INTERAKSI FAKTOR LINGKUNGAN DAN KONTROL HORMONAL DALAM FISIOLOGI REPRODUKSI KEPITING BAKAU
Oleh: Bruri Melky Laimeheriwa
Pendahuluan
Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan, 2002). Kepiting bakau (Scylla spp.) hidup di ekosistem hutan bakau dan estuaria, anggota suku Portunidae. Meningkatnya permintaan konsumen terutama dari pasar luar negeri, menjadikan kepiting menjadi salah satu komoditas andalan untuk ekspor non migas mendampingi udang windu. Permintaan kepiting yang terus meningkatnya tersebut, selain disebabkan rasa dagingnya yang lezat, juga kandungan gizinya yang tinggi, berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui bahwa daging kepiting bakau mengandung protein 47,31% dan lemak 11,20% (Karim, 2005).
Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat bilologis khususnya fisiologi reproduksi kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya memberikan pertumbuhan dan reproduksi yang maksimal.
Aspek reproduksi kepiting bakau merupakan suatu proses hidup yang sangat penting dimana melaluinya kepiting memelihara keragaman karakter, melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang labil serta mempertahankan dan memperbanyak keberadaan sebagai suatu spesies. Banyak fenomena biologi terdapat dalam proses ini, seperti penentuan kelamin, kematangan kelamin, peran dan fungsi organ kelamin serta tingkah laku kelamin. Keberhasilan reproduksi hewan air khususnya kelas krustasea merupakan hal mendasar bagi keberlangsungan biota tersebut. Krustasea memiliki kemampuan adaptasi yang luas terhadap lingkungan dan memiliki strategi reproduksi yang unik sesuai lingkungannya. Strategi adaptasi dan reproduksi ini, telah menjadi hal yang menarik bagi para ilmuwan untuk mempelajarinya karena sangat berkaitan dengan fungsi fisiologi dan tingkah laku yang diekspresikan secara spesifik untuk setiap individu dalam satu spesies maupun antar spesies.
Pengetahuan tentang siklus reproduksi kepiting mulai dari proses pembentukan sel kelamin sampai dengan terjadinya kematangan gonad sangat perlu informasi yang tepat dan lengkap. Bukan pada level organ saja, tapi sampai pada tingkat jaringan bahkan molekul, tetapi juga dalam kaitannya dengan fisiologi reproduksi itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan fisiologi reproduksi sangat dibutuhkan pada dewasa ini.
Adapun sistematika pembahasan dalam paper ini mencakup: pendahuluan, daur hidup kepiting bakau, organ reproduksi kepiting bakau, sistem reproduksi kepiting bakau, proses reproduksi kepiting bakau, kontrol hormonal dalam reproduksi kepiting bakau, interkasi faktor lingkungan dengan fisiologi kepiting bakau, serta pengaruh faktor lingkungan pada kadar hormon dan sistem reproduksi kepiting bakau.
Morfologi dan karakteristik kepiting bakau
Ciri morfologis kepiting bakau umumnya terdiri atas dua bagian yakni tubuh dan kaki. Kaki kepiting bakau ada lima pasang terdiri dari sepasang capit, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang yang berbentuk lebar dan pipih untuk berenang (Gambar 1).
Kepiting bakau memiliki karapas berbentuk bundar telur, lebih lebar daripada panjang (perbandingan panjang dengan lebar internal karapas 0,66-0,72); permukaan karapas halus, lokos, dan agak mencembung; lekuk gastro-kardiak samar-samar hingga sedang dalamnya. Sisi muka karapas (front margin, di antara dua mata) jelas terpisahkan dari rigi-atas mata (supraorbital margin), terbagi atas empat taju yang bervariasi dari gerigi yang rendah dan tumpul hingga yang tinggi dan tajam serupa duri; lebar sisi muka ini bervariasi menurut spesies (perbandingan sisi muka dengan lebar [internal] karapas 0,33-0,45). Rigi-atas mata dengan rekahan tengah (median fissure) dan rekahan luar; rigi-bawah mata jelas bergerigi. Sisi anterolateral (anterolateral margin, sebelah luar mata) masing-masing dengan 9 gerigi serupa duri yang hampir sama ukurannya; sisi anterolateral lebih panjang dari sisi posterolateral (pinggir belakang, dekat deretan kaki) yang halus tak bergerigi. Lengan sepit (chelipeds) besar dan kokoh, permukaannya halus; merus (ruas pertama cheliped, dari pangkal) dengan tiga duri besar di sisi anterior, dan dua yang lebih kecil di sisi posterior; carpus (ruas kedua, di depan merus) dengan satu duri runcing di sisi dalam dan 1-2 duri di sisi luar yang bervariasi dari besar dan kuat hingga kerdil atau menumpul; propodus (ruas ujung, capit) dengan satu duri dekat pangkalnya, dan sepasang duri besar di dekat jari penjepit (dactyl), duri-duri itu bervariasi besarnya menurut spesies, sisi dalam penjepit dengan tonjolan-tonjolan serupa gigi. Kaki-kakinya kokoh, tiga pasang yang pertama serupa bentuknya, sepasang yang terakhir dengan ruas ujung serupa dayung. Abdomen pada yang jantan ramping, ruas ke-3 hingga ke-5 menyatu; pada yang betina melebar. Warnanya bervariasi dari spesies ke spesies.
Daur hidup kepiting bakau
Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove, dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai, untuk mencari perairan yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok, sebagai tempat memijah. Selanjutnya, kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran mangrove (Gambar 2).
3). Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat I (zoea I) yang akan terus menerus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan pantai, hingga mencapai stadia zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari. Setiap kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang, yang antara lain ditandai oleh penambahan setae renang pada endopod maxilliped-nya. Zoea V kemudian akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa, yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada stadia pascalarva. Proses perkembangan dari stadia megalopa ke stadia kepiting bakau muda (juvenil), memerlukan waktu antara 11-12 hari. Kepiting bakau muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa.
Organ Reproduksi kepiting bakau
Organ reproduksi kepiting bakau jantan maupun betina merupakan organ berpasangan yang terletak pada bagian posterior thorax, dibawah karapaks dan melintang pada bagian dorsal hepatopankreas (Gambar 4A). Organ reproduksi kepiting bakau jantan terdiri atas sepasang testis dan sepasang vas deferens. Testis berbentuk lonjong, berwarna putih dan terletak pada bagian atas bagian posterior hepatopankreas dan jantung. Di bagian depan lambung, kedua bagian testis tersebut menyatu. Pada setiap ujung posterior testis, muncul vas deferens yang mula-mula ke sisi lateral, kemudian menuju ventral dan bermuara pada tungkai kaki jalan terakhir.
Organ reproduksi kepiting bakau betina terdiri atas sepasang indung telur (ovarium), sepasang saluran telur (oviduct), serta sepasang wadah sperma (spermatheca). Ovarium adalah organ berupa badan berbentuk sabit, terletak melintang pada bagian dorsal hepatopankreas. Struktur morfologis ovarium bervariasi, sesuai dengan umur dan tingkat perkembangannya. Oviduct muncul dari bagian pertengahan ovarium. Pada bagian sisi terluar oviduct terdapat wadah penyimpanan sperma (spermatheca). Ujung oviduct dan spermatheca berbentuk corong, yang mengarah menuju ke bagian ventral tubuh secara vertikal, dan bermuara pada bukaan kelamin yang terletak pada thorachic sternum (Gambar 4C).
Sistem Reproduksi kepiting bakau
Secara umum sistem reproduksi pada kepiting dapat dikemukakan sebagai berikut: kepiting memiliki kelamin terpisah, dan dapat dibedakan dari pleopods abdomen (Gambar 1A dan 1C). Pleopod jantan biasanya lebih besar dari betina. Pleopods ini berfungsi sebagai organ kopulator untuk mentransfer spermatophores dari jantan ke alat seksual betina. Kepiting betina dapat menyimpan spermatophores dalam waktu lama, dan telur tidak harus dikeluarkan segera saat mating. Sperma di spermatophores akan membuahi telur yang akan dikeluarkan individu betina. Telur yang sudah dibuahi akan melekat pada pleopods betina dengan bantuan benang panjang disekresikan oleh betina.
daerah mikroskopis yang berbeda dan mengandung spermatophores dalam berbagai tahap pematangan.
Spermatogenesis dicirikan dengan terdiferensiasinya sel-sel sperma, dan terpelihara sebelum pembuahan. Testis krustasea mengandung 10-15 lobus, di mana setiap lobus mengandung banyak tubulus seminiferus, yang bentuknya berubah sesuai dengan tahap spermatogenesis. Spermatogenesis dimulai dengan terdiferensiasi tubulus seminiferus (proacini) bagian atas lobus. Proses meiosis terjadi pada asinus dengan mengembangkan proacini agak ke bagian atas proksimal setiap lobus. Pada tahap ini, lobulus kebanyakan mengandung spermatosit primer. Terdiferensiasinya spermatosit sekunder menjadi spermatid terjadi di tubulus seminiferus, dimana terletak di pusat masing-masing lobus. Semua tubulus seminiferus dipenuhi dengan spermatosit dan spermatid serta dikelilingi oleh lapisan otheocytes yang berasal dari mesodermal. Kontrol hormonal spermatogenesis belum sepenuhnya dipahami dalam krustasea, namun ada informasi bahwa MF sebagai hormon reproduksi pada krustasea jantan.
Secara morfologi, sistem reproduksi kepiting betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduct, gonophores dan area penerimaan sperma (Gambar 4D). Lobus ovarium dihubungkan oleh pusat jaringan ovarium. Lobus ovarium simetris terletak di cephalothorax bagian atas perut dan hepatopancreas (HP). Saluran telur (oviduct) akan muncul secara lateral dari masing-masing ovarium pada titik tepat di samping jantung dan meluas bagian lambung dan melalui gonophore di area perut. Pada betina reseptif, setiap pori dilengkapi dengan seberkas setae besar dan panjang, yang berfungsi sebagai tabung untuk berjalannya ovum. Dalam keadaan matang penuh, bentuk ovarium dapat mengisi daerah thoraks dari rongga tubuh sepenuhnya.
Oogenesis dimulai dengan adanya proliferasi dan diferensiasi oogonial ovarium terjadi ketika ovarium berwarna putih buram (ovarium previtellogenic). Selama vitelogenesis, ovarium mengalami perubahan warna kuning pucat (vitellogenik tahap I) ke oranye (tahap II vitellogenik) dan kemudian menjadi coklat (vitellogenik tahap III) ke coklat tua sebelum pemijahan. Pematangan ovarium mencakup peningkatan ukuran ovarium dan diameter oosit, serta deposisi kuning telur (yolk).
Proses reproduksi kepiting bakau
Kepiting bakau pada umumnya bersifat dieocious, yakni memiliki kelamin yang terpisah. Scylla termasuk dalam kelompok Branchyncha, sehingga proses fertilisasinya berlangsung di dalam tubuh. Fase-fase dalam proses reproduksi kepiting bakau dimulai dari proses transfer sperma (kopulasi) dan perkembangan ovarium yang berlangsung sekitar 30 hari, serta proses pemijahan, pembuahan, inkubasi dan penetasan telur yang berlangsung sekitar 17 hari. Proses perkembangan gonad dapat berlangsung apabila kepiting bakau betina telah mengalami proses kopulasi. Umumnya kepiting bakau yang siap untuk matang gonad adalah yang ukuran lebar karapaksnya berkisar antara 105-123 mm. Kepiting bakau dapat mencapai kematangan gonad pada ukuran lebar karapaks 99.1mm.
kepiting bakau jantan pasangannya untuk mendekatinya kembali. Kepiting bakau jantan akan melindungi kepiting bakau betina mulai proses moulting berlangsung hingga karapaks mengeras. Sesaat sebelum karapaks kepiting bakau betina mengeras, kepiting bakau jantan akan membantu membalikan tubuh kepiting bakau betina yang masih berkulit lunak, hingga berada dalam posisi terlentang, yaitu perut dan alat kelaminnya saling berhadapan. Pada saat itu, pleopod kepiting bakau jantan akan berfungsi sebagai alat kopulasi. Pleopod pertama dimasukan ke dalam bukaan kelamin betina, sedangkan pleopod kedua berperan untuk memompa kumpulan kantong sperma (spermathopore). Spermatophore yang ditransfer oleh kepiting bakau jantan akan disimpan di dalam wadah penyimpan sperma (spermatheca), yang terdapat pada tubuh kepiting bakau betina, sampai telur matang dan siap untuk dibuahi. Spermatophore yang tersimpan dalam spermatheca masih tetap hidup dan aktif selama beberapa bulan. Sekali kopulasi, spermatozoa yang terdapat dalam spermatheca cukup untuk melakukan pembuahan dalam dua kali pemijahan atau lebih. Kepiting bakau betina bertelur yang ditangkap di laut dan dipelihara di laboratorium, dapat memijah tiga kali dalam lima bulan tanpa melakukan proses moulting dan kopulasi lagi. Dikatakan pula bahwa proses kopulasi pertama kali dapat dilakukan oleh kepiting bakau dengan lebar karapaks antara 99.1-144.2 mm.
Proses Perkembangan Gonad. Dalam tubuh krustasea terdapat sistem syaraf khas yang sangat berbeda dengan organisme lainnya. Mata yang selain menjalankan fungsi utamanya sebagai organ penglihatan, juga merupakan lokasi dari organ-organ penunjang reproduksi. Pada tangkai mata kepiting bakau terdapat organ-X yang menghasilkan gonado inhibiting hormone (GIH), yang berfungsi secara langsung untuk menghambat perkembangan kelenjar androgen pada jantan dan ovarium pada betina sehingga spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Gonado inhibiting hormone juga menghambat aktifitas organ-Y sehingga bebas menghasilkan gonado stimulating hormone (GSH), yang bekerja merangsang pembentukan spermatozoa pada jantan atau ovum pada betina.
Perkembangan ovarium diawali oleh proses vitelogenesis, yakni proses pembentukan kuning telur yang ditandai dengan terjadinya deposisi vitelogenin ke dalam ovum. Vitelogenin disekresi ke dalam darah (hemolimfa) dan dibawa ke ovum untuk disintesis menjadi kuning telur. Vitelogenin adalah bahan baku atau prekursor protein kuning telur yang disintesis untuk mematangkan sel telur (oocyte). Kuning telur akan menjadi sumber nutrien selama perkembangan embrio. Sedangkan bahan baku dari vetelogenin adalah vitelin, yang disintesis oleh jaringan ekstraovarium dan dilepaskan ke dalam hemolimfa sebagai respons terhadap vitellogenin stimulating ovarian hormone (VSOH).
Vitelin pada kepiting adalah gabungan pigmen dengan lipoprotein yang berwarna jingga, serta mengandung 48% lemak, 50% protein dan 2% karbohidrat (Lee 1991). Konsentrasi lipovitelin akan terus meningkat menjadi komponen yang lebih besar, seiring dengan perkembangan kematangan ovarium dan sel telur. Dikatakan selanjutnya bahwa umumnya akumulasi lipoprotein akan segera diikuti oleh akumulasi butiran minyak, yang pada krustasea akan nampak pada tingkat akhir vitelogenesis. Lipovitelin dan butiran minyak berupa komponen kecil yang ditemukan pada sel telur yang belum berkembang, dan konsentrasinya akan terus meningkat menjadi komponen besar pada sel telur matang. Akumulasi lipoprotein akan diikuti oleh akumulasi butiran minyak. Pada krustasea butiran-butiran minyak akan nampak pada tahap akhir vitelogenesis.
proses pembentukannya dibantu oleh sel-sel folikel yang berperan penting. Secara umum, hemolimfa juga memegang peranan penting dalam sintesa lipovitelin. Pada awal vitelogenesis, terbentuk sebuah pembungkus folikel yang mengelilingi tiap oocyte. Selanjutnya terbentuk jaringan berbentuk pipa (tubuler) yang menghubungkan semua ruang ekstraseluler. Jaringan ini memudahkan pengangkutan substansi dari hemolimfa ke oocyte. Jumlah jaringan tubuler tersebut akan menurun pada akhir vitelogenesis.
Kematangan gonad kepiting bakau betina diklasifikasikan atas empat tingkat yaitu belum matang, menjelang matang, matang dan salin. Tingkat kematangan gonad pada kepiting bakau (Scylla serrata) betina berbeda menurut umur dan ukuran tubuhnya. Kepiting bakau yang dipelihara dalam kondisi laboratorium, untuk pertama kalinya matang Gonad setelah berumur sebelas bulan dengan rata-rata lebar karapaks 114.2 mm. Alat-alat reproduksi kepiting di wilayah tropika sudah matang pada umur kira-kira 18 bulan, sedangkan di wilayah subtropika, kematangan baru akan dicapai pada umur kira-kira 36 bulan.
Proses Pemijahan. Telur-telur yang sudah matang akan dikeluarkan dalam proses pemijahan melalui oviduct melewati wadah sperma (spermatheca) yang berada pada bagian sisi luar oviduct, sehingga akan terbuahi oleh spermatozoa yang tersimpan dalam spermatheca. Dengan demikian maka secara otomatis massa telur yang telah keluar dan menempel pada rambut-rambut pleopod, adalah massa telur yang yang telah terbuahi (zigote). Setelah telur hampir mencapai tingkat kematangan sempurna, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut untuk memijah, dan jumlah telur yang dikeluarkan dapat mencapai 1-8 juta butir, tergantung pada ukuran induk. Setelah dikeluarkan, massa telur akan dikumpulkan dan dilekatkan pada rambut-rambut pleopod, dengan bantuan sejenis perekat berwarna coklat. Selanjutnya diinkubasikan pada rambut-rambut pleopod. Saat menempel pada rambut-rambut pleopod, umumnya telur telah mencapai stadium blastula, dengan ukuran rata-rata 63 µm. Proses pemijahan yang meliputi pengeluaran sampai penyusunan massa telur pada rambut-rambut pleopod, berlangsung selama satu sampai satu setengah jam, dan proses ini umumnya berlangsung pada bagian perairan yang terlindung dan bersubstrat lumpur atau pasir.
Inkubasi Telur dan Penetasan Telur. Perkembangan telur (zigote) yang dierami selama masa inkubasi, dapat teramati melalui perubahan warna massa zigote, dari oranye menjadi coklat sampai kehitam-hitaman. Telur yang baru dikeluarkan berwarna oranye, karena masih mengadung kuning telur. Telur makin lama makin menghitam, seiring dengan berkurangnya volume kuning telur dan berkembangnya embrio (Gambar 5). Warna hitam yang nampak umumnya disebabkan oleh bagian mata embrio. Perkembangan embrio kepiting pada umumnya dimulai dari tahap blastulasi, gastrulasi, penampakan pigmen, denyut jantung pertama kali, penampakan anggota badan dan ciri morfologis lainnya. Pada kepiting Aratus pisori tahap perkembangan yang dapat terlihat pertama kali adalah terbentuknya mata dan bintik pigmen setelah outline embrio terlihat, yang disusul oleh penampakan abdomen dan chepalothorax. Lama masa inkubasi kepiting adalah 16 hari, pada kepiting biru (Callinectes sapidus), proses ini berlangsung selama 7-14 hari. Sedangkan proses inkubasi kepiting bakau (S.serrata), berlangsung antara 9-11 hari.
Struktur dan sistem endokrin pada kepiting bakau
termasuk kepiting bakau. Sistim saraf pusat yang dimaksud adalah semua ganglia di bagian kepala yaitu otak (ganglion cerebral), ganglion subesophageal, ganglion thoracic, dan ganglion abdominal. Badan sel yang mengelompok disebut organ-X dengan berbagai tanda untuk mengindi-kasikan lokasi spesifik, seperti lubang yang berhubungan dengan alat sensori organ-X dan menghasilkan hormon. Ganglia utama tangkai mata krustase meliputi: lamina ganglionaris, medulla eksterna, medulla interna, dan medulla terminalis. Walaupun pada krustase penentuan kelamin berdasarkan genetik, perkembangan dan fungsi gonad dan perkembangan karakteristik sex sekunder dibawah kontrol hormon. Jika organ-Y yang terdapat di bagian sisi anterior cepalothorax, dihilangkan sebelum dewasa maka perkembangan gonad dapat terganggu serius, tetapi jika hewan sudah dewasa, maka gonad tidak terpengaruh (Gambar 6).
Pada kepiting betina, hubungan timbal balik hormonal terletak antara ovari dan organ- X yang agaknya mirip dengan hubungan pituitary pada vertebrata. Kelenjar sinus menghasilkan hormon yang menghambat perkembangan telur selama periode di luar musim berbiak dalam setahun. Selama musim berbiak, gonad stimulating hormone (GSH) disekresikan, mungkin melalui central nervous system (CNS). Sebagai hasil adanya stimulatori hormon, level darah dari gonad inhibiting (GIH) menurun, mulai perkembangan telur, dan ovari menyebarkan hormon, menginisiasi perubahan struktural sebagai persiapan bagi embrio telur.
Pengaturan sistem reproduksi pada kepiting bakau memerlukan neuropeptida, ecdysone dan metil farnesoate (MF). Sumber utama neuropeptida adalah kelenjar sinus organ X (XO-SG) kompleks yang terletak di ganglia tangkai mata. Sumber lain (baik peptida atau neuromodulators) diproduksi di otak dan ganglia toraks (TG). Sedangkan dua senyawa non-peptida lainnya (ecdysone steroid dan MF), diproduksi oleh organ Y dan organ mandibula.
Jenis hormon, sumber produksi, organ target serta aksi fisiologi yang ditimbulkan pada krustasea disajikan dalam tabel 1.
Kontrol hormonal dalam fisiologi reproduksi kepiting bakau
Kontrol hormonal reproduksi krustasea telah dipelajari di banyak spesies, termasuk udang karang, udang, kepiting, lobster, dan lain-lain. Sejumlah hormon dari organ neuroendokrin memainkan peran penting dalam mengendalikan pematangan gonad. Jenis hormon, sumber produksi, organ target serta aksi fisiologi yang ditimbulkan pada sistem reproduksi kepiting dapat dijelaskan pada Tabel 1.
Neurohormon yang berperan dalam siklus pematangan gonad kepiting bakau adalah gonado inhibiting hormone (GIH), yang dihasilkan oleh organ-X serta dilepaskan oleh sinus gland ke sirkulasi darah, dan gonado stimulating hormone (GSH), yang dihasilkan oleh thoracic ganglion dan otak. Sistem kerja hormon dalam proses reproduksi, kondisi lingkungan merupakan sumber rangsangan alami pertama yang mempengaruhi susunan syaraf pusat. Sebelum dilepaskan ke organ sasaran, GIH terlebih dahulu disimpan dalam sinus gland.
dan merangsang ovum untuk menghasilkan telur pada individu betina. Apabila konsentrasi GSH meningkat dan konsentrasi GIH menurun dalam sirkulasi darah (hemolimfa) kepiting bakau, maka pematangan ovum akan segera berlangsung.
Peran neuropeptida dalam reproduksi. Peran hormon neuropeptida dalam sistem reproduksi kepiting berdasarkan hasil-hasil penelitian adalah sebagai berikut: pematangan gonad kepiting diatur oleh dua neuropeptida antagonistik: GIH (juga disebut VIH, pada betina) yang disintesis dan disekresi dari kelenjar sinus-Organ X (XO-SG) di tangkai mata (Gambar 9 dan tabel 1). dan gonad stimulating factor (GSF) yang dihasilkan oleh otak (B) dan ganglion toraks/GT (tabel 1). CHH berperan menghambat sintesis protein dan mRNA secara in vitro dan juga mempengaruhi fisiologi ovarium. CHH memiliki peran tambahan dalam pengendalian molting dan reproduksi, dimana CHH merangsang vitelogenesis pada tahap awal ovarium. Hormon MIH berperan pada transkripsi neuropeptide mRNA dan penurunan pematangan gonad di fase awal (previtellogenic) dan peningkatan pematangan gonad menjelang akhir (vitellogenik tahap III). MIH berperan mengkoordinasi molting dan reproduksi pada krustasea, dan sekaligus menghambat molting dan menginduksi pematangan ovarium (Gambar 7).
Peran VIH dalam reproduksi kepiting betina. VIH pada kepiting berperan untuk menghambat aktivitas genital dengan cara menghambat vitelogenesis sekunder. Organ target VIH adalah ovarium dan HP. Peningkatan transkripsi vitellogenin (Vg) dalam ovarium dari VIH menunjukkan adanya pengaruh negatif dari VIH pada ekspresi gen Vg, dan dengan demikian berarti perannya sebagai VIH (Gambar 3). Kehadiran VIH dalam embrio dan larva merupakan indikasi adanya peran penghambatan perkembangan gonad sebelum masa remaja. Aksi fisiologis VIH dalam menghambat vitelogenesis sekunder adalah sebagai berikut: VIH dapat bertindak langsung pada oosit dengan menghambat penyerapan Vg atau sintesis protein kuning telur; VIH dapat menghambat pelepasan GSH dari TG atau otak dari sistem saraf pusat atau organ mandibula; VIH mungkin mengikat Vg, mencegah pengikatan reseptor, atau mengikat reseptor untuk memblokir pengikatan (Gambar 8).
Peran ekstrak eyestalk dalam reproduksi kepiting bakau. Eyestalk (tangkai mata) pada kepiting dikenal sebagai pengontrol fungsi testis. Eyestalk mengandung faktor penghambat yang disebut GIH (Gambar 4 dan 5). Penghilangan eyestalk kepiting jantan dewasa merangsang spermatogenesis dewasa sebelum waktunya. ESA kepiting, dapat meningkatkan ukuran testis dua kali lipat dan berhasil mating. Pemotongan eyestalk pada kepiting jantan juga tingkatkan indeks testis, berat spermatophore dan jumlah sperma tetapi tidak mempengaruhi viabilitas sperma. ESA pada kepiting menunjukkan jumlah sperma, diameter kepala sperma lebih besar dan sperma bertahan lama dibandingkan dengan yang tidak ESA (Gambar 7 dan 9).
Peran GSFs dalam reproduksi kepiting bakau. Efek dari ESA dan penyuntikan TG atau otak menunjukkan adanya GSF. Ekstrak jaringan otak serta TG merangsang pertumbuhan ovarium in vivo dan in vitro; tetapi ekstrak otak lebih efektif daripada TG (Gambar 9). Ekstrak otak dan TG berperan merangsang pematangan ovarium dan perkembangan oosit sekunder. Penyuntikan ekstrak TG ke jantan menghasilkan AGS bersamaan dengan timbulnya spermatogenesis, kenaikan indeks gonad, dan tubulus testis dan vas deferens membesar. Pada kepiting bakau, produksi GSF berfluktuasi tergantung pada tahap siklus reproduksi tahunan kepiting bakau
spermatogenesis (Gambar 5). AGH berperan pengembangan gamet jantan dan seksual sekunder, penghambatan sintesis Vg dan meransang spermatogenesis. Ketika ekstrak AG diinjeksikan ke betina A. vulgare pada tahap perkembangan, maka terjadi sex reversal setelah diferensiasi gonad. Hal ini menunjukkan bahwa itu adalah faktor diferensiasi seks dan bukan merupakan faktor penentu seks. AG disuntik ke kepiting Scylla paramamosain betina dapat menghambat kemajuan lebih lanjut dari indung telur. Kerusakan ovarium terlihat 7-26 hari setelah pemberian AG. Pemberian ekstrak AG juga menyebabkan penyerapan asam amino oleh jaringan ovarium berkurang 50%. Hal ini menunjukkan bahwa AGH tampaknya berfungsi sebagai faktor pembeda seks dan dapat meningkatkan karakteristik seks jantan dan menghambat vitelogenesis. Penghilangkan AG dari lobster jantan muda dan setelah dewasa mereka tidak berkompetesis dengan jantan lain dan tidak menunjukkan perilaku kawin dengan betina. Hal ini menunjukkan bahwa AG tidak hanya bertanggung jawab untuk karakteristik seks jantan, tetapi juga mungkin terlibat dalam perilaku jantan seperti pada udang karang.
Peran peptida opioid dalam reproduksi krustasea. Peptida opioid adalah asam amino urutan pendek yang berikatan dengan reseptor tertentu di otak; opiat dan opioid meniru efek dari peptida tersebut. Peptida opioid berperan dalam kontrol reproduksi kepiting (Gambar 10 dan Tabel 1). Peran neurotransmiter dalam reproduksi telah dipelajari pada beberapa spesies kepiting. Ditemukan bahwa amina biogenik 5-hydroxytryptamine (5-HT) dan octopamine (OA) berperan penting dalam menentukan perilaku kawin spesies ini. 5-HT dan dopamin (DA) bertindak sebagai neurotransmitter dan terlibat dalam pelepasan hormon-saraf. Pemberian 5-HT mengaktifkan pelepasan GSF dari TG. Pemberian 5-HT juga merangsang pematangan ovarium dan perkembangan embrio, dan peningkatan indeks ovarium serta diameter oosit. Indeks gonadosomatik (GSI) kepiting juga dirangsang oleh makanan yang mengandung spiperone. Demikian pula, kadar lipid dan kolesterol dari kedua ovarium dan HP meningkat secara substansial. Selain efek dari 5-HT pada kepiting betina, juga memiliki peran dalam sistem reproduksi kepiting jantan. Pemberian 5-HT pada kepiting jantan merangsang sikap dominan perilaku reproduksi jantan dan merangsang perkembangan testis. 5-HT tidak langsung merangsang pelepasan GSF, tetapi merangsang AGS untuk mensintesis dan melepaskan AGH, sehingga merangsang perkembangan testis.
Peran steroid dan MF dalam reproduksi kepiting. Pemberian sintetis metionin-enkephalin pada kepiting bakau ternyata menghambat pematangan ovarium bahkan pertumbuhan testis menurun setelah penyuntikan metionin-enkephalin. Sebaliknya Nalokson, (suatu antagonis reseptor enkephalinergic), dapat merangsang pertumbuhan ovarium. Pematangan ovarium pada kepiting juga dirangsang oleh makanan yang mengandung nalokson. Antagonis peptida opioid (Nalokson dan leucine-enkephalin) juga berperan dalam pengaturan pematangan ovarium. Injeksi leucine-enkephalin merangsang molting dan pematangan ovarium serta meningkatkan vitelogenesis
perkembangan ovarium. Sebuah korelasi positif antara vitelogenesis dan hemolymph ekdisteroid telah diamati pada kepiting laba-laba. 20- Hydroxyecdysone berperan merangsang ekspresi gen VG1 (MeVg1) pada testis dan ovarium dan merangsang sintesis DNA.
Peran hormon steroid vertebrata dan prostaglandin mamalia. Steroid vertebrata terdiri atas Progesteron (17-hidroksiprogesteron, 20-hidroksiprogesteron dan 6-hidroksiprogesteron) dan estradiol (17-estradiol, estrone dan testosteron). Ada hubungan positif antara tingkat Vg di hemolymph dan tingkat peredaran progesteron dan 17-estradiol pada kepiting. Fluktuasi kadar estradiol dan progesteron dalam ovarium dan hemolymph pada tahap vitellogenik berbeda pada Scylla serrata. Progesteron dan estradiol berperan merangsang ekspresi gen MeVg1 di kedua HP dan ovarium serta vitelogenesis beberapa jenis kepiting. Fungsi reproduksi dan perkembangan ovarium kepiting juga diketahui berada di bawah kendali prostaglandin. Dimana terjadi kenaikan bertahap prostaglandin E2 ovarium (PGE2) dan prostaglandin F2 (PGF2) selama vitelogenesis dan secara signifikan PGE2 merangsang cAMP dalam jaringan ovarium kepiting. Kehadiran dan pengaruh prostaglandin, terutama prostaglandin D2 (PGD2), PGF2 dan PGE2, dalam jaringan ovarium dan pematangan juga telah dipelajari dalam kepiting. Pencampuran prostaglandin menjadi pelet makanan, dapat merangsang pematangan ovarium. Hormon mamalia juga memiliki pengaruh pada reproduksi dan pemijahan kepiting. Sebagai contoh, ada efek GSH (FSH dan LH) pada pematangan ovarium. Respon ovarium dari FSH dan LH mamalia menunjukkan bahwa gonadotropin dapat berfungsi pada invertebrata. Namun, sampai saat ini tidak ada struktur mirip FSH dan LH yang telah diisolasi dari invertebrata apapun. Penyuntikan human chorionic gonadotropin (HCG) merangsang pematangan dan pemijahan kepiting. Pola yang sama dalam pematangan ovarium kepiting yang diberi makanan yang mengandung HCG. HCG positif berperan mensintesis vitellogene kepiting betina.
Peran Hormon Methyl Farnesoate (MF) dalam reproduksi kepiting. MF adalah sesquiterpene ditemukan di organ mandibular (MO). MF diatur negatif oleh faktor penghambat organ mandibula yang dihasilkan oleh eyestalk SG (Gambar 10 dan Tabel 1). MF secara struktural mirip dengan JHS, hanya berbeda dalam kehadiran epoksida pada akhir terminal. JH berperan dalam beberapa aspek reproduksi pada kepiting, termasuk vitelogenesis sekunder dan serapan Vg. MF berkorelasi dengan pematangan ovarium dan molting pada kepiting serta MF meningkatkan Vg di hemolymph dari ESA kepiting. ESA meningkatkan kadar MF dan meningkatkan indeks ovarium. Kadar MF tinggi juga berkorelasi dengan perilaku kawin; jantan dengan kadar MF yang lebih tinggi sangat aktif, sedangkan jantan dengan kadar lebih rendah tidak menunjukkan perilaku kawin. MF merangsang testis baik secara langsung maupun tidak langsung dengan merangsang (GSF atau AGH) atau menghambat sekresi GIH. Kadar MF juga dapat berubah, tergantung pada warna, perilaku, reproduksi, molting dan stres (Nagaraju, 2007).
Interaksi faktor lingkungan dengan fisiologi kepiting bakau
Suhu. Kepiting bakau dapat mentolelir perairan dengan kisaran suhu antara 12.0-35.0°C. Kepiting bakau dapat tumbuh cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23.0-32.0°C. Suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20°C akan mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan berhenti walaupun kepiting masih dapat tetap hidup. Di perairan hutan mangrove, kepiting bakau dijumpai pada perairan dengan kisaran suhu 28.8°C-36.0°C, sedangkan di perairan Laguna, kepiting bakau dijumpai pada kisaran 13-40°C. Kepiting bakau juga dijumpai pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.5°C. Pada perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tanggerang, kepiting bakau bakau dijumpai pada perairan dengan suhu rata-rata 28.8°C (Wahyuni & Ismail 1987), sedangkan pada perairan hutan mangrove Teluk Pelita jaya Seram Barat Maluku, kepiting dijumpai pada perairan dengan suhu air berkisar antara 26.0-30.5°C. Di Hawai, kepiting bakau betina bermigrasi untuk memijah ke perairan dengan kisaran suhu air antara 24-28°C (rata-rata 25°C), sedangkan di Thailand untuk memijah kepiting bakau mencari perairan dengan suhu rata-rata 29.0°C. Perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Suhu perairan juga dapat mempengaruhi tingkat perkembangan larva kepiting bakau. Tingkat zoea V pertama kali dapat dicapai dalam waktu 15 hari pada suhu air rata-rata 27.5°C; 14-15 hari pada suhu air rata-rata 22.5°C; 13-14 hari pada suhu air rata-rata 27°C; dan 14-18 hari pada suhu air rta-rata 27.0°C (Heasman 1980). Di samping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Dikatakan juga bahwa kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-32°C.
(1991),menjumpai kepiting bakau pada perairan mangrove Muara Kamal dengan kisaran salinitas 5-30‰.
Kedalaman Air. Kedalaman air dipengaruhi salah satunya, oleh peristiwa pasang surut. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi kerkawinan. Walaupun demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30.0-79.0 cm di perairan dekat hutan mangrove, dan 30.0-125.0 cm di muara sungai. Pada siang hari kepiting bakau terlihat menuju perairan yang dangkal, sedangkan kepiting bakau jenis S. serrata tertangkap di perairan sekitar hutan mangrove ketika air laut surut. Larva kepiting bakau yang berasal dari laut dan banyak dijumpai di sekitar estuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang, akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung. Kepiting bakau pada stadia juvenil (first crab) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan, kemudian kembali ke zona subtidal pada saat air surut. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap zona intertidal, dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat lunak. Kepiting bakau sebelum moulting (premoult), membenamkan diri dalam lumpur atau masuk kedalam lubang, sampai karapaksnya mengeras. Dengan demikian kemungkinan besar untuk mendapatkan kepiting bakau yang memiliki karapaks yang lunak, adalah dengan mencarinya pada bagian hutan mangrove yang bersubstrat dasar lumpur.
Derajat Keasaman. Perairan yang mempunyai substrat lumpur cendrung mempunyai pH asam. Sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung kalsium dalam bentuk CaCO3, bersifat basa. Dari hasil penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara. Pada perairan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 6.16-7.50,sedangkan di pertambakan Muara Kamal, kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati 1991). Kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 6.21-8.50. Selain itu, penelitian lain melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6.16; kisaran nilai pH 6.5-7.0; dan pada perairan dengan pH rata-rata 6.5.
Peran faktor lingkungan terhadap kadar hormon dan reproduksi kepiting
Faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan musiman berperan penting dalam mengatur fisiologi kepiting, termasuk reproduksi, perilaku, molting, morfogenesis dan makanan. Peningkatan suhu (32°C), anoksia (0,25 ppm. O2) dan penurunan salinitas diikuti oleh peningkatan yang signifikan dalam kadar hemolymph MF. Demikian pula, kepiting stenohaline, L. emarginata, menunjukkan peningkatan kadar hemolymph MF saat ditransfer ke salinitas rendah (20 ppt.). Sebaliknya, kepiting euryhaline, C. sapidus, air salinitas rendah (15 ppt.) tidak meningkatkan kadar hemolymph MF (Gambar 10).
Koordinasi neuroendokrin dengan faktor lingkungan yang sesuai sangat penting untuk memastikan bahwa sistem reproduksi dan molting tahunan tetap berlangsung. Penyinaran juga berperan kuat dalam reproduksi beberapa spesies kepiting. Pematangan ovarium dan Vg sintesis meningkat secara signifikan ketika penyinaran diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa suhu tinggi menyebabkan stres beberapa kepiting jantan. Suhu 24-27°C menunda spermatophore dan melanisasi, dan 33°C terbukti menjadi akut bagi kualitas sperma.
Kesimpulan dan rekomendasi
Mekanisme kontrol (Regulasi) sistem endokrin baik neuroendokrin maupun non-neuroendokrin dalam fisiologi reproduksi kepiting merupakan dasar penelitian dan topik yang terus berkembang. Selain itu, Hormon peptida dan neurotransmiter berpengaruh dalam sistem reproduksi dan non-reproduktif krustasea. Fungsi dan perilakunya yang beragam pada organ target, masih belum jelas. Pendekatan dsRNAi /microRNAi memberikan perspektif baru pada GIH atau gonad dari rangsangan peptida dan protein.
Rekomendasi ke depan adalah perlu studi untuk membandingkan secara integrasi fisiologi reproduksi (seperti salinitas, suhu, dll) dan pengembangan pendekatan klasik untuk menjawab banyak pertanyaan menarik tentang peptida dan protein yang berasal eyestalk, otak dan TG pada krustasea maupun hewan air lainnya.
Referensi:
Akta, M. and Kumlu, M. (2005). Gonadal maturation and spawning in Penaeus semisulcatus de Hann, 1844 by hormone injection. Turk. J. Zool. 29, 193-199.
Alfaro, J., Zúñiga, G. and Komen, J. (2004). Induction of ovarian maturation and spawning by combined treatment of serotonin and a dopamine antagonist, spiperone in Litopenaeus stylirostris and Litopenaeus vannamei. Aquaculture 236, 511-522.
Brown, M., Sieglaff, D. and Rees, H. (2009). Gonadal ecdysteroidogenesis in Arthropoda: occurrence and regulation. Annu. Rev. Entomol. 54, 105-125.
Depiereux S, Le Gac F, De Meulder B, Pierre M, Helaers R, Guiguen Y, et al. (2015) Meta-Analysis of Microarray Data of Rainbow Trout Fry Gonad Differentiation Modulated by Ethynylestradiol. PLoS ONE 10(9): e0135799. doi:10.1371/journal.pone.0135799
Donelson JM, McCormick MI, Booth DJ, Munday PL (2014) Reproductive Acclimation to Increased Water Temperature in a Tropical Reef Fish. PloS ONE 9(5): e97223. doi:10.1371/journal.pone.0097223
Gallo A, Tosti E (2015) Reprotoxicity of the Antifoulant Chlorothalonil in Ascidians: An Ecological Risk Assessment. PLoS ONE 10(4): e0123074. doi:10.1371/journal.pone.0123074
Gao J, Munch SB (2015) Does Reproductive Investment Decrease Telomere Length in Menidia menidia? PLoS ONE 10(5): e0125674. doi:10.1371/journal.pone.0125674
Heger Z, Michalek P, Guran R, Havelkova B, Kominkova M, Cernei N, et al. (2015) Exposure to 17β-Oestradiol Induces Oxidative Stress in the Non-Oestrogen Receptor Invertebrate Species Eisenia fetida. PLoS ONE 10(12): e0145426. doi:10.1371/journal.pone.0145426
Johnson JI, Kavanaugh SI, Nguyen C, Tsai P-S (2014) Localization and Functional Characterization of a Novel Adipokinetic Hormone in the Mollusk, Aplysia californica. PLoS ONE 9(8): e106014. doi:10.1371/journal.pone.0106014
LeBlanc GA, Wang YH, Holmes CN, Kwon G, Medlock EK (2013) A Transgenerational Endocrine Signaling Pathway in Crustacea. PLoS ONE 8(4): e61715. doi:10.1371/journal.pone.0061715
Martins RST, Gomez A, Zanuy S, Carrillo M, Canário AVM (2015) Photoperiodic Modulation of ircadian Clock and Reproductive Axis Gene Expression in the Pre-Pubertal European Sea Bass Brain. PLoS ONE 10(12): e0144158. doi:10.1371/journal.pone.0144158
Mauro A, Martelli A, Berardinelli P, Russo V, Bernabo` N, et al. (2014) Effect of Antiprogesterone RU486 on VEGF Expression and Blood Vessel Remodeling on Ovarian Follicles before Ovulation. PLoS ONE 9(4): e95910. doi:10.1371/journal.pone.0095910
Nagasawa K, Oouchi H, Itoh N, Takahashi KG, Osada M (2015) In Vivo Administration of Scallop GnRH-Like Peptide Influences on Gonad Development in the Yesso Scallop, Patinopecten yessoensis. PLoS ONE 10(6): e0129571. doi:10.1371/journal.pone.0129571
Ruther J, McCaw J, Bo¨ cher L, Pothmann D, Putz I (2014) Pheromone Diversification and Age-Dependent Behavioural Plasticity Decrease Interspecific Mating Costs in Nasonia. PLoS ONE 9(2): e89214. doi:10.1371/journal.pone.0089214
rohita (Hamilton). PloS ONE 10(7): e0132450. doi:10.1371/journal.pone.0132450
Senthilkumaran B, Sreenivasulu G, Wang D-S, Sudhakumari C-C, Kobayashi T, Nagahama Y (2015) Expression Patterns of CREBs in Oocyte Growth and Maturation of Fish. PLoS ONE 10(12): e0145182. doi:10.1371/journal.pone.0145182
Shen Z, Fahey JV, Bodwell JE, Rodriguez-Garcia M, Rossoll RM, et al. (2013) Estradiol Regulation of Nucleotidases in Female Reproductive Tract Epithelial Cells and Fibroblasts. PLoS ONE 8(7): e69854. doi:10.1371/journal.pone.0069854
Takae S, Kawamura K, Sato Y, Nishijima C, Yoshioka N, et al. (2014) Analysis of Late-Onset Ovarian Insufficiency after Ovarian Surgery: Retrospective Study with 75 Patients of Post-Surgical Ovarian Insufficiency. PLoS ONE 9(5): e98174. doi:10.1371/journal.pone.0098174
Tsai PS, Sun B, Rochester JR, Wayne NL (2010) Gonadotropinreleasing hormone-like molecule is not an acute reproductive activator in the gastropod, Aplysia
californica. Gen Comp Endocrinol 166:280–288
Verma SK, Alim A (2014) Differential Activity of Stanniocalcin in Male and Female Fresh Water Teleost Mastacembelus armatus (Lacepede) during Gonadal Maturation. PLoS ONE 9(7): e101439. doi:10.1371/journal.pone.0101439
Waltrick D, Jones SM, Simpfendorfer CA, Awruch CA (2014) Endocrine Control of Embryonic Diapause in the Australian Sharpnose Shark Rhizoprionodon taylori. PLoS ONE 9(7): e101234. doi:10.1371/journal.pone.0101234
Wilkosz P, Greggains GD, Tanbo TG, Fedorcsak P (2014) Female Reproductive Decline Is Determined by Remaining Ovarian Reserve and Age. PloS ONE 9(10): e108343. doi:10.1371/journal.pone.0108343
Wongsawang, P., Phongdara, A., Chanumpai, A. and Chotigeat, W. (2005). Detection of CHH/GIH activity in fractionated extracts from the eyestalk of Banana prawn. Songklanakarin J. Sci. Tech. 27, 789-798.
Yano, I., Fingerman, M. and Nagabhushanam, R. (2000). Endocrine control of reproductive maturation in penaeid shrimp. In Recent Advances in Marine Biotechnology: Aquaculture, Part A: Seaweeds and Invertebrates (ed. M. Fingerman and R. Nagabhushanam), pp. 161-176. Enfield, NH: Science
Young, N., Webster, S. and Rees, H. (1993). Ecdysteroid profiles and vitellogenesis in Penaeus monodon (Crustacea: Decapoda). Invert. Reprod. Dev. 24, 107-117.
Zhang X, Hou J, Wang G, Jiang H, Wang Y, Sun Z, et al. (2015) Gonadal Transcriptome Analysis in Sterile Double Haploid Japanese Flounder. PLoSONE 10(11): e0143204. doi:10.1371/journal.pone.0143204
female blue crab, Callinectes sapidus 1, an ovarian stage dependent involvement. Saline Syst. 5, 7.