• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Asimilasi Antara Penduduk Migran Dengan Penduduk Lokal (Studi kasus : Interaksi Multietnis di Kelurahan Tigabinanga,Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Asimilasi Antara Penduduk Migran Dengan Penduduk Lokal (Studi kasus : Interaksi Multietnis di Kelurahan Tigabinanga,Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan memiliki sekitar 500-an suku

bangsa. Sejak berdiri, wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok etnik,

agama dan ras yang hidup bersama dalam suatu wilayah Indonesia.

Keanekaragaman yang berbeda-beda menjadi kekayaan bangsa Indonesia, setiap

suku yang ada didalamnya memiliki ciri-ciri dan latar belakang kebudayaan yang

berbeda yang berjajar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki lima buah

pulau besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan banyak lagi

pulau-pulau kecil yang ditempati oleh masyarakat Indonesia. Pulau-pulau tersebut

ditempati oleh suku-suku yang beranekaragam dengan bahasa, sikap, dan budaya

yang mencirikan jati diri mereka.

Bangsa Indonesia tetap menjunjung tinggi BHINEKA TUNGGAL IKA

yaitu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, yang artinya bahwa masyarakat

Indonesia menghormati setiap perbedaan yang dimiliki oleh setiap suku bangsa

yang ada didalamnya. Budaya dan kebiasaan yang khas pada suatu suku bangsa

merupakan salah satu ciri untuk membedakan antara suatu suku bangsa dengan

suku bangsa yang lain. Kekhasan itu dapat dianggap sebagai kebudayaan dari

suku bangsa yang bersangkutan. Keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat

Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk identitas kita

(2)

Kebudayaan suku bangsa salah satunya adalah tingkah laku atau prilaku

manusia baik dalam kehidupan sehari-harinya, maupun caranya ia berhubungan

dengan orang lain, karena hal tersebut menimbulkan interaksi. Setiap tindakan

yang ditunjukkan dari setiap suku bangsa yang berbeda biasanya akan

menimbulkan pola interaksi yang berbeda pula, seturut dengan latar belakang

budaya yang mereka miliki masing-masing.

Manusia memiliki naluri untuk senantiasa berhubungan dengan

sesamanya. Hubungan yang berkesinambungan tersebut menghasilkan pola

pergaulan yang dinamakan pola interaksi sosial. Manusia memiliki sifat yang

dapat digolongkan ke dalam manusia sebagai makhluk sosial artinya dituntut

untuk menjalin hubungan sosial dengan sesamanya. Hubungan sosial merupakan

salah satu hubungan yang harus dilaksanakan, mengandung pengertian bahwa

dalam hubungan itu setiap individu menyadari tentang kehadirannya di samping

kehadiran individu lain. Hal ini disebabkan bahwa dengan kata sosial berarti

“hubungan yang berdasarkan adanya kesadaran yang satu terhadap yang lain, di

mana mereka saling berbuat, saling mengakui dan saling mengenal atau mutual action dan mutual recognition”. Manusia sebagai makhluk sosial, dituntut pula ada kehidupan berkelompok, sehingga keadaan ini mirip sebuah community,

seperti desa, suku bangsa dan sebagainya yang masing-masing kelompok

memiliki ciri yang berbeda satu sama lain (Santosa, 1999:13).

Tidak dipungkiri bahwa selama manusia itu masih hidup maka manusia

tersebut akan melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut

menunjukan bahwa manusia tersebut adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup

(3)

aktivitas-aktivitas sosial. Melalui interaksi tersebut maka manusia mampu mengevaluasi

dirinya. Kehidupan masyarakat yang setiap harinya melakukan aktivitas guna

kelangsungan hidup, dimana interaksi terjadi melalui kontak sosial dan

komunikasi. Manusia senantiasa untuk bertemu dan berkomunikasi dengan orang

yang ada di sekitarnya. Arti penting dari komunikasi adalah bahwa seorang

memberikan tafsiran pada prilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan,

gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang

tersebut. Kontak sosial terjadi apabila orang yang bersangkutan kemudian

memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain

tersebut. Melalui komunikasilah masyarakat akan menjalin kerja sama (Soekanto,

1990:67).

Salah satu penelitian yang menunjukkan kehidupan masyarakat yang

majemuk dalam penelitian Novendra dan kawan-kawan dalam buku Integrasi

Nasional di Daerah Riau Suatu Pendekatan Budaya tentang hubungan sosial

penduduk ”asal” dengan ”pendatang” yaitu masyarakat Melayu dan Banjar.

Terjalinnya hubungan sosial menimbulkan kerja sama dalam berbagai aspek

kehidupan. Bidang ekonomi misalnya, interaksi terjadi di pasar. Pedagang di pasar

Tembilahan adalah orang-orang Banjar, hanya sebagian kecil dari Cina dan

Minang. Para penduduk melayu yang bertindak sebagai pembeli, berinteraksi

dengan parapenjual dari Banjar. Bentuk kerja sama lain terlihat dalam lingkungan

tempat tinggal yang membaur dengan lingkungan RT atau RW dan membentuk

kelompok arisan. Dari bidang sosial kerjasama mereka terlihat pada

peristiwa-peristiwa hari raya, pesta perkawinan atau sunat Rasul, upacara keagamaan,

(4)

Melayu dan Banjar baik, akrab dan saling tenggang rasa diakibatkan karena

pemukiman mereka yang membaur dan mereka memiliki satu keyakinan agama

(Novendra dkk, 1995/1996 : 25-26).

Contoh kasus di atas yang membahas pola interaksi masyarakat Banjar dan

Melayu memperlihatkan meskipun mereka memiliki banyak perbedaan baik dari

kebudayaan dan prilaku namun tetap saja mereka dapat bekerjasama dalam

aktivitas sehari-hari. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh kondisi tempat tinggal

mereka yang membaur dan keyakinan yang sama, namun bagaimana pola

interaksi masyarakat jika masyarakat Indonesia yang melakukan migran hidup di

suatu daerah dengan banyak perbedaan dan dalam lingkungan tempat tinggal yang

tidak membaur. Tidak semua hubungan antar kelompok etnik mengarah kepada

konflik. Keberagaman kelompok etnik dan perbedaan budaya yang ada dalam

suatu masyarakat juga dapat menghasilkan hubungan kerja sama, bahkan

pembauran antar kelompok etnik dalam interaksi sehari-hari secara alamiah.

Dalam konteks sehari-hari kita juga dapat merasakan perbedaan budaya dan

keberagaman kelompok etnik tidak serta merta menjadi halangan dalam

berinteraksi. Hal itu justru merupakan potensi masyarakat yang secara positif

dapat dikembangkan sebagai unsur-unsur pembentuk identitas masyarakat

Indonesia (Wirutomo, 2012:88).

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Indonesia

yang terdiri dari berbagai etnis yaitu Batak, Angkola atau Mandailing, Melayu

dan Nias, serta terdapat juga berbagai daerah di dalamnya. Kabupaten Karo

merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Karo

(5)

dalam bahasa aslinya disebut Kalak Karo merupakan salah satu suku asli di Sumatera Utara. Suku ini memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Karo atau

Cakap Karo dan aksaranya sendiri. Bramderisco. 2010. Suku Karo

http://bramderisco.wordpress.com/tag/suku‐karo/. diakses 7 Maret 2014, pukul

21.31 WIB.

Kabanjahe sebagai Kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Karo

merupakan salah satu wilayah yang memiliki masyarakat majemuk. Kabanjahe

dominan ditempati oleh masyarakat asli suku Karo dan beberapa suku pendatang

lainnya. Suku Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara

dengan baik dan sangat mengikat bagi suku Karo sendiri. Masyarakat Karo kuat

berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat

dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dilihat dari letak geografis Tanah Karo

maka mata pencarian utama masyarakat Karo adalah pertanian dan peternakan.

Penduduk asli di daerah Kabanjahe adalah masyarakat Suku Karo. Meskipun di

Kabanjahe didomisili oleh masyarakat Suku Karo, namun tidak terpungkiri

persebaran masyarakat baik dari kalangan Suku lain juga tetap terjadi. Hal

tersebut dapat dilihat dari keanekaragaman masyarakat yang tinggal dan bekerja

di Kabanjahe. Suku Karo yang merupakan mayoritas dari penduduk Kabanjahe,

yaitu 60% dari keseluruhan penduduk kota ini. Selain dari Suku Karo masih ada

suku-suku lain di Kabanjahe, seperti Suku Toba, Simalungun, Dairi,

Minangkabau, Jawa dan Cina. Payung, 1981. Pelapisan sosial di Kabanjahe.

Jakarta: UI FISIP

http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91277&lokasi=lokal,

(6)

Persebaran masyarakat yang berasal dari suku lain menjadikan semakin

tingginya keanekaragaman di wilayah Kabanjahe dan semakin memungkinkan

adanya interaksi sosial didalamnya. Sejauh ini meskipun pulau Sumatera

memiliki berbagai macam suku namun hingga saat ini belum pernah ditemukan

konflik antara suku didalamnya. Demikian juga dengan daerah Kabanjahe yang

penduduk aslinya adalah Suku Karo yang hingga pada saat ini juga belum pernah

ditemukan kerusuhan antar etnik. Terlihat meskipun dengan beranekaragam suku

yang ada didalamnya menjadikan interaksi masyarakat semakin meningkat dan

hidup saling menghormati perbedaan. Dapat diartikan bahwa dengan

keanekaragaman tersebut tidak menjadi konflik bagi masyarakat.

Masyarakat yang tinggal di Kabanjahe terdiri dari berbagai ragam etnik,

bukan hanya Suku Karo. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya dijumpai

rumah peribadatan masyarakat baik Mesjid dan bangunan Gereja suku seperti

GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), GKPS (Gereja Kristen Protestan

Simalungun ), HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), keragaman suku yang

meningkatkan tingkat interaksi juga terdapat di daerah Tiga Binanga yang

merupakan salah satu daerah Kecamatan di wilayah Kabanjahe. Penduduk asli

masyarakat Tiga Binanga adalah Suku Karo atau diidentikkan dengan etnis yang

lebih dahulu menghuni teritori pemukiman. Mereka hidup dengan bekerja sebagai

petani dan akrab dengan alam. Kehidupan masyarakat di Kecamatan Tiga Binanga

tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Karo. Kehidupan masyarakat yang

terdapat di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga yang menjadi tuan

(7)

hingga saat ini tetap dipertahankan yang biasa disebut dengan sangkep nggeluh. Yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar

terdiri atas senina, anak beru dan kalimbubu (Tribal Collibium) ( Prinst, 2008:43). Masyarakat Suku Karo memiliki lahan perladangan yang luas karena

nenek moyang mereka merupakan pembuka tanah (Host Population) di wilayah Tiga Binanga. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan sejarah berdirinya wilayah

Kelurahan Tiga Binanga yang dahulunya dikepalai oleh Ngadang Sebayang yang

menjadi pemimpin selama empat dasawarsa di Kelurahan Tiga Binanga. Hingga

saat ini yang menjadi tuan tanah di wilayah Kelurahan Tiga Binaga adalah

bermarga Sebayang yang merupakan keturunan dari Ngadang Sebayang yang

menjadi pembuka Kelurahan tersebut. Menjabat menjadi Kepala Kampung selama

46 tahun menjadikan keturunan dari beliau memiliki warisan tanah yang luas,

hingga sekarang masyarakat tetap mempertahankan sistem pertanian sebagai salah

satu sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian. Irwan. 2011.

Silima Merga. Tanah Karo. (http://silima‐

merga.blogspot.com/2011/02/gambaran‐umum‐kecamatan‐tiga‐binanga.html

diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 8.29 WIB).

Kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah Kelurahan Tiga Binanga

dapat dikatakan memiliki semangat tinggi dalam bekerja. Terlihat hampir

keseluruhan masyarakat bekerja keras guna meningkatkan pendapatan

perekonomian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Misalnya saja

dilihat dari semangat kerja masyarakat Suku Karo, meskipun mereka memiliki

lahan pertanian yang luas namun masyarakat tidak hanya sepenuhnya berprofesi

(8)

usaha dagang, baik membuka pertokoan, rumah makan dan layanan sosial lainnya,

ada juga masyarakat yang berjualan ketika tiba hari selasa yang merupakan hari

pekan bagi masyarakat Kecamatan Tiga Binanga. Selain itu ada juga masyarakat

yang membuat usaha home industry, misalnya seperti menganyam tikar, membuat kursi dari bahan bambu. Artinya masyarakat memiliki pekerjaan ganda

sehingga membutuhkan orang lain guna membantu mengelola pekerjaannya.

Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 Kabupaten Karo,

Kalvin Sitepu sebagai kordinator BPS Kecamatan Tiga Binanga menyatakan

bahwa kondisi kehidupan sosial ekonomi meningkat di Kelurahan Tiga Binanga.

Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata pendapatan hasil panen masyarakat

khususnya dari sektor pertanian ladang sawah yaitu mencapai 356 ton/Ha/tahun.

Jadi hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicu banyaknya masyarakat yang

berasal dari luar daerah Tiga Binanga tertarik untuk datang dan mencari

pekerjaan. Peningkatan kehidupan sosial ekonomi penduduk Kelurahan Tiga

Binanga dapat dilihat dari semakin tingginya kesadaran para masyarakat akan

pentingnya peran pendidikan dalam memperbaiki kualitas kehidupan serta

semakin bersemangatnya penduduk bekerja dalam upaya meningkatkan

pendapatan ekomoni.

Kalvin. 2013.Tiga Binanga dalam angka. Kabanjahe : BPS

(http://karokab.bps.go.id/data/publikasi/kca030_13/files/search/searchtext.xml

diakses 11 Februari 2014, pukul 21.00 WIB).

Penduduk migran yang datang dan memasuki Kelurahan Tiga Binanga

berasal dari suku Jawa, Batak Toba , Padang dan Nias. Beberapa suku yang ada di

Sumatera seperti Suku Batak Toba, Padang dan Nias memiliki suatu ciri budaya

(9)

suku-suku tersebut untuk mengadu nasib. Hal ini disebabkan karena masyarakat di

Kelurahan Tiga Binanga memiliki lahan perladangan yang luas dan secara

otomatis membutuhkan pekerja yang banyak guna mengerjakan kegiatan

pertanian. Selain itu juga banyak ditemukan usaha-usaha masyarakat yang

membutuhkan pekerja sehingga menjadi suatu peluang bagi penduduk migran

untuk memperoleh pekerjaan. Peningkatan luas lahan panen masyarakat mencapai

676 ha/tahun serta hasil produksi mencapai 2407 ton/tahun. Kalvin. 2013.Tiga

Binanga dalam angka. Kabanjahe : BPS

(http://karokab.bps.go.id/data/publikasi/kca030_13/files/search/searchtext.xml

diakses 11 Februari 2014, pukul 21.30 WIB). Hal tersebut menjadikan anggota

keluarga tidak sanggup untuk mengerjakan pekerjaan ladangnya. Maka dari itu

mereka membutuhkan banyak tenaga kerja guna membantu mereka dalam

mengelola pekerjaannya. Pada awalnya kegiatan pertanian dikerjakan oleh kerabat

atau keluarga sipemilik lahan secara bergotong-royong, namun sekarang justru

migran tersebut yang mengambil alih sebagai pekerja. Penduduk lokal justru

mengajak para migran untuk bekerjasama dengannya dalam mengelola lahan

pertaniannya. Padahal penduduk lokal memiliki kerabat-kerabat yang dapat diajak

untuk bekerja sama dalam megelola pekerjaan ladangnya. Namun penduduk lokal

mempercayakan para migran yang tidak memiliki hubungan kekerabatan untuk

bekerjasama. Hal yang menjadi sorotan lainnya adalah hubungan antara penduduk

migran dengan penduduk lokal tersebut tidak hanya sebatas hubungan majikan

dengan pekerja. Namun hubungan mereka menjadi terlihat lebih akrab satu

dengan yang lainnya. Berawal dari interaksi yang kerap dilakukan sehingga

memungkinkan juga timbulnya pola asimilasi di tengah-tengah kehidupan

masyarakat.

(10)

diharapkan terlihat jelas adanya pola asimilasi di tengah-tengah kehidupan

masyarakat. Termasuk didalamnya strategi adaptasi seperti apa yang dilakukan

oleh penduduk migran sehingga mereka dapat membentuk kerja sama dan sistem

kekerabatan dengan penduduk lokal yang ada di daerah Kelurahan Tiga Binanga.

1.2Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dijelaskan melihat kondisi wilayah

Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo yang

memiliki jenis tanah yang subur dan penduduk lokal tersebut hidup dengan

sistem peradatan yang masih kental. Namun kondisi wilayah saat ini terlihat ramai

didatangi oleh penduduk migran yang berasal dari suku dan kebudayaan yang

berbeda dengan penduduk lokal, namun dapat membentuk suatu sistem

kekerabatan dan menjalin kerja sama. Untuk itu adapun yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana Pola asimilasi penduduk Migran dengan Penduduk Lokal di

Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo ?

2. Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh Penduduk Migran

sehingga mampu menjalin kerja sama dan membentuk kekeluargaan

dengan penduduk lokal di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga

Binanga?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang

(11)

1. Dari analisa mengetahui bagaimana pola asimilasi penduduk Migran dan

Penduduk Lokal yang ada di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga

Binanga Kabupaten Karo serta bagaimana strategi yang mereka lakukan

untuk membentuk kerja sama dan menjalin sistem kekerabatan.

2. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

peneliti beserta para pembacanya guna meningkatkan pemahaman akan

kehidupan masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

a. Hasil penelitan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber

informasi dalam pengembangan ilmu khususnya sosiologi Pedesaan,

Sosiologi Keluarga dan Hubungan Antar-Kelompok.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber dan masukan bagi

pembacanya guna lebih memahami kehidupan masyarakat sosial

khususnya lebih mengetahui bagaimana pola asimilasi penduduk

Migran dengan Penduduk Lokal serta bagaimana strategi yang

dilakukan oleh pendatang migran sehingga membentuk kerja sama

dan menjalin sistem kekerabatan di Kelurahan Tiga Binanga

kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo.

1.4.2Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis

dalam membuat karya ilmiah dan dapat menjadi bahan rujukan bagi

(12)

1.5 Definisi Konsep

a. Asimilasi

Asimilasi adalah Suatu proses sosial dimana seseorang diperhadapkan

dengan kebudayaan asing dan kebudayaan asing tersebut disaring dan

diterima namun kebudayaan asing tersebut tidak merubah kebudayaan

aslinya. Dalam hal ini menjelaskan adanya asimilasi yang berawal dari

interaksi sosial antara masyarakat lokal (Host Population) yaitu masyarakat Suku Karo dengan masyarakat Migran yang berasal dari Suku

Jawa, Batak Toba, Padang dan Nias. Bermula dari interaksi sosial

sehingga adanya proses asimilasi, setelah hal tersebut terealisasikan

sehinnga memungkinkan terjadinya suatu proses amalgamasi di

tengah-tengah masyarakat.

b. Penduduk Lokal

Penduduk lokal merupakan masyarakat yang tinggal di dalam suatu daerah

dengan tetap menerakpan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang

mereka atau yang lebih dahulu menghuni teritori pemukiman (host population). Masyarakat lokal (asli) juga memiliki salah satu dari marga yang terdapat di wilayah tempat tinggalnya. Masyarakat memiliki lahan

serta usaha-usaha yang membutuhkan bantuan orang lain dalam mengelola

pekerjaannya.

c. Penduduk Migran

Penduduk migran adalah orang-orang yang melakukan migrasi. Migrasi

adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya dan

(13)

potensi untuk mendapatkan pekerjaan guna memperbaiki tingkat

prekonomian. Perpindahan tersebut juga cenderung menghasilakan proses

amalgamasi di daerah yang ditempati.

d. Strategi Adaptasi

Strategi merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok

untuk menghasilkan suatu fokus yang ingin dicapai. Dalam menjalankan

strategi tersebut pasti ditemukan usaha dan kerjasama antara satu dengan

yang lainnya. Adaptasi merupakan penyesuaian diri oleh penduduk migran

dengan penduduk lokal. Dalam strategi adaptasi ini masyarakat migran

datang dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan serta aturan yang terdapat di

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa hasil karya di bawah ini adalah benar hasil karya sendiri, belum pernah di publikasi, tidak menjiplak dan menyebutkan seluruh sumber refrensi yang saya gunakan

Para Pemegang Saham atau kuasanya yang akan menghadiri Rapat diminta dengan hormat untuk membawa dan menyerahkan Konfirmasi Tertulis Untuk Rapat (KTUR) atau

Pada bagian Pembahasan tmerupakan hasil analisis data yang telah diperoleh, diolah dengan cara peneliti sesuai paradigma dan pendekatan yang digunakan oleh peneliti. Pada

Meningkatnya nilai IGS dan persentase TKG IV pada setiap perlakuan selama 6 minggu pemeliharaan disebabkan karena adanya dosis vitamin E yang tinggi dalam pakan sehingga

 Saat peyerahan naskah, peserta menyertakan biodata yang telah diunduh di grup facebook AKSI FOSI 2016 dan hardcopy naskah yang dimasukkan dalam map kertas lalu

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah lembar kuesioner tingakat pengetahuan tentang KB suntik DMPA dan tingkat kecemasan yang sudah teruji

Jumlah bahan baku sebanyak 80 kg merupakan jumlah optimal untuk ruang destilator pada saat produksi karena diduga mempengaruhi hasil akhir minyak atsiri

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase