BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang optimal tersebut, Program Pemberantasan Penyakit
menitikberatkan kegiatannya pada upaya mencegah berjangkitnya penyakit,
menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta mengurangi akibat buruk dari
penyakit menular maupun tidak menular (UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF) yang dapat bermanifestasi sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan
salah satu jenis penyakit menular tidak langsung. Sampai saat ini, belum ada antivirus
khusus untuk membasmi virus Dengue. Pengobatan penyakit hanya mengandalkan
pemberian cairan dan tambahan darah (Nadesul, 2004).
Infeksi virus Dengue telah ada sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pada masa itu, infeksi virus
Dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, di Filipina, infeksi virus Dengue
menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat dengan gejala-gejala panas,
28 diantaranya meninggal (CFR = 48,28%). Beberapa tahun kemudian, penyakit ini
mulai merambah ke beberapa negara Asia, seperti Thailand tahun 1958, Vietnam
Utara tahun 1958, Singapura tahun 1960, Laos tahun 1962, dan India tahun 1963
(Depkes RI, 2004a).
Menurut World Health Organization (WHO), DBD merupakan kejadian
endemik di banyak negara di wilayah Asia Tenggara yang berarti bahwa kasus DBD
terjadi setiap tahun meskipun ada variasi yang signifikan antar negara. Sampai
dengan tahun 2010, Republik Demokratik Rakyat Korea adalah satu-satunya negara
di Asia Tenggara yang tidak memiliki laporan penderita DBD pribumi.
Jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2010 di negara-negara
kawasan Asia Tenggara antara lain : Bangladesh terjadi 76 kasus (Incidence Rate/IR
= 0,05 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR = 0,00%); Bhutan terjadi
16 kasus (IR = 2,29 per 100.000 penduduk dan CFR = 12,50%); India terjadi 9.357
kasus (IR = 0,79 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,31%); Maldives terjadi 550
kasus (IR = 180,33 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,00%); Myanmar terjadi
11.704 kasus (IR = 21,92 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,82%); Nepal terjadi 2
kasus (IR = 0,01 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,00%); Sri Lanka terjadi 27.142
kasus (IR = 131,12 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,77%); Thailand terjadi
57.948 kasus (IR = 85,09 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,12%); dan Timor Leste
terjadi 473 kasus (IR = 39,42 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,21%) (WHO,
Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 berupa
KLB di Jakarta dan Surabaya, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR = 41,5%).
Sejak saat itu, penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah hingga sampai tahun
1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD (Depkes RI, 2007).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 menyebutkan bahwa
penyakit DBD merupakan salah satu jenis penyakit menular yang dapat menimbulkan
wabah dan menyebabkan malapetaka bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam
SK Menteri Kesehatan Nomor 1457 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, DBD merupakan salah satu penyakit menular
yang dicantumkan sebagai masalah yang wajib menjadi prioritas oleh daerah.
Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes
RI, 2010). Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Indonesia (Ditjen PP&PL
Kemenkes RI), pada tahun 2005 terjadi 80.837 kasus (IR = 43,38 per 100.000
penduduk dan CFR = 1,36%); tahun 2006 terjadi 104.656 kasus (IR = 52,48 per
100.000 penduduk dan CFR = 1,04%); tahun 2007 terjadi 140.000 kasus (IR = 71,78
per 100.000 penduduk dan CFR = 1,01%); tahun 2008 terjadi 137.469 kasus (IR =
59,02 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,86%); tahun 2009 terjadi 154.855 kasus
(IR = 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,89%); dan tahun 2010 terjadi
Pada tahun 2011, lima propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus DBD
tertinggi adalah : Jawa Timur dengan jumlah kasus sebesar 3.152 kasus (IR = 8,32
per 100.000 penduduk); Jawa Tengah dengan jumlah kasus sebesar 2.345 kasus (IR =
7,14 per 100.000 penduduk); Sumatera Utara dengan jumlah kasus sebesar 2.066
kasus (IR = 15,88 per 100.000 penduduk); DKI Jakarta dengan jumlah kasus sebesar
1.954 kasus (IR = 23,18 per 100.000 penduduk); dan Bali dengan jumlah kasus
sebesar 1.949 kasus (IR = 56,16 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI, 2012).
Di propinsi Sumatera Utara sendiri, penyakit DBD telah menyebar luas ke
seluruh wilayah sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif
tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Sumatera Utara, terdapat
8 daerah endemis DBD di wilayah Propinsi Sumatera Utara, yaitu; Kota Medan,
Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Asahan, Kota
Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan Kabupaten Karo. Angka kejadian DBD di
Propinsi Sumatera Utara terus meningkat. Pada tahun 2005 terjadi 3.790 kasus
dengan kematian 68 orang (CFR = 1,8%), tahun 2006 terjadi 2.222 kasus dengan
kematian 34 orang (CFR = 1,5%), tahun 2007 terjadi 4.427 kasus dengan kematian 41
orang (CFR = 1%), tahun 2008 terjadi 4.401 kasus dengan kematian 50 orang (CFR =
1,1%), tahun 2009 terjadi 4.705 kasus dengan kematian 58 orang (CFR = 1,2%),
tahun 2010 terjadi 8.889 kasus dengan kematian 87 orang (CFR=1%), dan tahun 2011
terjadi 5.987 kasus dengan kematian 78 orang (CFR=1,3%).
Kota Medan sebagai Ibu kota propinsi Sumatera Utara adalah salah satu
ada di Kota Medan semuanya sudah merupakan daerah endemis DBD. Pada tahun
2011, Kecamatan Medan Denai, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Tembung,
Medan Amplas, Medan Kota, Medan Johor, Medan Marelan, Medan Barat, dan
Medan Deli merupakan 10 kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di kota Medan
(Dinkes Kota Medan, 2012).
Adapun angka kejadian DBD di Kota Medan yang telah dirilis oleh Dinkes
Kota Medan dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut; tahun 2002 sebanyak 212
kasus dengan kematian 2 orang (CFR = 0,9%), tahun 2003 sebanyak 594 kasus
dengan kematian 9 orang (CFR = 1,5%), tahun 2004 sebanyak 742 kasus dengan
kematian 61 orang (CFR = 8,2%). Lonjakan kasus yang menonjol (KLB) terjadi pada
tahun 2005 yaitu sebanyak 1.960 kasus dengan kematian 24 orang (CFR = 1,2%),
tahun 2006 sebanyak 1.378 kasus dengan kematian 21 orang (CFR = 1,5%), tahun
2007 sebanyak 1.917 kasus dengan kematian 17 orang (CFR = 0,9%), tahun 2008
sebanyak 1.545 kasus dengan kematian 14 orang (CFR = 0,9%), dan tahun 2009
sebanyak 1.940 kasus dengan kematian 14 orang (CFR = 0,7%).
Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama
dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk
pemukiman yang stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di
tempat penampungan air (TPA)/wadah yang berada di permukiman dengan air yang
relatif jernih. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan berkembangbiak di
tempat-tempat penampungan air buatan antara lain bak mandi, ember, vas bunga,
Sementara itu, Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di
luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu, dan sejenisnya
terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan (Sukowati, 2010).
Beberapa faktor etiologik yang ditemukan berhubungan dengan penyakit
DBD adalah faktor host (umur, jenis kelamin, mobilitas), faktor lingkungan
(kepadatan rumah, adanya tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk,
kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, curah hujan), serta faktor perilaku (pola tidur
dan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk) (Wahyono dkk, 2010). Curah hujan
yang tinggi saat musim penghujan misalnya, dapat menimbulkan banjir dan genangan
air di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti
cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang
rumah) (Kemenkes RI, 2010).
Penelitian Roose (2008) menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan
dengan kejadian DBD adalah variabel pendidikan, pekerjaan, jarak rumah, TPA
bukan untuk keperluan sehari-hari, TPA alami, dan tanaman hias/pekarangan serta
dari hasil analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang paling dominan
berhubungan dengan kejadian DBD adalah variabel mobilisasi (p=0,000;
mOR=20,90). Sementara itu, hasil penelitian Sitio (2008) menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah kebiasaan
menggunakan anti nyamuk di siang hari (p=0,026; OR=4,343) dan kebiasaan
Kecamatan Medan Tembung memiliki kondisi lingkungan yang berisiko
untuk berjangkitnya penyakit DBD karena banyak terdapat TPA, Non TPA, dan TPA
alami di sekitar pemukiman masyarakat sehingga dapat menjadi tempat bagi
perindukan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, kecamatan ini mempunyai jumlah
penduduk dan pemukiman yang padat sehingga akan meningkatkan risiko
penularan DBD. Kecamatan ini juga termasuk daerah semi perkotaan sehingga
karakteristik lingkungannya masih banyak terdapat kebun/tumbuh-tumbuhan yang
dapat menjadi habitat bagi nyamuk Aedes albopictus sebagai vektor sekunder bagi
penularan DBD.
Kecamatan Medan Tembung merupakan salah satu kecamatan yang menjadi
daerah endemis DBD di kota Medan dan temasuk dalam kriteria Rawan I berdasarkan
stratifikasi daerah DBD yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI). Sejak 5 tahun terakhir, kasus DBD di Kecamatan Medan
Tembung cukup tinggi dan masuk ke dalam 10 kecamatan dengan kasus DBD
tertinggi di kota Medan. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Medan, pada
tahun 2011, jumlah kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung mencapai 152 kasus
yang menjadikan kecamatan ini berada pada peringkat keempat dari sepuluh
kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di kota Medan. Pada tahun 2012, jumlah
kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung mencapai 60 kasus. Meskipun jumlahnya
menurun, hal ini tetap perlu diwaspadai mengingat DBD merupakan penyakit
tepat. Selain itu, tingginya angka kesakitan penyakit ini akan menimbulkan kerugian
ekonomi baik bagi keluarga penderita maupun negara.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi
kasus DBD yang cukup tinggi setiap tahunnya, khususnya di Kecamatan Medan
Tembung yang telah menjadi daerah endemis DBD. Untuk itu, perlu dilakukan
penelitian epidemiologi analitik terhadap determinan kejadian DBD di Kecamatan
Medan Tembung dan diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat, khusunya
pengelola program dalam rangka menanggulangi masalah ini.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian ini adalah : “Determinan apa saja yang memengaruhi
kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan
Medan Tembung.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Mendeskripsikan karakteristik subjek studi berdasarkan umur, jenis kelamin,
b) Mengamati keberadaan jentik nyamuk yang mengindikasikan adanya vektor
DBD di Kecamatan Medan Tembung serta menghitung besarnya House Index
dan Container Index.
c) Mengetahui apakah keberadaan jentik merupakan determinan kejadian DBD di
Kecamatan Medan Tembung.
d) Mengetahui apakah faktor lingkungan (tata rumah, tempat penampungan air,
bukan tempat penampungan air, tempat penampungan air alami, kawat kasa pada
ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan) merupakan determinan kejadian DBD di
Kecamatan Medan Tembung.
e) Mengetahui apakah faktor kebiasaan (membersihkan tempat penampungan air,
menutup tempat penampungan air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian,
kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent) merupakan
determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.
f) Mengetahui besarnya risiko masing-masing determinan terhadap kejadian DBD
di Kecamatan Medan Tembung.
1.4 Hipotesis
a) Ada pengaruh keberadaan jentik terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan
Tembung.
b) Ada pengaruh faktor lingkungan (tata rumah, tempat penampungan air, bukan
ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan) terhadap kejadian DBD di Kecamatan
Medan Tembung.
c) Ada pengaruh faktor kebiasaan (membersihkan tempat penampungan air,
menutup tempat penampungan air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian,
kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent) terhadap kejadian
DBD di Kecamatan Medan Tembung.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Setempat
Memberikan informasi mengenai determinan kejadian DBD di Kecamatan
Medan Tembung sehingga pengambil keputusan dapat menyusun rencana dan
strategi yang efektif dalam penanggulangan kasus DBD.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD.
1.5.3 Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai sumber informasi mengenai determinan kejadian DBD sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan
keilmuan.
1.5.4 Bagi Peneliti Selanjtnya
Sebagai sumber informasi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan