BAB I
IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA OTONOMI DAERAH
(Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang) 1.1Latar Belakang Masalah
Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia sejak awal Orde Baru tumbuh
sejalan dengan kebijakan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya proses
kebijakan ini diwarnai oleh konfigurasi politik dengan latar belakang gejolak politik
keamanan daerah.
Kebijakan otonomi daerah selama pelaksanaan UU. No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, secara kontekstual selama penerapannya memperkenalkan
dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab.1
Deviasi dan distorsi tersebut tidak hanya berimplikasi pada ketidakjelasan arah
otonomi melainkan telah menciptakan ketergantungan daerah yang makin hari makin besar UU ini juga sebenarnya telah mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah pada
bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik
keseimbangan (balance power sharing).
Penyusunan UU tersebut sadar untuk meletakkan bobot kekuasaan pada posisi yang
berimbang yang dirumuskan dalam kalimat bahwa “asas desentralisasi dilaksanakan
bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberi kemungkinan pula bagi pelaksanaan
asas tugas pembantuan”.
Sayangnya gerak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah ditata secara
seimbang antara kekuasaan pusat dan daerah, pada awal pelaksanaanya berjalan dengan baik,
namun lambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan cara pandang rezim
Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi,
eksploitasi dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam.
1
terhadap pemerintah pusat. Hal ini terjadi akibat penafsiran yang keliru maupun yang sengaja
disalahtafsirkan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 untuk memperkuat dominasi Pemerintah
Pusat.
Dengan begitu daerah kehilangan ruang gerak dalam melaksanakan otonominya
bahkan sampai ke level desa melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang desa, diikuti oleh
beberapa tindakan yang jelas semakin memperlemah kedudukan desa. Adapun tindakan
tersebut diantaranya menempatkan kecamatan sebagai kekuasaan langsung di atas desa,
sehingga gerak langkah desa tidak mungkin bisa independen dari kecamatan. Malah yang
kemudian berlangsung adalah adanya intervensi berlebihan dari kecamatan. Kondisi ini pula
yang dinyatakan sebagai penanggung jawab adanya loyalitas tinggi pada institusi di atas desa,
ketimbang pada rakyat desa itu sendiri.
Pada UU Nomor 5 Tahun 1974, kecamatan didefinisikan sebagai wilayah
administratif pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi. Definisi ini bermakna bahwa
kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan
pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah (Maksum, 2007).
Pada masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, camat merupakan kepala
wilayah. Sebagaimana pada pasal 76 dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh seorang kepala
wilayah. Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam
pasal 80 dinyatakan kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di
bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan
mengoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang.
Wewenang, tugas, dan kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan
wewenang, tugas, dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan
walikota.
Dari sini terlihat betapa kuatnya posisi dan kewenangan seorang camat di wilayah
kecamatan. Camat adalah kepala wilayah, wakil pemerintah pusat, dan penguasa tunggal di
wilayah kecamatan yang dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk
menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Meskipun camat adalah bawahan
heran pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat dapat memutuskan segala sesuatu tanpa
perlu mengkonsultasikannya dengan bupati.2
Kelembagaan politik non-formal seperti rembug desa (berinug-Kalimantan Timur)
menjadi hilang digantikan institusi instan buatan Negara (LKMD/LMD). Hal ini membawa
pengaruh yang luar biasa, terutama dalam menjaga keberlangsungan system social di tingkat
local. Indikasi yang gampang dilihat secara vulgar di masyarakat adalah ketergantungan dan
kecenderungan untuk apolitis serta penyelesaian sengketa secara pintas dengan kekerasan.
Nilai-nilai yang dipegang teguh secara turun-temurun digantikan dengan nilai yang
mengedepankan corak individual/pragmatis. Demokrasi menjadi macet digantikan dengan
system politik yang hirarkhis/refresif.
Di sisi yang lain, konsekuensi dari pola kebijakan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No.
5 Tahun 1979 telah membawa pengaruh yang luar biasa besar terhadap kehidupan
masyarakat di pedesaan. Hilangnya tradisi local, terutama yang terkait dengan adat-istiadat
telah membawa pengaruh yang luar biasa terhadap pola-pola kehidupan secara komunal.
Tingginya intensitas konflik ditengarai sebagai akibat dari pudarnya legitimasi kekuasaan
local yang digantikan dengan kekuasaan top-down, serta pudarnya hubungan-hubungan
komunal diantara masyarakat.
3
Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998,
telah diikuti dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
secara otomatis mencabut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana
diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dalam BAB XI Pasal 93-111 tentang penyelenggaraan
pemerintahan desa dan PP No. 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai Selain itu kita mengetahui bahwa sejak kehadiran Negara modern, kemandirian dan
kemampuan masyarakat desapun mulai berkurang. Berbagai peraturan ataupun
undang-undang yang sengaja di buat jelas-jelas semakin menunjukkan kedudukan desa yang lemah
sementara kekuasaan Negara di desa melalui penetrasi kekuasaan justru semakin kuat.
2
Moh. Ilham. A. Hamudy. Jan-Apr 2009. “Peran Camat di Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ilmu Administrasi dan organisasi.
Vol 16. No. 1. Hal 1. 3
desa menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.4
Keadaan semacam ini berlangsung sudah cukup lama sehingga muncul sikap dan
prilaku dari penyelenggara pemerintah yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang
wajar-wajar saja. Kondisi yang telah berlangsung lama seperti saat ini ternyata ikut menghambat
pelaksanaan UU. No 22 Tahun 1999, karena ternyata prilaku-prilaku lama masih tampak dan
hal ini jelas tidak kondusif untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal terutama
menghadapi tantangan global yang memiliki daya penetrasi yang kuat di dalam masyarakat
serta punya sistem nilai dan melembaga dalam lingkup mondial (mendunia).
Sejak otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 ini dilaksanakan dan memberi
otonomi pada desa dengan format demokrasi delegatif yang diwujudkan dalam pembentukan
BPD (Badan Perwakilan Desa), maka peranan camat dimarjinalkan. Dimana UU tersebut
telah menghapuskan camat sebagai penguasa tunggal diwilayahnya. Kecamatan tidak lagi
berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wilayah kecamatan, melainkan sebagai
staf bupati dalam yurisdiksinya. Sehingga ketentuan ini pada saat itu telah membuat
mengambang pemerintahan kecamatan. Di sisi lain pemerintah desa dapat secara langsung
berhubungan dengan pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di
berbagai provinsi, tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti
diselesaikan di kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat
kecamatan.
Selama proses ini bergulir, para Camat pada umumnya masih berusaha melakukan
sesuatu guna “memulihkan” peranannya seperti semula walaupun sebenarnya mereka
bingung untuk melakukan sesuatu, karena landasan tindakan mereka tidak lagi ditopang oleh
hukum positif. Namun pada beberapa kecamatan proses pemerintahan pada umumnya masih
berjalan seperti biasa dan bahkan para Camat berupaya menunjukkan sikap bahwa mereka
masih “menguasai” pemerintahan desa.
5
Posisi Camat menurut UU No. 22 Tahun 1999 tergantung pada “seni memimpin”
demikian pernah diungkapkan oleh salah satu Camat. Artinya upaya menegakkan wibawa
(kekuasaan) Camat sangat tergantung pada kemampuan pendekatan Camat secara informal
4
Prof. Drs. HAW. Widjaja. 2003. Otonomi Desa; Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 5.
5
untuk menghadirkan eksistensinya dengan memanfaatkan kekurangpengetahuan aparat desa
dan masyarakatnya tentang otonomi desa.
Namun keadaan ini tentu akan bersifat temporer dan keberhasilannya sangat
tergantung pada kemampuan individual Camat. Oleh karena itu nasib Camat sangat
tergantung kepada bupatinya, dalam hal ini banyak bupati di Provinsi Sumatera Utara yang
memiliki pemikiran untuk menguatkan posisi para Camatnya dengan alasan bahwa
kemampuan pemerintahan desa masih perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan Camat
sebagai Pembina Pemerintahan Desa.
Oleh karena itu penempatan camat sebagai Pembina sebenarnya lebih banyak
dimaknai bahwa Camat merupakan kepanjangan tangan dari Bupati, bahkan pada praktek
masa lalu Camat menjadi kepentingan berbagai kekuatan sosial-politik maupun sosial
ekonomi. UU No. 32 Tahun 2004 agaknya sangat tanggap terhadap posisi Camat yang serba
mengambang itu, sehingga pada pasal 126 ditegaskan kewenangan Camat selain sebagai
koordinator pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.
Sebenarnya peran Camat sebagai mediator antara “pihak luar” dengan desa tidak
bersifat buruk, namun seringkali peran tersebut menjadi buruk ketika Camat lebih
mengedepankan kepentingan para penguasa daripada masyarakat desa, atau bahkan karena
terlalu berpihak maka Camat berfungsi “meredam” kepentingan rakyat desa.
Padahal Camat sebagai mediator atau intermediary institutions (lembaga yang
berperan sebagai jembatan kepentingan Pemerintahan Desa dengan Pemerintahan Kabupaten)
dapat berperan lebih positif dengan mengembangkan sinergi Pemerintahan Desa dengan
Pemerintahan Kabupaten, tentunya bila ada pendelegasian kewenangan Bupati kepada
Pemerintah Kecamatan.6
6
Heri Kusmanto, Rustam Ependi, Harmaini El Harmawan, Listiani. 2007. Desa Tertekan kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia. Hal 36-39
Saat ini paradigma pemerintahan bukan lagi sebagai penguasa, tetapi menjadi pelayan
masyarakat. Karena itu, tugas camat mengikuti peran bupati/wali kota sebagai pelayan
masyarakat di tingkat kecamatan. Berdaya tidaknya sebuah kecamatan bergantung kepada
pelimpahan kewenangan yang diberikan bupati/wali kota. Sebagian urusan otonomi daerah
yang dilimpahkan bupati/wali kota dalam melayani masyarakat itulah yang menentukan
Setelah beberapa kali mengalami perubahan dasar hukum tersebut yang menjadi dasar
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, baik itu UU No. 5 Tahun 1974, UU
No. 22 Tahun 1999, dan telah dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
pemerintahan daerah, dari perubahan dasar hukum tersebut tersirat adanya momentum
strategis dalam rangka redefinisi dan restrukturisasi tugas pokok serta fungsi kecamatan
khusnya dalam hubungannya dengan desa.
Dalam pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa : “kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota
untuk menangani sebahagian urusan otonomi daerah”.
Ketetapan sebagaimana bunyi pasal 126 ayat (2) di atas, telah mengubah kedudukan
kecamatan dari kedudukan sebelumnya bahwa kecamatan merupakan perangkat
dekonsentrasi (perangakat wilayah), menjadi sebagai perangkat desentralisasi (perangkat
daerah), yang dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menerima sebagian pelimpahan
kewenangan dari Bupati/Walikota. Ketetapan demikian mau tidak mau akan memaksa dan
mendorong Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota untuk memberikan perhatian yang
sungguh-sungguh kepada kecamatan melalui upaya pemberdayaan Kecamatan.
Dalam upaya pemberdayaan Kecamatan, Pemerintah Kecamatan harus lebih
akomodatif dan fleksibel artinya dengan kewenangannya Camat diharapkan mampu
menyelesaikan sendiri berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat serta
mampu melahirkan kebijakan positif yang menyentuh langsung kepada penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan yang sesuai dengan keinginan
dan aspirasi masyarakat desa.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha mengkaji ulang peran camat dan
kecamatan dalam hubungannya dengan pemerintahan desa yang telah banyak megalami
perubahan di berbagai dimensi, khususnya terkait dengan pengelolaan kekuasaan seiring
dengan bergulirnya era otonomi daerah.
Dengan demikian, otonomi adalah kebutuhan dibukanya kesempatan kepada daerah
termasuk desa untuk menata diri sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya dan
lebih dari itu, agar daerah/desa berkembang sejalan dengan sejarah atau asal-usulnya. Jika hal
implementasi otonomi daerah dapat dikurangi, sehingga apa yang menjadi cita-cita dasar
dari otonomi daerah dapat terwujud.7
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a) Bagaimana efektifitas penyelenggaraan pemerintahan kecamatan Percut Sei Tuan
terhadap desa Laut Dendang pada masa otonomi daerah?
b) Apa sajakah kewenangan Bupati Deli Serdang yang sudah didelegasikan kepada
pemerintah Kecamatan Percut Sei Tuan?
1.3Batasan Masalah
Batasan masalah diperlukan dalam penelitian agar focus penelitian dapat dilakukan
secara sistematis dan uraian yang di buat tidak melebar. Maka masalah dalam penelitian ini
adalah:
Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi
Daerah. (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut
Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang), dengan melihat bagaimana pola
hubungan kekuasaan yang dilakukan pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa
Laut Dendang dengan memperhatikan kewenangannya masing-masing, sehingga menemukan
sebuah bangunan relasi kekuasaan serta bagaimana relasi kekuasaan ini menemukan relevansi
dalam konteks otonomi daerah di Indonesia.
1.4Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui efektifitas pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap
desa Laut dendang.
b) Untuk mengetahui pendelegasian Kewenangan bupati Deli Serdang terhadap
Camat Percut Sei Tuan.
7
1.5Manfaat Penelitian
Peneliitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terutama terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Manfaat bagi penulis, melalui penelitian ini semoga menambah pengetahuan dan
pemahaman serta meningkatkkan kreativitas penulis dalam membuat suatu karya
ilmiah khususnya dalam bidang ilmu politik.
b) Manfaat akademis, Peneliti berharap rangkaian dan hasil penelitian ini nantinya
dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi pemikiran dan menambah
khazanah ilmu pengetahuan serta memperbanyak referensi bagi ilmu politik
sendiri maupun proses pendidikan lainnya secara lebih komprehensif.
1.6Kerangka Teoritis
Bagian ini adalah unsur yang paling penting dalam penelitian, karena pada bagian ini
peneliti mencoba menjelaskan objek kajian yang sedang diamatinya, dengan menggunakan
teori-teori yang relevan dalam penelitiannya, teori dapat diartikan sebagai serangkaian
asumsi, konsep, definisi untuk menerangkan suatu fenomena yang tengah diteliti.8
1.6.1 Pemerintah dan Pemerintahan
Adapun beberapa pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pemerintah secara etimologi berasal dari bahasa yunani, Kubernan atau
Nahkoda Kapal. Artinya menatap ke depan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan
menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan
masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang
akan datang dan mengelola tujuan yang akan dicapai (Ramlan Surbakti, 1999:168).9 Pemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda.
Pemerintah merujuk kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan
menunjukkan bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah
lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup aparatur
negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat
8
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi. 1988. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3S. Hal 37 9
perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
negara. Dengan demikian pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara
yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan
kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara.
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber
pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau
penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari
segi struktural fungsional pemerintahan dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem
struktur dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas
dasar-dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara. (Haryanto dkk, 1997 : 2-3).10
a) Pembentukan Undang-Undang. (Legislative Power=Wetgeving).
Untuk menyelenggarakan dan melaksanakan tujuan negara tersebut
pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan dalam suatu negara.
Pemerintah dalam arti yang luas di indonesia sekarang dilakukan menurut cara-cara
yang banyak berasal dari cara-cara barat karena sejarahnya.
Pemerintahan dalam arti yang luas terbagi berdasarkan ajaran trias politica
dari Montesquieu atas :
b) Pelaksanaan. (Executive Power=Uitvoering).
c) Peradilan. (Judical Power=Rechtsprak).
C. Van Vollenhoeven menambahkan bagian ke-4, yaitu kepolisian pada
bagian dari Montesquieu tersebut, sedang pembagian yang terakhir sekali dalam ilmu
pengetahuan tentang Administrasi Negara telah melepaskan tripraja dari Montesquieu
dan catur praja C. Van Vollenhoeven, tetapi memakai pembahagian yang termodern
dalam ilmu administrasi, yaitu :
a) Penentuan tugas dan tujuan negara, (policy making = taak en doelstelling).
b) Melaksanakan tugas negara. (Executing = uitvoering).
10
Atas dasar uraian tersebut maka dengan pengertian ‘pemerintah‘ dalam arti
yang luas dimaksud dalam rangka ajaran tentang :
Tripraja Montesquieu meliputi :
a) Badan Perundang-undangan
b) Badan Pelaksana
c) Badan Peradilan.
Caturpraja C. Van Vollenhoeven meliputi :
a) Bestuur, atau pemerintahan yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tujuan
negara.
b) Politie, adalah kekuasaan kepolisian untuk menjamin keamanan dan ketertiban
umum negara
c) Rechtspraak, atau peradilan adalah kekuasaan untuk menjamin keadilan di
dalam negara.
d) Regeling, atau pengaturan Perundang-undangan yaitu kekuasaan untuk
membuat peraturan-peraturan umum dalam negara.
Pemerintah dalam arti yang luas menurut A.M Donner meliputi :
a) Badan-badan pemerintahan di pusat, yang menentukan haluan negara
b) Instansi yang melaksanakan keputusan badan-badan tersebut.11
1.6.2 Good Governance
1.6.2.1Pengertian Good Governance
Istilah “Good Governance” mulai muncul dan populer di Indonesia
sekitar tahun 1990-an. Dalam penyelenggaraan pemerintahan kita “Good
Governance” menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya
disaat penyelenggaraan pemerintahan indonesia sedang mengalami distorsi
terhadap efektivitas pelayanan kepada publik.
Dalam konsep “Good Governance” atau sering disebut sebagai
“tatakelola kepemerintahan yang baik” untuk membedakan dengan
11
“pemerintahan yang bersih dan berwibawa” (clean government), maka
“tatakelola kepemerintahan yang baik”, sebagai kata sifat adalah “cara-cara
penyelenggaraan pemerintahan secara efisien dan efektif12
Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson (1992:
64) yang di kutip Hamdi,
.
13
Adapun pengertian “Good Governance” menurut UNDP dalam
sedarmayanti,
mengatakan bahwa “good governance” bermakna
tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi
kebijakan dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam
pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan,
stabilitas dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna
akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.
14
Dalam memahami tentang pengertian “Good Governance” patut
menjadi catatan bagi kita agar tidak salah pengertian terhadap istilah “Good
Governance” seperti yang disampaikan oleh Tjokroamidjojo
“Good Governance” merupakan proses penyelenggaraan
kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service
disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan istilah yang
lebih populer disebut “Good Governance” (kepemerintahan yang baik). Agar
good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka
dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan
masyarakat. “Good governance” yang efektif menuntut adanya “aligment”
(koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral
yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep good governance dalam
penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan
tersendiri.
15
12
DR. Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. H. 183. 13
Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. H. 54 14
Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: CV. Mandar Maju. H.2
15
Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan. Jakarta:ISBM. H 13.
yaitu sebagai
berikut: sebagai suatu pemikiran kontemporer banyak kesalahmengertian,
“Good Governance” sering di artikan sebagai “Clean Government”, Good
difungkiri “good governance” mulai berkembang dari perhatian terhadap
“Clean Government” dan “Good Government”.
Dari beberapa pengertian mengenai “Good Governance” dan juga
karakteristik Good Governance”, terdapat beberapa kesamaan dalam tuntutan
serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi; rule of law,
transparansi, accountability, konsensus. Dari segi masing-masing tersebut
adalah seiring dengan arti dan makna demokrasi sehingga sistem politik yang
demokratis dapat terwujud maka akan membawa bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang memiliki tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik,
teratur dan tertib.
1.6.2.2Prinsip-prinsip Good Governance
Menurut Tamim16
a) Competence, artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus
dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi
birokrasi. Untuk itu, setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk
menduduki suatu jabatan pemerintahan daerah harus benar-benar orang
yang memiliki kompetensi dilihat dari semua aspek penilaian, baik dari
segi pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun
aspek-aspek lainnya.
terdapat enam hal yang menunjukkan bahwa suatu
pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, sebagai berikut:
b) Transparancy, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik dan
pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan
mengacu pada prinsip keterbukaan. Kemudahan akses terhadap informasi
yang benar, jujur, dan tidak deskriminatif mengenai penyelenggaraan
pemerintahan oleh birokrasi daerah merupakan hak yang harus dijunjung
tinggi.
c) Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tanggug jawab
pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang terbaik
dengan pemanfaatan sumber daya yang efisien demi keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena setiap kebijakan dan
16
tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke hadapan
publik maupun dari kacamata hukum.
d) Participation, artinya dengan adanya otonomi daerah, maka magnitude
dan intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi sedemikian
besar. Apabila hal tersebut dihadapkan pada kemampuan sumber daya
masing-masing daerah, maka mau tidak mau harus ada perpaduan antara
upaya pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan demikian
pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas, dan
peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah
daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.
e) Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus
disandarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas.
Untuk itu perlu dijamin adanya kepastian dan penegakan hukum yang
merupakan prasyarat keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
f) Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan
keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Tanpa adanya hal tersebut,
masyarakat tidak akan turut mendukung kebijakan dan program
pemerintah daerah.
Sedangkan prinsip-prinsip Good Governance versi UNDP yang saling
memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana dikutip
Sedarmayanti17
a) Participation; setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi
legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini di bangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
, adalah sebagai berikut:
b) Rule of Law; kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
perbedaan, terutama hukum hak azasi manusia.
17
c) Transparansi, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses lembaga dan informal secara langsung dapat diterima oleh mereka
yang membutuhkan informasi dapat dipahami dan dapat dipantau.
d) Responsiveness, lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap
stakeholder.
e) Consensus orientation, “Good Governance” menjadi perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
f) Effektiveness and efficiency; proses dan lembaga menghasilkan sesuai
dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang
tersedia sebaik mungkin.
g) Accountability; para pembuat keputusan dalam pemerintahan sektor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada pihak
publik dan lembaga stakeholder.
h) Strategy vision; para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif
“good Governance” dan pengembangan manusia yang luas serta jauh
kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan yang
semacam ini.
1.6.2.3Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Dalam perkembangan dewasa ini kebijakan pemerintah ke arah
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik sudah mulai dilakukan dengan
diawali dengan desentralisasi kewenangan kepada daerah kabupaten/kota
melalui UU No. 22 Tahun 1999 juga UU No. 32 Tahun 2004 beserta peraturan
pemerintahannya.
Oleh karena itu dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan
terjadi perubahan yang cukup signifikan menuju terwujudnya “Good
Governance”. Demikian pula tujuan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
tersebut di atas dalam perspektif pendayagunaan aparatur negara pada
hakekatnya adalah memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk
membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan
responsif terhadap kepentingan masyarakat luas; membangun sistem pola karir
pemerintahan yang efektif; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah,
serta meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas
publik, pada akhirnya diharapkan terciptanya kepemerintahan yang baik
(Good Governance).
1.6.3 Teori Otonomi Daerah
1.6.3.1Pengertian Otonomi Daerah
Seperti dikatakan oleh Mark Turner (1999:4), ‘desentralisasi
merupakan salah satu konsep di dalam ilmu sosial yang memiliki banyak
makna disepanjang waktu’. Pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari
banyaknya aplikasi disiplin dan perspektif di dalam ilmu sosial yang concern
terhadap studi mengenai desentralisasi. (Conyers, 1984: 190-191).18
Sementara istilah “daerah” itu memiliki arti yang cukup luas yakni
sebagai “bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan
sebagainya yang khusus; Lingkungan pemerintahan; Wilayah; selingkungan
kawasan, tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkukangan
suatu kota (wilayah dan sebagainya); tempat-tempat dalam suatu lingkungan
yang sama keadaannya (iklimnya, hasilnya dan sebagainya); tempat-tempat
yang terkena peristiwa yang sama; bagian permukaan tubuh”.
Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata
dalam bahasa yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang
berarti undang-undang atau peraturan. Selanjutnya istilah ini berkembang
menjadi terminology “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan
“undang-undang sendiri”. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah definisi otonomi
yang diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan, daerah
atau “kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan”.
19
18
Ibid, hal 138. 19
Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah
adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini
disebabkan karena menurut Sumitro Maskun:
“pengertian otonomi dalam lingkup suatu Negara selalu dikaitkan
dengan daerah atau pemerintahan daerah (local government). Otonomi dalam
pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central
government) ke daearah, juga berarti menghargai atau mengefektifkan daerah
kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk
melengkapi system prosedur pemerintahan Negara di daerah”.
Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dirumuskan
sebagai sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan
mendapat tempat yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali
tidak mengalami proses intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya
tersebut dan untuk mengatur wilayahnya dalam lingkup kewenangannya itu.20
Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan
menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan
pemerintahan, Sinindhia dalam Suryawikarta (1995:35), mengemukakan
batasan otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada
daerah otomom dan memberikan kesempatan kepadanya untuk
mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk
mengurus kepentingan-kepentingan umum.”
Syafrudin (1991:23) misalnya, mengatakan bahwa otonomi
mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan.
Menurutnya Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit definisi
otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas
dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan
untuk melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa
kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian
tugas itu.
20
Dari berbagai batasan tentang otonomi daerah tersebut diatas, dapat
dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan
pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi
satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara. Dengan kata lain
otonomi menurut Magnar (1991: 22),”… memberikan kemungkinan yang
lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bagian dan
tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. Manan (dalam Magnar,
1991:23) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,yaitu:
Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah satu persoalan pokok
dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak
menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya
hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah
pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi
kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.
Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan
mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan
sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan
yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan
efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu
diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan
masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang
wajar dan baik.
Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi
faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan
menciptakan perikehidupan sejahtera. Dengan adanya pemerintahan daerah
yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga
daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan
benar-benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena
1.6.3.2Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah
Refornasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan
melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No.
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma
baru tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998
tersebut dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu :
a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional,
melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang
berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi
dan memperhatikan keanekaragaman daerah.
d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara
pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat
daerah dan bangsa secara keseluruhan.
e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien,
bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan
koperasi.
f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah
penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.
g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.
h) Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan
berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan
masyarakat.
Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu harapan bagi
tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan transparansi kehidupan
sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat
sipil yang dicita-citakan.
Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas
bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan
wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah
dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini
dilaksanakan secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti
menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka
Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut
program yang bersifat massal, uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Di
samping hal tersebut, daerah menjadi titik sentral awal gagasan dan
perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari
pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut
konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai
penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan
bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat
menentukan secara nasional sehingga paradigma baru pemerintahan yang
terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, pemerintah
pusat menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala
kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama
yang sering di dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.
Seiring dengan penyelenggaraan pemerntahan yang semakin
demokratis, di pihak lain hal ini memberikan tantangan terhadap berbagai
stakeholder di daerah. Karena konteks mengatur rumah tangga daerah, maka
daerah harus mampu merespons tugas dan perannya. Peran besar yang diikuti
semua komponen daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya
keberhasilan pembangunan di daerah.
Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus
dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan
sosial dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini
telah menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara
pemerintahan, respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of
crisis dan sense of urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi
terlaksananya hakikat dari reformasi.
Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan
yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya.
Tuntutan reformasi adalah dimaksudkan untuk mengoptimalkan kelembagaan
yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek :
a) Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu
kesadaran akan keterkaitan.
b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa,
dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.
c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung
jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.
d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna
kesadaran akan keterhubungan.
e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.
f) Adanya aspek-aspek yuridis, politis, sosiologis, ekonomis, pragmatis,
empiris dan historis serta aspek strategis.
g) Perhatian pada aspek kemanusiaan, berkaitan dengan optimalisasi dan
keseimbangan peranan sumber daya.
Berbagai tantangan dan hambatan bagi terwujudnya pemerintahan
daerah yang akomodatif terhadap kebutuhan dalam berbagai dimensi apapun,
akan melahirkan suatu bentuk organisasi pemerintah daerah yang kenyal dan
dapat menjawab berbagai tuntutan zaman adalah kembali kepada semangat
penyelenggara pemerintahan di daerah.21
Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas
partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional.
Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu
diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa
partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila di bandingkan di
tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya Selain dari pada itu, menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian
terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa
adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi
di tingkat nasional (1998:85-86). Pandangan yang bercorak fungsional ini
berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di
daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas di
tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah
negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan untuk
memperkuat pandangannya tersebut.
Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang
pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat
yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari
pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian
dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses
demokratisasi itu berlangsung.
Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku
pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti demokratis di
dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini,
khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju
pemerintahan yang demokratis. Dalam masa transisi ini pemerintah daerah
memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas
dengan pemerintah pusat.
21
DR. J. Kaloh. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global.
deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di
dalam berdemokrasi.
Keempat, kasus kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah
pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan
reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat
kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.
Munculnya perhatian yang lebih serius terhadap proses demokratisasi
di daerah juga berkaitan dengan semakin menguatnya secara massive
kebijakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang sejak 1990-an.
Sebagaimana dikemukakan oleh Delinger (1994: 1), yang membuat laporan
untuk Bank Dunia, ‘kecuali 12 negara, dari 75 negara-negara sedang
berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi dengan
penduduk lebih dari lima juta, semuanya mengklaim sedang melakukan
transfer kekuasaan politik ke unit-unit pemerintahan di daerah’. Berbeda
dengan implementasi kebijakan desentralisasi pada 1960-1970-an yang lebih
menekankan pada kebijakan desentralisasi administrasi, implementasi
kebijakan desentralisasi pada 1990-an didesain untuk melaksanakan kebijakan
desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan itu tidak hanya difokuskan
pada desentralisasi administrasi, melainkan juga desentralisasi politik dan
desentralisasi fiskal.
Menguatnya perspektif politik mengenai desentralisasi tidak hanya
menarik para ilmuan politik untuk menganalisis relasi kekuasaan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Para ilmuan politik juga mulai
tertarik untuk menganalisis relasi kekuasaan yang ada di daerah. Misalnya
saja, apakah transfer kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah itu
diiringi oleh alokasi dan distribusi sumber-sumber kekuasaan kepada berbagai
komunitas atau kelompok yang ada di daerah, khususnya kelompok-kelompok
yang sebelumnya termarginalisasi atau dalam posisi oposisi? Atau sebaliknya,
apakah kekuasaan itu tetap saja tersentralisasi pada kelompok kecil elite, yang
pada akhirnya desentralisasi politik itu hanya dinikmati oleh
Di Indonesia, salah satu faktor utama pendorong munculnya kebijakan
desentralisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru (sebagaimana
tertuang di dalam UU No. 22 dan 25 tahun 1999) adalah untuk mempercepat
proses demokratisasi dan memperbaiki kualitas demokrasi di daerah (Rasyid,
2003; Turner et al., 2003). Melalui transfer kekuasaan dan otoritas ke daerah,
diharapkan bisa membuat daerah memiliki bargaining position yang lebih
besar kepada pemerintah pusat. Dengan demikian daerah tidak hanya
berfungsi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan
oleh pemerintah pusat. Lebih dari itu, daerah memiliki kekuasaan dan otoritas
untuk merumuskan kebijakan-kebijakan untuk diri mereka sendiri.
Pandanagan seperti ini di dasari oleh pemikiran bahwa para pemegang
kekuasaan di daerah lebih tahu selera masyarakat di daerah daripada
pemegang kekuasaan di pusat.22
1.6.4 Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (sebuah penyempurnaan terhadap uu no. 22 tahun 1999).
1.6.4.1Umum
Pada tahun kelima implementasi UU No. 22 Tahun 1999, tepatnya
tahun 2004 dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari
dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak dari pemerintah untuk
mengadakan revisi terhadap UU tersebut, yang pada akhirnya memunculkan
UU pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Banyak evaluasi dari berbagai kalangan yang
dialamatkan pada implementasi UU No. 22 tahun 1999 ini, sehingga perlu
direvisi, khususnya yang beraroma negative antara lain bahwa demokrasi yang
dikembangkan oleh jiwa UU ini kurang begitu mendukung terciptanya
demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. UU ini
cenderung menghasilkan demokrasi yang ‘kebablasan’, dan memunculkan
raja-raja kecil di daerah.
22
Dari perspektif para pembuat kebijakan (pemerintah), evaluasi
terhadap UU No. 22 tahun 1999 ini menghasilkan beberapa hal penting dan
mendasar. Pertama, pada tataran konsep UU ini kurang komprehensif dalam
pengaturan terhadap konsep dasarnya, seperti pembagian kewenangan,
hubungan antarstrata pemerintahan dan perimbangan keuangan. Di samping
itu ada beberapa pengaturan yang kurang sinkron diantara beberapa pasal,
seperti dalam pasal tertentu ada wewenang yang ditetapkan sebagai wewenang
pusat, tetapi di pasal yang lain ditetapkan sebagai wewenang daerah. Dalam
pasal-pasal tertentu pengaturan lebih lanjut dikuasakan kepada peraturan lain
tanpa ada rambu-rambunya dan ada pengaturan dalam pasal yang memberi
peluang timbulnya multitafsir, seperti tidak ada hubungan hierarki, seluruh
kewenangan daerah berlaku dikawasan tertentu. Di samping itu pula telah ada
perubahan konsepsi otonomi daerah baik berdasarkan amandemen UUD RI
1945 maupun dalam ketetapan MPR, seperti penggunaan azas otonomi dan
tugas pembantuan, otonomi seluas-luasnya, pembagian NKRI atas
daerah-daerah provinsi, desentralisasi fiscal dan otonomi bertingkat.
Kedua, pada tataran instrumen. UU No. 22 tahun 1999 memberi kuasa
kepada pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa
memberikan rambu-rambu, sehingga menimbulkan peluang munculnya
kebijakan yang tidak mendorong otonomi daerah. Selanjutnya penyusunan
peraturan perundang-undangan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan UU
No. 22 tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga daerah
berprakarsa membuat peraturan sendiri dengan wewenang yang diberikan Tap
MPR No. IV/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Di samping itu, karena belum harmonisnya berbagai
peraturan perundang-undangan, baik yang diterbitkan pemerintah maupun
daerah sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Ketiga, pada tataran implementasi. Dalam pengelolaan kewenangan
sering memunculkan friksi antar tingkat pemerintahan sehingga cenderung
mengganggu pelayanan umum. Pembentukan lembaga perangkat daerah
sering kurang berorientasi pada peningkatan pelayanan, sehingga cenderung
banyak struktur dan tidak efisien (kaya struktur, miskin fungsi). Pengelolaan
etnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier.
Di samping itu penggunaan APBD lebih banyak untuk menutup belanja aparat
perangkat daerah dan DPRD, sehingga peluang untuk pelayanan public
menjadi kecil. Pada tataran implementasi ini pula hubungan kemitrasejajaran
antara kepala daerah dan DPRD kurang dapat berlangsung dengan baik,
karena dalam prakteknya DPRD sering mendominasi, sehingga berpeluang
memunculkan ketidakstabilan pemerintahan daerah. Di samping itu pelayanan
umum oleh pemerintah daerah cenderung menurun dan timbulnya kebijakan
sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah akibat
belum memadainya pedoman yang diperlukan (tindak lanjut pasal 112) dan
adanya berbagai peraturan perundangan “sektoral” yang belum disesuaikan
(pasal 113).
Hal lain yang menjadi dasar pemikiran direvisinya UU No. 22 tahun
1999 yaitu adanya keputusan politik di dalam ketetapan MPR yang memberi
kuasa kepada daerah untuk membuat Perda dalam pelaksanaan otonomi tanpa
menunggu pedoman yang diperlukan, telah berakibat munculnya berbagai
kebijakan daerah (Perda dan Keputusan Kepala Daerah) yang tidak sejalan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di samping itu pula
aspek SDM yang belum cukup memadai baik dalam jumlah, kompetensi dan
penyebarannya.
Selain dari ekses yang timbul dalam implementasi UU No. 22 tahun
1999, kehendak pemerintah merevisi undang-undang tersebut dalam perspektif
global juga didasarkan pada pertimbangan pengaruh lingkungan strategis,
dimana globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang menuntut efisiensi
dan daya saing masyarakat, bangsa dan Negara yang lebih tinggi, memerlukan
arahan normative yang jelas pada tataran undang-undang. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat sebagai tantangan untuk
menyesuaikan system dan prosedur manajemen pemerintahan daerah, antara
lain peletakan dasar system informasi manajemen pemerintaha, kepegawaian,
keuangan khususnya pengetahuan administrasi akuntansi dan pembinaan
Perkembangan tuntutan demokratisasi dan transparansi yang
meningkat, memerlukan landasan peran serta dan mekanisme penyaluran
aspirasi masyarakat. Di samping itu tuntutan penghargaan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan,
memerlukan adanya jaminan kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan
seluruh warga Negara di depan pemerintah.
1.6.4.2Filosofi UU No. 32 Tahun 2004
Pada dasarnya latar belakang perubahan UU No. 22 tahun 1999
sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan feed back pada filosofi UU
No. 32 tahun 2004. Dari aspek dasar hukum tata Negara, karena UUD RI
Tahun 1945 telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang
berkaitan langsung dengan system pemerintahan daerah, yaitu pasal 1, 5, 18
(a,b), 20, 21, 22 (d), 23 (e ayat 2), 24 (ayat 1), 31 (ayat 1), 33 dan 34, maka
undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu
perubahan UU No. 22 tahun 1999 , didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai
dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pemerintah daerah berwenang
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberiaan otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi
luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip
bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin
keserasian hubungan antar daerah dan daerah lainnya. Artinya, mampu
membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah harus juga mampu menjamin hubungan
yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara
dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya NKRI.
Undang-undang pemerintahan yang baru mewajibkan pemerintah
melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan, memberikan
standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi,
pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah wajib
memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan bantuan dan
dorongan kepada daerah agar dapat melaksanakan otonomi secara efektif dan
efisien. Penyelenggaraan desentralisasi menurut undang-undang ini
mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada
pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang
sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintah
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penangananya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Sedangkan urusan yang menjadi kewenangan daerah
meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang
berkaitan dengan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dasar,
pemenuhan kebutuhan hidup minimal dan prasarana lingkungan dasar.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang terkait dengan potensi unggulan
dan kekhasan daerah.23
1.7Metodologi Penelitian
1.7.1 Jenis dan Sifat Penelitian
Di dalam penelitian ini adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah
jenis penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang
alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, analisis data bersifat
induktif yang lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Filsafat postpositivisme sering juga disebut paradigma interpretasi dan
konstruktif yang memandang realita sosial sebagai sesuatu yang utuh,
kompleks, dinamis dan penuh makna. Penelitian dilakukan pada objek yang
alamiah. Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya tidak
dimanipulasi dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi objek tersebut.
Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam
yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya. Oleh karena
itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi tetapi lebih
menekankan pada makna.
Sedangkan dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis,
dimana penelitian ini bermaksud menggambarkan bagaimana
fenomena-fenomena kekuasaan yang terjadi dalam hubungan pemerintahan kecamatan
dan desa pada masa otonomi daerah.
23
DR. J. Kaloh. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global.
1.7.2 Responden Penelitian
Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
pimpinan/pejabat yang berwenang untuk memberikan informasi dalam
penelitian ini. Disamping itu juga digali informasi dari berbagai elemen
masyarakat lainnya seperti kalangan akademisi (perguruan tinggi) dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsern terhadap masalah-masalah
otonomi daerah.
Dalam penelitian ini penarikan/pemilihan responden dilakukan secara
purpossive sampling yaitu terdiri dari :
a) Camat Percut Sei Tuan/pejabat yang ditunjuk.
b) Kepala Desa Laut Dendang /pejabat yang ditunjuk
c) Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD)/pejabat yang ditunjuk.
d) Satu (1) orang akademisi yang dianggap punya kompetensi keilmuan
bidang politik.
e) Satu (1) orang unsur LSM (NGO) yang konsern terhadap
masalah-masalah otonomi daerah.
1.7.3 Sumber Data
Salah satu yang diperlukan dalam persiapan penelitian adalah
mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian
skripsi ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari aktor atau
informan yang di anggap mampu memberikan deskripsi tentang kondisi objek
yang akan diteliti. Selain itu dapat juga berupa data-data yang tertulis
mengenai objek tersebut.
Data sekunder dapat diklasifikasikan yaitu data yang diperoleh dari
buku, artikel, jurnal dan sebagainya juga data yang dapat diakses melalui
internet yang tentu berhubungan dengan penelitian.
Pada setiap pembicaraan mengenai metodologi penelitian persoalan
metode pengumpulan data menjadi amat penting. Metode pengumpulan data
adalah bagian instrumen pengumpulan data yang menentukan berhasil atau
tidak suatu penelitian. Kesalahan penggunaan metode pengumpulan data atau
metode pengumpulan data tidak digunakan semestinya, berakibat fatal
terhadap hasil-hasil penelitian yang dilakukan.
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini
adalah metode wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah
wawancara yang dilakukan secara informal.24
1.7.5 Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini bertumpu pada strategi deskriptif
kualitatif yang berintikan cara berpikir induktif. Penggunaan strategi deskriptif
kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang terhimpun dari suatu
penelitian, kemudian bergerak ke arah pembentukan kesimpulan kategoris
atau ciri-ciri umum tertentu. Oleh karenanya, strategi ini dimulai dari
pekerjaan klasifikasi data.25
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
BAB ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian yang
digunakan, analisis data dan sistematika penulisan.
BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
BAB ini memberikan uraian Mengenai kondisi politik, demografis, potensi
desa serta lembaga-lembaga desa laut dendang.
BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
24
Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial; Forma-format Kuantitatif Dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 133-136
25
BAB ini akan memberikan analisis terhadap hubungan antara
pemerintahan kecamatan dengan pemerintahan desa serta melihat peluang dan
tantangan dalam hubungan kedua organisasi tersebut.
BAB IV PENUTUP