Soft Power dan Kekuatan Nasional
( Achmad Djatmiko )
Konotasi Soft Power
Soft Power adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh Joseph Nye, Jr., dari Universitas Harvard, untuk menggambarkan kemampuan suatu negara dalam menarik dan mengajak (co-opt), dan bukan dengan cara memaksa, menggunakan kekerasan, ataupun memberikan dana untuk mempengaruhi. Belakangan ini, istilah Soft Power juga digunakan dalam membahas terjadinya perubahan dan cara-cara mempengaruhi opini sosial melalui saluran-saluran yang tidak kentara dan pendekatan (lobby), baik di organisasi politik maupun non politik.
Pada tahun 2012, Nye menjelaskan bahwa dengan Soft Power “the best propaganda is not propaganda” (propaganda terbaik adalah bukan
propaganda”, dan juga menjelaskan bahwa “credibility is the scarcest
resource” (kredibilitas adalah sumber yang paling langka). Nye
memperkenalkan istilah ini dalam bukunya, “Bound to Lead: The Changing
Nature of American Power”, (1990). Ia kemudian mengembangkan konsep
tersebut lebih lanjut melalui bukunya, “Soft Power: The Means to Success in
World Politics” (2004). Istilah soft power kini digunakan secara luas dalam ranah hubungan internasional baik oleh para analis maupun praktisi dan negarawan[1].
meningkatkan soft power AS melalui peningkatan anggaran belanja secara dramatis pada aspek-aspek masyarakat sipil dari keamanan nasional seperti: diplomasi, komunikasi strategis, bantuan luar negeri, keterlibatan masyarakat sipil, rekonstruksi dan pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2010, Annette Lu, mantan wakil Pimpinan Taiwan berkunjung ke Korea dan mendukung penggunaan Soft Power sebagai model resolusi konflik internasional. Jenderal Wesley Clark, ketika membicarakan Soft Power, berpendapat bahwa “soft powermemberikan kita jangkauan pengaruh yang jauh lebih luas daripada politik tradisionalbalance of power “
Menurut Survey Monocle Soft Power tahun 2014, saat ini AS merupakan negara yang tertinggi memiliki kemampuan Soft Power, disusul oleh Jerman, Inggeris, Jepang, Perancis, Swiss, Australia, Swedia, Denmark dan Kanada.
Soft Power sering disamakan dengan kekuatan budaya (Cultural Power), meskipun sebenarnya tidak sama persis. Power adalah kemampuan untuk merubah perilaku pihak lain dalam rangka mendapatkan apa yang kita inginkan. Terdapat tiga cara untuk itu: dengan paksaan atau coersion (diistilahkan sebagai “stick”), pemberian bantuan dana(diistilahkan sebagai “carrot”) dan ketertarikan atau attraction (soft power).
Suatu negara yang memiliki Soft Power bisa melaksanakan dalam tiga bentuk: kebudayaan (di tempat-tempat yang bisa menarik kekaguman pihak lain), nilai-nilai politik (ketika nilai tersebut berlaku di dalam dan luar negeri), dan kebijakan luar negeri (jika pihak lain melihatnya sebagai nilai ideal/masuk akal dan memiliki nilai moral).
AS telah menghasilan Soft Power terhadap generasi muda Iran tetapi bukan terhadap yang lainnya.
Adapun kaitannya dengan kakuatan ekonomi (economic power), Soft Power sebenarnya tidak sama. Peter Brooke dari the Heritage Foundation cenderung melihat Soft Powerdalam bentuk antara lain sanksi ekonomi. Kenyataannya hal itu tidak tepat. Bila kita berada pada posisi sebagai pihak yang menerima sanksi, pemberian sanksi jelas dimaksudkan sebagai alat paksaan sehingga ia termasuk dalam kategori hard power. Meskipun demikian, kekuatan ekonomi memang dapat dialih-bentuk menjadi soft power ataupun hard power. Sebuah negara bisa memaksa negara lain dengan sanksi atau membujuk dengan kesejahteraan.
Waler Russel Mead berpendapat bahwa kekuatan ekonomi merupakan sticky power, memiliki kekuaan yang solid dengan daya rekat tinggi; ia dapat meraih apa yang ia ingin raih. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan suatu negara di bidang ekonomi menjadi salah satu sumber daya tarik terhadap negara tersebut. Meski demikian, tidaklah mudah membedakan manakah hubungan dan kerjasama ekonomi yang bisa dikategorikan sebagai soft power dan mana yang hard power. Para pemimpin negara Eropa menggambarkan bahwa keinginan negara-negara Eropa lain bergabung dengan Uni Eropa (UE) merupakan tanda suksesnya soft power Eropa.
Hitler, Stalin ataupun Mao, semuanya memiliki banyak sumber soft power yang melimpah di mata pengikutnya. Tetapi tidak harus diartikan bahwa menggerakkan pikiran dan gagasan yang mereka lakukan lebih baik dibanding penggunaan kekerasan bersenjata. Jika seseorang ingin mencuri uang seseorang lainnya, ia bisa melakukannya dengan ancaman senjata atau dengan cara merayu untuk berinvestasi melalui penawaran skema cepat kaya. Atau dapat juga menggunakan rayuan agar menyerahkan rumahnya dengan alasan sebagai persyaratan spiritual. Cara ketiga adalah melalui soft power namun hasilnya belum dapat dipastikan.
Meskipun soft power berada di tangan pihak yang salah sehingga berpotensis menghasilkan konsekuensi yang buruk, dalam beberapa hal, tetap saja ia menjadi alat yang secara moral lebih unggul dalam mencapai tujuan tertentu. Kita bandingkan konsekuensi hasil perjuangan dari Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr., yang keduanya menggunakan soft power, dengan perjuangan bersenjata Yasir Arafats. Gandhi dan King terbukti mampu menarik banyak pengikut yang moderat sepanjang waktu dengan hasil yang mengesankan dan efektif secara etis. Adapun strategi Arafat dengan menggunakan hard power telah mengakibatkan terbunuhnya banyak korban di kedua pihak baik Palestina maupun Israel, sehingga antara lain telah mendorong kelompok moderat Israel ikut mengangkat senjata melawannya.
suatu negara dari waktu ke waktu. Sebaliknya, ketepatan pengukuran sumber-sumber hard powerjusteru seringkali diragukan dan berpotensi menghasilkan kesalahan fatal karena hanya aspek-aspek penting tertentu saja yang dilihat dan diperhitungkan. Amerika memiliki jauh lebih banyak sarana militer dibanding Vietnam Utara, tetapi terbukti mengalami kekalahan dalam Perang Vietnam.
Jadi, apakah soft power membuahkan perubahan sikap atau perilaku pihak lain seperti yang diinginkan sangat tergantung pada kontek dan keterampilan yang kemudian dapat dihitung dan dianalisis berdasarkan hasilnya.
Kekuatan Nasional
Kekuatan nasional yang utuh meliputi baik hard power maupun soft power dan pengaruhnya terhadap hubungan internasional. Dalam konteks ini, soft power telah dipandang sebagai komponen kekuatan nasional yang sangat penting karena terkait dengan kekuatan yang tidak kasat mata seperti budaya, ideologi dan sistem sosial. Universalitas budaya suatu negara dan kemampuannya menetapkan norma, peraturan dan regim yang mampu mewarnai pola hubungan internasional merupakan sumber utama kekuatan nasional. Meskipun tidak nampak (intangible) keberadaannya dapat diukur dari soliditas bangsa tersebut, popularitas budayanya di mata dunia dan perannya dalam lembaga-lembaga dunia.
Kepercayaan dan dukungan rakyat berasal dari banyak faktor seperti kerekatan nasional, kepemimpinan politik, efektivitas pemerintahan, dan perhatian rakyat terhadap strategi dan kepentingan nasional.
The Institute of Comprehensive Studies di Jepang, dalam mengkaji secara komprehensif mengenai kekuatan nasional Jepang, menemukan adanya 3 faktor penting kekuatan nasional suatu bangsa, yaitu kapasitas bagi dukungan internasional (capacity for international contributions), kemampuan bertahan hidup (survival ability), dan kapabilitas melakukan paksaan (coercive capability).
Kapasitas dukungan internasional mencakup sikap positif terhadap keterlibatannya di berbagai masalah internasional dan keikutsertaan dalam dukungan bagi masyarakat dunia. Kemampuan bertahan hidup mencakup keinginan;/tujuan nasional dan aliansi-aliansi bersahabat. Coercive capabilities menekankan kemampuan negara dalam mengelola hubungan luar negerinya. Sementara konsep ini dikembangkan, Japan’s Comprehensive National Power juga menaruh perhatian terhadap soft power. Dalam konteks ini, tanpa adanya semangat nasional yang kuat, sebuah bangsa tidak akan mampu secara efektif manangani potensi krisis-krisis internasional. Tanpa budaya yang kuat dan memiliki gaung internasional, sebuah bangsa tidak akan memiliki kekuatan ataupun pengaruh dalam berbagai kegiatan internasional[2].
Relations kekuatan nasional adalah “the ability to affect the psychology and behavior of others”.
Sedangkan Hans J. Morgenthau, dalam bukunya Politics among Nations, berpendapat bahwa kebangsaan (nationality), etika nasional (national ethics), kualitas diplomasi(diplomatic quality), dan karakteristik pemerintahan membuahkan kekuatan nasional. Nicholas Spykman, juga berpendapat bahwa hal-hal menyangkut soft power seperti homogenitas nasional (national homogeneity), kerekatan sosial (social comprehensiveness), stabilitas politik (political stability) dan nilai-nilai etika nasional(national ethics) menjadi bagian penting dari kekuatan nasional.
Pendeknya, soft power sebagai salah satu bentuk dari kekuatan mental (mental power), merupakan bagian penting dari seluruh kekuatan nasional. Unsur-unsur kekuatan mental semuanya dalam kategori budaya, yang intinya menyangkut tata nilai. Adapun mengenai unsur-unsur budaya, kebanyakan penjelasan mengesankan kesamaannya dengan soft power. E. B. Taylor, seorang antropolog Inggeris, mendefinisikan budaya sebagai sebuah entitas kompleks meliputi pengetahuan (knowledge), kepercayaan (beliefs), seni (art), moralitas (morality), hukum (law), kebiasaan (custom), dan kemampuan atau kebiasaan yang dimiliki manusia dari lingkungannya.
Dua antropolog Amerika bersikukuh bahwa kebudayaan merupakan sebuah sistem yang secara historis tercipta, baik dalam bentuk yang nyata maupun tersembunyi, dengan berbagai tendensi yang dikukuhi oleh masyarakt secara menyeluruh atau sebagian saja, dalam periode tertentu. Seorang sarjana Jerman menyebutkan bahwa budaya adalah sebuah bentuk kehidupan yang didasarkan pada disiplin mental atau kapabilitas pemikiran.
Yang lainnya berpendapat bahwa karakter dasar dari budaya adalah sebuah kreativitas manusia. Apa yang diciptakan oleh umat manusia, baik berupa material atau mental dan produknya, semuanya termasuk dalam kategori budaya.[4] Denghan demikian, dalam pengertian luas, budaya adalah gabungan dari kekayaan material dan spiritual yang tercipta dalam sejarah masyarakat manusia. Dalam pengertian sempit, budaya adalah ideologi sosial dan sistem dan kelembagaan yang berhubungan, mencakup gagasan, pemikiran dan sistem politik terkait, hukum, moralitas, seni, agama dan pengetahuan.
Diperlukan pembahasan khusus mengenai perannya dalam hubungan internasional dari sudut pandang ideologi dan sifat dasar manusia.
Sumber Diplomasi soft Power Indonesia
Perkembangan hubungan internasional saat ini semakin mengarah pada persaingan soft power masing-masing negara. Tata nilai dan budaya regional dan global tengah dalam proses interaksi menuju tatanan dunia baru berikutnya. Indonesia tentunya harus melibatkan diri dalam persaingan tersebut dengan lebih mendayagunakan sumber kemampuan soft power yang dimiliki. Sebagaimana digambarkan Siswo Pramono, pasar Asia menuntut nilai-nilai bersama yang berkarakter universal sehingga mampu berintegrasi dengan pasar global, dan tetap mempertahankan originalitasnya sehingga tetap berpijak pada identitas budayanya sendiri[5].
India dapat dijadikan contoh kasus. Meluasnya pengaruh besar India di Asia adalah di bidang kebudayaan, bahasa, agama, gagasan dan nilai-nilai, bukan akibat penaklukan berdarah. Tersebarnya Hinduisme dan Buddhisme ke seluruh penjuru Asia mencerminkan keberadaan investasi India di bidang soft power yang telah dimulai sejak permulaan abad ini. India kemudian telah membangun Dewan Hubungan Kebudayaan India (Indian Council for Cultural Relations-ICCR) di negara-negara yang memiliki banyak komunitas diasporanya. Pasar-pasar Asia kini dibanjiri dengan film produksi Bollywood, seni kontemporer India, termasuk dunia model India[6]
as a Foreign Language — NOCFL), semacam TOEFL, telah menyiapkan 10,000 tenaga relawan pengajar untuk mengajar di sebanyak 23 negara.
Tidak berlebihan bila kita dapat membayangkan akan munculnya realitas baru dalam percaturan global bahwa baik India maupun Tiongkok merupakan kekuatan politik global yang sedang tumbuh, dengan mendapatkan sambutan dan dukungan dari negara-negara Asia. Menjadi pertanyaan menarik apakah
India dan Tiongkok layak disebut juga sebagai ‘superpower’ dunia meskipun
dalam format yang berbeda dengan yang dikenal selama ini.
Terinspirasi oleh penggunaan ekstensif soft power dan nilai-nilai budaya India dan Tiongkok, Siswo Pramono menilai pentingnya Indonesia menggali nilai-nilai leluhur bangsa yang telah melekat dengan identitas bangsa hinga sampai sekarang. Siswo menemukan adanya nilai-nilai yang diberi nama ‘pluralisme akomodatif’ (accomodative plurallism). Nilai-nilai ini sungguh kuat sebagai perekat eksistensi dan kesinambungan bangsa Indonesia. Nilai tersebut telah lahir dan dianut sejak masa kejayaan Kerajaan Majapahit (1293-1527) dengan menguasai wilayah dari Samudera (Sumatera Utara) hingga Wanin di pantai berat Papua. Luasnya wilayah yang meliputi seluruh Asia Tenggara mencerminkan kemampuan akomodatif yang dapat dijadikan anutan.
Kuatnya dasar dan sumber soft power Indonesia menjadi landasan untuk secara cermat memberdayakan soft power dalam pergaulan antar bangsa/negara. Sebagaimana dilakukan India dan Tiongkok, Indonesia pun dapat mendirikan semacam Pusat Budaya Indonesia di setiap Perwakilan RI di luar negeri untuk kepentingan jangka panjang. Hal ini sangat dimungkinkan, menjadi bagian dari perhatian dan program kerja kantor Perwakilan RI di luar negeri di semua tingkatan, baik di Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal, Konsulat ataupun Perwakilan Tetap PBB. Hal ini secara praktis tidak akan mengalami kendala karena selama ini kegiatan promosi budaya telah dan selalu dilakukan oleh Perwakilan RI, sebagai bagian dari program fungsi Pensosbud.
Pendirian Pusat Budaya ini tidak perlu harus dengan mendirikan semacam
‘kantor’ khusus, tetapi dengan memanfaatkan salah satu ruangan kantor
Perwakilan. Ruang Budaya tersebut secara khusus dilengkapi dengan berbagai sarana dan program budaya yang rutin dan kreatif. Sungguh tidak memerlukan persiapan dan biaya ekstra, selain perhatian dan instruksi tegas dari pemerintah Pusat di Jakarta. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) pun bisa diupayakan dengan memanfaatkan keberadaan komunitas diaspora di negara setempat.
Selain itu, telah cukup lama Indonesia menawarkan pemberian beasiswa kepada para pelajar di berbagai negara melalui skema Dharma Siswa di hampir seluruh penjuru dunia. Beasiswa tersebut pun telah dimanfaatkan oleh para pelajar dari berbagai negara dan para lulusan Dharmasiswa pun terbukti telah menjadi bagian dari komunitas “friends of Indonesia’ yang sangat potensial untuk dimanfaatkan.
promosi di luar negeri. Aktor utamanya adalah pihak swasta yang langsung berhubungan dalam dan bermain di panggung ekonomi dunia. Sebagai komponen bangsa, sektor swasta pun punya andil dan berperan nyata dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang setiap individunya adalah para pekerja yang mendukung roda perekonomian.
Penetapan prioritas pada diplomasi ekonomi harus dibarengi dengan pengerahan sumberdaya soft power untuk kepentingan dan kesinambungan jangka panjang. Sebab, sesuai uraian di atas, ketika penggunaan soft power telah semakin meluas, citra dan popularitas Indonesia semakin meningkat di kancah regional maupun global, dengan sendirinya sektor ekonomi pun bergerak maju semakin mapan. Dengan telah kuatnya keberadaan soft power Tiongkok dan India, misalnya, maka produk-produk dan komoditi keduanya pun dengan relatif mudah merambah ke berbagai pelosok dunia, baik dalam bentuk makanan, kerajinan maupun hasil teknologi.
Sudah saatnya Indonesia menetapkan dan lebih mengimplementasikan soft power dalam prioritas kebijakan luar negerinya. Diperlukan kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa untuk menyadari dan menyetujui pentingnya soft power dewasa ini dalam meraih simpati dan ketertarikan masyarakat dunia terhadap Indonesia. Soft power adalah jawaban terhadap strategi tepat guna untuk kepentingan luar negeri jangka panjang Indonesia.
_____
[1] Joseph S. Nye, Jr., in "Soft Power: The Means to Success in World Politics" (New York: Public Afairs, 2004).
[3] Huang Suofeng, Comprehensive National Power Studies (Chinese Academy of Social Sciences Press, 1992), pp. 102, 164-165.
[4] Gan Chunsong, Modernization and Cultural Option (Jiangxi People Press, 1998), pp. 2-4.
[5] Siswo Pramono, The Jakarta Post, Jakarta, ‘Resources of Indonesian soft
power diplomacy’ June 28 2010. Selengkapnya dapat dilihat di: http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesian-soft-power-diplomacy.html#sthash.c44sqED0.dpuf
[6] Kirsten Bound (et.al.), 2007, “Cultural Diplomacy”.
---