• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KIPEH PADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KIPEH PADI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KIPEH PADI

(Studi Kasus Di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan)

SKRIPSI

Oleh:

Adi Putra Mulya

1313030484

FAKULTAS SYARI’AH

(2)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KIPEH PADI

(Studi Kasus Di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum(S.H) Pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

Oleh:

Adi Putra Mulya

1313030484

JURUSAN HUKUM EKONPOMI SYARI’AH (MUAMALAH)

FAKULTAS

SYARI’AH

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

(11)

ABSTRACT

(12)

KATA PENGANTAR









Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah SWT limpahkan untuk baginda Muhammad SAW, yang merupakan contoh teladan dalam kehidupan.

Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan penyelesaian program S1 Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Imam

Bonjol Padang, dengan judul “Tinjaun Hukum Islam Terhadap Pembayaran Upah

kipeh padi (Studi Kasus Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan Kec. Koto XI Tarusan Kab. Pesisir Selatan)” Dalam penyelesaian skripsi ini penulis menyadari banyak kendala dan hambatan semua itu karena keterbatasan ilmu, pengalaman, dan waktu yang penulis miliki. Namun berkat kemudahan yang diberikan Allah SWT, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat juga penulis selesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kepada kedua orang tua yaitu: Ibunda Baidar dan Ayahanda Muslim, kakanda Zeni Putra Mulya, Fitri dan Gusmarlina dan adekku yang telah memberikan dukungan, doa dan motivasi kepada penulis.

2. Kepada bapak, Dr. H. Eka Putra Wirman, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang dan wakil Rektor beserta karyawan dan karyawati Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

3. Bapak Dr. H. Muchlis Bahar, Lc. M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah, beserta Wakil dekan Fakultas Syari’ah dan karyawan/karyawati Fakultas Syariah

(13)

5. Bapak Dr. H. Muchlis Bahar, Lc. M.Ag selaku pembimbing I dan Bapak Aslan Deri Ichsandi, SH. MH selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya, serta arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik

6. Pimpinan serta karyawan dan karyawati perpustakaan Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang yang telah memberikan bantuan berupa pinjaman buku-buku yang penulis butuhkan berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari’ah yang telah membekali penulis dengan

berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman sejak awal kuliah sampai tahap penulisan skripsi ini

8. Sahabat-sahabat seperjuangan buk Elga, Risda, Salmi , Wawan, Feri serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang menjadi teman bercerita oleh penulis, baik bahagia maupun sedih, baik cerita tentang cinta maupun tentang yang lainnya dan selalu memberikan motifasi dan do’anya dalam study dan penulisan skripsi ini.

9. Kepada seluruh teman-teman HES B 13 dan HES A 13 yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga semua bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis bernilai ibadah dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Terakhir penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat, baik bagi penulis khususnya maupun bagi pembaca pada umumnya. Amin…

Padang, 18 Agustus 2017 Penulis,

(14)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA IILMIAH... iv

ABSTRAK ... v

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 12

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

1.5 Signifikansi Penelitian ... 13

1.6 Studi Literatur ... 14

1.7 Landasan dan kerangka Teoritis ... 16

1.8 Metode Penelitian ... 16

BAB II KONSEP UPAH MENGUPAH (UJRAH ) DALAM ISLAM 2.1 Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah ... 18

2.2 Rukun dan Syarat Ijarah ...23

2.3 Bentuk-Bentuk Ijarah dan Berakhirnya Ijarah ... 31

2.4 Kewajiban dan Hak-Hak dalam Ijarah ...34

2.5 Penentuan Upah Kerja dan Pembayarannya ... 35

2.6 Hikmah Ijarah ... 40

BAB III MONOGRAFI NAGARI BARUNG-BARUNG BALANTAI SELATAN 3.1 Letak Geografis dan Tingkat pendidikan ... 42

3.2 Jumlah Penduduk dan Tingkat Ekonomi ... 45

3.3 Kondisi Sosial, Adat Istiadat dan Keagamaan di Nagari Barung-Barung Belantai SelatanKec. Koto XI Tarusan ... 47

BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KIPEH PADI DI NAGARI BARUNG-BARUNG BELANTAI SELATAN KEC. KOTO XI TARUSAN KAB. PESISIR SELATAN DITINJAUAN HUKUM ISLAM 4.1 Pelaksanaan upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan ... 53

(15)

4.3 Pandangan Pemilik Padi terhadap upah Kipeh yang

diberikan kepada pekerja ... 58 4.4 Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembayaran Upah

Kipeh padi DiNagari Barung-Barung Selatan Kec. Koto XI

Tarusan ... 60 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 74 5.2 Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I Luas Tanah Menurut Penggunaannya...……….…... 43

Tabel II Tingkat Pendidikan... 44

Tabel III Sarana Pendidikan... 45

Tabel IV Jumlah Penduduk Nagari Barung-Barung Balantai Selatan... 45

Tabel V Tingkatan Ekonomi Masyarakat Nagari Barung-Barung Balantai Selatan... 46

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Islam adalah Agama yang kompleks semua aspek kehidupan diatur di dalamnya baik masalah akidah maupun masalah muamalah, salah satu bentuk muamalah yang diatur dalam Islam adalah tentang upah mengupah yang di lakukan oeh manusia sebagai bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa berhubungan sama sekali dengan manusia lain, itu adalah fitrah manusia sebagai makhuk sosial, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial seperti ini telah merupakan fitrah yang telah di tetapkan Allah SWT. Itu sebabnya, salah satu hal yang mendasar dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia adanya interaksi sosial dengan manusia lain. Dalam kaitan ini Islam datang memberikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang mengatur secara baik persoalan-persoalan muamalah yang dijalani setiap manusia dalam kehidupan sosialnya ( Haroen 2000, 18 )

Syari’at Islam yang telah berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman dalam bidang muamalat, Islam memberikan keleluasaan kepada umatnya selama hal tersebut menurut Al- Qur’an dan AS-Sunnah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman surat Al-Qashash ayat: 26-27

(18)

sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat di

percaya” berkata lah dia (syu’aib: “sesungguhnya aku

bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebajikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu dan kamu Insyallah akan mendapati termasuk orang-orang yang baik” ( Departemen Agama 1997, 196 )

Salah satu aspek kerja sama dan hubungan timbal balik antar sesama manusia dalam kehidupan adalah upah mengupah. Upah mengupah termasuk salah satu aspek yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Dengan upah mengupah manusia memenuhi sebagian dari kebutuhannya baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Di antara bagian muamalah yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah upah mengupah.

Praktik upah mengupah di tengah masyarakat banyak sekali jenis dan ragamnya, selain itu juga ada yang menimbulkan persoalan-persoalan di dalamnya baik yang menyangkut akad, rukun dan syarat. Dengan demikian apabila tidak ada aturan-aturan dan norma-norma yang tepat, maka dapat menimbulkan kerusakan bagi masyarakat. Menurut Hukum Islam upah mengupah adalah amal ibadah yang sangat erat kaitannya dengan tolong menolong yang bisa membantu dalam memenuhi kebutuhan kehidupan yang layak bagi orang-orang yang membutuhkan.

(19)

Artinya: “apakah mereka yang membagi-bagi rahmat tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain dan rahmat tuhanmu

lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Ayat di atas sangat jelas menerangkan bahwa hendaklah sebagian yang lain atas sebagian untuk dapat bekerja sama untuk dapat memperoleh kemanfaatan hidup, di antaranya adalah dengan melaksanakan upah mengupah dalam hal kebaikan dan janganlah upah mengupah dalam hal keburukan. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kegiatan bermuamalah khususnya al-ujrah (upah mengupah) merupakan kebutuhan yang sangat penting.

Pengertian muamalah yang lebih khusus adalah Hukum yang berkaitan dengan pergaulan manusia dalam perkara harta benda dan hak, serta penyelesaian urusan tersebut( mas’adi 2002, 2 ). Dalam bermuamalah harus berbuat sesuai dengan aturan yang telah digariskan oleh syariat Islam dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah. Di antara prinsip-prinsip muamalah tersebut adalah:

1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah kecuali yang ditentukan lain oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

2. Muamalah dilakukan atas dasar suka rela tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.

(20)

4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai moral, keadilan dan menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. ( Basyir 2000, 15 )

Ulama fiqh membagi aqad ijarah itu ke dalam dua bentuk:

Aqad ijarah untuk memperoleh manfaat dari suatu benda, sepertisewa menyewa rumah, tokoh, kendaraan, pakaian dan perhiasan.

Aqad ijarah untuk memperoleh manfaat dari suatu perkerjaan, umpamanya, pekerjaan yang dilakukan oleh seorang buruh bangunan.

Kedua bentuk ijarah tersebut dapat ditemukan dalam Nash Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah.

Dalam ijarah yang kedua ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain :

1. Pekerjaan yang diperjanjikan termasuk jenis pekerjaan yang mubah atau halal menurut ketentuan syara’ dan berguna bagi perorangan atau masyarakat.

2. Manfaat dari pekerjaan yang diperjanjikan dapat diketahui dengan jelas. Kejelasan dari pekerjaan ini dapat diketahui dengan cara mengadakan pembatasan waktu atau jenis pekerjaan yang dilakukan.

3. Upah sebagai imbalan dari pekerjaan harus diketahui dengan jelas, termasuk jumlahnya, wujudnya dan juga waktu pembayarannya. (Pasaribu, Lubis 1994, 155)

Dari berapa syarat di atas dapat dipahami bahwa pekerjaan yang dilakukan itu adalah pekerjaan yang mubah, manfaat dari pekerjaan itu jelas dan upah dari pekerjaan itu harus diketahui oleh pekerja termasuk jumlahnya dan waktu pembayaran.

(21)

و ويلع لله ا ىلص ىبنل ا ن ا ونع لله ا ىض ر ي ر ذخلا ذيعس ىبا هع

SAW, telah bersabda: barang siapa yang mempekerjakan seorang buruh hendaklah ia menyebutkan tentang jumlah Upahnya. ( H.R Imam Abdul Razak). ( Al-Asqalani, Ibnu hajar. 1991. Bulughul Mahram. M. fakhurudin Aladin. Semarang: Toha Putra)

Beranjak dari Hadis di atas harus dijelaskan berapa jumlah upah yang diberikan kepada buruh itu setelah pekerjaan itu selesai dilakukan dan dijelaskan juga kapan waktu pembayarannya dengan tujuan supaya buruh bisa mempertimbangkan mampu atau tidaknya ia melakukan pekerjaan dengan imbalan dan upah yang telah disebutkan dalam Hadis di atas.

Dalam fiqih sunnah dijelaskan bahwa seorang buruh baru boleh menerima upah dengan syarat:

1. Setelah selesai bekerja, artinya buruh itu setelah selesai melakukan pekerjaan itu barulah ia berhak untuk menerima upah kepada majikannya.

2. Mengalihkan manfaat jika ijarah terhadap suatu barang, ini berarti jika barang yang disewakan itu telah bisa diambil manfaatnya oleh sipenyewa maka orang yang menyewakan boleh meminta uang sebagai ganti dari barang yang disewa. 3. Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau kesepakatan kedua

belah pihak sesuai dengan syarat yang telah diperjanjikan sebelumnya.

(22)

keharusan seorang mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat aniaya pada harta orang lain. (Rozalinda 2005, 46 )

Sebagai firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:





Artinya: “Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu”

Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikan apa yang telah dia perjanjikan dan akadkan berupa baik perkataan maupun perbuatan. Sebagaimana diperintahkan Allah, selagi yang dia janjikan dan akadkan itu tidak bersifat mengahalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal.

Ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang tertentu, memperbaiki mesin cuci atau kulkas dan sebagainya. ( Muslich 2005, 333 ) Ujrah atau upah mengupah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. ( Sudarsono 1992, 55 ) Manfaat tersebut bisa dari suatu benda, binatang dan tenaga manusia. Pengambilan manfaat dengan jalan penggantian yang di sebut dengan upah mengupah adalah dibolehkan. Adanya aturan hukum tentang upah mengupah pasti ada aturan-aturan atau norma-normanya yang tegas.

Upah mengupah merupakan bagian dari ijarah karena praktik upah mengupah merupakan suatu akad untuk melakukan sesuatu, baik secara lisan dan mereka yang mengadakan perjanjian itu masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama. Dengan kata lain praktik upah juga merupakan perjanjian kerjasama, maka perjanjian kerjasama ini termasuk konsep ijarah.

(23)

a. Ijarah ‘ala al ‘mal : Hal ini terjadi perikatan tentang pekerjaan atau buruh manusia, dimana pihak pengupah memberikan upah kepada pihak yang bekerja.

b. Ijarah ‘ala al a’yan: hal ini terjadi sewa menyewa dalam bentuk benda atau binatang, dimana orang yang menyewakan mendapat imbalan dari penyewa. Miasalnya sewa mobil, Rumah, Binatang tunggangan (al-dawab), dan lain-lain.

Dengan persyaratan objek Ijarah di atas maka Islam juga mengatur upah. Persyaratan yang berkaitan dengan ujrah (upah) sebagai berikut:

1. Upah tersebut berupa harta yang diketahui dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas, karena akan mengandung unsur jihalah (ketidak jelasan) hal ini sudah menjadi kesepakatan ulama’ akan tetapi ulama malikiyah menetapkan ke absahan ijarah tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan.

2. Upah harus berbeda dengan jenis objeknya, mengupah suatu pekerjaan yang serupa, seperti menyewa tempat tinggal, pelayan dengan pelayanan, hal itu menurut hanafiyah tidak sah dan dapat mengantarkan pada praktek riba.

Berdasarkan uraian tersebut, para ulama fiqh memperbolehkan mengambil upah sebagai imbalan dari pekerjaannya, karena hal itu merupakan hak dari pekerja untuk mendapat upah yang layak mereka terima. ( Mas’adi, 187 )

Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Talaq ayat 6:

( Departemen Agama RI 1997, 310 )

(24)

ini menyatakan bahwa upah seseorang harus dibayarkan sebagai ganti imbalan atas pekerjaannya.

Penentuan perkiraan upah dalam Islam ditentukan pada saat pertama kali dalam melakukan transaksi atau kontrak kerja merupakan sesuatu yang harus dilakukan diantaranya, upah yang harus diterima oleh pekerja harus benar-benar diketahui dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas dalam perjanjian itu.

Penjelasan di atas dapat dilihat bahwa upah yang disyariatkan harus diketahui oleh kedua belah pihak dan cara penyerahan upahnya harus berdasarkan akad yang jelas. Sementara pelaksanaan ujrah yang terjadi dilapangan seperti yang terjadi di Desa Koto Pulai, Kenagarian Barung-Barung Belantai Selatan Kabupaten Pesisir Selatan adalah upah bagi usaha mangipeh padi yang tidak ada kejelasan akad dalam pemberian upah tersebut, akan tetapi orang yang memberi upah tersebut hanya memberi upah berupa padi juga tanpa mengatakan berapa dia (pemilik padi) mendapatkan padi dari panennya, di dalam ketentuan masyarakat Barung-Barung Belantai Selatan bahwa dalam seratus sukek padi maka pemilik padi harus membayarkan empat sukek padi kepada orang yang mangipeh padi tersebut, walaupun ada beberapa pemilik padi yang mengatakan berapa mereka mendapatkan padi tetapi pada umumnya mereka tidak mengatakan berapa mereka mendapatkan padi. Praktek ini sudah lama dilakukan oleh masyarakat.

Sebagaimana yang diungkapakan oleh bapak Muslim bahwa pemberian upah kipeh padi tersebut hanya diberikan oleh pemilik padi kepada dia tanpa mengatakan berapa dia mendapatkan padi tersebut. (Muslim 2017) Ketentuan dalam masyarakat bahwa dalam seratus sukek padi maka pemilik padi harus membayarkan upah kipeh sebanyak empat sukek padi

(25)

bahwa ketika pemilik padi akan memberikan upah kepadanya, pemilik padi tersebut tidak mengatakan berapa banyak dia mendapatkan padi, akan tetapi dia mengasih upah berupa padi saja. Kemudian dia (Azwar) juga mengatakan kadang-kadang beberapa pemilik padi ada juga yang mengatakan berapa dia mendapatkan padi, akan tetapi kebanyak dari itu tidak mengatakan berapa mereka mendapatkan padi. (Azwar 2017) kemudian hal yang sama juga dikatakan oleh Arwati. Bahwa ketika ia menerima upah dari pemilik padi, pemilik padi tidak menyebutkan berapa dia mendapatkan padi, ia hanya memberikan upah berupa Padi, kemudian pemilik ini meminta kerelaan pada dia (Arwati), akan tetapi sebenarnya dia tidak merelakan hal tersebut karena ia merasa dirugikan oleh pemilik padi tersebut, karena ia merasa upah yang diterima kurang dari banyak padi yang ia kipeh tersebut. (Arwati 2017)

(26)

Berangkat dari penjelasan di atas serta berbagai teori yang menjelaskan tentang ketentuan upah mengupah dan berdasarkan kenyataan yang penulis lihat terdapat faktor yang menyebabkan permasalahan itu muncul oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas permasalahan ini dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembayaran Upah Kipeh Padi.(Studi kasus di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan)”.

2. Rumusan Masalah dan Batasan masalah 2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas maka rumusan masalah yang penulis kaji dalam pembahasan ini adalah: Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pembayaran Upah Kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Belantai Selatan?

2.2) Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis meneliti yang berkaitan syarat-syarat Ijarah/upah, Untuk mempermudah dan agar penelitian ini lebih terarah maka penulis menetapkan batasan-batasan yang akan diteliti, yaitu: apa-apa saja alasan dari pemilik padi dalam pemberian upah kepada pekerja yang tidak menjelaskan berapa pendapatan padi yang di kipeh oleh pekerja. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel 10 orang pemilik padi dan 6 orang pekerja.

3. Pertanyaan Penelitian

(27)

pekerjaan, sedangkan kipeh padi adalah suatu alat tradisional yang digunakan untuk membersihkan padi yang telah dipanen dengan mengunakan tenaga manusia.

3.1 Bagaimana Pelaksanaan Upah Kipeh Padi Dikenagarian Barung-Barung Balantai Selatan?

3.2 Bagaimana pandangan pekerja terhadap upah kipeh padi yang diberikan oleh pemilik padi di Nagari Barung-Barung Belantai Selatan?

3.3 Bagaimana Pandangan pemilik padi terhadap upah kipeh padi yang diberikan kepada pekerja di Kenagarian barung-Barung Balantai Selatan?

3.4 Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Pembayaran Upah Kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Belantai Selatan?

4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

4.1Adapun tujuan dari penulisan Skripsi ini adalah:

4.1.1 Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan upah kipeh padi di Kenagarian barung Balantai Selatan.

4.1.2 Untuk mengetahui pandangan pekerja terhadap upah yang diberikan oleh pemilik padi di Nagari Barung-Barung Balantai Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan.

4.1.3 Untuk mengetahui pandangan pemilik padi terhadap upah yang diberikan kepada pekerja.

4.1.3 Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap perbuatan pemilik padi pada pembayaran upah kepada pekerja kipeh padi di Nagari Barung-Barung Balantai Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan.

(28)

4.2.1 Untuk menambah wawasan penulis tentang Khazanah keilmuan khususnya tentang ijarah/upah yang diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

4.2.2 Sebagai kontribusi penulis terhadap ilmu pengetahuan dalam bahasan tinjauan Hukum Islam terhadap pemberian upah. 4.2.3 Untuk menambah bahan bacaan pada perpustakaan fakultas

syari’ah

4.2.4 Untuk melengkapi syarat-syarat dalam menyelesaikan kuliah guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.

5. Signifikansi Penelitian

Tujuan utama penulis melakukan penelitian ini ialah untuk memberi pemahaman kepada masayarakat agar dalam pemberian upah kepada pekerja harus mempunyai akad yang jelas, kenapa hal ini perlu dilakukan? Karena dalam hubungan sesama manusia yang paling sering dilakukan oleh masyarakat adalah saling tolong menolong, sedangkan dalam upah mengupah itu termasuk dalam hal saling tolong menolong. Jadi apabila ada salah satu diantara kedua belah pihak yang merasa tidak puas dalam, ini bisa jadi penyebab hubungan sesama manusia menjadi tidak baik. Untuk itu penelitian ini dilakukan penulis untuk meneliti alasan-alasan kenapa dalam pemberian upah kipeh padi tidak ada akad yang jelas. Karena untuk mengatasi suatu masalah penting untuk mencari sebab dibalik masalah tersebut.

6. Studi Literatur

Penulis melakukan penelusuran terhadap sumber yang mendukung pemecahan masalah ini.

(29)

kesepakatan. Rumusan masalahnya adalah pada kenyataannya bahwa pekerja penjemur padi di huller tidak mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan, dalam kesepakatan tersebut sebelum melakukan pekerjaan telah ada kesepakatan antara pekerja dan pemilik huller mengenai sistim pembagian upah. Dalam perjanjian itu pekerja mendapatkan upah sebanyak Rp. 20.000 perhari, pekerja tersebut masuk jam 09.00 sampai jam 17.00, dan seharusnya pemilik huller memberi upah kepada pekerja, namun kenyataannya upah yang didapatkannya atau diterimanya setelah tiga hari bahkan sampai lima hari pekerja baru menerima upah. Upah pekerja ditunda oleh pemilik Huller disebabkan padi belum kering. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

6.1.1 Bahwa pekerja sangat kecewa pada hal pekerja sudah bekerja semaksimal sesuai dengan perjanjian, tetapi upah yang diharapkan pekerja sering terlambat, kadang-kadang upah yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan pekerja sedangkan pekerja sangat butuh upah tersebut dibayar perhari.

6.1.2 Bahwa keterlambatan pemilik huller dalam pembayaran upah terhadap pekerja karena padi yang dijemurkan tidak kering itu pun tergantung keadaan cuaca.

6.1.3 Setelah mengelola dan menganalisis data tersebut berdasarkan ayat dan hadis dapat disimpulkan bahwa, menurut hukum Islam sistem upah mengupah yang dilakukan oleh pemilik Huller dengan pekerja hukumnya makruh karena dalam pembayaran upah kepada pekerja tidak sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan terjadi penundaan oleh pemilik Huller

(30)

Mandailing Natal. Disusun oleh Taufik Rahman BP.311.137. Permasalahnya adalah tinjauan hukum Islam terhadap praktik upah penggilingan padi antara pemilik padi (masyarakat) dengan pemilik penggilingan padi yang terjadi di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi Kabupaten Mandailing Natal. Adapun latar belakang penelitian ini adalah karena tidak adanya sighat akad yang jelas antara pemilik padi dengan pemilik usaha penggilingan padi dan upah yang diambil secara langsung oleh pemilik usaha penggilingan padi tanpa sepengetahuan pemilik padi.

Setelah melakukan penelitian dari berbagai sumber dan dianalisis berdasarkan kaidah ushul fiqh, bahwa ketidak jelasan sighat akad dan pengambilan upah secara langsung tanpa disaksikan oleh pemilik padi merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun dan tidak ada yang merasa dirugikan (saling rela), maka hal ini termasuk dalam urf Shahih dan dapat disimpulkan bahwa praktik upah penggilingan padi di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi Kabupaten Mandailing Natal adalah sah.

7. Landasan dan kerangka Teoritis Teori tentang Upah/Ujrah

Yaitu suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu (Muslich, 317) 8. Metode Penelitian

8.1 Jenis Penelitian

(31)

8.2Sumber Data

8.2.1 Data primier yaitu bahan-bahan yang dihimpun langsung dari lapangan dengan masalah yang diteliti, yaitu 6 orang pekerja dengan 10 orang pemilik padi.

8.2.2 Data sekunder yaitu sumber yang berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkatkan.

8.3 Wawancara

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yaitu melalui kontak atau hubungan pribadi antara pewawancara dengan responden. komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung dengan mengajukan pertanyaan sumber data yang ditetapkan.(Adi 2004, 70) Wawancara ini dilakukan dengan pemilik Padi dan Pemilik kipeh (kipas) tentang praktik upah pengipasan padi.

8.4 Teknis Analisis Data

(32)

BAB II LANDASAN TEORI 1. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah

1.1 Pengertian Ijarah

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu'amalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh, kuli dan lain sebagainya.

Secara terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini :

1.1.1 Menurut Ulama Hanafiyah

Artinya : “Ijarah adalah akad kepemilikan manfaat yang Diketahui dan dengan dimaksud dari benda yang disewa dengan imbalan

1.1.2 Menurut Syafi’iyah

Artinya: “Ijarah akad atas manfaat yang diketahui untuk maksud tertentu serta menerima ganti yang dibolehkan sebagai

imbalan”.(Syafe’I 2001, 122) 1.1.3 Menurut Sayyiq Sabiq

Artinya: “Ijarah secara Syara’ ialah suatu jenis akad untuk

mengambil manfaat dengan jalan penggantian”. (Syafe’I

2001, 121) 1.1.4 Menurut Malikiyah

Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam

(33)

1.1.5 Menurut Hasbi Ash-Sidiqie

Artinya: “Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama

dengan menjual manfaat”.

1.1.6 Menurut Fatwa Dewan Syari'ah Nasional definisi ijarah adalah :" Ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri." (Fatwa DSN 2001, 55)

Beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang definisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.

Kalau diperhatikan secara mendalam definisi yang dikemukakan olah para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain :

1. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua belah pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul

2. Adanya imbalan tertentu, misalnya harga sewa sebuah mobil 3. Mengambil manfaat, misalnya mengupah seorang buruh untuk

bekerja.

(34)

tanpa mengurangi materi benda tersebut dan benda tersebut boleh dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan) dengan adanya uang imbalan atau sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan terhadap benda tersebut.

Berbagai macam pendapat Ulama di atas maka dapat disimpulkan bahwa Kontrak sewa merupakan bagian dari ijarah. Karena kontrak sewa merupakan suatu akad untuk melakukan sesuatu. Baik secara tertulis maupun lisan, dan mereka yang mengadakan perjanjian itu masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama. Dengan kata lain kontrak sewa merupakan juga perjanjian kerja. Dan dalam perjanjian kerja ini apa yang termasuk dalam perjanjian kerja semuanya merupakan konsep dari ijarah.

Perjanjian kerja ini sangat dibutuhkan karena melalui sebuah perjanjianlah yang akan mengikat diri antara seseorang dengan orang lain. Dalam kontrak sewa untuk melakukan jasa-jasa tertentu salah satu pihak menghendaki agar dari pihak lainnya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dan pihak yang menghendaki tersebut bersedia memberi upah, biasanya orang yang melakukan suatu pekerjaan tersebut adalah orang yang ahli misalnya, Notaris. Lazimnya pihak yang melakukan pekerjaan ini sudah menentukan tarif untuk suatu pekerjaan yang akan dilakukannya tersebut.

Dalam kontrak sewa adanya persetujuan untuk melakukan sesuatu." Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih". (Soimin 1994,1)

1.2Dasar Hukum Ijarah 1.2.1 Landasan Al-Quran

Para ulama fiqh mengatakan yang menjadi dasar kebolehan akad ijarah adalah berdasarkan Al-Quran, Sunnah dan Ijma’.

(35)

….

...

:

Artinya : “Apabila wanita-wanita itu menyusukan anakmu, maka berikanlah upahnya”. (Departemen Agama RI 2001, 310)

1.2.1.2 Surat Al-Baqarah ayat 233 :

...

:

Artinya : “….Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah

bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

(Depertemen Agama RI 2001, 29)

1.2.1.3 Surat Az-Zukhruf ayat 32 :

)

Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik

dari apa yang mereka kumpulkan”. (Departemen agama RI 2001, 392)

(36)

:

-Artinya : “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu putriku ini, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak ingin memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".(Deprtemen Agama RI 2001, 310)

1.2.2 Landasan Sunnah

Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah salah satunya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Sebagai berikut :

:

Artinya : “ Hadits dari Musdad akhbarana Yazid Ibn Jurai’

Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi SAW pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian

membayar upahnya”. (H.R Bukhari)

1.2.3 Landasan Ijma’

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat. Tidak ada seorangpun ulama yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat akan tetapi itu tidak dianggap. (Sabiq 1987, 11)

2. Rukun Dan Syarat Ijarah

(37)

Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim dalam bukunya “ Mabadi’ Awaliyah” sebagai berikut :

:

Artinya : Rukun adalah sesuatu yang tergantung kepadanya sahnya sesuatu dan dia bagian dari padanya

Definisi yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rukun mutlak adanya dalam sebuah akad ijarah.

Layaknya sebuah transaksi ijarah dapat dikatakan sah apabila memenuhi sebuah rukun dan syarat. Agar transaksi sewa-menyewa atau upah mengupah menjadi sah, harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Menurut ulama Hanafiyah rukun dari ijarah itu hanya satu ijab dan kabul. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad, imbalan, manfaat termasuk ke dalam syarat-syarat ijarah. (Haroen 2000, 231)

Sedangkan Menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu : orang yang berakad, adanya upah, manfaat kerja sama, serta adanya sighat (ijab dan kabul). Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut :

2.1.1 Orang yang berakad.

Mu'jir dan Musta'jir. Mu'jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Musta'jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari hasil kerjanya itu.

(38)

Pekerjaan yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti : menyelesaikan pekerjaan proyek, membajak sawah dan sebagainya.

Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan di kemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan. Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah tersebut tidak jelas maka akadnya tidak sah. Misalnya. Menyewakan motor hanya untuk duduk di atasnya, atau karena dilarang oleh Agama Islam. Seperti menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain. Perjanjian sewa menyewa barang atau suatu pekerjaan yang manfaatnya tidak dibolehkan oleh ketentuan agama adalah tidak sah atau wajib untuk ditinggalkan. (Rusyid, 218)

2.1.3 Imbalan atau upah yang akan diterima oleh buruh dari hasil kerjanya.

Dapat diketahui bahwa ijarah adalah sebuah akad yang mengambil manfaat dari barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Syara' yang berlaku. Oleh sebab itu pelaksanaan sewa atau imbalan mesti jelas dengan ketentuan awal yang telah disepakati.

2.1.4 Sighat yaitu ijab dan kabul.

(39)

bekerja pada proyek ini dalam waktu dua bulan dan dengan upah perharinya Rp.20.000,- dan jenis pekerjaannya yaitu pekerjaan

jalan? kemudian buruh menjawab"ya", saya bersedia." ( Syarifuddin 2003,218)

2.2 Syarat Ijarah

Syarat merupakan sesuatu yang bukan bagian dari akad, tapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapaun syarat-syarat transaksi ijarah yaitu :

2.2.1 Dua orang yang berakad ( Mu'jir dan Musta'jir) disyaratkan:

2.2.1.1 Berakal dan mumayiz

Namun tidak disyaratkan baligh, Maka tidak dibenarkan mempekerjakan anak yang belum mumayiz dan belum berakal.(Rozalinda 2005, 105-106) Amir syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat, dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan.(Syarifuddin 2003, 218) Jadi transaksi ijarah yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa tidak sah.

2.2.1.2 Kerelaan ( ‘An-Taradhin)

(40)

)

:

(

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu”.(Depertemen Agama RI 2001, 65)

2.2.2 Sesuatu yang diakadkan ( pekerjaan) disyaratkan :

2.2.2.1 Manfaat dari pekerjaan harus yang dibolehkan syara’, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.(Haroen 2000, 233) 2.2.2.2 Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua pihak

sehingga tidak muncul pertikaian dan perselisihan di kemudian hari.

2.2.2.3 Manfaat dari objek yang akan diijarahkan sesuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki.

2.2.2.4 Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari persengketaan atau perbantahan.

2.2.2.5 Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang diwajibkan bagai musta'jir seperti Sholat, puasa dan lain-lain 2.2.2.6 Pekerjaan yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat

diijarahkan.

2.2.3 Upah atau imbalan disyaratkan

2.2.3.1 Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan manfaatnya.

(41)

Terhadap imbalan ada beberapa ketentuan dalam hal menerima atau memberikan.

1. Imbalan atau upah tersebut hendaklah disegerakan pembayarannya. Ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Madjah yang berbunyi :

Artinya : "Dari Abdullah bin Umar Berkata dia, Rasulullah SAW bersabda : bahwa sesungguhnya nabi berkata : berikanlah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum kering keringatnya". (Bukhari 1987, 604)

Hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya, artinya upah pekerja dibayarkan secepatnya atau dengan kata lain selesai bekerja buruh langsung menerima upahnya. Jenis ini sering digunakan untuk buruh kasar seperti tukang angkat, buruh tani, tukang cuci dan lain-lain. Dapat juga dipahami bahwa pekerja menerima upahnya sebelum keringatnya artinya, pekerja menerima upah menurut kebiasaan daerah setempat, atau menurut aturan yang berlaku bagi pegawai negeri yang menerima gaji perbulan.

Sedangkan pembayaran bagi pekerja yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu ada perjanjian kerja dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk itu dalam perjanjian ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima.

(42)

:

:

.

Artinya : "Dari abu Sa'id al-Khudri R A menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang mempekerjakan seseorang maka hendaklah menyebutkan upahnya."( HR. Bukhari). (Ismail al-Bukhari, 24)

2 Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga kedua belah pihak akan terhindar hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

3 Imbalan atau upah itu dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Apakah diberikan seluruhnya atau selesai waktunya. Ini semua tergantung kepada kebiasaan yang terjadi pada masyarakat asalkan tidak ada yang terzalimi terhadap upah yang akan diterima itu.

4 Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama sehingga kedua belah pihak saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya. Maksudnya, terhadap semua kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang mesti ditunaikan. Sebagaimana firman Allah yang mengatakan tentang perjanjian dalam surat al-Maidah ayat1:

)

(

(43)

sedang kamu tengah ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

5 Upah atau imbalan mesti berupa benda yang diketahui yang dibolehkan memanfaatkannya.

2.2.4 Sighat ( ijab dan Kabul ) disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan kabul tidak sesuai seperti antara objek akad atau batas waktu

2.3 Syarat Sah Ijarah

Di samping syarat-syarat umum di atas ada syarat sah yang harus dipenuhi dalam melakukan akad ijarah yaitu :

2.3.1 Adanya keridhaan dari kedua belah pihak yang berakad

2.3.2 Ma’qud alaih ( objek ijarah ) bermanfaat dengan jelas

2.3.3 Adanya kejelasan pada pekerjaan adalah dengan menjelaskan pada

saat akad tentang manfaatnya, batas waktunya, dan jenis pekerjaan.

2.3.3.1 Penjelasan manfaat

Penjelasan dilakukan agar pekerjaan yang dilakukan jelas dan tegas

2.3.3.2 Penjelasan jenis pekerjaan

Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal ataupun minimal, ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan penetapan waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan karena jika tidak dibatasi hal itu akan dapat menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi. Penjelasan jenis pekerjaan ini sangat penting dan diperlukan ketika mempekerjakan orang agar terhindar dari pertikaian di kemudian hari.

2.3.3.3 Penjelasan waktu kerja

(44)

atau tujuh jam sehari, selama kesepakatan keduanya tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. (Syafe’I 2001, 125)

3. Bentuk-bentuk Ijarah dan Berakhirnya Ijarah.

3.1 Bentuk-bentuk Ijarah

Segi objeknya ijarah terbagi kepada dua macam yaitu :

3.1.1 Ijarah yang bersifat manfaat. Pada ijarah ini khusus akad sewa menyewa manfaat benda, misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan dan lain-lain.

3.1.2 Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) .Yaitu dengan mempekerjakan seseorang melakukan suatu pekerjaan. Menurut ulama fiqih ijarah seperti ini adalah boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas. (Haroen 2000, 236)

Ijarah ini berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ala al-a’mal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu :

1) Ijarah Khusus

Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah.

2) Ijarah Musytarak

Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain. (Syafe’I 2001, 133-134) Contohnya orang yang bekerja di perusahaan atau bekerja di bawah komando seorang pemborong.

(45)

beberapa ketentuan yang mengandung substansi pengupahan perspektif Islam, diantaranya yang terdapat dalam An-Nahl ayat 90 sebagai berikut :

(

Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat dermawan kepada kaum kerabat. Menurut Chairul Pasaribu dalam bukunya Perjanjian Kerja menyatakan bahwa kata “kerabat”dalam ayat di atas dapat diartikan dengan “tenaga kerja ”, sebab pekerja tersebut sudah merupakan bagian dari suatu perusahaan kalau bukan karena jerih payah pekerja tidak mungkin majikan dapat berhasil menyelesaikan pekerjaannya. (Pasaribu 1994, 157)

Seseorang yang telah melakukan perjanjian kerja sama hendaknya menunaikan upah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1:

)…

:

(

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu". (Depertemen Agama RI 2001, 84)

(46)

Salah satu norma yang ditentukan Islam adalah memenuhi hak-hak pekerja. Islam tidak membenarkan jika seseorang pekerja mencurahkan jerih payahnya dan keringatnya sementara upah tidak didapatkan, dikurangi, dan ditunda-tunda. (Qardawy, Penerjemah Hafidhuddin,dkk 1997, 403)

3.2 Berakhirnya Ijarah

Akad ijarah akan berakhir apabila :

3.2.1 Objek dari akad tersebut hilang atau musnah, seperti rumah yang disewakan terbakar atau seseorang menjahitkan bajunya kepada tukang jahit kemudian hilang.

3.2.2 Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir, apabila yang disewakan rumah maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqih.

3.2.3 Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

(47)

4. Kewajiban dan Hak-hak dalam Ijarah

Dengan terpenuhinya rukun dan syarat yang dijelaskan di atas maka akan menimbulkan adanya hubungan hukum antara mu'jir dan musta'jir sehingga akan melahirkan hak dan kewajiban.

Secara sederhana tujuan mu'jir mempekerjakan musta'jir adalah untuk mendapatkan keuntungan dari hasil kerja musta'jir, kewajiban musta'jir adalah hak bagi mu'jir. Misalnya seorang pimpinan proyek mempekerjakan buruh bertujuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya tepat pada waktunya, dan itu adalah hak bagi pimpinan proyek.

Untuk mendapatkan haknya itu mu'jir harus menunaikan juga kewajibannya terhadap musta'jir. Jika mu'jir hanya menuntut haknya sedangkan kewajiban tidak ditunaikan maka ini adalah dzalim. Dzalim di sini maksudnya mu'jir menganiaya musta'jir dengan mengeksploitasi tenaganya untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja tanpa memberikan hak mereka. Dan untuk itu pekerja juga harus menunaikan kewajibannya.

Adapun kewajiban musta'jir dengan adanya hubungan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mengerjakan atau menunaikan pekerjaan yang diperjanjikan. 2. Benar-benar bekerja sesuai perjanjian

3. Mengerjakan pekerjaan dengan tekun dan teliti

4. Menjaga keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya. Untuk dikerjakannya, sedangkan kalau pekerjaan itu berupa urusan, mengurus urusan itu dengan semestinya. (Pasaribu 1994, 156)

5. Mengganti kerugian kalau ada barang yang rusak, apabila kerusakan ini dilakukan dengan kesengajaan atau kelengahannya.

(48)

1. Hak atas upah sesuai dengan yang diperjanjikan

2. Hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan 3. Hak atas jaminan sosial, terutama sekali menyangkut bahaya yang

dialami oleh pekerja dalam melakukan pekerjaan.

Secara umum dapat disimpulkan hak-hak musta'jir adalah sebagai berikut :

a. Pekerja berhak menerima upah memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang layak. Jika majikan membayar upah buruh dengan upah yang kurang atau membebani mereka dengan pekerjaan yang berat atau mempekerjakan mereka di luar batas kemampuannya, atau mempekerjakan di luar batas waktu tanpa ada ganti rugi atau tambahan atas kelebihan pekerjaan yang dilakukannya. (Rahman 1995, 390)

b. Tidak diberikan pekerjaan di luar batas kemampuan fisiknya dan jika pekerja dipercayakan untuk menangani pekerjaan yang sangat berat, maka harus diberi bantuan moril atau materil.

c. Penentuan upah yang layak harus dibuat untuk pembayaran atas jasa dan jerih payah bagi mereka.

d. Para mu'jir harus menyediakan akomodasi yang layak agar efisiensi kerja mereka tak terganggu

e. Musta'jir harus diberlakukan dengan baik dan sopan.

5. Penentuan Upah Kerja dan Pembayarannya

Masalah yang paling penting dalam ijarah adalah menyangkut pemenuhan hak-hak musta'jir, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak-hak atas jaminan sosial, dan hak atas upah yang layak. Untuk itu perlu dikaji tentang ketentuan hak-hak musta'jir terutama tentang upah.

(49)

:

Artinya : "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".

Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat dermawan kepada kaum kerabat kemudian Allah juga melarang agar tidak berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Menurut Chairul Pasaribu dalam bukunya Perjanjian Kerja menyatakan bahwa kata "kerabat" dalam ayat di atas dapat diartikan dengan "tenaga kerja", sebab pekerja tersebut sudah merupakan bagian dari suatu perusahaan kalau bukan karena jerih payah pekerja tidak mungkin majikan dapat berhasil menyelesaikan pekerjaannya. (Pasaribu 1994, 157)

Jadi Allah melarang penindasan dengan mempekerjakannya tetapi tidak membayarkan upahnya. Disamping itu Rasulullah sendiri pernah melakukan pengupahan terhadap seorang bekam, namun Nabi karena telah menggunakan jasanya tetap menunaikan upahnya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits sebagai berikut :

:

(50)

seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya"( H.R Abu Daud). (Muhammad Syam, 210)

Dalam hadits berikutnya juga dijelaskan bahwa di akhirat ada tiga golongan yang diancam dan dimusuhi Allah kelak. Salah satu diantaranya adalah majikan yang mempekerjakan seorang buruh kemudian tidak memberikan haknya secara layak, tidak membayar upahnya padahal buruh telah memenuhi kewajibannya dengan semestinya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut :

Artinya : "Dari Yusuf bin Muhamad berkata menyampaikan kepada ku Yahya bin Salam dari Ismail bin Aminah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda :" Allah SWT berfirman ada tiga orang yang aku musuhi di hari kiamat yaitu : orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian dia berkhianat, orang menjual manusia merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi tidak membayar upahnya"( H.R Bukhari). (Ismail Al bukhari, matan bukhari Tth, 24)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Allah membenci orang yang mempekerjakan buruh sesuka hatinya, menyuruh buruh bekerja lalu tidak menunaikan upah sesuai dengan perjanjian padahal jika seseorang telah melakukan akad kerjasama maka harus ditunaikan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1 :

)

:

(51)

Ayat ini mengandung maksud bahwa jika majikan dengan pekerja melakukan akad kerja sama, misalnya majikan akan membayar upah pekerja setiap minggu, membayar upah Rp 25.000,- perhari, maka majikan wajib menunaikan akad yang telah disepakati itu maka tidak boleh mengingkarinya, melalaikannya atau tidak membayarkan sama sekali.

Salah satu norma ditentukan Islam adalah memenuhi hak-hak pekerja. Islam tidak membenarkan jika seseorang pekerja mencurahkan jerih payahnya dan keringatnya sementara upah tidak didapatkan, dikurangi, dan ditunda-tunda.(Qardhawi, hafidhuddin 1997, 403)

Pada dasarnya semua kegiatan manusia akan diberikan balasan yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Seorang hamba tidak akan dirugikan dan tidak merugikan. Sesuai dengan Al-Ahqaaf ayat 19 sebagai berikut :

Artinya : " Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sehingga mereka tiada dirugikan."

Ayat di atas dapat dipahami bahwa dari kata "Allah mencukupkan balasan sehingga mereka tiada dirugikan" berarti ada jaminan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dan jaminan tentang upah yang layak (cukup) kepada setiap pekerja. Jadi jika ada pengurangan dalam upah mereka tanpa adanya pengurangan kinerja pekerjaannya maka hal itu dianggap ketidakadilan dan penganiayaan. Ayat ini memperjelas bahwa upah kerja ditentukan berdasarkan kerjanya dan sumbangsihnya dalam proses produksi, untuk itu harus upah mereka harus dibayar dan tidak dikurangi dan juga tidak lebih dari apa yang dikerjakannya.

(52)

)

(

Artinya : "Dari Abdullah Bin Umar berkata : Rasulullah SAW Bersabda Bayarkanlah upah buruh sebelum keringatnya".(H.R Ibnu Majah)

Hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya, artinya upah pekerja dibayarkan secepatnya ( selesai bekerja buruh langsung menerima upahnya). Jenis ini sering digunakan untuk buruh kasar seperti kuli bangunan, tukang angkat, buruh tani dan yang sejenis dengannya. Dan juga dapat diberikan pengertian bahwa pekerja menerima upahnya sebelum keringatnya artinya, pekerja menerima upah menurut kebiasaan daerah setempat. Ataupun menurut aturan yang berlaku bagi pegawai negeri yang menerima gaji perbulan. Sedangkan bagi pekerja yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu adanya perjanjian kerja dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian itu. Untuk itu dalam perjanjian kerja mu'jir harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah yang akan diterima musta'jir sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :

:

:

.

)

(

Artinya : "Dari Abu Sa'id al-Khudri R.A menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda barang siapa yang mempekerjakan seorang maka hendaklah menyebutkanlah upahnya."( H.R. Bukhari). (Ismail Al Bukhari Tth, 24)

6. Hikmah Ijarah

(53)

1994) Seseorang tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Apabila seseorang ingin mendirikan rumah tentu ia tidak akan bisa sendiri, walaupun ada yang bisa dan ini pun akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Perlu adanya buruh untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu, di samping itu buruh juga butuh upah untuk biaya hidup dan untuk menghidupi keluarganya.

Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan an upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain yaitu : 6.1Membina ketentraman dan kebahagiaan

Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu'jir dan musta'jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian di hati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberikan jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta'jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.

6.2Memenuhi nafkah Keluarga

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta'jir maka kewajiban tersebut dapat terpenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :

..

)

:

(

Artinya : “Dan kewajiban Ayah memberi makan dan pakaian kepada (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf ”. ( al-Baqarah 233)

(54)

Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.

6.4Menolak kemungkaran

(55)

BAB III

MONOGRAFI NAGARI BARUNG-BARUNG BELANTAI SELATAN KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISISR SELATAN 1. Letak geografis dan tingkat pendidikan

1.1 Letak Geogarfis

Barung-Barung Balantai Selatan merupakan salah satu Kenagarian yang ada di kecamatam koto XI tarusan pesisir selatan. Kabupeten pesisir selatan, merupakan salah satu kabupaten termasuk dalam provinsi sumatera barat. Dengan lahirnya perda provinsi Sumatera Barat nomor :09 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari serta ditindak lanjuti dengan Perda Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 17 tahun 2001 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari (yang di perbaharui melalui perda Kabupaten Pesisir Selatan nomor : 08 tahun 2007), maka berubahlah bentuk pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat dari pemerintah Desa menjadi Pemerintahan Nagari.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan pada awal tahun 2009 menetapkan kembali Nagari Barung-Barung Balantai Selatan sebagai wilayah administrasi pemerintahan terendah, yang memiliki hak otonom dalam mengurus dan menata pemerintahan tingkat bawah sesuai dengan hak-hak tradisional asal usul terbentuknya Nagari tersebut.

Adapaun batas-batas wilayah kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan sebagai berikut:

Sebelah Utara : Nagari Br. Br. Belantai Tengah Sebelah Selatan : Nagari Duku Utara

(56)

53

Secara umum keadaan topografi Nagari Barung-Barung Balantai Selatan adalah merupakan daerah perbukitan/dataran.

Tabel I

Luas Tanah Menurut Penggunaan

Sumber data: RPJM Nagari Barung-Barung Balantai Selatan 2010-2015

Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan mempunyai dua kampung yaitu kampung Koto Pulai dan Kampung Sungai Sangkir dan terdapat lima jorong, jorong Air sonsang, Jorong Koto Pulai, Jorong Taeh, Jorong Tanah Galak dan jorong Sungai sangkir.

Kenagarian Barung-Balantai Selatan kecamatan Koto XI Tarusan terletak di jalan Raya padang painan Km 45, jarak ke ibu kota kabupaten sekitar 32 Km dengan jarak tempuh 1 jam perjalan kendaraan umum atau kendaraan pribadi, sedangkan jarak ke kota Padang sekitar 45 Km dengan jarak tempuh ½ jam dengan kendaraan umum ataupun kendaran pribadi.

1.2 Tingkat Pendidikan

NO Nama wilayah Jumlah 1 Tanah permukiman 1.357,00 Ha

2 Tanah perkebunan 2.025,00 Ha

3 Tanah pertanian 548,50 Ha

4 Tanah perbukitan 75,00 Ha 5 Tanah Perikanan 5,50 Ha

6 Datar Lepas 575,00 Ha

7 Tanah Rawa 10,00 Ha

(57)

53

Maju mundurnya suatu masyarakat tergantung pada pendidikan, karena pendidikan dan pengajaran merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan.

Maju atau mundurnya suatu daerah itu tergantung pada pendidikan di daerah tersebut, karena pendidikan merupakan yang paling penting untuk membentuk karakter anak didik. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia, dengan pendidikan yang baik dan bermutu akan dapat meningkatkan kecerdasan dan kreativitas yang dimiliki masyarakat. Demi terwujudnya manusia-manusia pembangunan yang berkualitas serta dapat mendatangkan manfaat dan pengaruh positif terhadap diri-sendiri dan lingkungan. Salah satu faktor utama penyebab lajunya pendidikan terhadap anak yaitu adanya dorongan serta motivasi dari orang tua untuk anak, minimal menamatkan SMA atau yang sederajat, namun di samping itu, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi orang tua mulai terbentur dengan masalah biaya atau dana. Ada juga sebagian anak yang melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan memperoleh gelar sarjana hanya dalam jumlah yang sedikit.

Tabel II Tingkat pendidkan

No Kategori Jumlah

1. Tidak tamat SD 730 Jiwa

2. SD 615 Jiwa

3. SMP 267 Jiwa

4. SLTA 300 Jiwa

5. Perguruan Tinggi 27 Jiwa

(58)

53

Salah satu yang paling penting untuk maju dan mundurnya suatu pendidikan itu tergantung dengan sarana dan prasarana yang ada, semakin baik sarana yang dimiliki maka akan semakin baik pula pendidikan disuatu tempat tersebut.

Tabel III Sarana Pendidikan

No Jenis Pendidikan jumlah

1. TK 1

2. SD 2

3. Pondok Pesantren 1

Jumlah 3

Sumber Data: RPJM Nagari Br.Br Balantai Selatan 2010-2015

2. Jumlah penduduk dan Tingkat Ekonomi 2.1Jumlah penduduk

Jumlah penduduk Nagari Barung-Barung Balantai Selatan berdasarkan data yang penulis dapatkan dari bapak Safridon selaku sekretaris Nagari Barung-Barung Balantai selatan kecamatan Koto XI Tarusan kabupaten Pesisir Selatan adalah berjumlah 1939 Jiwa yang terdiri dari 455 kepala keluarga. Jumlah penduduk ini terdiri dari 956 Jiwa laki-laki dan 983 Jiwa perempuan(RPJM Nagari Barung-Barung Balantai Selatan).

Tabel IV

Jumlah Penduduk Nagari Barung-Barung Balantai Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan

No Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 956 Jiwa

(59)

53

Total 1939 Jiwa

Sumber data: RPJM Nagari Br.Br Balantai Selatan tahun 2010-2015

2.2Tingkat Ekonomi

Keadaan ekonomi merupakan hal yang sangat penting dalam melanjutkan kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya kegiatan Ekonomi manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia sebagai makhluk zoon politicon, dalam menjalani kehidupannya tidak terlepas dari orang lain untuk saling menolong diantara sesamanya, dengan ekonomi manusia bisa menciptakan solidaritas sesama manusia.

Tujuan dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan, disamping untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga untuk memperkuat hubungan sesama dalam masyarakat, dengan syarat kegiatan ekonomi yang mereka lakukan sesuai dengan tuntutan ekonomi.

Tabel V Tingkatan Ekonomi

No Kategori Kepala Keluarga Jumlah Jiwa

1. Kaya 38 KK 114 Jiwa

2. Sedang 337 KK 1497 Jiwa

3. Kurang Mampu 82 KK 328 Jiwa

Sumber data: RPJM Nagari Barung-Barung Balantai Selatan 2010-2015

(60)

53

menengah sebanyak 337 kepala keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 1497 jiwa, yang terakhir yaitu golongan kurang mampu sebanyak 82 kepala keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 328 jiwa. Berarti dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat barung-barung balantai selatan mempunyai tingkatan ekonomi sedang.

Mata pencarian masyarakat Nagari Barung-Barung Balantai selatan beragam. Ada yang petani, pedagang, pegawai Negeri Sipil, pegawai swasta, dan masih banyak yang lain. Tetapi mata pencarian yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat disini adalah bertani, karena lahan pertanian cukup luas dan keadaan iklim yang mendukung untuk bertani.

Bertani merupakan mata pencarian utama masyarakat disini, seperti; kesawah dan kebun. Sawah masyarakat disini kebanyakan bertani padi dan terkadang setelah panen padi maka akan di selingi dengan kacang tanah ataupun jagung, sedangkan untuk berkebun seperti; Durian, gambir, karet dan pinang. Untuk kesawah biasanya petani dapat memanen sebanyak tiga kali panen dalam setahun.

Mata pencarian terbesar masyarakat Barung-Barung Balantai Selatan adalah bertani, 93% masyarakat Barung-Barung Balantai bermata pencarian petani dan sisanya mata pencarian yang lain seperti PNS, Pedagang, polisi, tentara. Walaupun ada juga yang mata pencarian yang lain akan tetapi ia tetap mempunyai sawah dan kebun, tetapi mata pencarian sebagai petani hanya untuk mengisi waktu kosong saja.

3. Kondisi Sosial, adat istiadat dan Keagamaan di Nagari Barung-barung Belantai Selatan Kec. Koto XI Tarusan Kab. Pesisir Selatan

3.1Kondisi sosial

Gambar

Tabel I
Tabel II Tingkat pendidkan
Tabel IV
Tabel V
+2

Referensi

Dokumen terkait

Konsep penghasilan yang paling banyak dipakai adalah dengan melakukan pendekatan pengenaan pajak atas penghasilan, yaitu satu tambahan ekonomis yang diterima Wajib

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap 26 responden bahwa mayoritas pengetahuan petugas rekam medis berdasarkan karakteristik mengenai pengetahuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya kepemimpinan di FKIP berdasarkan gaya pemimpin dalam memberikan perintah, gaya dalam memberikan penghargaan, gaya dalam

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum

dan Natal, yayasan memberikan perhatian dengan memberikan sembako kepada guru-guru. 6) Guru-guru difasilitasi sarana belajar yang berupa APE (alat peraga edukatif) dan

Mengingat pentingnya jasa lingkungan dari keberadaan hutan di DAS maka dewasa ini pengelolaan hutan menghadapi permasalahan yang komplek untuk memadukan

Hasil: Keterlambatan motorik menunjukkan hasil yang cukup signifikan berpengaruh terhadap riwayat imunisasi, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat