• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.PENDEKATAN KONSEPTUAL - Corporate Social Responsibility (CSR) - myrefresing82

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2.PENDEKATAN KONSEPTUAL - Corporate Social Responsibility (CSR) - myrefresing82"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Corporate Social Responsibility (CSR)

Dari berbagai school of thought tersebut tampaknya Indonesia menganut konsep mandatory atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun Undang-Undang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban melaksanakan CSR pun diwujudkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk aspek lingkungan, namun hingga kini belum ada peraturan organik yang merupakan turunan dari berbagai undang-undang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Bila dilihat dari pada implementasinya cenderung dilakukan sesuai dengan konsep self regulatory.

2.PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1.1.1 Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam perusahaan, mengalami evolusi dan metamorphosis dalam rentang waktu yangcukup lama. Konsep ini tidak lahir begitu saja, akan tetapi melewati berbagai macam tahapan terlebih dahulu. Gema CSR mulai terasa pada tahun 1950-an. Pada saat itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Buku yang bertajuk Social Responsibility of the Businessman karya Howard R.Bowen yang ditulis pada tahun 1953 merupakan literatur awal yang menjadi tonggak sejarah modern CSR. Bowen dijuluki “Bapak CSR” karena karyanya tersebut. Setelah itu, gema CSR diramaikan dengan terbitnya “Silent Spring” yang ditulis oleh Rachel Carson, ia mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Tingkah laku perusahaan perlu dicermati terlebih dahulu sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang luas. Pemikiran mengenai CSR dibahas lagi pada tahun 1966 dalam “The Future Capitalism”

yang ditulis Lester Thurow, dilanjutkan pada tahun 1970-an terbitlah “The Limits to Growth” yang merupakan buah pemikiran cendekiawan dunia yang tergabung dalm Club of Rome, buku ini terus diperbaharui hingga saat ini (Wibisono, 2007).

Menurut Wibisono (2007), sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan

Philanthropy serta Community Development (CD). Pada era 1980- an makin banyak perusahaan menggeser konsep Philanthropy kearah Community Development. Pada dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beraneka ragam pendekatan, seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.

Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Jenario Brazil, pertemuan ini menegaskan konsep pembangana berkelanjutan (Sustinable Development) yang didasarkan pada perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Terobosan terbesar CSR dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (Profit, People dan Planet) yang dituangkan dalm buku

(2)

Definisi CSR telah banyak dikemukakan berbagai pihak. Konsep CSR yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai pihak sebagaimana yang dikemukakan oleh Teguh S. Pambudi dalam tulisannya di majalah SWA edisi Desember 2005 adalah pemikiran Elkington, yakni tentang tripel bottom line. Menurutnya CSR adalah segitiga kehidupan

stakeholder yang harus diberi atensi oleh korporasi di tengah upayanya mengejar keuntungan atau profit, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hubungan itu diilustrasikan dalam bentuk segitiga. Sejalan dengan itu, Wibisono (2007) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sementara Nursahid (2006) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab moral suatu organisasi bisnis terhadap kelompok yang menjadi stakeholder-nya yang terkena pengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Sukada, dkk (2006) mendefinisikan CSR sebagai segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif di setiap pilar. Sementara itu, The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menjelaskan bahwa CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk terus bertindak etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas.

Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR adalah omitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya (Djajadiningrat dan Famiola, 2004).

Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu :

1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat CSR yang seutuhnya.

(3)

sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.

3. Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi yaitu antara pemilik dan manajemen korporasi.

4. Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang-undangan seperti Undang-Undang Perseoran Terbatas yang didalamnya juga mengatur mengenai tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.

Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak cukup hanya dengan ke 3 pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan dari teori hukum sedangkan ruang lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku. Reflexive law theory paling tepat untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang ekstensif. Reflexive law theory bertujuan untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self regulation). Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private actors, seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan memberikan penilaian maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas CSR perusahaan. Disisi lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi (code of conduct). Dalam mengontrol perilaku korporasi maka

reflexive law theory menghendaki adanya social accounting, auditing dan reporting, yang disebut social reporting (Fajar, 2010).

Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi beberapa

school of thought yaitu adalah :

1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu:

a. The business of business is business yang berpandangan bahwa perusahaan pada hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Tangan-tangan tak kentara (invisible hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan patuh kepada rule of law. Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya adalah pencurian uang milik pemegang saham yang dilakukan oleh para direktur perusahaan.

b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR sukarela (voluntary) dan menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan, lalu keberadaan perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.

(4)

ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh lebih berpengaruh dibandingkan negara bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi. Sehingga perlu campur tangan Pemerintah.

2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3

school of thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu :

a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar menjadi pendorong aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR pada produk yang didorong oleh permintaan pasar, labour market demand atau CSR pada tenaga kerja yang didorong oleh permintaan pasar dan capital market demand atau CSR atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal. Aktivitas ini bersifat sukarela dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada triple bottom line (dampak

environmental, social, financial), dan stakeholders board.

b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur oleh negara. Aktivitas CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan.

c. Third-sector school atau CSR as site of participation adalah aktivitas CSR yang dilakukan dengan membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan

perusahaan-perusahaan, kerjasama perusahaan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

3. Pemikiran lainnya atas school of thought dari CSR adalah sebagaimana yang dikemukakan Fajar (2010) yaitu : a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan alasan: tujuan perusahaan mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral sesuai pendapat Milton Friedman, diacu dalam Fajar (2010), pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Henry Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented menjadi model standar untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya sukarela dan berada di wilayah etika maka CSR diatur dalam code of conduct (softlaw) seperti Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting Guidelines, Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines for Multinational Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan Corporate Code of Conduct tidak cukup mampu mengikat korporasi (Fajar, 2010). b. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang bersifar wajib (compulsory). Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini adalah: korporasi harus memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders

sebagaimana dikemukakan oleh E.Merric Dodd, diacu dalam Fajar (2010) yang melahirkan stakeholders theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh Henry Hansmann dan Reinier Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan adalah untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan mengapa CSR harus diatur dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan memaksa dari hukum kebiasaan dan prinsip sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan efek apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010).

(5)

hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak, Jenkins mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rezim yaitu necessity (kebutuhan) dan possibility

(kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Sementara possibility berfungsi menciptakan kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute good). Jika rezim necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan tanggung jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika korporasi cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat (Fajar, 2010).

2.1.1.2 Tahapan-Tahapan CSR

Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan CSR, yaitu: 1. Tahap perencanaan.

Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu Awareness Building, CSR Assessement,

dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah utama membangun kesadaran pentingnya CSR dan komeitmen manajeman, upaya ini dapat berupa seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR Assessement merupakan upaya memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasikan aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah selanjutnya membangun CSR Manual Building, dapat melalui bencmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisian. 2. Tahap implementasi.

Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang penting diperhatikan, yaitu penggorganisasian (organizing) sumber daya, penyusunan (staffing), pengarahan (direction), pengawasan atau koreksi (controlling), pelaksanaan sesuai rencana, dan penilaian (evaluation) tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi.

3. Tahap evaluasi.

Tahap evaluasi perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR.

4. Pelaporan.

Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan inforrmasi material dan relevan mengenai perusahaan.

2.1.1.3 Pandangan Perusahaan terhadap CSR

Wibisono (2007) menjelaskan bahwa perusahaan memiliki berbagai cara pandang dalam memandang CSR. Berbagai cara pandang perusahaan terhadap CSR yaitu:

1. Sekedar basa-basi atau keterpaksaan. Perusahaan mempraktekan CSR karena external driven (faktor eksternal), environmental driven (karena terjadi masalah lingkungan dan

(6)

2. Sebagai upaya memenuhi kewajiban (compliance). CSR dilakukan karena terdapat regulasi, hukum, dan aturan yang memaksa perusahaan menjalankannya.

3. CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya saja, melainkan juga tannggunga jawab sosial dan lingkungan.

2.1.1.4 Kebijaksanaan Perusahaan dalam CSR

Menurut Steiner (1997) dalam Mulyadi (2007) kebijakan umumnya dianggap sebagai pedoman untuk bertindak atau saluran untuk berfikir. Secara lebih khusus kebijakan adalah pedoman untuk melaksanakan suatu tindakan. Kebijakan mencakup seluruh bidang tempat tindakan atau yang dilakukan. Kebijakan biasanya berlangsung lama serta cenderung memiliki jangka waktu yang lama tanpa peninjauan dan penyempuranaan. Kebijakan menjelaskan bagaimana cara pencapaian tujuan dengan menentukan petunjuk yang harus diikuti. Kebijakan dirancang untuk menjamin konsistensi tujuan dan untuk menghindari keputusan yang berwawasan sempit dan berdasarkan kelayakan.

2.1.1.5 Karakteristik CSR

Dalam aktualisasi Good Corporate Governance, kontribusi suatu perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mengalami metamorfosis, dari yang bersifat

charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemandirian masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambaddar, 2008). Metamorfosis kontribusi perusahaan tersebut diungkapkan oleh Za’im Zaidi (2003) dalam Ambaddar (2008), yaitu dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1. Metamorfosis CS

2.1.1.6 Implementasi CSR

(7)

(2006), ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:

1. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.

2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan dinegara maju. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan.

3. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasai non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.

4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat :hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.

2.1.1.7 Manfaat CSR

CSR mendatangkan berbagai manfaat bagi perusahaan dan masyarakat yang terlibat dalam menjalankannya. Menurut Wibisono (2007) manfaat bagi perusahaan yang berupaya menerapkan CSR, yaitu dapat mempertahankan atau mendongkrak reputasi dan

brand image perusahaan, layak mendapatkan social licence to operate, mereduksi risiko bisnis perusahaan, melebarkan akses sumberdaya, membentangkan akses menuju market,

mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholders, memperbaiki hubungan dengan regulator, meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan serta berpeluang mendapatkan penghargaan. Sementara menurut Sukada, dkk (2006), manfaat CSR diantaranya bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki CSR yang baik berkesempatan mendapatkan sumberdaya manusia terbaik, produktivitas pekerja di perusahaan bereputasi baik dicatat lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang bereputasi lebih rendah selain juga jauh lebih loyal, mendapatkan kesempatan investasi yang lebih tinggi di masa depan, dan sebagainya. Sedangkan manfaat CSR bagi masyarakat menurut Ambadar (2008), yaitu dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, kelembagaan, tabungan, konsumsi dan investasi dari rumah tangga warga masyarakat.

2.1.2 Konsep Pengembangan Masyarakat

2.1.2.1 Komunitas sebagai Basis Pemberdayaan Masyarakat

(8)

inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan teknis, sifat berswadaya dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif. Secara umum, Syahyuti (2006) mendefinisikan komunitas (community) sebagai sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interests).

2.1.2.2 Definisi Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial (Ambaddar, 2008). Pengembangan masyarakat menurut Giarci (2001) dalam Subejo dan Supriyanto (2004) adalah suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Sejalan dengan itu, Payne (1995:165) dalam Ambadar (2008) menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community development dan community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui

collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Sementara itu Ambadar (2008), menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya, antara lain community relation. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan. Budimanta dalam

Rudito,dkk (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan dapat menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.

2.1.2.3 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat

(9)

bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai berikut:

a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu : 1) Holistik, di mana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorientasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan.

2) Keberlanjutan, dalam konteks ini pembangunan masyarakat ditujukan pada upaya meminimalkan ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan dan menggantikan dengan sumberdaya alam yang terbarukan.

3) Keanekaragaman, merupakan salah satu aspek penting prinsi ekologis, di mana di alam keanekaragaman akan menjaga siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan, tidak adanya jawaban tunggal terhadap permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring dan komunikasi yang setara, serta teknologi yang mudah untuk diterapkan pada tingkat yang rendah.

4) Pembangunan organis, pada dasarnya pembangunan organis menjadi konsep yang berlawanan dengan pembangunan yang sifatnya mekanistis. Dalam pembangunan masyarakat mengandung pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, tidak dianjurkan dengan teknik yang sifatnya sederhana, akan tetapi melalui proses yang kompleks dan dinamis.

5) Keseimbangan, di alam keseimbangan dinamis akan menjaga keseimbangan alam secara keseluruhan, di mana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender, responsibilitas, dan keadilan dalam hukum

b. Prinsip keadilan sosial

6) Menghilangkan ketimpangan struktural, pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya ketimpangan kelas maupun ketimpangan gender dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat, untuk itulah harus dipahami betul tentang komplesitas tekanan terhadap kelas, gender, ras, dan harus kritis terhadap latar belakang kelas, gender, dan ras

7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing discourses of disadvantage). Wacana kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam

community development. Worker perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga memarginalkan dan mentidakberdayakan sebagian orang yang lainnya. Penguraian wacana ini merupakan komponen kritis dalam prinsip meningkatkan kesadaran.

8) Pemberdayaan, konsep ini menjadi basis utama dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan mempunyai makna membangkitkan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan mereka untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung di dalamnya adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya.

(10)

memperhatikan preseden yang ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekologis.

10) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam hal ini perlu adanya aturan yang memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural komunitasnya, hak untuk berkembang secara mandiri, dan hak untuk mendapatkan perlindungan keluarga.

c. Menghargai Nilai-nilai lokal

11) Pengetahuan lokal, prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, di mana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut.

12) Budaya lokal, globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat, ini mengingat ternyata budaya lokal tidaklah statis namun dinamis, bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif, berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

13) Sumberdaya lokal, pemanfaat sumberdaya lokal lebih baik daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumberdaya alam akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat (ada keanekaragaman bentuk pembangunan masyarakat).

14)Ketrampilan lokal, dalam pembangunan masyarakat, ”pihak luar” harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan, memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat, harus berjalan secara dua arah antara pihak luar dan masyarakat.

15) Menghargai proses lokal, pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar komunitas, jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development, bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu, pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas, dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi dan lingkungan.

d. Proses

16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.

(11)

18) Peningkatan kesadaran, prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan pencarian potensi dalam kehidupan dan menghubungkan dengan struktur yang ada dan mendiskursus kekuatan dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangunan hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi tekanan, dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat.

19) Partisipasi, pembangunan masyarakat harus selalu melihat partisipasi maksimal dengan tujuan setiap anggota masyarakat dapat secara aktif terlibat.

20) Kooperasi dan konsensus, problematika yang ada di masyarakat harus dihadapi oleh seluruh anggota secara bersama-sama dengan mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota masyarakat.

21) Tahapan pembangunan, pembangunan masyarakat dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu yang lama, hal ini disebabkan ia lebih mengutamakan keaktifan dan partisipasi anggota masyarakat.

22) Perdamaian dan anti kekerasan, pada konteks ini pembangunan masyarakat menghendaki sebuah proses pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat koersif ataupun pendekatan dengan tekanan terhadap sesama merupakan hal yang harus dihindari.

23) Inklusif, aplikasi prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat membutuhkan proses adanya keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan haruslah bersifat terbuka dan menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat, bahkan sampai kelompok paling bawah.

24) Membangun komunitas, semua pembangunan masyarakat seharusnya bertujuan untuk membangun komunitas. Pembangunan masyarakat meliputi semua interaksi sosial dengan komunitas dan membantu mereka untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi jalan untuk menuju dialog yang murni, pemahaman, dan aksi sosial.

e. Prinsip global dan lokal

25) Hubungan antara global dan lokal, saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa lagi mengabaikan isu-isu global tentang pembangunan dan lingkungan hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi.

26) Praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice), Penjajahan (kolonialisme) dapat mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu untuk ditawarkan, dan dengan menghargai satu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini akan mengabadikan dominansi penjajah.

2.1.2.4 Tujuan Pengembangan Masyarakat

(12)

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosialekonomi- budaya yang lebih baik disekitar wilayah kegiatan perusahaan.

2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.

3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.

2.1.2.5 Strategi Pengembangan Masyarakat

Dalam melaksanakan suatu program pengembangan masyarakat terdapat berbagai macam strategi pengembangan masyarakat. Chin dan Benne (1961) dalam Nasdian (2006) memperkenalkan tiga strategi yang dapat dijadikan strategi pengembangan masyarakat, yaitu rational-empirical, normative-reeducative, dan power-coersive. Penjelasan ketiga strategi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Power coercive (strategi pemaksaan). Strategi ini cenderung memaksakan kehendak dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan, sedangkan pelaksanaan yang sebenarnya objek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksaannya.

b. Rational Empirical (empirik rasional). Strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik karena strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat dengan penggunanya.

c. Normatif Re-educative (pendidikan yang berulang secara normatif).

Suatu strategi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaruan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan hasil perubahan itu sendiri.

2.1.2.6 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

(13)

Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Sementara itu, Paul (1987) dalam Nasdian (2006) memberikan pengertian mengenai partisipasi sebagai berikut:

“...participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and execution of development projects rather than mercly receive a share of project benefits”.

Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1980 dalam Nasdian, 2006). Melihat berbagai pendapat yang ada mengenai pemberdayaan dan partisipasi, maka pemberdayaan dan partisipasi di tingkat komunitas dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya (Nasdian, 2006). Pendapat ini sejalan dengan Craig dan Mayo (1995) dalam Nasdian (2006), yaitu: “empowerment is road to participation”.

2.1.2.7 Tingkat Partisipasi

Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009)menjelaskan ada delapan tangga partisipasi masyarakat yang kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein. Delapan tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009) adalah : 1. Manipulation, bisa diartikan tidak ada komunikasi apalagi dialog; 2. Therapy berarti ada komuniksi namun masih bersifat terbatas, inisiatif dari pemerintah dan hanya satu arah; 3.Information

menyiratkan bahwa komunikasi sudah banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah; 4.Consultation bermakna bahwa komunikasi telah berjalan dua arah; 5.Placation berarti bahwa komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dapat memberi saran tetapi tidak memiliki kewenangan menentukan keputusan (partisipasi semu); 6.Partnership berarti suatu kondisi pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar; 7.Delegated Power berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa keperluannya; dan 8.Citizen Control berarti bahwa masyarakat menguasai kebijakan public mulai dari perumusan, implementasi hingga evaluasi dan control. Dua tangga ke bawah di kategorikan sebagai Non-partisipasi; tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat tokenism (pertanda) yaitu tingkat peran serta di mana masyarakat di dengar dan berpendapat, tetapi tidak ada jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang kekuasaan. Peran serta pada tingkat ini memilki kemungkinan yang sangat kecil menghasilkan perubahan dalam masyarakat; tiga tangga teratas dikategorikan dalam tingkat kekuasaan masyarakat dalam mempengaruhi dan proses pengambilan keputusan (Arnstein, 1969 dalam Wazdy, 2009).

Peraturan perundang-undangan CSR

Di Indonesia program CSR semakin menguat setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU perseroan terbatas No.40 tahun 2007, di mana dalam pasal 74 antara lain diatur bahwa : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan.atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

(14)

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundanguandangan.

(4) Ketentuan lebih kanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam pasal 74 ayat 1 disebutkan bahwa perseroan (mengacu pada UU No.40/2007 pasal 1 ayat 1 bahwa perseroan diartikan sebagai perseroan terbatas) yang menjalankan usaha di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun tidak dijelaskan apakah hal tanggung jawab yang sama juga diwajibkan bagi entitas usaha yang tidak berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Sehingga, hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa entitas usaha yang tidak berbentuk perseroan terbatas tidak diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (mengacu pada UU No. 40/2007) pasal 1 ayat 3 definisi tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masayrakat pada umumnya). Selanjutnya pasal 74 ayat 1 tersebut menimbulkan pertanyaan lain yaitu apakah perseroan terbatas yang tidak menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam dapat diartikan tidak diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Selain itu, UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diataur oleh peraturan pemerintah (belum terbit).

Peraturan lain yang menyinggung CSR adalaha UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara perihal CSR bagi perusahaan nasional.

Sumber :

Gambar

Tabel 1. Metamorfosis CS

Referensi

Dokumen terkait

Untuk perhitungan GDH sum rule pada reaksi fotoproduksi kaon hingga en- ergi tinggi secara teoretik dengan menggunakan model isobarik, penggunaan model ini memberikan kurva

Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada di dalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima berupa sungai yang jika tidak

Beda penelitian yang telah dilakukan oleh Sari dengan penelitian ini adalah pada metode yang digunakan yaitu deskriptif yang bersifat eksploratif, sedangkan penelitian

Y = 76.715+ 0.429X1 dengan kontribusi 36,4%.. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah, supervisi akademik

Produk- produk yang ditawarkan BMT El-Labana Semarang berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah dengan tidak menjual produk yang mengandung unsur haram (seperti : rokok,

[r]

This research aims at finding out the correlation between the mastery of present tense and the ability I writing descriptive text of the eighth grade students of SMP N

Hasil dari penelitian tersebut bahwa dalam perusahaan terjadi hambatan karena Elhanief Konveksi baru memiliki konsumen dan tergolong minim dari Banda Aceh dan