• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Perencanaan Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Majalah Perencanaan Pembangunan"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

M E D I A I N F O R M A S I , P R O F E S I , D A N K O M U N I K A S I P E R E N C A N A A N P E M B A N G U N A N

MA J A L A H T R I W U L A N l E D I S I 0 2 / TA H U N X V I I / 2 0 1 1 l I S S N 0 8 5 4 - 3 7 0 9

T

Multidimensional Poverty Dynamics

in Indonesia

T

Penyewaan Pulau-Pulau Kecil

(2)

 

Indeks Kesengsaraan

dan Kondisi Keamanan

Indonesia 1998 – 2009

Gunarta

Multidimensional Poverty

Dynamics in Indonesia

(1993 - 2007)

Dharendra Wardhana

Pengangguran, Masalah

Klasik yang Harus Dicari

Jalan Keluarnya

Mukti Ari Widayani

THE CHANGING ‘KEY DILEMMAS’

OF DEMOCRACY-PROMOTION

‘ABROAD’: THE U.S.’ CLINTON,

BUSH, AND OBAMA PERIOD

Dyah Widiastuti

PNS: Moratorium

Rekrutmen, Pensiun Dini

atau

Outsourcing

Sukhad Karnawi

Slum Tourism in Jakarta

Deti Kusmalawati

The Impact of Provincial

Minimum Wage on Youth

Employment

Tejaningsih

2

9

18

22

28

32

39

INTEGRATED DEVELOPMENT

PERFORMANCE MONITORING

AND EVALUATION SYSTEM

Arief Wiroyudo

Penyewaan Pulau-Pulau Kecil

I Dewa Gde Sugihamretha

THE ROLE OF INDONESIA’S

FISCAL STIMULUS IN REVIVING

THE ECONOMY DURING GLOBAL

FINANCIAL CRICIS: FACT OR

FICTION?

M. Firman Hidayat,

Luthfi Ridho, and

Gaffari Ramadhan

KREATIVITAS DAN INOVASI

ENTREPRENEUR DALAM

PEMBANGUNAN BANGSA

Santi Yulianti

Koordinasi Perencanaan

Pembangunan Terpadu

Budhi Santoso

47

53

60

68

75

Penanggung Jawab : Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas, Pemimpin Umum : Dida Heryadi Salya, Budi

Hidayat, Pemimpin Redaksi : Herry Darwanto, Dewan Redaksi : Hanan Nugroho, Leonardo Adypurnama al. Teguh

Sambodo, Tatang Muttaqin, Rizang Wrihatnolo, Rudi Arifiyanto, Desain Grafis : Tri Wisnuasih Pratiwi, Sarono Santoso,

Sekretariat : Yunhri Trima Vibian, Wildawati, Myda Susanti, Budi Cahyono, Endah Widyastuti, Sovi Dasril, Mohammad

Fahmy Fadly, Distribusi : Ali Sahbana, Saleh MHD, Rusmawel Zuharmirza, Nasan, Tata Letak : Riduan

M E D I A I N F O R M A S I , P R O F E S I , D A N K O M U N I K A S I P E R E N C A N A A N P E M B A N G U N A N

MA J A L A H T R I W U L A N l E D I S I 0 2 / TA H U N X V I I / 2 0 1 1 l I S S N 0 8 5 4 - 3 7 0 9

Ralat

Mohon maaf atas kesalahan pada edisi 01/Tahun XVII/2011, di bagian sampul depan tercantum judul artikel Indeks Kesengsaraan dan Kondisi Keamanan Indonesia 1998 – 2009,namun artikel tersebut tidak termuat dalam edisi dimaksud. Pada edisi kali ini kami memuat artikel tersebut.

(3)

Esensi pembangunan adalah keseluruhan aktivitas yang berjalan secara simultan, meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, guna mencapai tujuan ke arah perubahan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Dalam pembangunan, keseluruhan aktivitas tersebut tentunya harus didukung oleh kebijakan pembangunan, sehingga menjadi pedoman yang representatif dalam peningkatan nilai tambah dan upaya pencapaian perubahan. Persoalan pembangunan di Indonesia tentu bukanlah sebuah persoalan pembangunan secara fisik saja, akan tetapi untuk mencapai sebuah perubahan perlu adanya nilai-nilai pembangunan secara multidimensi.

Dalam pembangunan multidimensi kita mengenal istilah pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya dan pembangunan politik. Ketiga nilai-nilai tersebut merupakan pilar dalam mencapai sebuah pembangunan yang berkedilan dan beradab seperti yang termuat dalam butir-butir Pancasila. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pembangunan politik yang berkeadaban maka harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu antara struktur politik, proses politik, budaya politik, penataan peran negara dan masyarakat, hubungan luar negeri, dan sistem komunikasi di dalam proses interaksi.

Tidak hanya persoalan pembangunan politik saja yang perlu mendapatkan perhatian, hal terpenting dari pembangunan multidimensi adalah bagaimana merubah perilaku yang terjadi, seperti teori yang diungkapkan oleh Fishbeyn bahwa

sebuah keyakinan (belief ) akan mempengaruhi sikap (attitude)

kemudian memunculkan niat (intention) yang akan membawa

sebuah perubahan perilaku (behaviour). Teori itulah yang

kemudian menjadi dasar nilai-nilai dalam sikap dan perilaku pembangunan di negara kita.

Proses penanaman mental pembangunan memang tidaklah mudah, karena di luar itu tentu ada faktor-faktor yang akan menghambat pembangunan. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat, bahwa mentalitas negatif yang sudah lama berakar dan menghambat pembangunan adalah sikap yang tidak berorientasi pada achievement, pada amal dari karya,

kerja untuk makan/hidup/dunia; orientasi pada waktu lampau, hidup bergantung pada nasib dan konsep rata sama-rasa. Kemudian mentalitas setelah zaman revolusi dimana mental suka meremehkan mutu; suka menerabas; tidak percaya kepada diri sendiri dan tidak disiplin murni. Faktor-faktor mentalitas inilah yang sampai saat ini mengakar dan sulit untuk merubahnya.

Dalam mencapai kondisi ideal yang ingin dicapai dalam pembangunan multidimensi diperlukan penataan peran negara dan masyarakat. Penataan peran negara dan masyarakat dapat dilakukan dengan mempermudah akses untuk mendapatkan pendidikan.Pendidikan merupakan salah satu jalur penting

dalam rangka memperkuat civil society yang bercirikan

kecerdasan, kesadaran dan inisiatif politik tinggi. Hal berikutnya adalah dengan mewujudkan keleluasaan yang lebih besar bagi Organisasi Masyarakat dalam mendapatkan sumberdaya operasional masing-masing dengan membuat regulasi yang menaunginya. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai kepentingan sebagai mitra dalam proses pemberdayaan masyarakat. Hal terakhir yang sekiranya dapat dilakukan dalam penataan peran negara dan masyarakat adalah memelihara dan memperkuat pranata-pranata adat dan lembaga sosial budaya tradisional di daerah-daerah agar tetap mandiri dari pengaruh negara dan dipercaya masyarakat.

Berkenaan dengan pembangunan multidimensi demikian, upaya pembangunan yang diwujudkan dalam berbagai instrumen kebijakan harus mendapatkan dasar konsep

kebijakan dan pendekatan yang efektif. Oleh karena itu, konsep kebijakan yang dipelajari dari sudut pandang paradigmatik, implementatik, dan pragmatik-impirik perlu mendapatkan tempat yang wajar sebelum suatu kebijakan diputuskan. Beberapa kriteria tersebut tersuguhkan di beberapa artikel dalam Edisi kali ini.

Selamat membaca.

(4)

Gunarta

I. PENDAHULUAN

Indeks kesengsaraan (misery index) merupakan salah satu

cerminan seberapa baik kondisi perekonomian nasional suatu negara. Lebih jauh lagi, indeks kesengsaraan dipakai untuk mengukur kinerja periode pemerintahan yang sedang berjalan, terutama dalam hal bagaimana pemerintah dapat menyejahterakan masyarakatnya. Normanya, semakin tinggi indeks kesengsaraan, maka pemerintahan yang sedang berjalan dianggap kurang mampu menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya jika indeks kesengsaraan rendah, masyarakat akan merasa sejahtera, harga kebutuhan pokok terjangkau (inflasi rendah), dan jumlah masyarakat yang menganggur sedikit.

Indeks kesengsaraan pertama kali diperkenalkan oleh Arthur

Melvin Okun, ekonom dari Yale University. Okun adalah

penasehat President Amerika Serikat Lyndon Johnson

pada tahun 1960-an. Menurut Okun, indeks kesengsaraan

diperoleh dengan menjumlahkan tingkat  inflasi dan tingkat

pengangguran di suatu negara, dua hal yang mencerminkan biaya ekonomi dan sosial suatu negara (Shane, 2010). Dalam perkembangannya, indeks kesengsaraan ini diperbaharui oleh

Robert Joseph Barro dari Harvard University pada tahun 1970-an dengan menambahkan unsur tingkat bunga bank dan Gross Domestic Product (GDP) untuk melihat dinamika kesengsaraan masyarakat dari waktu ke waktu. Indeks yang

(5)

Kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum, politik, pertahanan, dan keamanan pada pemerintahan periode reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 di Indonesia, menunjukkan dinamika yang sangat dinamis. Pada tahap-tahap awal, sistem pemerintahan jatuh bangun, harga kebutuhan pokok melonjak-lonjak, tindak kriminal meningkat tajam, konflik horizontal tersulut dengan penyebab yang sangat sepele, dan sikap primordial masyarakat sangat mengemuka. Kondisi perekonomian terutama dari aspek pertumbuhan ekonomi, iklim investasi, penciptaan lapangan kerja, maupun pasokan kebutuhan pokok masyarakat bergejolak dan sangat rentan terhadap dinamika internal dalam negeri dan eksternal luar negeri.

Pada saat ini kondisi perekonomian Indonesia sudah relatif stabil, namun era demokrasi yang belum sepenuhnya berjalan pada rel yang sesungguhnya, menyebabkan pelaksanaan roda kepemerintahan tidak berjalan secara optimal. Banyak program dan kegiatan yang merupakan visi dan misi kepala pemerintahan terpilih, tidak terealisir sepenuhnya. Sejumlah besar waktu dan sumberdaya pemerintah terpaksa terkuras untuk mengurusi hal-hal yang berbau politik dan kekuasaan. Hal ini tercermin dari banyaknya pejabat pemerintah, kepala pemerintah daerah, atau para anggota dewan yang terlibat masalah politik dan hukum pada masa aktifnya.

Meskipun tidak populer, penulis tertarik untuk mengkaji indeks kesengsaraan ini. Minimnya literatur dan penelitian tentang indeks kesengsaraan, merupakan tantangan tersendiri bagi penulis untuk mengkaji secara lebih mendalam. Dalam kajian

ini digunakan model dasar Misery Index yang diperkenalkan

oleh Okun, bukan Modified Misery Index mengingat tujuan

utama dari kajian ini adalah untuk mengetahui apakah ada korelasinya dengan perilaku kriminalitas. Perilaku kriminalitas dalam hal ini bisa dianggap sebagai penyebab atau akibat dari goncangan inflasi atau tingkat pengangguran. Ketika dianggap sebagai penyebab, maka tidak stabilnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan dianggap sebagai biang keladi tingginya tingkat pengangguran dan inflasi. Sementara itu ketika dianggap sebagai akibat, maka gejolak ekonomi yang berimplikasi pada tingginya tingkat pengangguran dan inflasi akan menjadi pendorong meningkatnya tindak kriminalitas.

Data yang digunakan adalah data sekunder time series dari

tahun 1998 – 2009 yang terdiri dari data inflasi tahunan, tingkat pengangguran tahunan, dan data kriminalitas tahunan. Tahun 1998 dianggap sebagai awal reformasi karena pada tahun ini merupakan titik awal perubahan sistem pemerintahan Orde Baru yang identik dengan Pemerintahan Presiden Suharto ke sistem pemerintahan yang sama sekali baru. Jika selama Orde Baru sentral kekuasaan berada di tangan presiden, maka pada periode reformasi ini kekuasaan presiden dan parlemen menjadi saling berimbang. Bahkan adakalanya parlemen menjadi lebih kuat sehingga dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berjalan.

II. INDEKS KESENGSARAAN DI

BERBAGAI NEGARA

Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang cukup serius memperhatikan indeks kesengsaraan. Untuk keperluan tersebut, sampai-sampai terdapat lembaga yang menghitung indeks kesengsaraan tidak hanya dari tahun ke tahun, tetapi sampai bulan ke bulan. Ini menunjukkan betapa pentingnya indeks kesengsaraan untuk mengontrol kinerja pemerintah yang sedang berjalan dalam mensejahterakan rakyatnya.

Secara umum situasi indeks kesengsaraan dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, seperti kebijakan perpajakan, perang, perburuhan, atau kebijakan sektor perekonomian. Ketika AS memasuki perang Korea tahun 1950, indeks kesengsaraan berada pada posisi yang cukup rendah yaitu 4,98 %. Sembilan bulan setelah perang, indeks kesengsaraan melonjak pada posisi 12,76 % (Anonim, 2010a). Demikian juga ketika AS memasuki perang Vietnam tahun 1964, indeks kesengsaraan berada pada posisi 5,98 % dan sebelas tahun kemudian ketika mengakhiri perang Vietnam pada tahun 1975 indeks kesengsaraan membubung menjadi 19,01%. Meskipun hal tersebut tidak dapat berdiri sendiri, masih ada kebijakan-kebijakan yang lain, tetapi perang yang berkepanjangan sangat mungkin menyebabkan sumber daya yang ada dipergunakan untuk memenangkan peperangan, sehingga kegiatan investasi menjadi berkurang.

Grafik 1 menunjukkan situasi indeks kesengsaraan AS mulai dari Presiden Truman sampai dengan Presiden Obama. Pada pemerintahan Presiden Truman (1948 – 1953), Eisenhower (1953 - 1960), Kennedy (1960 - 1963), dan Lyndon Johnson (1963 - 1968) indeks kesengsaraan berada pada posisi yang cukup rendah dengan kisaran 2,97 – 8,00 % (Shane, 2010). Pencapaian posisi terendah didukung oleh periode perdamaian dan kemakmuran yang berhasil dibangun. Namun ketika AS mulai menghadapi kerusuhan politik dan sosial terkait dengan perang Vietnam, indeks kesengsaraan mulai menunjukkan peningkatan.

Pada pemerintahan Presiden Nixon dan Ford yang meliputi periode akhir perang Vietnam (1975) dan embargo minyak (1973 – 1974) menjadi penyebab tingginya indeks kesengsaraan. Pada periode ini indeks kesengsaraan melonjak tinggi yaitu rata-rata sebesar 16,00 % pada tahun 1974 dan rata-rata sebesar 17,00 % pada tahun 1975. Puncak tertinggi dalam sejarah AS sejak tahun 1948 dicapai pada periode Presiden Carter (1978-1981) di mana indeks kesengsaraan mencapai 21,98 % pada tahun 1980, tetapi kemudian turun menjadi hampir 18.00 % pada tahun berikutnya.

(6)

Grafik 1:

Misery Index Amerika Serikat pada Periode Pemerintah 1950 - 2010

TR

1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010

THE GREAT RECESSION 2007 - 2010

SAVINGS AND LOAN CRISIS 1987 - 1992

Ada kecenderungan bahwa semakin maju suatu negara, indeks kesengsaraan semakin rendah. Pada tahun 2007, China sebagai negara maju dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat menakjubkan, indeks kesengsaraannya setara dengan Singapura dan Amerika Serikat, yaitu di bawah angka 10,00 % (Anonim, 2008). Pencapaian ini menunjukkan bahwa pemerintah yang sedang berkuasa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, di mana tingkat inflasi dan tingkat pengangguran rendah.

Afrika Selatan yang pada saat ini dinilai sebagai salah satu negara dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia, indeks kesengsaraanya mencapai lebih dari 35,00 %, dengan tingkat penganggurannya mencapai 25,3 % (Anonim, 2010b).

Berdasarkan survey yang dilakukan United Nations Office

on Drugs and Crime (UNODC) antara tahun 1998 – 2000, kejahatan pemerkosaan di Afrika Selatan menduduki peringkat pertama di dunia dan kejahatan pembunuhan dengan berbagai cara menduduki peringkat kedua di dunia.

Venezuela merupakan negara yang juga memiliki Indeks kesengsaraan tinggi, yaitu lebih dari 40,00 %. Tingginya indeks kesengsaraan ini juga didukung oleh kenyataan bahwa tingkat kriminalitas Venezuela tergolong tinggi di dunia. Sejumlah media di negara tersebut menghitung setiap akhir pekan di Caracas sebanyak 50 orang tewas terbunuh karena tindak kriminalitas. Ini menempatkan ibukota Venezuela tersebut pada tingkat pembunuhan 100 orang per 100.000 penduduk, padahal rata-rata dunia tingkat pembunuhan adalah 9 orang per

100.000 penduduk (Anonim, 2009).

III. INDEKS KESENGSARAAN INDONESIA

Sepanjang periode reformasi yang diawali dengan lengsernya pemerintahan Orde Baru, telah terjadi pergantian presiden sebanyak 4 kali yaitu: BJ. Habibie (1998 – 1999); Abdurrahman Wahid (2001); Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004); dan Susilo Bambang Yudhoyono (2005 – sekarang). Keempat presiden tersebut menyelesaikan pemerintahannya, tidak

semuanya mulus. Kondisi negara yang sedang dilanda krisis multidimensional menyebabkan sistem pemerintahan sangat dinamis, sehingga presiden sebagai kepala negara mudah dilengserkan.

Presiden BJ. Habibie (1998 – 1999) yang merupakan Wakil Presiden era Presiden Soeharto, dilengserkan 1,5 tahun kepemerintahannya setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh DPR/MPR. Presiden Abdurrahman Wahid yang dipilih dan diangkat oleh DPR hasil Pemilu 1999, hanya

bertahan satu tahun karena mengalami impeachment pada awal

tahun 2001 terkait dengan kasus Buloggate. Presiden Megawati

Soekarnoputri yang menjalani sisa periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (2001 – 2004) berhasil menyelesaikan pemerintahannya, tetapi dalam pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004, tidak terpilih lagi. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan presiden pertama hasil pemilihan langsung, berhasil menyelesaikan periode pemerintahannya pada tahun 2005 – 2009. Masih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan sebelumnya, SBY kembali terpilih menjadi presiden untuk periode 2010 – 2014.

Oleh karena keempat presiden tersebut berada pada kondisi negara yang relatif hampir sama (meskipun semakin kesini semakin mereda), yaitu kondisi krisis multidimensional, maka kemampuan menekan inflasi dan tingkat pengangguran sebagai komponen indeks kesengsaraan relatif juga sama. Masing-masing masih menciptakan indeks kesengsaraan yang tinggi. Dengan demikian kemampuan mensejahterakan rakyat belum optimal, karena inflasi dan tingkat pengangguran masih tinggi. Kebanyakan masyarakat masih merasakan hidup yang sulit. Bahkan, sebagian masyarakat mengatakan bahwa mereka merasa lebih sejahtera pada periode Presiden Soeharto.

Tabel 1:

Indeks Kesengsaraan Indonesia Periode Pemerintahan 1998 - 2009

Sumber: BPS, diolah

a. Periode 1988 – 1999: Presiden Habibie

Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, tingkat inflasi sangat tinggi mencapai 77,63 % dengan tingkat pengangguran mencapai 5,50 %. Meskipun tingkat pengangguran rendah, tetapi posisi ini menjadi titik awal terjadinya ledakan

(7)

sebagai “bencana paling dahsyat dalam sejarah peradaban manusia modern”. Sejumlah ekonom masih belum merasa cukup menggambarkan beratnya kontraksi ekonomi –13,4 % dengan menambahkan angka 7 % pertumbuhan ekonomi setahun sebelumnya (1997), sehingga kontraksi ekonomi total menjadi –20,4 % (Mubyarto, 2003). Tidak mengherankan apabila pada tahun 1998 indeks kesengsaraannya paling tinggi, yaitu 83,13 %.

Masa transisi yang dilaksanakan oleh Presiden Habibie mampu memberikan kepercayaan pasar yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dari Rp. 14.900/US$ menjadi Rp. 7.810/US$ (Tri Wibowo dan Hidayat Amir, 2005). Program-program pemulihan ekonomi yang dicanangkan mampu menekan tingkat inflasi sampai pada tingkat 2,01 %. Sebuah upaya yang luar biasa sehingga indeks kesengsaraan turun drastis menjadi 8,37 %, meskipun tingkat pengangguran meningkat.

b. Periode 2000 – 2001: Presiden Abdurrahman Wahid

Setelah sempat mengalami recovery pada periode Presiden

Habibie, pada tahun 2000 nilai tukar rupiah kembali melemah menjadi sebesar Rp. 8.530/US$. Tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp. 10.265/US$. Hal ini tidak terlepas dari “tidak biasanya” sistem pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Permasalahan dasar ekonomi pada periode Presiden Abdurrahman Wahid ini tak juga  kunjung selesai. Harapannya setelah persoalan legitimasi politik selesai, kepercayaan terhadap perekonomian akan membaik. Kenyataannya, indikator-indikator dasar sistem ekonomi tidak semakin membaik, bahkan cenderung lebih buruk dari periode sebelumnya (Didik J. Rachbini, 2000).

Tindakan yang penuh kejutan mulai dari pemecatan sejumlah menteri, caranya dalam menanggapi isu publik, konsistensi kebijakan, serta pernyataan-pernyataannya yang mudah dibatalkan atau dinafikan, memunculkan kebingungan dan ketidakpercayaan pasar. Oleh karena itu, pada periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid indeks kesengsaraan lebih tinggi dibandingkan akhir periode pemerintahan Presiden Habibie, yaitu 15,45 %. Tingginya indeks kesengsaraan ini dibangun dengan tingkat inflasi yang meningkat tajam dari tahun sebelumnya sebesar 2,01 % menjadi 9,35 %.

c. Periode 2001 – 2004: Presiden Megawati

Periode pemerintahan Presiden Megawati diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah menjadi Rp. 10.265/US$ pada tahun 2001. Rendahnya nilai tukar ini dapat dikatakan sebagai “warisan” Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikannya pada tanggal 23 Juli 2001. Selanjutnya pada tahun 2002, rupiah kembali menguat menjadi Rp. 9.260/US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp. 8.570/US$ dan pada tahun 2004 sedikit melemah menjadi Rp. 8.985/US$. Meskipun secara relatif terjadi

penguatan nilai tukar rupiah, tetapi pemerintahannya dibayang-bayangi oleh tingkat pengangguran yang semakin meninggi. Dalam masa pemerintahannya, tingkat pengangguran terus meningkat mulai dari 8,10 % pada tahun 2001; 9,06 % pada tahun 2002; 9,50 % pada tahun 2003; dan 9,86 % pada tahun 2004. Dalam sebuah pertemuan Menteri Tenaga Kerja ASEAN ke-17 di Mataram tahun 2003, Presiden Megawati menyatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia merupakan masalah ketenagakerjaan yang paling mengkhawatirkan di ASEAN. Pengangguran tidak hanya menampilkan masalah ekonomi tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang pada gilirannya menimbulkan gangguan stabilitas nasional (anonymous, 2003).

Dari pernyataan tersebut jelas bahwa pada periode Presiden Megawati, kemampuan mensejahterakan rakyat tidak tercapai secara optimal, terutama dalam hal menyediakan lapangan kerja. Bahkan pada periode ini beberapa BUMN yang berkategori sehat diswatanisasikan (dijual) mengikuti aturan lembaga keuangan internasional, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi lapangan kerja. Oleh karena itu, indeks kesengsaraan pada periode Presiden Megawati masih tergolong tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan periode Presiden Abdurrahman Wahid. Tingginya indeks kesengsaraan dibangun oleh semakin tingginya tingkat pengangguran yang justru tertinggi di akhir masa jabatannya, yaitu 9,86 %. Kondisi ini mungkin merupakan salah satu faktor penyebab kekalahan Megawati pada pemilihan presiden periode 2005 – 2009, di samping faktor-faktor lainnya seperti gaya kepemimpinan, penanganan korupsi, KKN, lepasnya Sipadan – Ligitan, dan sebagainya.

d. Periode 2005 – 2009: Presiden Susilo Bambang Yudoyono

Sepanjang periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), nilai tukar rupiah terhadap dollar fluktuatif

mengikuti trend valuta internasional. Nilai tukar rupiah

terhadap US$ pada akhir Desember tahun 2005 s/d 2009 berturut-turut sebesar Rp. 10.058; Rp. 9.139; Rp. 9.376; Rp. 12.501; dan Rp. 9.445 (www.beacukai.go.id/rates/exchRateID. php). Nilai tukar pada periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono ini relatif tidak terlalu mempengaruhi kinerja perekonomian. Hal ini disebabkan dasar-dasar perekonomian relatif stabil dibandingkan periode-periode sebelumnya. Pada akhir periode ini realisasi PMA maupun PMDN meningkat lebih dari dua kalinya dibandingkan akhir periode sebelumnya (www.indonesia.go.id). Demikian juga Produk Domestik Bruto, pada akhir periode ini juga mengalami peningkatan lebih dari dua kalinya dibandingkan akhir periode sebelumnya (Bank Dunia). Justru faktor eksternal terkesan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar, seperti ketika terjadi krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis keuangan

Amerika Serikat (subprime mortgage).

(8)

pokok yang biasanya dikeluarkan pada akhir /awal tahun selalu menimbulkan gejolak inflasi. Tidak mengherankan jika laju inflasi fluktuatif atau naik turun secara tajam. Dalam hal menekan tingkat pengangguran, meskipun berhasil, tetapi upayanya hanya mampu mengembalikan tingkat inflasi pada posisi awal pemerintahan Presiden Megawati diakhir pemerintahan periode pertamanya, yaitu pada posisi 8,14 %. Indeks kesengsaraan relatif lebih baik karena mampu menekan dari posisi 27,37 % di awal pemerintahannya menjadi 10,92 % di akhir pemerintahannya. Relatif lebih baiknya indeks kesengsaraan dibangun dari kombinasi gejolak inflasi yang cukup tajam dan tingkat pengangguran yang terus menurun.

IV. KETERKAITAN INDEKS

KESENGSARAAN DENGAN KONDISI

KEAMANAN

Menurut Kunarto (2001) gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) bagaikan gunung es yang apabila dibedah dan dijadikan gambaran stereometris menampakkan 3 jenis dasar gangguan, yakni: Faktor Korelatif Kriminogen,

Police Hazard, dan Ancaman Faktual. Gangguan Faktor

Korelatif Kriminogen merupakan berbagai peristiwa atau kondisi yang berpotensi menjadi benih kejahatan. Termasuk dalam kelompok ini adalah adanya krisis ekonomi, kesenjangan kesejahteraan, kemiskinan, atau pengangguran. Kondisi ini akan memunculkan keinginan-keinginan untuk melakukan kejahatatan sebagai konsekuensi keterbatasan dan keterdesakan kebutuhan hidup.

Gangguan Police Hazard merupakan pengembangan dari

gangguan Fakor Korelatif Kriminogen yang tidak dapat tertangani dengan baik, yang pada dasarnya berwujud perilaku-perilaku menyimpang namun belum dapat disebut sebagai kejahatan. Kondisi ini digambarkan sebagai keadaan dimana seseorang sudah benar-benar berniat untuk melakukan

kejahatan, namun belum dapat terlaksana karena belum ada kesempatan. Kesempatan mungkin sudah ada, tetapi adanya kesiapsiagaan dari aparat keamanan atau dari pemilik dalam menjaga harta miliknya, menjadikan seseorang berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan. Selanjutnya gangguan

Ancaman Faktual adalah bagian dari gunung es yang muncul

ke permukaan sebagai pengembangan Police Hazard yang tidak

tertangani dengan baik. Wujud nyata dari Ancaman Faktual ini adalah bentuk-bentuk kejahatan dan pelanggaran yang sebagian besar telah dirumuskan dalam pasal-pasal KUHP.

Dari penjelasan tersebut, nyata sekali bahwa kejahatan yang ada dipermukaan sebenarnya kecil sekali jika dibandingkan dengan potensi gangguan kamtibmas yang ada di bawah permukaan. Penanganan oleh aparat keamanan yang hanya memfokuskan pada upaya pemberantasan kejahatan, tidak akan efektif karena keberhasilan memberantas satu kejahatan dapat menumbuhkan sejumlah kejahatan lainnya.

Beberapa pakar ekonomi menemukan kenyataan bahwa komponen indeks kesengsaraan (inflasi dan pengangguran) mendorong terjadinya peningkatan kejahatan. Artinya, indeks kesengsaraan dan tingkat kejahatan memiliki korelasi yang positif. Pada hampir setiap jajak pendapat publik yang dilakukan antara tahun 1973 - 1983, mayoritas rakyat Amerika Serikat merasa bahwa inflasi, pengangguran, atau keduanya merupakan masalah yang paling serius yang dihadapi bangsa, melebihi permasalahan kualitas hidup seperti kejahatan, pencemaran lingkungan, dan ancaman perang nuklir (Dornbusch dan Fischer, 1988 dalam Kenneth, 1990). Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa Indeks Kesengsaraan menunjukkan korelasi yang kuat antara pengangguran dan beberapa ukuran stres sosial, termasuk penyakit mental dan fisik yang meningkat, bunuh diri, pembunuhan, kematian kardiovaskuler, dan tingginya tingkat hunian penjara (Brenner, 1979 dalam Kenneth, 1990).

Grafik 2:

Indeks kesengsaraan dan Tingkat Kriminalitas Periode Pemerintahan Reformasi 1998 - 2009

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 MISERY INDEKS 83,13 8,37 15,45 20,65 19,09 14,56 16,26 27,37 16,88 16,47 19,45 10,92 CRIME RATE 64,31 82,11 80,46 85,93 82,67 86,77 96,41 73,75 75,97 108,88 80,83 72,67

-20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

Pe

rs

en

ta

se

(%

)

Grafik 2 :

Indeks Kesengsaraan dan Tingkat Kriminalitas Periode Pemerintahan Reformasi 1998 - 2009

Sumber : crime rate diolah dari data kriminalitas tahunan Mabes Polri

Secara grafis hubungan antara indeks kesengsaraan dengan tingkat kriminal yang terjadi menunjukkan korelasi yang tidak

mulus (linear). Pada periode tertentu korelasinya berbanding

(9)

meningkat atau sebaliknya indeks kesengsaraan meningkat tetapi tingkat kriminalitasnya justru menurun. Kondisi ini mengesankan tidak terjadi korelasi antara indeks kesengsaraan dan tingkat kriminalitas, meskipun secara teoritis mendukung.

Hal ini bisa dipahami karena indeks kesengsaraan Indonesia relatif tinggi di atas 10 % dengan fluktuasi yang cukup dinamis. Akibatnya perbaikan indeks kesengsaraan yang dicapai, tidak serta merta mampu menurunkan tingkat kriminalitas karena jumlah pengangguran masih sangat banyak dan harga-harga kebutuhan pokok relatif tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Pada era pemerintahan Presiden Habibie, rata-rata indeks kesengsaraan sebesar 45,75 % dengan rentang tertinggi – terendah 74,76 %. Pada era ini, tingkat konflik sosial yang berujung pada tindakan anarkhis intensitasnya sangat tinggi. Puncak reformasi yang oleh sebagian kelompok masyarakat diartikan sebagai kebebasan untuk bebas melakukan apa saja, menjadikan negara seolah-olah tidak berdaya menghadapi gelombang reformasi ini. Banyak kasus-kasus menonjol yang menjadikan Indonesia dianggap tidak aman bagi warga negara asing dan dunia investasi. Pada era Presiden Habibie ini tercatat kasus menonjol yang merupakan imbas kasus Mei 1998 diantaranya Tragedi Semanggi, kasus lepasnya Timor Timur, kekerasan etnis berbau SARA di Maluku, dan kerusuhan sejumlah kota-kota lain di Indonesia.

Pada era Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya memerintah satu tahun, Indeks Kesengsaraan sebesar 15,45 %. Dengan gaya pemerintahan yang dianggap tidak lazim, tetapi mampu melumerkan kesan keangkeran istana, telah dimanfaatkan oleh segolongan masyarakat untuk memanfaatkan sikap demokratisnya Presiden Abdurrahman Wahid. Akibatnya sejumlah daerah yang memiliki anasir separatis seperti Aceh, Maluku, dan Papua muncul berbagai konflik vertikal yang

menimbulkan korban jiwa. Impeachment terhadap Presiden

Abdurrahman Wahid yang dilawannya dengan Penetapan Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen yang tidak digubris oleh MPR dan tidak didukung oleh TNI, berujung pada konflik horizontal diantara yang pro dan kontra Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping itu, sejumlah kasus

kekerasan SARA seperti di Poso antara Muslim dan Kristen, di Kalimantan antara Dayak dan Madura, dan beberapa peledakan bom di rumah duta besar Philipina, gedung Bursa Efek, dan bom Natal 2000 semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kondisi keamanan di Indonesia.

Pada era Presiden Megawati, dalam empat tahun masa pemerintahannya rata-rata indeks kesengsaraan sebesar 17,64 % dengan rentang tertinggi – terendah 6,09 %. Dalam rangka menegakkan NKRI, Presiden Megawati memberlakukan Darurat Militer di Aceh untuk meredam aktivitas GAM. Upaya ini mampu menekan aktivitas GAM dan sejumlah tokohnya berhasil ditangkap. Dalam hal keamanan dalam negeri, kondisinya masih diwarnai oleh peledakan bom di sejumlah lokasi strategis. Puncaknya adalah peledakan bom Bali I yang gaungnya mendunia dan sempat menekan dunia

pariwisata Indonesia. Meskipun kesepakatan Malino berhasil meredam konflik Poso, tetapi kondisinya ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu meletus kembali. Di akhir masa pemerintahannya, teror bom kembali terjadi di Kedutaan Besar Australia yang menewaskan 11 orang.

Sedangkan pada era Presiden SBY, periode pertama masa pemerintahannya rata-rata mencapai 18,22 % dengan rentang tertinggi – terendah 16,45 %. Meskipun pada era ini kondisi keamanan dalam negeri relatif kondusif, tetapi sejumlah gangguan masih terjadi. Pada era ini sejumlah kasus menonjol terjadi, diantaranya adalah peledakan bom pasar Tentena, peledakan bom Bali II, pemenggalan tiga siswi SMU Kristen di Poso, ledakan di kota Palu, serentetan kasus penembakan di Freeport, insiden Alastlogo antara TNI – Petani, kerusuhan makam Mbah Priok, berbagai konflik bernuansi politik, dan SARA serta sejumlah kasus yang lainnya turut meningkatkan

(10)

V. PENUTUP

Indeks Kesengsaraan di empat kepemimpinan negara era reformasi pada dasarnya tidak terlalu banyak perbedaannya. Hal ini dikarenakan Indeks Kesengsaraan Indonesia pada era ini relatif masih sangat tinggi, yaitu rata-rata di atas 10 % dengan rentang tertinggi - terendah cukup lebar. Hal yang unik, pola Indeks Kesengsaraan pada keempatnya relatif sama, yaitu tinggi di awal dan rendah diakhir masa jabatannya. Pola ini juga berlaku pada kepemimpinan SBY yang kedua kalinya (di akhir kepemimpinan pertamanya 10,92 % dan di awal kepemimpian keduanya naik menjadi 14,10 %). Kondisi ini mengindikasikan program kerja pemerintah tidak berjalan secara optimal. Harapan masyarakat pada kepemimpinan baru, dalam perjalanannya akan memudar ketika hasil-hasil pembangunan tidak secara signifikan merubah kesejahteraan. Kekecewaan sebagian masyarakat seringkali diwujudkan dalam demo-demo yang secara masif di-blow up oleh media massa, dan selanjutnya menjadi santapan politik yang bisa mempengaruhi citra pemimpin yang sedang berkuasa. Kondisi semacam ini, kadangkala secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja pemerintah dalam upaya menciptakan kesejahteraan.

Pola hubungan Indeks Kesengsaraan dengan tingkat kriminalitas

yang terjadi terkesan tidak mulus (linear). Meskipun terjadi

hubungan yang tidak mulus, tetapi secara logika Indeks Kesengsaraan yang disusun oleh tingkat inflasi (daya beli masyarakat) dan tingkat pengangguran (pendapatan untuk membiayai kehidupan), berhubungan erat dengan tingkat kriminalitas. Pemahamannya adalah apabila seseorang yang tidak memiliki pendapatan (menganggur) akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini merupakan faktor korelatif kriminogen yang sewaktu-waktu memunculkan keinginan untuk melakukan tindak kriminal. Di dukung oleh kesempatan yang ada, keinginan tersebut dapat mewujud menjadi tindak kriminal sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan yang mulus barangkali akan terjadi ketika Indeks Kesengsaraan berada di bawah 10 %, di mana pada tingkat ini inflasi relatif rendah (harga-harga terjangkau) dan pengangguran sedikit (masyarakat bekerja dan memiliki daya beli).

Upaya untuk menurunkan Indeks Kesengsaraan, selain menciptakan lapangan kerja melalui kebijakan investasi, secara bersamaan juga melalui upaya menciptakan kondisi keamanan dalam negeri yang kondusif. Keamanan dalam negeri yang kondusif merupakan salah satu jaminan bagi investor untuk menanamkan modalnya. Di samping itu agar Indeks Kesengsaraan tidak bergejolak, pemerintah diharapkan tidak menempuh kebijakan drastis seperti kenaikan harga BBM atau kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kedua kebijakan ini hampir selalu menimbulkan gejolak sosial dan seringkali memiskinkan masyarakat, terutama masyarakat yang berada sedikit

di atas garis kemiskinan. n

Gunarta adalah Perencana Madya pada Direktorat Pertahanan dan Keamanan, Bappenas

DAFTAR BACAAN

Anonim, 2003. Pertemuan Menaker se-ASEAN:Pengangguran

Indonesia, Terparah di ASEAN. http://www.gatra. com/2003-05-08/artikel.php?id=28219

Anonim. 2008. Equity Research. D-Research Danareksa. http://

www.testcompany.com/archive/December2008-52/ att-2590/D-RESEARCH_30-12-08.pdf.

Anonim, 2009. Gawat, 20 Persen Pelaku Kejahatan adalah Polisi. Kompas.

com edisi Senin, 7 Desember 2009. http://megapolitan. kompas.com/read/2009/12/07/05310532/

Anonim. 2010. Sejarah Indonesia (1998-sekarang).http://

id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang).

Anonim. 2010a. The US Misery Index January 1948 to June 2010.

http://www.miseryindex.us/customindexbymonth.asp

Anonim. 2010b. Quarterly labour Force Survey: Quarter 2,2010.

Embargoed until 27 July 2010. Statistic South Africa. http://www.statssa.gov.za/publications/P0211/ P02112ndQuarter2010.pdf

Anonim. Crime in South Africa. http://en.wikipedia.org/wiki/

Crime_in_South_Africa

Didik J. Rachbini. 2000. Sikap Gus Dur dan Pasar.   Analisis

Ekonomi - Edisi Tahun IX No. 09 - 04 Juni

2000. http://www.hamline.edu/apakabar/

basisdata/2000/06/04/0021.html.

http://www.testcompany.com/archive/December2008-52/att-2590/D-RESEARCH_30-12-08.pdf

Kenneth L. Cavanaugh, Kurleigh D. King, and Birney D. Titus.

1990. Improving the National Economy through Alliance

with Nature’s Government: Effects of the Group Practice of Maharishi’s Transcendental Meditation and TM-Sidhi Program. Maharishi International University Fairfield, Iowa, U. S. A. http://www.mum.edu/

msvs/cavanaughpart4.html. Kunarto.2001. Perilaku

Organisasi Polri. Cipta manunggal. Jakarta.

Mubyarto. 2003. Teori Investasi Dan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Ekonomi Pancasila. Jurnal Ekonomi Rakyat. [Artikel - Th. II - No. 4 - Juli 2003]. http://www. ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_1.htm.

Shane.2010. Arthur Okun Misery Index through the Years. http://

www.loansandcredit.com/arthur-okun-misery-index-through-the-years_2010-04-19/.

Tri Wibowo dan Hidayat Amir. 2005. Faktor-Faktor Yang

(11)

Most of the remaining unresolved issues in poverty analysis are related directly or indirectly to the multidimensional nature and dynamics of poverty (Thorbecke, 2005). Analysis on multidimensional poverty has occupied much attention of economists and policymakers, particularly since the writing of Sen (1976) and the rising of data availability for relevant research purpose. A significant development for research has been the improvement in constructing a coherent framework for measuring poverty in multidimensional environment analogously to the set of techniques developed in one-dimension space. Multione-dimensionalmeasures provide another insight into particular elements of poverty that is useful and relevant to poverty interventions.

The advances in poverty research also embrace the dynamic perspective in assessing living conditions. The distinction of poverty condition between chronic and transient is not only important from the perspective of measurement accuracy, but also for policy implication purposes as well. Chronic versus transient poverty would call for different policy alleviation strategies (Hulme and Shepherd, 2003).

(12)

The first topic is the determinants of multidimensional poverty for household, with special attention given to operationalise conceptual thinking of multidimensional poverty. The second topic adopts multiple correspondence analyses (MCA) in order to construct an index which better reflects poverty measurement. The third topic looks at how multidimensional poverty index can play a major role in observing whether people are trapped in poverty over long periods to establish the extent of chronic and transient poverty in Indonesia.This paper estimates the incidence of multidimensional poverty to reach higher level compared to monetary poverty. Two types of poverty are quite positively correlated and have similar trend. It is also found that chronic poverty has characterised the pattern for the long run.

Keywords: Multidimensional poverty, chronic poverty, transient poverty, multiple correspondence analyses.

I. INTRODUCTION

Several definitions of poverty have prior conception of welfare, the choice of a “poverty line” divides the population into those who have an adequate level of welfare and those who do not. Traditional poverty measurement has been receiving criticism in defining welfare attributes. Sen (1976) and Townsend (1979) have altered the perception of how poverty is conceptualised. This results in alternatives to the traditionally accepted poverty measures (Tsui, 2002).

The multidimensional approach to poverty has been discussed by several authors. Practical research that attempts to apply the new approach include the UNDP’s Human Development Index (1994) as well as more general research that considers multiple dimensions of poverty simultaneously Sahn (1999) and Duclos et al., 2006). Supporting evidence for the multidimensional measurement of poverty is abundant. The justification behind the measurement of more than one dimension of poverty is based on the idea that income indicator is incomplete and its shortfalls lead to inaccurate estimations of poverty (Diaz, 2003). When choosing the measure, it is important to ensure a fit between the properties of a poverty index and policy objectives. This suggests that different indices lead to different images and thus the poverty picture can be highly dependent on the indicators chosen. Consequently the poverty measurement field is littered with various measures each assessing a particular dimension of poverty.

This research proposes exploration of multidimensional poverty measurement in Indonesia which aims to examine empirically the significance of identification and attempts to throw light on the construction of multidimensional poverty indicator. In addition, analysing dynamic patterns of poverty will produce major benefits for being able to formulate efficient policy toward specific areas which are likely to benefit poor people. Concern for poverty is therefore of fundamental importance. Indonesia is considered as good examples in reducing poverty incidence, although there has been no in depth analysis on

establishing to what extent poverty persists over time and characteristics associated with multidimensional poverty.

II. SOCIAL AND ECONOMIC

DEVELOPMENT IN INDONESIA

Indonesia is perceived to be an example of successful economic development. However, its history is more complicated than the prevailing success story. In the periods following transition in 1966, Indonesia underwent political moderation, economic liberalisation, and social change. Over a period of 20 years, from 1970s, real GDP per capita rose more than 5%.

In 1997, the country was struck with Asian financial crisis which ended into political turmoil and social upheavals. The country has eventually recovered from the crisisthat flung millions of its citizens into poverty. Recently, ithas once again become one of the world’s emergent middle-income countries.

Indonesia has had remarkable success in reducing poverty during the late 1970s to the mid-1990s which is considered one of the most “pro-poor growth” episodes, with poverty declining by half. The poverty rate fell back to about 16 percent in 2005 following a peak of over 23 percent in 1999 in the immediate wake of the economic crisis (Figure 1).

Figure 1: Poverty Incidence in Indonesia (1976-2010)

47.2

19781980 19811984 198719901993 1996 19981999200020012002 2003 2004 2005 20062007 20082009

13.7

38.7 37.9 38.4 37.3 36.1 35.1

Poor Population (million) Poor Population (million) Poverty Incident (%) Poverty Incident (%)

Soure: Statistics Indonesia (www.bps.go.id)

III.

DIMENSIONS OF POVERTY IN

INDONESIA

Poverty in Indonesia has three features. First, many households are clustered around the national income poverty line of about

PPP1 US$1.55-a-day, making people vulnerable to poverty.

Second, the income poverty measure does not capture the true extent of poverty in Indonesia; many who may not be “income poor” could be classified as poor on the basis of their lack of access to basic services and poor human development outcomes. Third, given the vast size of and varying conditions in the Indonesian archipelago, regional disparity is a fundamental characteristic of poverty in the country.

(13)

all dimensions of human well-being-adequate consumption, reduced vulnerability, education, health and access to basic infrastructure-then almost half of all Indonesians would be considered to have experienced at least one type of poverty.

Figure 2: Non-Income Poverty

66.77% 33.23%

44.55%

55.45%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

Household without accesst

o saf

e w

a

ter

Household without accesst

o sanita

tion

non poor

poor non poor

poor

Source: Author’s calculation based on Susenas 2008

Wide regional differences characterise Indonesia, some of which are reflected in disparities between rural and urban areas. But importantly, across the vast archipelago, it is also reflected in broad swathes of regional poverty. In addition to smaller pockets of poverty within regions, for example, the poverty rate is 15.7 percent in Java and Bali and 38.7 percent in remote Papua. Figure 3 displays far higher challenge in eastern Indonesia and remote areas. However, most of Indonesia’s poor are situated in the densely populated western regions of the archipelago.

Figure 3: Geographic Poverty Map

Percentage of Poor in Each Region, 2004

JavaIsland

Source: Ministry of Planning

Considered as the side effect of poverty, inequality problem also entangles Indonesia with Gini index recently always remains in the medium inequality position with fluctuating range despite significant progress improvements in poverty alleviation (Figure 4). Along with poverty and social problem, this situation seriously affects social livelihood and have potential to impoverish people even deeper.

Figure 4: Poverty Rate and Gini Coefficient (1964-2007)

1964

0 0.28

0.29 0.30 0.31 0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39

10 20 30 40 50 60 70

1969

Poverty (LHS) Gini Index (RHS)

1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2006 2007

Source: Statistics Indonesia

Over the last 10 years, since “reformasi” era begun, Indonesia

has experienced fastest economic recovery in South East Asia region. This is a remarkable achievement considering the scale of Asian economic crisis that devastated almost entire economic structure and productivity sectors. However, the aforementioned gains have not been apparent in all geographic areas and all sectors of economy. Eastern region still lag and poverty alleviation program still require substantial improvement.

IV. MULTIDIMENSIONAL POVERTY

INDICES

In constructing poverty measurement, it involves two steps: the identification and the aggregation of the poor (Sen, 1976). The first step defines an income poverty line based on the amount of income that is necessary to purchase a basket of basic goods and services. Next, individuals and households are identified as poor if their income (per capita or adjusted by the demographic composition of the household) falls short of the poverty line. The individual poverty level is generally measured by the normalised gap defined as:

(1)

Information contained on every individual is most commonly aggregated in the second step using the function proposed by (Foster et al., 1984) known as the FGT measures, defined as:

(2)

The coefficient α is a measure of poverty aversion. Values of α

refer to the emphasis for poorest among the poor. When α=0,

FGT is the headcount measure, all poor individuals are counted

equally. When the measure is the poverty gap (α=1), individuals’

(14)

gap (α=2) individuals receive higher weight the larger their

poverty gaps are. For α>0 it satisfies monotonicity (sensitive to

the depth of poverty) while if α<0 it satisfies transfer (sensitive

to the distribution among the poor).

In multidimensional context, distributional data are presented

in a matrix size , in which every typical

element corresponds to the achievement of

individuali in dimensionj. Following Sen (1976), it is required

to identify the poor. The most common approach in the analysis

is to define first a threshold level for each dimensionj,under

which a person is considered to be deprived. The aggregation of these thresholds can be expressed in a vector of poverty

lines . In this way, whether

a person is considered in deprived situation or not in every dimension could be defined. This research computes poverty line using two-step FGT method as follows:

The non-normalised FGT index is estimated as:

(3)

where z is the poverty line and x+ = max(x,0). The usual

normalised FGT index is estimated as

(4)

The next decision is important to judge someone as multidimensionally poor. A common starting point is to consider all those deprived in at least one dimension, also

called union approach. However, stricter criteria can be used,

even to the extreme of requiring deprivation in all considered

dimensions, the so called intersection approach. According to

Alkire and Foster (2008), this constructs a second cut-off: the number of dimensions in which someone is required to be deprived so as to be identified as multidimensionallypoor.

This cut-off is named afterk. If is the amount of

deprivations suffered by individual i, then he will be considered

multidimensionally poor if .

Multidimensional poverty indicators are possibly heterogenous in the nature of quantitative indicators (income, number of assets) or qualitative or categorical indicators (ordinal, e.g. level of education and non-ordinal, e.g. occupation, geographical region). This paper assumes variables are either quantitative or qualitative. A variable which has no meaningful ordinal structure cannot be used as poverty or welfare indicator. The first step consists in defining a unique numerical indicator C as a composite of the K primary indicators Ik, computable for each population unit Ui, and significant as generating a complete ordering of the populationU. A composite poverty indicator C takes the value Ci(Iik, k=1,K) for a given set of elementary population unit Ui.

V. MULTIPLE CORRESPONDENCE

ANALYSIS (MCA)

In multivariate statistics, MCA is is basically a data analysis technique for nominal or categorical data, used to detect and represent underlying structures in a data set. It works by representing data as points in a low-dimensional Euclidean space(Asselin and Anh, 2008). It is an extension of simple correspondence analysis (CA) which is applicable to a large set of variables. Instead of analysing the contingency table or cross-tabulation, as PCA does, MCA analyses an indicator

matrix consists of an Individuals × Variables matrix. MCA

allows to analyse the pattern of relationships of several categorical dependent variables (Asselin, 2002). Each nominal variable comprises several levels, and each of these is coded as a binary variable. Studies based on MCA to generate composite poverty indices include the works of Asselin and Anh (2004) in Vietnam; Ki et al. (2005) in Senegal; Ndjanyou (2006) and Njong (2007) both for the Cameroon case.Technically MCA is resulted from a standard correspondence analysis on anindicator

matrix (i.e., a matrix whose entries are 0 or 1). The ultimate

aim of MCA (in addition todatareduction) is to generate a composite indicator for each household.

The axiom means that if ahousehold i improves its situation

for a given variable, then its composite index of poverty

(CIPi) increases: its poverty level decreases (larger values

mean less poverty orequivalently, welfare improvement). The monotonicity axiom must be translated into the FirstAxis Ordering Consistency (FAOC) principle (Asselin, 2002) so that the firstaxis must have growing factorial scores indicating a movement from poor to non-poorsituation. For each of the ordinal variables, the MCA calculates a discrimination measureon each of the factorial axes. It is the variance of the factorial scores of all the modalitiesof the variable on the axis and measures the intensity with which the variable explains theaxis.

(5)

Where Wp = the weight (score of the first standardised axis) of

category p. Ip = binary indicator 0/1, in which values 1 when

the household has themodality and 0 otherwise. The CIP value reflects the average global welfare level of ahousehold.Asselin (2002) expresses this average minimal weight as:

(6)

VI. INEQUALITY

(15)

numbers selected randomly from a population, and the relative mean difference is the mean difference divided by the average, to normalise for scale.

For a population has uniform values yi, i=1 to n, indexed in non-decreasing order (yi ≤ yi+1):

(7)

For a cumulative distribution function F(y) that is has

characteristic: piecewise differentiable, has a mean μ, and is zero for all negative values of y:

(8)

Since the Gini coefficient is half the relative mean difference, it can also be calculated using formulas for the relative mean difference. For a random sample S consisting of values yi, i = 1 to n, that are indexed in non-decreasing order ( yi ≤ yi+1), the statistic:

(9)

is a consistent estimator of the population Gini coefficient, but is not unbiased. G(S) has a simpler form:

(10)

VII. POVERTY DYNAMICS

The fundamental of dynamic analysis is to estimate and to classify poverty incidence regarding to its components. The analysis will revisit the extent of transient and chronic poverty using two main approaches i.e. spells and component approaches. The former identifies the poor based on length

of experienced poverty periods with various a priori standards

while the latter distinguishes permanent and transitory components of household income variations through specific method.

Spells approach criteria vary on data availability and choice of method. Problems surround this approach is truncated data and noise-creating intervals. Of component approach, it is perceived that poor have permanent component below the poverty line. It is defined that ‘transient poverty’ as the component of time-mean consumption poverty at household level that is directly attributable to variability in consumption( Jalan and Ravallion, 1998).

Jalan and Ravallion (1998) have explored expenditure data on six-year panel of rural households in China. Building on their work, they propose a five-tier category system (Figure 4). This categorises into following:

• Always poor: expenditure or incomes or consumption levels in each period below a poverty line.

Usually poor: mean expenditures over all periods less than the poverty line but not poor in every period

Churning poor: mean expenditures over all periods near to the poverty line but sometimes experience poor and sometimes non-poor in different periods

Occasionally poor: mean expenditures over all periods above the poverty line but at least one period below the poverty line

Never poor: mean expenditure in all periods above the poverty line

These categories can be aggregated into the chronic poor (always poor

and usually poor), the transient poor (churning poor and occasionally

poor) and the non-poor (the never poor, continuing through to the

always wealthy condition). This paper uses spell approach from Jalan and Ravallion (1998) in decomposing transient and chronic poverty which focuses directly on the contribution of inter-temporal variability in living standards to poverty.

VIII. COMPOSITE INDEXING

When poverty is conceptualised as a multidimensional construct, it should be taken into account through the aggregation of different deprivation variables experienced by individuals. It involves the incorporation of information with several variables into a composite index. The general procedure in the estimation of composite indices involves: (i) choice of the variables, (ii) definition of a weighting scheme, (iii) aggregation of the variables and, (iv) identification of a threshold which separates poor and non-poor individuals.

The selection of appropriate indicators not only depends on the availability of data, but also on the variables that affect the formation of the index. It relies on researcher’s arbitrary choices with a trade-off between possible redundancies caused by overlapping information and the risk of losing information (Pérez-Mayo, 2005). After selecting a preliminary set of variables, their aggregation into a composite index implies an appropriate weighting structure. Second, in an attempt to move away from purely arbitrary weights, variables have been combined using weights determined by a consultative process among poverty experts and policy analysts. Third, weights may be applied to reflect the underlying data quality of the variables, thus putting less weight on those variables where data problems exist or with large amounts of missing values (Rowena et al., 2004). Fourth, variables have been weighted using the judgment of individuals based on survey methods to elicit their preferences (Smith, 2002).

IX. CONSTRUCTION OF THE

COMPOSITE INDEX OF POVERTY

(16)

in rudimentary services and core human functionings for households. This shows various patterns for poverty as the index reflects a different set of deprivations. It consists of three dimensions: health, education, and standard of living (measured using 12 main indicators). Sen (1976) has argued that the choice of relevant functionings and capabilities for any poverty measure is a value judgment rather than a technical exercise.

Several arguments in favour of the chosen dimensions are:

1) Parsimony or simplification: limiting the dimensions to three simplifies poverty measures.

2) Consensus: While there could be some disagreement about the appropriateness including other indicators, the value of health, education, and standard of living variables are still widely recognised.

3) Interpretability: Substantial literatures and fields of expertise on each topic make analyses easier. 4) Data: While some data are poor, the validity,

strengths, and limitations of various indicators are well documented.

5) Inclusivity: Human development includes intrinsic and instrumental values. These dimensions are emphasised in human capital approaches that seek to clarify how each dimension is instrumental to welfare.

From the perspective of physical assets, 12 indicators shows no stylised pattern. In addition, some indicators deteriorate over periods.Poverty seems to have been reduced more significantly in human-assets than in physical assets. In order to address this, we estimate the weights to observe some indicators which have more effect in determining poverty or welfare.

Before weighting the variables, the indicators were scrutinised based on data availability and characteristics. These resulting 20 variables explain deprivation on three dimensions. These variables are considered feasible to be weighted as part of poverty index.The following equation is used to calculate a composite index score for eachpopulation unit (household):

(11)

Where is the ith household’s composite

poverty indicator score, Rij is the response of household i to category j, and Wj is the MCA weight for dimension one applied to category j. MCA was employed to calculate these

weights, using the mca command in Stata 11.

This command estimates an adjusted simplecorrespondence analysis on the Burt matrix constructed with the selected variables. Analysis applied to thismatrix usually results in maps.

To consider the evolution of poverty over time, it is also necessary to construct asset indices that are comparable over time. The second index can be based on ‘baseline’ weights obtained from an analysis of the data from the first period survey.

For human assets, the result gives categorical scores (quantifications) for the first factorial axes, which account for 71.86% of the total inertia given by the formula

with most indicators are positioned in the centre of the axis. For physical assets (Figure 4.5), categorical scores account for 75.26% with more dispersed indicator positions.

MCA were undertaken on both combined human and physical assets in order to get the overall weight for each indicator. In so doing, both human and physical assets are jointly calculated to obtain a general multidimensional poverty index to be applied to different data sets.

Total MCA scores2 based on 20 modalities, demonstrate the

first factorial axis which explains 79.57% of the observed inertia (the eigenvalue). To construct the CIP for each household, the functional form of CIP is expressed in equation (4.1). The second part of analysis uses CIP intensively for a detailed comparative analysis of multidimensional versus consumption poverty, for the base year 1993.

In order to avoid an arbitrary assignment of weights on each variables, factor results are used in which weights shows that smaller number refers to lower welfare, while a larger one indicates higher welfare. To use these weights, the monotonicity axiom must be fulfilled, meaning that the CIP must be monotonically increasing for each primary indicator (Asselin, 2002). The axiom means that if a household improves its situation for a given primary variable, then its CIP value increases so that its poverty level decreases (larger values mean less poverty or equivalently, welfare improvement).

Logically, the first axis (which has the largest eigenvalue and is considered the poverty axis) must have growing factorial scores indicating a movement from a poor to a non-poor situation. Analytically, the factorial scores on the first axis represent the weights attached to the variable modalities.

Following the construction of CIP, we employed this index to estimate poverty measures for each period using the appropriate methods. Negative and missing values, however, create problems for poverty analysis using higher orders (e.g., FGT measures

for Pα where α=1 or higher). A small further magnitude is

added to normalise the lowest value non-zero, as some poverty decomposition programmes in Stata ignore zero values. The absolute values of these poverty indices have been changed, but the distribution is the same as before the translation and thus the poverty measures still have meaning in a relative sense, enabling comparisons of the resulting estimates of the index across space or time (Sahn and Stifel, 2003).

X. RESULTS

(17)

set poverty lines at relatively high levels, where the discrimination ability of indices is somewhat better. We somewhat arbitrarily choose

one out of two relative poverty lines. Using the 40th percentile as a

poverty line is quite acceptable as is often suggested by the World

Bank for poverty analysis. Nonetheless, 60th percentile poverty line

is computed as comparison. Using FGT methods, poverty incidence can be presented as in Table 1 based on the computation results for

poverty incidence or Pα (α=0) using 1993 as baseline year, in which

the poverty line is 10.19 for the lowest 40 percentile or 14.30 for lowest 60 percentile. Wide margin between two types of poverty lines might give a hint on how distribution pattern can explain the rigidity in welfare improvement. This paper employs lowest 40 percentiles standard to be poverty line into analysis as suggested by international literatures. According to this approach, poverty standard increased slightly between 1993 and 2000 (from 10.19 to 12.61) with dramatic increase in the year 2007 (15.92).

Table 1: Poverty Lines (Set on 40 and 60 Lowest Percentiles)

Poverty Lines

Lowest 40 Lowest 60

t statistics in parentheses *p< 0.05, **p< 0.01, ***p< 0.001

Having analysed poverty line, it is interesting to compare characteristics among various poverty lines. Various poverty lines in Indonesia differ regarding its methods, standards, and sample sets. Higher poverty rate can be found using higher standard as World Bank suggest, while different size on sample sets also affect the outcome. Using MCA scores to construct poverty line for lower 40 percentiles also create different pattern on poverty figures.

While economic growth has contributed to an increased level of welfare, it also has the potential to ignore fair redistribution of output and complicate poverty measurement. Table 2 compares Gini index over four periods shows that inequality barely change during 1993-2000 (ranges from 0.29 to 0.24), only a little equality despite significant improvement in economic growth or poverty reduction.

One hypothesis explored in this study is that Gini index from 1993-2007 obtained from MCA has different pattern with ordinary index from income distribution. However, this study reveals that Indonesian households are relatively more equal in terms of multidimensional livelihood rather than in money-metric terms particularly in the recent period.

Table 2: Gini Index on MCA

Lower Upper

95% CI 95% CI

1993 0.297 0.296 0.299 0.001050 1997 0.273 0.271 0.275 0.000977 2000 0.244 0.242 0.245 0.000812 2007 0.181 0.180 0.183 0.000646

Gini Index

Year S.E.

Results obtained from baseline calculation can be employed to analyse dynamic poverty setting. The analysis is undertaken to estimate the degree of changes over subsequent periods. This part also checks whether poverty rate fluctuates across periods. From Figure 5 we can infer that poverty line had increased during 1993-2007 and 1993 poverty line is the lowest. The graph also shows that distribution in 2007 clearly dominates the other distributions.

Figure 5: FGT Curves on MCA (1993-2007)

2007

0 6.7112 13.4224 20.1336 26.8448 33.556

Poverty line (z) FGT Curves (alpha=0)

Rural-urban difference can be analysed considering the different setting of poverty between the two regions. With respect to urban households, the first three poverty lines were

almost the same trend. Using 40th lowest percentile standard,

poverty in urban areas undoubtedly has smaller proportion and declined steadily in especially in 2007. Figure 12 below shows significant increase of poverty line in 2007. The impact of development has reached rural region but it is outweighed by the rate of poverty incidence. This requires intensive concern mainly on agriculture sector in villages and rural areas through support and infrastructure provision which are expected to improve local economy and contributes to welfare improvement.

(18)

economy has gradually developed into new level, eliminating poverty rate significantly.

Todaro and Smith (2009) said that perhaps one-third of all families that are poor at any one time are always chronically poor, as indicated by evidence from (McKay et al., 2004) that an individual has been poor at least five years in the late 1990s. The rest two-thirds consists of families that are vulnerable to poverty and become extremely poor from time to time.

Results of poverty measurement in terms of overall incidence, transition into and out of poverty for three periods of analysis are described in this section. During observed periods, number of poor is estimated around 19.9%. Table 5.5 provides the result using method from Jalan and Ravallion (1998), calculation is operated using Stata and DASP software. Regarding the incidence of chronic and transient poverty in other periods, we compare the results from (Alisjahbana and Yusuf, 2003) who published their findings using multinomial logit model for household panel data. However, their result demonstrates that during 1993-2000 poverty in Indonesia is more characterised by transient poverty rather than chronic poverty. Two contrasts are worth noting: (1) there is a significant difference on analysis subject to number of sample sets included. It employs only two waves of IFLS data sets which results in smaller number

of observations and (2) their analysis in deciding transient and chronic poverty is mainly based on monthly consumption per capita. Intuitively, given the different situation put into context i.e. monetary crisis in 1997-1998 created temporary shocks to most households and increase vulnerability to poverty. Furthermore, a longer period for analysis is enabling to catch the aftermath effect of crisis. Post-crisis situation is left marked with severe poverty condition requires longer period for recovery and makes people fall into chronic poverty trap.

Gambar

Figure 1: Poverty Incidence in Indonesia (1976-2010)
Figure 2: Non-Income Poverty
Table 2: Gini Index on MCA
Tabel 1 Penduduk Menurut Jenis Kegiatan Utama,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Didalam sebuah program magang juga terdapat sebuah perjanjian antara peserta magang dan perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Grafik kondisi Do Something jumlah kapal tetap Dari grafik diatas dapat di lihat bahwa untuk kondisi Do Nothing dengan scenario pemindahan 50 %, jumlah muatan

Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada fossa kubiti kemudian lengan

[r]

dalam fenomena kehidupan mahasiswi saat ini, kehadiran Instagram bagian dari produk sebuah budaya global dalam penggunaan teknologi canggih yakni internet

Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Program Makan Bersama di TK Negeri Pembina Centeh.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Ketika keadaan keluarga masih seimbang dan utuh, maka orangtua secara khusus akan lebih dapat mengarahkan anak remajanya, sehingga remaja memiliki perilaku yang lebih

Berdasarkan hasil validasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengembangan Lembar Kegiatan Siswa bergambar kartun dengan pendekatan kontekstual pada materi aritmetika