• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang) 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Hu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang) 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Hu"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang) 1.1Latar Belakang Masalah

Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia sejak awal Orde Baru tumbuh

sejalan dengan kebijakan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya proses

kebijakan ini diwarnai oleh konfigurasi politik dengan latar belakang gejolak politik

keamanan daerah.

Kebijakan otonomi daerah selama pelaksanaan UU. No. 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, secara kontekstual selama penerapannya memperkenalkan

dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung

jawab.1

Deviasi dan distorsi tersebut tidak hanya berimplikasi pada ketidakjelasan arah

otonomi melainkan telah menciptakan ketergantungan daerah yang makin hari makin besar UU ini juga sebenarnya telah mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah pada

bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik

keseimbangan (balance power sharing).

Penyusunan UU tersebut sadar untuk meletakkan bobot kekuasaan pada posisi yang

berimbang yang dirumuskan dalam kalimat bahwa “asas desentralisasi dilaksanakan

bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberi kemungkinan pula bagi pelaksanaan

asas tugas pembantuan”.

Sayangnya gerak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah ditata secara

seimbang antara kekuasaan pusat dan daerah, pada awal pelaksanaanya berjalan dengan baik,

namun lambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan cara pandang rezim

Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi,

eksploitasi dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam.

1

(2)

terhadap pemerintah pusat. Hal ini terjadi akibat penafsiran yang keliru maupun yang sengaja

disalahtafsirkan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 untuk memperkuat dominasi Pemerintah

Pusat.

Dengan begitu daerah kehilangan ruang gerak dalam melaksanakan otonominya

bahkan sampai ke level desa melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang desa, diikuti oleh

beberapa tindakan yang jelas semakin memperlemah kedudukan desa. Adapun tindakan

tersebut diantaranya menempatkan kecamatan sebagai kekuasaan langsung di atas desa,

sehingga gerak langkah desa tidak mungkin bisa independen dari kecamatan. Malah yang

kemudian berlangsung adalah adanya intervensi berlebihan dari kecamatan. Kondisi ini pula

yang dinyatakan sebagai penanggung jawab adanya loyalitas tinggi pada institusi di atas desa,

ketimbang pada rakyat desa itu sendiri.

Pada UU Nomor 5 Tahun 1974, kecamatan didefinisikan sebagai wilayah

administratif pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi. Definisi ini bermakna bahwa

kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan

pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah (Maksum, 2007).

Pada masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, camat merupakan kepala

wilayah. Sebagaimana pada pasal 76 dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh seorang kepala

wilayah. Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam

pasal 80 dinyatakan kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di

bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan

mengoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang.

Wewenang, tugas, dan kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan

wewenang, tugas, dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan

walikota.

Dari sini terlihat betapa kuatnya posisi dan kewenangan seorang camat di wilayah

kecamatan. Camat adalah kepala wilayah, wakil pemerintah pusat, dan penguasa tunggal di

wilayah kecamatan yang dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk

menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Meskipun camat adalah bawahan

(3)

heran pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat dapat memutuskan segala sesuatu tanpa

perlu mengkonsultasikannya dengan bupati.2

Kelembagaan politik non-formal seperti rembug desa (berinug-Kalimantan Timur)

menjadi hilang digantikan institusi instan buatan Negara (LKMD/LMD). Hal ini membawa

pengaruh yang luar biasa, terutama dalam menjaga keberlangsungan system social di tingkat

local. Indikasi yang gampang dilihat secara vulgar di masyarakat adalah ketergantungan dan

kecenderungan untuk apolitis serta penyelesaian sengketa secara pintas dengan kekerasan.

Nilai-nilai yang dipegang teguh secara turun-temurun digantikan dengan nilai yang

mengedepankan corak individual/pragmatis. Demokrasi menjadi macet digantikan dengan

system politik yang hirarkhis/refresif.

Di sisi yang lain, konsekuensi dari pola kebijakan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No.

5 Tahun 1979 telah membawa pengaruh yang luar biasa besar terhadap kehidupan

masyarakat di pedesaan. Hilangnya tradisi local, terutama yang terkait dengan adat-istiadat

telah membawa pengaruh yang luar biasa terhadap pola-pola kehidupan secara komunal.

Tingginya intensitas konflik ditengarai sebagai akibat dari pudarnya legitimasi kekuasaan

local yang digantikan dengan kekuasaan top-down, serta pudarnya hubungan-hubungan

komunal diantara masyarakat.

3

Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998,

telah diikuti dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang

secara otomatis mencabut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana

diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dalam BAB XI Pasal 93-111 tentang penyelenggaraan

pemerintahan desa dan PP No. 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai Selain itu kita mengetahui bahwa sejak kehadiran Negara modern, kemandirian dan

kemampuan masyarakat desapun mulai berkurang. Berbagai peraturan ataupun

undang-undang yang sengaja di buat jelas-jelas semakin menunjukkan kedudukan desa yang lemah

sementara kekuasaan Negara di desa melalui penetrasi kekuasaan justru semakin kuat.

2

Moh. Ilham. A. Hamudy. Jan-Apr 2009. “Peran Camat di Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ilmu Administrasi dan organisasi.

Vol 16. No. 1. Hal 1. 3

(4)

desa menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.4

Keadaan semacam ini berlangsung sudah cukup lama sehingga muncul sikap dan

prilaku dari penyelenggara pemerintah yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang

wajar-wajar saja. Kondisi yang telah berlangsung lama seperti saat ini ternyata ikut menghambat

pelaksanaan UU. No 22 Tahun 1999, karena ternyata prilaku-prilaku lama masih tampak dan

hal ini jelas tidak kondusif untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal terutama

menghadapi tantangan global yang memiliki daya penetrasi yang kuat di dalam masyarakat

serta punya sistem nilai dan melembaga dalam lingkup mondial (mendunia).

Sejak otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 ini dilaksanakan dan memberi

otonomi pada desa dengan format demokrasi delegatif yang diwujudkan dalam pembentukan

BPD (Badan Perwakilan Desa), maka peranan camat dimarjinalkan. Dimana UU tersebut

telah menghapuskan camat sebagai penguasa tunggal diwilayahnya. Kecamatan tidak lagi

berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wilayah kecamatan, melainkan sebagai

staf bupati dalam yurisdiksinya. Sehingga ketentuan ini pada saat itu telah membuat

mengambang pemerintahan kecamatan. Di sisi lain pemerintah desa dapat secara langsung

berhubungan dengan pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di

berbagai provinsi, tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti

diselesaikan di kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat

kecamatan.

Selama proses ini bergulir, para Camat pada umumnya masih berusaha melakukan

sesuatu guna “memulihkan” peranannya seperti semula walaupun sebenarnya mereka

bingung untuk melakukan sesuatu, karena landasan tindakan mereka tidak lagi ditopang oleh

hukum positif. Namun pada beberapa kecamatan proses pemerintahan pada umumnya masih

berjalan seperti biasa dan bahkan para Camat berupaya menunjukkan sikap bahwa mereka

masih “menguasai” pemerintahan desa.

5

Posisi Camat menurut UU No. 22 Tahun 1999 tergantung pada “seni memimpin”

demikian pernah diungkapkan oleh salah satu Camat. Artinya upaya menegakkan wibawa

(kekuasaan) Camat sangat tergantung pada kemampuan pendekatan Camat secara informal

4

Prof. Drs. HAW. Widjaja. 2003. Otonomi Desa; Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 5.

5

(5)

untuk menghadirkan eksistensinya dengan memanfaatkan kekurangpengetahuan aparat desa

dan masyarakatnya tentang otonomi desa.

Namun keadaan ini tentu akan bersifat temporer dan keberhasilannya sangat

tergantung pada kemampuan individual Camat. Oleh karena itu nasib Camat sangat

tergantung kepada bupatinya, dalam hal ini banyak bupati di Provinsi Sumatera Utara yang

memiliki pemikiran untuk menguatkan posisi para Camatnya dengan alasan bahwa

kemampuan pemerintahan desa masih perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan Camat

sebagai Pembina Pemerintahan Desa.

Oleh karena itu penempatan camat sebagai Pembina sebenarnya lebih banyak

dimaknai bahwa Camat merupakan kepanjangan tangan dari Bupati, bahkan pada praktek

masa lalu Camat menjadi kepentingan berbagai kekuatan sosial-politik maupun sosial

ekonomi. UU No. 32 Tahun 2004 agaknya sangat tanggap terhadap posisi Camat yang serba

mengambang itu, sehingga pada pasal 126 ditegaskan kewenangan Camat selain sebagai

koordinator pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.

Sebenarnya peran Camat sebagai mediator antara “pihak luar” dengan desa tidak

bersifat buruk, namun seringkali peran tersebut menjadi buruk ketika Camat lebih

mengedepankan kepentingan para penguasa daripada masyarakat desa, atau bahkan karena

terlalu berpihak maka Camat berfungsi “meredam” kepentingan rakyat desa.

Padahal Camat sebagai mediator atau intermediary institutions (lembaga yang

berperan sebagai jembatan kepentingan Pemerintahan Desa dengan Pemerintahan Kabupaten)

dapat berperan lebih positif dengan mengembangkan sinergi Pemerintahan Desa dengan

Pemerintahan Kabupaten, tentunya bila ada pendelegasian kewenangan Bupati kepada

Pemerintah Kecamatan.6

6

Heri Kusmanto, Rustam Ependi, Harmaini El Harmawan, Listiani. 2007. Desa Tertekan kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia. Hal 36-39

Saat ini paradigma pemerintahan bukan lagi sebagai penguasa, tetapi menjadi pelayan

masyarakat. Karena itu, tugas camat mengikuti peran bupati/wali kota sebagai pelayan

masyarakat di tingkat kecamatan. Berdaya tidaknya sebuah kecamatan bergantung kepada

pelimpahan kewenangan yang diberikan bupati/wali kota. Sebagian urusan otonomi daerah

yang dilimpahkan bupati/wali kota dalam melayani masyarakat itulah yang menentukan

(6)

Setelah beberapa kali mengalami perubahan dasar hukum tersebut yang menjadi dasar

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, baik itu UU No. 5 Tahun 1974, UU

No. 22 Tahun 1999, dan telah dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang

pemerintahan daerah, dari perubahan dasar hukum tersebut tersirat adanya momentum

strategis dalam rangka redefinisi dan restrukturisasi tugas pokok serta fungsi kecamatan

khusnya dalam hubungannya dengan desa.

Dalam pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa : “kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam

pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota

untuk menangani sebahagian urusan otonomi daerah”.

Ketetapan sebagaimana bunyi pasal 126 ayat (2) di atas, telah mengubah kedudukan

kecamatan dari kedudukan sebelumnya bahwa kecamatan merupakan perangkat

dekonsentrasi (perangakat wilayah), menjadi sebagai perangkat desentralisasi (perangkat

daerah), yang dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menerima sebagian pelimpahan

kewenangan dari Bupati/Walikota. Ketetapan demikian mau tidak mau akan memaksa dan

mendorong Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota untuk memberikan perhatian yang

sungguh-sungguh kepada kecamatan melalui upaya pemberdayaan Kecamatan.

Dalam upaya pemberdayaan Kecamatan, Pemerintah Kecamatan harus lebih

akomodatif dan fleksibel artinya dengan kewenangannya Camat diharapkan mampu

menyelesaikan sendiri berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat serta

mampu melahirkan kebijakan positif yang menyentuh langsung kepada penyelenggaraan

pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan yang sesuai dengan keinginan

dan aspirasi masyarakat desa.

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha mengkaji ulang peran camat dan

kecamatan dalam hubungannya dengan pemerintahan desa yang telah banyak megalami

perubahan di berbagai dimensi, khususnya terkait dengan pengelolaan kekuasaan seiring

dengan bergulirnya era otonomi daerah.

Dengan demikian, otonomi adalah kebutuhan dibukanya kesempatan kepada daerah

termasuk desa untuk menata diri sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya dan

lebih dari itu, agar daerah/desa berkembang sejalan dengan sejarah atau asal-usulnya. Jika hal

(7)

implementasi otonomi daerah dapat dikurangi, sehingga apa yang menjadi cita-cita dasar

dari otonomi daerah dapat terwujud.7

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a) Bagaimana efektifitas penyelenggaraan pemerintahan kecamatan Percut Sei Tuan

terhadap desa Laut Dendang pada masa otonomi daerah?

b) Apa sajakah kewenangan Bupati Deli Serdang yang sudah didelegasikan kepada

pemerintah Kecamatan Percut Sei Tuan?

1.3Batasan Masalah

Batasan masalah diperlukan dalam penelitian agar focus penelitian dapat dilakukan

secara sistematis dan uraian yang di buat tidak melebar. Maka masalah dalam penelitian ini

adalah:

Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi

Daerah. (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut

Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang), dengan melihat bagaimana pola

hubungan kekuasaan yang dilakukan pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa

Laut Dendang dengan memperhatikan kewenangannya masing-masing, sehingga menemukan

sebuah bangunan relasi kekuasaan serta bagaimana relasi kekuasaan ini menemukan relevansi

dalam konteks otonomi daerah di Indonesia.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui efektifitas pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap

desa Laut dendang.

b) Untuk mengetahui pendelegasian Kewenangan bupati Deli Serdang terhadap

Camat Percut Sei Tuan.

7

(8)

1.5Manfaat Penelitian

Peneliitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terutama terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari

penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Manfaat bagi penulis, melalui penelitian ini semoga menambah pengetahuan dan

pemahaman serta meningkatkkan kreativitas penulis dalam membuat suatu karya

ilmiah khususnya dalam bidang ilmu politik.

b) Manfaat akademis, Peneliti berharap rangkaian dan hasil penelitian ini nantinya

dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi pemikiran dan menambah

khazanah ilmu pengetahuan serta memperbanyak referensi bagi ilmu politik

sendiri maupun proses pendidikan lainnya secara lebih komprehensif.

1.6Kerangka Teoritis

Bagian ini adalah unsur yang paling penting dalam penelitian, karena pada bagian ini

peneliti mencoba menjelaskan objek kajian yang sedang diamatinya, dengan menggunakan

teori-teori yang relevan dalam penelitiannya, teori dapat diartikan sebagai serangkaian

asumsi, konsep, definisi untuk menerangkan suatu fenomena yang tengah diteliti.8

1.6.1 Pemerintah dan Pemerintahan

Adapun beberapa pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Pemerintah secara etimologi berasal dari bahasa yunani, Kubernan atau

Nahkoda Kapal. Artinya menatap ke depan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan

menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan

masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang

akan datang dan mengelola tujuan yang akan dicapai (Ramlan Surbakti, 1999:168).9 Pemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda.

Pemerintah merujuk kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan

menunjukkan bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah

lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup aparatur

negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat

8

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi. 1988. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3S. Hal 37 9

(9)

perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan

negara. Dengan demikian pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara

yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan

kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara.

Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber

pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau

penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari

segi struktural fungsional pemerintahan dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem

struktur dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas

dasar-dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara. (Haryanto dkk, 1997 : 2-3).10

a) Pembentukan Undang-Undang. (Legislative Power=Wetgeving).

Untuk menyelenggarakan dan melaksanakan tujuan negara tersebut

pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan dalam suatu negara.

Pemerintah dalam arti yang luas di indonesia sekarang dilakukan menurut cara-cara

yang banyak berasal dari cara-cara barat karena sejarahnya.

Pemerintahan dalam arti yang luas terbagi berdasarkan ajaran trias politica

dari Montesquieu atas :

b) Pelaksanaan. (Executive Power=Uitvoering).

c) Peradilan. (Judical Power=Rechtsprak).

C. Van Vollenhoeven menambahkan bagian ke-4, yaitu kepolisian pada

bagian dari Montesquieu tersebut, sedang pembagian yang terakhir sekali dalam ilmu

pengetahuan tentang Administrasi Negara telah melepaskan tripraja dari Montesquieu

dan catur praja C. Van Vollenhoeven, tetapi memakai pembahagian yang termodern

dalam ilmu administrasi, yaitu :

a) Penentuan tugas dan tujuan negara, (policy making = taak en doelstelling).

b) Melaksanakan tugas negara. (Executing = uitvoering).

10

(10)

Atas dasar uraian tersebut maka dengan pengertian ‘pemerintah‘ dalam arti

yang luas dimaksud dalam rangka ajaran tentang :

Tripraja Montesquieu meliputi :

a) Badan Perundang-undangan

b) Badan Pelaksana

c) Badan Peradilan.

Caturpraja C. Van Vollenhoeven meliputi :

a) Bestuur, atau pemerintahan yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tujuan

negara.

b) Politie, adalah kekuasaan kepolisian untuk menjamin keamanan dan ketertiban

umum negara

c) Rechtspraak, atau peradilan adalah kekuasaan untuk menjamin keadilan di

dalam negara.

d) Regeling, atau pengaturan Perundang-undangan yaitu kekuasaan untuk

membuat peraturan-peraturan umum dalam negara.

Pemerintah dalam arti yang luas menurut A.M Donner meliputi :

a) Badan-badan pemerintahan di pusat, yang menentukan haluan negara

b) Instansi yang melaksanakan keputusan badan-badan tersebut.11

1.6.2 Good Governance

1.6.2.1Pengertian Good Governance

Istilah “Good Governance” mulai muncul dan populer di Indonesia

sekitar tahun 1990-an. Dalam penyelenggaraan pemerintahan kita “Good

Governance” menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya

disaat penyelenggaraan pemerintahan indonesia sedang mengalami distorsi

terhadap efektivitas pelayanan kepada publik.

Dalam konsep “Good Governance” atau sering disebut sebagai

“tatakelola kepemerintahan yang baik” untuk membedakan dengan

11

(11)

“pemerintahan yang bersih dan berwibawa” (clean government), maka

“tatakelola kepemerintahan yang baik”, sebagai kata sifat adalah “cara-cara

penyelenggaraan pemerintahan secara efisien dan efektif12

Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson (1992:

64) yang di kutip Hamdi,

.

13

Adapun pengertian “Good Governance” menurut UNDP dalam

sedarmayanti,

mengatakan bahwa “good governance” bermakna

tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi

kebijakan dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam

pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan,

stabilitas dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna

akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.

14

Dalam memahami tentang pengertian “Good Governance” patut

menjadi catatan bagi kita agar tidak salah pengertian terhadap istilah “Good

Governance” seperti yang disampaikan oleh Tjokroamidjojo

“Good Governance” merupakan proses penyelenggaraan

kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service

disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan istilah yang

lebih populer disebut “Good Governance” (kepemerintahan yang baik). Agar

good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka

dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan

masyarakat. “Good governance” yang efektif menuntut adanya “aligment”

(koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral

yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep good governance dalam

penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan

tersendiri.

15

12

DR. Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. H. 183. 13

Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. H. 54 14

Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: CV. Mandar Maju. H.2

15

Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan. Jakarta:ISBM. H 13.

yaitu sebagai

berikut: sebagai suatu pemikiran kontemporer banyak kesalahmengertian,

Good Governance” sering di artikan sebagai “Clean Government”, Good

(12)

difungkiri “good governance” mulai berkembang dari perhatian terhadap

Clean Government” dan “Good Government”.

Dari beberapa pengertian mengenai “Good Governance” dan juga

karakteristik Good Governance”, terdapat beberapa kesamaan dalam tuntutan

serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi; rule of law,

transparansi, accountability, konsensus. Dari segi masing-masing tersebut

adalah seiring dengan arti dan makna demokrasi sehingga sistem politik yang

demokratis dapat terwujud maka akan membawa bangsa Indonesia menjadi

bangsa yang memiliki tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik,

teratur dan tertib.

1.6.2.2Prinsip-prinsip Good Governance

Menurut Tamim16

a) Competence, artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus

dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi

birokrasi. Untuk itu, setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk

menduduki suatu jabatan pemerintahan daerah harus benar-benar orang

yang memiliki kompetensi dilihat dari semua aspek penilaian, baik dari

segi pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun

aspek-aspek lainnya.

terdapat enam hal yang menunjukkan bahwa suatu

pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, sebagai berikut:

b) Transparancy, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik dan

pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan

mengacu pada prinsip keterbukaan. Kemudahan akses terhadap informasi

yang benar, jujur, dan tidak deskriminatif mengenai penyelenggaraan

pemerintahan oleh birokrasi daerah merupakan hak yang harus dijunjung

tinggi.

c) Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tanggug jawab

pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang terbaik

dengan pemanfaatan sumber daya yang efisien demi keberhasilan

penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena setiap kebijakan dan

16

(13)

tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke hadapan

publik maupun dari kacamata hukum.

d) Participation, artinya dengan adanya otonomi daerah, maka magnitude

dan intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi sedemikian

besar. Apabila hal tersebut dihadapkan pada kemampuan sumber daya

masing-masing daerah, maka mau tidak mau harus ada perpaduan antara

upaya pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan demikian

pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas, dan

peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah

daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.

e) Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus

disandarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas.

Untuk itu perlu dijamin adanya kepastian dan penegakan hukum yang

merupakan prasyarat keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

f) Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam

implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan

keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Tanpa adanya hal tersebut,

masyarakat tidak akan turut mendukung kebijakan dan program

pemerintah daerah.

Sedangkan prinsip-prinsip Good Governance versi UNDP yang saling

memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana dikutip

Sedarmayanti17

a) Participation; setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi

legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini di bangun atas

dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara

konstruktif.

, adalah sebagai berikut:

b) Rule of Law; kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa

perbedaan, terutama hukum hak azasi manusia.

17

(14)

c) Transparansi, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.

Proses lembaga dan informal secara langsung dapat diterima oleh mereka

yang membutuhkan informasi dapat dipahami dan dapat dipantau.

d) Responsiveness, lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap

stakeholder.

e) Consensus orientation, Good Governance” menjadi perantara

kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi

kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

f) Effektiveness and efficiency; proses dan lembaga menghasilkan sesuai

dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang

tersedia sebaik mungkin.

g) Accountability; para pembuat keputusan dalam pemerintahan sektor

swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada pihak

publik dan lembaga stakeholder.

h) Strategy vision; para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

good Governance” dan pengembangan manusia yang luas serta jauh

kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan yang

semacam ini.

1.6.2.3Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Dalam perkembangan dewasa ini kebijakan pemerintah ke arah

penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik sudah mulai dilakukan dengan

diawali dengan desentralisasi kewenangan kepada daerah kabupaten/kota

melalui UU No. 22 Tahun 1999 juga UU No. 32 Tahun 2004 beserta peraturan

pemerintahannya.

Oleh karena itu dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan

terjadi perubahan yang cukup signifikan menuju terwujudnya “Good

Governance”. Demikian pula tujuan kebijakan otonomi daerah di Indonesia

tersebut di atas dalam perspektif pendayagunaan aparatur negara pada

hakekatnya adalah memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk

membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan

responsif terhadap kepentingan masyarakat luas; membangun sistem pola karir

(15)

pemerintahan yang efektif; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah,

serta meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas

publik, pada akhirnya diharapkan terciptanya kepemerintahan yang baik

(Good Governance).

1.6.3 Teori Otonomi Daerah

1.6.3.1Pengertian Otonomi Daerah

Seperti dikatakan oleh Mark Turner (1999:4), ‘desentralisasi

merupakan salah satu konsep di dalam ilmu sosial yang memiliki banyak

makna disepanjang waktu’. Pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari

banyaknya aplikasi disiplin dan perspektif di dalam ilmu sosial yang concern

terhadap studi mengenai desentralisasi. (Conyers, 1984: 190-191).18

Sementara istilah “daerah” itu memiliki arti yang cukup luas yakni

sebagai “bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan

sebagainya yang khusus; Lingkungan pemerintahan; Wilayah; selingkungan

kawasan, tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkukangan

suatu kota (wilayah dan sebagainya); tempat-tempat dalam suatu lingkungan

yang sama keadaannya (iklimnya, hasilnya dan sebagainya); tempat-tempat

yang terkena peristiwa yang sama; bagian permukaan tubuh”.

Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata

dalam bahasa yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang

berarti undang-undang atau peraturan. Selanjutnya istilah ini berkembang

menjadi terminology “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan

“undang-undang sendiri”. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah definisi otonomi

yang diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan

untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan, daerah

atau “kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan”.

19

18

Ibid, hal 138. 19

(16)

Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah

adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini

disebabkan karena menurut Sumitro Maskun:

“pengertian otonomi dalam lingkup suatu Negara selalu dikaitkan

dengan daerah atau pemerintahan daerah (local government). Otonomi dalam

pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central

government) ke daearah, juga berarti menghargai atau mengefektifkan daerah

kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk

melengkapi system prosedur pemerintahan Negara di daerah”.

Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dirumuskan

sebagai sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan

mendapat tempat yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali

tidak mengalami proses intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya

tersebut dan untuk mengatur wilayahnya dalam lingkup kewenangannya itu.20

Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan

menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan

pemerintahan, Sinindhia dalam Suryawikarta (1995:35), mengemukakan

batasan otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada

daerah otomom dan memberikan kesempatan kepadanya untuk

mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk

mengurus kepentingan-kepentingan umum.”

Syafrudin (1991:23) misalnya, mengatakan bahwa otonomi

mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan.

Menurutnya Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian

kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit definisi

otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas

dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan

untuk melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa

kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian

tugas itu.

20

(17)

Dari berbagai batasan tentang otonomi daerah tersebut diatas, dapat

dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan

pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi

satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara. Dengan kata lain

otonomi menurut Magnar (1991: 22),”… memberikan kemungkinan yang

lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bagian dan

tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. Manan (dalam Magnar,

1991:23) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,yaitu:

Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah satu persoalan pokok

dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak

menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya

hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah

pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi

kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.

Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.

Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan

mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan

sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan

yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan

efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu

diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan

tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan

masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang

wajar dan baik.

Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi

faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan

menciptakan perikehidupan sejahtera. Dengan adanya pemerintahan daerah

yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga

daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan

benar-benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena

(18)

1.6.3.2Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah

Refornasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan

melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No.

XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma

baru tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998

tersebut dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu :

a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional,

melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang

berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata

dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan,

pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan,

serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi

dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara

pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat

daerah dan bangsa secara keseluruhan.

e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien,

bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan

memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan

koperasi.

f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan

memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah

penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.

g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan

bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.

h) Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan

(19)

berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan

masyarakat.

Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu harapan bagi

tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan transparansi kehidupan

sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat

sipil yang dicita-citakan.

Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas

bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan

wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah

dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini

dilaksanakan secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti

menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka

Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut

program yang bersifat massal, uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Di

samping hal tersebut, daerah menjadi titik sentral awal gagasan dan

perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari

pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut

konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai

penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan

bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat

menentukan secara nasional sehingga paradigma baru pemerintahan yang

terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, pemerintah

pusat menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala

kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama

yang sering di dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.

Seiring dengan penyelenggaraan pemerntahan yang semakin

demokratis, di pihak lain hal ini memberikan tantangan terhadap berbagai

stakeholder di daerah. Karena konteks mengatur rumah tangga daerah, maka

daerah harus mampu merespons tugas dan perannya. Peran besar yang diikuti

(20)

semua komponen daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya

keberhasilan pembangunan di daerah.

Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus

dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan

sosial dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini

telah menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara

pemerintahan, respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of

crisis dan sense of urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi

terlaksananya hakikat dari reformasi.

Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan

yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya.

Tuntutan reformasi adalah dimaksudkan untuk mengoptimalkan kelembagaan

yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek :

a) Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu

kesadaran akan keterkaitan.

b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa,

dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.

c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung

jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.

d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna

kesadaran akan keterhubungan.

e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.

f) Adanya aspek-aspek yuridis, politis, sosiologis, ekonomis, pragmatis,

empiris dan historis serta aspek strategis.

g) Perhatian pada aspek kemanusiaan, berkaitan dengan optimalisasi dan

keseimbangan peranan sumber daya.

Berbagai tantangan dan hambatan bagi terwujudnya pemerintahan

daerah yang akomodatif terhadap kebutuhan dalam berbagai dimensi apapun,

akan melahirkan suatu bentuk organisasi pemerintah daerah yang kenyal dan

(21)

dapat menjawab berbagai tuntutan zaman adalah kembali kepada semangat

penyelenggara pemerintahan di daerah.21

Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas

partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional.

Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu

diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa

partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila di bandingkan di

tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya Selain dari pada itu, menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian

terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa

adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi

di tingkat nasional (1998:85-86). Pandangan yang bercorak fungsional ini

berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di

daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas di

tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah

negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan untuk

memperkuat pandangannya tersebut.

Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang

pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat

yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari

pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian

dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses

demokratisasi itu berlangsung.

Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku

pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti demokratis di

dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini,

khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju

pemerintahan yang demokratis. Dalam masa transisi ini pemerintah daerah

memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas

dengan pemerintah pusat.

21

DR. J. Kaloh. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global.

(22)

deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di

dalam berdemokrasi.

Keempat, kasus kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah

pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan

reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat

kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.

Munculnya perhatian yang lebih serius terhadap proses demokratisasi

di daerah juga berkaitan dengan semakin menguatnya secara massive

kebijakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang sejak 1990-an.

Sebagaimana dikemukakan oleh Delinger (1994: 1), yang membuat laporan

untuk Bank Dunia, ‘kecuali 12 negara, dari 75 negara-negara sedang

berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi dengan

penduduk lebih dari lima juta, semuanya mengklaim sedang melakukan

transfer kekuasaan politik ke unit-unit pemerintahan di daerah’. Berbeda

dengan implementasi kebijakan desentralisasi pada 1960-1970-an yang lebih

menekankan pada kebijakan desentralisasi administrasi, implementasi

kebijakan desentralisasi pada 1990-an didesain untuk melaksanakan kebijakan

desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan itu tidak hanya difokuskan

pada desentralisasi administrasi, melainkan juga desentralisasi politik dan

desentralisasi fiskal.

Menguatnya perspektif politik mengenai desentralisasi tidak hanya

menarik para ilmuan politik untuk menganalisis relasi kekuasaan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Para ilmuan politik juga mulai

tertarik untuk menganalisis relasi kekuasaan yang ada di daerah. Misalnya

saja, apakah transfer kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah itu

diiringi oleh alokasi dan distribusi sumber-sumber kekuasaan kepada berbagai

komunitas atau kelompok yang ada di daerah, khususnya kelompok-kelompok

yang sebelumnya termarginalisasi atau dalam posisi oposisi? Atau sebaliknya,

apakah kekuasaan itu tetap saja tersentralisasi pada kelompok kecil elite, yang

pada akhirnya desentralisasi politik itu hanya dinikmati oleh

(23)

Di Indonesia, salah satu faktor utama pendorong munculnya kebijakan

desentralisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru (sebagaimana

tertuang di dalam UU No. 22 dan 25 tahun 1999) adalah untuk mempercepat

proses demokratisasi dan memperbaiki kualitas demokrasi di daerah (Rasyid,

2003; Turner et al., 2003). Melalui transfer kekuasaan dan otoritas ke daerah,

diharapkan bisa membuat daerah memiliki bargaining position yang lebih

besar kepada pemerintah pusat. Dengan demikian daerah tidak hanya

berfungsi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan

oleh pemerintah pusat. Lebih dari itu, daerah memiliki kekuasaan dan otoritas

untuk merumuskan kebijakan-kebijakan untuk diri mereka sendiri.

Pandanagan seperti ini di dasari oleh pemikiran bahwa para pemegang

kekuasaan di daerah lebih tahu selera masyarakat di daerah daripada

pemegang kekuasaan di pusat.22

1.6.4 Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (sebuah penyempurnaan terhadap uu no. 22 tahun 1999).

1.6.4.1Umum

Pada tahun kelima implementasi UU No. 22 Tahun 1999, tepatnya

tahun 2004 dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari

dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak dari pemerintah untuk

mengadakan revisi terhadap UU tersebut, yang pada akhirnya memunculkan

UU pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah. Banyak evaluasi dari berbagai kalangan yang

dialamatkan pada implementasi UU No. 22 tahun 1999 ini, sehingga perlu

direvisi, khususnya yang beraroma negative antara lain bahwa demokrasi yang

dikembangkan oleh jiwa UU ini kurang begitu mendukung terciptanya

demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. UU ini

cenderung menghasilkan demokrasi yang ‘kebablasan’, dan memunculkan

raja-raja kecil di daerah.

22

(24)

Dari perspektif para pembuat kebijakan (pemerintah), evaluasi

terhadap UU No. 22 tahun 1999 ini menghasilkan beberapa hal penting dan

mendasar. Pertama, pada tataran konsep UU ini kurang komprehensif dalam

pengaturan terhadap konsep dasarnya, seperti pembagian kewenangan,

hubungan antarstrata pemerintahan dan perimbangan keuangan. Di samping

itu ada beberapa pengaturan yang kurang sinkron diantara beberapa pasal,

seperti dalam pasal tertentu ada wewenang yang ditetapkan sebagai wewenang

pusat, tetapi di pasal yang lain ditetapkan sebagai wewenang daerah. Dalam

pasal-pasal tertentu pengaturan lebih lanjut dikuasakan kepada peraturan lain

tanpa ada rambu-rambunya dan ada pengaturan dalam pasal yang memberi

peluang timbulnya multitafsir, seperti tidak ada hubungan hierarki, seluruh

kewenangan daerah berlaku dikawasan tertentu. Di samping itu pula telah ada

perubahan konsepsi otonomi daerah baik berdasarkan amandemen UUD RI

1945 maupun dalam ketetapan MPR, seperti penggunaan azas otonomi dan

tugas pembantuan, otonomi seluas-luasnya, pembagian NKRI atas

daerah-daerah provinsi, desentralisasi fiscal dan otonomi bertingkat.

Kedua, pada tataran instrumen. UU No. 22 tahun 1999 memberi kuasa

kepada pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa

memberikan rambu-rambu, sehingga menimbulkan peluang munculnya

kebijakan yang tidak mendorong otonomi daerah. Selanjutnya penyusunan

peraturan perundang-undangan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan UU

No. 22 tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga daerah

berprakarsa membuat peraturan sendiri dengan wewenang yang diberikan Tap

MPR No. IV/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan

otonomi daerah. Di samping itu, karena belum harmonisnya berbagai

peraturan perundang-undangan, baik yang diterbitkan pemerintah maupun

daerah sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Ketiga, pada tataran implementasi. Dalam pengelolaan kewenangan

sering memunculkan friksi antar tingkat pemerintahan sehingga cenderung

mengganggu pelayanan umum. Pembentukan lembaga perangkat daerah

sering kurang berorientasi pada peningkatan pelayanan, sehingga cenderung

banyak struktur dan tidak efisien (kaya struktur, miskin fungsi). Pengelolaan

(25)

etnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier.

Di samping itu penggunaan APBD lebih banyak untuk menutup belanja aparat

perangkat daerah dan DPRD, sehingga peluang untuk pelayanan public

menjadi kecil. Pada tataran implementasi ini pula hubungan kemitrasejajaran

antara kepala daerah dan DPRD kurang dapat berlangsung dengan baik,

karena dalam prakteknya DPRD sering mendominasi, sehingga berpeluang

memunculkan ketidakstabilan pemerintahan daerah. Di samping itu pelayanan

umum oleh pemerintah daerah cenderung menurun dan timbulnya kebijakan

sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah akibat

belum memadainya pedoman yang diperlukan (tindak lanjut pasal 112) dan

adanya berbagai peraturan perundangan “sektoral” yang belum disesuaikan

(pasal 113).

Hal lain yang menjadi dasar pemikiran direvisinya UU No. 22 tahun

1999 yaitu adanya keputusan politik di dalam ketetapan MPR yang memberi

kuasa kepada daerah untuk membuat Perda dalam pelaksanaan otonomi tanpa

menunggu pedoman yang diperlukan, telah berakibat munculnya berbagai

kebijakan daerah (Perda dan Keputusan Kepala Daerah) yang tidak sejalan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di samping itu pula

aspek SDM yang belum cukup memadai baik dalam jumlah, kompetensi dan

penyebarannya.

Selain dari ekses yang timbul dalam implementasi UU No. 22 tahun

1999, kehendak pemerintah merevisi undang-undang tersebut dalam perspektif

global juga didasarkan pada pertimbangan pengaruh lingkungan strategis,

dimana globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang menuntut efisiensi

dan daya saing masyarakat, bangsa dan Negara yang lebih tinggi, memerlukan

arahan normative yang jelas pada tataran undang-undang. Perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat sebagai tantangan untuk

menyesuaikan system dan prosedur manajemen pemerintahan daerah, antara

lain peletakan dasar system informasi manajemen pemerintaha, kepegawaian,

keuangan khususnya pengetahuan administrasi akuntansi dan pembinaan

(26)

Perkembangan tuntutan demokratisasi dan transparansi yang

meningkat, memerlukan landasan peran serta dan mekanisme penyaluran

aspirasi masyarakat. Di samping itu tuntutan penghargaan terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan,

memerlukan adanya jaminan kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan

seluruh warga Negara di depan pemerintah.

1.6.4.2Filosofi UU No. 32 Tahun 2004

Pada dasarnya latar belakang perubahan UU No. 22 tahun 1999

sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan feed back pada filosofi UU

No. 32 tahun 2004. Dari aspek dasar hukum tata Negara, karena UUD RI

Tahun 1945 telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang

berkaitan langsung dengan system pemerintahan daerah, yaitu pasal 1, 5, 18

(a,b), 20, 21, 22 (d), 23 (e ayat 2), 24 (ayat 1), 31 (ayat 1), 33 dan 34, maka

undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu

perubahan UU No. 22 tahun 1999 , didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai

dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pemerintah daerah berwenang

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan.

Pemberiaan otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi

luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan

dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam system

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, prinsip

otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan

(27)

rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi

nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip

bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,

wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk

tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama

dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang

bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada

dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat.

Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin

keserasian hubungan antar daerah dan daerah lainnya. Artinya, mampu

membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan

bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah

pentingnya bahwa otonomi daerah harus juga mampu menjamin hubungan

yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara

dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya NKRI.

Undang-undang pemerintahan yang baru mewajibkan pemerintah

melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam

penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan, memberikan

standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi,

pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah wajib

memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan bantuan dan

dorongan kepada daerah agar dapat melaksanakan otonomi secara efektif dan

efisien. Penyelenggaraan desentralisasi menurut undang-undang ini

mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah

dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada

pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang

sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintah

(28)

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat

concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penangananya dalam bagian

atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Sedangkan urusan yang menjadi kewenangan daerah

meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang

berkaitan dengan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dasar,

pemenuhan kebutuhan hidup minimal dan prasarana lingkungan dasar.

Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang terkait dengan potensi unggulan

dan kekhasan daerah.23

1.7Metodologi Penelitian

1.7.1 Jenis dan Sifat Penelitian

Di dalam penelitian ini adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah

jenis penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada

filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang

alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, analisis data bersifat

induktif yang lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Filsafat postpositivisme sering juga disebut paradigma interpretasi dan

konstruktif yang memandang realita sosial sebagai sesuatu yang utuh,

kompleks, dinamis dan penuh makna. Penelitian dilakukan pada objek yang

alamiah. Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya tidak

dimanipulasi dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi objek tersebut.

Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam

yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya. Oleh karena

itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi tetapi lebih

menekankan pada makna.

Sedangkan dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis,

dimana penelitian ini bermaksud menggambarkan bagaimana

fenomena-fenomena kekuasaan yang terjadi dalam hubungan pemerintahan kecamatan

dan desa pada masa otonomi daerah.

23

DR. J. Kaloh. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global.

(29)

1.7.2 Responden Penelitian

Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah

pimpinan/pejabat yang berwenang untuk memberikan informasi dalam

penelitian ini. Disamping itu juga digali informasi dari berbagai elemen

masyarakat lainnya seperti kalangan akademisi (perguruan tinggi) dan

lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsern terhadap masalah-masalah

otonomi daerah.

Dalam penelitian ini penarikan/pemilihan responden dilakukan secara

purpossive sampling yaitu terdiri dari :

a) Camat Percut Sei Tuan/pejabat yang ditunjuk.

b) Kepala Desa Laut Dendang /pejabat yang ditunjuk

c) Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD)/pejabat yang ditunjuk.

d) Satu (1) orang akademisi yang dianggap punya kompetensi keilmuan

bidang politik.

e) Satu (1) orang unsur LSM (NGO) yang konsern terhadap

masalah-masalah otonomi daerah.

1.7.3 Sumber Data

Salah satu yang diperlukan dalam persiapan penelitian adalah

mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian

skripsi ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari aktor atau

informan yang di anggap mampu memberikan deskripsi tentang kondisi objek

yang akan diteliti. Selain itu dapat juga berupa data-data yang tertulis

mengenai objek tersebut.

Data sekunder dapat diklasifikasikan yaitu data yang diperoleh dari

buku, artikel, jurnal dan sebagainya juga data yang dapat diakses melalui

internet yang tentu berhubungan dengan penelitian.

(30)

Pada setiap pembicaraan mengenai metodologi penelitian persoalan

metode pengumpulan data menjadi amat penting. Metode pengumpulan data

adalah bagian instrumen pengumpulan data yang menentukan berhasil atau

tidak suatu penelitian. Kesalahan penggunaan metode pengumpulan data atau

metode pengumpulan data tidak digunakan semestinya, berakibat fatal

terhadap hasil-hasil penelitian yang dilakukan.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini

adalah metode wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah

wawancara yang dilakukan secara informal.24

1.7.5 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini bertumpu pada strategi deskriptif

kualitatif yang berintikan cara berpikir induktif. Penggunaan strategi deskriptif

kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang terhimpun dari suatu

penelitian, kemudian bergerak ke arah pembentukan kesimpulan kategoris

atau ciri-ciri umum tertentu. Oleh karenanya, strategi ini dimulai dari

pekerjaan klasifikasi data.25

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

BAB ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian yang

digunakan, analisis data dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB ini memberikan uraian Mengenai kondisi politik, demografis, potensi

desa serta lembaga-lembaga desa laut dendang.

BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA

24

Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial; Forma-format Kuantitatif Dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 133-136

25

(31)

BAB ini akan memberikan analisis terhadap hubungan antara

pemerintahan kecamatan dengan pemerintahan desa serta melihat peluang dan

tantangan dalam hubungan kedua organisasi tersebut.

BAB IV PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah sudah sesuai akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa

Dari 10 aspek yang ada hanya pemerintahan desa yang memperoleh persentase capaian tertinggi mencapai 95,4% dan yang terendah adalah perkembangan penduduk yang

Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif ( Growth oriented strategy ). Kuadran II : Meskipun menghadapi

Model dan pengelolaan tambak yang terbaik terdapat di Desa Tanjung Rejo dibandingkan dengan Desa Percut dan Desa Tanjung Selamat, dengan Model Kao-Kao yang memiliki kriteria

Model dan pengelolaan tambak yang terbaik terdapat di Desa Tanjung Rejo dibandingkan dengan Desa Percut dan Desa Tanjung Selamat, dengan Model Kao-Kao yang memiliki kriteria

Adapun kegiatan yang dilakukan oleh MTA Perwakilan Deli Serdang untuk membina akidah masyarakat melalui pengajian dilakukan dengan cara membaca Al-Qur‟an bersama,

Kebijakan publik dalam pengelolaan sumber daya alam akan memiliki. kekuatan pengendalian perilaku masyarakat (public) apabila

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kondisi kemiskinan di Desa Laut Dendang pada umumnya kondisi bangunan yang tidak layak huni dan rumah yang terdiri dari papan dangan luas