang menyinggung kepentingan masyarakat, namun pada periode pasca meredanya pertikaian dengan PPD bentuk kerjasama dalam masyarakat cenderung ke arah gotong-royong. Gotong-royong dilakukan dengan bentuk perbaikan infrastruktur jalan dan kerja bakti lingkungan. Tujuan dilaksanakannya kerjasama pada periode ini semata-mata untuk memperbaiki keadaan Desa Kebun Sayur yang berangsur-angsur semakin kumuh di beberapa titik. Pemerintah dan Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang16 dalam hal pengendalian kawasan pemukiman untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan pemukiman kumuh. Ketentuan dalam perundang-undangan ini dapat menjadi justifikasi bagi aparat pemerintah untuk melakukan penggusuran terhadap kawasan pemukiman yang dinilai kumuh. Oleh karena itu, pemupukan kembali solidaritas paguyuban Desa Kebun Sayur Ciracas beserta kegiatan gotong-royong berfungsi untuk mencegah atau setidaknya memperkecil kemungkinan penggusuran di kawasan yang sekarang mereka huni.

Sebagai konklusi, tinjauan sosiologis terhadap kondisi masyarakat Ciracas dari dulu sampai sekarang secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga periode yang acuannya adalah pertentangan denga pihak DPD. Kajian dari aspek sosiologi dimulai dari pembentukan Desa Kebun Sayur sebagai sebuah komunitas yang berkembang menjadi paguyubas atas dasar kesatuan wilayah, konflik dengan pihak luar yang membangkitkan rasa solidaritas ke dalam in-group dan penguatan konsolidasi melalui pembentukan Tim Sembilan sebagai sebuah enacted institution serta yang terakhir,

(14)

pemupukan kembali rasa solidaritas bersama melalui kerjasama/gotong-royong untuk memperkecil terjadinya risiko penggusuran di masa yang akan datang.

E. Fungsi Sosial Tanah

Sebagai manusia yang lahir dan mati di bumi, hidup kita tidak akan pernah lepas dari tanah yang sejak menghela napas telah kita pijak. Betapa pentingnya bumi ini demi kepentingan manusia, membuat pemerintah harus mengatur dan mengurusnya demi kepentingan warga negara. di Indonesia, hukum tanah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang lebih sering disebut UUPA serta peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi peraturan pelaksana undang-undang tersebut.

Berbicara mengenai hukum pertanahan atau hukum agraria tidak akan lepas dari hak-hak yang diatur dalam UUPA. Hak-hak yang diatur dalam UUPA terbagi menjadi dua jenis yaitu, hak atas tanak primer dan hak atas tanah sekunder. Hak atas tanah primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai. Sedangkan hak sekunder terdiri dari Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa Tanah Pertanian dan Hak Menumpang. Kedua jenis hak tersebut dan segala hak yang terdapat di dalamnya oleh UUPA diatur untuk harus mempunyai fungsi sosial.17 Fungsi sosial tanah disinggung oleh Pofesor Boedi Harsono dalam buku Agraria Indonesia, menyatakan: Hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi mengandung dalam dirinya unsur kekuasaan atau unsur kemasyarakatan. Unsur ini ada pada setiap hak atas tanah karena semua hak atas tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama. Adapun tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya (1994: 198, 229-231). Dari pernyataan beliau, dapat kita simpulkan bahwa fungsi sosial pada tanah adalah suatu pembatasan atas hak atas tanah baik primer atau sekunder, bahwa tanah-tanah tersebut boleh digunakan sebebas-bebasnya sesuai hak yang dimiliki tetapi tidak boleh merugikan kepentingan umum sekitarnya. Pembatasan tersebut sekiranya dapat menciptakan keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pemilik tanah.

(15)

Dalam UUPA, tanah berfungsi sosial terdapat dalam Pasal-Pasal berikut ini:

1. Pasal 7 UUPA mengenai larangan latifundia yang melarang penguasaan tanah melampaui batas

2. Pasal 10 UUPA mengenai larangan absentee yang mewajibkan pemilik hak untuk mengusahakan tanahnya sendiri

3. Pasal 14 UUPA mengenai perencanaan dan peruntukan tanah 4. Pasal 15 UUPA mengenai kesuburan tanah

5. Pasal 18 UUPA mengenai pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum. Pada tataran praktis, bentuk konkrit dari fungsi sosial dari tanah adalah tindakan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan menguasi kembali tanah tersebut untuk digunakan bagi kepentingan umum. Daripada itu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan kepentingan umum? Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya suatu kemakmuran rakyat.18 Dari bunyi Pasal tersebut, sebetulnya luas sekali apa yang dapat tercangkup dalam kepentingan umum. Dari pencabutan hak, pemerintah akan memberikan ganti kerugian kepada pemilik tanah sebenarnya. Ganti kerugian itu harus sesuai dengan kehilangan yang dialami oleh pemilik hak sebenarnya. Pada dinamika yang terjadi di masyarakat, sebenarnya banyak sekali terjadi pencabutan hak yang didasari oleh alasan kepentingan umum. Namun yang terjadi masyarakat malah dirugikan, haknya dirampas namun tidak dipergunakan semestinya untuk kepentingan umum. Hal tersebut terjadi karena begitu luasnya definisi kepentingan umum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan kita.

F. Hapusnya Hak Milik

Sesuai dengan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus karena sesuatu hal, meliputi : a. Tanah jatuh kepada Negara karena pencabutan hak.

Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambil-alihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu

(16)

pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.19 Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak- hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.20 Pengaturan lebih lanjut mengenai pencabutan hak atas tanah terdapat di dalam UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya.

b. Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya (Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005);

c. Ditelantarkan.

d. Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) tentang subyek hak milik yaitu larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik oleh orang asing baik melalui pewarisan maupun jual beli ataupun perbuatan hukum lain yang bertujuan untuk memindahkan hak milik kepada orang asing baik langsung maupun tidak langsung;

e. Tanah musnah maksudnya tanahnya hilang karena banjir, longsor dan atau bencana alam lainnya yang menyebabkan tanah tersebut hilang atau musnah. Sebab-sebab dari jatuhnya tanah hak milik kepada Negara yang disebutkan dalam Pasal 27 itu kiranya bukan bersifat limitatif, karena kita mengetahui bahwa masih ada sebab-sebab lain. Hak milik juga hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum serta larangan pemilikan tanah/pertanian secara absentee.21 Kepemilikan tanah secara absentee merupakan pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah pertanian tersebut. Hal ini dilarang karena pada prinsipnya melanggar asas nasionalitas

19 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm.38. 20 Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(17)

yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA serta menyimpangi Pasal 10 ayat (1) UUPA.

Menurut UUPA, seluruh tanah di wilayah negara Republik Indonesia dikuasai oleh negara. Apabila di atas tanah itu tidak ada hak pihak tertentu maka tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai negara dan apabila di atas tanah itu terdapat hak pihak tertentu maka tanah tersebut merupakan tanah hak. Yang disebut tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolan serta tanah ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi:22

a. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.

b. Tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi. c. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris. d. Tanah-tanah yang ditelantarkan.

Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar mendefinisikan tanah terlantar sebagai tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. e. Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum.

Seperti yang kita ketahui, masyarakat di wilayah Kebun Sayur, Ciracas, telah berada di sana semenjak kisaran tahun 1980. Sebelumnya, wilayah tersebut hanya merupakan hutan belantara yang tidak dimanfaatkan. Sehingga, sejatinya hal ini bertentangan dengan fungsi sosial tanah yang di atur oleh UUPA. UUPA anti terhadap penelantaran tanah (membiarkan tanah menjadi kosong) sehingga jika ditelantarkan maka akan dicabut/dihapuskan dan dialihkan ke pihak lain, baik untuk jenis hak milik (Pasal 27), hak guna usaha (Pasal 34), hak guna bangunan (Pasal 40). Hal ini mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6) sehingga pemanfaatan dan penguasaan oleh pihak lain dimungkinkan. Di sinilah tercermin bahwa

(18)

hubungan manusia dengan tanah tidaklah semata-mata hubungan hak kebendaan (perdata) namun terkandung hak publik (refleksi dari pemahaman atas adat bahwa kekuasaan dalam urusan tanah terletak dalam komunitas).23 Hak menguasai negara atas sumber-sumber agraria/daya alam perlu dibaca ulang sebagai hak yang di dalamnya terdapat hak-hak segenap warga negara yang mereka ini mendelegasikan kepada pemerintah untuk mengelolanya.24 Pun jika mencoba menginsyafi alas hak yang digunakan oleh PPD berupa PP No. 42 Tahun 2003, maka dalam rentang waktu 2003-2009 PPD telah melakukan kegiatan penelantaran tanah yang hal ini, jika kita kembali merujuk ke atas, bertentangan dengan fungsi sosial tanah. Oleh karena itu, tindakan PPD yang menelantarkan tanah di wilayah Kebun Sayur, Ciracas, telah menjadi justifikasi bahwasanya hak atas tanah yang dimiliki PPD telah terhapuskan sebagaimana yang di atur di dalam UUPA.

Di sisi lain, masyarakat yang telah berada di sana semenjak tahun 1980, seharusnya menjadi pemilik yang sah terhadap tanah yang berada di wilayah tersebut. Hal ini karena mereka telah memanfaatkan tanah yang telah ditelantarkan tersebut menjadi tanah yang produktif. Saat ini bahkan wilayah Kebun Sayur, Ciracas tersebut merupakan salah satu wilayah pemasok sayur yang cukup signifikan di wilayah DKI Jakarta. Ini berarti bahwa fungsi sosial tanah telah dapat ditranslasikan dengan tepat dan baik oleh masyarakat yang berada di sana. Pun jika kita mencoba melihat ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) UUPA, yang menyatakan bahwa:

Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.”

Atau ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 UUPA, yang berbunyi::

”Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang

23 Ahmad Nashih Luthfi, Bahan diskusi di Kunci Cultural Studies Center pada 24 Februari 2012 berjudul Tanah

(19)

mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”

Sehingga, ketika satu-satunya pihak yang menjaga dan menjalankan fungsi sosial tanah tersebut adalah masyarakat, maka masyarakat jelas merupakan pihak yang harus diutamakan keberadaannya. Dengan kata lain, hak atas tanah yang terdapat di wilayah tersebut seyogyanya berada di tangan masyarakat.

G. Pihak-Pihak Terkait dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Lahan Kebun Sayur Ciracas

Beban mental, rasa ketidaknyamanan, hingga tak terpenuhinya hak-hak sipil dasar sebagai warga negara Indonesia agaknya bukan menjadi momok baru bagi warga Kebun Sayur Ciracas, Jakarta Timur. Kawasan permukiman penduduk yang terletak di dekat tol Jagorawi tersebut telah ditempati dan dikelola oleh warga Kebun Sayur Ciracas selama lebih dari dua puluh tahun. Lahan yang dulunya semak belukar, telah beralih fungsi menjadi lahan produktif yang mana mampu menjadi pencaharian warganya. Namun, sengketa mengenai hak milik atas tanah Ciracas tak dapat dihindari ketika Perusahaan Penumpang Djakarta (PPD) kemudian mengklaim kepemilikan tanah akan Kebun Sayur Ciracas. Klaim tersebut berbekal dasar pembenar PP No. 42 Tahun 2003 dan Surat Komnas HAM No. 2.390/K/PMT/VIII/2009 yang berisi bahwa tanah yang ditempati warga Kebun Sayur Ciracas adalah milik PPD melalui surat No. 10/RTP/VI/2009.25

Usaha mempertahankan tanah merupakan usaha untuk memperjuangkan keadilan. Hal ini karena para pemilik maupun penggarap tanah itu menyadari bahwa mereka punya hak hidup dan hal diperlakukan secara adil. Dalam konteks ini, ada posisi tawar menawar (bargaining) untuk mencapai keadilan bersama. Apabila terjadi pembebasan tanah, uang ganti rugipun harus dipikirkan dan diperhitungkan dari aspek-aspek yang tidak hanya ekonomis saja. Maka dari itu, uang ganti rugi harus diperhitungkan dari kerugian immaterial yang menyangkut makna tanah bagi manusia. Itu menyangkut: tanah sebagi kawasan lingkungan; tanah sebagai tanah garapan;

(20)

tanah sebagai pembentuk identitas; dan tanah yang punya keterkaitan sejarah.26 Namun, dalam sengketa Ciracas tersebut, warga tak memperoleh ganti rugi sebanding dan justru memperoleh tindakan bersifat intimidasi dari pihak PPD.

Pada dasarnya, tanah mempunyai aspek politik karena tanah adalah bagian integral wilayah negara. Aspek politik manusia adalah aspek masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam konteks ini, tanah merupakan faktor yang mendukung tindakan-tindakan yang menyangkut kepentingan umum atau masyarakat. Dalam rangka kepentingan umum itulah, peran penguasa seharusnya berlaku seadil-adilnya.27

Pengertian keadilan itu sangat kompleks dan tidak mudah untuk dirumuskan. Keadilan secara sederhana dapat dikatakan sebagai “memberikan apa yang menjadi haknya”. Namun, dalam kenyataannya, tidak sesederhana rumusannya. Terdapat tarik-menarik kepentingan.28

Sengketa tanah Ciracas yang tengah bergulir tersebut bukan hanya sengketa antara warga Ciracas dan PPD. Lebih lanjut, pihak-pihak yang harus turut andil dalam penyelesaian sengeketa tanah Ciracas tersebut antara lain:

1. Pemerintah Daerah

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang no. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa,29

“Negara bertanggungjawab atas penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”

Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (2) undang-undang serupa, tercantum bahwa:30

“Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.”

26 Y. W. Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yoryakarta: Kanisius, 2004), hlm. 93 27 Ibid., hlm. 84.

28 Ibid., hlm. 91

29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

(21)

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kasus sengketa tanah Ciracas, pemerintah daerah yang meliputi Walikota Jakarta Timur dan DPRD DKI Jakarta merupakan elemen yang harus menjadi bagian dari penyelesaian sengketa tersebut.

2. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)

Badan Pertanahan Nasioanal yang selanjutnya disebut BPN RI adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan tanggungjawab Presiden.31 BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.32 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksudkan tersebut, BPN RI menyelenggarakan fungsi:33

a. penyusunan dan penetapan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

b. pelaksanaan koordinasi kebijakan, rencana, program, kegiatan, dan kerja sama di bidang pertanahan:

c. pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN RI;

d. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;

e. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;

f. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan, dan pengendalian kebijakan pertanahan;

g. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan penetapan hak tanah instansi; h. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengkajian dan

penanganan sengketa dan perkara pertanahan;

i. pengawasan dan pembinaan fungsional atas pelaksanaan tugas di bidang pertanahan;

j. pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;

k. pelaksanaan pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; l. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

m. pelaksanaan pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; dan

(22)

n. penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, mengacu pada poin-poin penyelenggaraan fungsi oleh BPN RI tersebut, maka BPN RI juga merupakan salah satu lembaga yang semestinya turut berperan langsung dalam upaya penyelesaian sengketa tanah di Ciracas. Upaya tersebut dilaksanakan melalui Deputi Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan.34 Dalam upaya penyelesaian sengketa Ciracas, Deputi Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan dapat menyelenggarakan beberapa fungsi, antara lain:35

a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan;

b. pelaksanaan pengkajian dan pemetaan secara sistematis;

c. penanganan masalah, sengketa, dan perkara pertanahan secara hukum dan non hukum;

d. penyelenggaraan dan pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa, dan perkara pertanahan melalui bentuk mediasi; fasilitasi; dan lainnya;

e. penyelenggaraan dan pelaksaan putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan;

f. pelaksanaan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan peruang-undangan;

g. pelaksaan pengelolaan informasi strategis sengketa perkara pertanahan; h. pelaksanaan pemberian bantuan hukum; dan

i. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala.

H. Upaya Masyarakat Kebun Sayur dalam Kasus Sengketa Lahan Ciracas Hingga saat ini kehidupan warga Kebun Sayur Ciracas, RT 05 RW 06 Kelurahan Ciracas, Jakarta Timur masih jauh dari kata tenang. Kepastian akan status mereka sebagai penduduk yang secara sah mendiami wilayah tersebut terus dipertanyakan. Semua bermula dari perseteruan yang terjadi antara warga setempat dengan

34 Perpres Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia Pasal 27 ayat (1) tercantum, Deputi Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi BPN RI di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala.”

(23)

Perusahaan Penumpang Djakarta (PPD) tahun 2009 silam. Kala itu, PPD secara tiba-tiba mengklaim lahan seluas 5,3 hektar tersebut walaupun pihak mereka sama sekali tidak dapat menunjukkan bukti otentik kepemilikan tanah tersebut.36 Hal inilah yang menyebabkan warga Kebun Sayur bersikukuh untuk tidak meninggalkan wilayahnya yang sudah secara lama ditempatinya. Para warga pun mencoba melawan kesewenang-wenangan yang terjadi dan melawan pihak PPD melalui sebuah tim yang merupakan representatif untuk memperjuangkan hak-hak warga hasil dari keputusan masyarakat setempat. Tim kecil ini bernama “Tim Sembilan”.

Jika ditarik mundur ke belakang, status kepemilikan tanah Kebun Sayur Ciracas ini memang simpang siur. Ketua Tim Sembilan yang pertama, Bapak Abdul Razak, ketika dimintai keterangannya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa tanah Kebun Sayur Ciracas ini sudah mulai ditempati oleh warga setempat yang saat ini masih menghuni sejak zaman pemerintahan Soeharto. Diketahui bersama bahwa pada saat itu sedang gencar-gencarnya program swasembada pangan, salah satunya melalui kegiatan bercocok tanam. Maka pada saat itu, mulailah ada warga yang masuk ke wilayah tersebut yang pada saat itu masih merupakan semak belukar, mereka membuka lahan tersebut dan mulai menanami tanah tersebut dengan berbagai macam tanaman. Diyakini bahwa orang-orang inilah yang mendiami wilayah Kebun Sayur Ciracas pertama kali hingga saat ini. Hingga sebelum tahun 2009 kehidupan warga di sana dapat dikatakan dalam keadaan baik dalam status kehidupan sosial dan bermasyarakat. Bahkan dalam Pemilukada DKI Jakarta tahun 2007 silam, para warga yang terdiri dari 300 Kepala Keluarga dan 1.200 jiwa, masih dapat menggunakan hak pilihnya. Hal ini berarti para pemilih tersebut telah memenuhi syarat pemilihan yakni memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mengenai hal-hal administrasi kependudukan inilah yang kemudian menjadi salah satu titik permasalahan yang dialami warga Kebun Sayur Ciracas hingga saat ini.

Fakta yang terjadi di lapangan ialah permasalahan mengenai pembuatan maupun perpanjangan KTP warga RT 05 RW 06. Warga yang hendak mengurus KTP untuk urusan pekerjaan, pendidikan, dan hal lainnya disulitkan karena pihak RT hingga kelurahan bahkan walikota Jakarta Timur yang menolak untuk mengurusi urusan KTP

(24)

warga Kebun Sayur Ciracas yang dianggap ilegal, dalam artian menempati wilayah yang status hukumnya tidak jelas. Permasalahan ini timbul setelah adanya campur tangan PPD dalam kasus ini yang menyebabkan warga kesulitan dalam mengurus urusan administrasi kependudukan yang seharusnya sudah menjadi haknya sebagai warga negara. Di dalam Pasal 2 huruf (e) UU Administrasi Kependudukan menyebutkan hak setiap penduduk salah satunya adalah memperoleh informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya.37 Adapun yang dimaksud dengan penduduk di dalam ketentuan undang-undang ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 huruf (1) Undang-undang-undang yang sama yakni penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan maka dapat dilihat bahwa telah terjadi tindakan yang melanggar ketentuan yakni dalam hal ini petugas penyelenggara dari tingkat terendah yakni RT hingga tingkat tertinggi yakni Walikota tidak menjalankan kewajiban yang harus dilakukannya sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 huruf (6), bahwa terdapat tanggung jawab dan wewenang dalam urusan administrasi kependudukan salah satunya adalah dalam pelayanan pengurusan KTP.

Telah banyak upaya yang dilakukan oleh masyarakat serta upaya-upaya hukum dari Tim Sembilan sendiri dalam memperjuangkan hak-hak atas tempat tinggal dan status kependudukan mereka. Dimulai dari upaya mediasi dengan pihak PPD yang sempat tidak digubris, kemudian meminta bantuan advokasi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ) dalam menghadapi kasus ini. Akan tetapi jalan terjal kerap menyertai langkah-langkah mereka, berulang kali ultimatum-ultimatum yang berisikan agar warga Kebun Sayur Ciracas untuk segera mengosongkan lahan mereka karena akan segera dilakukan penggusuran dan yang mengherankan adalah penggusuran tersebut tanpa disertai ganti rugi sama sekali. Bahkan kerap kali bentuk-bentuk intimidasi coba diberikan oleh pihak PPD kepada warga dengan mengirimkan preman guna mengusir mereka. Upaya terus berlanjut dengan melayangkan surat aduan kepada instansi-instansi terkait, sebut saja DPRD DKI Jakarta, Komisi II DPR RI (yang pada saat itu Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta saat ini masih

(25)

berstatus sebagai Anggota Panja Pertanahan), Badan Pertanahan Nasional (BPN), KOMNAS HAM dan LSM lainnya. Salah satu upaya dari Tim 9 antara lain dengan membawa permasalahan ini ke DPR dengan diselenggarakannya Rapat Dengar Pendapat Umum/Audiensi dengan Komisi VI DPR RI pada 21 Januari 2010 silam.38

Warga Kebun Sayur Ciracas kini masih menunggu kejelasan akan status mereka sebagai penduduk dari lahan yang telah mereka huni bertahun-tahun. Memang hingga saat ini, pihak PPD belum melakukan tindakan lanjutan apapun yang mengusik keberadaan mereka akan tetapi yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini ialah keterbatasan akses mereka dalam hal administrasi kependudukan yakni pengadaan KTP. Pak Razak juga menyebutkan bahwa saat ini, bagi warga setempat yang hendak mengurus pembuatan atau perpanjangan masa berlaku KTP harus “menumpang” alamat dengan warga RT di sebelahnya. Bentuk penolakan dan sikap acuh masih ditunjukkan oleh Kepala RT hingga tingkat kelurahan dan walikota walaupun pihak-pihak tersebut sudah pernah mendapat panggilan dari lembaga Ombudsman RI (ORI). Kejanggalan yang juga terjadi adalah dengan tetap terhitungnya secara sah suara mereka dalam Pemilihan Umum 2009 lalu padahal secara jelas yang nampak terlihat adalah ketidakjelasan status kependudukan mereka yang dapat dibuktikan dengan tidak adanya KTP yang dimiliki sesuai dengan alamat yang mereka tempati. Bentuk permasalahan dan kejanggalan-kejanggalan masih kerap menyelimuti kasus sengketa lahan Kebun Sayur Ciracas ini. Pihak PPD pun hingga saat ini sebenarnya masih belum memiliki bukti otentik atau akta kepemilikan tanah yang sah yang dapat menunjukkan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka.

Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh warga setempat dan Tim 9 dalam upayanya mengadvokasikan hak-hak mereka kepada instansi-instansi negara menunjukkan adanya perlawanan terhadap bentuk kesewenang-wenangan yang ada. Jikapun nantinya mereka akan dipindah lokasikan, tentu ada mekanisme yang harusnya memenuhi berbagai aspek baik dari aspek yuridis, sosiologis hingga aspek psikologis para warga. Status kuasa pihak PPD yang masih simpang siur juga harus diperhatikan khususnya oleh para pemangku jabatan agar para warga Kebun Sayur

38

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi berupa memori seputar restoran Cina di kawasan Glodok yang mulai berdiri dalam kurun waktu tahun 1930-1950an dengan

Ada tiga tahap mengubah limbah organik menjadi bioetanol, tahap pertama adalah mengubah limbah sayuran hijau dan kulit buah yang mengandung polisakarida atau selulosa menjadi

Lulusan sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (atau sederajat).Pelajar sekolah menengah

Saqib dkk (2008) (Gunawan, 2014) menyatakan sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan proyek konstruksi, dapat dikelompokkan dalam 7 kategori, yaitu:

Tampilkan tanggal penjualan yang pernah tercatat nama barang yang terjual, dan nama kategori barang beserta dengan total jumlah barang yang terjual untuk masing- masing barang

Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, pajak yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pajak Reklame, sepanjang tidak

Dalam penelitian ini juga melakukan wawancara Dengan demikian peneliti mengumpulkan dan menelaah data yang diperoleh dari hasil wawancara pada pihak yang terkait

Dalam hal ini individu lebih antusias untuk menyelesaikan tugasnya (ranah intra pribadi). 9) Individu yang dalam kehidupan diri sendiri (ranah intra pribadi) jika