• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGURANGAN EMISI GAS RUMAH KACA DI KALB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGURANGAN EMISI GAS RUMAH KACA DI KALB"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGURANGAN EMISI GAS

RUMAH KACA DI KALBAR

1

oleh Dr. Erdi, M.Si

Akademisi FISIP UNTAN, Ketua Prodi IAN

Pengantar

Tiga Gubernur dari Kalimantan, masing-masing Gubernur Cornelis dari Kalbar, Gubernur Agustin Teras Narang dari Kalteng dan Gubernur Awang Farukh Ishak dari Kaltim pada tanggal 15 s.d 18 Juni 2015 mengikuti pertemuan Governor Climate and Task Force (GCF) di Barcelona, Spanyol. Pertemuan ini pada dasarnya adalah tindak lanjut atau implementasi The Rio Branco Declaration (RBD) dari Pemerintah Norwegia yang telah menyediakan dana sebesar US$ 258 juta melalui program Green Climate Fund (GCF) dengan mengikuti model Bappenas (2011) melalui Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

RBD itu sendiri merupakan sebuah komitmen yang lahir dari KTT Bumi Rio de Jeneiro, 1990 yang melahirkan komitmen bersama tentang pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development/SD). Berawal dari KTT Bumi, berlanjut ke Deklarasi Kyoto, 1997 melahirkan The Kyoto Protocol. Kini, komitmen melakukan SD ini dikelola ke dalam satu badan PBB yang disebutUnited Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), dan dikukuhkn dari hasil konfrensi Johannesburg, 2002 serta Konfrensi Bonn, 2008. Salah satu pemerintah yang memiliki komitmen melakukan ini adalah Norwegia dengan mengalokasikan dana GCF untuk merangkul berbagai gubernur di seluruh dunia yang di wilayah mereka memiliki hutan. Dukungan itu kemudian diwujudkan dengan alokasi pembiayaan sebesar US$ 25 juta atau sebesar Rp 334 M (1 US$ = Rp 13.350) kepada setiap pemerintah daerah yang menyatakan siap melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca. Salah satunya adalah implementasi Clean Mechanism Development(CDM) di sector kehutanan. Kini, dana SD yang disebut

(2)

the Rio+20 fund ini telah mencapai lebih dari US$ 513 milyar dan siap dialokasikan ke berbagai Negara berkembang dalam bentuk komitmen melaksanakan SD di bidang energi, transportasi, ekonomi hijau, pengurangan bencana, kekeringan, air, hutan dan pertanian (Lundqvist dan Biel, 2007). Indonesia, selain memiliki peluang implementasi untuk semua bidang di atas, juga menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan CDM, meskipun masih problematic (Erdi, 2003).

Seperti juga RDB, sebanyak 42 pemerintah anggota UNFCCC yang disebut The Annex 1 (Norwegia, Finlandia, Austria, Denmark, Inggris, USA dll); memiliki program yang hampir sama dengan GCF untuk melaksanakan CDM di Negara berkembang yang tergabung ke dalam The Non-Annex I, yang saat ini telah beranggotakan sebanyak 154 negara, termsuk Indonesia. Oleh karena itu, sukses implementasi GCF di Kalbar akan berimbas pada program serupa dari Negara The Annex 1 lainnya pada masa berikutnya. Untuk itu, Kalbar harus sukses melaksanakan program CDM seperti format Norwegia hingga 2020. Salut dan Sukses pula untuk masyarakat Kalbar dan Gubernur Cornelis!

Potensi Implementasi

Untuk mencapai sukses implementasi program GCF melalui CDM di Kalbar, paling tidak perlu dilakukan identifikasi daerah potensi yang diharapkan memiliki peluang sukses di atas 85%. Dari panduan UNFCCC, paling tidak ada 4 kriteria lokasi potensi untuk implementasi CDM, yakni bebas penebangan (free cutting), bebas bakar (free burning), kearifan local (local wisdoms) masyarakat yang eksis dalam menjaga hutan; dan terdapat institusi setempat (local institution) yang menjadi naungan bagi anggota untuk melaksanakan SD (Harris, 2007).

(3)

Program CDM tidak mentoleransi adanya penebangan dan pembakaran selama masa kontrak (hingga 2020). Kedua aktivitas ini dianggap haram dan pihak donasi selalu memantau keberlanjutan program melalui satelit udara mereka dan bahkan hingga visitasi ke lapangan dengan waktu yang tidak terjadwal (Kim, 2004). Ketika pihak donator menemukan kedua hal yang haram tersebut, maka program akan dianggap sebagai proyek gagal (failed project) seperti disampaikan oleh Lokey (2009) dan Miah dkk (2011).

Lalu, dimanakah lokasi ideal untuk implementasi CDM dalam konteks GCF tersebut di Kalbar? Data tentang tata ruang lahan Kalbar seperti tersaji pada web Pemprov Kalbar, berdasarkan SK Menhut No. 936/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan di Propinsi Kalimantan Barat tanggal 30 Desember 2013 adalah seluas 554.137 Ha. Di sinilah loksi ideal untuk implementasi CDM. Perubahan peruntukan kawasan hutan yang disebut Land Use and Land-Use Change and Forestry (LULUCF) di Kalbar terjadi tahun 2013 harus eksis hingga 2020. Kini, luas kawasan hutan Kalbar tinggal 9.178.760 ha atau 62,52% dari total luas provinsi (14.680.700 ha). Namun, ketika harus menemukan dimanakah hutan yang sebenarnya, maka lokasinya akan sangat jauh dan akses menuju kawasan hutan masih sangat berat dan terbatas. Lokasi itu kemudian menjadi tak menarik untuk diunjungi pihak donator GCF.

Untuk keberhasilan implementasi CDM dalam kontek GCF, mestilah dihubungkan dengan aktivitas lain tanpa berhubungan dengan penebangan dan pembakaran lahan. Salah satu aktivitas dimaksud adalah menetapkan kawasan itu sebagai kawasan wisata yang sekaligus merancang akses menuju kawasan (Hall dan Higbam, 2005). Sebagai tahap awal, paling tidak terdapat empat lokasi utama yang dapat dipilih untuk implementasi CDM. Keempat lokasi itu adalah (1) Rimba Sayu di Desa Lape, Kabupaten Sanggau; (2) Hutan Rindu Alam di Kota Singkawang, (3) Bukit Kelam di Kabupaten Sintang dan (4) Taman Makan Juang Mandor di Kabupaten Landak. Tiga lokasi yang disebutkan terakhir telah ditetapkan sebagai kawasan cagar dan juga sebagai destinasi wisata. Oleh karena itu, ketika di atas ketiga lokasi ini juga ditetapkan sebagai kawasan untuk implementasi CDM, maka terdapat empat hal penting yang juga akan terjadi (lihat Tribe, 2011).

(4)

hingga 2020 akan tercapai. Ketiga, sebagai destinasi wisata, ketiga kawasan ini akan lebih mudah dicapai dan juga telah terintegrasi ke dalam peta wisata nasional Indonesia. Keempat, seluruh persyaratan GCF: no burning, no cutting, keberadaan institusi local yang telah beraksi dan adanya kearifan local yang didukung masyarakat setempat telah dilakukan dalam pengelolan ketiga kawasan ini. Dengan demikian, potensi ketiga kawasan ini dikatakan tinggi.

Namun, bagaimana dengan Rimba Sayu seluas 800 ha di Desa Lape yang baru ditetapkan sebagai hutan inclave oleh masyarakat adat setempat dan tetap dijaga kelestariannya hingga kini. Oleh karena itu, khusus untuk Pemilihan Rimba Sayu sebagai lokasi implementasi CDM dapat dijadikan sebagai model aksi bagi pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang disinergikan dengan program konservasi nasional seperti dimaksud UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan UU No. 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity. Pembahasan tentang Rimba Sayu sebagai lokasi potensi untuk Implementasi SDM penulis buat tersendiri.

Rimba Sayu Sebagai Lokasi Implementasi CDM

(5)

Kita berharap, implementasi CDM dari dana GCF ini sukses dilaksanakan di Kalbar untuk menunjukkan bahwa Kalbar Hebat dan Kalbar Bisa kepada masyarakat dunia, sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat Kalbar selama ini telah melaksanakan CDM melalui kearifan local pada masyarakat adat yang berada di kawasan hutan.Damai Kalbar dan Lestari!

(6)

Referensi

Adnan, Hasantoha;Djuhendi Tadjudin, E. Linda Yuliani, Heru Komarudin, Dicky Lopulalan, Yuliana L. Siagian dan Dani Wahyu Munggoro. 2008. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR. Bogor.

Bappenas. 2011. Pedoman Pelaksana Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Bappenas RI. Jakarta.

Buckley, Ralf. 2010. Conservation Tourism. CABI Publication. Cambridge.

Erdi, Abidin; Chandra Panjiwibowo; Imran Rachman dan Wisnu Rusmantoro. 2003. From Place to Planet: Local Problematique of Clean Development Mechanism in the Forestry Sector. Pelangi. Jakarta.

Hall, C. Mucheal dan James Higham (Edt.). 2005. Tourism, Recreational and Climate Change (Aspect of Tourism 22). Channel View Publication. Toronto.

Harris, Paul G. (Edt.). 2007. Europe and Global Climate Change: Politisc, Foreign and Regional Cooperation. Edward Elgar. Cheltenham, UK.

Kim, Joy A. 2004. Sustainable Development and the Clean Development Mechanism: A South Case Study dalam The Journal of Environment and Development. Sage Publication No. 13; 201.

http://jed.sagepub.com/cgi/content/refs/13/3/201

Lokey, Elizabeth. 2009. Renewable Energy Project Development Under the Clean Development Mechanism: A Guide for Latin America. Earthscan. London.

Lundqvist, Lennar J dan Anders Biel (Edt). 2007. From Kyoto to the Town Hall: Kaming International and National Climate Policy Work at the Local Level. Earthscan. London.

Miah, Md. Donesh; Man Yong Shin dan Masao Koike. 2011. Forest to Climate Change Mitigation: Clean Development Mechanism in Bangladesh. Springer. London.

Tribe, John. 2011. The Economics of Recretion, Leisure and Tourism. Elsevier. Amsterdam.

Referensi

Dokumen terkait

subtilis diikuti dengan penyemprotan tanaman pada umur 4 dan 5 MSS dengan agens hayati F2 menurunkan tingkat keparahan HDB pada padi dari 0% (kontrol positif

apakah pembelajaran matematika realistik menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan mekanistik pada siswa yang

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyampaikan informasi bahwa WPR No…….. 2) tidak digunakan oleh Pemegang Rekening Giro karena rusak/hilang/………. 5) Penyalahgunaan

Nama Pengguna Anggaran/ Pejabat Pembuat Komitmen : Kepala Badan Keluarga Berencana Kota Makassar. Masa berlakunya penawaran : 17 ( Tujuh belas ) hari kalender sejak

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Direktorat Sabhara Polda Jateng akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Tentu saja keinginan pemerintah untuk menanggung bersama-sama dengan Lapindo mendapat reaksi keras dari Paul Sutaryono, yang mengatakan bahwa seharusnya pemerintah

Penulis ingin memberikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini maupun

Gambar 4 (a) menunjukkan Moran Scatterplot tahun 2012, diketahui bahwa Kabupaten Sanggau masuk pada kuadran I ( High-High ) yang menunjukkan wilayah bernilai