• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang Esai tentang dampak (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tentang Esai tentang dampak (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG ESAI

Oleh Suantoko

Disajikan dalam Diklat LPM Universitas PGRI Ronggolawe Tuban

Kata kunci pada bentuk tulisan esai adalah adanya faktor analisis, interpretasi, dan refleksi. Karakter esai, umumnya non teknis, non sistematis, dengan karakter dari penulis (unsur subjektivitas) yang menonjol. Hal inilah yang membedakan esai dengan artikel dan opini yang lain. Esai lebih mengutamakan faktor analisis secara individual. Sementara artikel lebih mengutamakan analisis dengan bantuan teori atau disiplin ilmu tertentu. Pada bentuk tulisan opini, pendapat pribadi penulis (bukan analisis) lebih diutamakan.

Tidak semua wartawan dan sastrawan mampu menulis artikel dan feature. Kedua, tidak semua penulis artikel, feature, dan sastrawan mampu menulis esai. Hanya sedikit wartawan dan sastrawan yang mampu menjadi penulis esai. Sebab bentuk tulisan ini termasuk yang paling sulit dikuasai. Namun penulis esai, hampir selalu bisa menulis artikel dan feature dengan cukup baik. Tingkat kesulitan esai, terutama disebabkan oleh karakternya yang non teknis dan non sistematis. Hingga kekuatan esai hanyalah tertumpu pada daya analisis, refleksi dan karakter pribadi si penulis. Karenanya, teknik menulis esai dari seseorang, akan sulit untuk dipelajari dan ditiru oleh penulis lain. Sementara teknik menulis artikel dan feature dari seorang penulis kenamaan, bisa dipelajari dan ditiru oleh penulis pemula.

Seorang penulis esai, dituntut memiliki tingkat kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual di atas rata-rata. Seseorang yang cerdas secara intelektual, lebih cocok untuk menjadi penulis artikel. Mereka yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual dan emosional tinggi lebih pas menjadi penulis feature dan opini. Kalau kecerdasan intelektual dan emosional itu ditambah dengan kecerdasan spiritual dan pengetahuan serta wawasan luas, maka dia bisa menjadi penulis esai yang baik.

Sebagai sebuah tulisan, esai juga menuntut adanya judul, etalase, lead, body dan ending. Namun struktur secara keseluruhan tidak seketat dan sebaku pada artikel dan feature. Justru karena tidak adanya kebakuan tersebut, maka sebuah esai dari penulis kenamaan, sulit untuk dipelajari dan dicontoh oleh penulis pemula. Karakter esai yang non teknis dan non sistematis menjadi kendala untuk membakukan struktur penulisannya.

Kekuatan Individu dalam Esai

Kekuatan karakter individu penulis, diperlukan dalam semua bentuk tulisan, mulai dari news, reportase, artikel dan feature. Namun bentuk-bentuk tulisan tersebut memiliki teknik dan sistematika yang jelas. Karenanya, penulis yang tidak terlalu kuat pun, tetap bisa menghasilkan news, reportase, artikel dan feature yang baik. Dalam esai, kekuatan individu lebih diperlukan karena tidak bakunya teknik dan sistematika.

Yang dimaksud sebagai kekuatan individu, terutama adalah faktor tingkat kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang di atas rata-rata. Namun kekhasan dari masing-masing individu akan sangat menentukan kualitas esai yang dihasilkan. Karakter khas yang kuat ini diperoleh bukan karena faktor teknik melainkan karena muncul dari dalam diri si penulis.

Kekuatan karekter individu, bukan diperoleh dari pendidikan formal, melainkan dari kekayaan pengalaman hidup, bacaan yang luas dan lingkungan pergaulan yang beragam. Meskipun faktor genetik, juga ikut pula mempengaruhi kekuatan karekter individu seseorang. Namun tanpa kekayaan pengalaman, luasnya bacaan dan variasi pergaulan, karakter dasar serta pendidikan formal belum merupakan jaminan kekuatan individu seseorang.

Di samping itu, skil tetap diperlukan dalam penulsan esai, namun hal tersebut bukan merupakan faktor utama. Sebab apabila skil yang diutamakan, maka esai yang dihasilkan justru akan merosot kualitasnya. Sebab esai justru diharapkan tidak dihasilkan sebanyak artikel, feature dan lebih-lebih news.

(2)

perenungan. Meskipun fungsi tiga bentuk tulisan ini berbeda, kekhasan dalam setiap bentuknya menjadi sebuah pencerahan bagi pembaca.

Sekadar Contoh Esai

Tahun Baru, Menjadi Dungu

Oleh: Suantoko

Apa yang diperoleh dari merayakan malam tahun baru? Sampai rela berdesak-desakan di antara keramaian alun-alun kota? Sungguh mengherankan badan, pra perayaan tahun baru atau lebih dikenal dengan ucapan happy new year’s. Ucapan yang tidak hanya melalui telepon, facebook, mms, Twitter, sms, atau E-Mail, tetapi juga melalui knalpot blong. Ucapannya memang benar bagus untuk menjalani kehidupan pada tahun yang baru. Meninggalkan segala kejenuhan pada tahun yang lama. Yang membuat jelak itu, ucapan knalpot blong itu lho. Memekakkan telinga. Apa hasilnya dari perayaan malam tahun itu? Apakah yang didapatkan setelah knalpot blong? Kesenangan, ketentraman hidup, atau besuk pada tanggal 1 Januari pada tahun yang baru, bisa langsung mengubah nasib?

Hal yang lumrah di kota-kota di Indonesia, baik distrik maupun pusat. Fenomena tahunan, perayaan tahun baru sudah mejalar di masyarakat. Baik itu masyarakat kota, ataupun masyarakat desa yang berbondong-bondong ke kota. Bahkan rela berdesak-desakan menunggu antrian arus macet. Memang ada segi positifnya bagi masyarakat desa untuk mengenal “kericuhan” kota pada malam pergantian tahun. Bak kicauan kelelawar dan codot bersahutan mencari makan pada malam hari. Walaupun harus berdesak-desakan demi melihat kembang api pada pukul 00.00. suatu malam menandakan pergantian tahun, untuk menyambut tahun yang baru, bulan baru, tanggal baru, tetapi nasib tentu masih sama, tho? Memang ada beberapa pihak yang nyata; telah diuntungkan karena perayaan pergantian tahun. Ini hal yang berbeda dalam pra – perayaan tahun baru tiba. Hal itu juga terjadi pada setiap tahunnya.

Menjelang tahun baru, tentu ada dampak positif juga bagi montir-montir bengkel. Dampak positif itu didapatkan, karena orderan memodifikasi motor atau mobil untuk merayakan tahun baru. Terutama memodifikasi raungan knalpot yang menggelegar. Meskipun harus merugikan dan berdampak negatif terhadap sepasang telinga orang-orang yang mendengarkannya. Hal itu tidak apa-apalah montir-montir itu hanya menjalankan kewajibannya. Bagi pemilik motor juga tidak apa-apa, karena itu juga motornya sendiri. Asal tidak motor pinjaman saja yang dipreteli. Lantas apa yang menjadi problematika sosial masyarakat? Kemudian menimbulkan permasalahan baru dalam perayaan tahun baru.

Tidak lain adalah rasa tenggang rasa, kepada sesama manusia. Itu yang terlupakan. Mengapa terlupakan? Hal itu terjadi karena giliran ada orang sembahyang, penunggang raungan knalpot seakan tidak punya nalar. Padahal itu di depan tempat ibadah. Aktivitas raungan knalpot di jalan raya, juga menghambat arus lalu lintas. Heran juga dengan keadaan ini, seakan menjadi kecanduan tiap tahun. Setelah knalpot diraungkan, apa manfaatnya? Kesenangan, ketentraman, kenyaman, setelah membuat telinga orang-orang pekak? Terus membuat nenek-kakek tidak bisa tidur, karena lantunan irama knalpot itu ditiup mesin? Tidak ada manfaatnya, apa yang dilakukan itu. Malah, merugikan orang-orang di sekitar dentuman knalpot. Apalagi kalau ada orang ngilu sakit gigi. Wah, bisa-bisa muntah kata-kata kotor, atau lebih dikenal orang jawa dengan kata sosot

(3)

Di Indonesia, mengingat masyarakatnya yang multikultur, banyak juga tahun baru yang ada dalam masyarakat, separti tahun baru Jawa, Tahun baru Hijriah, Tahun baru Saka, tetapi mengapa tahun baru Masehi ini, begitu mencandu perayaannya dalam masyarakat? Kalau tahun baru yang lain, biasanya perayaan tahun baru dilaksanakan secara sakral dan hening, baik itu puasa atau tirakatan. Semedi merefleksi diri, tentang hakikat hidup pada tahun yang lama, menuju tahun yang baru.

Tetapi mengapa masyarakat Indonesia tidak melakukan semacam itu, untuk merayakan tahun baru Masehi. Kalau kita runtut adanya tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Lalu umat Kristen meneruskan perayaan tahun baru itu sesuai dengan keputusan konsilitaurs dan ekaristi, kemudian pada tahun 1582, umat Kristen mengubah perayaan tahun barunya dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Sehingga umat krstiani merayakan tahun baru Masehi pada tanggal 1 Januari. Itupun dilakukan dengan ritual puasa. Anehnya, perayaan itu berubah menjadi hura-hura akhir-akhir ini. Bergadang pada jam-jam malam. Tak tentu, tujuan apa yang hendak dicapai dengan merayakan tahun baru itu.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba football. Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan selamat “Tahun Baru” dan menyanyikan lagu Auld Lang Syne.

Sungguh berbeda jauh dengan perayaan tahun baru Masehi yang ada di luar negeri dengan perayaan tahun baru di Indonesia. Perayaan tahun baru di luar negeri terutama di Yahudi, tidak berhura-hura seheboh yang dilakukan di Indonesia, sampai membuat macet arus lalu lintas. Terlihat bahwa dengan keadaan ini, seakan-akan yang didapat dari perayaan tahun baru hanya sebatas kulit ari. Tidak sampai pada daging yang ada dalam kulit tersebut. Substansi dan esensi dari perayaan tahun baru tidak diketahui sama sekali. Makna religious tidak disentuh sama sekali.

(4)

Tanpa ada gemuruh. Jangankan gemuruh knalpot, gemuruh mulut dzikir saja tampaknya sudah jarang. Seolah-olah tidak pernah ada tahun baru lain untuk bangsa Indonesia. Padahal itu adalah tahun baru yang lebih dulu ada dalam tanah air Indonesia.

Nah ini, kemudian memunculkan atmosfir baru bahwa bangsa sendiri menjajah diri sendiri. Alat jajahan yang digunakan perayaan tahun baru. Dan bangsa Indonesia sendiri yang memainkan senjata itu. Wajar kalau pada malam tahun baru sekan dungu. Coba saja kalau perayaan tahun baru tanpa ada ucapan salam knalpot blong. Kan nyaman. Toh, knalpot blong juga butuh tenaga dan biaya untuk mengubahnya dari produksi pabrik. Ya, wajar saja kalau memakai knalpot blong dilarang masuk kota. Bahkan diuber-uber polisi lalu lintas.

Coba biaya itu dibelikan krupuk dan es teh, kan enak diminum sambil berdiskusi. Selain itu, juga dapat dijadikan ajang merencanakan program satu tahun ke depan. Tanpa harus pawai mengumandangkan raungan knalpot blong. Toh semua sama-sama tenang, baik polisi, tentara, atau muda-mudi yang keluar bersama pacarnya. Tidak harus bersenggolan di jalan raya, kemudian memicu permasalahan, sampai tawuran.

Apakah tradisi keliru menafsirkan guru ini perlu dilanjutkan? Ya, sama-sama tahulah. Ada yang setuju untuk dilanjutkan. Ada yang tidak setuju untuk dilanjutkan. Dua pendapat yang berbeda, itu wajar dalam Negara demokrasi ini. Asal jangan sampai memicu perpecahan, tawuran, karena tahun baru. Jangan sampai karena tahun baru kemudian menjadi dungu. Pengaruh raungan knalpot keliru guru.

Sebisa mungkin tradisi tahunan dengan ritual knalpot blong, diganti dengan puasa tanpa bunyi knalpot dan tanpa pawai arak-arakan motor pretelan. Pasti lebih seru lebih nyaman. Tentunya telinga tanpa gangguan. Polisi juga tidak berdoa supaya hujan pada malam tahun baru, agar jalan-jalan lengang. Kalau memang mau mengikuti guru, marilah mengikuti esensi ajarannya untuk keselamatan umat. Bukan malah menghancurkan telinga saudara dekat. Dengan suara-suara yang tidak jelas.

Alangkah permai nuansa alam Indonesia dalam merayakan tahun baru masehi dengan suasana damai, tenang tanpa konflik. Sehingga kedamaian yang ada tidak hanya ada dalam kantong-kantong individu, tetapi juga alur jalan raya, tidak semerbak dengan kendaraan knalpot blong. Seakan-akan menyesaki dada dan trotoar jalan raya. Begitu juga dengan kendaraan yang biasa lewat, juga bisa berjalan lengang. Tanpa hambatan raungan knalpot dungu.

MENGGAGAS PENDIDIKAN TANPA KASTA Oleh: Suantoko*

(5)

kastanisasi. Fakta tersebut bertolak belakang dengan UUD 1945. Dengan demikian, sebanyak 1300 SBI/RSBI harus kembali menjadi Sekolah Berstandar Nasional (SSN) atau sekolah unggulan biasa tanpa label SBI/RSBI.

Upaya pembubaran ‘kasta pendidikan’ tersebut dilakukan berdasarkan uji materi oleh mereka yang merasa dirugikan atas diberlakukannya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 50 ayat 3 tentang SBI/RSBI. Isi pasal menyebutkan “Jika pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap kota kabupaten atau daerah harus memiliki sekurang-kurangnya satu SBI/RSBI. Padahal, setiap kecamatan diwajibkan memiliki minimal satu sekolah di setiap jenjang pendidikan. Hal ini, memang dirasakan bertentangan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Bagaimana bisa berkembang sekolah-sekolah yang ada di kecamatan, kalau UU tersebut tetap diberlakukan. Mengingat, masyarakat sudah terhegemoni kognisinya dengan citra SBI/RSBI. Yang sengaja diciptakan oleh pemerintah. Ironisnya, citra itu menjadi komoditi yang harus dikonsumsi oleh siapa saja, yang bisa mencapai taraf tersebut. Tentunya, yang mampu mencapai hanyalah orang-orang yang memiliki kekayaan.

Disamping itu, adanya SBI/RSBI dinilai menjadi ladang komersialisme pendidikan, karena di lingkungan semacam itu, rentan sekali terjadi jual beli politik kekuasaan. Hal itu terjadi, karena pembelian citra, merk atau kemasan, dalam lingkup pemikiran masyarakat mengenai SBI/RSBI. Pembeli demi gengsi, dan penjual citra SBI/RSBI, demi rezeki. Sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik, katanya. Bahkan pungutan liar, bebas diperlakukan bagi siswa demi menjaga citra. Tidak ada kata malu untuk dilakukan, agar seluruh aktivitas menjurus pada kondisi taraf internasional.

(6)

Pada hakikatnya, tanpa disadari, adanya SBI/RSBI memunculkan kasta baru. Kasta ini menjadi hangat-hangat kuku yang menarik untuk diperbincangkan. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak memperbincangkan hal semacam itu lebih dalam. Cuma, perlu digarisbawahi bahwa kondisi masyarakat berbudaya dominasi rentan sekali dipersuasi dengan kasta. Ambil saja contoh kelas mobil yang dikendarai masyarakat Indonesia. Ada Carry, Avanza, Civic, Terios, Mercedes Benz BMW, Pajero, dan lain-lain. Merk mobil tersebut ada kelasnya yaitu kelas bawah, menengah, dan atas. Mengapa Terios, Pajero, dan BMW digolongkan kelas atas? Karena ada merk lain, seperti carry yang berada di kelas bawah. Jadi, apabila SBI/RSBI menjadi idola masyarakat, karena citra/merk dagang sekolah, hal ini disebabkan memang ada sekolah-sekolah yang baru saja berkembang di kecamatan-kecamatan (sekolah kelas bawah). Polemik yang terjadi di sekolah tingkat regional kecamatan yaitu jangankan menciptakan SBI/RSBI, menggaet siswa baru pun, sulitnya setengah mati. Wajar saja, kalau adanya sekolah rintisan menciptakan kastanisasi dalam pendidikan di Indonesia, terutama di kota besar. Dan mematikan sekolah di kecamatan-kecamatan.

Proses penciptaan tingkat atau kastanisasi dalam pendidikan, memang perlu dihindari, agar pemerataan pendidikan dapat terjamah. Proses kasta yang ada, tidak sebanding dengan mutual akademik antarsekolah-sekolah secara nasional. Kesenjangan pasti terjadi baik tingkat guru/pengajar sampai tukang cukur kebun. Wajar saja, kalau siswa ikut-ikutan menciptakan kasta atau geng. Seperti halnya, peristiwa maraknya tawuran pelajar tahun lalu. Salah satu pemicunya disebabkan oleh gengsi gede-gedean para siswa melalui kastanisasi di sekolah. Dari fenomena semacam itu, maka alternative lain kiranya perlu diterapkan, agar warisan kasta dari penjajah tidak memburu generasi-generasi muda (dalam hal ini pelajar). Secara tidak langsung, perlakuan semacam itu menimbulkan ranking, yang justru menjatuhkan kualitas pendidikan.

Alternatif Lain Usai Pembubaran SBI/RSBI

Pembubaran SBI/RSBI menuai pro dan kontra, akan tetapi banyak pro-nya daripada kontra. Hal ini terjadi, karena lebih banyak sekolah yang merasa dirugikan dengan SBI/RSBI. Di samping itu, mematikan karakter sekolah yang baru saja dirintis di kecamatan-kecamatan. Maka dari itu, ada alternative lain, kiranya menjadi wacana, yang bisa dialihkan dari SBI/RSBI menjadi SSN. Demi menanggapi Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 tentang RSBI, mengenai kucuran dana khusus bagi SBI/RSBI. Kucuran dana khusus tersebut, bisa dijadikan sarana memeratakan pendidikan secara nasional. Pendek kata, sekolah manapun berhak atas kucuran dana khusus tersebut. Hal itu diwujudkan dengan catatan, lembaga sekolah tersebut memiliki keistimewaan baik prestasi maupun tata kelola. Prestasi akademik maupun non-akademik. Jadi, tidak hanya sekolah idola saja yang berhak menerima, tetapi sekolah ‘kelas bawah’ juga berhak mendapatkan kucuran, baik sekolah swasta maupun negeri, asalkan berprestasi.

(7)

pendidikan yang ada di daerah terfokus pada lokalitasnya. Dengan kalimat lain, menciptakan pendidikan berkualitas, tidak perlu menggebu-menggebu berorientasi standar internasional. Kalau ukuran standar internasional hanya sebatas penguasaan bahasa asing, tata kelola, dan standar proses pembelajaran, untuk apa. Kearifan lokal di Indonesia, bisa dijadikan contoh, tidak perlu harus mengacu pada ‘internasional’. Biarkan taraf internasional yang mengacu pada sistem pendidikan lokal di Indonesia. Jadi, langkah struktur bottom-up education, perlu diterapkan. Pendidikan Indonesia bergerak dari bawah yaitu kekayaan intelektual dari kearifan lokal. Pada prinsipnya, kotak-kotak lokal itulah kalau dikumpulkan bisa menciptakan pondasi taraf internasional. Sejatinya taraf nasional dan internasional, tidak akan ada apabila lokal sebagai penumpunya tidak dapat menopangnya.

Dari fakta dan fenomena semacam inilah, pembubaran SBI/RSBI tidaklah menjadi masalah. kalau toh, memang adanya SBI/RSBI memunculkan kastanisasi, menurut beberapa pihak. Toh, keberhasilan pendidikan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh SBI/RSBI saja. Melainkan beberapa pihak harus dilibatkan, termasuk di dalamnya pemerintah melalui dinas pendidikan, pihak sekolah melalui Kasek, komite sekolah, pengajar, siswa, tukang kebun, dan orang tua. Sinergi dari beberapa pihak itulah, yang bisa menentukan keberhasilan pendidikan di Indonesia.

Tugas bersama, selain merevisi UU Sisdiknas adalah mencari jati diri pendidikan bangsa Indonesia, yang dapat menjadi ruh pendidikan secara inter (nasional). Bangga menggunakan sistem pendidikan yang ada di daerah/lokal, sebetulnya lebih efektif daripada meniru sistem pendidikan Negara lain. Toh, mengimitasi sistem pendidikan dari luar belum tentu relevan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia pada umumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan teremahannya (Bandung: CV Mikraj Khazanah Ilmu, 2013), h.113.. yang lebih mendalam tentang materi-materi yang ada didalam

Epile psi m enurut World Health Organization (W HO) m erupaka n gangguan kronik otak yang m enunjukkan gejala -ge jala berupa serangan yang berulang-ulang yang

Untuk menjembatani antara Mahasiswa dengan Mahasiswa atau antara Mahasiswa dengan Dosen pengampu, sistem eLearning juga menyediakan menu forum yang dapat digunakan

Berdasarkan uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran NHT-CTL memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada NHT dan pembelajaran langsung,

Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran retribusi

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh citra destinasi dan fasilitas wisata terhadap niat berperilaku melalui kepuasan pada Museum

Data primer ini meliputi penyelenggaraan makanan di asrama, karateristik contoh (cabang olahraga, asal daerah, jenis kelamin, usia, tingkat.. pendidikan dan status

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap pemilihan MKJP karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi pemilihan MKJP