• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Investasi - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham dengan Likuiditas sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan yang Terdaftar dalam Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Investasi - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham dengan Likuiditas sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan yang Terdaftar dalam Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori

2.1.1. Investasi

Lingkungan investasi meliputi berbagai jenis sekuritas (atau efek) yang ada, tempat dan cara sekuritas itu diperjualbelikan. Menurut Sharpe et. al (2005), investasi dalam arti luas berarti mengorbankan dolar sekarang untuk dolar masa depan. Ada dua atribut berbeda yang melekat: waktu dan risiko. Pengorbanan terjadi saat sekarang ini dan memiliki kepastian. Hasilnya baru akan diperoleh kemudian dan besarnya tidak pasti.

Menurut Sharpe et. al (2005), investasi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: investasi nyata (real investment) dan investasi keuangan (financial investment). Investasi nyata (real investment) secara umum melibatkan aset riil

(real asset), seperti tanah, mesin-mesin atau pabrik, bangunan yang digunakan untuk memproduksi barang serta para pekerja yang keahliannya diperlukan untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Investasi keuangan (financial investment)

(2)

perekonomian primitif, hampir semua investasi merupakan investasi nyata, sedangkan di perekonomian modern, lebih banyak dilakukan investasi keuangan.

Proses investasi menunjukkan bagaimana pemodal seharusnya melakukan investasi dalam sekuritas; yaitu sekuritas apa yang akan dipilih, seberapa banyak investasi tersebut dan kapan investasi tersebut dilakukan. Menurut Husnan (2005), untuk mengambil keputusan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: menentukan kebijakan investasi, analisis sekuritas, pembentukan portofolio, melakukan revisi portofolio, dan evaluasi kinerja portofolio.

a. Menentukan Kebijakan Investasi

Tujuan investasi harus dinyatakan baik dalam keuntungan maupun risiko. Pemodal yang bersedia menanggung risiko lebih besar (dan karenanya mengharapkan memperoleh keuntungan yang lebih besar), akan mengalokasikan dananya pada sebagian besar sekuritas yang lebih berisiko. b. Analisis Sekuritas

Secara garis besar analisis sekuritas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu analisis teknikal dan analisis fundamental. Menurut Sharpe et. al (2005), analisis teknikal meliputi studi harga pasar saham dalam upaya meramalkan pergerakan harga masa depan untuk saham perusahaan tertentu. Menurut Husnan (2005), analisis teknikal menggunakan data (perubahan) harga di masa lalu sebagai upaya memperkirakan harga sekuritas di masa yang akan datang. Sedangkan analisis fundamental berupaya mengidentifikasi prospek perusahaan (lewat analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya) untuk bisa memperkirakan harga saham di masa yang akan datang.

(3)

c. Pembentukan Portofolio

Portofolio berarti sekumpulan investasi. Tahap ini menyangkut identifikasi sekuritas. Sekuritas mana yang akan dipilih, dan berapa proporsi investasi yang akan ditanamkan pada masing-masing sekuritas tersebut.

d. Melakukan Revisi Portofolio

Tahap ini merupakan pengulangan terhadap tiga tahap sebelumnya, dengan maksud kalau perlu melakukan perubahan terhadap portofolio yang telah dimiliki. Kalau dirasa bahwa portofolio yang sekarang dimiliki tidak lagi optimal, atau tidak sesuai dengan preferensi risiko pemodal, maka pemodal dapat melakukan perubahan terhadap sekuritas-sekuritas yang membentuk portofolio tersebut.

e. Evaluasi Kinerja Portofolio

Dalam tahap ini pemodal melakukan penilaian terhadap kinerja (performance) portofolio, baik dalam aspek tingkat keuntungan yang diperoleh maupun risiko yang ditanggung. Tidak benar kalau suatu portofolio yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi mesti lebih baik dari portofolio lainnya. Faktor risiko perlu dimasukkan, karena itu perlu dilakukan standar pengukurannya.

2.1.2. Return Saham

(4)

tidak menutup kemungkinan mereka akan mengalami kerugian. Keuntungan atau kerugian tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan investor menganalisis keadaan harga saham rnerupakan penilaian sesaat yang dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk di antaranya kondisi (performance) dari perusahaan, kendala-kendala eksternal, kekuatan penawaran dan permintaan saham di pasar, serta kemampuan investor dalam menganalisis investasi saham.

Return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return

ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan di masa mendatang. Return

realisasi merupakan return yang telah terjadi, dihitung berdasarkan data historis.

Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja dari perusahaan. Return historis ini berguna sebagai dasar penentuan return

ekspektasi dan risiko di masa mendatang (Ang, 1997). Husnan (1994) mengungkapkan teori keuangan yang membahas tentang analisis investasi yang memiliki risiko tinggi, para investor mensyaratkan tingkat return yang semakin tinggi pula. Return ekspektasi merupakan return yang belum terjadi tetapi yang diharapkan di masa mendatang. Sebagai individu yang rasional, investor akan mempertimbangkan return yang diharapkan akan diterima (expected return) dan besaran risiko yang harus ditanggung sebagai konsekuensi logis dari keputusan yang telah diambil.

Menurut Jogiyanto (2015), return total merupakan return keseluruhan dari suatu investasi dalam suatu periode tertentu. Return total sering disebut sebagai

return saja. Return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield sebagai berikut ini.

(5)

Capital gain atau capital loss merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif dengan harga periode yang lalu.

𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑔𝑔𝐶𝐶𝐶𝐶𝑔𝑔 atau 𝑐𝑐𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙=Pt−Pt−1 Pt−1

Keterangan :

Pt = Harga saham periode sekarang Pt-1 = Harga saham periode sebelumnya

Jika harga saham periode sekarang (Pt) lebih tinggi dari harga saham periode lalu, ini berarti terjadi keuntungan modal (capital gain), sebaliknya jika harga saham periode sekarang (Pt) lebih rendah dari harga saham periode lalu, ini berarti terjadi kerugian modal (capital loss).

Yield merupakan persentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi periode tertentu dari suatu investasi. Untuk saham, yield adalah persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya.

2.1.3. Faktor-Faktor Fundamental dan Teknikal yang Mempengaruhi Return Saham

(6)

pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penjualan perusahaan, pertumbuhan laba, perkembangan tingkat bunga, dan sebagainya), yang mungkin mempengaruhi harga saham (kondisi pasar).

Menurut Samsul (2015), secara fundamental harga suatu jenis saham dipengaruhi oleh ekspektasi kinerja perusahaan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per unit saham serta beberapa rasio keuangan yang dapat menggambarkan kekuatan manajemen dalam mengelola perusahaan. Risiko perusahaan tercermin dari daya tahan perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi maupun faktor makroekonomi dan makro nonekonomi. Dengan kata lain kinerja perusahaan dan risiko yang dihadapi dipengaruhi oleh faktor makroekonomi dan mikroekonomi. Data keuangan masa lalu serta faktor makro dan mikro bisa dipakai untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa datang.

Faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi return saham menurut Samsul (2015), terdiri atas faktor makroekonomi dan faktor mikroekonomi.

a. Faktor Makroekonomi

(7)

perusahaan walaupun tidak seketika, tetapi secara perlahan dalam jangka panjang.

b. Faktor Mikroekonomi

Kemajuan dan kemunduran kinerja perusahaan tercermin dari rasio-rasio keuangan yang secara rutin diterbitkan oleh emiten. Banyak sekali rasio keuangan yang dapat dianalisis, tetapi tidak semua rasio dibutuhkan oleh investor. Sebagian rasio keuangan sangat penting bagi manajemen tetapi kurang penting bagi investor. Faktor mikroekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap return saham suatu perusahaan berada di dalam perusahaan itu sendiri antara lain adalah: (1) Laba bersih per saham; (2) Laba usaha per saham; (3) Nilai buku per saham; (4) Rasio utang terhadap ekuitas; (5) Rasio laba bersih terhadap ekuitas; (6) Cash flow per saham.

Menurut Husnan (2005), analisis teknikal dapat dilakukan untuk saham-saham individual ataupun untuk kondisi pasar secara keseluruhan. Analisis teknikal menggunakan grafik (charts) maupun berbagai indikator teknis. Informasi tentang harga dan volume perdagangan merupakan alat utama untuk analisis.

Beberapa indikator teknis yang sering dipergunakan dalam analisis teknikal menurut Husnan (2005), terdiri atas moving average, new highs and lows, volume perdagangan, dan short interest ratio.

a. Moving Average

(8)

memotong harga moving average dengan volume perdagangan yang cukup tinggi, maka saham tersebut merupakan kandidat untuk dibeli. Sebaliknya, apabila harga saham di atas moving average, dan harga saham tersebut turun memotong moving average, maka saham tersebut merupakan kandidat untuk dijual.

b. New Highs and Lows

Merupakan harga saham tertinggi dan terendah selama periode tertentu. c. Volume Perdagangan

Kegiatan perdagangan dalam volume yang sangat tinggi di suatu bursa akan ditafsirkan sebagai tanda pasar akan membaik (bullish).

d. Short Interest Ratio

Short interest untuk suatu saham menunjukkan jumlah saham yang dilakukan short selling tetapi belum dilakukan pembelian kembali. Rasio ini menunjukkan berapa hari perdagangan yang diperlukan agar short selling tersebut dapat diselesaikan.

(9)

Untuk mengurangi risiko investasi, investor harus mengenal jenis risiko investasi. Menurut Samsul (2015), jenis risiko dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu risiko sistematis (systematic risk) atau undiversifiable risk

dan risiko tidak sistematis (unsystematic risk) atau spesific risk atau diversifiable risk atau unique risk.

a. Risiko Sistematis

Apabila risiko sistematis muncul dan terjadi maka semua jenis saham akan terkena dampaknya, sehingga investasi pada suatu jenis saham ataupun lebih tidak dapat mengurangi kerugian. Contoh risiko sistematis adalah tingkat inflasi, tingkat bunga, kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, kurs valuta asing dan siklus ekonomi.

b. Risiko Tidak Sistematis

Risiko tidak sistematis hanya berdampak terhadap suatu saham atau sektor tertentu, karena risiko tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan diversifikasi produk. Contoh risiko tidak sistematis adalah peraturan pemerintah mengenai larangan ekspor atau impor semen, yang akan mempengaruhi harga saham emiten yang menghasilkan produk semen, properti atau produk lain yang menggunakan bahan semen.

2.1.4. Earning per Share (EPS)

(10)

menandakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih setiap lembar saham.

𝐸𝐸𝐶𝐶𝐸𝐸𝑔𝑔𝐶𝐶𝑔𝑔𝑔𝑔𝐶𝐶𝑝𝑝𝐸𝐸𝑆𝑆ℎ𝐶𝐶𝐸𝐸𝑝𝑝 (EPS) =laba bersih setelah pajak jumlah saham beredar

Earning per share adalah termasuk salah satu rasio pasar (Ang, 1997) Rasio pasar pada dasarnya mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar yang melampaui pengeluaran investasi. Rasio ini merupakan pengukuran yang paling lengkap mengenai prestasi perusahaan dan berkaitan langsung dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan dan kekayaan para pemegang saham (Ang, 1997).

Semakin tinggi laba setelah pajak yang dihasilkan perusahaan maka semakin besar earning per share perusahaan (Martono, 2009). Dalam jangka pendek, rencana pembelian kembali saham mungkin dapat menutupi kondisi perusahaan yang sebenarnya. Namun hal itu akan mengurangi kepercayaan pemodal terhadap perusahaan, meskipun bagi pemodal pendapatannya sendiri dari saham tersebut meningkat. Akibatnya permintaan akan saham tersebut menurun dan harga saham juga mengalami penurunan (Ang, 1997). Menurut Weston dan Brigham (1990), EPS akan tumbuh sebagai hasil penanaman kembali laba. Jika laba perusahaan tidak semuanya dibayarkan sebagai dividen (artinya, sebagian laba ditahan), maka jumlah uang yang diinvestasikan di balik setiap lembar saham akan naik terus, yang akan mengakibatkan pertumbuhan laba dan dividen.

(11)

investor yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham akan tinggi (Dharmastuti, 2004). Investor berpandangan bahwa EPS mengandung informasi yang penting untuk melakukan prediksi mengenai besarnya dividen per saham di kemudian hari, serta relevan untuk menilai efektivitas manajemen dalam membuat kebijakan pembayaran dividen. Manajemen perusahaan pada pemegang saham biasa dan calon pemegang saham sangat tertarik akan EPS, karena menggambarkan yang akan diterima untuk setiap lembar saham. Hal ini merupakan indikator keberhasilan suatu perusahaan.

Munawir (2004) menyebutkan bahwa earning per share (laba per lembar saham) biasanya merupakan indikator laba yang diperhatikan oleh para investor.

Earning per share adalah salah satu indikator pendapatan sehingga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pergerakan harga saham. Jadi dapat disimpulkan bahwa Earning per Share (EPS) berpengaruh positif terhadap return saham. 2.1.5. Debt to Equity Ratio (DER)

Menurut Horne dan Wachowicz (2012), rasio utang (debt ratio) merupakan rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang. Rasio utang terdiri dari rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) dan rasio utang terhadap total aset (debt to total assets ratio). Menurut Husnan (2005), Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage dalam menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang dimana DER menghubungkan antara total debt dengan total ekuitas.

(12)

dengan jaminan modal sendiri. DER dihitung dengan membagi total utang perusahaan dengan ekuitas pemegang saham.

𝐷𝐷𝑝𝑝𝐷𝐷𝐶𝐶𝐶𝐶𝑙𝑙𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐶𝐶𝐶𝐶𝐸𝐸𝑅𝑅𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑙𝑙 (𝐷𝐷𝐸𝐸𝑅𝑅) = total utang

ekuitas pemegang saham

Para kreditur secara umum akan lebih suka jika rasio ini lebih rendah. Semakin rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham, dan semakin besar perlindungan bagi kreditur jika terjadi penyusutan nilai aset atau kerugian besar. Dengan nilai debt to equity ratio yang tinggi memunculkan indikasi atau kekhawatiran dari pemegang saham karena semakin besar risiko manajemen perusahaan untuk tidak mampu mengendalikan jumlah hutang dan kewajibannya kepada kreditur, sehingga para pemegang saham sering mengesampingkan perusahaan yang memiliki nilai debt to equity ratio yang tinggi (Nugraha dan Mertha, 2016). Demikian juga menurut Ang (1997), semakin tinggi nilai DER menunjukkan semakin tinggi risiko yang harus ditanggung perusahaan dengan menggunakan modal sendiri apabila perusahaan mengalami kerugian.

Menurut Brigham dan Houston (2006), perusahaan dengan nilai DER yang rendah akan memiliki risiko kerugian yang kecil ketika keadaan ekonomi mengalami kemerosotan, namun ketika kondisi ekonomi membaik, kesempatan dalam memperoleh laba juga rendah. Sebaliknya perusahaan dengan rasio

(13)

leverage akan dapat menaikkan harga saham, yang pada akhirnya return saham juga akan meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa DER berpengaruh positif terhadap return saham.

2.1.6. Price to Book Value (PBV)

Price to Book Value (PBV) merupakan salah satu rasio pasar yang digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya (Ang, 1997). PBV ditunjukkan dengan perbandingan antara harga saham terhadap nilai buku dihitung sebagai hasil bagi dari ekuitas pemegang saham dengan jumlah saham yang beredar. Rasio ini menunjukkan seberapa jauh sebuah perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan relative terhadap jumlah modal yang diinvestasikan, sehingga semakin tinggi rasio PBV yang menunjukkan semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham (Ang, 1997). PBV dihitung dengan rumus:

PBV =harga pasar per saham

nilai buku per saham

Nilai buku per saham = ekuitas biasa

jumlah saham beredar

Menurut Brigham dan Houston (2010), rasio harga pasar suatu saham terhadap nilai bukunya atau PBV memberikan indikasi pandangan investor atas perusahaan. Perusahaan yang dipandang baik oleh investor-yang artinya perusahaan dengan laba dan arus kas yang aman serta terus mengalami pertumbuhan-dijual dengan rasio nilai buku yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan pengembalian yang rendah.

(14)

nilai buku akuntansinya. Situasi seperti ini terutama terjadi karena nilai aset seperti yang dilaporkan oleh akuntan dalam neraca perusahaan tidak mencerminkan baik itu inflasi maupun “goodwill”. Jadi, aset yang dibeli beberapa tahun lalu pada harga sebelum inflasi dicatat berdasarkan harga perolehan awalnya meskipun inflasi telah menyebabkan nilai aset yang sebenarnya naik secara signifikan.

Price to book value merupakan rasio yang penting sebagai salah satu indikasi perusahaan dalam uapaya komitmen yang tinggi terhadap pasar. Upaya peningkatan rasio PBV berarti merupakan upaya peningkatan nilai perusahaan (Martono, 2009). Perusahaan yang dapat beroperasi dengan baik, umumnya memiliki rasio PBV di atas satu, yang menunjukkan nilai pasar saham lebih tinggi dari nilai bukunya. Semakin tinggi rasio PBV, maka semakin tinggi pula perusahaan dinilai oleh investor. Apabila suatu perusahaan dinilai lebih tinggi oleh investor, maka harga saham akan semakin meningkat di pasar, yang pada akhirnya return saham tersebut akan meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa PBV berpengaruh positif terhadap return saham.

2.1.7. Kebijakan Dividen

2.1.7.1. Pengertian Kebijakan Dividen

(15)

akan membagi laba perusahaan sebagai dividen, maka akan mengurangi kesempatan perusahaan dalam mendapatkan laba internal. Semakin tinggi dividen yang dibagikan kepada pemegang saham akan mengurangi kesempatan perusahaan dalam mendapatkan sumber dana internal dalam rangka mengadakan reinvestasi, sehingga dalam jangka panjang akan mengurangi nilai perusahaan. 2.1.7.2. Teori-teori Kebijakan Dividen

Hal yang terpenting dari kebijakan dividen adalah apakah kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kekayaan pemegang saham dengan mengubah rasio pembayaran dividen. Beberapa teori menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi harga saham, namun ada pula teori yang menyatakan kebijakan dividen mempengaruhi harga saham. Kebijakan dividen yang optimal (optimal dividend policy) ialah kebijakan dividen yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang, sehingga memaksimumkan harga saham perusahaan.

Beberapa teori kebijakan dividen yang dikemukakan oleh Sartono (2010) antara lain:

1. Irrelevant Dividend

(16)

dan kelas risiko perusahaan. MM membuktikan pendapatnya secara matematis dengan berbagai asumsi :

a. Pasar modal yang sempurna dimana semua investor bersikap rasional. b. Tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan, c. Tidak ada biaya emisi (flotation cost) dan biaya transaksi.

d. Kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap biaya modal sendiri perusahaan.

e. Informasi tersedia untuk setiap individu terutama yang menyangkut tentang kesempatan investasi.

Beberapa ahli menentang pendapat Modigliani dan Miller mengenai dividen tidak relevan dengan menunjukkan bahwa adanya: biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaan. Perusahaan lebih suka menggunakan laba ditahan daripada menerbitkan saham baru. Ada kemungkinan laba ditahan tidak cukup besar sehingga perusahaan harus menerbitkan saham baru. Semakin besar target laba ditahan, semakin kecil kemungkinan perusahaan menerbitkan saham baru. Karena biaya modal sendiri ditentukan oleh besar-kecilnya laba ditahan yang ditentukan dividen.

2. Bird-in-the Hand Theory

Teori ini dikemukakan oleh Myron J. Gordon dan John Lintner. Gordon-Lintner mempunyai pendapat lain bahwa dividen lebih kecil risikonya dibanding dengan capital gain, sehingga Gordon Lintner menyarankan perusahaan untuk menentukan dividend payout ratio atau bagian laba setelah pajak yang dibagikan dalam bentuk dividen yang tinggi dan menawarkan

(17)

3. Tax Differential Theory

Teori ini dikemukakan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka berpendapat bahwa karena dividen cenderung dikenakan pajak yang lebih tinggi daripada capital gain, maka investor akan meminta tingkat keuntungan yang lebih tinggi untuk saham dengan dividend yield yang tinggi. Kelompok terakhir ini menyarankan bahwa perusahaan lebih baik menentukan dividend payout ratio yang rendah atau bahkan tidak membagikan dividen sama sekali untuk meminimumkan biaya modal dan memaksimumkan nilai perusahaan.

4. Signaling Hypothesis Theory

Menyatakan bahwa, jika ada kenaikan dividen sering kali diikuti dengan kenaikan Miller kenaikan dividen biasanya merupakan suatu signal (tanda) kepada para investor, bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan dividen yang dibawah normal (dari biasanya) diyakini investor sebagai pertanda bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang.

Dividend signaling theory pertama kali dicetuskan oleh Bhattacharya

(1979)

(18)

tentang prospek perusahaan. Apabila terjadi peningkatan dividen akan dianggap sebagai sinyal positif yang berarti perusahaan mempunyai prospek yang baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang positif. Sebaliknya, jika terjadi penurunan dividen akan dianggap sebagai sinyal negatif yang berarti perusahaan mempunyai prospek yang tidak begitu baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang negatif (Pramastuti, 2007).

5. Clientele Effect Theory

Kelompok (Clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu Dividend Payout Ratio (DPR) yang tinggi. Jika ada perbedaan pajak bagi individu dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen yang kecil. Dengan demikian, maka kelompok pemegang saham yang dikenakan pajak lebih tinggi menyukai capital gain.

2.1.7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen

Pada saat perusahaan menetapkan kebijakan dividen, terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi dividen adalah sebagai berikut:

a. Posisi likuiditas Perusahaan

(19)

likuiditas perusahaan secara keseluruhan, akan semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar deviden.

b. Kebutuhan Dana untuk Membayar Hutang

Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan, yaitu perusahaan membiayai hutang itu pada saat jatuh tempo atau menggantikan dengan jenis surat berharga yang lain. Jika keputusannya membayar hutang tesebut, maka biasanya perlu untuk menahan laba.

c. Tingkat Ekspansi Aktiva

Semakin cepat suatu perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai ekspansi aktivanya, perusahaan cenderung untuk menahan laba daripada membayarkannya dalam bentuk dividen.

d. Stabilitas Laba

Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil sering kali dapat memperkirakan berapa besar laba dimasa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan DPR yang tinggi, daripada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Dividen yang lebih rendah akan lebih mudah untuk dibayar apabila laba menurun pada masa yang akan datang. 2.1.7.4. Dividend Payout Ratio (DPR)

(20)

menentukan jumlah saldo laba dalam perusahaan sebagai sumber pendanaan. Rasio ini menunjukkan persentase laba perusahaan yang diberikan kepada para pemegang saham secara tunai. Akan tetapi, dengan menahan laba saat ini dalam jumlah yang lebih besar dalam perusahaan juga berarti lebih sedikit uang yang akan tersedia bagi pembayaran dividen saat ini. Jadi, aspek utama dari kebijakan dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran dividen dengan penambahan saldo laba perusahaan. Rasio pembayaran dividen

(dividend payout ratio) dihitung dengan cara membagi dividen kas tahunan yang dibagi dengan laba tahunan, atau dividen per lembar saham dibagi dengan laba per lembar saham dengan rumus sebagai berikut:

DPR = dividen kas

laba neto setelah pajak atau DPR =

dividen per lembar saham laba per lembar saham

Menurut Horne dan Wachowicz (2013), konsep pemberian sinyal keuangan (financial signaling) menyatakan bahwa dividen memiliki pengaruh terhadap harga saham karena memberikan informasi atau sinyal mengenai profitabilitas perusahaan. Dianggap perusahaan memiliki berita bagus mengenai profitabilitas masa depannya akan berkeinginan untuk memberitahukan hal ini kepada investor. Alih-alih membuat pengumuman sederhana, dividen mungkin dapat dinaikkan nilainya untuk makin mempertegas pernyataan tersebut. Ketika perusahaan memiliki rasio pembayaran dividen yang stabil sepanjang waktu, dan perusahaan tersebut meningkatkan rasio ini, para investor akan yakin bahwa pihak manajemen mengumumkan perubahan positif dalam profitabilitas masa depan yang diharapkan untuk perusahaan tersebut.

(21)

harga saham. Selanjutnya, harga saham akan bereaksi positif terhadap kenaikan dividen ini. Pemikirannya adalah bahwa laba yang dilaporkan oleh perusahaan mungkin bukan merupakan cermin yang tepat atas laba ekonomi perusahaan tersebut. Sepanjang dividen memberikan informasi mengenai laba ekonomi yang tidak disebutkan dalam laba yang dilaporkan, harga saham akan terpengaruh. Dengan perkataan lain, dividen tunai lebih besar pengaruhnya daripada kata-kata. Jadi, dividen dikatakan akan digunakan oleh para investor sebagai prediktor kinerja perusahaan di masa depan. Dividen mengungkapkan harapan pihak manajemen di masa yang akan datang.

2.1.8. Likuiditas

Menurut Sartono (2010), likuiditas perusahaan menunjukkan kemampuan untuk membayar kewajiban finansial jangka pendek tepat pada waktunya. Menurut Horne dan Wachowicz (2005), rasio likuiditas membandingkan kewajiban jangka pendek dengan sumber daya jangka pendek (lancar) yang tersedia untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dari rasio ini banyak pandangan ke dalam yang bisa didapatkan mengenai kompensasi keuangan saat ini perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk tetap kompeten jika terjadi masalah. Rasio likuiditas terdiri dari rasio lancar (current ratio) dan rasio cepat (quick ratio).

Menurut Horne dan Wachowicz (2012), rasio lancar (current ratio) merupakan salah satu rasio likuiditas (liquidity ratio), yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar liabilitas jangka pendeknya dengan menggunakan aset lancarnya. Rasio lancar diperoleh dengan cara membagi aset lancar dengan liabilitas jangka pendek dengan rumus sebagai berikut:

(22)

Seharusnya, semakin tinggi rasio lancar, maka akan semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar berbagai tagihannya; akan tetapi rasio ini harus dianggap sebagai ukuran kasar karena tidak memperhitungkan likuiditas (liquidity) dari setiap komponen aset lancar. Perusahaan yang memiliki aset lancar sebagian besar terdiri atas kas dan piutang yang belum jatuh tempo, umumnya akan dianggap sebagai lebih likuid daripada perusahaan dengan aset lancar sebagian besar terdiri atas persediaan (Horne dan Wachowicz, 2012).

Rasio cepat (quick ratio) menurut Horne dan Wachowicz (2005), menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aset yang paling likuid (cepat). Rasio cepat diperoleh dengan cara membagi aset lancar dikurangi persediaan dengan kewajiban jangka pendek dengan rumus sebagai berikut:

𝑄𝑄𝐸𝐸𝐶𝐶𝑐𝑐𝑄𝑄𝑅𝑅𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑙𝑙= aset lancar−persediaan liabilitas jangka pendek

Rasio ini berfungsi sebagai pelengkap rasio lancar dalam menganalisis likuiditas. Rasio ini sama dengan rasio lancar, hanya saja rasio tersebut tidak meliputi persediaan-yang diasumsikan bagian aset lancar yang paling tidak likuid– sebagai angka yang dibagi. Rasio tersebut berkonsentrasi terutama hanya pada aset lancar yang lebih likuid-kas, sekuritas yang dapat diperjualbelikan, dan piutang-dan hubungannya dengan berbagai obligasi jangka pendek. Jadi, rasio ini memberikan ukuran yang mendalam tentang likuiditas daripada rasio lancar.

(23)

Sebaliknya current ratio terlalu tinggi juga belum tentu baik, karena pada kondisi tertentu hal tersebut menunjukkan banyak dana perusahaan yang menganggur (aktivitas sedikit) yang akhirnya dapat mengurangi kemampuan menghasilkan laba perusahaan. Current ratio yang tinggi dapat disebabkan adanya piutang yang tidak tertagih dan persediaan yang belum terjual, yang tentunya tidak dapat digunakan secara cepat untuk membayar hutang (Nugraha dan Mertha, 2016).

Current ratio menunjukkan sejauh mana aktiva lancar menutupi kewajiban-kewajiban lancar. Current ratio yang rendah biasanya dianggap menunjukkan terjadinya masalah dalam likuiditas, sebaliknya current ratio yang terlalu tinggi juga kurang bagus, karena menunjukkan banyaknya dana yang menganggur pada akhirnya dapat mengurangi laba perusahaan (Sawir, 2009). Semakin baik current ratio mencerminkan semakin likuid perusahaan tersebut, sehingga kemampuan untuk memenuhi kemampuan jangka pendeknya semakin tinggi, hal ini akan mampu meningkatkan kredibilitas perusahaan di mata investor sehingga akan mampu meningkatkan return saham perusahaan. Hal ini telah terbukti dari penelitian yang telah dilakukan Ulupui (2007) dan Shandy (2013) yang mana current ratio berpengaruh positif terhadap return saham.

(24)

return saham kepada pemegang saham. Jadi dapat disimpulkan bahwa rasio likuiditas mampu memoderasi hubungan antara Dividend Payout Ratio (DPR)

dengan return saham.

Nilai Debt to equity ratio (DER) yang tinggi memunculkan indikasi atau kekhawatiran dari pemegang saham karena semakin besar risiko manajemen perusahaan untuk tidak mampu mengendalikan jumlah hutang dan kewajibannya kepada kreditur, sehingga para pemegang saham sering mengesampingkan perusahaan yang memiliki nilai DER yang tinggi. Namun apabila manajemen perusahaan sangat disiplin untuk mengendalikan jumlah hutang dengan baik, atau menjaga nilai likuiditas dengan baik untuk pengembangan aktifitas perusahaan untuk meningkatkan laba maka hal itu akan menjadi sinyal positif bagi pemegang saham. Dengan nilai DER yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan melakukan perluasan usaha (ekspansi) untuk meningkatkan laba perusahaan (Nugraha dan Mertha, 2016). Jadi dapat disimpulkan bahwa likuiditas mampu memoderasi hubungan antara DER dengan return saham.

(25)

bersih per saham (Earning per Share) dan Price to Book Value (PBV) dengan

return saham.

2.2. Review Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan untuk menguji tentang hal yang berkaitan dengan return saham. Beberapa penelitian tersebut antara lain: Arista dan Astohar (2012); Carlo (2014); Kurniawan (2013); Kurniawati, dkk (2012); Mohamad dan Nassir (1993); Muhammad (2014); Nathaniel (2008); Nugraha dan Mertha (2016); Ulupui (2007) dan Verawati (2014).

Arista dan Astohar (2012) meneliti dengan judul “Analisis Faktor – faktor yang Mempengaruhi Return Saham (Kasus pada Perusahaan Manufaktur yang Go Public di BEI Periode Tahun 2005 – 2009)”. Dalam penelitiannya menggunakan empat faktor variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return

saham yaitu Return on Assets (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), Earnings per Share (EPS), dan Price to Book Value (PBV). Hasil penelitiannya menemukan bahwa Return on Assets (ROA) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

return saham. Debt to Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Earnings per Share (EPS) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Price to Book Value (PBV) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham.

Carlo (2014) meneliti dengan judul “Pengaruh Return on Equity, Dividend Payout Ratio, dan Price to Earnings Ratio Pada Return Saham”. Dalam penelitiannya menggunakan tiga variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Return on Equity, Dividend Payout Ratio, dan

(26)

berpengaruh positif dan signifikan pada return saham, sedangkan variabel PER tidak berpengaruh pada return saham.

Kurniawan (2013) meneliti dengan judul “Analisis Pengaruh Earning per Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE) Terhadap Return Saham (Studi Empirik pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam Pengamatan 2008-2012)”. Dalam penelitiannya menggunakan empat variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Earning per Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). Hasil penelitiannya menemukan bahwa Debt to Equity Ratio (DER)

tidak berpengaruh terhadap return saham, Return on Asset (ROA) berpengaruh terhadap return saham, Return on Equity (ROE) berpengaruh terhadap return

saham dan Earning per Share (EPS) berpengaruh terhadap return saham.

Kurniawati, dkk (2012) meneliti dengan judul “Faktor Penentu Return

Saham dengan Price to Book Value Sebagai Variabel Moderasi di Bursa Efek Indonesia”. Dalam penelitiannya menggunakan tiga variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Earning Growth Ratio, Dividend Payout Ratio, dan Size, dan satu variabel moderating yaitu Price to Book Value. Hasil penelitiannya menemukan bahwa Earning Growth Ratio

mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap return saham. Dividend Payout Ratio mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap return saham dan Size yang diproksikan dengan total aset mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap

(27)

pengaruh antara variabel earning growth rate, dividend payoud ratio, dan ukuran perusahaan terhadap return saham.

Mohamad dan Nassir (1993) meneliti dengan judul “Factors Associated with Stock Price Volatility and Evaluation of Gordon's Share Valuation Model on

the Kuala Lumpur Stock Exchange”. Dalam penelitiannya menggunakan lima variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu

Dividend Yield, Payout Ratio, Debts to Assets Ratio, Asset Growth and Firm Size. Hasil penelitiannya menemukan bahwa dividend yield, payout ratio, debts to assets ratio, asset growth and firm size variables explained 23 percent of the price

changes in the Kuala Lumpur market for the period 1975 to 1990. Only the asset

growth and debt usage variables were significant at 0.05 confidence level, and the

other three variables were not significant in the model fitted for the Kuala

Lumpur market.

Muhammad (2014) meneliti dengan judul “Stock Returns and Fundamentals in the Australian Market”. Dalam penelitiannya menggunakan sepuluh variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Earning per Share (EPS), Free Cash Flows (FCF) and Pay-out Ratio (POR), Price Earnings Ratio (P/E),

Tobin’s Q (TBQ), Market to Book Ratio (M2B), Market Value Added (MVA),

Cash Flow Return on Investment (CFROI). Hasil penelitiannya menemukan bahwa Price to earnings (P2E), Tobin Q (TQ), market to book (M2B) and cashflow return on investment (CFROI) from market based financial measures

(28)

performance evaluation measures over the rival approach where only return on

asset (ROA) and pay-out ratio (POR) can explain stock return.

Nathaniel (2008) meneliti dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Return Saham (Studi pada Saham-Saham Real Estate and Property di Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2006)”. Dalam penelitiannya menggunakan empat faktor variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Debt to Equity Ratio (DER),Earning per Share (EPS),

Net Profit Margin (NPM) dan Price to Book Value (PBV). Hasil penelitiannya menemukan bahwa hanya variabel Price to Book Value (PBV) yang berpengaruh signifikan terhadap return saham, sedangkan Debt to Equity Ratio (DER), Earning per Share (EPS) dan Net Profit Margin (NPM) berpengaruh tidak signifikan terhadap return saham.

Nugraha dan Mertha (2016) meneliti dengan judul “Likuiditas sebagai Pemoderasi Pengaruh Profitabilitas dan Struktur Modal pada Return Saham Perusahaan Manufaktur”. Dalam penelitiannya menggunakan dua variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu profitabilitas (ROA) dan struktur modal (DER), dan satu variabel moderating yaitu likuiditas (CR). Hasil penelitiannya menemukan bahwa profitabilitas (ROA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, struktur modal (DER) tidak berpengaruh pada return saham, dan likuiditas yang diproksikan dengan current ratio (CR) tidak mampu memoderasi pengaruh profitabilitas pada return saham dan juga tidak mampu memoderasi pengaruh struktur modal pada return saham.

Ulupui (2007) meneliti dengan judul “Analisis Pengaruh Rasio Likuiditas,

(29)

Perusahaan Makanan dan Minuman dengan Kategori Industri Barang dan Konsumsi)”. Dalam penelitiannya menggunakan empat variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Rasio Likuiditas yang diproksi dengan Current Ratio, Leverage yang diproksi dengan Debt to Equity Ratio, Rasio Aktivitas yang diproksi dengan Total Asset Turn Over dan Rasio Profitabilitas yang diproksi dengan Return on Asset. Hasil penelitiannya menemukan bahwa variabel current ratio memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap return saham, debt to equity ratio menunjukkan hasil yang positif tetapi tidak signifikan, total asset turn over menunjukkan hasil yang negatif dan tidak signifikan terhadap return saham dan return on asset

berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham

(30)

3,0536 dan nilai signifikansi 0,0026. EPS, PER, DER, dan PBV secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap return saham, hal ini ditunjukkan dengan nilai F statistik sebesar 3,7951 dengan probabilitas 0,0000.

Untuk lebih jelasnya review penelitian terdahulu sebagaimana diuraikan di atas dirangkum dalam matrik penelitian pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Ikhtisar Review Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel

Penelitian Hasil Penelitian

1 Manufaktur yang Go Public di BEI Periode Tahun 2005 – 2009

Return on Assets (ROA)

tidak memiliki pengaruh

Pengaruh Return on Equity, Dividend (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), Return terhadap return saham,

Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan terhadap

return saham, Return on Asset (ROA) berpengaruh signifikan terhadap

return saham, dan Return on Equity (ROE)

(31)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Nama Peneliti

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel

Penelitian Hasil Penelitian

4 Kurniawati, dkk (2012)

Faktor Penentu

Return Saham dengan

Price to Book Value

Sebagai Variabel terhadap return saham.

Dividend Payout Ratio book Value tidak mampu secara signifikan memoderasi pengaruh antara variabel earning growth rate, dividend payoud ratio, dan ukuran perusahaan terhadap ratio, debts to assets ratio, asset growth and firm size variables explained 23 percent of the price changes in the Kuala Lumpur market for the period 1975 to 1990. Only the asset growth and debt usage

variables were significant at 0.05

(32)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Nama Peneliti

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel

Penelitian Hasil Penelitian

6 Muhammad

Independen: Market based financial

measures are performing better than accounting based financial measures in explaining stock returns. Two accounting ratios (return on asset (ROA) and pay-out ratio (POR)) and four market based ratios (price to earnings (P2E), Tobin Q (TQ), market to book (M2B) and cashflow return on investment (CFROI)) appear to be suitable candidates to

Return Saham (Studi Pada Saham-saham

Real Estate and Property di Bursa Efek Indonesia

Hanya variabel Price to Book Value (PBV) yang berpengaruh signifikan terhadap return saham,

sedangkan Debt to

Equity Ratio (DER),

Earning per Share (EPS) dan Net Profit Margin

(NPM) berpengaruh

return saham, struktur modal (DER) tidak berpengaruh pada return

saham, dan likuiditas yang diproksikan dengan

(33)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Nama Peneliti

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel

Penelitian Hasil Penelitian

9 Ulupui signifikan, total asset turn over menunjukkan hasil yang negatif dan tidak signifikan terhadap

return saham. PER tidak berpengaruh positif dan DER, dan PBV secara bersama-sama

Gambar

Tabel 2.1 Ikhtisar Review Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Tabel 2.1 (Lanjutan)

Referensi

Dokumen terkait

Afiliasi Hostgator – Saya mengikuti afiliasi Hostgator karena menggunakan Hostgator untuk meng-hosting semua blog saya (kecuali blog yang digunakan untuk membacklink atau

Ketiga model yang dibahas pada penelitian Suprayogi dan Mardiono (1997), Suprayogi dan Toha (2002), Suprayogi dan Partono (2005), mengasumsikan bahwa pemakaian sumberdaya

Kursus ini menjelaskan tentang prosedur penyelidikan pendidikan, Menyatakan masalah kajian, menetapkan objektif kajian, membentuk soalan kajian, membentuk hipotesis kajian, melakukan

Menurut Jones dan Rama (2006, p61), Detailed Activity Diagram memberikan gambaran secara detail dari suatu aktifitas yang terjadi dengan suatu atau lebih event yang

Analisis data dimulai dengan membuat proycksi usaha 10 ckor induk sapi PO untuk menghasilkan anak yang diinovasikan dengan pengembangan teknologi reproduksi dalam jangka waktu

algae bio - mass with a hybrid process of algae biomass–silica coated MNPs that are formed by a sol–gel simultaneous process followed by coating with MNPs has

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati atau pejabat yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian pembayaran

Kode standar desain pipa adalah pedoman untuk mendesain atau membangun suatu sistem perpipaan yang dibuat dengan berdasarkan pengalaman-pengalaman para engineer