• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (3)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 46 TAHUN 2013

I. Pendahuluan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 (yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013), merupakan kebijakan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Pada tanggal 13 Juni 2013 lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 (PP 46/2013). Peraturan ini mulai berlaku efektif sejak 1 Juli 2013. Dengan diterbitkannya PP 46/2013, orang pribadi maupun badan dengan omzet sampai dengan 4,8 milyar dalam satu tahun pajak dikenai pajak final sebesar 1% dari omzet bulanan.

II. Tujuan

 Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu.

 Untuk menggenjot penerimaan pajak

 Dapat memasukkan sektor informal ke dalam sistem pajak indonesia

 Dengan memiliki NPWP, para pengusaha UMKM dapat lebih mudah memperoleh kredit dari bank

III. Objek Pajak

Objek Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh) adalah Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omset) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak. Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah: 1% dari jumlah peredaran bruto (omset)

(3)

a) Penghasilan dari jasa sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, seperti misalnya: dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara;

b) Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2), seperti misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri.

V. Subjek Pajak

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan

 Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

VI. Pengecualian Subjek Pajak Peghasilan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan

b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:

a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau

(4)

VII. Tarif

Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

VIII. Dasar Pengenaan Pajak

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto (omset) setiap bulan. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung sebagai dasar untuk menentukan 4.8 miliar adalah semua pendapatan termasuk pendapatan perusahaan cabang (bila ada), namun Tidak Termasuk pendapatan yang telah dikenakan PPh final dan pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Misalnya:

(a) Data pendapatan (revenue) PT. JAK pada tahun fiskal 2012 nampak sebagai berikut:

Penjualan = Rp 4,778,000,000

Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 25,000,000 Total = Rp 4,803,000,000

(5)

(b) Tahun fiskal 2012, data pendapatan PT. ABC yang berkantor pusat di Tangerang memiliki data pendapatan sebagai berikut:

Penjualan di Kantor Pusat = Rp 2,800,000,000

Penjualan di Cabang Daan Mogot = Rp 1,200,000,000 Penjualan di Cabang Pal Merah = Rp 1,795,000,000 Total = Rp 5,795,000,000

Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang melebihi 4.8 miliar, sehingga TIDAK memenuhi kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.

(c). Tahun fiskal 2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik Minimarket UD Kencana dan Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb: Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp 2,100,000,000

Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000 Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000

Total = Rp 5,000,000,000

Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang melebihi 4.8 miliar dalam satu tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari pekerjaan bebas tidak dihitung, jadinya belum melewati Rp 4.8 miliar, sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.

IX. Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas

Yang disebut dengan “jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas” dalam hal ini adalah jasa yang dihasilkan oleh seorang:

 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

 Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati, pemain drama, dan penari.

 Olahragawan.

(6)

 Pengarang, peneliti, dan penerjemah.

 Agen iklan.

 Pengawas atau pengelola proyek.

 Perantara (makelar/calo).

 Petugas penjaja barang dagangan.

 Agen asuransi.

 Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Pendapatan jasa di atas TIDAK DIPERHITUNGKAN dalam menentukan apakah peredaran bruto WP melebihi atau tidak melebihi 4.8 miliar.

Sedangkan pendapatan yang diperhitungkan dalam menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” adalah penadapatan yang berupa:

 Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain sebagainya.

 Penghasilan dari usaha dan kegiatan.

 Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.

 Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

(7)

Masalah yang membuat penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit rumit adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal (1 Juli 2013), sementara batasan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” yang digunakan adalah total peredaran selama satu tahun fiskal (alias 12 bulan). Belum lagi kalau WP terdaftar sebagai wajib pajak di tengah-tengah tahun fiskal.

Cara menentukan peredaran bruto yang tidak melebihi 4.8 Milyar

Dalam hal tahun fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto tahun fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini, lalu disetahunkan (lihat contoh di bawah).

Misalnya:

PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto tahun 2013 yang disetahunkan adalah:

Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp 360,000,000

Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp 4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalarn PP ini.

(b) Dalam hal WP terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP ini namun terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto dari bulan saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP ini, lalu disetahunkan. Misalnya:

(8)

(tiga) bulan tersebut adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah:

Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp 600,000,000

Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 bulan tersebut tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya PP ini sampai dengan akhir tahun fiskal bersangkutan, dikenai PPh bersifat final sesuai ketentuan dalam PP ini.

(c) Dalam hal WP baru terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha, lalu disetahunkan. Misalnya:

PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15,000,000. Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah:

12/1 x Rp 15,000,000 = Rp 180,000,000

Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh bersifat final sesuai dengan PP ini.

X. Pajak Yang Terutang dan Dibayar di Luar Negeri

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP tetap DAPAT DIKREDITKAN terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

(9)

WP yang dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan yang TIDAK DIKENAKAN PPh Final, dengan ketentuan sebagai berikut:

 Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun fiskal. Misalnya: Jika PT. JAK mengalami kerugian pada tahun fiskal 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.

 Tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT. JAK pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan ketentuan PP ini, maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.

 Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tidak dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya: Jika PT. JAK pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan tahun fiskal berikutnya.

XII. Permasalahan / Kendala dalam PP Nomor 46 Tahun 2013

1. Dasar Penerbitan

Dalam bagian pertimbangan, disebutkan bahwa PP 46/2013ini merujuk kepada pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, PP 46/2013 pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh merujuk kepada pemajakan terhadap objek tertentu. Dasar penerbitan yang tidak tepat tersebut berpotensi untuk dipermasalahkan dalam sengketa-sengketa yang terkait dengan peraturan ini.

2. Salah Sasaran

(10)

Dengan begitu, badan usaha yang sudah masuk ke dalam sektor formal seperti Perseroan Terbatas (PT) atau bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) juga secara otomatis tercakup dalam PP 46/2013 ini.

3. Timbulnya Ketidakpastian

Sebagaimana kita ketahui, sebelum PP 46/2013 diterbitkan, sebelumnya sudah sudah terdapat peraturan-peraturan perpajakan yang mengatur mengenai pemajakan atas subjek pajak dengan omzet tertentu. Untuk subjek pajak badan, terdapat pasal 31E UU PPh yang memberikan keringanan bagi subjek pajak badan dengan omzet sampai dengan 50 miliar rupiah. Keringanan tersebut berupa pengurangan pajak sebesar 50% atas penghasilan kena pajak sampai dengan 4,8 miliar rupiah. Untuk subjek pajak orang pribadi, terdapat ketentuan mengenai penghitungan penghasilan dengan menggunakan norma. Ketentuan ini berlaku bagi orang pribadi yang memiliki usaha dengan omzet di bawah 4,8 miliar rupiah dan memilih untuk melakukan pencatatan. Diterapkannya PP 46/2013 yang mencakup subjek pajak baik orang pribadi maupun badan dengan omzet sampai dengan 4,8 miliar berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi subjek pajak dalam menentukan acuan penghitungan pajaknya, apakah harus mengikuti ketentuan dalam PP 46/2013 atau dapat memilih menerapkan ketentuan yang telah berlaku sebelumnya.

4. Isu Ketidakadilan

(11)

Selain itu, penerapan tarif flat sebesar 1% dari omzet dapat mengakibatkan pengusaha dengan margin laba bersih besar akan membayar beban pajak yang lebih ringan dibandingkan dengan pengusaha dengan margin laba bersih yang lebih kecil.

Lebih lanjut, ketidakadilan juga timbul jika kita melihat dari sisi subjek pajak badan milik asing. Dalam konteks ini, pihak asing yang berinvestasi di Indonesia melalui BUT tidak tercakup dalam PP 46/2013, sedangkan bentuk lain seperti PMA tetap tercakup di dalamnya (selama omzetnya tidak melebihi 4,8 miliar rupiah). Padahal, menurut UU PPh, BUT merupakan subjek pajak yang perlakukan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

XIII. Contoh Perhitungan Pajak

CONTOH #1

Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku cadangnya, Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut rnemiliki peredaran bruto sebagai berikut:

Peredaran bruto bengkel A Rp100.000.000,00 Peredaran bruto bengkel B Rp150.000.000,00

Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto

bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(12)

dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.

Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat mernperoleh peredaran bruto dari bengkel A sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebeear Rp15,000.000,00 (lima belas juta.rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 [karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar :

a. Bengkel A PPh terutang:

1% x Rp10.000.000,00 = Rp100.000,00 (dilaporkan ke KPP X)

b. Bengkel B PPh terutang:

1% x Rp15.000.000,00 = Rp150.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)

Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira Ekspedisi melakukan perawatan dan reparasi 5 (lima) motor rnilik perusahaan tersebut di bengkel A milik Agus Hidayat, Tagihan yang dibuat kepada PT Amira Ekspediai atas jasa perawatan dan reparasi tersebut adalah sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% x Rpl.500.000,00 = Rp30.000,00.

Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran tagihan tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT Amira Ekspedisi.

(13)

Irine menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian di kota Batam dan di Singapura. lrine telah terdaftar sebagai WajibPajak sejak tahun 2009 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing butik tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:

Peredaran brute butik di Batam Rp.3.000.000.000,00 Peredaran bruto butik di Singapura Rp.5.000.000.000,00

Dari peredaran bruto butik di Batam sebeser Rp3.000.000.000,00 salah satunya merupakan hasil penjualan sebesar Rp50.000.000,00 kepada Mr. x seorang pengusaha dari Singapura.

Selain dari penghasilan usaha butik, Irine juga memperoleh penghasilan dari sewa apartemen di Singapura sebesar Rp100.000.000,00

Peredaran Bruto yang dijadikan dasar pengenaan PPh yang bersifat final adalah jurnlah peredaran bruto butik di Batam saja, yakni sebesar Rp3.000.000.000,00. Penghasilan yang diterima Irine dari sewa aparternen dan butik di Singapura, tidak diperhitungkandalam menghitung batasan peredaran bruto untuk dapat dikenai PPh bersifat final.

CONTOH #3

Hari Nugroho yang berstatus kawin dengan 2 (dua) tanggungan adalah orang pribadi pengusaha konstruksi yang juga rnerniliki toko material "Cakar Beton". Selain usaha tersebut, Hari Nugroho juga aktif memberikan jasa konsultansi kepada klien yang mernbutuhkan sarannya. .Jumlah seluruh penghasilan yang diterirna oleh Hari Nugroho pacta.tahun2013 diketahui sebagai berikut:

a. Penjualan bruto dari toko material "Cakar Beton" Rp.3.500.000.000,00 b. Nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi (termasuk pemakaian material dari toko "Cakar Beton") Rp900.000.000,00.

(14)

Total peredaran bruto Hari Nugroho pada tahun 2013 adalah sebesar Rp4.900.000.000,00

Untuk menentukan PPh dari usaha toko material "Cakar Beton" eli tahun 2014 dikenai tarif. umum atau tarif yang bersifat final, adalah berdasarkan peredaran bruto dad usaha toko material "Calcar Beton" seja yakni sebesar Rp3.500.000.000,00. Sedangkan peredaran bruto dari jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultan tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan konstruksi dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan Peraturan Pernerintah tersendiri dan jasa konsultansi termasuk dalarn lingkup jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Kewajiban pembayaran PPh Hari Nugroho di tahun 2014 adalah sebagai berikut: a. PPh sebesar 1% bersifat final dari peredaran bruto usaha toko material "Cakar Beton", untuk setiap bulannya;

b. PPh dari usaha jasa konstruksi, yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri; dan

c. Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d. Desember), atas penghasilan dari jasa konsultasi.

Misalkan biaya dari jasa konsultasi di tahun 2013 sebesar Rp 169.625.000,00 dan PPh yang telah dipotong/dipungut pihak lain di tahun 2013 sebesar Rp 14.750.000,00, maka kewajiban angsuran

PPh Pasal 25 di tahun 2014 sebagai berikut:

Penghasilan bruto jasa konsultasi tahun 2013 Rp 500.000.000,00 Biaya kegiatan jasa konsultasi tahun 2013 Rp 169.625.000,00 PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00

Penghasilan Kena Pajak jasa konsultasi Rp 300.000.000,00 PPh terutang jasa konsultasi Rp 38.750.000,00

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang, Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Banyuasin dan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH PROMOSI,

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Pemuda dalam Islam

tersebut sesuai dengan hasil penelitian efek fraksi etil asetat ekstrak etanol akar pasak bumi terhadap aktivitas fagositosis makrofag dari cairan peritoneum mencit jantan galur

 Pengurangan kas di bendahara pengeluaran adalah belanja operasi sebesar Rp. Rincian sisa UYHD dan penyetorannya dapat dilihat pada Lampiran 1a. Tidak ada penerimaan

Pembahasan dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan media boneka tangan dan pengaruhnya terhadap media pembelajaran daring dan ekonomi masyarakat yang

Supervisor pengawasan proses produksi antara lain bertanggung jawab dalam pemeriksaan line clearance, dan pengawasan dalam kegiatan produksi untuk memastikan

Etiologinya diperkirakan karena disfungsi dari mekanisme kerja hipotalamus – hipofisis yang mengakibatkan anovulasi sekunder. Pada masa ini ovarium masih belum