• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Pembayaran Upah Kipeh Padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan di Tinjau dari Hukum Islam

BAB II LANDASAN TEORI LANDASAN TEORI

PESISIR SELATAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

4. Analisis Terhadap Pembayaran Upah Kipeh Padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan di Tinjau dari Hukum Islam

Membayar upah merupakan kewajiban bagi seseorang yang menggupah atau mempekerjakan orang lain. Menerima upah bagi orang yang diupah atau yang dipekerjakan adalah haknya, karena upah itu merupakan ganti atau imbalan atas jasa yang telah dikerjakannya.

Upah mengupah ini banyak ditemui di Nagari Barung-Barung Balantai Selatan, salah satunya adalah upah mengupah dalam mangipeh padi. Dalam kegiatan upah mengupah ini, banyak hal yang harus diperhatikan, sehingga dalam melakukan kegiatan upah mengupah ini tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam dan apa yang dilakukan akan diridhoi oleh Allah SWT.

Dalam Islam segala bentuk tindakan muamalah diatur dengan baik, sehingga benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat, seperti kegiatan muamalah syirkah, jual beli, ijarah dan masih banyak yang lainnya. Semua telah diatur dengan baik dalam Islam dan masing-masing bentuk kegiatan muamalah ini memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Dalam akad ijarah yang berarti upah mengupah banyak hal yang harus dipenuhi, sehingga akad itu benar-benar sesuai dengan ketentuan Islam. Salah satu hal yang berkaitan erat dengan upah mengupah ini, tentang pembayaran upah bagi seorang pekerja kipeh padi atau para pekerja yang telah melakukan suatu pekerjaan.

Pembayaran upah ini adalah sesuatu yang sangat penting didalam kegiatan upah mengupah, apabila salah satu rukun saja cacat atau tidak terpenuhi maka akad tersebut tidak sah. Islam memberikan aturan-aturan tertentu dalam pembayaran upah ini yang dapat mendatangkan kebaikan bagi semua pihak, sehingga benar-benar dapat mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak yang melakukan akad.

Dalam mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, maka hendaklah terlebih dahulu pekerja itu tahu apa pekerjaan yang akan dilakukannya, berapa upah yang akan diterima dan waktunya jelas, harus jelas terlebih dahulu semuanya, baru pekerja bisa dipekerjakan. Tujuan ini semua dilakukan atau dianjurkan oleh Islam agar setiap hak orang lain tidak terlanggar, bisa terpenuhi karena telah ada perjanjian pada awal akad. Pada dasarnya Islam sangat megutamakan kemaslahatan bersama baik pekerja maupun orang yang mempekerjakan, agar setiap hak masing-masingnya tidak terlanggar oleh salah satu pihak.

Sebelum penulis membahas lebih lanjut tentang upah mengupah, terutama tentang pembayaran upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan. Terlebih dahulu harus tahu segala bentuk ketentuan tentang upah mengupah yang telah ditetapkan oleh Syariat Islam.

Untuk menganalisis praktik pembayaran upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan, maka perlu dilihat rukun dan syarat akad sewa menyewa di dalam Islam.

Dalam hukum Islam, rukun dan syarat sahnya suatu upah/ujrah harus dipenuhi oleh para pihak yang berakad yaitu(Rozalinda, 105, 2005)

4.1Orang yang melakukan akad (Aqidain)

Adapun syarat dan rukun yang terdapat dalam upah adalah adanya

musta’jir adalah orang yang menerima upah. Dalam pekerjaan ini, pemilik padi sebagai pengguna jasa kipeh padi disebut muj’ir, dimana ia menyewa atau menggunakan jasa pemilik kipeh padi untuk mangipeh padi miliknya. Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam hal ini yang di sebut

musta’jir adalah pemilik kipeh padi tersebut. Untuk mu’jir dan musta’jir disyaratkan harus baliqh, Berakal, cakap Melakukan tasharuf (mengedalikan harta) dan saling meridhai.

Dalam praktik upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan ini, untuk syarat di atas telah terpenuhi oleh masing-masing pihak yang melakukan akad dan kedua belah pihak telah mencapai usia dewasa (baliqh)

4.2Obyek Transaksi

Pekerjaan dalam upah mangipeh padi adalah memberi manfaat dan di bolehkan syara’. Manfaat dari objek yang di-ijarah-kan dapat dipenuhi secara hakiki, sehingga tidak muncul pertikaian dan perselisihan dikemudian hari baik jenis, sifat barang yang disewakan atau pekerjaan yang akan dilakukan(Rasyid, 218)

Dilihat dari segi objek ijarah, upah kipeh padi telah memenuhi syarat, karena jenis pekerjaannya telah jelas memberi manfaat, meskipun waktu pekerjaan tidak dijelaskan secara ditail pekerjaannya.

4.3 Imbalan atau Upah

Jika ijarah itu suatu pekerjaan, kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Jika ijarah itu berupa zat benda yang disewakan, pihak musta’jir berhak menerima bayaran setelah muj’ir memanfaatkan benda tersebut(Suhendi, 121, 2014) Adapun upah (ujrah) dalam hukum Islam mengatur sejumlah persyaratan berkaitan dengan ujrah (upah) sebagai berikut:

4.3.1 Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan kunsultasi terbuka, sehingga dapat terwujudkan di dalam diri setiap individu pelaku ekonomi, rasa kewajiban moral yang tinggi dan dedikasi yang loyal terhadap kepentingan umum(Arkal Salim, 99-100, 1999)

4.3.2 Upah tersebut harus dinyatakan secara jelas(Mas’adi, 186, 2002). Konkrit atau dengan menyebut kriteria-kriteria. Salah satu norma yang ditentukan Islam adalah memenuhi hak-hak pekerja. Islam tidak membenarkan jika seseorang pekerja mencurahkan jerih payahnya dan keringatnya sementara upah tidak didapatkan, dikurangi dan ditunda-tunda(Qardawi, 403, 1997).

Begitu juga sebaiknya upah/imbalan yang harus diberikan oleh pemilik padi kepada pekerja kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan harus ditetapkan terlebih dahulu tentang jumlah upah yang diterima oleh pekerja, waktu pembayarannya dan jenis upahnya yang akan diterima oleh pekerja kipeh padi agar jelas dan terukur sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Namun pada kenyataannya pembayaran upah/imbalan bagi pemilik padi kepada pekerja kipeh padi, di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan diberikan oleh pemilik padi kepada pekerja tanpa mengatakan berapa pemilik mendapatkan hasil panen. Akan tetapi pemilik sudah memisahkan saja upah yang akan diberikan kepada pekerja. Maka ini bisa menimbulkan peluang bagi pemilik padi untuk melakukan kebohongan. Misalnya ketika pemilik mendapatkan hasil panen seratus dua puluh lima sukat padi ternyata yang dibayarkan hanya empat sukat padi kepada pekerja, sedangkan dalam kesepakatan yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat bahwa dalam seratus sukat hasil panen maka empat sukat yang harus dibayarkan kepada pekerja. Berarti ketika pemilik tidak menyebutkan kepada pekerja berapa mendapatkan hasil panen kemungkinan pemilik bisa berbuat curang kepada pekerja dengan mengurangi upah yang

diberikan kepada pekerja. Walaupun demikian ada juga yang mengatakan berapa ia mendapatkan hasil panen, dari sepuluh orang pemilik padi yang penulis wawancara hanya dua orang yang mengatakan berapa ia mendapatkan hasil panen.

4.4Sighat (ijab dan Qabul).

Sighat pada akad merupakan suatu hal yang penting sekali, karena dari sighatlah akan terjadi ijarah. Karena sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melaksanakan ijarah, dalam sighat ada ijab dan kabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama(muj’ir) untuk menyewakan barang atau jasa, sedangkan kabul merupakan jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewa barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir (Syarifuddin, 218-219, 2003).

 Sighat Ijab dan Kabul, disyaratkan:

4.4.1 Ijab dan kabul diucapkan oleh yang mampu (ahlinya). Menurut ulama Hanafiyah, yang mengucapkan ijab dan kabul harus orang yang berakal lagi mumaiz sebagaimana yang dipersyaratkan oleh aqid.

4.4.2 Kabul bersesuaian dengan ijab. Misalnya seseorang berkata saya sewakan mobil ini dengan harga sekian sehari, kemudian dijawab saya sewa mobil ini atau saya terima atau kalimat yang sejenis dengan itu.

4.4.3 Menyatunya majlis (tempat) akad.

Ijab dan kabul berada pada suatu tempat, dalam pengertian masing-masing pihak yang berakad hadir bersamaan atau pada tempat lain yang diketahui oleh pihak lain. Apabila salah satu pihak mengucapkan ijab sewa menyewa, sementara pihak lain berada pada tempat lain atau ia sibuk mengerjakan pekerjaan lain yang berbeda tempatnya, maka

akad sewa menyewa tidak dapat dilaksanakan(Rozalinda, 59, 2005).

Pelaksanaan upah adalah adanya serah terima atau ijab qabul antara pemilik barang dan pemilik jasa. Setiap transaksi yang dilakukan harus disertai ijab dan kabul karena keduanya merupakan unsur yang harus ada dalam sebuah akad, karena sighat akad harus dilakukan atau diucapkan (bagi yang mampu) secara jelas dan terang sehingga terdapat kesepakatan kedua kehendak. Begitu juga pelaksanaan sighat itu dilakukan ditempat yang sama antara kedua belah pihak.

Menurut Asy-Syafi’i, tidak sah akad itu kecuali dengan sighat, yaitu suatu bentuk perkataan atau lafaz yang diucapkan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Apabila bagi orang yan terhalang untuk melakukan ijab dan kabul, melakukan sighat dengan orang bisu misalnya, maka melakukan akaqnya dengan tulisan. Menurut mereka yang pada dasarnya ijab dan kabul mesti dilafazkan dengan bentuk kata-kata.

Akad itu sah dilakukan dengan perbuatan bagi hal-hal yang biasa dilakukan dengan perbuatan, sekiranya tidak sah akad dengan perbuatan maka rusaklah urusan manusia karena semejak zaman Nabi hingga sekarang kebanyakan manusia melakukan akad tanpa disertai lafaz melainkan dengan perbuatan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.

Setiap akad itu sah dilakukan dengan cara apa saja yang menunjukkan kepada maksudnya, baik perkataan maupun perbuatan. Sahnya akad itu bagi yang mengerti oleh masing-masing bangsa, baik dalam sighat maupun dalam perbuatan, karena tidak ada pembatasan tertentu dari syara’ maupun dari bahasa(ya’kub, 1992)

Dengan memperhatikan segala ketentuan syara’ maka dapat disimpulkan bahwa akad sewa itu dapat dilakukan dengan segala bentuk yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak secara baik, baik sighat itu berupa perkataan, perbuatan maupun tulisan itu dibolehkan, asal apa

yang dimaksud bisa dimengerti orang lain. begitu juga dalam halnya pembayaran upah kipeh padi bahwa akad atau sighatnya sudah terpenuhi karena sudah ada serah terima antara pekerja dan pemilik padi.

Berdasarkan analisis di atas bahwa praktek pembayaran upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan adalah sah, karena telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Akan tetapi ada beberapa atau sebagian diantara pemilik tidak jujur dalam pembayaran upah kepada pekerja maka hukumnya bagi mereka yang tidak jujur dalam pembayaran itu termasuk ke dalam upah mengupah yang fasid.

Akan tetapi ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai upah mengupah ini, karena dari hasil penelitian yang penulis teliti bahwa cara pembayaran yang seperti demikian telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.

Untuk menganalisis permasalahan ini, maka perlu di kaji dalam perspekif urf berdasarkan kajian ushul fiqh.

Urf secara etimologi adalah segala sesuatu yang dipandang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena sudah menjadi kebiasaan dan menyatu bagi kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.(Efendi, Zein, 129, 2005)

Adapun macam-macam urf dapat dibedakan sebagai berikut: 4.5Berdasarkan keabsahannya, urf ada dua macam yaitu:

4.5.1 Urf shahih ialah sesuatu yang saling dikenal atau tradisi dari masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Misalnya mengadakan tunangan sebelum melangsungkan akad pernikahan. Hal ini

dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat serta tidak bertentangan dengan syara’.

4.5.2 Al-urf fasid ialah sesuatu yang sudah menjadi tradisi masyarakat, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan sesuatu yang haram, atau membatalkan sesuatu yang wajib. Misalnya: kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam(Bakry, 237, 2003)

4.6 Berdasarkan ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi kepada: 4.6.1 ‘urf ‘am (umum). Yaitu urf yang berlaku di seluruh negeri

muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bahwa urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum. Seperti kebiasaan manusia berjual beli secara ta’thi (saling memberi tanpa melafazkan ijab dan qabul), tradisi dengan cara pesanan, dan lain sebaginya.

4.6.2 Urf Khash (khusus). Yaitu sebuah urf yang hanya berlaku disebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lain. urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum atau tidak. Misalnya: di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan dua persen dari harga tanah yang ditanggung berdua antara penjual dan pembeli: maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya(Syukur, 208, 1993)

4.7 Berdasarkan Objeknya terbagi menjadi dua, yaitu:

4.7.1 ‘urf lafzhy ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tertentu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeri muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum. Misalnya: ada seseorang berkata: demi Allah, saya hari ini

tidak akan makan dagin.,” ternyata kemudian dia makan ikan, maka kata “daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk makan daging binatang darat seperti kambing, sapi dan lain-lainya.

4.7.2 ‘urf Amali(perbuatan). Yaitu sebuah perbuatan yang sudah menjadi urf dan kebiasaan masyarakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat urf lafzhy. Misalnya: kebiasaan manusia berjual beli sebagian barang dengan cara ta’thi (saling memberi), tanpa mengucapkan ijab kabul (serah terima) dan lain sebaginya.

Abdul karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi urf yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:

1. ‘urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah(Efendi, Zein, 156, 2005). Misalnya:urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya, ‘urf ini berlaku dan harus dikerjakan.

2. ‘urf harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan kebiasaan orang-orang tertentu saja, tidak bisa dijadikan sebagi sebuah sandaran hukum.

3. ‘urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya: seseorang mewakafkan hasil kebunnya kepada seorang ulama, sedangkan

yang disebut ulama waktu itu hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada persyaratan adanya ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi populer kemudian setelah ikrar wakaf terjadi, misalnya harus punya ijazah.

4. Tidak adanya ketegasan dari pihak terkait yang berlainan dengan kehendak urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu.

5. Urf tidak berlaku atas sesutu yang telah disepakati. Hal ini

sangatlah penting karena bila ada urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ijma’) maka urf menjadi tidak berlaku, terlebih urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.

Berdasarkan pelaksanaan pembayaran upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai selatan, memang pada awal ada ketentuan bahwa dalam seratus sukat padi maka empat sukat padi yang akan menjadi upah pekerja, yang jadi permaslahan disini bahwa ketika pembayarannya, pemilik hanya menghitung pendapatannya sendiri dan mengeluarkan upah pekerja sendiri tanpa sepengetahuan pekerja dan ini sudah menjadi kebiasaan dari dulu oleh masyarakat setempat dan perilaku ini tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, karena pekerja dan pemilik padi sudah saling ridha.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29:















































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bhatil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah dalah maha

penyayang diantara kamu”(departeman Agama, 83) Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diperbolehkan mencari suatu keuntungan dari usaha yang mereka lakukan dengan tanpa melanggar ajaran agama. Allah SWT memperbolehkan manusia untuk bermuamalah berdasarkan suka sama suka dengan adanya suatu kesepakatan tanpa adanya unsur saling merugikan satu dengan yang lain.

Di samping itu, pembayaran upah kipeh di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan ini telah menjadi kebiasaan di daerah setempat dan telah lama dianut oleh masyarakat, serta tidak ada ketegasan oleh pemerintah setempat ataupun oleh pekerja, dalam melakukan pembayaran yang dilakukan oleh pemilik padi tersebut.

Dari hal yang demikian, bahwa pembayaran upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan yang terjadi pada sekarang ini tidak ada bertentangan dengan syara’. Urf Shahih dijadikan sebagai landasan hukum. Maka hukum pembayaran upah kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan termasuk dalam kategori ‘Urf Fasid.

Pada kenyataannya yang terjadi di Kenagarian Barung-Barung Balantai selatan bahwa dalam pelaksanaan Upah kipeh padi, antara

pemillik dan pekerja telah ada sighat pada awalnya dan telah memenuhi syarat ijab dan qabul yang telah ditetapkan oleh syara’, akan tetapi dalam pembayaran saja atau pemberian upah yang tidak ada kejelasan oleh pemilik terhadap pekerja, akan tetapi sebaiknya pemilik padi menjelaskan berapa dia mendapat hasil panen atau lebih baiknya pemilik menghitung hasil panennya bersama pekerja, setelah itu upah dikeluarkan oleh pemilik dengan disaksikan oleh pekerja, tetapi pada kenyataannya pemilik padi telah menghitung sendiri hasil panen lalu dikeluarkan upah pekerja tanpa disaksikan langsung oleh pekerja itu sendiri, pekerja hanya tinggal menjemput upah yang telah disediakan oleh pemilik padi.

Mengingat dan mengkaji kembali, bahwa praktek ini telah lama menjadi suatu kebiasaan dan turun temurun dalam masyarakat serta tidak ada kebijakan yang mengatur didalam masyarakat bahwa cara pembayaran upah kipeh padi tersebut. Maka kebiasaan dalam suatu daerah atau masyarakat sangatlah penting dalam memutuskan suatu hukum, hal itu dikarenakan hukum fiqh itu sangatlah fleksibel dan sesuai dengan konteks yang akan dihukumi, dan kebiasaan dalam masyarakat memiliki porsi yang besar dalam hal ini, dalam kaidaf-kaidah fiqh para fuqaha mengatakan:

تمكحملا ةد اعلا

“Adat kebiasaan dapat jadi sumber hukum”(firdaus, 110, 2012)

Dari penjelasan di atas, bahwa pembayaran upah kipeh padi di Kangarian Barung-Barung Balantai selatan yang berlaku saat sekarang ini merupakan suatu kebaikan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum dimasyarakat dan tidak ada yang bertentangan dengan syarat urf untuk dijadikan landasan hukum. Maka pembayaran upah kipeh dalam prakteknya di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan adalah termasuk kedalam kategori Urf Shahih.

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan urain pada bab-bab yang telah lalu tetang pembayaran upah Kipeh padi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan, juga telah di analisis oleh Hukum Islam dan juga telah dipahami secara dalam disimpulkan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan upah kipeh padi yang terjadi di Kenagarian Barung-Barung Balantai Selatan, yaitu setelah petani panen atau beberapa hari akan panen, maka petani akan pergi ke rumah pekerja dan meminta pekerja untuk mengerjakan padinya sesuai dengan hari yang telah ditentukan, setelah pekerja selesai bekerja maka pekerja akan pulang dan upahnya akan diberikan satu, dua atau tiga minggu kemudian.

2. Pandangan pekerja, pekerja menganggap bahwa cara pembayaran yang demikian itu, telah biasa terjadi dan baginya mau gimana lagi, terkadang ia merasa hak dikurangi oleh pemilik padi walaupun itu hanya beberapa orang saja.

3. Bagi pemilik padi itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi, karena sudah dari dulunya memang seperti itu cara pembayaran upah kepada pekerja.

4. Pandangan Hukum Islam terhadap pembayaran upah kipeh padi yang dilakukan oleh masyarakat Barung-Barung Balantai Selatan adalah Sah, karena telah terpenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Akan tetapi ada beberapa atau sebagaian petani yang tidak jujur dalam pembayaran upah atau mengurangi hak pekerja maka upah mengupah yang demikian adalah fasid.

Akan tetapi penulis melanjutkan membahas mengenai upah mengupah ini dengan teori urf karena ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan setelah dianalisis maka kebiasaan yang

dilakukan oleh masyarakat Barung-Barung Balantai Selatan adalah urf Fasid .

2. Saran

Masyarakat Nagari Barung-Barung Balantai Selatan Merupakan masyarakat Muslim seluruhnya dan Islam selalu mengatur segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam hal upah mengupah, dalam hal ini Islam sudah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi baik oleh pemilik maupun oleh pekerja.

Kepada pemilik padi hendaklah memberikan kejelasan kepada pekerja, bahwa dalam pembayaran upah itu harus disaksikan langsung oleh pekerja dalam penghitungan padi tersebut, biar tidak ada kesalah pahaman atau pekerja merasa haknya dikurangi,

Dokumen terkait