• Tidak ada hasil yang ditemukan

0 Budaya Indonesia Yang Pernah Di Klaim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "0 Budaya Indonesia Yang Pernah Di Klaim"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

10 Budaya Indonesia Yang Pernah Di Klaim Malaysia Belantara Indonesia on 22.15

SHARING YAA Tweet

Indonesia negara yang kaya akan budaya dan aneka ragam kekayaan lainnya. Semua yang dimiliki Indonesia tentu menjadi kebanggaan rakyatnya yang jumlahnya ratusan juta berjajar di pulau - pulau yang jumlahnya juga ribuan. Tetapi seiring itu, kabar tidak sedap pun berhembus, bahwabudaya Indonesia di klaim oleh negara tetangga, Malaysia.

Sedih, marah, bingung. Tetapi lebih baik kita mencintai budaya Indonesia dengan terlebih dahulu mengenalnya. Dan inilah 10 budaya Indonesia yang pernah di klaim Malaysia. Dan seharusnya Malaysia menggunakan Comprar Viagra

1. Batik

Kepemilikan batik sebagai warisan budaya tak berbenda menggelinding setelah Malaysia mengklaim sebagai warisan nenek moyangnya. Untuk mengakhiri polemik, Pemerintah Indonesia akhirnya mendaftarkan batik ke UNESCO untuk mendapatkan pengakuan

3 September 2008 sebagai titik awal proses Nominasi Batik Indonesia ke UNESCO. Namun baru diterima secara resmi oleh UNESCO pada 9 Januari 2009. UNESCO kemudian melakukan pengujian tertutup di Paris 11-14 Mei 2009. Hasilnya, 2 Oktober 2009, UNESCO mengukuhkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Batik adalah milik

Indonesia Malaysia tak berhak lagi mengklaimnya.

2. Lagu Rasa Sayange

Polemik klaim lagu "Rasa Sayange" cepat berakhir. Pemerintah Malaysia sendiri yang mengakhirinya. 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim mengakui bahwa Rasa Sayange

adalah milik Indonesia.

3. Reog Ponorogo

Usai mengklaim Lagu Rasa Sayange, perilaku Malaysia yang suka mengklaim budaya Indonesia berlanjut. Namun masalah ini tidak berlanjut ke UNESCO karena Pemerintah Diraja Malaysiamelakukan klarifikasi. Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zainmembantah bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo. Reog Ponorogo sendiri kata dia bukan sebagai budaya asli negaranya.

4. Wayang Kulit

Malaysia pernah mengklaim wayang kulit sebagai budayanya. Padahal sudah jelas wayang kulit ini adalah budaya khas Jawa. Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 27 November 2003, sebagai karya

kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi.

5. Kuda Lumping

Tarian ini berasal dari Jawa. Namun, orang - orang Jawa mewariskannya kepada anak - anaknya yang sudah menetap di Malaysia sehingga diklaim sebagai budaya warisan negeri Jiran.

6. Rendang Padang

(2)

7. Keris

Keris merupakan salah satu senjata para raja Majapahit. Wilayah yang paling banyak memakai keris adalah Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Sulawesi. Malaysia tak bisa mengklaimnya karena sejarah membuktikan bahwa budaya Indonesia.

Bukti keris merupakan budaya Indonesia terdapat di Candi Borobudur. Dalam satu panel relief Candi Borobudur ( abad ke - 9 ) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris.

8. Angklung

Angklung adalah budaya khas dari masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Warisan leluhur ini juga pernah diklaim oleh Malaysia. Polemik klaim Malaysia berakhir setelah alat musik ini terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia di UNESCO sejak November 2010.

9. Tari Pendet dan Tari Piring

Kedua tari yang berasal dari Pulau Sumatera ini juga pernah diklaim Malaysia. Tari piring adalah salah satu seni tari tradisional di Minangkabau yang berasal dari Kota Solok, Provinsi Sumatera Barat. Sementara Tari Pendet dari Bali. Namun yang paling menonjol klaim Malaysia pada Tari Pendet. Sebab tari ini dijadikan sebagai iklan promosi kunjungan ke Malasyia “Visit Malaysia Years”.

10. Gamelan Jawa

Gamelan Jawa merupakan alat musik khas Jawa yang terdiri dari berbagai macam alat musik. Selain bonang, gong, ada pula rebab dan alat musik lainnya yang biasanya mengiringi wayang.

KINI, ADA BEBERAPA BENDA ATAU MAKANAN KHAS INDONESIA SUDAH DI KLAIM YAITU : NASI GORENG, GAMELAN, CENDOL DAN ADA BEBERAPA LAGI. Entah apalagi nanti, mungkin Belantara Indonesia jadi Belantara Malaysia!

Apa itu Warisan Budaya Takbenda?

”Warisan budaya takbenda” meliputi segala praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan--serta alat-alat, benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya--yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan budaya takbenda ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan kembali oleh berbagai komuniti dan kelompok sebagai tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta sejarahnya, dan memberikan mereka rasa jati diri dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan daya cipta insani.

Wujud Warisan Budaya Takbenda?

“Warisan budaya takbenda”, diwujudkan antara lain di bidang-bidang berikut:

a. tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda; b. seni pertunjukan;

c. adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan;

d. pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; e. kemahiran kerajinan tradisional.

Apa itu Registrasi Warisan Budaya Takbenda Nasional?

Registrasi Warisan Budaya Takbenda Indonesia mencakup pendaftaran dan pencatatan unsur budaya menjadi warisan budaya masyarakat, kemudian dilakukan penetapan sebagai upaya pelindungannya. Hal ini merupakan bagian dari upaya pelestarian warisan budaya takbenda agar dapat memantapkan jatidiri bangsa, dan juga dapat memperjelas asal usul unsur budaya yang terdapat di wilayah Indonesia.

(3)

Untuk mendokumentasi seluruh unsur budaya di Indonesia guna mempertahankan nilai dan makna dari unsur budaya tersebut demi keberadaannya bagi generasi penerus bangsa.

Apa saja yang harus dicatat?

Hal-hal yang harus dicatatkan dalam warisan budaya takbenda adalah nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang mengungkapkan gagasan dan perilaku masyarakat pendukung dari unsur kebudayaan, meliputi sejarah atau asal usul unsur budaya, komunitas pendukung, deskripsi terkait unsur budaya yang mengungkapkan pentingnya nilai-nilai budaya dalam unsur budaya tersebut, hal-hal yang telah dilakukan untuk pelindungan, pengembangan dan pemanfaatannya, dan hal-hal yang akan dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kelestarian unsur budaya tersebut.

Mengapa Perlu didaftar dan dicatat?

Warisan budaya takbenda dicatat agar masyarakat mengetahui, mengenali, menyadari dan melestarikan warisan budaya takbenda Indonesia. Warisan Budaya takbenda penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.

Siapa yang harus mendaftar? Seluruh masyarakat Indonesia.

Pencatatan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) seperti komunitas pendukungnya dan masyarakat Indonesia.

Bagaimana Cara Melestarikan?

Warisan Budaya Takbenda Indonesia merupakan bukti perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, untuk melestarikannya adalah mengetahui, mengenali sehingga terbangun rasa memiliki dan menghargai warisan budaya tersebut. Seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang”. Selanjutnya pelestarian terhadap warisan budaya takbenda dapat dilakukan dalam bentuk pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Perlindungan berarti tindakan yang bertujuan menjamin kelestarian warisan budaya, misalnya secara hukum atau melalui peraturan dan kebijakan terkait warisan budaya takbenda, dokumentasi, penelitian, dan pendidikan. Setelah itu, perlu dilakukan pengembangan yang dapat dilakukan melalui pengemasan dan promosi. Untuk lebih dapat dirasakan oleh masyarakat, waisan budaya takbenda dapat dimanfaatkan dalam berbagai bentuk seperti pemanfaatan pariwisata, sosial, keagamaan, ekonomi, internalisasi nilai dan diplomasi budaya. Seluruh upaya tersebut harus tetap memegang prinsip pelestarian yang tidak merusan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia

Salah Kaprah Paten Budaya & Tentang Hak Paten dan pendaftaran Budaya ke UNESCO

7 Juni 2012 pukul 21:16

Tulisan di Kompas tentang Klaim Budaya :

SALAH KAPRAH PATEN BUDAYA

KOMPAS, Jumat, 9 Oktober 2009 | 03:44 WIB Oleh Arif Havas Oegroseno

Tajuk Rencana Kompas (3/10) berjudul "Batik Milik Dunia" berisi: "Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional" . Pernyataan ini sangat mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.

Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.

(4)

Jadi, pernyataan "perlu mematenkan seni budaya" adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi pemahaman oleh media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung. Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa produk budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur Banten yang akan mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).

Distorsi ini sangat berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara terus-menerus, akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim orang lain, tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan paten.

Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem

perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat diklaim siapa saja.

Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini

kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?

Dalam narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia, disebutkan "Wayang stories borrow characters from Indian epics and heroes from Persian tales". UNESCO menyatakan kita meminjam budaya orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim? Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.

Solusinya

Pertama, media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar untuk menyajikan substansi yang benar tanpa takut kehilangan rating. Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham masalah-masalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.

Ketiga, database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi kategorisasi sesuai standar Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini dilindungi instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta yang meniru seni budaya Indonesia.

Kelima, Indonesia bersama negara-negara berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan menegosiasikan suatu instrumen hukum internasional yang akan mengatur perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan sumber genetika.

Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang cerdas.

Arif Havas OegrosenoAlumnus Harvard Law School

TENTANG HAK PATEN DAN PENDAFTARAN BUDAYA KE UNESCO

Posted: September 12, 2009 in KEBUDAYAAN, NASIONALITAS DAN KENEGARAAN 2

Karena kurangnya pemahaman tentang hak paten, hak cipta, serta hak-hak lain dalam ranah hak kekayaan intelektual, seseorang menjadi mudah terprovokasi mengenai isu terkait hak paten atas suatu budaya oleh bangsa lain yang dinilai tidak berhak. Ketika berbicara dalam konsep suatu kesenian, ilmu pengetahuan, dan karya sastra, maka yang

dibicarakan adalah mengenai hak cipta. Hak cipta hanya dapat dicantumkan pada suatu karya apabila jelas identitas penciptanya. Selanjutnya, hak cipta tersebut juga memiliki batas waktu, yakni sekian puluh tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Dengan demikian, produk-produk budaya yang tidak jelas penciptanya karena sudah diwariskan secara turun-temurun tidak dapat dilindungi dan diklaim dengan menggunakan hak cipta.

(5)

teknik baru dalam membuat batik, untuk melindungi hak kepemilikan saya atas teknik yang saya temukan tersebut, saya dapat mengajukan hak paten, tetapi bukan hak cipta.

Untuk budaya-budaya Indonesia yang juga dimiliki oleh Malaysia, karena latar belakang sejarah antara keduanya, yang tidak dapat diketahui siapa penciptanya, tentu saja tidak Malaysia, tidak pula Indonesia memiliki kewenangan untuk mencantumkan hak cipta pada bentuk kebudayaan tersebut. Nah, apalagi hak paten, karena penggunaan istilah “hak paten” saja sudah tidak sesuai pada mestinya. Lagi-lagi, perlu bagi kita untuk menelaah kembali informasi yang sampai pada diri kita sekalian, apakah suatu fakta senyatanya atau hanya provokasi media. Termasuk pula, rangkaian tulisan yang saya publikasikan ini.

Sejumlah pihak bersorak-sorak gembira merasa menang, karena telah berhasil mendaftarkan wujud kebudayaan bangsanya ke UNESCO. Siapa cepat, dia yang dapat. Kira-kira demikianlah semboyan yang mampu menggambarkan gejala tersebut. Berita mengenai pendaftaran beberapa budaya Indonesia, seperti keris, batik, wayang kulit, dan sebagainya ke UNESCO yang dipublikasikan di seluruh media, saya rasakan membentuk persepsi yang kurang tepat mengenai hakikat mendaftarkan budaya ke UNESCO.

Dalam salah satu berita yang dimuat oleh Portal Nasional Republik Indonesia (http://www.indonesia.go.id) pada tanggal 6 Agustus 2008, disebutkan bahwa Forum Masyarakat Batik Indonesia (FMBI) telah sepakat untuk mendaftarkan batik ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Selanjutnya, seperti disiarkan oleh Kantor Berita Antara tanggal 7 September 2009, batik akhirnya akan terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh Indonesia melalui rangkaian acara yang berlangsung pada tanggal 28 September hingga 2 Oktober 2009 di Arab Saudi nanti. Nampaknya hal tersebut membangkitkan euforia tersendiri di kalangan pembaca berita yang bersimpati terhadap “kejahatan pencurian” kebudayaan Indonesia oleh Malaysia.

Masalahnya adalah, saya menyangsikan orang-orang yang mengalami euforia setelah membaca berita tersebut benar-benar memahami isu yang sebenar-benarnya terjadi. Bahkan mungkin, lagi-lagi persepsi keliru telah tertanam (atau

barangkali ditanamkan) pada kepala kita, seluruh warga negara Indonesia. Kalimat terakhir masih merupakan anggapan imatur saya yang belum terbukti. Namun demikian, apabila ternyata para pembaca sekalian melalui berita yang

disampaikan di media kemudian membentuk anggapan bahwa Indonesia mendaftarkan beberapa kebudayaannya ke UNESCO adalah untuk ‘mematenkan’ budaya secara internasional sehingga dunia mengenal bahwa Indonesia merupakan pemilik dari warisan budaya tak benda tersebut, maka anggapan imatur saya di atas terbukti benar. Penasaran? Silakan mengikuti kelanjutan tulisan saya.

Seperti yang telah diketahui bersama oleh generasi saya sejak bangku Sekolah Dasar, UNESCO merupakan badan dunia yang mengurus kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Fokus kerja UNESCO dalam bidang

kebudayaan yang mengurus ihwal pendaftaran suatu bentuk kebudayaan menjadi warisan budaya tak benda yang saya dikemukakan dalam informasi di atas adalah Intangible Cultural Heritage (situsnya dapat diakses

melalui http://unesco.org/culture/ich, silakan dikunjungi apabila berkenan).

Apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh ICH sehingga sampai repot-repot mengurusi berbagai warisan budaya tak benda di seluruh dunia?

Warisan budaya tak benda (terjemahan bebas bahasa Indonesia untuk intangible cultural heritage) didefinisikan sebagai berbagai praktik, representasi, ekspresi, serta pengetahuan dan keterampilan masyarakarat, kelompok, atau dalam beberapa kasus, seseorang, yang dikenal sebagai warisan budaya mereka. Warisan budaya tersebut merupakan dorongan utama keanekaragaman budaya yang keberlangsungannya merupakan jaminan atas kreativitas yang terus berlanjut, yang diwujudkan dalam antara lain: ekspresi dan tradisi oral termasuk bahasa; kesenian termasuk sandiwara, musik, serta tarian tradisional; festival, ritual, serta praktik adat lainnya; pengetahuan dan praktik yang berhubungan dengan alam dan dunia; dan kerajinan tradisional.

Saya terjemahkan dari situs resminya, bahwa Intangible Cultural Heritage (ICH) merumuskan tujuan kegiatannya untuk:

1. Menjaga warisan budaya tak benda;

(6)

3. Meningkatkan kesadaran lokal, nasional, serta internasional mengenai pentingnya warisan budaya tak benda, dan apresiasinya satu sama lain; sehingga

4. Memberikan kerjasama dan bantuan internasional.

Pada dasarnya, kegiatan lembaga ini adalah memfasilitasi kelestarian warisan budaya tak benda dengan meningkatkan kesadaran hingga skala internasional, sehingga warisan budaya tak benda tersebut senantiasa lestari dan terjaga hingga akhir zaman. Hingga saat ini telah ada dua warisan budaya tak benda yang telah didaftarkan Indonesia dan masuk ke dalam kriteria intangible cultural heritage, yakni keris dan wayang kulit. Menyusul nanti, batik juga akan dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya tak benda.

Apa konsekuensi dari pendaftaran tersebut? Apakah lantas Indonesia memperoleh ‘hak paten’ internasional untuk keris, wayang kulit, dan batik?

Sejauh yang dapat saya pahami dari situs ICH, jawaban saya untuk pertanyaan di atas adalah: TIDAK. Dalam halaman yang memuat Frequently Asked Questions di situs ICH yang telah saya tuliskan pranalanya di atas, pertanyaan yang terakhir disebutkan di sana tertulis demikian: “Are intellectual property rights dealt with by the 2003 Convention?”

[Barangkali mesti dijelaskan sebelumnya, bahwa fokus kegiatan UNESCO di bidang kebudayaan ini berangkat dari hasil perjanjian atau kesepakatan negara-negara anggotanya dalam menggagas kebudayaan. Perjanjian atau

kesepakatan tersebutlah (selanjutnya akan saya sebutkan dengan istilah Convention) yang menjadi inti penentu seluruh kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini. Convention yang terakhir dilakukan pada tahun 2003 di Paris, dengan judul Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritages, dan menjadi penentu saat ini seluruh kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh ICH. Isi Convention tersebut juga dapat diunduh dari situs ICH.]

Kembali pada pertanyaan di atas, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pertanyaan tersebut menjadi: “Apakah Convention tahun 2003 juga menangani tentang hak kekayaan intelektual?”

Apabila pembaca sekalian mempercayai terjemahan saya, maka jawaban yang tertulis di sana adalah berikut:

“Convention tidak membicarakan mengenai hak kekayaan intelektual atau bentuk perlindungan hukum lainnya, tetapi disebutkan di sana bahwa ketentuannya tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban State Parties (istilah “State Party” mungkin punya maksud untuk merujuk pada lembaga negara yang mendaftarkan warisan budaya mereka atas nama negara yang bersangkutan) yang berasal dari instrumen internasional yang terkait dengan hak kekayaan intelektual. UNESCO akan terus bekerja sama dengan WIPO (World Intelectual Property Organization) yang mempelajari kemungkinan adanya pembuatan instrumen internasional yang mengurusi, antara lain, hak kekayaan intelektual dalam bidang cerita rakyat/warisan budaya tak benda.”

Gagasan dalam jawaban di atas, yang juga dijelaskan dalam Ketentuan Umum Artikel Ketiga dalam Convention 2003, dapat saya interpretasikan bahwa hingga saat ini, Convention tidak menangani isu tentang hak kekayaan intelektual atas warisan-warisan budaya tak benda yang didaftarkan ke ICH. Namun demikian, UNESCO akan terus bekerja sama dengan WIPO untuk kemungkinan-kemungkinan adanya pembuatan instrumen internasional yang akan mengurusi hal tersebut, apabila nantinya memang ada warisan budaya tak benda yang telah dilindungi oleh hak kekayaan intelektual yang terdaftar di ICH. Para pembaca yang dapat memberikan interpretasi yang lebih baik dan benar untuk jawaban berbahasa Inggrisnya atau versi terjemahan saya, mohon untuk menuliskannya pada kolom komentar di bawah. Terima kasih.

Telah jelas di sana, apabila ketika mendengar kabar bahwa keris, batik, serta wayang kulit telah didaftarkan ke UNESCO, para pembaca sekalian beranggapan bahwa Indonesia pada akhirnya memiliki hak kepemilikan alias “paten” atas ketiga wujud kebudayaan tersebut, maka kesimpulan yang dapat saya tarik (lagi-lagi) adalah: persepsi publik yang keliru. Namun, kalaupun pembaca selama ini memegang persepsi yang keliru, saya tidak akan sepenuhnya menyalahkan pembaca sekalian, karena bahkan media elektronik resmi berkala nasional pun menyebutkan dengan jelas dalam salah satu beritanya sebagai berikut (dalam versi online news):

(7)

Lantas, kalau bukan untuk mengusahakan hak kepemilikan budaya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh UNESCO melalui ICH? Telah saya sebutkan di atas, bahwa pada dasarnya, ICH memfasilitasi kelestarian warisan budaya tak benda dengan meningkatkan kesadaran hingga skala internasional, sehingga dapat memunculkan kerjasama dan bantuan internasional untuk mengusahakan kelestarian warisan budaya tak benda tersebut.

Untuk meyakinkan pembaca, saya akan menunjukkan salah satu kegiatan yang sudah dilakukan setelah wayang kulit terdaftar sebagai warisan budaya tak benda di ICH, yakni Wayang Puppet Theatre Safeguarding Project yang dimulai sejak bulan Januari 2005 hingga Desember 2007. Proyek tersebut menjadi tanggung jawab perwakilan UNESCO di Jakarta, dan didanai oleh Japan Fund-in-Trust senilai 149.986 dollar AS. Kegiatan yang dilakukan melibatkan

organisasi SENA WANGI dan PEPADI, untuk detail dari program tersebut silakan mengunduh summary description of the project-nya yang berupa file berformat .doc dari situs ICH di atas.

Sekarang, ada pertanyaan yang hendak saya kedepankan, apakah berbagai bentuk budaya yang telah menjadi tradisi turun-temurun (hingga tidak dapat diketahui lagi siapa penciptanya) misalnya batik, perlu dibuat hak cipta atau perlindungan hukumnya hingga tingkat internasional?

Ketika berbicara dalam acara bedah buku Menjadi Bangsa Pintar, Guruh Soekarno Putra, seniman Indonesia yang juga merupakan putra dari Ir. Soekarno, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus bangga karena telah memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia, bukannya justru kebakaran jenggot. Guruh Soekarno Putra lantas memberikan contoh budaya Indonesia yang telah menjadi milik dunia, di antaranya pencak silat, candi Borobudur, dan masakan Padang. Menurutnya, seni dan budaya tidak perlu ‘dipatenkan’ karena dapat mengakibatkan pengkotakan pemikiran dan kreasi masyarakat dunia. Disebutkan juga tentang Jepang yang tidak ‘mematenkan’ kimono dan karatenya, juga India yang tidak ‘mematenkan’ kain sari dan musiknya (yang di Indonesia lantas berkembang menjadi dangdut), juga Cina yang tidak mempermasalahkan bahwa barongsai telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia (tidak hanya tradisi milik WNI keturunan Tionghoa).

Namun demikian, agaknya dapat dimengerti ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang memandang batik sebagai tradisi turun-temurun di Jawa, kemudian berpendapat bahwa produk budaya idealnya ‘dipatenkan’ di internasional. Demikian yang terangkum dalam salah satu warta yang diterbitkan oleh Antara News tanggal 25 Agustus 2009.

Analisa Hukum

Sebagai kebudayaan tradisional (Traditional Knowledge) yang turun temurun, maka Hak Cipta seni batik harus dilindungi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yakni "Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya". Dalam penjelasan pasal di atas yang dimaksud dengan folklore adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun termasuk hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.

Lebih lanjut lagi dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta mengenai Ruang Lingkup Hak Cipta, yaitu : "Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan."

(8)

nilai seni, baik pada Ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan."

Walaupun tujuan Pasal 10 ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli, akan sulit (barangkali mustahil) bagi masyarakat tradisional untuk menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan, yaitu :

1. Kedudukan pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya jika dikaitnya dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC. Misalnya, bagaimana kalau suatu folklore yang dilindungi berdasarkan Pasal 10 ayat (2) tidak bersifat asli sebagaimana disyaratkan Pasal 1 ayat (3)? Undang-undang tidak menjelaskan apakah folklore semacam ini mendapatkan perlindungan hak cipta meskipun merupakan ciptaan tergolong folklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan.

2. Suku-suku etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap orang-orang asing yang mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin pencipta karya tradisional, melalui negara cq. instansi terkait.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29972/5/Abstract.pdf

http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/172-diplomasi-juli-2012/1484-mencegah-munculnya-klaim-negara-lain-terhadap-kekayaan-budaya.html

file:///C:/Users/pc/Downloads/72-133-1-SM.pdf

Referensi

Dokumen terkait

perintah Crosstabs digunakan untuk memperoleh jumlah pada nilai-nilai lebih dari satu variabel. • Pada Crosstabs, setiap nilai pada variabel

Menurut mereka media online juga dapat mendorong mereka dalam mencari pertemanan yang baru dengan menggunakan media social, sehingga hal itu juga merupakan salah satu hal

[r]

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah status perusahaan, kepemilikan institusional, leverage, profitabilitas dan tipe industri.. Data yang digunakan dalam

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa