• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Perencanaan Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Majalah Perencanaan Pembangunan"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Sekolah Laskar Pelangi Belitung

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Menuju

Kemandirian Pangan

2015-2025

URGENSI REGENERASI

SDM PERTANIAN DALAM

UPAYA MENCAPAI

KEDAULATAN PANGAN

Dampak Kebijakan Tarif Impor

Beras Terhadap Surplus Produsen

Dan Konsumen

The Poten al of Agro Industrial

The Poten al of Agro Industrial

Cluster as a Means to Develop the

Cluster as a Means to Develop the

Local Economy in Indonesia

(2)

5

MENUJU

KEMANDIRIAN

PANGAN 2015-2025

Budhi Santoso

46

ASSESSING

INDONESIA’S

CURRENT EXCHANGE

RATE REGIME

Mochammad Firman

Hidayat

88

FUNDAMENTAL

NILAI TUKAR

RUPIAH TERHADAP

DOLAR AMERIKA

Anang Budi Gunawan

16

DAMPAK

KEBIJAKAN

TARIF IMPOR BERAS

TERHADAP SURPLUS

PRODUSEN DAN

KONSUMEN

Akhmad

55

POLICY

COORDINATION

EFFECTIVENESS:

Analysing CoordinaƟ on Level in the FormulaƟ on of NaƟ onal

Development Planning Document in Indonesia

Firdini

96

BOOK REVIEW

WINDOW TO

INDONESIA’S ENERGY

CHALLENGES AND THEIR

ALTERNATIVE ANSWERS

Muhyiddin

ASSESSING

NDONESIA’S

A

IN

27

URGENSI

REGENERASI SDM

PERTANIAN DALAM

UPAYA MENCAPAI

KEDAULATAN PANGAN

Muksin

Bustang A.M.

Hidayat

NDAMENTAL

FUN

65

SUBJECTIVE

WELL

ͳ

BEING

MEASUREMENT FOR

PUBLIC POLICY IN

INDONESIA

Dwi Ra h S. Es

POLICY

Akhmad

34

KEBIJAKAN

EKONOMI MAKRO

MASA KRISIS

Yulius

OOK REVIEW

Firdini

BO

74

THE

POTENTIAL OF AGRO

INDUSTRIAL CLUSTER

AS A MEANS TO DEVELOP

THE LOCAL ECONOMY IN

INDONESIA

Ika Retna Wulandary, ST., M.Sc.

Da

Ō

ar

Isi

PENANGGUNGJAWAB: Sekretaris Kementerian PNN/Sestama Bappenas | PEMIMPIN UMUM: Dr. Ir. Budi Hidayat, M.Eng.Sc. | PEMIMPIN REDAKSI: Dr. Bustang, M.Si. | DEWAN REDAKSI: Ir. Hanan Nugroho, M.Sc; Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP; Dr. Guspika, MBA; Drs. Se a Budi, MA; Dr. Haryanto, SE, MA; Dr. Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA; Eko Wiji Purwanto, SE, MPP; Drs. Amich Alhumami, MA, M.Ed, Ph.D; Muhyiddin, S.Sos, MSE, M.Sc; Darmawijaya, SE; Yunhri Trima Vibian, SE, MM; Anantyo Wahyu Nugroho, SE, AK.M.Acc; Budi Cahyono, S.Sos | DESAIN GRAFIS: Sarono Santoso | PHOTO: © Herry Suhermanto | DISTRIBUSI: Ali Sahbana, SH; Shaleh MHD, S.Sos, MAP. SEKRETARIAT: Nurhalik; Thohari; Agustori.

ALAMAT REDAKSI: Jalan Taman Suropa No. 2 Gedung Sayap Timur Lantai 3 Jakarta Pusat Telp. (021) 3905650 ext. 3545 Fax. (021) 3161762 Email: majalahperencanaan@bappenas.go.id Website: h p://bappenas.go.id Nomor STT: 1685/SK/Ditjen PPG/STT/1991 Nomor ISSN: 0854-3709

INFORMASI

PEJABAT FUNGSIONAL PERENCANA

Dalam upaya meningkatkan kualitas perencana pemerintah di

pusat dan di daerah, Majalah Perencanaan Pembangunan (MPP)

bekerjasama dengan Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia

(AP2I) Komisariat Bappenas, berkomitmen untuk membantu/

memfasilitasi/ pendampingan para fungsional perencana di pusat

dan daerah dalam bentuk bimbingan teknis bidang Perencanaan

Pembangunan Nasional dan Daerah yang meliputi :

1. Dasar-dasar Kebijakan Publik;

2. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah;

3. Manajemen

Kinerja;

4. Perencanaan

Strategis;

5. Perencanaan Sektoral/ Regional dan Daerah;

6. Rencana Kerja Pemerintah Daerah;

(3)

96

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

book focuses on Indonesian domestic energy issues, the author suggests lessons to be learned from other countries’ experiences, such as on energy conservation from Japan, development of nuclear power plant from Korea, and development of geothermal energy from Iceland.

Both books are not well organized like a usual textbook, however these collection of thoughts on Indonesian energy issues and policies have been compiled in a quite systematic way. The books are valuable because of their extensive coverage and clear explanation; thus might serve as references for government offi cials, energy businessmen, as well as university faculty/university students studying energy economics and policy.

Energy is long viewed as an engine for economic growth. Energy issues (including its geopolitical one) have grown now becoming a concern not only of the government or energy business giant but also general publics. Indonesia, with its not abundant energy resources, is geographically close to huge countries hungry for energy. This adds challenge to Indonesia’s quest for meeting its domestic energy demand.

As Indonesia’s economic is continuously growing so as its accompanied energy and environment challenges, the presence of these two books have signifi cant meanings. Hopefully it will be followed by other publications on the subject.

96

E

disi kali ini memuat pemikiran perihal bagaimana menuju kemandirian pangan 2015-2025, sebagai ulasan utama berkenaan dengan kebijakan impor komodi pangan dan dampaknya terhadap kedaulatan pangan nasional. Pemerintah memang mengawal pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, namun lebih dalam perspek f yang bersifat reak f, cemas terhadap gejolak yang mungkin di mbulkan akibat kurangnya pangan dan peningkatan harga pangan nasional. Budhi Santoso menawarkan strategi menahan alih fungsi lahan, memanfaatkan lahan-lahan sub op mal, dan meningkatkan kegiatan peneli an dan pengembangan pertanian pangan selama 10 tahunan ke depan menuju akhir rencana jangka panjang nasional.

Masih terkait pangan, produsen dan konsumen pangan di Indonesia tampaknya terkena imbas liberalisasi pangan dunia yang membuat upaya proteksi pangan nasional menjadi semakin dak berdaya. Beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia, produksinya secara nasional dak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Impor beras menjadi opsi yang dak dapat dihindarkan dan tarif impor beraspun diterapkan. Akhmad mengajukan opsi pengaturan tarif impor sebagai bentuk perlindungan pemerintah kepada produsen dan konsumen beras nasional. Pengendalian tarif impor beras sangat pen ng dilakukan agar dapat menjadi insen f bagi petani padi untuk lebih

produk f lagi. Strategi kebijakan yang ditawarkan adalah memberikan kompensasi dari tarif yang dikenakan pada beras impor kepada produsen dan konsumen beras dan menjaga deviasi ngkat tarifnya agar dak lebih dari 15%.

Kegalauan semakin berkurangnya kaum muda yang berkiprah di usaha pertanian mendesak pen ngnya upaya regenerasi sumber daya manusia di pertanian dalam upaya mencapai kedaulatan pangan. Struktur pertanian telah bergeser dari pertanian tradisional ke pertanian yang lebih padat investasi di lahan yang semakin sempit, dan hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi para petani untuk dak terpana di persimpangan padat karya atau padat modal. Arah pemikiran makalah Bustang dan Muskin membawa kita pada pen ngnya memfasilitasi upaya regenerasi sumber daya manusia di pertanian, agar ada generasi baru yang siap menghadapi persaingan di pasar pertanian yang semakin bebas. Generasi petani pembelajar yang responsif dan mampu menjalankan usaha taninya secara efi sien dan efek f dengan kapasitas manajerial abad 21.

Kekuatan pertanian sebagai penopang perekonomian nasional, regional, dan lokal tetap pen ng untuk diperhitungkan. Luasnya bidang garap pertanian, mendorong Wulandary untuk fokus pada telaahan terkait potensi klaster industri agro sebagai

Pengantar Redaksi

(4)

2

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

sarana untuk mengembangkan ekonomi lokal di Indonesia. Kasus klaster industri kakao di provinsi sulawesi selatan ditonjolkan karena rantai nilai produksi kakao di Sulawesi sudah mulai menghilir, sehingga patut diper mbangkan pengembangannya dalam kerangka pembangunan ekonomi lokal. Produksi kakao Indonesia menyumbang 19% produksi Kakao Dunia, dan seper ganya berasal dari usaha pertanian kakao rakyat di Sulawesi Selatan.

Kendala usaha, apapun bentuknya, adalah terjadinya krisis ekonomi yang bias pada ke daklengkapan informasi sehingga lahir keputusan-keputusan atau kebijakan ekonomi yang berdampak buruk pada ekonomi. Kebangkitan dan krisis ekonomi bagaikan suatu proses iterasi silih bergan dan instrumen-instrumen makro pendorong kebangkitan ataupun penangkal krisis sulit bergeser dari koridor konvensionalnya. Yulius meyimpulkan dari premis yang dibangunnya bahwa pen ng bagi pemerintah untuk dak melebarkan utangnya dan secara inova f mengombinasikan kebijakan fiskal dan moneter dalam penerapan in a on

targe ng, pengembangan likuiditas, ataupun dalam membangun stabilisator otoma s fi skal.

Di dalam kerangka moneter, instrumen nilai tukar tampaknya memiliki pengaruh yang dak kecil bagi dunia usaha. Saat ini diperkirakan ada pihak-pihak yang suka untuk mempertahankan rejim “mengambang” (FER, fl oa ng exchange rate) yang diperhitungkan dapat menetralisasi tekanan pasar secara lebih cepat. Globalisasi dan keterbukaan pas ar

meningkatkan peran nilai tukar dimana telaahan Hidayat bisa menunjukkan variabel-variabel apa yang pro terhadap FER tersebut. Contoh, dak berar keterbukaan pasar membuat FER diterima, karena banyak negara ak f di pasar global menghendaki nilai tukar yang stabil. Investor lintas negara di sisi lain cenderung pro FER karena fl uktuasi nilai tukar merupakan peluang untuk meraih keuntungan. Hal-hal seper itu diindikasikan dengan cermat dalam makalah Hidayat. Masih dalam urusan nilai tukar Gunawan juga menguraikan aspek mendasar dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, yakni pergerakan modal asing dan gerakan para spekulan yang bisa menimbulkan gejolak nilai tukar rupiah-dolar, baik apresiasi ataupun depresiasi.

Akhirnya makalah Es dan makalah Firdini mengantarkan kita pada pen ngnya dilakukan analisa kebijakan publik, apakah itu untuk kepen ngan koordinasi kebijakan agar lebih efek f, ataupun untuk perhitungan ngkat kesejahteraan masyarakat subyek f. Koordinasi dalam perumusan dokumen perencanaan pembangunan nasional yang berjenjang di Indonesia sangat diperlukan, ungkap Firdini, yakni agar keputusan pengembangan kesejahteraan secara efek f terukur. Untuk kebijakan publik di Indonesia, Es menyarankan perlunya para pembuat keputusan mendalami kembali konsep pengaturan kelembagaan yang relevan dan cocok untuk dirancang dengan memperhitungkan modal dan kebijakan kelembagaan di negara-negara yang menginisialisasi kesejahteraan subjek f nasional.

Tim Redaksi

Majalah Perencanaan Pembangunan

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

95

Book Title : Energi dalam Perencanaan Pembangunan Author : Hanan Nugroho

Publisher : IPB University Press, 2012 Number of pages : xvi + 353

ISBN : 978-979-493-417-3

(formerly Indonesia’s Vice Minister of Energy & Mineral Resources).

Most topics discussed in these books have long been in the domain of public curiosity in Indonesia. The writer contribution is making them (such as the issues on oil subsidy, energy infrastructures, or relationship between gas and power) easy to digest by general readership. Though, the books do not lose their technical explanations and scientifi c merits.

The fi rst book presents 25 articles (mostly are short one) on Indonesia’s “energy-economy-environment (3Es) related issues, emphasizing energy challenges and more precisely gas and power development. Those are not familiar with the issues, this book --as pointed out by Dr. de Wilde, a veteran of The World Bank energy specialist-- is “an eye opener and yet a comprehensive guide into the Indonesian energy sector related challenges, problems and opportunities.”

(5)

94

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Book Title : A Mosaic of Indonesian Energy Policy

Author : Hanan Nugroho Publisher : IPB University Press, 2011 Number of pages : xiii + 198

ISBN : 978-979-493-342-8

Book Review

Window to Indonesia’s Energy Challenges and

Their Alterna ve ANSWERS

Muhyiddin

Planner and an Economist at National Development Planning Agency - BAPPENAS, Jakarta

A

senior development planner

(currently an Harvard Research Fellow) wrote two books on Indonesia’s energy issues and policies, “A Mosaic of Indonesian Energy Policy” and “Energi dalam Perencanaan Pembangunan” (Energy in Development Planning). These books are important as Indonesian energy issues are multifaceted/challenging, and as we are lacking literatures on the subject. Moreover, the books offer analyses and in a certain degree—alternative solutions to the complex energy related problems Indonesia is facing.

The books cover wide range of Indonesia’s energy issues that include energy security, energy and environment, energy and economy, decentralization of energy management, deregulation of energy industry, and on specifi c topics of several energy types: oil, gas, electricity, etc. Written popularly, most of the topics have been published previously as conference and working papers, and even popular articles, mostly at The Jakarta Post for “A Mosaic”.

Two prominent persons on Indonesia’s energy issues contributed introductory remarks for the books: Dr. Maizar Rahman (formerly Acting Secretary General for OPEC), and the late Prof. Widjajono Partowidagdo

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

3

Abstract

P

enduduk Indonesia saat ini sekitar 251 juta dan akan terus meningkat. Jumlah total penduduk Indonesia pada 2035 diperkirakan mencapai 305,6 juta jiwa, naik signifi kan sekitar 20 %. Untuk memenuhi pangan ke depan, bagi jumlah penduduk yang banyak tersebut daklah mudah dan memerlukan persiapan mulai dari sekarang. Pelaksanaan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia masih cenderung dipenuhi dengan import pangan. Tren import tersebut diperkirakan sebanyak 1.5 juta ton pada tahun 2015 sampai 2,6 juta ton pada tahun 2019. Perkiraan import tersebut berdasarkan asumsi bahwa luas lahan pertanian dak berubah dari tahun ke tahun yaitu sekitar 12,5 juta hektar. Produksi beras juga diperkirakan dak akan meningkat secara tajam

tahun-tahun ke depan yaitu berkisar 40,0 juta ton per tahun-tahun. Untuk mengan sipasi ledakan jumlah penduduk dengan kondisi produk fi tas pangan selama ini sangat beresiko akan semakin tergantung kepada Import. Untuk itu ketahanan pangan harus disediakan secara swa sembada. Diperlukan suatu rencana peningkatan produksi pangan secara nyata dalam bentuk Roadmap sampai 2025. Sedemikian sehingga pemenuhan ketahanan pangan dak lagi tergantung dari luar negeri. Paper ini mengusulkan perluasan lahan dengan memanfaatkan lahan sub op mal yang tersedia sangat luas di Indonesia akan mendorong peningkatan produksi pangan secara signifi kan. Disamping itu juga terus menerus memperbaiki kelemahan pertanian Indonesia yang terdiri dari (1). Pengelolaan/Pasca Panen yang rendah; (2). Infrastruktur (sarana & prasarana kurang); (3). Pemilikan tanah sempit; (4). Pemilikan/ akses modal dak mencukupi; (5). Tingkat pendidikan rendah; (6) Penguasaan teknologi kurang; (7). Tingkat ketrampilan rendah; (8). Sikap mental yang malas.

MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN

2015-2025

Budhi Santoso

Fungsional Perencana Utama/ Tim Analisa Kebijakan Bappenas

KONDISI UMUM

M

enurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang “Pangan” maka penger an ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana kebutuhan masyarakat akan pangan dapat dipenuhi dengan baik. Kondisi ini tewujud apabila jumlah dan mutu pangan yang tersedia cukup serta terjangkau oleh masyarakat. Meskipun demikian, penger an ini dak mengharuskan pemenuhan kebutuhan pangan tersebut

(6)

4

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Beberapa alasan yang disampaikan bahwa upaya untuk swa sembada beras secara terus menerus berat dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Biaya at all cost sangat besar, misalnya dalam APBN 2013 menghabiskan dana sampai sebesar Rp. 200 triliun untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, subsidi pupuk dan benih, dan lain-lain; (2) Perluasan areal lahan sawah lambat dilakukan sedangkan yang sudah ada terus mengalami konversi ke penggunaan lain; (3) Inovasi produk vitas padi sejauh ini masih belum bisa di ngkatkan melebihi rata-rata nasional. Masih berkisar antara 5-7 ton GKG/ ha; (4) Adanya pola pikir dari berbagai pihak bahwa memenuhi prinsip ketahanan pangan dak harus dipenuhi seluruhnya dari swa sembada. Selama ini swasembada beras on-trend sebesar 70-80% dan untuk memenuhi ketahanan pangan nasional maka sisanya sebesar 20-30% diimpor dari negara-negara lain.

Apabila untuk memenuhi ketahanan pangan sesuai dengan UU Pangan tersebut di atas berat dilakukan dengan swa sembada, maka mengacu pada ketahanan pangan FAO juga akan sulit. Menurut FAO maka ketahanan pangan adalah suatu kondisi terus menerus dimana semua masyarakat dapat memenuhi (se ap saat) baik secara fi sik, sosial dan ekonomi atas kebutuhan pangannya dalam jumlah yang cukup, aman dan cukup nutrisi agar dapat berkehidupan yang ak f dan sehat wal afi at. Berdasarkan de nisi FAO ini maka ada 4 (empat) dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses secara ekonomi maupun fi sik, penggunaan pangan dan stabilitas ke ga hal ini se ap waktu.

Yang dimaksud dengan ketersediaan fi sik pangan adalah dari “supply side” yang ditentukan oleh produksi pangan dalam negeri, ngkat stok yang ada serta net

perdagangan (export–import). Sedangkan penger an ada-nya akses fi sik dan akses ekonomi atas pangan adalah bahwa kecukupan ketersediaan pangan di ngkat nasional (atau internasional) dak menjamin bahwa ketahanan pangan di ngkat rumah tangga terwujud. Selanjutnya peman-faatan pangan adalah kemampuan tubuh (badan manusia) menyerap nutrisi yang ada dalam pangan secara maksimal. Kemampuan biologis tubuh manusia atas asupan nutrisi ini merupakan status nutrisi individu. Meskipun asupan nutrisi dapat dilakukan seseorang secara cukup, tetapi bisa masuk kategori food insecure kalau akses terhadap pangan terganggu. Sebagai contoh cuaca buruk, ke dakstabilan poli k, atau faktor-faktor ekonomi (pengangguran, kenaikan harga pangan/ infl asi) dapat mempengaruhi status food insecurity seseorang. Dengan demikian ketahanan pangan, menurut FAO, keempat dimensi pangan tersebut di atas harus terwujud secara simultan.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka pemenuhan ketahanan pangan baik berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 maupun FAO tersebut di atas akan semakin berat untuk dipenuhi. Dari 251 juta penduduk Indonesia, maka saat ini lebih dari 32 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar setengah dari seluruh rumah tangga tetap berada di sekitar garis kemiskinan nasional yang ditetapkan pada Rp 200.262,- per bulan. Keberhasilan mewujudkan ketahanan pangan akan secara langsung maupun dak langsung membantu menurunkan kemiskinan di Indonesia yang masih nggi ini. Tantangan semakin berat karena menurut Badan Pusat Sta s k (BPS), jumlah total penduduk Indonesia pada 2035 diperkirakan mencapai 305,6 juta jiwa.

Selanjutnya, untuk menghadapi tantangan-tantangan Indonesia ke depan, Bank Dunia (2014) Tabel 1. KomodiƟ Beras: Luas Lahan, Yield, Produksi (2013)

Negara Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk 2013

Luas Lahan

(m, ha) Yield (t/ha)

Produksi (m t, milled basis)

Bangladesh 154.394 (IV). 1.3 11.7 (IV). 2.9 34.2

China 1.354.000 (I) 0.1 30.4 (II). 4.7 (I). 142.0 (I).

India 1.261.527 (II). 0.75 44.5 (I). 2.4 107.0 (II).

Indonesia 247.188 (III). 1.0 12.3 (III). 3.0 (III). 37.0 (III).

Thailand 67.149.778 0.2 11.1 1.9 20.9

Philippines 98.113 1.7 4.6 2.6 11.8

Vietnam 90.657 1.0 7.8 3.5 (II). 27.6 (IV).

Sumber: Interna onal Grains Council, 2013 and World Popula on Sta s cs, 2013

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

93

DAFTAR PUSTAKA

Elbadawi, I. (1994). Es ma ng Long-Run Equilibrium Real Exchange Rates. John Williamson (ed.), Es ma ng Equilibrium Exchange Rates. Ins tute for Interna onal Economics, Washington D.C., 93-132.

Gunawan, A. B. (2006). Laporan Akhir Equilibrium Exchange Rate : Fundamental Purchasing Power Parity dan Behavioral Equilibrium Exchange Rate. Research Fellow Project. Offi ce of Chief Economist, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Nuryadin, D. (2006). Real Eff ec ve Exchange Rate Determina on in Indonesia : A Behavioral Equilibrium Exchange Rate Approach. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal 147-158, Vol 11 No.2 Agustus 2006

Panggabean, M., Gunawan, A.B., & Dewi, M.I. (2006). Probability Pressure Misalignment Nilai Tukar. Staff Technical Report No.1 – April 2006. Offi ce of Chief Economist, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Siregar, R. Y. (2011). The Concept of Equilibrium Exchange Rate : A Survey of Literature. The South East Asian Central Banks (SEACEN) Research and Training Centre Kuala Lumpur, Malaysia. Staff Paper No.81

Gambar 6. Historikal Nilai Tukar Rupiah

(7)

92

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

nilai tukar akan mendorong terdepresiasinya nilai tukar aktual. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dalam tulisan ini, maka masih terdapat potensi apresiasi nilai tukar menuju arah fundamentalnya. Namun perlu diingat bahwa secara historikal kondisi undervalued yang terjadi saat ini umumnya dialami selama 5-8 kuartal. Oleh karena itu, berbagai kebijakan untuk memperbaiki defi sit transaksi berjalan akan mendorong apresiasi nilai tukar yang lebih nggi. Berbagai kebijakan untuk penanganan defi sit seper subs tusi bahan baku impor untuk industri ke bahan baku lokal perlu dilakukan segera sehingga ketergantungan pada bahan baku impor dapat dikurangi.

Meskipun demikian, berbagai upaya untuk men-dorong perbaikan kondisi nilai tukar akan mengahadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Perkiraan menurunnya produksi minyak dalam negeri dan turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi China sebagai salah satu

mitra dagang pen ng Indonesia menjadi tantangan dalam memperbaiki defi sit transaksi berjalan. Lebih lanjut, adanya prediksi naiknya suku bunga Amerika Serikat (Fed Rate) juga akan mendorong keluarnya dana asing yang tentunya akan berpengaruh pula pada kondisi nilai tukar rupiah jika Bank Indonesia dak menaikkan BI rate pada level yang kompe f.

Dari sisi teknikal, perhitungan di dalam tulisan ini perlu dilengkapi dengan hasil perhtungan dengan menggunakan metode pengukuran fundamental nilai tukar yang lainnya. Hal ini akan memperkuat pemahaman mengenai variable-variable yang mempengaruhi vola litas nilai tukar karena se ap metode perhitungan memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Di samping itu, se ap metode perhitungan memiliki keunggulan tersendiri dalam menjawab isu persoalan yang terkait dengan spesifi k variabel yang mempengaruhi fundamental nilai tukar.

Gambar 5. Probability Pressure of Misalignment Nilai Tukar Rupiah

Sumber : Kalkulasi Penulis

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

5

maka Indonesia harus terus melakukan reformasi struktural guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Reformasi struktural tersebut merupakan kunci dalam mengurangi kerentanan dan meningkatkan keberlanjutan pertumbuhan jangka panjang. Indonesia perlu mengatasi sejumlah tantangan, seper struktur pembiayaan, struktur produksi domes k, ketahanan energi dan ketahanan pangan. Sebagai contoh apabila konsep pemenuhan ketahanan pangan dilakukan dengan import terus menerus maka hal ini akan berdampak terhadap pengelolaan subsidi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ketersediaan modal dasar pembangunan. Dengan melaksanakan Reformasi struktural di bidang ketahanan pangan akan memberikan masyarakat kesempatan untuk berbagi keuntungan dari kemajuan yang dicapai. Inilah kunci dari pertumbuhan untuk masa depan 1.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia, maka percepatan pembangunan pertanian yang berorientasi swa sembada pangan memegang peran pen ng. Berdasarkan data BPS (2013) diketahui bahwa sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga di perdesaan. Di masa yang akan datang, seharusnya memang sektor pertanian akan tetap menjadi andalan bagi ketahanan pangan yang swa sembada. Hal ini sejalan dengan laju pertumbuhan dan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. Jangan menggantungkan pemenuhan ketahanan pangan dari import dalam jangka menengah maupun jangka panjang ke depan.

Sebagaimana disampaikan pada Tabel 1, maka dibandingkan dengan negara yang juga konsumsi beras sebagai pangan utama, jumlah penduduk Indonesia pada urutan ke ga demikian juga luas lahan, yield dan produksinya. Untuk dapat mencapai kemandirian pangan maka yield atau produk fi tas beras Indonesia harus bisa melebihi China atau Vietnam. Sebagaimana diketahui

1. Berita 11 April 2014, www.Kemenkeu.go.id, “Jaga Pertumbuhan, RI Perlu Jaga Reformasi Struktural”.

bahwa kedua negara ini masing-masing mampu mandiri dalam hal pangan meski jumlahnya penduduknya sangat besar (China) dan bahkan mampu untuk ekspor beras sebagai pendapatan nasional (Vietnam). Ke depan seharusnya Indonesia dak hanya mandiri tetapi juga harus bisa ekspor pangan karena sebagaimana terihat dalam Tabel 1 tersebut lahan pertanian Indonesia cukup luas dibandingkan dengan beberapa negara lain.

PERMASALAHAN DAN SASARAN

Meskipun mengalami kemajuan yang patut dicatat prestasinya, pembangunan Indonesia masih belum mencukupi2. Ketahanan pangan dan kecukupan nutrisi

belum terwujud dan masih tetap merupakan permasalahan yang harus dihadapi, khususnya untuk provinsi-provinsi di wilayah Indonesia bagian mur yang mana indikator-indikator pembangunan masih menunjukkan angka yang mengkhawa rkan. Menurut World Food Program (2013) sebanyak 13 persen dari jumlah penduduk Indonesia yaitu sekitar 31 juta orang, masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional dan hampir setengah dari populasi atau 42 persen hidup di bawah purchasing power parity US $ 2 per hari. Selanjutnya mengacu laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa keberlangsungan disparitas antar daerah dalam hal pembangunan manusia dan sumber daya terutama disebabkan oleh rendahnya kemampuan teknis dan kapasitas administrasi di ngkat provinsi dan daerah ( World Food Program, 2013). Pada saat yang sama, Indonesia merupakan negara yang paling rentan terhadap bencana alam dan perubahan iklim yang mana hal ini ditenggarai sebagai ancaman utama terhadap ketahanan pangan. Indonesia terus berlanjut menghadapi dampak bencana yang besar seper gempa, tsunami dan erupsi gunung berapi. Untuk itu harus dian sipasi jika terjadi bencana, kekeringan, banjir dan longsor sehingga dampaknya dak menghambat ketahanan pangan nasional.

Selanjutnya fakta juga menunjukkan bahwa program diversifi kasi pangan belum op mal terlaksana karena

(8)

6

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

rata penduduk Indonesia belum mendapatkan asupan energi pangan yang cukup baik dari segi kuan tas maupun dari segi keseimbangannya. Rata-rata penduduk Indonesia terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat dan terlalu sedikit mengkonsumsi protein. Selama ini ketersediaan energi pangan nasional dari segi kuan tasnya sudah mencukupi tetapi terlalu didominasi kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Pola diversifi kasi pangan yang op mal sebenarnya dapat diperoleh dari 9 (sembilan) komoditas pangan pilihan, yaitu: Beras, Jagung, Ikan, Telur, Susu, Ubi Kayu, Ubi Jalar, Kedelai dan kacang tanah. Berdasarkan pola tersebut, ketersediaan beras, ikan, ubi kayu dan ubi jalar telah mencukupi tetapi ketersediaan jagung, telur, susu, kedelai dan kacang tanah belum mencukupi (3).

Ketahanan pangan belum dipenuhi dengan kemandirian pangan. Hal ini terbuk bahwa selama ini permasalahan kelangkaan atau kekurangan beras dalam negeri dian sipasi pemerintah dengan memperbesar stok dan/ atau mengimpor beras. Berdasarkan data dari Interna onal Grains Council (www.igc.int) Februari 2014, maka data penawaran & permintaan beras Indonesia pada tahun 2011/2012 menunjukkan bahwa stok beras Indonesia sebesar 5.7 juta ton, produksi 36.4 juta ton, import 1.7 juta ton dan yang dikonsumsi sebanyak 39.1 juta ton. Selanjutnya pada pada tahun 2012/2013 stok beras Indonesia 4.7 juta ton, produksinya adalah 36.8 juta ton, import 0.6 juta ton dan yang dikonsumsi sebanyak 39.2 juta ton. Interna onal Grains Council memprediksi bahwa untuk tahun 2013/2014 stok beras Indonesia 3.0 juta ton, produksinya adalah 37.6 juta ton,

3 Se awan, 2012

import sebanyak 1.2 juta ton kemudian yang dikonsumsi sebanyak 39.5. juta ton (4).

Berdasarkan laporan Interna onal Grains Council (Desember 2013), maka Indonesia masih akan terus import beras lima tahun ke depan. Tren import tersebut adalah sebanyak 1.5 juta ton pada tahun 2015, kemudian 1,8 juta ton pada tahun 2016 serta diperkirakan 2,1 juta ton beras pada 2017. Selanjutnya diperkirakan akan import sebanyak 2,4 juta ton pada tahun 2018 dan 2,6 juta ton pada tahun 2019. Berdasarkan sumber data tersebut maka asumsi yang digunakan adalah luas area tanam yang rela f sama dari tahun ke tahun yaitu 12,3 ha; 12,4 ha; 12, 5 ha; dan 12,5 juta hektar antara tahun 2015 – 2018. Sedangkan yield yang digunakan adalah

rata-rata nasional sebesar 3.1 ton beras per hektar dengan perkiraan produksi berasnya adalah 38,2 juta ton; 38,5 juta ton; 38,8 juta ton; dan 39,0 juta ton (2014-2018).

Berdasarkan data-data tersebut di atas diperkirakan Indonesia akan terus melakukan import beras yang jumlahnya semakin meningkat hingga tahun 2019. Hal ini semakin meperkokoh pemahaman ketahanan pangan Indonesia dipenuhi dengan import, bukan dengan kemandirian pangan. Ar nya belum terwujud kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dengan produksi dari dalam negeri sendiri. Padahal di njau secara global, sebenarnya Indonesia termasuk produsen beras utama. Sebagaimana terlihat

4 Data dari BPS menyebutkan produksi padi tahun 2013 sebesar 71,29 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), lebih nggi dibandingkan produksi padi Indonesia pada tahun 2011 65.756.904 ton (GKG) dan tahun 2012 sebanyak 69.056.126 kg (GKG).

Tabel 2. Negara-negara Produsen Beras Utama

Negara Total Luas Panen GKG (Padi)-Hektar Produksi Gabah Kering Giling (Metrik Ton)

CHINA 29,493,000 195,714,000

INDIA 44,100,000 148,260,000

INDONESIA 12,883,600 64,398,900

BANGLADESH 13,000,000 47,700,000

VIETNAM 7,414,300 38,725,100

THAILAND 10,248,000 30,466,920

MYANMAR 8,100,000 32,600,000

JAPAN 1,624,000 8,474,000

PHILIPPINES 4,532,300 16,266,420

BRAZIL 2,900,000 12,650,000

Sumber: h p://nipunarice.com/rice-o-pedia/major-rice-producing-na ons/

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

91

tahun 2013, nilai tukar mengalami kondisi undervalued dibandingkan nilai fundamentalnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelemahan yang terjadi lebih besar dibandingkan nilai fundamentalnya sehingga nilai tukar masih memiliki potensi mengalami penguatan. Analisis ini sejalan dengan yang terjadi pada kondisi nilai tukar di kuartal pertama 2014 yang mengalami penguatan (apresiasi) yang cukup signifi kan.

TEKANAN KOREKSI NILAI TUKAR

Semakin besar overvalued atau undervalued nilai tukar aktual dari nilai fundamentalnya maka semakin besar kemungkinan nilai tukar aktual tersebut menuju nilai fundamentalnya. Lalu apakah kondisi undervalued pada akhir kuartal 2013 cukup besar untuk mendorong terjadinya apresiasi nilai tukar? Dengan menggunakan perhitungan sederhana, dari nilai misalignment kemudian dihitung seberapa besar probabilitas tekanan koreksi nilai tukar aktual menuju fundamentalnya. Pendekatan perhitungan dilakukan dengan metode yang digunakan oleh Panggabean,dkk (2006) dengan melakukan perhitungan probabilitas tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar pada kuartal 1-2008 sampai dengan kuartal 4-2005.

Data yang digunakan untuk mengetahui berapa besar tekanan yang terjadi didasarkan pada data misalignment yang didapat melalui perbedaan nilai fundamental dan aktual. Nilai misalignment yang dihasilkan dalam nilai kuartalan kemudian diinterpolasi menjadi data bulanan dengan menggunakan pendekatan linear match-average. Nilai misalignment yang telah diinterpolasi kemudian dihitung nilai standarnya (z-score) dengan tabel kurva normal. Hasil perhitungan tersebut untuk analisis dalam tulisan ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Perhitungan tekanan probablitas misalignment nilai tukar rupiah dihitung dengan menggunakan confi dent interval 90 persen. Ke ka nilai probabilitas berada di luar confi dent interval 90 persen, maka akan terjadi tekanan terhadap nilai probabilitas untuk menuju area confi dent interval. Dengan menghubungkan analisa probabilitas tekanan nilai tukar dengan kondisi nilai tukar secara historikal, maka dapat diketahui kapan kondisi overvalued maupun undevalued dari nilai tukar. Kondisi overvalued

maupun undervalued umumnya akan diiku oleh koreksi nilai tukar (depresiasi maupun apresiasi) beberapa periode setelahnya.

Gambar 6 menunjukkan kondisi nilai tukar periode Januari 2000 sampai dengan Desember 2013. Perhitungan probabilitas tekanan misalignment nilai tukar yang dilakukan sebelumnya cukup memberikan informasi nilai tukar yang mengalami tekanan overvalued dan undervalued yang cukup besar. Secara historikal, tekanan overvalued dan undervalued tersebut kemudian dikoreksi dengan terjadinya depresiasi atau apresiasi.

Perhitungan probability pressure of misalignment dapat digunakan sebagai analisis untuk melengkapi analisis historikal sebelumnya yang menunjukkan bahwa kondisi overvalued dan undervalued nilai tukar umumnya terjadi selama 5-8 kuartal sebelum terjadi koreksi munju nilai fundamental. Perhitungan tekanan probabilitas nilai tukar juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan bagi pemangku kebijakan moneter dalam menjaga kestabilan nilai tukar. Dengan menjaga kondisi nilai tukar dalam keadaan tekanan misalignment yang dak terlalu besar, maka akan mengurangi potensi koreksi nilai tukar yang terlalu besar dan ba- ba pula.

KESIMPULAN

Pergerakan nilai tukar sangat rentan terhadap pergerakan modal asing serta spekulasi pasar. Gejolak nilai tukar yang berlebihan tanpa ditopang oleh fundamental ekonomi yang kuat akan memberi pengaruh terhadap perkembangan infl asi serta perekonomian ke depan. Dengan melakukan perhitungan nilai fundamental nilai tukar kita dapat melakukan memproyeksi arah nilai tukar dengan memperhitungan kondisi fundamental ekonomi yang mempengaruhi nilai tukar tersebut. Selain itu, kita juga dapat mengukur apakah nilai tukar saat ini berada pada kondisi overvalued atau undervalued.

(9)

90

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

HASIL ANALISIS KESEIMBANGAN NILAI

TUKAR

Untuk menganalisa nilai fundamental nilai tukar, variabel-variabel tersebut kemudian dibentuk dalam suatu model auroregressive (AR) dengan tenggang waktu (lag) antar variabelyang terdistribusi dengan sampel 2000:01 sampai dengan 2013:04. Variabel-variabel dalam model autoregressive tersebut kemudian dies masi melalui metode general to specifi c dengan menggeluarkan variabel-variabel yang dak signifi kan mempengaruhi variabel dependen. Hasil es masi menunjukkan hanya variable term of trade dan openess yang memiliki pengaruh signifi kan dan arah hubungan yang sesuai dengan hipotesa terhadap real eff ec ve exchange rate. Sementara itu, variabel pengeluaran pemerintah dak signifi kan dalam mempengaruhi REER dan variable fl ow memiliki arah hubungan yang dak sesuai dengan hipotesa awal.

Kemudian dilakukan regresi non-linear dengan menggunakan metode regresi kernel (kernel regression) untuk memperoleh tren non linear dari variabel-variable yang sigini an mempengaruhi REER.. Nilai tren tersebut kemudian dikalkulasi dengan model yang dihasilkan. Dengan perhitungan ini, kita dapat melihat tren dari keseimbangan nilai tukar. Dalam bentuk plot (gambar) nilai fundamental REER dan aktual REER dapat dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut.

Gambar 4. Actual Vs. Fudamental Nilai Tukar

Sumber : Bank for Interna onal Se lement, kalkulasi penulis

Perbandingan nilai aktual dan fundamental nilai tukar selama kurun tahun 2000 sampai dengan 2013 menunjukkan bahwa secara historis, kondisi nilai tukar mengalami kondisi overvalued atau undervalued rata-rata selama 5 sampai 8 kuartal sebelum akhirnya kembali ke nilai keseimbangannya. Dari Gambar 4 diatas dapat disimpulkan juga bahwa fundamental nilai tukar mengalami tren penurunan mulai kuartal pertama tahun 2011, namun penurunan tersebut dak terlalu signifi kan pada beberapa kuartal terakhir. Jika dihubungkan dengan kondisi transaksi berjalan, maka dapat dikatakan bahwa penurunan fundamental nilai tukar ini terjadi seiring dengan defi sit transksi berjalan (lihat Gambar 1).

Selain itu, dari sisi perbedaan nilai tukar aktual dan fundemental menunjukkan bahwa pada kuartal 4 Gambar 3. Perkembangan REER Beberapa Negara ASEAN

Sumber : Bank for Interna onal Se lement

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

7

pada Tabel 2., Indonesia adalah produsen 5 (lima) terbanyak di dunia. Meskipun demikian masih saja belum mencukupi untuk memenuhi ketahanan pangan dalam negeri karena pemenuhan ketahanan pangan dilakukan dengan import beras. Indonesia bahkan termasuk pengimpor beras terbesar di dunia. Jadi selain produsen terbesar, Indonesia sekaligus juga pengimpor terbanyak di dunia.

Dari Tabel 2. juga terlihat bahwa negara-negara seper Bangladesh, Thailand, Myanmar dan Vietnam mempunyai rasio area panen yang lebih luas dibandingkan rasio luas panen terhadap luas daratan Indonesia. Dari data pada Tabel 2. juga menunjukkan bahwa luas panen

sangat berperan dalam produksi padi. Sebagai negara yang sangat luas, maka Indonesia seharusnya mempunyai lahan pertanian yang lebih luas dari negara-negara tersebut. Argumentasi yang sering dijadikan alasan adalah bahwa sebagian besar lahan di Indonesia tersebut dalam bentuk lahan sub op mal (LSO) yang dak dapat ditanami padi secara maksimal kecuali dengan pengelohan dan investasi yang nggi. Paper ini merekomendasikan bahwa sasaran pembangunan pertanian Indonesia untuk ketahanan pangan yang swa sembada adalah meningkatkan luas lahan pertanian menjadi op mal dengan cara mengolah LSO tersebut. Dengan demikian kemandirian pangan ke depan (2025) dapat diwujudkan.

Gap Pangan dan Gap Distribusi 2023

Permasalahan ketahanan pangan yang di dukung dari hasil pertanian dalam negeri sendiri (swa sembada) sangat krusial bagi Indonesia karena apabila dak dian sipasi akan menjadi beban negara dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Bahwa ketahanan pangan akan terus menjadi tantangan ke depan dapat di lihat dari proyeksi kebutuhan pangan yang dilakukan oleh Interna onal Food Security - USDA. Model yang digunakan oleh The Interna onal Food Security dalam suatu studinya tersebut adalah pengembangan model dari The Economic Research Service: USDA. Model ini disusun untuk memproyeksikan konsumsi pangan, akses terhadap

pangan dan gap kebutuhan pangan di negara-negara yang berpendapatan rendah dan perpendapatan menengah sampai tahun 2023, termasuk Indonesia. Dalam hal ini pangan dibagi menjadi 3 ( ga) kelompok yaitu: biji2an (grains), umbi-umbian dan kelompok pangan ‘lain-lain’ (yang juga dikonsumsi). Sedemikian sehingga keseluruhan menjadi 100 % atas semua pangan yang dikonsumsi. Semua jenis komodi ini di ukur dengan satuan yang dikenal sebagai grain equivalent (5).

5 USDA: Interna onal Food Security Assessment, 2013-2013

Tabel 3. Food Gaps 2013 (1.000 TON)

Gap Nutrisi Gap Distribusi

Bangladesh 0 36

Cambodia 0 35

India 0 3101

Indonesia 0 116

Korea 444 606

Philippines 0 117

Vietnam 0 0

Sumber: USDA/ Economic Research Service, 2014

Tabel 4. Food Gaps 2023 (1.000 TON)

Gap Nutrisi Gap Distribusi

Bangladesh 0 64

Cambodia 0 36

India 0 3816

Indonesia 0 115

Korea 0 247

Philippines 0 127

Vietnam 0 0

(10)

8

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Dalam proyeksi tersebut, ketahanan pangan di suatu negara dinilai berdasarkan gap antara proyeksi konsumsi pangan dalam negeri (produksi domes k ditambah import dikurangi penggunaan untuk produksi non pangan) dengan target konsumsinya. Berdasarkan selisih antara target konsumsi dan jumlah pangan yang terkonsumsi, maka gap ini berasumsi bahwa ada sekelompok masyarakat yang

dak dapat mengakses pangan. Proyeksi yang dihasilkan dari studi ini adalah baseline atas situasi ketahanan pangan pada suatu negara. Proyeksi yang dihasilkan ini tergantung pada spesifi kasi model, asumsi dan menggunakan data historis. Oleh karena model disusun berdasarkan data historis, maka secara implisit diasumsikan bahwa tren historis atas variabel-variabel kunci akan berlanjut di masa yang akan datang. Untuk itu, jika dak melakukan perubahan terhadap variabel-variabel ini maka diperkirakan situasi yang akan datang tersebut akan benar-benar terjadi mendeka angka yang diprediksi oleh model ini.

Dua jenis gap pangan yang dies masi dan diproyeksikan oleh studi tersebut adalah:

1. Rata-rata nasional atas gap nutrisi, yaitu selisih antara standard nutrisi untuk memenuhi energi pangan 2,100 kalori per kapita per hari sesuai standard FAO dengan asupan nutrisi penduduknya dalam suatu negara. Standard FAO ini adalah energi pangan yang didapat dari asupan nutrisi seseorang dan dikalkulasi sehingga seseorang tersebut dapat bertahan hidup dan berak vitas yang wajar6.

6 Semua pengukuran pangan dikonversi menjadi grain equivalent atas kandungan kalori sehingga memungkinkan adanya agregasi. Sebagai contoh: biji2an secara kasar mempunyai 3.5 kalori per gram dan umbi-umbian mempunyai sekitar 1 kalori se ap gramnya. Jenis-jenis nutrisi adalah lemak, gula, garam, protein, kabohidrat, serat-serat, vitamin dan mineral. Semua nutrisi ini dihasilkan dari berbagai jenis pangan seper beras, jagung, buah-buahan dan lain-lain. Standar energi pangan FAO adalah 2.100 kalori per kapita per hari. Masyarakat Indonesia sebagian besar masih mendapatkan energi kalori dari nutrisi karbohidrat beras dibandingkan dari nutrisi protein hewani atau serat-serat sayur.

2. Gap distribusi, yaitu bagaimana se ap kelompok pendapatan masyarakat mempunyai akses mendapatkan pangan sehingga masyarakat tersebut dapat memenuhi target nutrisinya. Jika ketersediaan pangan dalam suatu negara lebih rendah dari target nutrisi masyarakatnya, maka hal ini membuk kan adanya gap distribusi di negara tersebut.

Penggunaan gap pangan berdasarkan asupan nutrisi tersebut di atas sebenarnya dapat untuk membandingkan ngkat kemakmuran suatu negara secara rela f. Apabila terjadi gap nutrisi yang cukup besar berar asupan nutrisi pada masyarakatnya rendah sehingga memerlukan tambahan ketersediaan pangan. Hal ini karena perbaikan

ngkat asupan nutrisi bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan ketahanan pangan di suatu negara.

Berdasarkan laporan USDA (2014) seper yang disampaikan pada Tabel 3. dan Tabel 4., Indonesia pada tahun 2013 dak terjadi gap nutrisi, ar nya ketersediaan pangan untuk asupan nutrisi di Indonesia guna memenuhi standar FAO sebesar 2.100 Kkal perhari sebenarnya cukup tersedia. Namun demikian pada tahun 2013 tersebut terjadi gap distribusi sebanyak 116.000 ton grain equivalent sehingga standar FAO dak bisa dipenuhi oleh se ap penduduk Indonesia. Menurut data BPS (2014) maka rata-rata Konsumsi Kalori (Kkal) per kapita sehari penduduk Indonesia pada tahun 2012 masih di bawah standard FAO tersebut yaitu 1 842,30 Kkal per kapita per hari. Selanjutnya sepuluh tahun kemudian jumlah gap distribusi masih rela f tetap yaitu 115.000 grain equivalent, berar selama sepuluh tahun ke depan di njau dari segi gap distribusi diperkirakan dak ada perbaikan ketahanan pangan di Indonesia. Gap distribusi Tabel 5. Jumlah Penduduk “Food –Insecure” Tahun 2013 & 2023 (Juta)

Tahun 2013 Tahun 2023

Bangladesh 15 17

Cambodia 4 5

India 255 286

Indonesia 25 27

Korea 22 15

Philippines 20 23

Vietnam 0 0

Sumber: USDA/ Economic Research Service, 2014

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

89

Analisa pengukuran fundamental nilai tukar di Indonesia telah banyak dilakukan. Nuryadin (2006) melakukan analisia nilai equilibrium nilai tukar dengan pendekatan Behavioral Equilibrium Exchange Rate. Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa variable seper net foreign asset, term of trade serta rasio total perdagangan terhadap PDB memberikan pengaruh signifi kan terhadap REER, sementara konsumsi dan pengeluaran pemerintah dak signi an dan menghasilkan hubungan yang bertentangan dengan hipotesa awal. Gunawan (2006) juga melakukan perhitungan nilai fundamental nilai tukar periode kuartal 1 tahun 1993 sampai dengan kuartal 4 tahun 2005 dengan menggunakan pendekatan fundamental Purchasing Power Parity dan Behavioral Equilibrium Exchange Rate. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua perhitungan memberikan hasil yang sama bahwa real eff ec ve excchange rate pada akhir tahun 2005 mengalami overvalued.

Dalam tulisan ini, analisis fundamental nilai tukar dilakukan dengan menggunakan model yang digunakan oleh Elbadawi (1994) yaitu sebagai berikut:

t t FLOW t

OPEN t

TOT t

GE o t

REER      

4 ) ( 3 ) ( 2 ) ( 1 ) (

dimana GE adalah government expenditure, TOT adalah term of trade, OPEN adalah total trade per PDB, FLOW adalah impor minus ekspor per PDB.

Term of trade, merupakan harga rela f ekpor terhadap impor. Term of trade dapat mempengaruhi keseimbangan REER jangka panjang melalui dua arah yang berbeda, tergantung apakah efek pendapatan atau subs tusi yang mendominasi. Dari berbagai peneli an yang dilakukan menunjukkan kecenderungan kenaikan term of trade akan menyebabkan nilai tukar terapresiasi. Hal yang sama, ditunjukkan pada variable pengeluaran pemerintah yang juga mempengaruhi REER secara posi f. Openness merupakan rasio jumlah impor dan ekspor terhadap PDB secara nominal. Openness memiliki hubungan berlawanan dengan Real Eff ec ve Exchange Rate (REER). Semakin openness suatu negara maka nilai tukar negara tersebut semakin rentan dikarenakan liberalisasi perdagangan. Flow menunjukkan seberapa besar aliran modal atau devisa yang masuk dalam suatu negara. Flow merupakan rasio impor dikurangi ekspor terhadap PDB. Flow memiliki hubungan searah dengan REER. Semakin nggi (naik) fl ow maka semakin nggi (apresiasi) REER dan sebaliknya.

Gambar 2. Perkembangan Nilai Tukar di Beberapa Emerging Market Economies.

(11)

88

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

    

 

    

 

  

d P n

i i

P i w

i NEER

REER * 1

NEER merupakan nominal eff ec ve exchange rate, yang didefi nisikan sebagai berikut.

   n

i it

NER i w NEER

1 *

Wi = bobot perdagangan terhadap patner dagang negara(i).

Pi = indeks harga untuk patner dagang negara (i). Pd = indeks harga domes k.

NERi = indeks nilai tukar langsung dengan patner dagang negara (i).

Gambar 3 di bawah menunjukkan perkembangan real eff ec ve exchange rate (REER) Indonesia dan beberapa negara tetangga. Semakin rendah nilai REER menunjukkan semakin kurang kompe fnya nilai tukar negara tersebut. Gambar dibawah menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara tetangga yang lain, nilai REER Indonesia masih berada dibawah negara-negara tetangga lainnya.Turunnya kinerja perdagangan (ekspor-impor), nilai tukar yang melemah serta infl asi yang lebih

nggi dibanding negara tetangga mendorong turunnya indeks REER Indonesia.

Perbedaan antara nilai tukar efek f riil (REER) dengan nilai keseimbangannya dalam persentase diukur sebagai misalignment. Dengan mengukur misalignment antara nilai tukar riil dan keseimbangannya maka akan diperoleh kesimpulan bahwa nilai tukar riil tersebut dalam keadaan undervalued atau overvalued. Undervalued dalam konteks ini adalah apabila nilai tukar riil aktual yang terjadi lebih rendah daripada nilai tukar keseimbangan (equilibrium real exchange rate). Sedangkan apabila nilai tukar riil aktual yang terjadi lebih nggi daripada nilai tukar keseimbangan maka nilai tukar dapat dikatakan mengalami overvalued.

Terdapat beberapa pendekatan untuk menghitung keseimbangan nilai tukar. Siregar (2011) melakukan studi literateur mengenai berbagai konsep perhitungan keseimbangan nilai tukar. Dalam studinya, beberapa perhitungan yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan nilai tukar adalah The Fundamental Equilibrium Exchange Rate, The Desired Equilibrium Exchange Rate, The Behavioral Equilibrium Exchange Rate,The Permanent Equilibrium Exchange Rate, The Natural Rate of Exchange. Dengan melakukan beberapa perhitungan keseimbangan nilai tukar akan memperkuat pemahaman mengenai hal-hal yang mempengaruhi vola litas nilai tukar.

Gambar 1. Pergerakan Kurs IDR/USD dan Transaksi berjalan/GDP (%).

Sumber : Bloomberg dan Bank Indonesia

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

9

Indonesia ini meskipun lebih baik dari India tetapi masih jauh di bawah Vietnam, Kamboja dan Bangladesh yang juga merupakan produsen beras. Data Tabel 3 dan tabel 4 menunjukkan angka 0 (nol) baik untuk gap nutrisi maupun gap distribusi Vietnam yang menunjukkan bahwa ketahanan pangan telah terwujud di negara ini.

Selanjutnya laporan USDA juga menunjukkan bahwa di Indonesia ada sebanyak 25 juta penduduk yang mempunyai resiko dak dapat mencukupi kebutuhan energi pangannya pada tahun 2013 (food insecure). Keadaan ini diperkirakan masih akan terjadi pada 10 (sepuluh) tahun kemudian dimana akan ada sebanyak 27 juta orang yang beresiko dak dapat memenuhi kebutuhan pangan karena peris wa-peris wa bencana alam, perubahan iklim, gejolak sosial, ekonomi, poli k, pengelolaan pemerintah dan lain-lain. Berdasarkan hasil proyeksi dari USDA ini juga menunjukkan bahwa Indonesia masih akan menghadapi tantangan memenuhi ketahanan pangan dalam jangka menengah bahkan jangka panjang. Untuk itu perlu ada perubahan mendasar dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian, dan harus meninggalkan konsep memenuhi ketahanan pangan dengan produksi dalam negeri plus import. Selain itu ketegantungan pada import sangat tergantung pada produk fi tas negara produsen pangan, jika rendah maka resiko akan meningkatnya harga komoditas import.

Swa sembada pangan menjadi kunci untuk menghadapi masalah pangan ke depan. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan memperluas lahan pertanian op mal yang potensinya di Indonesia sangat luas.

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI MENUJU

KEMANDIRIAN PANGAN

(a) Kebijakan & Strategi Yang Mengacu pada Mikro Ekonomi Produksi Beras

(12)

10

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Sabagaimana diketahui surplus konsumen adalah perbedaan antara total jumlah konsumen berniat dan mampu untuk membayar barang dan jasa (ditunjukkan dengan kurva permintaan atau demand) dan jumlah total yang mereka sesungguhnya bayarkan (harga pasar). Surplus produsen adalah jumlah produsen yang berniat dan mampu untuk memasok barang dengan jasa sesuai harga diharapkan. Surplus produsen terlihat oleh area di atas kurva penawaran tetapi di bawah harga pasar yang terbentuk. Gambar ini menunjukkan

bahwa apabila harga yang terjadi adalah pada P1 maka konsumen surplus akan lebih kecil dibandingkan produsen surplus. Sedangkan bila harga yang terbentuk adalah P2 maka konsumen surplus akan lebih besar daripada produsen surplus. Kebijakan pemerintah selayaknya bisa membuat harga seimbang baik surplus bagi konsumen maupun surplus bagi produsen, mendeka harga Po.

(b) Kebijakan & Strategi Yang Mendorong Faktor Yang Signifi kan PosiƟ f

Dalam menentukan kebijakan dan strategi kemandirian pangan, dapat dilakukan dengan mengacu pada faktor-faktor yang secara signifi kan dapat mengurangi atau menekan baik food-gap maupun distribu on-gap. Penentuan faktor-faktor ini dapat dilakukan berdasarkan hasil studi USDA, FAO atau studi kuan ta f lainnya. Dari pendekatan yang dilakukan USDA (2013) maka kebijakan dan strategi ketahanan pangan dapat fokus pada variabel endogenous yang terdiri dari produksi, luas lahan, yield, import komersial, harga jual petani dan banyaknya konsumsi pangan. Sedangkan untuk mewujudkan sasaran yang ingin dicapai (dari variabel endogeneous tersebut) maka strategi dapat dilakukan dengan menyusun program dan kegiatan mendorong pengaruhnya posi f terhadap

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

87

2014, Pemerintah pun tetap memfokuskan perbaikan transaksi berjalan sehingga dak terjadi defi sit.

Rencana kebijakan tapering off yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika di pertengahan tahun 2013 juga mendorong pelemahan nilai tukar di beberapa emerging market countries dan juga beberapa negara tetangga. Namun dibandingkan Indonesia, pelemahan nilai tukar di beberapa negara ASEAN jauh lebih kecil. Negara Brasil dan India termasuk negara yang mengalami depresiasi nilai tukar yang cukup signifi kan. Akan tetapi, perkembangan terkini menunjukkan perbaikan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Dibandingkan negara yang lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sampai bulan Maret 2014 mengalami apresiasi sebesar 6.49% dibandingkan awal 2014. Perhitungan sederhana yang dilakukan terhadap nilai tukar dalam tulisan ini menunjukkan bahwa rupiah sudah mengalami tekanan undervalued yang cukup besar mulai bulan November– Desember 2013 sehingga mendorong potensi apresiasi.

PENGUKURAN NILAI TUKAR

KESEIMBANGAN

Secara umum, nilai tukar keseimbangan (equilibrium) diar kan sebagai keadaan dimana besarnya nilai tukar yang terjadi ditentukan oleh penawaran dan permintaan oleh pasar. Secara khusus, Williamson (1983) mendefi nisikan keseimbangan pasar nilai tukar sebagai keseimbangan penawaran dan permintaan nilai tukar tanpa adanya intervensi dari pemerintah.

Perhitungan equilibrium real exchange rate dapat didasarkan pada perhitungan nilai tukar riil baik secara mul lateral maupun secara bilateral. Kedua perhitungan ini terkait pada mata uang negara yang digunakan dalam melakukan es masi nilai tukar, yaitu apakah hanya satu negara, beberapa negara atau secara menyeluruh yang dihitung melalui bobot nilai perdangangan yang dilakukan oleh negara tersebut dengan negara lain, baik satu negara maupun sekumpulan negara.

Perhitungan REER yang telah memasukkan unsur ekspor impor dapat dihitung sebagai berikut.

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR : 2005

ͳ

AWAL 2014

Pergerakan nilai tukar pada periode 2005 sampai dengan awal tahun 2014 cenderung berfl uktuasi dengan beberapa periode depresiasi yang cukup signifi kan serta menembus level Rp. 10,000.- per dolar Amerika (lihat Gambar 1). Naiknya harga minyak dunia ke level US$70/ barrel pada tahun 2005 mendorong ngginya permintaan valuta asing sehingga menyebabkan nilai tukar terdepresiasi diatas level Rp. 10,000.- per dolar Amerika. Kenaikan harga minyak dan ngginya infl asi pada tahun 2008 juga menjadi penyebab utama depresiasi diatas level Rp.12,000.- per dolar Amerika.

Semenjak pertengahan tahun 2013 sampai dengan awal tahun 2014, terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang cukup siginifi kan. Perbandingan nilai tukar pada akhir dan awal tahun 2013 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah terdepresiasi sekitar 26%. Sebagian besar analis menyebutkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dipicu oleh kebijakan tapering (pengurangan s mulus kebijakan Quan ta ve Easing) oleh Bank Sentral Amerika Serikat dan defi sit transaksi berjalan yang terjadi mulai tahun 2012. Sampai dengan akhir 2013, transaksi berjalan masih mencatat defi sit sebesar 2 persen terhadap PDB (lihat Gambar 1).

(13)

86

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Abstrak

R

upiah movement has a broad impact on the economy, par cularly on export and import ac vi es. Historically, rupiah movements is sensi ve to short-term expecta on on fi nancial market, global economic turmoil, external sen ment, interna onal trade and domes c fundamental condi ons. In the end of 2013, rupiah depreciated around 26 percent which was the highest deprecia on among currencies in selected emerging market countries. Using a simple calcula on of fundamental equilibrium exchange rate, this study es mates the fundamental value of rupiah from 2000 un l 2013. In addi on, this study also analyse the misaligment (the diff erence between fundamental and actual valued of exchange rate). The results show that rupiah has been undervalued (the actual exchange rate below the fundamental value) since the last quarter of 2014. Our calcula on in this study on probability pressure of exchange rate missalignment also suggests that there was a pressure of rupiah apprecia on since November-December 2013.

FUNDAMENTAL NILAI TUKAR RUPIAH

TERHADAP DOLAR AMERIKA

Anang Budi Gunawan

Staf Perencana Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas, Jalan Taman Suropati 2, Jakarta 10310. Tel.(021) 31934195,

Email : anang.gunawan@bappenas.go.id

PENDAHULUAN

B

agi pelaku pasar dan para pengambil kebijakan di bidang keuangan, pergerakan nilai tukar sangat pen ng untuk diama karena besarnya pengaruhnya terhadap kondisi perekonomian. Vola litas nilai tukar yang terlalu nggi akan mempengaruhi ak vitas ekonomi, khususnya yang terkait dengan kegiatan ekspor dan impor. Nilai tukar yang terdepresiasi menyebabkan harga barang impor serta barang yang menggunakan komponen impor dalam produksinya semakin mahal. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki jatuh tempo hutang dalam bentuk dolar juga dimungkinkan akan mengalami permasalahan dalam hal pembayaran. Oleh karena itu, kebijakan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari vola litas nilai tukar yang nggi, khususnya dalam mengatasi depresiasi yang terlalu besar.

Secara umum, pergerakan nilai tukar di se ap negara dipengaruhi oleh faktor fundamental dan faktor non fundamental. Faktor fundamental antara lain adalah variabel-variabel ekonomi makro seper pertumbuhan ekonomi, infl asi, nilai ekspor dan impor, dan variabel-variabel makro lainnya. Sedangkan faktor

non fundamental antara lain adalah faktor psikologis dari pelaku pasar dalam menggunakan informasi yang ada atau sen men pasar terhadap perkembangan sosial dan poli k. Kedua faktor tersebut menjadi sangat pen ng untuk menganalisa bagaimana arah pergerakan nilai tukar.

Pada umumnya, faktor non-fundamental nilai tukar seper faktor psikologis dianalisa dengan menggunakan analisis teknikal (technical analysis) yaitu sebuah metode untuk mengevaluasi sekuritas berdasarkan ak vitas pergerakan pasar yaitu harga dan jumlah (volume) perdagangan di masa lalu untuk memprediksi harga di masa datang. Dalam tulisan ini, analisa mengenai pergerakan nilai tukar akan lebih ditekankan pada perhitungan sederhana terhadap faktor fundamental nilai tukar. Analisis mengenai kondisi fundamental nilai tukar dapat dilakukan dengan menges masi nilai tukar keseimbangan (equilibrium exchange rate). Es masi nilai tukar keseimbangan dapat memberikan ekspektasi terhadap pelaku ekonomi apakah nilai tukar riil berada diatas atau dibawah nilai fundamentalnya (misallignment).

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

11

ketahanan pangan atau menekan faktor-faktor exogenous yang menyebabkan kerentanan pangan yaitu terdiri dari jumlah penduduk, ngkat stok pangan, eksport pangan, input pertanian, buruh tani, nilai export, infl asi, pendapatan nasional, dan distribusi pendapatan.

(c) Kebijakan & Strategi Yang Menekan Delapan Kelemahan Pertanian

Sebagaimana disampaikan pada Gambar 1. di bawah ini maka ada 8 (delapan) kelemahan pertanian di Indonesia. Kebijakan dan strategi yang dilaksanakan seharusnya fokus untuk menekan delapan kelemahan ini. Delapan kelemahan tersebut adalah (1). Pengelolaan/ Pasca Panen rendah; (2). Infrastruktur (sarana & prasarana kurang); (3). Pemilikan tanah sempit; (4). Pemilikan/ akses modal kurang; (5). Tingkat pendidikan rendah; (6) Penguasaan teknologi rendah; (7). Tingkat ketrampilan rendah; (8). Sikap mental (Sukino, 2013).

Dengan adanya kelemahan-kelemahan ini menyebabkan pangan Indonesia tetap rentan karena jumlah dan kualitas produksi yang rendah dan produk fi tas rendah ditambah dengan sikap mental masyarakat petani yang kurang bersemangat (karena berbagai faktor misalnya maraknya tengkulak/ rente) menyebabkan ketahanan pangan rentan. Selanjutnya ke ka mutu produksi rendah maka akan menyebabkan harga produksi juga rendah ditambah dengan faktor-faktor rendahnya produksi, produk fi tas dan sikap mental petani maka pendapatan petani rendah yang menyebabkan kemiskinan. Sebagaimana disinggung pada awal tulisan ini bahwa saat ini lebih dari 32 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan yang sebagian besar berasal dari daerah pedesaan dan pertanian.

(d) Kebijakan & Strategi Yang Sinergi Dengan Penurunan Kemiskinan

Dalam menentukan kebijakan dan strategi ketahanan pangan perlu sinergi dengan program dan kegiatan terkait dengan penurunan kemiskinan. Keterkaitan kedua hal tersebut disampaikan pada Gambar 2. di bawah ini. Ada 4 (empat) faktor yang saling berhubungan yaitu (i). kemiskinan; (ii). kerentanan

pangan, kelaparan & malnutrisi; (iii). lemahnya fi sik & kemampuan kogni f serta (iv). rendahnya produk fi tas. Ke ka ketahanan pangan rentan, kelaparan dan malnutrisi terjadi akan menyebabkan fi sik petani dan masyarakat miskin menjadi lemah dan penurunan kemampuan kogni f. Akibat yang di mbulkan kemudian adalah produk fi tas petani menjadi rendah, pendapatan rendah akan berujung pada kemiskinan. Kemiskinan yang ada berakibat pada kerentanan yang bersangkutan terhadap pangan dan seterusnya sehingga terjadi vicious circle sebagaimana disampaikan dalam gambar di bawah ini. Untuk itu vicious circle ini harus ”diputus” rangkaiannya dengan kebijakan dan strategi yang tepat.

Berdasarkan fenomena tersebut maka keberhasilan terwujudnya ketahanan pangan tergantung juga keberhasilan program penurunan kemiskinan atau sebaliknya. Rantai siklus tersebut dapat diputus kalau program dan kegiatan pendidikan dan kesehatan berhasil mencapai sasaran. Dengan demikian untuk menuju ketahanan pangan nasional maka perlu adanya strategi yang sinergi antara program ketahanan pangan itu sendiri, program– program kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.

(e) Kebijakan & Strategi Pemanfaatan Lahan Sub OpƟ mal (LSO)

(14)

12

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

kebutuhan pangan secara swa sembada ke depan, adalah pengembangan dan op malisasi lahan sub op mal dan lahan terdegradasi. Meskipun demikian pendekatan intensifi kasi harus tetap diperkuat.

Menurut data yang juga disampaikan oleh Kementerian Pertanian (2013) tersebut maka Indonesia mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteris k. Namun dari daratan seluas 189,1 juta ha sekitar 157,2 juta ha diantaranya merupakan lahan sub op mal (LSO), sedangkan sisanya seluas 31,9 juta ha adalah lahan subur (op mal) dengan berbagai ngkat kesuburan. Sebagian besar lahan tersebut sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk berbagai penggunaan. Secara alamiah, seluas 123,1 juta ha dari LSO adalah lahan kering dan 34,1 juta ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Ja m, Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa lahan rawa lebak.

Kebijakan dan strategi yang direkomendasikan oleh paper ini adalah guna mewujudkan swasembada ketahanan pangan yang sustainable maka pemanfaatan lahan sub op mal di Indonesia perlu menjadi prioritas perencanaan pembangunan yang akan datang. Contoh pemanfaatan LSO di Indonesia adalah konsep food estate yang sudah diinisiasi Pemerintah tetapi perlu didorong percepatan pelaksanaannya. Konsep pembangunan food estate tersebut terkait usaha budidaya tanaman yang diselenggarakan untuk: (1). mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan; (2). menyediakan kebutuhan bahan baku industri; (2). meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan petani; (3). mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Prinsip yang digunakan adalah meningkatkan perlindungan budidaya tanaman secara konsisten dan konsekuen dengan memperha kan aspek

pelestarian sumber daya alam dan/ atau fungsi lingkungan hidup. Selain itu juga memberikan kepas an usaha bagi pelaku usaha budidaya tanaman, sehingga pengembangan food estate juga melibatkan investasi swasta.

KESIMPULAN

Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa mind set ketahanan pangan yang ada selama ini harus diubah dari pemenuhannya sebagian dilakukan dengan import pangan digan dengan ketahanan pangan yang swa sembada (sepenuhnya dari dalam negeri). Hal ini sejalan dengan UU No. 18 tahun 2012 tentang “Pangan” dimana Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemudian disebutkan pula bahwa Indonesia perLu mencapai kemandirian pangan yang merupakan kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di ngkat perorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Fakta menunjukkan bahwa kapasitas pemenuhan ketahanan pangan terutama disebabkan lahan yang terbatas, sulit di ngkatkan dan terus beralih fungsi yang bisa mencapai 120-150.000 ha per tahun. Meskipun upaya mempertahankan alih fungsi lahan ini sudah dikeluarkan UU “Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” (2009) tetapi alih fungsi lahan terus berlanjut sampai sekarang dan mungkin akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Harapan utama adalah pemanfaatan dan pengembangan lahan sub op mal (LSO) menjadi lahan yang op mal. Beberapa kebijakan yang disarankan adalah (1). pengembangan tanaman pangan diprioritaskan pada op malisasi pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non rawa; (2). perluasan lahan melalui pengembangan lahan sub op mal harus diprioritas pada lahan sub op mal terdegradasi dan terlantar di kawasan

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

85

States Agency for International Development (USAID). Available at: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNADH968.pdf [Accessed: 4 June 2013].

Puppim de Oliveira, José (ed.). 2008, Upgrading Clusters and Small Enterprises in Developing Countries. Farnham: Ashgate.

Porter, M. E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. London: The Macmillan Press Ltd.

Reardon, T. and Barrett, C. B. 2000. Agroindustrialization, globalization, and international development: An overview of issues, patterns, and determinants. Agricultural Economics 23, pp. 195-205.

Schmitz, H. 1995. Collective effi ciency: Growth path for small-scale industry. Journal of Development Studies 31(4), pp. 529–566.

Syahruddin N., and Kalchschmidt M. 2012a. Traceability in the Cocoa Supply Chain: An Indonesian Context. In: 23rd Annual Conference of the Production and Operations Management Society. Chicago, Illinois, USA, 20 -23 April 2012.

Syahruddin, N., and Kalchschmidt, M. 2012b. Sustainable supply chain management in the agricultural sector: a literature review. International Journal of Engineering Management and Economics (IJEME), Vol. 3, No. 3.

Syahruddin, N. 2013. Sustainable Supply Chain Management: A Case Study of Indonesia’s Cocoa Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 49(1), pp. 114-115.

Tambunan, T. 2005. Promoting Small and Medium Enterprises with a Clustering Approach: A Policy Experience from Indonesia. Journal of Small Business Management 43(2), pp. 138–154.

Tenriawaru, A.N. and Arsyad, M. 2013. A Public Expenditure Analysis in Agriculture Sector: Evidence from South Sulawesi, Indonesia. Makassar: Center for Policy and Development Management (PSKMP), Hasanuddin University.

UNIDO. 2009. Industrial Development Report 2009. Breaking In and Moving Up. New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle Income Countries. Vienna: United Nations Industrial Development Organization (UNIDO).

Gambar

Tabel 1. Komodi�  Beras: Luas Lahan, Yield, Produksi (2013)
Gambar 5. Probability Pressure of Misalignment Nilai Tukar Rupiah
Gambar 6 menunjukkan kondisi nilai tukar periode
Gambar 4. Actual Vs. Fudamental Nilai Tukar
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Belanja bantuan keuangan, untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada

Secara berangsur-angsur beralih dari pendanaan Pemerintah Pusat untuk infrastruktur daerah melalui Tugas Pembantuan menuju Dana Alokasi Khusus dan akhirnya menuju penerusan

penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah

neoliberal sebagai akibat dari keterlibatan pemerintah yang terlalu besar dalam. menentukan kebutuhan

Untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yang memuat rancangan

Sistematika Penulisan Rencana Strategis Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Padang disusun dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan kegiatan musrenbang reguler RKPD merupakan proses rutin tahunan yang dilaksanakan pada triwulan pertama mulai dari pelaksanaan musrenbang desa dan musrenbang

Ada banyak aktor yang terlibat dalam proses perencanaan pembangunan baik dari pihak pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta sektor swasta, dari keikutsertaan partisipasi para