• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menghitung Jumlah PNS

Dalam dokumen Majalah Perencanaan Pembangunan (Halaman 31-33)

Angka pertumbuhan jumlah pegawai negeri sipil (PNS) terus mengalami peningkatan, seiring dengan terus dibukanya kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi PNS. Bahkan ada sinyalemen pengangkatan PNS bukan atas dasar kebutuhan organisasi, tetapi sebagai pemenuhan janji politik penguasa. Dalam kurun sewindu, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di republik ini bertambah 1 juta orang. Jika pada 2003 jumlah abdi negara itu masih 3,5 juta orang, pada tahun 2011 sudah membengkak menjadi 4,58 juta orang. Bila ditambah dengan tenaga honorer, total jenderal mencapai 4,7 juta orang. Celakanya, dari 4,58 juta PNS tersebut, lebih dari 60% atau sekitar 2,5 juta orang merupakan para administratur atau orang kantoran. Hanya 2 juta PNS yang berada di jalur fungsional seperti guru dan tenaga medis. Negara pun kelabakan menyediakan anggaran akibat pembengkakan jumlah PNS itu. Jika pada 2005 pemerintah masih merogoh Rp54,3 triliun, lima tahun kemudian (pada 2010) APBN dipaksa menyediakan Rp147,9 triliun untuk PNS. Tahun ini, kantong negara harus dirogoh Rp180,8 triliun atau 21,61% dari APBN untuk menggaji PNS. Bahkan, besarnya jumlah PNS itu menyebabkan pemerintah harus berutang untuk memenuhi jaminan sosial mereka.

Jika dicermati, pertumbuhan jumlah PNS juga ikut dipicu oleh beberapa kebijakan pemerintah (good will government) yang dengan sendirinya mendorong birokrasi menjadi tambun, dan pada akhirnya membebani keuangan negara:

(1) Terkait dengan kebijakan politik. Jumlah PNS yang terlalu banyak merupakan warisan Orde Baru, karena pada masa itu birokrasi merupakan salah satu pilar kekuasaan, jadi kecenderungannya menambah.

(2) Pemekaran wilayah pasca berlakunya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, menjadi kecenderungan baru dalam struktur pemerintahan di Indonesia, yang dengan sendirinya akan terbentuk kantor-kantor pemerintah daerah baru, serta kantor dinas, baik kantor wilayah (kanwil) pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten (kandep) sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.

(3) Bertambahnya jumlah lembaga negara yang saat ini mencapai lebih dari 116 lembaga. Setidaknya ada 88 Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dengan berbagai nama, diluar 34 Kementerian. Ada Badan, Komisi, Komite, Dewan, Ombudsman, Majelis, Unit Kerja, dan Satgas, yang dibentuk untuk menangani persoalan tertentu secara ad hoc. Terlepas dari tujuan dan latar belakang pembentukan lembaga-lembaga tersebut, maka hal ini tentu saja ikut membebani anggaran pemerintah.

(4) Pengangkatan Sekretaris Desa (carik) menjadi PNS sesuai PP Nomor 45 Tahun 2007, setidaknya turut menyumbang 73.067 PNS dihitung dari jumlah desa seluruh Indonesia. Sebenarnya, permasalahan jumlah PNS yang tambun dan

atau bagian pelayanan mana yang akan ditiadakan sehingga harus ada pengurangan pegawai. Kedua, dampak negatif secara psikologis pada PNS, karena pada umumnya setiap pegawai ingin mengakhiri karirnya secara alamiah, dan tidak ingin jika pensiun dengan embel-embel tidak produktif. Ketiga, belum adanya ketentuan yang mengatur tentang pesangon PNS, dan berapa besar anggaran yang dibutuhkan serta seperti apa mekanisme pembayaran pesangonnya.

Adapun beberapa alasan adanya opsi/program pensiun dini diperlukan antar lain:

(1) Perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat operasional kantor pemerintah lebih efektif dan efisien, sehingga jumlah pegawai yang dibutuhkan makin sedikit. Misalnya tadinya pekerjaan dilakukan secara manual, sekarang sudah full otomatis. Semua proses tadinya dilakukan oleh orang-orang, sekarang sudah bisa dilakukan dengan sistem. Jadi otomatis kelebihan pegawai.

(2) Pegawai yang berlebih dengan latar belakang pendidikan yang tidak dimungkinkan untuk ditempatkan di tempat yang kosong, namun usianya belum masuk usia pensiun. Pensiun dini menurut Keputusan Menpan No KEP/23.2/M. PAN/2/2004, adalah pemberhentian dengan hak pensiun bagi PNS yang belum mencapai batas usia pensiun (56 tahun). Adapun dasar hukum yang mengatur pensiun dini adalah Pasal 9 UU No 11 tahun 1969 tentang pensiun pegawai dan pensiun janda/duda pegawai.

Bahwa pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil berhak menerima pensiun pegawai, jikalau ia pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negari:

a. Telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 Tahun (atas permintaan sendiri)

b. Mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun

dan oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh departemen kesehatan berdasarkan peraturan tentang pengujian kesehatan pegawai negeri, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani yang tidak disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatannya.

c. Pegawai negeri yang setelah menjalankan suatu tugas negara tidak dipekerjakan kembali sebagai pegawai negeri, berhak menerima pensiun pegawai apabila ia diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri dan pada saat pemberhentiannya ia telah mencapai usia sekurang- kurangnya 50 tahun dan memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.

Menghadapi masa pensiun dan menjelang berhenti dari pekerjaan adalah suasana yang sangat berat dan sensitif. Ada kenangan manis semasa kerja, hilangnya kekuasaaan, jabatan, dan hiruk-pikuknya dunia kerja yang menyenangkan. Ada semacam kekecewaan terhadap hidup, akibat tidak lagi dihormati dan dipuji seperti ketika masih berkuasa (post power syndrome). Ini banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Mereka umumnya mengalami gangguan psikologis seperti stres, depresi, unhappy, merasa kehilangan harga diri dan kehormatan. Untuk itulah masa persiapan pensiun (MPP) mempunyai peranan penting, sebagai bekal di masa pensiun kelak, dan pensiun secara alamiah adalah pilihan tepat.

Outsourcing

Pemerintah kesulitan mengatur jumlah PNS karena belum adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang rasio jumlah PNS dibanding jumlah penduduk. Atau jumlah yang ada sekarang dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan. Rasio antara jumlah PNS dibanding jumlah penduduk akan memengaruhi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Jika benar jumlah PNS berlebih, pertanyaannya, apakah setiap desa sudah ada tenaga medis (dokter atau bidan)? Apakah sudah cukup guru di setiap sekolah? Bila pemerintah bertekad memangkas jumlah pegawai, seyogyanya sistem zero growth dipetahankan. Kalau toh ada rekrutmen, hanya dibolehkan untuk jenis keahlian tertentu seperti guru dan tenaga medis. Terkait wacana mengganti PNS dengan tenaga kontrak (outsourcing) atau alih daya, ada kecenderungan pemerintah ingin mengadopsi pola kerja organisasi privat. Padahal, organisasi publik mempunyai karakteristik yang berbeda dengan organisasi privat, sekalipun ada beberapa bagian yang sama secara fungsional. Organisasi privat orientasinya mencari

laba dengan melakukan efisiensi biaya produksi (production

cost). Salah satu caranya adalah dengan melakukan sistem

outsourcing, dimana dengan sistem itu perusahaan dapat fokus pada kompetensi dalam pasar, sementara hal-hal intern

perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan

kepada pihak lain yang lebih profesional. Dengan menggunakan outsourcing perusahaan akan menghemat biaya untuk pekerja, tidak ada jaminan pengembangan karir bagi pekerja, serta

perusahaan tidak akan repot apabila terjadi PHK, karena tidak perlu memberi pesangon kepada karyawan yang di-PHK. Akan tetapi, outsourcing membuat pekerja terus menghitung, kapan masa kontraknya habis, apakah selesai kontrak masih mau memperpanjang kontrak kerjanya atau tidak? Kesemuanya itu, menjadikan pekerja tidak tenang lahir dan batin dalam melaksanakan tugasnya. Dampak psikologinya, akan terjadi erosi produktifitas dan erosi kreatifitas.

Sementara itu, organisasi publik (pemerintah) memiliki ciri khusus dalam melaksanakan kebijakan publik dan berorientasi pada publik, standar dan ukuran keberhasilan lebih kabur atau sulit disepakati, pengangkatan pegawai selain melalui prosedur seleksi pegawai, ada pula yang diangkat secara politis. Pelayanan lebih menekankan pada pemerataan atau keadilan. Sehingga pencapaian sasaran ini menjadi sulit diukur. Pemerintah mempunyai pengalaman yang nyaris sama dengan persoalan tenaga kontrak, yakni tenaga honorer. Sebagai tenaga yang dibutuhkan oleh unit kerja sesuai beban tugas pokok dan fungsi yang tidak dapat dilaksanakan oleh pegawai organik yang ada. Keberadaannya sampai saat ini masih menjadi polemik yang belum juga tuntas. Pola rekrutmen pegawai honorer yang cenderung kurang transparan. Ada sinyalemen mereka diterima berdasarkan rekomendasi pejabat atau kolega dari orang dalam pemerintahan. Faktaknya kita tidak pernah mendengar ataupun melihat adanya pengumuman penerimaan tenaga honorer, tiba-tiba saja jumlah tenaga honorer bertambah hingga ribuan jumlahnya. Dalam perkembangannya mereka berharap untuk bisa diangkat menjadi PNS.

Penutup

Gagasan yang menarik, agak radikal terkait membengkaknya jumlah PNS terkadang memang diperlukan, mengingat beban keuangan negara untuk belanja pegawai semakin berat. Namun persoalannya selalu pada bagaimana agar tidak hanya berhenti pada tingkat wacana. Para pengambil kebijakan akan lebih elok dalam mensikapi permalasahan yang krusial ini dengan berkoordinasi lebih dulu guna menyamakan persepsi, sebelum saling melempar wacana di media yang implikasinya bisa menurunkan kinerja (demotivasi) PNS. Tentu terlalu riskan bagi pemerintah jika mengambil langkah yang terkesan radikal dengan memangkas jumlah PNS sebelum mengkaji pokok persoalannya, mengaudit database kepegawaian serta mengidentifikasi lembaga pemerintah yang kurang produktif. Langkah itu penting, untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya, apakah saat ini PNS terlalu banyak, cukup, kurang banyak, atau pendistribusiannya yang kurang merata, sehingga terkonsentrasi pada wilayah/lembaga tertentu.

Untuk mendapatkan postur dan jumlah PNS yang ideal, tepat menurut kebutuhan bukan keinginan, perlu dicari terobosan dengan resiko sekecil-kecilnya dan melalui tahapan- tahapan. Karena rasionalisasi birokrasi baik lembaga maupun personilnya, tidak bisa secara instan dan langsung jadi, tapi harus dalam jangka panjang, menyeluruh dan bertahap.

Langkah kongkritnya mungkin dimulai dari restrukturisasi atau penataan organisasi/lembaga dan jabatan, di ikuti penataan struktur pegawainya agar terjadi keserasian antara organisasi dengan komposisi PNS baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Melalui penataan organisasi akan diketahui secara pasti komposisi PNS pada setiap jabatan yang diperlukan oleh masing-masing unit kerja. Hal tersebut akan memudahkan perencanaan pegawai, yang meliputi pengadaan, penempatan, pengembangan, pemeliharaan dan pemberhentian.

Agar tidak berhenti pada wacana balaka, langkah jangka pendek yang diperlukan adalah pengetatan rekrutmen pegawai (moratorium) sebagai langkah progresif. Untuk jangka panjang yang merupakan kebijakan strategis, perlunya perencanaan, membuat desainnya, menciptakan regulasi khusus mengenai rasio jumlah PNS untuk seluruh Indonesia, dengan memperhatikan berbagai faktor seperti jumlah penduduk yang akan di layani, luas wilayah, karakteristik daerah serta kondisi kemampuan APBN/APBD. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban kerja dengan kuantitas dan kualitas aparat yang bertanggungjawab melaksanakannya. Tidak kalah penting adalah aturan pembatasan belanja pegawai dan/atau batas minimal belanja modal oleh setiap pemerintah daerah, serta melengkapinya dengan sanksi bagi daerah yang melanggar, sehingga siapapun tidak sesuka hatinya menambah

pos belanja pegawai. n

Sukhad, adalah staf Perencana Direktorat Keuangan Negara, Bappenas

Dalam dokumen Majalah Perencanaan Pembangunan (Halaman 31-33)

Dokumen terkait