• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Peta Politik Sastra Indonesia 122 1 10 20171017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Peta Politik Sastra Indonesia 122 1 10 20171017"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

26 SUSASTRA

. 2006. ·'Wacana Seksualiti Insan dalam Novel Pujangga Melayu oleh Mohd. Affandi Hassan". SARI (Journal of the Malay World and Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia), Vol. 24: 121-59. Rani, Mohd. Zariat Abdul, and Ungku Maimunah Mohd. Tahir. 2004. ·'The

Employment of Narrative Space in Hiayat Faridah Hanom by Syed Syeikh AI-Hadi and Pujangga Me/ayu by Mohd. Afandi Hassan: A Comparative Analysis". Paper presented at the I J•h Colloquium of the Malaysia Society ofAustralia, Australian National University, Canberra

26 - 27 November.

---. 2005. "Persuratan Baru Dan Penggemblengan Ruang Naratif: Satu Kajian Perbandingan Antara Hikat Faridah anom Karya Syed Syeikh AI-Hadi dengan Pujangga Me/u Karya''. Paper presented at Seminar Teori dan Kritikan Sastcra Melayu Serantau ll, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 22-24 March.

Tahir, Ungku Maimunah Mohd. 2002a. ''Pujangga Me/yu oleh Mohd. Afandi I lassan: Satu Tinjauan Awai". Paper presented at Siri Diskusi Buku, hosted by Dewan Bahasa dan Pustaka, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 27 February.

---. 2002b. ''Bagaimana Pujangga Melayu Harus Ditasirkan". Dewan Sastera August: 36-43.

- ---. 2005. ·'Salam Maria oleh Fatimah Busu: Satu Analisis Ber­ dasarkan Persuratan Baru". Paper presented at the Persidangan Antara­ bangsa ··world in Discourse: Representations of Rcaliiies·· , organised by Universiti Kebangsaan Malaysia, Sheraton Subang Hotel & Tower, Subang Jaya. 21-23 November.

0o

Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)

Asep Sambodja

(}11iversitas Indonesia

\ hslract:

I luw 1s the political map of the Indonesian literature in the last 100 years (1908-/00X)? This paper will provide a descriptive political map of the Indonesian lill'111turc in one century of the National Awakening. We know that politics ['I•)·� n very important role in the development of Indonesian literary history. I iu� 70-year cycle of political changes, for example, can clearly be seen in the

11:�•.urization of generations made by the critic H.B. Jassin.

In 111, :olonial era, the inluence of politics was shown in the works of literature, 1!111 , in those which contained the spirit of anti-colonialism during the Dutch 11p,1llon or those which, due to the very repressive situation, employed symbol-lit 1h111ng the Japanese occupation. In Soekarno's time, the sharp diferences of

il11ric, nationalism, religion and communism-had directly inluenced the l11pnc11t ofTndonesian literature, both in the ideology embraced by writers I 111 lhc works they produced. This can clearly be seen in the literary polemics 11 writers who belonged to the Lekra (Institute of People's Culture), who 11cvrd 111 social realism, and those ofManikebu (Cultural Manifesto), who llr.vt1d Ill universal humanism.

111111· of Soeharto, the polemics between the Manikebu and Lekra writers 1.,·d Ill the irst half of his governance, nevertheless, in the second half it 1otl np,uin. This was indicated by the polemics about the 1995 Magsaysay L \1·h1lh was given to PramudyaAnanta Toer, a Lekra novelist. The

polcm-1.11tt<I by Tauik Ismail, a Manikebu poet.

1111 ,1I I ,t 1c tendency done by Soeharto 's regime also invited reactions among 111111111. which was the issue ofrevitalizing local literature, refusing Jakarta lier \p111 t from that, the apolitical tendency applied by Soeharto's regime ltli l'llHHldcd by the idea of contextual literature voiced by AriefBudiman

tie! I k1y1111to.

(2)

(I

SUSASTRA

I

\SEP SAMBODJA 259

I 1111111111 \ lmkawin Sutasoma, has been resurrected in the cultural and national ltk in Indonesia.

Key words: Indonesian literature, politics, histoy, ideoloy.

I Pendahuluan

D

alam sejarah sastra Indonesia, selalu ada dua kutub yang saling bersinggungan dan bemegosiasi. Relasi kuasa antara pihak yang merepresi dengan pihak yang tertekan senantiasa menimbulkan gejolak, konlik, dan perubahan. Penelitian ini dibatasi pada satu abad kebangkitan nasional Indonesia, yakni dimulai pada 1908 saat kesadaran berbangsa mulai tumbuh di kalangan pemuda-pemuda Indonesia yang mendirikan organisasi Boedi Oetomo hingga 2008, yang bertepatan dengan satu abad perjalanan bangsa Indonesia.

Dalam penelitian terdahulu, saya telah menyinggung adanya dua kiblat dalam sastra Indonesia, yakni sastra lndonesia yang masih menperl ihatkan pengaruh Hindu/Budha yang sangat kuat, yang tcrpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih mernperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera (Sambodja, 2005: l 74). Kedua kiblat itu bisa menjadi rujukan dan runutan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesirnpulan itu juga diperkuat dengan hasil penelitian Kratz(! 987) yang memperlihatkan bahwa pada 1983, sastrawan Indonesia yang menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia ban yak berasal dari kedua kiblat itu, yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%).

Saya tidak rnempersoalkan benturan dari kedua kiblat itu, karena ma­ sing-masing memiliki kekhasannya tersendiri. Karya-karya sastra Jawa lebih banyak terpengaruh oleh karya sastra India (Zoetmulder, 1985). Naskah Jawa tertua yang puitis, Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, misalnya, terbaca adanya pengaruh Mahabarata karya Vyasa. Sementara karya sastra Melayu abad ke-16 dan 17 lebih banyak dipengaruhi karya sastra Arab dan Persia (Hadi, l 995). Ajaran tasawuf dalam karya-karya Hamzah Fansuri, misalnyadalam "SidangAhli Suluk", memperlihatkan pengaruh pemikiran sui sebelum abad ke-13, seperti Al Hallaj, Imam AI-Ghazali, dan lbn Arabi (Hadi, 1995: 21 ). Hamzah Fansuri dibunuh dan karyanya diberangus atas anjuran ulama-ulama Aceh yang

beraili-,1�1 dengan pusat kekuasaan. Dalam pembacaan Sikorsky (1970) , kaiya 1ilStra Jawa yang lebih modem, seperti karya Ronggowarsito, yang 111cnggunakan bahasa Jawa, seharusnya diperhatikan oleh penulis sejarah ,11stra Indonesia, karena message yang disampaikan pengarang masih 1clcvan bahkan hingga hari ini.

Sikorsky juga menilai, selama ini pakar sastra seperti A. Teeuw dan 11 B. Jassin menggolongkan sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa �:111g digunakan dalam penulisan karya sastra, yakni bahasa Melayu tinggi. Penggolongan semacam itu menaikan karya sastra lainnya yang 111cnggunakan bahasa Melayu rendah, seperti karya Semaun dan Mas Murco Kartodikromo. Kedua nama tersebut tidak tercantum dalam � ltasanah sastra Indonesia karena dianggap meracuni masyarakat, berbau .mnunis, dan menganclung pomografi. Padahal, penilaian itu menggu-11,11.an perspektif atau kacamata kolonial Belanda. Kalau menggunakan 1wrspektif lain, maka yang tampak adalah pencerahan, yakni pemikiran hmu yang keluar dari batas-batas konvensi, yang berisi semangat lndo­ t1t·�ia, karena mengandung antiimpcrialisme atau antikolonialisme.

Penggolongan sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Me­ l11yu tinggi tidak saja menaikan karya sastra yang menggunakan bahasa �-klayu rendah, tapi juga menaikan karya sastra yang menggunakan Li.ihusa daerah. Betapa banyak karya sastra yang tidak termasuk dalam � ll.isanah sastra Indonesia hanya karena menggunakan bahasa daerah, qicrti karya Ronggowarsito, misalnya, padahal message karya Rong­ ,(11warsito itu tetap abadi hingga kini. Semangat lndonesianya, yang 1111 ilcodalisme, sangat kentara dalam karya-karyanya. Sayang kalau karya "Im produk anak bangsa yang berbobot seperti itu luput dari perhatian p11ra ahli sastra atau penulis sejarah sastra Indonesia.

iebelum 1908, terjadi benturan antara pihak keraton dengan pihak di hi.11 kcraton (Mohamad, 2003). Selain itu, antara sastrawan dan ulama 111i dcngan kaum puritan juga terjadi gejolak dan benturan sebagaimana t1111l11mi Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Bagaimana dengan relasi I· 1111�a yang ada pada periode 1908-2008?

K ila tahu bahwa pada periode 1908-1945 adalah masa penjjahan 1111• memberangus kemerdekaan bangsa Indonesia, baik di bawah � 11le111ial Belanda maupun Jepang (1942-1945). Jelas, bahwa

(3)

2GO

SUSASTRA

(pribum1). Kctika bcradn di bawah kolonial Belanda, sasrawan Indonesia mcmperjuangkan kemerdekaan dengan menyuarakan antiimperialisme, dengan menggunakan bahasa Melayu Rendah bahasa yang tidak dike­ hendaki Balai Pustaka saat itu (Sikorsky, 1970). Sastrawan Indonesia yang menerbitkan kayanya di Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial Belanda, mengalami aasib penyensoran, karena naskah yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah Be­landa. Akibatnya, isi novel Sa/ah Asuhan karyaAbdul Muis, misalnya, kaya berbedaAnyn jauh Padengan isi naskah aslinya. Begitu juga nasib novel Belenggu ne yang ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Sementara novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka dilecehkan dengan dicap sebagai "bacaan liar" , "novel picisan" , dan dianggap bisa "meracuni masyarakat".

Ketika berada di bawah pemerintah kolonial Jepang, penyensoran lis tetap

dalam terjadi bahasa bahkan makin menjadi. Sastrawan Indonesia dilarang

menu­ Belanda atau menyinggung hal-hal yang berbau Baral. Di satu sisi, pelarangan ini membatasi kreativitas sastrawan saat itu, tapi di sisi lain, perkembangan bahasa Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat cepat karena menjadi bahasa utama dalam komunikasi, pendidikan, dan sastra (Rosidi, 1995). Keimin Bunka Sidhoso (Kantor Pusat Kebudayaan) menjadi alat represi pemerintah Jepang yang sangat efektif. Lembaga ini membatasi ruang gerak seniman dan sastrawan, karena diarahkan untuk menulis sastra propaganda demi kemenangan Asia

mencoba Timur menyuarRaya dan antiAmerika dan sekutu-sekutunya. Seniman yang akan pikiran dan perasaannya sesuai dengan hati nuraninya sendiri, seperti yang disuarakan Cak Durasim, maka berujung pada kematian (Poesponegoro, 1984; Wasono, 2007).

Sejarah kemudian mencatat bahwa Polemik Kebudayaan yang dipicu Sutan Takdir Alisjahbana dan polemik antara sastrawan Lekra dengan sastrawan Manifes Kebudayaan banyak mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Polemik Kebudayaan melahirkan generasi Surat Keper­ cayaan Gelanggang dan kelompok Manifes Kebudayaan. Di samping itu, polemik antara Lekra dengan Manikebu tidak hanya terjadi pada 1960-an (mejelang naiknya Soebarto ke puncak kekuasaan), melainkan juga terjadi pada 1990-an (menjelang jatuhnya Soeharto dari puncak kekuasaan).

A$! P SAMBODJA 261

l'n�pektif Baru

I erbitnya dua buku Enst Ulrich Kratz, A Bibliography of Indonesian I_ 1t1•rature in Journals atau Bib/iograi Kaya Sastra Indonesia dalam \l,11alah: Drama, Prosa, Puisi ( 1988) dan Sumber Terpilih Sejarah Sas-11·11 Indonesia Abad X (2000) telah memberikan perspektif baru bagi I• 111bacanya bahwa sejarah sastra fndonesia harus selalu ditulis ulang, h:1 us-menerus, dan diperbaiki dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan 1c1 h11nya buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selyang Pandang ( 1995) karyu P.J. Zoetmulder dan buku Yang lndah, Berfaedah, dan Kami/: 8c;111ruh Sastra Melayu da/am Abad 7-19 (1998) karya VJ. Braginsky.

Sctidaknya ada dua alasan utama kcnapa sejarah sastra Indonesia hni11, selalu dipcrbaiki. Pertama, sesuai dengaa perkembangan waktu­ liC1 � cmbangan zaman, jum lah sastrawan dan karya sastra yang dihasilkan

1�u1 selalu bertambah. Semakin lama akan semakin banyak jumlahnya. Kc<lua, penulisan sejarah sastra seringkali hanya mcmperhatikan sastra ln11011, sehingga karya sastra yang muncul pada masa yang bersamaan IH111) a menjadi fosil atau artefak yang tidak dipcrhatikan.

\ Tccuw dalam Kratz ( 1988) mengatakan bahwa kanonisasi dalam 1 lr:1 itu sangat penting dan berguna, namun sekaligus juga sangat b, ilnhaya, karena kanonisasi itu akan menimbulkan kecenderungan \ll,111� memfosilkan sastra dan apresiasi sastra dalam masyarakat serta 1k1111 mencegah orang untuk membaca dengan perspektif baru, untuk m0111huat penemuan-penemuan baru, dan membentuk pandangan-1u1111li111gan segar.

Dulam buku A Bib/,ography of Indonesian Literature in Journals 1111, Kn11, mencatat ada 27.078 judul karya sastra yang terbit di majalah Ill 1922-1982 yang ditulis oleh 5.506 sastrawan. Dengan rincian, lil�I scbanyak 16.507 judul, prosa 10.389 judul, dan drama 182judul. I )nlr1111 kurun waktu 60 tahun, jumlah sastrawan berikut karya sastra 111 hcrbahasa Indonesia tercatat dalam jumlah yang antastis. Namun, IH1(11 �eiarah sastra Indonesia yang ditulis melalui proses kanonisasi 11g 11111111-karena tidak saja ditentukan oleh faktor kesusastraan dan b11d11ynan, melainkan juga dipengaruhi aktor ekonomi, sosial, dan hkun politik itu tidak bisa menampung semuanya.

(4)

262 SUSAST

Indonesia juga sudah bertahun-tahun memikirkan dan membicarakao kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Banyak hal yang dibicarakan dalam buku ini, namun yang menonjol adalah sejarah pemikiran para sastrawan dan budayawan Indonesia mengenai sastra dan budaya Indo­ nesia pada 1928-1997. Beragam pemikiran yang dihimpun Kratz tcrsebut memperlihatkan beragamnya visi atau perspektif yang bisa digunakan dalam melihat suatu peristiwa sejarah.

Sementara empat buku Keith Foulcher, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan In­ donesia (2000) , Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nsionalisme di Indonesia 1933-/942 (1991) ,Angkatan 45: Sastra, PolitikKebudyaan dan Revolusi Indonesia (1994) , dan Social Commitment in literature and The Arts: he Indonesian Institute of Peples Culture /950-1965 (1986)-saya urutkan secara kronologis berdasarkan topik yang dibi­ carakan, dan bukan berdasarkan tahun terbilnya-memperlihatkan in­ tensitasnya dalam membaca sejarah nasional Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Model penulisan sejarah semacam ini, yang mengaitkan sastra dengan faktor sosial poli­ tik, yang juga menjadi model penulisan Harry Aveling, misalnya dalam buku Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003), sedikit banyak mempengaruhi pembahasan mcngenai peta politik sastra Indonesia (1908-2008) ini.

Dalam Keith Foulcher (1991) misalnya, ia tidak hanya membahas karya sastra yang terbit pada masa 1930-an, tetapi juga membahas pan­ jang lebar mengenai polemik kebudayaan yang terjadi pada pertengahan 1930-an sekaligus situasi sosial politik pada saat itu . Hal ini membuktikan bahwa sastrawan-beriut karya sastranya-tidak terasing dari persoalao yang ada di masyarakatnya. Bahkan terjadi interaksi secara langsung antara sastrawan, karya sastra, realitas kehidupan, dan masyarakat.

Sastrawan menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang dilihat dan dialami sesuai dengan visinya. Dengan kata lain, sastrawan memotret kenyataan yang diketahuinya dan kemudian menuangkan­ nya dalam bentuk karya sastra. Analoginya, bila wartawan memotret kenyataan menjadi berita, maka sastrawan memotret kenyataan menjadi cerita. Baik berita yang ditulis wartawan maupun cerita yang ditulis sastrawan akan diwamai visi penulisnya. Dan 1tu sah-sah saja.

\61 P SAMBODJA 263

S�buah fkta akan menjadi berita yang berbeda-beda jika ditulis oleh para w1111.1wan yang mcmiliki latar belakang yang berbeda-beda pula, misalnya, l;,1111 bdakang agama, suku (etnik), pendidikan, ideologi, partai politik, k o-1111111it.ls, gender, dan sebagainya. Bagaimana bila fakta yang sama itu ditulis oli-h para sastrawan?"Tentu hasilnya akan lebih mencengangkan, karena li11p sastrawan memiliki /icentia poetica, semacam hak prerogatifuntuk 1111_11ggunakan metafora yang khas, personal, bahkan bebas melakukan pen: 11npangan terhadap konvensi bahasa yang ada.

Claire Holt (2000) mengatakan, satu abad hanyalah sebuah periode 11gk11t dalam sejarah sebuah peradaban. Perlu dicatat di sini bahwa dalam 1r1111111µ waktu 1908-2008 telah terjadi sebuah peristiwa politik yang sangat J\Cilttng bagi bangsa Indonesia yakni peristiwa 30 September 1965-yang liilllp,,knya masih terasa hingga sekarang. Misalnya, keluarga anggota PKl llf ikut nenjadi korban dalam peristiwa itu, mcskipun mereka tidak ber­ h11h1111�i,ut secara langsung dengan PKI, belurn mcndapatkan keadilan. Nana !}nil, 1111:rcka belum direhabilitasi, apalagi mendapat kompensasi-karena 11111,;, Orde Baru mereka libatasi ruang geraknya untuk mencari nafkah.

Pc111 htian ini akan diokuskan ke persoalan sastra dan budaya, yang 1 11dak langsung terseret ke persoalan politik karena sastrawan­ ll ii\ ,111 Lekra menggaungkan "politik adalah panghma" , terutama tclnh l'n:sidcn Soekamo mengumumkan Dekrit Pres1den S Juli 19S9, lilnn I knokrasi Terpimpin, yang antara lain memberikan wewenang 11'.ll bcsar pada Lekra underbouw PKT, salah satu partai pendukung hlJnk1111,kcbijakan Soekarno untuk mengenbangkan kebudayaan.

l111lll, �chudayaan

Li 1wndapat yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia II di1ii:11�1.,11uhi pikiran. Dan, kita tahu bahwa tidak ada yang baru sama II tli \,awah kolong langit ini. Oleh karena itu, pengaruh pemikiran h111111y,1 pasll kita lihat pada semua pemikiran yang berkembang nu 1111 (Kuntowijoyo, 2003: 189-192). Roland N. Stromberg, d a-Eu1\1(1wijo}o (2003), mendeinisikan sejarah pemikiran (history of

(5)

264 SUSASTRA

Sutan Takdir Alisjahbana, yang pada 1935 berusia 27 tahun, menghen­ tak kalangan intelektual lndonesiadengan penya yang radikal mela­ lui sebuah artikel berjudul "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru" yang dimuat di majalah yang didirikan dan dipinpinnya sendiri, Pujangga Baru. Dalam tulisannya itu, Sutan Takdir Alisjahbana membedakan ke­ budayaan pralndonesia (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan kebudayaan Indonesia (yang dnulai pada awal abad ke-20).

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, perjuangan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan lain-lain bukanlah untuk Indonesia. De­ mikian pula dengan pembuatan Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia. Semuanya itu termasuk dalam kebudayaan pralndonesia.

Kebudayaan Indonesia, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, bukanlah sambungan kerajaan Mataram, Sriwijaya, atau Majapahit. Kebudayaan Indonesia yang dimaksud Sutan Takdir Alisjahbana adalah kebudayaan yang terlepas dari kebudayaan pra-Indonesia dan harus berorientasi ke Barat. Karena, masyarakat Indonesia yang statis harus diubah menjadi dinamis. Untuk itu, kita harus mencontoh negara-negara yang dinamis, yakni negara-negara Barat. Dan, sejatinya, kaum terpelajar Indonesia j generasi pertama dapat berorganisasi, berpolitik, mendirikan Budi Utomo pun karena pendidikan Barat.

Semangat muda yang dipancarkan Sutan Takdir Alisjahbana itu sebe­ namya mengikuti jejak pendahulunya yang menggelar kongres pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam kongres itu, Muhammad Yamin, yang saat itu be1usia 24 tahun, menjadi tokoh kunci kongres tersebut, dan dialah yang menyusun komposisi dari resolusi yang dihasilkan kongres, yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda (Foulcher, 2000: 8). Sumpah Pemuda yang disusun Muhammad Yamin berbunyi demikian.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah d arahjang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsajang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

\SEP SAMBODJA 265

Resolusi Sumpah Pemuda itu membawa perubahan besar dalam ke­ h 1dupan berbangsa. Karena. sebelum kongres menghasilkan resolusi itu, �t·liagian besar pemuda yang berpendidikan Barat berbicara dalam bahasa llclanda. Setelah peristiwa itu, mereka dengan bangga menggunakan h11hasa Indonesia, karena menambah rasa nasionalisme mereka.

Gagasan yang dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana di atas mendapat 1L·aksi dari rekan dan seniomya. Sanusi Pane, yang saat itu berusia 30 l ,hun, tidak sependapat dengan Su tan Takdir Alisjahbana. Ia tidak setuju dr ngan pembagian sejarah semacam itu. Menurut Sanusi Pane, pada za-111,111 Majapahit, Pengeran Diponegoro, Borobudur, dan lain-lain sudah 111cmpunyai ciri keindonesiaan, yang belum ada hanyalah ciri natie atau 11,1/ion (bangsa) Indonesia. Zaman sekarang, kata Sanusi Pane, merupa­ � ,111 terusan dari zaman dahulu. la juga menyarankan agar kebudayaan l11donesia menyatukan "Faust" -yang didominasi pemikiran, akal (Barat)

I 111 "Arjuna"-yang didominasi perasaan, nurani (Timur).

Scmentara Poerbatjaraka sependapat dengan Sanusi Pane. Menurutnya, 11il,1k mungkin kita lepas dari masa lalu. Untuk rnembangun kcbudayaan l11doncsia, kita harus mengetahui jalan sejarah dari dulu sarnpai sekarang. Ii lt,1 justru membangun masa depan dengan bertitik tolak dari masa lalu. l'<•1·1hatjaraka mengingatkan, kita jangan mabuk kebudayaan kuno, tapi 1!11w1111 juga mabuk kebudayaan Barat. Yang ideal adalah kita mengetahui �.cd1111 kcbudayaan itu, Barat dan Timur, dan memilih yang baik dari ked­ t!fllt\ n untuk membangun kebudayaan Indonesia (Kartamihardja, 1998). ,11yu sendiri cenderung sependapat dengan Sanusi Pane dan Poer­ hillJ 11,1ka, karena peradaban yang telah dibangun secara perlahan oleh

111 k moyang kita menjadi runtuh dan tak berarti apa-apa jika kita 111c111,ikuli pola pikir Sutan Takdir Alisjahbana. Dengan memutuskan 1111111 lillHai sejarah, Sutan Takdir Alisjahbana seolah-olah menafikan 1·1(1 ,1y 1,111 rohani dan kekayaan batin bangsa kita yang terekan dan

(6)

266 SUSASTRA

Pada tahun 1950, tepatnya 18 Februari 1950, seniman-senimanmuda yang terdiri dari Chairil Anwar (28 tahun), Asrul Sani (24 tahun) , Rivai Apin (23 tahun), M. Bal as (24 tahun) , M. Akbar Djuhana (26 tahun) , Mochtar Apin (25 tahun), Henk Ngantung {23 tahun), dan Baharudin (39 tahun) mengeluarkan pemyataan "Surat Kepcrcayaan Gelanggang" untuk menyikapi persoalan kebudayaan sekaligus memperlihatkan ori­ entasi kebudayaan mereka, yang memperkuat bahkan mengembangkan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana sebelumnya. Bahwa orientasinya bukan ke Barat sja, tetapi mendunia (Ismail, 1995). Adapun bunyi selengkapnya pemyataan itu adalah sebagai berikut.

Surat Kepercayaan Gelanggang

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orangbanyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur­ baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit yang sawo-matang, ram but kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke de­ pan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebu­ dayaan baru yang sehal. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempe�sempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.

Revolusibagi kami ialah pencmpatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

A'Jf P SAMBODJA 267

l)alam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok llitemui itu ialah manusia. Dalam cara kami sendiri, membahas dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.

Pcnghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah peng­ hurgaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

l·nam bulan setelah lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang, tepatnya I'/ Agustus 1950, lahir sebuah organisasi yang concern terhadap bidang l111daya. Organisasi itu bemama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). l\mggagasnya adalah D.N. Aidit, Njoto (lramani), M.S. Ashar, danA.S. I >h,ttta yang saat itu berusia 27 tahun. Lekra adalah sebuah gerakan I, h11dayaan yang bersiat nasional dan kerakyatan, yang didalamnya 1111 nang ada orang-orang yang menjadi anggota PKT, tetapi sebagian f, ,111 nya bukan. Lekra, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak 1111 11gazaskan kegiatannya pada pandangan kelas dan atau Marxisme­ Lc 11111isme (Ajoeb, 2004:7).

lctclab terbit Dekrit Presiden tahun 1959, Lekra banyak mewamai ,1tid11pan kebudayaan di Indonesia, tennasuk sastra Indonesia (Eneste, I\JRH 90). Dalam sidang pleno Pimpinan Pusat Lekra pada Juli 1961, 111hoyan "politik adalah panglima" diterima sebagai azas kerja kreatif, 11111111111 bukan sebagai instruksi atau keharusan (joeb, 2004: 14).

lm·haar Ajoeb menjelaskan, Tndonesia sebagai bekas daerah jajahan nc1111•ilukan semboyan "politik adalah panglima" , karena pada

1950-l nd;t scmacam propaganda yang hendak mengusir atau menjauhkan 1!ii111m dan sastrawan keluar dari gelanggang politik. Propaganda itu, mh111t1ya, menyebut politik hanya menjadi urusan orang politik, politik itu

(,,,,, �cniman dan sastrawan itu suci, tidak perlu ikut-ikutan berpolitik, I iilfhll" dalam berkarya. Lekra menentang propaganda yang

bertentan-ll d• ni•an semangat Kebangkitan Nasional (Ajoeb, 2004: 16-17). Ada li.1il;11• 11 kita baca dengan teliti Mukaddimah Lekra di bawah ini. Dalam

(7)

anggota-268 SUSASTRA

anggotanya, tetapi juga kepada seniman-seniman, sarjana-sarjana, dan pekerja-pekerja kebudayaan di luar Lekra, untuk secara dalam mempela­ jari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran".

Kemudian, ada penekanan lebih lanjut, "Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dan sebagainya, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi­ tingginya."

Pertanyaannya, kebenaran menurut siapa? Mengapa Lekra mcm­ posisikan dirinya sebagai sujek dan anggotanya serta seniman di luar Lekra sebagai ojek? Siapa yang memberi otoritas sedemikian besar sehingga Lekra over conident seperti itu? Sebelum mengkritik lebih jauh atas pemikiran sastrawan-sastrawan Lekra, kita baca terlebih dahulu Mukaddimah Lekra yang saya maksud.

Mukaddimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan lndonesia-baru hanya dapat di lakukan oleh Rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebu­ dayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, yang scbagai hasil keseluruhan daya upaya sadar manusia untuk memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dengan tiada putusnya.

Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah, adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari penjajahan dan

peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan berkcmbang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lckra bekerja membantu pergulatan untuk Kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa­ bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta Rakyat.

A�,r

P SAMBODJA 269

I ckra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini teru­ lluna di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan keg-111tan seniman-seniman, sarjana-sarjana serta pekerja-pekerja kebudayaan luinnya. Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan �ndar mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian m:reka guna kema-1111111 Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.

.uman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita le lnh melahirkan putera-putera yang baik, di lapangan kesusastraan, seni 1 upa. musik, seni tari, seni drama, dan ilm, maupun di lapangan-lapangan ;c�enian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa bangsa kita terdiri dari 11.u-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang bemilai. •-.c rugaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas 1111111k pcnciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.

I ,d,,ra tidak hanya menyambut setiap sesuatu yang baru; Lekra mem­ lirrikan bantuan yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan 111 1ju, Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa "Kebudayaan" f11;u1njah yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah p111la sebagianbangsa kita. Lekra menerima dengan kritis pcninggalan­ p1 ·11111ggalan nenek moyang kita, mempelajari dengan seksama segala

Pl pcninggalan-peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan � 111111a pula hasil-hasil klasik maupun dari bangsa lain yang manapun, li,111lcngan ini meneruskan secara kreati f tradisi yang agung dari sejarah I 111 hangsa kita, menuju ke penciptaan kebudayaan baru yang nasional I n dmiah.Lekra menganjurkan kcpada anggota-anggotanya, tetapi 111111 kcpada seniman-seniman, sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja l,cl,11tlayaan lainnya di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari l,cbc11,1rnn yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bcrsikap setia kepada l;c111111t111n dan kebenaran.

Iii I ncnganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan­ pc,1,111a11gan yang berlaku di dalam masyarakat manapun di dalam hati 111111111�111, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari rp111111yo Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-1,i;ny 1hu111 di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hill 1111 hu1k untuk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk cara kerja rnri111111111 di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian, Lekra mendorong 11h1,111t yung kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra meny­

j111 ,1·t111p aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, ltlu11 dnn kcmajuan dan selama ia mengusahakan keindahan artistik

(8)

270 SUSASTRA

Singkatnya. dcngan menolak siat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari kebudayaan bukan Rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap kebe­ naran dan terhadap nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membanlu pembentukan manusia baru yang rnemiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan hanonis.

Di dalam kegiatannya, Lekra menggunakan cara saling bantu, sating krilik dan diskusi persaudaraan dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapal bahwa secara tegas berpihak pada Rakyat, adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya, untuk mencapai hasil-hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerja sama dalam pengabdian ini.

Disahkan dalam Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat di Solo, tanggal 22-28 Januari I 959.

Dalam Mukaddimah itu, Lekra seolah-olah mengklaim bahwa ia merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia. Apabila asumsi itu benar, maka penyataan Lekra hanyalah sebuah utopia. Tidak mungkin se­ seorang atau suatu lembaga mengatasnamakan seluruh rakyat. Apa dan siapa sebenarnya rakyat itu? Bisakah ia diwakilkan? Kalaupun diwak­ ilkan, seperti mcrcka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini, maka suaranya tidak pemah bu lat. Suaranya tidak pemah tung­ gal. Sama halnya tidak dapat kita terima jika Front Pembela Islam (FPI) mengatasnamakan seluruh umat Islam dan melakukan aksi "penegakan hukum" tanpa prosedur hukum yang berlaku. Ada proses distorsi makna "rakyat" ketika Lekra mengatasnamakan rakyat "mengganyang" dan "membabat" seniman-seniman yang tidak sepaham dengannya.

Oleh karena itu, wajar bila muncul seniman-seniman muda lain nya yang melakukan perlawanan. Di antara seniman muda itu adalah Goenawan Mohamad (22 tahun) , Arief Budiman (23 tahun) , Boen S Oemarjati (23 tahun), dan Tauiq Ismail (26 tahun). Bersama H.B. Jassin Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo, mereka mengeluarkan pemyataan berupa Manifes Kebudayaan yang tidak bisa menerima konsep "politi�

AGI P SAMBODJA 271

1td11luh panglima" dan "realisme sosialis". Dalam penjelasannya, selain itH uyinggung dua ha! itu, mereka juga menjelaskan konsep kesenian 111l 1cka, humanisme universal , dan pandangan mereka mengenai kebu­ tl;1ya1n nasional. Berikut ini pemyataan Manies Kebudayaan.

Manifes Kebudayaan

. ,uni para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumum­ � un scbuah Man if es Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita da11 politik Kebudayaan Nasional kami.

11:t!i kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan l.11ndisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor � h11dayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang \,, r;ama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

ri,1lam mclaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta IL lt,nn kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk 1111·111pcrtahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa

111.tuncsia di tengah-tengah nasyarakat bangsa-bangsa. I 1m asila adalah alsafah kebudayaan kami.

P11l\1111 lk Lekra-Manikebu

l'riliitnya buku Prahara Budya: Ki/as Balik ensflekra/PKI dkk Ill\ d1 nsun D.S. Moeljanto dan Tauiq Ismail (I 995) mengundang 11, ,w 1si, karena buku yang dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan pr1d,1 peristiwa bersejarah tahun 1960-an dinilai kurang tepat momen­ iiY,t I luku tersebut mengungkap kembali masa lalu sastrawan Lekra,

(9)

272 SUSASTRA

berada dalam pengawasan serius pemerintah Soeharto, meskipun saat itu Pramoedya Ananta Toer sudah dibebaskan dari Pulau Buru.

Setahun setelah itu muncul buku Relesi Kebudyaan yang disusun Adila Suwamo dkk. (1996) , yang berisi makalah-makalah yang disam­

paikan dalam sebuah diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Diskusi atau dialog terbuka bertajuk "Releksi Kebudayaan" itu merupakan reaksi dari seniman dan intelektual yang prihatin dengan situasi politik dan budaya saat itu. Kita tahu bahwa pada Juli 1994, pemerintah Soeha1to memberedel mjalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik. Jni membuktikan bahwa tidak ada kebebasan berpendapat di negara demokrasi Pancasila era Soeharto.

Pada saat yang hampir bersamaan, tepatnya pada 19 Juli 1995,1 Yayasan Ramon Magsaysay memberikan Hadiah Magsaysay-yang, disebut-sebut sebagai Nobel Asia-kepada Pramoedya A nan ta Toer untuk kategori penulisan junalistik dan sastra. Hadiah serupa pemah diterima oleh H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Soedjatnoko, Ali Sadikin,Abdurrahman Wahid, Ny. A.H. Nasution, Anton Soedjarwo, Ben Mboi, dan Nafsiah Mboi. Sebelumnya, pemberian Hadiah Magsaysay itu tidak pernah bermasalah. Hanya saja, karena yang menerima seorang Pramoedya Ananta Toer yang sarat kontroversi, pemberian hadiah itu pun menim

bulkan polemik.

Dengan diberikannya Hadiah Magsaysay kepada Moch tar Lu bis (yan anti komunis) dan Pramoedya Ananta Toer (yang pro komunis) bisa di tafsirkan bahwa Yayasan Ramon Magsaysay tidak mempertimbangkan1 latar belakang ideologi seseorang. Yang menjadi pertimbangan adala keduanya sama-sama berprestasi di bidang sastra dan junalistik, sert sama-sama mengalami represi oleh penguasa; Mochtar Lubis mendapal represi di zaman Orde Lama (rezim Soekamo) dan Pramoedya Ananr Toer mendapat represi di zaman Orde Baru (rezim Soeharto).

Meskipun demikian, ada 26 sastrawan dan budayawan yang dipelopo1 Taufiq Ismail yang langsung membuat surat pemyataan menolak pem berian hadiah Magsaysay itu kepada Pramoedya Ananta Toer. Par sastrawan dan budayawan yang menolak penganugerahan Magsaysu kepada Pramoedya Ananta Toer adalah Tauiq Ismail, Mochtar Lub1 Rendra, H.B. Jassin, Asrul Sani, Ali Hasjmy, Wiratno Soekito, Yunn Helmy Nasution, D.S. Moeljanto, Bokor Hutasuhut, Misbach Yusa Bir.11'

AGI P SAMBODJA 273

�I Ardan, Lukman Ali, Rosihan Anwar, Sori Siregar, Leon Agusta, 111 hah Asa, Rach.mat Djoko Pradopo, Danarto, Amak Baljun, Chairul U11111111, lkranagara, Budiman S. Hartoyo, Slamet Suknanto, Mochtar P,11t111t111gi, danAbdul Rahman Saleh. Bahkan, Mochtar Lubis mengem­ linl1k1111 I ladiah Magsaysay beserta uang senilai Rp 100 juta yang pemah tl/t('111111mya pada 1958. Adapun penyataan yang mereka tanda tangani ltt1 h« thunyi demikian.

Pernyataan

1u11usan Yayasan Hadiah Magsaysay memberikan hadiah sastra 1995 p111la Pramoedya Anania Toer mengherankan kami di Indonesia. 1\111111 menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya 11h11 tcntnng peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap 1w I 1cmivitas di zaman Demokrasi Tcrpimpin, ketika dia memimpin 11c11i111lasnn sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.

,\papun juga kriteria penilaian sastra yang dipergunakan, nampak-1: .iy,1san tidak menilai kegiatan Pramoedya di zaman merajalelanya 11111111snc di Indonesia. Dia memimpin penindasan kreativitas penu­ ll1J, 1h,1111owan, sineas, pelukis dan musikus non-komunis, melecehkan

lich,1·,1111 ckspresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam [!,1 llll'llgclu-elukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan h,1y11 Diajuga melancarkan kampanye itnah dan pemburukan nama 1111 r,·ntur terhadap seniman-seniman non-Lekr/PKI, teror mental 1 tn l11111111dasi sebagai pelaksanaan prinsip tujuan menghalalkan cara, lJ111l>,111gkan gaya bahasa caci-maki di pers Indonesia, melakukan p1111yl: pcmbabatan terhadap penerbit-penerbit independen, a.I. yang )11 I• '111111 mcnerbitkan terjemahan Dr. Zhivago, karya novelis Boris

111,1\ p:111cnang Hadiah Nobel 1958.

I ic;111� 111nlnh maka terasa sangat ironis apabila dengan keputusan 11111 l'nmocdya jadi duduk sebangku dengan pemenang hadiah 1)Mochtar Lubis dan H.B. Jassin. Mochtar Lubis, pengarang 111;1w1111, pejuang kebebasan ekspresi dan hak asasi manusia lebih th l,1111111 Ii 111ga kini, dan H.B. Jass in, kritikus dan dokumenter sastra, 111111111 d1111 snsaran utama Pramoedya di masa kampanye itnah dan

IH(11t1il tnscbul.

(10)

mem-274 SUSASTRA

perlakukannya scperti Pramoedya dkk. memperlakukan mereka 30-35 tahun yang silam mereka malah membela haknya menu I is, memprotes pelarangan bukunya dan menyayangkan pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Kami khawatir bahwa pemberian hadiah kepada Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay membayanya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatifsejak awal hingga pertengahan 60-an di Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer tidak mendapat kesempatan untuk mem­ bela diri. Ia bahkan dicekal ke luar negeri oleh pemerintah, sehingga ia tidak bisa mcnerima hadiah itu secara langsung--dan diwakilkan oleh istrinya, Maemunah Thamrin. Meskipun demikian, seniman-seniman muda bereaksi terbadap penolakan 26 sastrawan dan budayawan itu. Mereka, dalam jumlah yang sama besamya, mengeluarkan penyataan ketidaksetujuannya dengan 26 sastrawan-sastrawan senior itu. Dari surat pemyataan yang ditandatangani 26 sastrawan dan budayawan muda itu tampak bahwa pemikiran kaum muda lebih mencerahkan dalam mem­ bangun kebudayaan yang Jebih beradab. Sastrawan dan budayawan muda yang menandatangani pemyataan pada 15 Agustus 1995 itu adalah Ariel Heryanto, Halim H.D. , Tommy F. Awuy, Ahmad Saha!, Acep Zamzam Noor, Adi Wicaksono, Sitok Srengenge, Isti Nugroho, Angger Jati Wi­ jaya, M. Imam Awi, Simon Hate, Toto Rahardjo, Nuruddin Am in, Hairus

Salim H.S., Gojek J.S., AriefAfandi, Nurhidayat Poso,Agus T., Wahyu Susilo, Noor Aini Cahya K. , Tan Lioe le, Weye Haryanto, Ayik Sadat, Gunawan Budi Susanto, Sosiawan Leak, dan Sutanto. Adapun pemyataan itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.

Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan

Wacana Kebudayaan Indonesia hingga kini belum beranjak dari pengoba­ ran tema dan konlik lama yang bersemangat primordialistik. Masa depan membutuhkan kebudayaan yang demokratis, toleran dan siap menerima yang lain. Oleh sebab itu, wacana pengembangan kebudayaan masa depan seyogyanya bersih dari konflik-konlik masa silam yang tidak relevan untuk masa kini. Mendesak suatu dialog budaya yang mampu melampaui pertikaian keyakinan, yang bermuara pada penyempitan sikap budaya. Pada tanggal 19 Juli 1995, Yayasan Ramon Magsaysay memutuskan

\81 P SAMBODJA 275

11.on memberikan penghargaan bidang penulisan sastra dan jumalistik k:pada Pramoedya Ananta Toer. Pada tanggal 29 Juli 1995, 26 seniman 111111 budayawan Indonesia menyatakan keheranannya atas anugerah Yuyasan Magsaysay kepada Pram. Pram daln pandangan mereka, sangat 1id,1k layak atas penghargaan itu, karena dalam sejarah resmi ia disebut ;'hagai orang yang bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan hcrkreasi dan berpendapat di masa paling gelap bagi kreativitas pada 111man Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Kontroversi di atas menunjukkan dekadensi wacana kebudayaan lmlonesia. Wacana kebudayaan Indonesia semestinya bertumbuh dari d1alognya yang jantan dan terbuka terhadap problem-problem riil bangsa. Mako berkenaan dengan itu, perlu dikemukakan beberapa ha! penting hagi bcrtumbuhnya kebudayaan Indonesia masa depan.

1. Tragedi politik dan budaya 1965, bagi kami, sejumlah gen­ erasi muda yang relatifberjarak dengan sepotong realitas za­ man tersebut, hingga kini masih diselimuti sisi gelap. Bahwa ada sejarah yang ditulis, dirasakan hal itu masih mcrupakan interpretasi sepihak. Sementara pihak yang lain hingga kini belum pemah diberikan kesempatan secara terbuka dan aman mengemukakan versinya. Di sinilah pertanyaan tentang keadilan, obyektivitas yang bertumpu pada kejernihan dan kearifan sejarah mesti dikedepankan.

2. Dendam dan sakit hati adalah hal yang sangat manusiawi tetapi kalaupun pernah terjadi teror dan kekejaman yang dilakukan sekelompok atau seseorang terhadap sekelompok atau seseorang yang lain, bukan berarti tindakan balas den­ dam atasnya menjadi sah karenanya perlu dimaklumi. Sebab betapapun tindakan memaafkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan berkebudayaan adalah setinggi-tingginya nurani kemanusiaan.

(11)

276

4. Perlu kita sadari bersama bahwa pewarisan nilai kebu dayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seyogyany: dilakukan melalui pengungkapan sejarah yang utuh d berimbang. Upaya penggelapan terhadap realitas sejaral demi proteksi akan berakibat lahirnya sebuah generas1 yang diliputi kecemasan, ketakutan dan gamang menata1 masa depan. Karena masa depan republik ini harus tumbu: di atas bangunan kebudayaan yang arif, egaliter, buka1

berdasarkan dendam politik dan pertarungan paham yan, berkepanjangan.

5. Untuk itulah dalam rangka merumuskan dinamika kebu· dayaan yang kondusi fbagi lahimya masa depan yang dicita, citakan segenap kaum muda, seluruh pertikaian paham da: konlik kepentingan wilayah-wilayah kekua�aan harus seger: dipadamkan. Semangat rekonsiliasi harus lebih memua1 makna dialog dalam kesadaran pluralisme. Rekonsiliasi penting untuk dikedepankan bukan dalam konteks pemah: man politik yang di dalamnya tetap bcrkembang perasai kalah-menang.

Kontroversi itu tidak berhenti sampai pada "perang pernyataan" saja, nelainkan terus berkembang di ruang diskusi di TIM, yang kemudia1

dibukukan dalam Relesi Kebudyaan (1996) , dan menjadi polemik di media massa. Polemik yang terjadi di media mass a in i kem udian dikum pulkan dan dibukukan A.S. Laksana dalam Polemik Hadiah gsaysa; (1997).

Polemik atau kontroversi seputar pemberian Hadiah Magsaysa kepada PramoedyaAnanta Toer ini mengingatkan kita pada kontrovers1 antara sastrawan Lekra dan Manikebu pada 1960-an, karena aktor-akto1 yang berperan masih aktor-aktor yang lama. Pramoedya A nan ta Toer d satu pihak melawan 26 sastrawan dan budayawan senior. Di manakal ujung dari manuver ke-26 sastrawan dan budayawan senior itu? Da tulisan Rendra, misalnya, yang diharapkan adalah pengakuan dos PramoedyaAnanta Toer atas tindakan-tindakannya di masa lalu dan per, mintaan maaf atas kesalahankesalahan yang telah dilakukan. Pramoedy Ananta Toer tentu saja menolak ninta maaf dan tidak mengakui apa yan dilakukannya merupakan kesalahan, karena dia sangat yakin bahwa yan; dilakukannya adalah benar.

\01 P SAMBODJA 277

Yang menarik adalah berubahnya fonasi kubu sastrawan Mani­ � 1 hu yang tidak satu suara lagi. Goenawan Mohamad, yang melihat I '1 ,1111ocdya A nan ta Toer sebagai seorang yang keras kepala, kali ini tidak 1 h,1luan dengan kelompok Tauiq Ismail. Tulisan Goenawan Mohamad I 11Hl I), "Surat Terbuka untuk Pramoedya A nan ta Toer" memperlihatkan 111·1 hcdaan sikap yang jelas dengan kelonpok Taufiq Ismail. Goenawan I11ha111ad menyuarakan perlunya rekonsiliasi antara berbagai pihak yang I, llikai, dengan saling memaakan dan bisa menerima perbedaan.

S1kap Goenawan Mohamad ini diikuti oleh rekan seperjuangannya, 1\1 l'f Budiman, yang sama-sama menolak mcnandatangani penyataan llli� dibuat Tauiq Ismail dan kawan-kawan. Benih perpecahan antara �., hunpok Goenawan Mohamad, Arief Budiman, ditambah Sapardi t 1111k11 Damono dan Umar Kayam di satu pihak, dengan kelompok Taufiq I 11111il, Mochtar Lubis, ditambah Sutarji Calzoum Bachri dan Hamsad I 1111\kuti di pihak lain, sebenanya sudah mcngemuka sejak terjadinya .cl l\luhan pengelolaan majalah sastra Harison pada Juli 1993. Peristiwa ])tn rimaan Hadiah Magsaysay oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi

li11111lus yang memperlebar dan mempertajam perbedaan itu.

l'olemik Hadiah Magsaysay ini menjadi pertanda bahwa kontroversi 1 ,11 a wan Lekra dan Manikebu itu belum selesai. Bukan hanya itu, kalau l·, 11 , 111cmbaca secara jeli dan teliti buku antologi puisi yang disunting oleh

I 111l1q Ismail, seperti Ketika Kata Ketika Wana (1995) yang berisi 50 [ 11, 11ir pilihan dan Harison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (200 1), sama I 111 lidak memasukkan Sitor Situmorang di dalamnya. Saya berasumsi _1liwa tidak diikut-sertakannya Sitor Situmorang ke dalam dua buku p\ti ,I yung disunting Tauiq lsmai I itu karena la tar belakang pen gal am an 1nr11 ka berdua yang berada di jalan yang berbeda. Asumsi ini diperkuat lcli data berupa kliping berita koran yang ada di dalam buku Prahara 1111, l,1ya. Mengapa di buku Prahara Budaya ada tulisan Sitor Situmorang Ll.111gkan di buku Harison Saslra Indonesia: Kitab Puisi karya Sitor l111111urang tidak ada-padahal penyuntingnya sama?

(12)

278 SUSASTRA

Manikebu. Dem ikian pula Joebaar Ajoeb, man tan Sekjen Lekra, rnenulis buku Sebuah Mocopat Kebudyaan Indonesia (2004) unluk memotr;t peristiwa 1960-an dari perspekti f sastrawan Lekra. Dal am bukunya, Joebaar Ajoeb berusaha menjelaskan posisi Lekra yang tidak bisa dii­ dentikkan dengan PKI. Berdasarkan ha! itu, penelitian mengenai sejarah sastra Indonesia menjadi sangat signiikan kalau kita menggunakan perspektif baru.

Sebenanya, sastrawan-sastrawan Lekra dan sastrawan-sastrawan Manikebu sangat berjasa bagi bangsa Indonesia. Karya-karya sastra yang telah mereka hasi lkan memperkaya k.hasanah kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Masuknya politik ke dalam dunia sastra yang demikian dalam mengakibatkan penulisan sejarah sastra Lndonesia tidak pemah utuh dan sempuma. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra Indonesia perlu mer­ angkum semua sastrawan yang berbeda haluan maupun ideologi ke dalam wadah yang sama: dunia sastra Indonesia.

Penulisan sejarah sastra idealnya bisa merangkum semua sastrawan berikut karya sastra yang dihasi lkan n ya. Dari perspekti f politik, pad a 1960-an itu terjadi kontroversi y1960-ang cukup tajam 1960-antara sastrawan Lekra dengan! sastrawan Manikebu. Arief Budiman (2006) memetakan setidaknya ad·, empat kelompok sastrawan yang memiliki visi yang berbeda. Pertama,; sastrawan yang tergabung dalam Lekra, yang mengusung paham realism sosialis, yang bersemboyan "politik sebagai panglima". Kedua, sastraw independen, yang mengusung paJ1am humanisme universal, yang menya, takan semua sektor kehudayaan sederajat, saling melengkapi, dan menolal politik menjadi panglima. Ketiga, sastrawan yang masuk ke dalam parta1 olitik-partai politik yang ada, sehingga mereka bisa berlindung di bawal partai politik dan sekaligus menyuarakan kepentingan partai masing-masing Keempat, sastrawan yang tidak masuk ke dalam tiga kelompok itu, seperti Trisnoyuwono dan Ajip Rosidi (Budiman, 2006: 173-174; Rosidi, 1995).

Sejak didengungkan "olitik sebagai panglima" oleh Lekra-yang berdi1 pada 17 Agustus 1950 pengertian sastra yang bai<, sastra yang indah, men, galami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adal:1 karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, kary1 yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi a.tau membangkitk: semangat hidup mereka (Budiman, 2006).

Semakin kuatnya posisi Lekra di kancah politik, karena mendapatsl//

AHi P SAMBODJA 279

fi• ,, f dari PKI, maka sastrawan yang tidak berada di bawah payung Lekra 1i11111udi sasaran tembak, terutama sastrawan independen yang berani 1111 ngcluarkan sikap penolakan terhadap semboyan "politik sebagai pan­

tJ11111111. Akibatnya, iklim sastra Indonesia menjadi tidak sehat. Setelah l·11•\1dcn Soekamo melarang Manikebu pada 8 Mei 1964, pemerintah

11 11111daklanjutinya dengan pelarangan karya sastra yang ditulis oleh pc11 1ndatangan Manikebu dan sastrawan-sastrawan yang tidak sehaluan k1w,111 Lekra. Sebaliknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, h111 y,1 sostra yang ditulis oleh sastrawan Lekra juga mengalami nasib yang 1111.i, yukni dilarang terbit, dilarang beredar, dan dilarang dibaca oleh iltp,t pun. Pemerintahan Soeharto tidak saja melarang buku-buku yang lil1;1.1lkan sastrawan Lekra, tetapi juga menahan mereka.

I >,uupak yang lebih buruk adalah tidak utuhnya karya sastra Indonesia 11: lcrdapat dalam buku sejarah sastra lndonesia ataupun buku yang ll\elllnha menampilkan karya sastra Indonesia secara komprehensif.

I Ji c1 ,1 Soeharto (I 966- I 998) , jelas tidak mungkin kita mengharapkan

ll\lll!I ,l•jorah sastra Indonesia-yang ditulis oleh sastrawan atau

seja-111 1.ckra. Buku Sejarah Sastera Indonesia Modern Ji lid 1 ( 1964) 1 I l11kri Siregar, mantan Ketua Pengurus Pusat Lekra, saja dilarang, I 1pu11 digunakan di dunia akademik. Buku sejarah sastra yang ditulis llol\1 I .11cgar itu barn sampai pada masa Pujangga Baru, dan belum ada

lt11111111nnya, kerena jilid kedua tidak kunjung terbit.

I },11 1 dua buku Ajip Rosidi,

Laut Biru Langit Biru ( l 977) dan Puisi // ,111 Modern (1987) , sama sekali tidak disinggung sastrawan Lekra. 11 bil,1 .1ta membaca buku Relesi Kebudyaan (1996) dan Polemik

i,1/i A fugsysy ( 1997) , kita be I un bisa ban yak berharap akan lahir 1r,1t huku sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh kalangan

Mani-11r111n komprehensif. Begitu juga dari kalangan Lekra.

ny11 111crasa kita memerlukan sejarah sastra Indonesia yang kompre­ ff ,1111g memuat karya sastra hasil ciptaan bangsa Indonesia tanpa hh 11 lut.u belakang agama, suku, pendidikan, ideologi, maupun partai ll.11,"11 Mengapa demikian? Karena, hasil cipta sastra yang ditulis

ji/li , �nstrawan itu-baik kelompok Lekra, Manikebu, yang ikut I 111111ti politik, maupun sastrawan yang berada di luar kelompok 11c111tli.i nilai yang sangat berguna bagi bangsa Indonesia. Karya

(13)

280 SUSASTRAI \SI P SAMBODJA 281

mereka terhadap situasi sosial politik dalam masyarakatnya yang terjadi pada zamannya. Apapun sikap pengarang terhadap realitas saat itu patut kita hargai, meskipun kita tidak sependapat dengan gagasan si pengarang,, atau bahkan kita bertentangan dengan sikap pengarang. Karena, karya sastra bukanlah kitab suci yang lepas dari interpretasi.

Mengapa sejarah sastra Indonesia periode 1960-an menjadi titik perhatian? Kita semua tahu bahwa dalam sejarah kontemporer Indone­ sia, ada dua periode yang masih menyisakan tanda tanya, yakni periode

1960-an dan periode 1990-an.

Pada kedua periode tersebut terjadi pergantian rezim penguasa. Pada 1966 terjadi pergantian rezim dari Soekano ke Soehruto. Proses pergan­ tian rezim penguasa ini tidak berjalan mulus, bahkan dapat ctikatakan, berdarah-darah. Ada tujuh elite mi liter Angkatan Darat yang diculik 1 dan dibunuh, kemudian PKI dijadikan terdakwa, sebagai dalang di ba­ lik pembunuhan para jenderal ilu. PKI sebagai partai terbesar keempat hasil Pemilu 1955-setelah PNJ, Masyumi, dan NlJ pun dibubarkan dan dijadikan partai terlarang. Pemimpin PKI ditangkap dan ditahan, sebagian dibunuh. Yang memilukan, ribuan atau bahkan jutaan anggota partai di level akar rumput (grass root) menjadi korban pembantaian. Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar ahli memperkirakan setidaknya setengah juta orang tewas. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pemah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban begitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tidak terlupakan bagi banyak rakyat Indo nesia (Ricklefs, 2005: 566).

Demikian pula dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J Habibie, yang diwamai dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kerusu han Mei 1998. Banyak orang yang tewas dalam kerusuhan itu, banyak pula perempuan keturunan Cina yang menjadi korban perkosaan Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, elite politik saat itu salin tuding dan melepas tanggung jawab. Yang menarik, partai Golkar (G<1· longan Karya), yang dihujat demonstran saat demonstrasi besar-besarnn menuntut Soeharto turun, tidak dibubarkan sebagaimana PKI. Padahal, partai Golkar yang merupakan pendukung utama Soeharto mengembnn tanggung jawab moral atas keterpurukan perekonomian Indonesia dun

111,11,,knya korupsi di Indonesia, hingga Indonesia dikenal sebagai negara Ii 1,orup di dunia.

Kontroversi yang terjadi pada 1960-an bersinggungan langsung den­ u,111 .csusastraan dan kebudayaan. Meskipun demikian, yang terjadi ada-1;,lt knnlik politik, bukan konflik sastra. Oleh karena itu, dalam penulisan

, 1,11:ih sastra, tidak dikenal istilah kalah dan menang, tidak ada istilah

I 11,11 clan salah, yang ada hanyalah perbedaan dan keberagaman. Peng­

l 111yangan atau bahkan penindasan sastrawan Lek:ra terhadap sastrawan M,1111kcbu hanya merupakan peristiwa di luar wilayah sastra. Dalam arti, jlC111,1.saan dan pembabatan yang dilakukan sastrawan Le:ra terhadap 1111wan-sastrawan Manikebu itu tidak serta-merta mempengaruhi kuali­ hiI k 11ya sastra yang dihasi lkan. Sama halnya pelarangan dan penindasan

!llf dllakukan rezim Orde Baru terhadap sastrawan Lera yang tidak lilt111pcngaruhi kreativitas sastrawan Lekra dalam menghasilkan sebuah bit .1 ,t1stra. Bagi seorang Pramoedya Ananta Toer, misalnya, pembatasan 1111• dilukukan pemerintah Orde Baru sama sekali tidak mempengaruhi jliO!r I kreatifnya. Karena, kata Pramoedya Ananta Toer, kreativitas itu

111pnkan persoalan sastrawan dengan dirinya sendiri.

f 111l·nawan Mohamad, dalam Eka Kuniawan (2006) , mengatakan, i 1p11n desakan untuk membabat mereka yang berpikiran lain berlang­ llL il.1n pemerintahan Demokrasi Terpimpin ikut mengumandangkan

111 111c sosialis" bagi kesenian Indonesia, kondisi sosial politik dan Iii l'\ I belum melahirkan seorang Stalin (yang melakukan sensor 111l'l,1lui partai) dan seorang Zhdanov Quru sensor Stalin). Bahkan 1,111 hcsar anggota Lekra belum mengerti benar apa yang dimaksudkan illf11·dyu Ananta Toer mengenai realisme sosialis itu. Bagi sebagian be­

!tp.ttln Lekra, mengerti semboyan seni untuk rakyat saja sudah cukup, lnlt Ii hih menarik dan dapat membuka pelbagai kemungkinan tafsir. lnii1 ,ni rupa, misalnya, semboyan semacam itu menghasilkan karya­ � 111g sangat mengesankan dan jauh dari keseragaman. Sementara Ill p111\1, menghasilkan karya-karyaAgam Wispi, Hr. Bandaharo, dan

w111 Ismail Hamid yang gemanya hidup sampai sekarang.

, 111cnggarisbawahi pendapat Goenawan Mohamad bahwa perbe­ iif11t 1l'P dalam berkesenian, seperti "seni untuk seni", "seni untuk 111

(14)

282 SUSASTRA

"sastra cina peranakan", "sastra populer", "roman picisan", "sastra mar­ ginal", "sastra eminis", dan sekarang malah ada "sastra koran", "sastra cyber" , dan masih banyak lagi, perlu mendapat perhatian kita. Apa yang telah dihimpun Enst Urich Kratz ( 1988) sesungguhnya memperlihatkan bahwa masih banyak lahan yang belum kita garap. Dari 5.506 penulis/ sastrawan yang tercatat, mungkin tidak lebih dari sepuluh persen yang tercatat dalam buku-buku sejarah sastra yang kini beredar di sekolah­ sekolah. Oleh karena itu, di era reformasi sekarang ini, kita susun kembali sejarah sastra Indonesia secara lebih bijak, lebih adil, komprehensif, dan memperlihatkan kekayaan khasanah sastra Indonesia.

Wilhelm Dilthey, dalan Kuntowijoyo (2003) , menjelaskan pendeka­ tan verstehen (memahami ) sebagai jalan untuk memahami sejarah. Lcbih jauh dikatakan, aktor sejarah adalah manusia yang berpikir dan merasa. Kita harus memahami perilaku pelaku sejarah sebagaimana pelaku itu memberi makna perbuatannya, serta harus menemukan makna subjektif dan tasir subjekti f pelaku sejarah.

Adapun proses yang harus dilalui adalah empati atau menyatukan rasa. Selain itu, kita harus hidup dalam makna subjektif im (to relive). I Bila kita tidak dapat hidup dalam makna subjektif, maka sejarawan pun tidak akan dapat memahami ketaksadaran kolektif, seperti cinta, permainan, dan ketakutan.

Pendekatan yang ditawarkan Wilhelm Dilthey tersebut membawa kita kepada pemahaman mengapa seseorang betindak seperti itu, apa motifnya, mengapa ada ketaksadaran kolektif seperti itu, dan sebagainya. Dengan demikian, muara yang dituju bukanlah menghakimi seseorang benar atau salah atas tindakannya di masa lalu. Dalam sastra, tidak ada kebenaran absolut, yang ada adalah kebenaran relatif, tergantung ba­ gaimana kita menginterpretasi karya sastra, dan tergantung perspektif yang digunakan. Demikian pula peristiwa sejarah, yang juga multidi­ mensional dan multiinterpretasi (Kuntowijoyo, 2003: 174).

Dalam ha! ini, kaitan antara sastrawan dengan karya sastra dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ketika kita mencari makna tekstual suatu karya sastra, maka pendapat Roland Barthes bahwa pengarang telah mati dapat diterima. Dengan demikian, kita dapat menilai karya tersebut tanpa menyangkutpautkan karya itu dengan pengarangnya-apakah pengarang itu berhati malaikat atau berhati iblis, tidak menjadi soal.

N,I P SAMBODJA 283

Kcdua, bila kita hendak menggali makna kontekstual suatu karya 111lra, misalnya dengan menggunakan pendekatan feminisme atau p11slkolonialisme, maka pengarang tidak dapat dipisahkan dari karyanya. t l11fnimanapun, ideologi pengarang sangat berpengaruh dan bahkan san-1t 111cnentukan dalam penyampaian/mengekspresikan gagasan-gagasan-11 1 pcmikirannya, dan sikap politiknya melalui karya sastra.

Mcskipun demikian, kedua pendekatan tersebut bisa digunakan 111ru bersamaan, karena sating melengkapi. Maksudnya, kita perlu ,11111perhatikan "pokok "(berkaitan dengan pemikiran sastrawan yang ll�.1·mas melalui karya sastra) dan "tokoh" (yakni kehidupan dan bio­ :1 ,iii snstrawan itu sendiri). Selain itu, diperhatikan juga unsur "tematik"

i,t I .aitan dengan ten a, isi, dan topik karya sastra) serta unsur "stilistik" I I I kaitan dengan gay a bahasa, gaya pengucapan, diksi, bentuk, dan k11111ponen sastra lainnya). Diharapkan penelitian semacam ini menjadi 111,� 11wal penulisan sejarah sastra Indonesia yang lebih lengkap, lebih lu:1 da11 lebih mendalam lagi.

I >unia akademis memiliki tanggung jawab moral dalam penyusunan ,i 11 ,th sastra Indonesia, dan sudah sepantasnya menyusun buku sejarah

11111''t1m itu. Apalagi dunia akademis memiliki kebebasan mirnbar/kebe-111 akademis, memiliki otoritas di bidang sastra, independen terlepas l,!1 i .cpentingan politik tertentu, dan memiliki intensitas perhatian di 'llltl1111�· sastra.

1, ii 111111 isasi

1/11r seorang besar dan tengelam beratus ribu ,·,l11anya harus dicatet, keduanya dapat tempat

Chairil Anwar

(15)

284 SUSASTRA

Horison-Taufiq Ismail dan kawan-kawan-maka tidak akan kita temu­ kan, misalnya, sastrawan Lekra seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun sastrawan LKN seperti Si tor Situmorang. Padahal, ketiga nama itu layak dicatat dalam sejarah perpuisian Indonesia.

Apakah dengan demikian Tauiq Ismail dan kawan-kawan itu patut disalahkan? Tentu saja tidak. Kita malah harus berterima kasih dengan karya yang telah dihasilkan Tauiq Ismail dan kawan-kawan itu. Karena, bagaimanapun, penyusunan sebuah antologi karya sastra secara kronologis sehmgga sedikitnya ada pretensi kesejaraban seperti itu tidak terlepas dari subyektivitas penyusunnya, bai< dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Tapi, yang dilakukan Tauiq Ismail rupanya dilandasi dengan kesa­ daran pen uh, karena ternyata nama Sitor Situmorang tidak hanya "hi lang"di buku Horison Sastra Indonesia, melainkan juga tidak mun cul dalam buku lain yang juga disuntingnya, Ketika Kata Ketika Wana.

Yang mengejutkan, ketika Tauiq Ismail ingin memaparkan fakta se-! jarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hit: sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyu arakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukur: keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kau buruh dan tani semata, puisi Sitor Situmorang dan sastrawan-sastrawa, Lekra seperti Sobron A idit dan Agam Wis pi bisa muncul. Buku Prahar, Budaya membuktikan hal itu.

Saya sama sekali tidak menyalhkan Tauiq Ismail dan D.S. Moejant, yang menyusun Prahara Budya-yang sangat penting artinya sebag: bahan baku penulisan buku sejarah yang lebih obyektif-namun me nyayangkan saja, kenapa ketika bicara yang "manis-manis", seperti untul buku Harison Sastra Indonesia dan Ketika Kata Ketika Wana nama Si tor S itumorang tidak dimunculkan, dan ketika bicara yang "pahit-pahit , seperti untuk buku Prahara Budya, nama Sitor Situmorang beriku1 karya-karyanya bisa muncul dalam porsi yang berlebihan? Dan, bahkan, secara politik bisa merugikan Sitor Situmorang, kalau kita kaitkan terbit, nya buku itu dengan konteks zaman saat itu,saat rezim Soeharto ingi memberantas PKT dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya.

Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi sernacam itu? Memang, k1 tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sst1 sekaliber H.B. Jass in memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Pa,

l�P SAMBODJA 285

1111 Indonesia, yang fotwafatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk 11111 guu bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, 11il.1� atla yang secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku 1111( l:rsimpan di Pusat Dokumentasi Sasra (PDS) H.B. Jassin sangat me­ lii11pah. Ignas Kleden mengl<laim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan le, I ,1 ,Jr li Asia Tenggara yang menyimpan kaya sastra Indonesia. E. U. Kraz pi111 111cngakui bahwa penyusunan dua bukunya, A Bibliogrpy of Moden /t_/1111esian Literature in Jounals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra /1,r/, 11wsia Abad X' sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di l'l)S I I.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri "baru" menyusun buku yang hm i�i kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66. Lalu, bagaimana

,,.,,., Indonesia periode 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah 11,1 Indonesia pasca-Orde Baru atau di era reformasi?

l111 menjadi tugas kita bersama, terutama pengjar sastra Indonesia Ii p 1 �·.uruan tinggi untuk bisa menampilkan "wajah" sastra Indonesia lcngkap mungkin. lni tidak hanya tugas pengajar sastra Indonesia di I !iii 'l 1s1tas Indonesia (UI) saja, tapi juga pengjar sastra Indonesia di ber-1111;111 pcrguruan tinggi di Indonesia atau di mana pun. Apa yang dilakukan

11di11110 K.S. , pengajar sastra Indonesia Universitas Diponegoro (Undip) 111 11 ang, yang menulis buku sejarah sastra Indonesia terbaru, Pengantar 'f11111/J Sastra Indonesia, patut diapresiasi, karena di dalamnya sudah 11111,1111a-nama sastrawan Indonesia yang baru, meskipun menurut saya ,,111 ;tda kekurangaru1ya. Misalnya, masih lenyapnya sastrawan Lekra 11 lil•.trawan eksil. Khusus di bidang puisi, upaya yang dilakukan Harry li11g melalui Rahasia Membutuhkan Kata, yang berisi puisi-puisi IHI l,1hir di masa Orde Baru (1966-1998) pun patut dihargai, meskipun

ih lrnnyak juga penyair yang luput dari perhatiannya.

I� ,1111nisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis 11 r 1arah saja, tapi faktor politik cukup besar pengaruhnya. Ini,

mis-1 l11sa kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang

I,�. mcnghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin Ioli 1i buku Tonggak ( 1987, em pat jilid). Tapi, niat mulia Linus Suryadi I,� h1sa terwujud, karena penyair atau sastrawan Lekra masih kena I 111crah" alias dilarang berekspresi dan bers_uara melalui media ,11111 1c1111asuk karya seni yang bernama puisi. Akibatnya, hanya 180

(16)

286

. , Angka 180 itu pun merupakan angka kompromi antara Linus sebag, editor dengan Gramedia sebagai penerbitnya. Karena, bagaimanapun penerbitan sebuah karya besar memerlukan dana yang besar pula.

Yang patut disayangkan dari buku Tonggak ini adalah tidak adany

penyair-penyair seperti Abdul Hadi W.M. , Sutardji Calzoum Bacbr. lkranagara, dan Emha Ainun Nadjib. Tapi, ketiadaan nama-nama i bukan karena kesalahan Linus Suryadi, melainkan karena keinginan par; penyair itu sendiri. Sama halnya dengan tidak adanya nama Rendra dal

kumpulan puisi yang menandai 50 tahun Indonesia merdeka, Ketika Kat,

Ketika Warna. Tak adanya nama Rendra bukan karena kesalahan Tauii

Ismail, tapi karena ketidakmauan Rendra sendiri.

Jadi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan proses kanonisas1 itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, fakt1 penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kit, perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.Bi Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan

Lontar baru-baru ini menerbitkan Antologi Drama Indonesia (emp; jilid) yang cukup lengkap. lsinya adalah 60 naskah drama yang pem terbit antara 1895-1995 (satu abad) pilihan Sapardi Djoko Damono.

Apa yang dilakukan Guru Besar Fakultas Tlmu Pengetahuan Buday1 Ul itu merupakan kerja raksasa. Apalagi buku itu akan diikuti antolo: cerpen, novel, puisi, dan esai (yang belum tersentuh oleh banyak ahli s tra). Meskipun ada kanonisasi dalam pembuatan "buku raksasa" seperti it1 karena banyak yang terpinggirkan, banyak yang tersingkirkan, tetap ha diapresiasi. Saya mensyukuri terbitnyaAntologi Drama Indonesia, kare1 ban yak manfaatnya daripada mudharatnya. Namun, itu jangan diangg1 bahwa naskah drama yang baik hanya yang seperti 60 naskah itu. Ten1 saja masih banyak naskah drama yang harus dibukukan lagi.

Sekali lagi, menurut A. Teeuw, kanonisasi itu penting dan bergun,

karena kita bisa membaca "karya-karya puncak" ylng dihasilkan ol suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karc menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-ka yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-karya yu, tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.

.SCP SAMBODJA 287

h•jak Langkah Sejarah 1965

Sctelah membaca berita itu.

lcbagai anak kecil pun aku bertanya-tanya

Apakah orang-orang yang diciduk selama ini termasuk manusia-ma­ nusia

h1udab yang membunuh parajenderal itujika tidak, mengapa mereka hurus diciduk dan tidak pernah kembali lagi?

icno Gurnira Ajidarma

Saya sangat yakin bahwa pembaca akan terkejut bila membaca pen-11,�.,i.111 LO perempuan korban perkosaan pasca 30 September 1965 yang

!ih1111pun dalam buku Suara Perempuan Karban Tragedi 65 (SPKT 65) 11111. ,1 lta F. Nadia (2008). Membaca pengakuan kesepuluh perempuan hi m,ya sampai pada titik kebimbangan: apakah yang ditulis oleh lta F.

11111 itu fakta atau iksi?

I· alau fakta, maka pengalaman traumatik yang dialami oleh perem-1,111 pcrempuan itu sangat sul it di pa ham i dengan bahasa hati nurani dan

1111ata kemanusiaan. Jeritan kaum perempuan itu sudah melampaui ,, 11najinasi kita. Apa yang dialani Yanti, misalnya, yang ketika di­ f11p pasca 30 September 1965 masih berumur 14 tahun, meruntuhkan liii tahuan kita akan peristiwa lubang buaya yang tertera dalam buku j11111h bangsa Indonesia.

l't1 liliwa lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata lknla Yudha pada 1965, yang antara lain menyebutkan perempuan­ r11puan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) l,111 pcnyiksa dengan tingkat kesadisan yang melewati batas-yakni liYil-�" para jenderal dengan menyungkil matanya dan memotong

ke-1111111ya sambil menari-nari telanjang-yang dulu dianggap fakta yang lnl. 111 pcrmakluman atas pembantaian jutaan orang pada 1965/1966, 1, thilca sebagai iksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam ke­ tp 111 hcrbangsa kita, terlebih kalau kita mengacu pada hasil viswn et

li1i11 vang terbaca oleh Ben Anderson (lihat Adam, 2004).

hnl/111 rcrita atau pengakuan 10 perempuan itu dikategorikan sebagai

11111� ,, buku ini layak mendapat penghargaan sebagai karya iksi

Referensi

Dokumen terkait

yang mereka ketahui. 2) Elaborasi - Menjelaskan pengertian satuan dan jenisnya - Menjelaskan konversi satuan metric dan british 3) Konfirmasi - Mengecek pemahaman siswa

Dalam pembahasan penelitian ini menghasilkan beberapa strategi yang digunakan oleh Kufed dalam perencanaan konten pesan pada akun Instagramnya antara lain Instagram

13) Dari kalangan yang berkecukupan. 14) Arus kunjungan sangat terbatas (langka). 15) Cepat beradaptasi dengan masyarakat setempat. 16) Gaya hidup yang ditanamkan

Nilai Sig yang dimiliki adalah sebesar 0,000 lebih kecil dari pada nilai α = 5%, maka variabel Tingkat Kemudahan Penggunaan E-Filing berpengaruh signifikan terhadap Tingkat

Sebagaimana hipotesis penelitian pada uji overall yang diungkapkan sebelumnya, bahwa secara bersama-sama iklan (X1) dan promosi penjualan (X2) berpengaruh positif

Analisa Koreksi Fiskal Terhadap Laporan Laba/Rugi Perusahaan Menurut Undang-Undang PPh No 36 Tahun 2008 Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses

Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin domba yang terpapar stres mengalami puncak peningkatan pada jam ke-8 setelah perlakuan stres transportasi sedangkan nilai

Pihak pengambil keputusan yang dilakukan oleh sistem, dalam hal ini pihak pengambil keputusan dapat login dengan username dan password masing-masing, dapat melakukan