• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rukun Dan Syarat Ijarah

BAB II LANDASAN TEORI LANDASAN TEORI

2. Rukun Dan Syarat Ijarah

-Artinya : “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu putriku ini, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak ingin memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".(Deprtemen Agama RI 2001, 310)

1.2.2 Landasan Sunnah

Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah salah satunya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Sebagai berikut :

:

Artinya : “ Hadits dari Musdad akhbarana Yazid Ibn Jurai’

Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi SAW pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian

membayar upahnya”. (H.R Bukhari)

1.2.3 Landasan Ijma’

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat. Tidak ada seorangpun ulama yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat akan tetapi itu tidak dianggap. (Sabiq 1987, 11)

2. Rukun Dan Syarat Ijarah

Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim dalam bukunya “ Mabadi’ Awaliyah” sebagai berikut :

:

Artinya : Rukun adalah sesuatu yang tergantung kepadanya sahnya sesuatu dan dia bagian dari padanya

Definisi yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rukun mutlak adanya dalam sebuah akad ijarah.

Layaknya sebuah transaksi ijarah dapat dikatakan sah apabila memenuhi sebuah rukun dan syarat. Agar transaksi sewa-menyewa atau upah mengupah menjadi sah, harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Menurut ulama Hanafiyah rukun dari ijarah itu hanya satu ijab dan kabul. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad, imbalan, manfaat termasuk ke dalam syarat-syarat ijarah. (Haroen 2000, 231)

Sedangkan Menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu : orang yang berakad, adanya upah, manfaat kerja sama, serta adanya sighat (ijab dan kabul). Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut :

2.1.1 Orang yang berakad.

Mu'jir dan Musta'jir. Mu'jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Musta'jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari hasil kerjanya itu.

Pekerjaan yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti : menyelesaikan pekerjaan proyek, membajak sawah dan sebagainya.

Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan di kemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan. Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah tersebut tidak jelas maka akadnya tidak sah. Misalnya. Menyewakan motor hanya untuk duduk di atasnya, atau karena dilarang oleh Agama Islam. Seperti menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain. Perjanjian sewa menyewa barang atau suatu pekerjaan yang manfaatnya tidak dibolehkan oleh ketentuan agama adalah tidak sah atau wajib untuk ditinggalkan. (Rusyid, 218)

2.1.3 Imbalan atau upah yang akan diterima oleh buruh dari hasil kerjanya. Dapat diketahui bahwa ijarah adalah sebuah akad yang mengambil manfaat dari barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Syara' yang berlaku. Oleh sebab itu pelaksanaan sewa atau imbalan mesti jelas dengan ketentuan awal yang telah disepakati.

2.1.4 Sighat yaitu ijab dan kabul.

Sighat pada akad merupakan suatu hal yang penting sekali karena dari sighatlah terjadinya ijarah. Karena sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melaksanakan ijarah. Dalam sighat ada ijab dan kabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu'jir) untuk menyewakan barang atau jasa sedangkan kabul merupakan jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu'jir. Misalnya anda bersedia

bekerja pada proyek ini dalam waktu dua bulan dan dengan upah perharinya Rp.20.000,- dan jenis pekerjaannya yaitu pekerjaan

jalan? kemudian buruh menjawab"ya", saya bersedia." ( Syarifuddin 2003,218)

2.2 Syarat Ijarah

Syarat merupakan sesuatu yang bukan bagian dari akad, tapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapaun syarat-syarat transaksi ijarah yaitu :

2.2.1 Dua orang yang berakad ( Mu'jir dan Musta'jir) disyaratkan: 2.2.1.1 Berakal dan mumayiz

Namun tidak disyaratkan baligh, Maka tidak dibenarkan mempekerjakan anak yang belum mumayiz dan belum berakal.(Rozalinda 2005, 105-106) Amir syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat, dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan.(Syarifuddin 2003, 218) Jadi transaksi ijarah yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa tidak sah.

2.2.1.2 Kerelaan ( ‘An-Taradhin)

Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya untuk melakukan akad ijarah. Dan para pihak berbuat atas kemauan sendiri. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Karena Allah melarang penindasan atau intimidasi sesama manusia tapi dianjurkan saling meredhai sesamanya. Sebagaimana Firman Allah dalam Surat an-Nissa ayat 29:

)

:

(

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu”.(Depertemen Agama RI 2001, 65) 2.2.2 Sesuatu yang diakadkan ( pekerjaan) disyaratkan :

2.2.2.1 Manfaat dari pekerjaan harus yang dibolehkan syara’, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.(Haroen 2000, 233) 2.2.2.2 Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua pihak

sehingga tidak muncul pertikaian dan perselisihan di kemudian hari.

2.2.2.3 Manfaat dari objek yang akan diijarahkan sesuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki.

2.2.2.4 Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari persengketaan atau perbantahan.

2.2.2.5 Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang diwajibkan bagai musta'jir seperti Sholat, puasa dan lain-lain 2.2.2.6 Pekerjaan yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat

diijarahkan.

2.2.3 Upah atau imbalan disyaratkan

2.2.3.1 Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan manfaatnya.

2.2.3.2 Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

Terhadap imbalan ada beberapa ketentuan dalam hal menerima atau memberikan.

1. Imbalan atau upah tersebut hendaklah disegerakan pembayarannya. Ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Madjah yang berbunyi :

Artinya : "Dari Abdullah bin Umar Berkata dia, Rasulullah SAW bersabda : bahwa sesungguhnya nabi berkata : berikanlah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum kering keringatnya". (Bukhari 1987, 604)

Hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya, artinya upah pekerja dibayarkan secepatnya atau dengan kata lain selesai bekerja buruh langsung menerima upahnya. Jenis ini sering digunakan untuk buruh kasar seperti tukang angkat, buruh tani, tukang cuci dan lain-lain. Dapat juga dipahami bahwa pekerja menerima upahnya sebelum keringatnya artinya, pekerja menerima upah menurut kebiasaan daerah setempat, atau menurut aturan yang berlaku bagi pegawai negeri yang menerima gaji perbulan.

Sedangkan pembayaran bagi pekerja yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu ada perjanjian kerja dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk itu dalam perjanjian ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima.

:

:

.

Artinya : "Dari abu Sa'id al-Khudri R A menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang mempekerjakan seseorang maka hendaklah menyebutkan upahnya."( HR. Bukhari). (Ismail al-Bukhari, 24)

2 Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga kedua belah pihak akan terhindar hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

3 Imbalan atau upah itu dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Apakah diberikan seluruhnya atau selesai waktunya. Ini semua tergantung kepada kebiasaan yang terjadi pada masyarakat asalkan tidak ada yang terzalimi terhadap upah yang akan diterima itu.

4 Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama sehingga kedua belah pihak saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya. Maksudnya, terhadap semua kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang mesti ditunaikan. Sebagaimana firman Allah yang mengatakan tentang perjanjian dalam surat al-Maidah ayat1:

)

(

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, tepatilah segala janjimu. Telah dihalalkan bagimu (memakan) hewan ternak ternak, ( unta, sapi, kerbau dan kambing), kecuali barang yang dibacakan kepadamu. Tiada dihalalkan memburu binatang ,

sedang kamu tengah ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

5 Upah atau imbalan mesti berupa benda yang diketahui yang dibolehkan memanfaatkannya.

2.2.4 Sighat ( ijab dan Kabul ) disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan kabul tidak sesuai seperti antara objek akad atau batas waktu

2.3 Syarat Sah Ijarah

Di samping syarat-syarat umum di atas ada syarat sah yang harus dipenuhi dalam melakukan akad ijarah yaitu :

2.3.1 Adanya keridhaan dari kedua belah pihak yang berakad 2.3.2 Ma’qud alaih ( objek ijarah ) bermanfaat dengan jelas

2.3.3 Adanya kejelasan pada pekerjaan adalah dengan menjelaskan pada saat akad tentang manfaatnya, batas waktunya, dan jenis pekerjaan. 2.3.3.1 Penjelasan manfaat

Penjelasan dilakukan agar pekerjaan yang dilakukan jelas dan tegas

2.3.3.2 Penjelasan jenis pekerjaan

Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal ataupun minimal, ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan penetapan waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan karena jika tidak dibatasi hal itu akan dapat menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi. Penjelasan jenis pekerjaan ini sangat penting dan diperlukan ketika mempekerjakan orang agar terhindar dari pertikaian di kemudian hari.

2.3.3.3 Penjelasan waktu kerja

Tentang batasan waktu kerja tergantung kepada pekerjaan dan kesepakatan kedua belah pihak misalnya delapan jam sehari

atau tujuh jam sehari, selama kesepakatan keduanya tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. (Syafe’I 2001, 125)

Dokumen terkait