• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoksal Indonesia Kom Pemb dan Glob

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradoksal Indonesia Kom Pemb dan Glob"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PARADOKSAL INDONESIA

Kebijakan Importasi Beras

TUGAS MATA KULIAH

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DAN GLOBALISASI MEDIA

OLEH

:

AZWANIL FAKHRI

ARDI TAMBUNAN

ERNAWATI KOTO

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016

(2)

1. Latar Belakang

Indonesia adalah surga dunia. Kalimat ini sering kita dengar. Bahkan berulang-ulang, meski dalam ruang dan waktu yang berbeda. Negeri kita amat kaya. Keanekaragaman sumberdaya yang dimiliki negeri ini idealnya mampu membesarkan namanya di kancah dunia. Tapi kini tidak. Seakan-akan demikian keadaannya, padahal tidak begitu. Paradoks atau paradoksal akut melanda negeri ini.

Jika kita baca di Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, maka paradoks diartikan sebagai pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks.

Perdebatan soal paradoks pembangunan, dalam dua dasawarsa terakhir tampak mengemuka dan menjadi kajian serius para pemikir dan praktisi pertanian. Diskursus antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan semakin membengkaknya angka pengangguran dan kemiskinan massa, melahirkan beragam penggugatan terhadap proses pembangunan yang dilakukan. Termasuk di dalamnya yang terkait dengan paradoks di bidang pembangunan pertanian itu sendiri.

Di negara kita, istilah “paradoks pembangunan pertanian”

(3)

pun tetap tinggi. Lalu muncul pertanyaan mengapa kita tidak mampu melepaskan diri dari paradoks yang demikian?

Padahal pembangunan pertanian bukan hanya sebatas bagaimana memproduksi produk pertanian untuk penyediaan pangan nasional, tetapi juga memiliki peran cukup besar dan berkontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan dan perekonomian nasional maupun regional serta penyediaan bahan baku bagi industri olahan berbasis pangan.

Membangkitkan sektor pertanian nasional tentunya bukan perkara mudah. Terlebih, dinamika global dan regional juga turut mempengaruhi. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bayu Krisnamurti misalnya mengingatkan, bahwa penetapan Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan membawa banyak konsekuensi pada pembangunan ekonomi nasional, termasuk pembangunan pertanian. “Persoalannya, begitu banyak produk petani keluar dari lahannya, petani menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya kualitas infrastruktur yang buruk, regulasi yang tidak sepenuhnya mendukung upaya mereka mendapatkan harga jual yang baik dan peluang untuk meningkatkan nilai tambah produk,” bebernya. Semua itu, lanjutnya, membuat daya saing produk petani Indonesia menjadi rendah dan kalah dibandingkan negara-negara Asean lainnya.1

Selain itu, ada 7 faktor yang juga bisa menjadi penghambat pembangunan sektor pertanian, yaitu: (1) Perubahan iklim, (2) Kondisi perekonomian global, (3) Gejolak harga pangan global, (4)

(4)

Bencana alam, (5) peningkatan jumlah penduduk, (6) Aspek distribusi dan (7) Laju urbanisasi.2

Sebagai bangsa yang besar dengan karunia alam yang subur dan tradisi agraris yang sudah sedemikian mengakar di masyarakat, Indonesia seharusnya bisa menjadi kawasan yang mampu mengekspor berbagai produk pertanian. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia malah menjadi salah satu negara pengimpor yang cukup besar pada beberapa produk pertanian yang seharusnya bisa diproduksi oleh kita sendiri. Situasi yang paradoks ini tentu saja cukup ironis dan harus dibalikkan.

Pemerintah cenderung mengambil cara gampang ketika dihadapkan pada situasi kekurangan stok beberapa produk pertanian yang mengancam kenaikan harga komoditas tersebut. Ketika stok beras, jagung, atau kedelai menipis, misalnya, pemerintah terkesan tergesa-gesa dan tidak mau repot dan lantas mengimpor dengan tanpa mempertimbangkan situasi yang tengah dihadapi para petani. Entah sudah berapa kali terjadi, pemerintah membuka kran impor suatu komoditas justru di saat petani kita akan menghadapi panen pada komoditas yang sama. Akibatnya, ketika panen tiba, petani lokal mengalami kerugian karena jatuhnya harga akibat kelebihan ketersediaannya.

Lihat saja produk hortikultura, misal sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar-pasar modern maupun pasar-pasar tradisional. Tidak sulit untuk menjumpai sayuran dan buah-buahan impor dengan harga kompetitif. Dengan kemasan yang lebih bagus dan kualitas produk yang, sebagian terstandarisasi, keberadaan

(5)

sayuran dan buah-buahan impor sedemikian mencolok dan bahkan mulai menggeser produk-produk hasil petani lokal.

Paradoksal kondisi ini terjadi di tengah-tengah gema pembangunan pertanian berkelanjutan yang selalu digaungkan oleh pemerintah sendiri. Rasanya cukup wajar jika sebagian kalangan menilai bahwa pemerintah tidak memiliki visi dan political will yang kuat dalam membangun kekuatan pertanian kita. Jangankan bicara ekspor skala luas, untuk memenuhi keperluan sendiri saja kita masih kesulitan. Padahal kita memiliki semua persyaratan untuk menjadi sebuah negara agraris yang menjadi lumbung pangan utama dunia. Oleh karena itu, visi pertanian yang berorientasi ekspor harus mulai diperkuat dan dikembangkan dengan serius agar kita mampu menjadi salah satu pemain utama dalam produsen komoditas pertanian di pasar internasional.

(6)

BAB II PARADOKS KEBIJAKAN IMPORTASI

Padi (baca: beras) adalah bahan pangan paling utama di Indonesia. Karenanya ia menjadi komoditas ekonomi sekaligus politik strategis. Kondisi dan dinamika supply-demand komoditi beras amat mempengaruhi kondisi politik negeri kita. Sebab kedudukan beras sebagai sumber utama karbohidrat, nyaris 100%, penduduknya belum tergantikan hingga kini. Bagi penduduk Indonesia, beras bukan hanya bahan pangan, tapi juga menjadi simbol budaya yang amat kuat dan salah satu indikator kesejahteraan hingga hari ini.3

Pada sebagian besar penduduk yang tinggal di perdesaan hingga kini masih banyak terdapat lumbung. Lumbung ini adalah bangunan tradisonal yang berfungsi sebagai gudang tempat penyimpanan padi. Lumbung padi ini juga menjadi simbol terjaminnya ketersediaan pangan (beras) bagi suatu keluarga atau kelompok masyarakat perdesaan. Ini menjadi semacam penguat simpulan bahwa hampir mustahil memisahkan penduduk kita dari beras. Ini juga yang menjadi faktor kenapa ketersediaan beras sebagai komponen ketahanan pangan menjadi amat sangat penting.

Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan merupakan basic human need, kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang wajib dipenuhi. Namun, Indonesia merupakan negara yang mempunyai masalah dalam pangan khususnya beras. Padahal jika dilihat dari luasan wilayah dan budaya sebagai negara agraris,

(7)

yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, sangat tidak mungkin mempunyai permasalahan pangan. Namun kenyataannya permasalahan tersebut melanda Indonesia.

Permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu, permasalahan secara berkala (transitory/ occasional food insecurity) dan kronis (chronic food insecurity). Permasalahan secara berkala terjadi karena misalnya ada bencana alam, konflik sosial dan fluktuasi harga. Sedangkan permasalahan kronis adalah, krisis yang terjadi berulang dan terus menerus. Krisis ini terjadi karena terbatasnya akses terhadap ketersedian pangan disertai harga bahan pangan yang melambung tinggi.

1. Konsumsi dan Produksi Beras

Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa beras bukan hanya sumber pangan utama, tapi juga simbol budaya. Sebagai simbol budaya yang melekat erat dengan kehidupan, maka beras mempunyai peran penting. Dalam tiap-tiap acara atau parade budaya, maka beras sering hadir di sana. Selain hadir dalam bentuk sajian makanan, beras juga digunakan pada fungsi yang berbeda. Pada ritual budaya tepung tawar misalnya, maka beras menjadi sesuatu yang tak terpisahkan.

(8)

forum-forum ilmiah yang membahas beras dan kebijakan perberasan pemerintah.

Pengukuran konsumsi harian per kapita menjadi titik penting untuk menghitung angka kecukupan stok ketersediaan beras bagi seluruh penduduk. Angka inilah yang nantinya menjadi acuan untuk menggenjot produksi lokal atau menambal kebutuhannya melalui importasi.

Dengan dasar itu, pada 2015 pemerintah telah mengukur konsumsi beras harian Indonesia untuk mengetahui takaran rata-rata konsumsi per kapita terhadap komoditas itu. pengukuran tersebut dilakukan guna menyesuaikan data jumlah takaran konsumsi beras perkapita yang digunakan di beberapa kementerian dan institusi seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik. Dalam pengukuran tersebut digunakan empat takaran beras dengan jumlah berbeda yang dimasak di penanak nasi elektronik dengan takaran air masing-masing setengah buku jari telunjuk diatas permukaan beras.

(9)

sampai dengan 2015. Dengan menggunakan angka tersebut, maka konsumsi beras tingkat nasional mencapai sekitar 27 juta ton.4

Masih berdasarkan informasi dari sumber yang sama, data ini telah divalidasi oleh BPS. Artinya, angka konsumsi beras per kapita terkoreksi menjadi lebih rendah dari tiga tahun sebelumnya, yakni dari 124kg/kapita/tahun (versi Kementan) dan 139kg/kapita/tahun (versi BPS).

Pada tahun 2015 itu juga, BPS telah merilis angka produksi padi pada 2015 mencapai 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG), yang mengalami kenaikan 6,42 persen atau 4,55 juta ton jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada penetapan angka tetap (ATAP) 2015, kenaikan produksi padi tersebut terjadi karena kenaikan luas panen 0,32 hektare atau mencapai 2,31 persen menjadi 14,1 hektare dan peningkatan produktivitas 2,06 kuintal per hektare atau 4,01 persen. Kenaikan produksi padi yang relatif besar pada 2015 terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Aceh. Sedangkan penurunan produksi yang relatif besar terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jambi, dan Kalimantan Barat.5 Berikut dipaparkan angka produksi padi 2010-2014.

4 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/21/nlihft-berapa-tingkat-konsumsi-beras-secara-nasional (diakses tanggal 08 Oktober 2016)

(10)

Angka-angka di atas menunjukkan kecenderungan produksi yang terus meningkat, kecuali pada tahun 2014 yang menunjukkan penurunan akibat kegagalan panen petani sebagai dampak dari fenomena el nino yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena el nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (Sea surface temperature – SST) di Samudera Pasifik sekitar ekuator

(aquatorial pasific) khususnya bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka kondisi penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat terjadinya penyimpangan iklim.6 Inilah

yang menjelaskan kenapa terjadi penurunan produksi pada tahun 2014.

Namun demikian, meskipun terjadi penurunan sebenarnya angka produksi tetap bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sebabnya, bahwa angka produksi yang dirilis oleh BPS seringkali lebih rendah dari angka produksi yang sebenarnya.

Pada 1956, Leon Mears dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, menulis buku tentang ekonomi beras atas permintaan Bulog. Begitu penting buku ini hingga pada 1981 ditulis ulang. Catatan terpenting yang perlu dikemukakan dari buku itu ialah bahwa berdasarkan hasil survei Mears, produksi beras yang dilaporkan Kantor Pusat Statistik, nama dulu untuk Badan Pusat Statistik (BPS) sekarang, lebih rendah sekitar 9,5 persen dari angka aktual dan faktor konversi dari gabah menjadi padi lebih tinggi 5 persen dari yang sesungguhnya. Gabungan koreksi keduanya

(11)

memberikan hasil akhir data produksi beras yang dilaporkan melampaui estimasi sekitar 8 persen.7

Dari catatan di atas menyebutkan bahwa BPS mencatat angka produksi padi (baca: beras) selalu di bawah angka aktual atau angka yang sebenarnya. Akibat dari pada ini adalah munculnya asumsi seolah-olah produksi dalam negeri tak cukup. Ini yang mungkin menjadi acuan kenapa pemerintah selalu mengambil kebijakan impor dari dulu hingga kini.

2. Distribusi

Kolh dan Uhl dalam Purwono dkk (2013) menyebutkan distribusi adalah kegiatan yang dapat memperlancar proses penyaluran barang atau jasa dari titik produsen ke titik konsumen. Secara umum, berikut ini alur distribusi perberasan di Indonesia.

7 Makmun Syadullah. Politik Perberasan

(12)

3. Kebijakan Importasi Beras

Rakyat padang pasir bisa hidup, masak kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masak kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup sandang, cukup pangan! Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha tolol.” (Pidato Bung Karno pada Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta 1953)8

Hubungan pangan dan politik berangkat dari asumsi bahwa seluruh kehidupan manusia dapat secara dramatis direduksi hanya pada perburuan makanan. Lepas dari berbagai cara, gaya, kebiasaan, dan selera masing-masing kelompok masyarakat, kebutuhan pangan merupakan cara paling esensial untuk mempertahankan hidup. Pangan menjadi kebutuhan permanen yang tidak pernah hilang. Karena itu, kecukupan pangan menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Pangan harus tersedia setiap saat dalam jumlah cukup, saat panen atau paceklik, dan dengan harga yang terjangkau siapa pun.

Fungsi pangan sebagai komoditas hajat hidup orang banyak inilah yang melahirkan unsur politik. Seseorang atau lembaga yang menguasai sumber-sumber pangan akan mempunyai posisi tawar dan posisi politik tertentu. Kekuatan tawar dan politik kian mekar manakala mereka juga menguasai organisasi pengolahan pangan, distribusi, sekaligus fasilitas-fasilitas publik dalam proses produksinya.9

8 http://lipi.go.id/berita/single/Ketergantungan-Impor-dan-Kedaulatan-Pangan/8949 (diakses tanggal 08 Oktober 2016)

(13)

Indonesia merupakan negara dengan tingkat ketahanan pangan yang fluktuatif. Impor beras dan pangan penting lainnya seperti kedelai, daging, dan susu sering memunculkan pertanyaan mengapa pertanian kita tidak berjaya. Bahkan, garam pun terpaksa diimpor, padahal kita memiliki lautan yang mahaluas. Bila bahan pangan-pangan penting masih terus mengandalkan impor, gejolak pangan di pasar internasional bisa memunculkan ketidakstabilan kualitas beras impor yang rendah dan risiko politik apabila terjadi kelangkaan beras di pasar. Faktanya sekarang ini ketergantungan Indonesia pada impor beras sudah begitu tinggi.11

Permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia juga merupakan dampak dari kebijakan pemerintah mengenai hasil pangan. Saat ini, masyarakat tidak lagi mempunyai kedaulatan atas pangan, baik kekuatan dalam mengatur produksi, maupun distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Sehingga, mereka sangat bergantung pada mekanisme yang dikuasai oleh segelintir pihak swasta. Akibatnya, Indonesia pada saat ini mengalami masalah krisis pangan, di mana krisis pangan merupakan suatu ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Permasalahan krisis pangan ini sering ditandai dengan kelangkaan stok dan melambungnya harga pangan. Kelangkaan

10 Ali Khomsan. Ironi Negeri Agraris (http://lampost.co/berita/ironi-negeri-agraris) diakses tanggal 08 Oktober 2016

(14)

stok pangan tersebut menyebabkan berbagai gejolak dan keresahan sosial.

Padahal mestinya, dalam urusan pangan ini pemerintah idealnya punya kendali penuh pada tiap-tiap rantai tata kelola perberasan nasional. Agus Saifullah (2001) menyatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik yang menyangkut aspek pra produksi, proses produksi, serta pasca produksi. Salah satu lembaga pangan yang diberi tugas pemerintah untuk menangani masalah pasca produksi, khususnya dalam bidang harga, pemasaran dan distribusi adalah Badan Urusan Logistik (Bulog).12

Dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sudah diatur soal kedaulatan pangan yang diartikan sebagai hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Kemudian juga ditegaskan soal Kemandirian Pangan yang diartikan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

12 Riyono. Impor Beras; Politik Beras atau Beras Politik

(15)

Dengan demikian sangat dibutuhkan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara. Sebagai hak dasar, maka pangan merupakan hak asasi manusia di mana negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi

(to fulfill) hak atas pangan masyarakat bukannya justru menjadikan pangan sebagai komoditas dagang. Dalam konteks penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia menuntut peranan negara yang maksimal, apalagi hak atas pangan adalah hak yang paling asasi.

Hak menguasai negara bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad).13

Perkembangan ekonomi politik akhir-akhir ini justru menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan bisnis telah mengambil banyak keuntungan dari mekanisme regulasi pangan. Hal ini dapat kita lihat bagaimana maraknya impor beras secara gelap dan praktek bisnis makanan yang tidak layak lagi. Seharusnya upaya pemenuhan hak atas pangan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat kepada setiap individu warga negara Indonesia.

Menjadi negara pengimpor bahan pangan tentu saja mencederai simbol negara agraris. Kendati demikian, apalah arti sebuah simbol tatkala hanya untuk melenakan rakyatnya agar tetap diam meski terjerembab dalam kebodohan dan ketertindasan. Krisis pangan yang sering diangkat berbagai media hanyalah sebuah

(16)

tradisi pemberitaan bak angin lalu media. Tentu saja itu bukan pernyataan yang berlebihan. Enam puluh tujuh tahun merdeka, dengan pengalaman sejarah dinamika pangan Indonesia, kecerdasan pemerintah hanya mampu memilih alternatif kebijakan pragmatis.

Di bawah ini terdapat beberapa negara pemasok beras ke Indonesia. Impor Beras Menurut Negara Asal Utama, 2010-2014 (pemutakhiran data terakhir pada september 2015)

Negara Asal 2010 2011 2012 2013 2014

Vietnam 467 369,60 1 778 480,60 1 084 782,80 171 286,60 306 418,1 Thailand 209 127,80 938 695,70 315 352,70 94 633,90 366 203,5

Tiongkok1 3 637,40 4 674,80 3 099,30 639,80 1 416,7

1Berdasarkan Keppres No.12/2014 tentang penggunaan kata Tiongkok untuk menggantikan

kata Cina

Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB) data dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia

(17)

Kementerian Pertanian membesar-besarkan angka produksi pertanian.14 Sebelumnya, seorang pejabat pemerintah senior yang

tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita

Reuters kalau pejabat Kementerian Pertanian membesar-besarkan data produksi beras demi memberikan gambaran bagus kepada pemerintah dan mendapatkan alokasi dana subsidi.

Walau kabar ini sudah dibantah oleh Kementerian Pertanian, tapi tetap saja menjadi pembenaran bagi Kementerian Perdagangan dan Bulog untuk menyusun rencana importasi beras. Padahal, pada akhir tahun 2015 BPS telah mengeluarkan angka tetap (ATAP) produksi gabah kering 2015 mencapai 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG), yang mengalami kenaikan 6,42 persen atau 4,55 juta ton jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan konsumsi beras nasional sekitar 33,35 juta ton, maka pemerintah mengumumkan surplus beras sebesar 10,25 juta ton.

Namun impor tetaplah impor. BPS misalnya pernah mengeluarkan data impor beras Juni 2015 yang melonjak 130 persen dari bulan sebelumnya. Hal ini mengundang reaksi Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan menegaskan tak mengeluarkan rekomendasi impor beras konsumsi atau beras medium (umum).15 Di luar produksi, ada variabel lain yang

menentukan besar kecilnya penyerapan beras oleh Bulog, yaitu situasi pasar. Jika harga gabah/beras di pasar di atas HPP, Bulog akan kesulitan mendapatkan gabah/beras. Situasi ini sudah

14

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160125_indonesia_beras

(diakses tanggal 08 Oktober 2016)

(18)

berlangsung beberapa tahun. Masalahnya, pemerintah belum menyediakan jalan keluar dari situasi sulit ini.

(19)

KEPUSTAKAAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring)

Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Badan Pusat Statistik. 2015. Indonesia dalam Angka - Publikasi Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta

http://www.piyunganonline.org/read/presiden-jokowi-serius-benahi-pertanian.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/21/nlihft-berapa-tingkat-konsumsi-beras-secara-nasional (diakses

tanggal 08 Oktober 2016)

https://m.tempo.co/read/news/2016/07/01/090784762/bps-produksi-padi-2015-tembus-75-4-juta-ton (diakses tanggal 08 Oktober

2016)

http://lipi.go.id/berita/single/Ketergantungan-Impor-dan-Kedaulatan-Pangan/8949 (diakses tanggal 08 Oktober 2016)

http://pejuang-pertanian.blogspot.co.id/2012/03/kemandirian-pertanian-indonesia-menuju.html (diakses tanggal 08

Oktober 2016)

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160125_ind

onesia_beras (diakses tanggal 08 Oktober 2016)

http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/21/kementan-produksi-beras-nasional-2015-mencapai-target (diakses tanggal 08

Oktober 2016)

Khomsan, Ali. “Ironi Negeri Agraris”(artikel). sumber:

http://lampost.co/berita/ironi-negeri-agraris (diakses tanggal

08 Oktober 2016)

(20)

Natawidjaja, Ronnie S. & Irlan A. Rum. 2013. Food Security Situation and Policy in Indonesia. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Agribisnis Universitas Padjadjaran. Bandung

Riyono. “Impor Beras; Politik Beras atau Beras Politik” (artikel). Sumber:

http://news.detik.com/kolom/1686683/impor-beras-politik-beras-atau-beras-politik (diakses tanggal 08 Oktober

2016)

Supari. 2014. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta

Syadullah, Makmun. “Politik Perberasan” (artikel). Sumber:

http://regional.kompas.com/read/2011/09/21/02283280/.Polit

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan PLTGL OWC rancangan Dengan menggunakan PLTGL OWC rancangan Energetech di perairan Aceh, jumlah energi Energetech di perairan Aceh, jumlah

INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA APMD POLITEKNIK KESEHATAN

Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction

Ada sebagian artikel yang menggunakan lebih dari satu model dalam penelitiannya, tetapi hanya dua model saja yang akan dihitung dalam penelitian. Selain modelnya, setiap

Batasan masalah dalam penelitian tugas akhir ini adalah (1) metode yang digunakan pada pengukuran tekanan darah dan denyut nadi ini adalah metode osilometri (2) sensor

Kiranya kami sebagai gereja-Mu tunduk, dalam sikap hormat dan patuh untuk menyerahkan dan mengelola persembahan yang adalah harta milik-Mu ini, ya Tuhan. Tuntunlah agar

Kepala Seksi Pendaftaran Tanah dan Kepala Sub Direktorat Agraria atas nama Bupati atau Walikota Kepala Daerah menandatangani buku tanah tersebut dan menerbitkan salinan buku tanah

development center Categorical researcher ascribed One item Yes Doubtful None feasible None reported Crant (1996) Business ownership Continuous One 3-item scale No Not possible Alpha