• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Magrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Magrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

FERDINAND SUSILO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

FERDINAND SUSILO, Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ARIO DAMAR.

Kecamatan Percut Sei Tuan sebagai salah satu wilayah pesisir Sumatera Utara dengan sumberdaya mangrove yang mendukung kehidupan masyarakat sekitar, dewasa ini dihadapkan pada masalah tingkat eksploitasi berlebihan dan konversi lahan untuk berbagai kegiatan yang menyebabkan kerusakan sampai 79,8 %.

Penelitian tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan bertujuan untuk mengetahui potensi dan kondisi ekosistem mangrove saat ini serta memberikan arahan strategi kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mengrove di wilayah ini.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode panarikan contoh (sampling), observasi langsung kondisi lapangan, penyebaran kuisioner, wawancara terbuka/langsung (open-ended) dan wawancara mendalam (in-depth interview) di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan dengan penelusuran berbagai pustaka, dan instansi terkait. Dalam penentuan alternatif arahan kebijakan digunakan metode A’WOT yang merupakan gabungan AHP (analytical hierarchy process) dan SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats). Hasil analisis A’WOT menunjukkan bahwa guna mencapai kelestarian ekosistem mangrove dan pemanfaatan berkelanjutan, arahan kebijakan yang pelu dilakukan antara lain (1) peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi; (2) peningkatan peran stakeholder; (3) penguatan hukum dan kelembagaan; (4) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove; (5) peningkatan ekowisata (wisata ilmiah); dan (6) peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar ekosistem mangrove.

(3)

FERDINAND SUSILO, Mangrove Ecosystem Management on District of Percut Sei Tuan Deli Serdang Regency North Sumatera. Supervise by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and ARIO DAMAR.

District of Percut Sei Tuan as one of coastal region in North Sumatera with mangrove resource which supporting the life of the society near the ecosystem, now faced to problems such as over exploitation and area conversion for various activity that causing damage until 79,8 %.

Research about Mangrove Ecosystem Management on District of Percut Sei Tuan aim to know the potential and existing condition of mangrove ecosystem and also give directive policy strategic needed in managing mangrove ecosystem in this area.

Primary data obtain by sampling, field observation, question, open-ended interview and in-depth interview in the research area. Secondary data obtain by unravel various literature, and related institution. In determination of alternative policy directive use an A’WOT method which constitute of AHP (Analytical Hierarchy Process) and SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats). A’WOT analyzed result shown that for achieving mangrove ecosystem preservation and sustainable use, policy directive require to be done among other like (1) increase of rehabilitation programs and ecological manipulation; (2) increase of stakeholders participation; (3) law and institution reinforcement; (4) increasing of society participation in management and preservation of mangrove ecosystem; (5) increase of ecotourism (scientific tourism); and (6) increase of human resources quality nears the mangrove ecosystem.

(4)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

(5)

KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

FERDINAND SUSILO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul : Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Nama : Ferdinand Susilo

N R P : C251050031

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007

(8)

PRAKATA

Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanannya baik waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan semangat dari awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Desa

Percut, Kepala Desa Tanjung Rejo, Kepala Desa Pematang Lalang, Ketua Koperasi Mina Bina Sejahtera Percut, Ketua Kelompok Masyarakat GP-4, Masyarakat Petambak, Kepala Laboratorium Tumbuhan Biologi USU, Analis Laboratorium PTKI Medan yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan informasi data serta analisis sampel selama penelitian.

3. Ayahanda H. Sirun Susilo dan Ibunda Hj. Amini serta abang dan kakak beserta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat maupun materi pada penulis selama studi.

4. Teman-temanku Hasri, Hanifah, Gigi, Aran, Leman, Hendrik, Mugi, Pipit, dan adik-adik BIOPALAS yang telah banyak membantu selama pengamatan dilapangan dan penelusuran data-data. Keluarga besar “BENZIN” yang menjadi teman setia dalam penulisan tesis ini, teman-teman SPL angkatan 12 atas dorongan dan bantuannya.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2007

(9)

Penulis dilahirkan di Helvetia, Medan Sumatera Utara, pada 07 Maret 1981 dari ayah bernama Sirun Susilo dan ibu Amini. Penulis merupakan putra ketujuh dari tujuh bersaudara.

(10)

x

Karakteristik Masyarakat Pesisir ... 12

Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir ... 15

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 16

Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Process/AHP) . 17 Analisis SWOT ... 20

KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

METODE PENELITIAN ... 24

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh ... 26

Analisis Data ... 30

Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Gambaran Umum Kabupaten Deli Serdang ... 40

Gambaran Umum Kecamatan Percut Sei Tuan ... 44

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Saat Ini di Kecamatan Percut Sei Tuan ... 50

Ekologi Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 51

Luas Hutan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang ... 51

Struktur Vegetasi Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ... 53

Keanekaragaman Fauna ... 59

(11)

xi

Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di

Sekitar Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 70

Sosial Ekonomi Masyarakat ... 70

Sosial Budaya Masyarakat ... 73

Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 77

Arah Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 82

Komponen dan Faktor-faktor SWOT ... 82

Analisis Prioritas A’WOT ... 89

Analisis Faktor Komponen SWOT ... 99

Rencana Strategi dan Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 102

KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

Kesimpulan ... 113

Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1 Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian ... 24 2 Alat dan metode pengukuran parameter lingkungan ... 26 3 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors

Analysis Summary) ... 33 4 Analisis strategi faktor eksternal (External StrategicFactors

Analysis Summary) ... 34 5 Model matriks SWOT hasil analisis SWOT ... 34 6 Skala perbandingan secara berpasangan (pairwise comparison)

menurut say (1993) ... 37 7 Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang ... 43 8 Pola penggunaan lahan Kecamatan Percut Sei Tuan ... 46 9 Komposisi penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan

berdasarkan desa/kelurahan, luas wilayah, jenis kelamin,

tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga ... 47 10 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 48 11 Fungsi dan luas kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang . 51 12 Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang ... 52 13 Jumlah individu pada masing-masing jenis vegetasi

mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ... 54 14 Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap

tingkatan pohon ... 56 15 Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap

tingkatan pohon ... 57 16 Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap

tingkatan pohon ... 58 17 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap

tingkatan pohon ... 59 21 Kisaran salinitas ekosistem mangrove Kecamatan Percut

(13)

xiii

22 Persentase fraksi substrat ekosistem mangrove Kecamatan

Percut Sei Tuan ... 70 23 Jenis mata pencaharian masyarakat di desa-desa penelitian .. 71 24 Jumlah dan jenis pasar yang terdapat di desa-desa studi ... 73 25 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di desa-desa

penelitian ... 73 26 Fasilitas pendidikan yang terdapat di desa-desa penelitian ... 74 27 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai eksositem

mangrove ... 76 28 Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan ekosistem

mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 83 29 Prioritas komponen SWOT dalam pengelolaan ekosistem

mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 91 30 Prioritas faktor komponen kekuatan (Strength) dalam

pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei

Tuan ... 92 31 Prioritas faktor komponen peluang (Opportunity) dalam

pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei

Tuan ... 93 32 Prioritas faktor komponen kelemahan (Weakness) dalam

pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei

Tuan ... 94 33 Prioritas faktor komponen ancaman (Threat) dalam

pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei

Tuan ... 95 34 Prioritas alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan... 95 35 Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic

Factors Analysis Summary - IFAS) ... 99 36 Hasil analisis faktor-faktor eksternal (External Strategic

Factors Analysis Summary - EFAS) ... 100 37 Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT dalam

pengelolaan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan ... 101 38 Prioritas strategi pengelolaan ekosistem mangrove Percut

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem mangrove ... 23

2 Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan sampel ... 25

3 Skema penempatan petak contoh ... 28

4 Diagram hierarki analisis arahan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang... 38

5 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Deli Serdang ... 41

6 Peta Administratif Kecamatan Percut Sei Tuan ... 45

7 Peta Penutupan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ... 55

8 Daerah sebaran burung pantai, burung migran dan primata .. 62

9 Sebaran rata-rata suhu air pada setiap jalur pengamatan ... 64

10 Sebaran rata-rata suhu tanah pada setiap jalur pengamatan .. 64

11 Sebaran rata-rata pH air pada tiap jalur pengamatan ... 66

12 Sebaran rata-rata pH tanah pada tiap jalur pengamatan ... 66

11 Sebaran rata-rata salinitas pada tiap jalur pengamatan ... 68

12 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian, Lpr = lumpur (φ = 0.0625-0.0039 mm), Phl = pasir halus (φ = 0.25-0.125 mm), Psd = pasir sedang (φ = 0.50-0.25 mm) dan Pks = pasir kasar (φ = 1-0.5 mm) ... 69

13 Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal ... 102

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1 Jenis satwa di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei

Tuan tahun 2003 – 2007 ... 121 2 Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor

lingkungannya ... 125 3 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian ... 126 4 Penilaian Responden untuk Analisis Alternatif Kegiatan

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Lestari dan Berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Serdang Sumatera Utara ... 128 5 Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengelolaan

ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Luas mangrove di pulau Sumatera ±657.000 Ha, dari total ini sekitar 30% (±200.000 Ha) dijumpai di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penafsiran Citra Landscape, diketahui luasan mangrove di Propinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang sangat cepat dari waktu ke waktu. Dari luas ± 200.000 Ha pada tahun 1987, tinggal 15% atau ±31.885 Ha yang berfungsi baik pada tahun 2001. Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi mangrove di Propinsi Sumatera Utara sedang mengalami tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga mengakibatkan hilangnya kawasan mangrove sekitar 85% (±168.145 Ha) dalam kurun waktu 14 tahun.

Sebagian besar ekosistem mangrove di Sumatera Utara telah berubah statusnya menjadi lahan-lahan yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan aspek lingkungan sama sekali. Salah satu contoh yang paling ironis terjadi di Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat, dan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Proyek-proyek transmigrasi mengakibatkan banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan, lahan pertanian dan juga perkebunan. Hal ini menyebabkan perubahan yang mendasar dari fungsi ekosistem mangrove.

(17)

Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan akibat berbagai aktivitas pemanfaatan seperti konversi lahan untuk pemukiman, pertambakan, pertanian, perkebunan, dan pengambilan kayu/ penebangan liar, memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini tidak hanya terletak pada pemerintah saja, melainkan juga harus didukung peran serta (partisipasi) semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang secara aktif terlibat dalam pengelolaan dan pemanfataan mangrove, sehingga pada akhirnya kelestarian ekosistem mangrove dapat terjaga dan pemanfaatan dapat berkesinambungan.

Terbatasnya informasi tentang potensi dan kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah satu faktor kelemahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah ini. Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek pembangunan untuk mengetahui potensi dan kondisi saat ini ekosistem mangrove sebagai dasar merekomendasikan suatu arahan kebijakan dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, sehingga pada akhirnya pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan dan meminimalkan kerusakan ekosistem.

Perumusan Masalah

(18)

3

mangrove adalah milik bersama yang dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove sangat penting mengingat masyarakat yang tinggal disekitar ekosistem mangrove secara langsung memanfaatkan hutan mangrove dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kurang jelasnya perwilayahan terhadap daerah lindung dan pemanfaatan ekosistem sehingga terjadi pemanfaatan yang tidak terbatas dan pemahaman yang kurang oleh masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem mangrove saat ini di Kecamatan Percut Sei Tuan, serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem mangrove saat ini serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dan produktif serta ditemukan di sepanjang pesisir dan garis pantai (Hong & San, 1993). Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari deburan ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, pertumbuhan mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005). Hal ini terbukti dari daerah penyebaran mangrove di Indonesia, yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Papua. Penyebaran ekosistem mangrove juga dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin.

Bengen (2004) menambahkan, hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu berkembang pada daerah pasang surut terutama pantai berlumpur seperti jenis Rhizopora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini berasosiasi dengan jenis lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan mangrove lainnya.

(20)

5

dapat tumbuh di daerah tropis yang memiliki pantai terlindung, di muara sungai dan lingkungan dimana air laut dapat masuk, di sepanjang pantai berpasir atau berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir berlumpur. Selanjutnya Van Balen (1989) menambahkan bahwa hutan mangrove memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, memiliki physiognomi yang sederhana dan tanpa stratifikasi yang jelas.

Di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi: 89 jenis pohon, 5 jenis palmae, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku (Noor et al. 1999). Menurut Soemodihardjo & Soerianegara (1989), jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia sekitar 89 jenis, yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana dan, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit. Sementara itu Bengen (2001), mengatakan bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitas, Snaeda, dan Conocarpus, yang termasuk ke dalam 8 famili. Melana et al. (2000) menambahkan bahwa tumbuhan mangrove terdiri dari 47 jenis tumbuhan mangrove sejati dan jenis asosiasi yang termasuk ke dalam 26 famili. Mangrove sejati tumbuh di ekosistem mangrove, sedangkan mangrove asosiasi kemungkinan dapat tumbuh di habitat yang lain seperti di hutan pantai dan daerah dataran rendah.

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

(21)

makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Hong & San (1993), menambahkan pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Melana et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

(1)Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

(2)Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.

(3)Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.

(4)Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.

(5)Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

(22)

7

Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar US$500 sampai US$1.550 per hektar pertahun, nilai minimum terjadi ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi peruntukan yang lain.

Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Chapman (1977) dalam Kusmana (1995) terdiri 5 (lima) habitat, yakni:

(1)Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.

(2)Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).

(3)Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.

(4)Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak.

(5)Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

Lebih lanjut Sugiarto & Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini (Abdullah, 1988).

Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut.

(23)

kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya.

Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali, 2001). Menurut Macnae (1968) dalam Kusmana (1995), secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna teresterial dan fauna laut. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang, biawak, berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.

Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai

detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi (Chambers & Sobur, 1977).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove

(24)

9

1. mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu-kayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor.

2. mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti daerah pemijahan dan mencari makan beberapa organisme darat dan laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah.

3. mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi.

Namun demikian, pada hakekatnya, dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari dan pemanfataannya dapat berkelanjutan.

1) Perlindungan Hutan Mangrove

Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor: 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat, selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi terkait.

(25)

Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993), zonasi mangrove merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:

a. Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah.

b. Zona Perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal.

c. Zona Pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.

2) Pemanfaatan Hutan Mangrove

(26)

11

(1) Tambak

a. Tambak Tumpangsari

Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang didalamnya mengkombinasikan sebagian lahan untuk pemeliharaan kepiting/ikan dan sebagian lahan untuk penanaman mangrove. b. Model Tambak Terbuka

Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai. (2) Hutan Rakyat

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).

(3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu

Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain.

(4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang.

3) Rehabilitasi Hutan Mangrove

(27)

menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002).

Menurut Khazali (2002), pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Untuk mencapai kepada keinginan pemberian porsi yang besar kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, menurut Sembiring & Husbaini (1999) harus diringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat yang selama hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bio-ekologis.

Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar kelestarian hasil dapat diperoleh. Menurut Watson dan Arief (1992), ada tiga alasan utama mengapa kegiatan konservasi (perlindungan) dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut mendapat perhatian baru-baru ini. Pertama, manusia pada hakekatnya merupakan penyebab kerusakan-kerusakan yang terjadi di lingkungan laut. Kedua, belum membudayanya usaha melindungi wilayah perairan di lingkungan daratan. Ketiga, sebagian wilayah laut dan lautan terletak di luar batas yuridis negara, atau wilayah teritorial perairan mereka. Lautan sering dianggap sebagai sumberdaya umum yang berpotensi menimbulkan konflik eksploitasi.

Karakteristik Masyarakat Pesisir

(28)

13

aspek yang berhubungan dengan kondisi sasaran, terutama yang berkaitan dengan kemampuan intelektual (pemahaman dan pengetahuan), kepribadian, sikap dan sebagainya dapat ketahui dengan baik.

Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir, terlebih dahulu harus diketahui konsep masyarakat baik secara umum maupun masyarakat pesisir secara khusus. Masyarakat umumnya merupakan sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut.

Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: Pertama, masyarakat perairan yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak hidup di lingkungan perairan daripada di darat, berpindah-pindah dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil. Kedua, masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat. Ketiga, masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut. Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada pengetahuan lautan.

(29)

sebagai nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.

Masyarakat nelayan penangkap ikan sangat rawan karena bergantung sepenuhnya terhadap keberadaan sumberdaya alam yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh nelayan. Nelayan tidak pernah mempunyai gambaran pasti tentang berapa pendapatan yang akan diperolehnya, suatu saat pendapatannya cukup besar akan tetapi di saat lain sama sekali tidak memperoleh hasil tangkapan. Hal ini disebabkan sifat tangkapan nelayan senantiasa bergerak berpindah-pindah tempat menjadikan tingkat pendapatan mereka cenderung tidak teratur (Nadjib, 1998 dalam Khazali, 2001). Selain itu pendapatan nelayan juga sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground). Dalam menangkap ikan tidak jarang nelayan harus berpisah dari keluarga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Hal ini menyebabkan pulangnya mereka ke rumah sering dipergunakan sebagai kesempatan untuk beristirahat daripada berproduksi.

(30)

15

Kusumastanto (2002), memberikan gambaran karakteristik umum masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak rusak.

Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir

Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir adalah suatu kajian terhadap hubungan sosial antara manusia yang berdiam di wilayah pesisir dengan sumberdaya alam yang ada. Kawasan hutan mangrove adalah kawasan hutan yang khas dan unik yang hidup di daerah peralihan antara dua ekosistem yang berdampingan. Dalam kaitannya terhadap sosial ekonomi masyarakat pesisir, kawasan mangrove memegang peranan penting. Keterkaitan antara sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dengan manusia sebagai konsumen adalah sangat erat dengan sosial budayanya.

(31)

Kondisi sosial ekonomi secara umum dapat dikatakan memprihatinkan yang ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktifitas dan pendapatan. Sebagian penduduk bermata pencaharian di bidang perikanan, pertanian, jasa, dan perdagangan. Menurut Fahrudin (1996), ketertinggalan kelompok masyarakat pesisir dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain salah satunya adalah disebabkan oleh kurangnya proyek pembangunan yang menjangkau masyarakat pesisir, seperti terlihat terbatasnya prasarana maupun sarana pendidikan, kesehatan, jalan dan lain sebagainya.

Pada wilayah pesisir keadaan tersebut berakibat pada kurang berkembangnya kegiatan perekonomian dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Rumah tangga masyarakat pesisir pada umumnya memiliki prilaku ekonomi yang sama dengan masyarakat pedesaan lainnya, yaitu bertujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya (subsisten), sehingga pengambilan keputusan dalam usaha atau produksi sangat dipengaruhi oleh tujuan tersebut. Adanya introduksi atau inovasi teknologi pada masyarakat pesisir dapat mempengaruhi persepsi terhadap perubahan, resiko, maupun investasi dalam berusaha, sehingga perlu dicapai alternatif teknologi yang sesuai.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Partisipasi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalam pembangunan masyarakat. Secara umum, partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Patisipasi masyarakat (people participation) adalah suatu bentuk interaksi sosial yang menjadi perhatian dan bahan kajian ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai sebuah istilah, patisipasi mempunyai beberapa pengertian dan batasan.

(32)

17

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek.

Partisipasi lebih dari sekedar ikut melaksanakan program yang telah direncanakan, tetapi juga dalam merencanakan program, dan memutuskan alokasi sumberdaya dan keuntungan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat secara pribadi maupun kelompok didorong oleh keinginan untuk menyumbangkan tenaga atau sarana lainnya kepada lembaga yang mengatur kehidupan mereka. Lebih lanjut Wang (1981), membedakan partisipasi menjadi 3 jenis, yaitu: (a) partisipasi sukarela (voluntary parcipation) yaitu partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri, (b) partisipasi dengan dorongan (induced participation), yaitu partisipasi masyarakat setelah mereka memperoleh arahan dari pihak lain, dan (c) partisipasi dengan tekanan (force participation), yaitu partisipasi masyarakat yang dilakukan karena ada paksaan pihak lain.

Keseluruhan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal masyarakat. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha, dan kekosmopolitanan. Sedangkan faktor eksternal masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor diluar karakteristik individu, meliputi hubungan antara pengelola dengan petani penggarap, pelayanan pengelola dan penyuluhan (Pangesti, 1995).

Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Process/AHP)

(33)

kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana (Saaty, 1993).

Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analysis Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah (Saaty, 1993):

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.

2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

(34)

19

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1993).

Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993).

(35)

yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.

PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif. Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1993).

Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis.

Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1993) adalah: 1. identifikasi sistem

2. penyusunan struktur hierarki

3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison) 4. menghitung matriks pendapat individu

5. menghitung pendapat gabungan 6. pengolahan horisontal

7. pengolahan vertikal 8. revisi pendapat.

Analisis SWOT

(36)

21

memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats) (Salusu, 1996). Analisis SWOT merupakan suatu alat yang umum digunakan untuk menganalisis lingkungan internal dan eksternal dalam rangka mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi pengambilan keputusan.

Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996).

Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu:

(1)Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang.

(2)Strategi WO (Strategi kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada.

(3)Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman), menciptakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal.

(37)

KERANGKA PEMIKIRAN

Ekosistem mangrove merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan baik itu potensi fisik, sosial ekonomi maupun biologi. Untuk itu perlu dikelola secara berkelanjutan dalam rangka mempertahankan fungsi ekologis dan ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan. Berbagai tekanan yang terjadi terhadap ekosistem hutan mangrove baik tekanan eksternal dan internal masyarakat menyebabkan degradasi kawasan sehingga diperlukan suatu usaha pengelolaan yang baik dan berkelanjutan. Salah satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah penempatan komponen lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai kegiatan pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove yang telah dan akan dilakukan.

Ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan mengalami degradasi yang cukup tinggi akibat berbagai pemanfaatan seperti konversi lahan mangrove menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, perkebunan, dan pertanian serta pengambilan kayu (penebangan liar), menyebabkan perlunya pengelolaan kawasan mangrove tersebut. Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan upaya pengelolaan hutan mangrove adalah mengetahui kondisi dan potensi ekosistem mangrove percut saat ini baik itu aspek ekologi, sosial ekonomi masyarakat maupun kelembagaan.

Selain itu faktor keterlibatan/partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan juga sangat diperlukan demi keberhasilan pengelolaan, disamping perhatian pemerintah khususnya pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai faktor pelaksana pembangunan daerah dan pemegang kebijakan dalam mengakomodir kegiatan pengelolaan kawasan mangrove secara lestari dan partisipasi masyarakat sehingga mangrove tetap terjaga dan lestari.

Selanjutnya setelah mengetahui kondisi dan potensi ekosistem mangrove, maka dilakukan analisis untuk memberikan suatu rekomendasi arahan kebijakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove percut dengan melakukan pendekatan terhadap faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap ekosistem ini.

(38)

23

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Ekosistem Mangrove Sosial Ekonomi Biologi

Fisik

Pengelolaan Pemanfaatan

Permasalahan

Analisis Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Arahan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Potensi

(39)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Pada umumnya pemilihan obyek penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) sesuai dengan pertimbangan tujuan penelitian yaitu lokasi yang terdapat hutan mangrove dan diperlukan pengelolaan dan pelestarian lebih dini karena penurunan kualitasnya.

Lokasi pengamatan untuk data primer dilakukan di ekosistem mangrove dengan menggunakan transek kuadrat sebanyak 9 transek sepanjang garis pantai Kecamatan Percut Sei Tuan dengan jumlah plot disesuaikan dengan kondisi mangrove di masing-masing jalur ( Tabel 1). Penentuan transek secara sengaja pada tiga desa pantai dengan pertimbangan luasan, struktur, dan komposisi mangrove yang berbeda di tiap desa. Peletakan transek sebanyak 3 transek tiap desa dengan tujuan dapat mewakili tegakan mangrove.

Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Survey awal (penelitian pendahuluan), dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder pada lokasi penelitian dan mengetahui kondisi masyarakat sekitar lokasi penelitian. Kegiatan survey dilakukan pada bulan Juni s/d Juli 2006. 2. Pengumpulan data primer dan sekunder, berlangsung pada bulan Februari s/d

Mei 2007 yang terdiri dari pengumpulan data ekosistem mangrove (biofisik) dan wawancara masyarakat (karakteristik masyarakat), dan data sekunder lainnya.

3. Pengolahan dan analisis data serta penulisan laporan akhir (tesis) yang dilakukan pada bulan Mei s/d Juni 2007.

Tabel 1 Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian

Jalur Posisi Geografis

(40)

2

5

(41)

Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh

Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode observasi (pengamatan) langsung untuk mengumpulkan data potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan metode survey untuk sosial ekonomi masyarakat dimana informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data pokok (Singarimbun, 1995). Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui sampling, observasi, kuisioner dan wawancara terbuka/langsung (open-ended) secara mendalam di lokasi penelitian. Wawancara merupakan suatu alat pembantu utama dari metode observasi yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka (Koentjaraningrat, 1997).

Data primer yang diperlukan meliputi: potensi biofisik ekosistem mangrove dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, yang berpedoman pada daftar pertanyaan (questioner) yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun data primer yang dibutuhkan adalah:

- Biofisik wilayah meliputi: luas lahan mangrove, struktur dan komposis mangrove, aspek fisik kimia mangrove meliputi suhu, salinitas, pH dan jenis substrat (Tabel 2).

- Identitas reponden (umur, pendapatan, lama tinggal, tingkat pendidikan, pekerjaan), kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan mangrove bagi masyarakat serta aktivitas masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove.

Tabel 2 Alat dan Metode Pengukuran Parameter Lingkungan

No Parameter Lingkungan Unit Alat

1 Suhu oC Thermometer

2 Salinitas ‰ Refraktometer

3 pH - pH meter

5 Substrat % Saringan bertingkat

(42)

27

Nasional, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Kantor Kecamatan, Kantor Desa dan Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara meliputi :

- Data fisik wilayah meliputi, iklim, geologi tanah, topografi, penggunaan lahan/ status lahan,.

- Sosial dan ekonomi: tingkat pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk, tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat, sarana dan prasarana (perhubungan, listrik, telekomunikasi, pendidikan dan kesehatan).

- Kebijakan dan program-program pemerintah daerah yang berhubungan dengan pengelolaan hutan mangrove wilayah tersebut.

Penarikan Contoh

Pengumpulan sampel untuk data vegetasi terbagi atas jalur-jalur di sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian dan kondisi dilapangan (purposive sampling), dan dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Penentuan sampel untuk data biologi (vegetasi) digunakan metode transek kuadrat (garis berpetak), yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama (Ahmad, 1989).

Adapun tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan tegakan mangrove, jenis dan kenakeragaman jenis mangrove yang terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola yaitu: pengambilan data untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1.5m), pancang/anakan (pemudaan dengan tinggi > 1.5m sampai pohon muda yang berdiameter kecil dari 10 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20cm). Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masing-masing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon. Adapun arah pengamatan tegak lurus dari pinggir laut ke arah darat (Gambar 3).

(43)

pengamatan. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat (lumpur, lumpur bepasir, pasir berlumpur, lempung, dan pasir). Jenis-jenis fauna yang ditemukan di lokasi penelitian, baik terestial maupun akuatik dilakukan pencatatan.

Gambar 3 Skema Penempatan Petak Contoh A: Petak pengamatan semai (2 x 2 m) B: Petak pengamatan pacang (5 x 5 m) C: Petak pengamatan pohon (10 x 10 m)

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka penentuan responden untuk data sosial ekonomi menggunakan teknik Penarikan Contoh Sengaja (purpossive sampling method). Responden yang diwawancarai terdiri dari, Kepala Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Deli Serdang, Kepala Bappeda, Camat Kecamatan Percut Sei Tuan, aparatur pemerintah desa (Kepala Desa Percut, Tanjung Rejo dan Pematang Lalang), Organisaisi Masyarakat (Koperasi Mitra Bina Sejahtera, Gerakan Pemuda Pencinta Pesisir Percut, Kelompok Masyarakat Petambak), Yayasan Akasia Indonesia, Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara, dan masyarakat sekitar lokasi penelitian sebanyak 60 orang. Adapun responden masyarakat yang diamati adalah penduduk dewasa yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian yang terkait dengan hutan mangrove. Penduduk dewasa dalam hal ini dimaksudkan bahwa yang bersangkutan telah matang mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil tindakan, dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

A

B C

10 m B

A

C

(44)

29

Variabel Pengamatan

Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

1. Karakteristik individu yang disebut faktor internal meliputi: tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.

2. Faktor eksternal meliputi: pemahaman terhadap ekosistem mangrove, kelompok/lembaga dalam pemanfaatan mangrove, dan keterlibatan pemerintah dalam pelestarian mangrove.

3. Tingkat partisipasi masyarakat meliputi: keterlibatan dalam pengelolaan mangrove, mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan/pengawasan dan penanaman atas kehendak sendiri.

Deskripsi dari masing-masing variabel yang diamati adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden yang dinyatakan dengan tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi.

2. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang diperoleh dari berbagai sumber dan dinyatakan dalam Rp/bulan.

3. Keterlibatan pemerintah adalah frekuensi dan aktivitas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik penyuluhan, penanaman maupun pemeliharaan/pengawasan mangrove.

4. Kelompok adalah wadah yang ada yang berupaya untuk memberikan berbagai bentuk pelayanan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove.

5. Pemahaman adalah pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi hutan mangrove, undang-undang, fungsi dari hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan.

(45)

Analisis Data

Data Sosial Ekonomi

Prosedur yang pertama dalam analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh dari lapangan, dalam hal ini yang dilakukan antara lain memeriksa kelengkapan dalam pengisian kuisioner oleh responden, dilanjutkan memeriksa kesesuaian jawaban satu dengan jawaban lainnya, kemudian memeriksa relevansi jawaban dan terakhir menyeragamkan satuan data.

Data sosial ekonomi yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi dan dimasukkan dalam tabel, kemudian dideskripsi.

Data Fisik Wilayah

Data sekunder hasil pengumpulan dari pustaka-pustaka dan instansi terkait akan dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi.

Data Biologi

Data hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang diperoleh dilapangan, dianalisis untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan penjumlahan dari frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif. untuk ketiga komponen INP tersebut daat dihiitung dengan rumus sebagai berikut :

Frekuensi = Jumlah titik pengambilan contoh dimana spesies terdapat dibagi jumlah plot pada tiap transek.

FR = x100%

Kerapatan = Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh.

KR = x 100%

(46)

31

Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove (Kusmana, 1995).

Sedangkan untuk data fauna yang didapat dari hasil pengamatan dan pancatatan yang kemudian dianalisis deskriptif dengan tabulasi.

Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan

Dalam penentuan arahan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dilakukan dengan teknik gabungan AHP (analytical hierarchy process) dan SWOT, atau disebut A’WOT.

A’WOT merupakan suatu analisis yang mengintegrasikan strenght, weakness, opportunities dan threats (SWOT) ke dalam kerangka analytical hierarchy process (AHP). Analisis ini terbukti mampu dilakukan dalam merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain di Papua (Soselisa, 2006), Sulawesi Selatan (Saru, 2007), Kepulauan Seribu (Priyono, 2004), dan Kutai Timur (Wijaya, 2007) Analisis dilakukan dengan dua tahapan. Pertama, identifikasi faktor-faktor komponen SWOT dan merumuskan alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Kedua, melakukan AHP terhadap faktor-faktor komponen SWOT dan alternatif kegiatan pengelolaan untuk menentukan prioritas kegiatan.

Analisis SWOT

(47)

kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan (faktor internal dan eksternal) yang diperoleh dengan wawancara secara terbuka/langsung (open-ended) dan wawancara mendalam (in-depth interview).

Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh peneliti dalam bentuk bobot dan skor.

Berdasarkan Rangkuti (2004) langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah sebagai berikut:

Tahap pengumpulan data

Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan internal. Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman), sedangkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan (kekuatan dan kelemahan).

Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor strategi eksternal, dan (ii) matriks faktor strategi internal. Adapun matriks faktor strategi internal disusun dengan langkah-langkah:

- Pada kolom 1 disusun kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan. - Pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,0

(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor kekuatan dan kelemahan sama dengan 1,0.

(48)

33

- Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor tersebut.

- Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.

- Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4.

Tabel 3 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary)

Faktor-faktor

Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5

Matriks faktor strategi eksternal disusun dengan langkah-langkah: - Pada kolom 1 disusun peluang-peluang dan ancaman-ancaman.

- Selanjutnya pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor peluang dan ancaman, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor peluang dan ancaman sama dengan 1,0.

- Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating

untuk peluang bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 = sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk

(49)

- Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor tersebut.

- Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.

- Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternalnya.

Tabel 4 Analisis strategi faktor eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary)

Faktor-faktor

Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5 Setelah diperoleh matriks SWOT, selanjutnya disusun rangking semua strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut.

Tabel 5 Model Matriks SWOT Hasil Analisis SWOT IFAS

EFAS STRENGTH (S) WEAKNESSES (W)

(50)

35

ST1 WT1

ST2 WT2

ST3 WT3

.. ..

.. ..

THREATS (T)

STn WTn

Analytical Hierarchy Process (AHP)

Pada prinsipnya, analisis PHA pada penelitian ini digunakan untuk menentukan prioritas alternatif kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan untuk kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya mangrove percut. Dalam hal ini, alternatif ditentukan secara sengaja yang merupakan justifikasi peneliti yang didasarkan pada hasil wawancara dan pengamatan serta pengukuran langsung terhadap kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Adapun alternatif kegiatan pengelolaan adalah rehabilitasi, konservasi dan wisata.

Tujuan dari prioritas pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan yang lestari dan berkelanjutan (sustainable development) dibangun oleh beberapa kriteria, yang merupakan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan (ekologi) yang tercermin dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap ekosistem mangrove yang akan dikembangkan.

(51)

dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1993).

Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993).

Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.

Adapun proses/ prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut: Penyusunan hierarki

(52)

37

Penilaian kriteria dan alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Skala perbandingan secara berpasangan (Pairwise Comparison) menurut Saaty (1993).

Nilai Keterangan

1 Kedua faktor sama pentingnya.

3 Faktor yang satu sedikit lebih penting dari pada faktor yang lainnnya.

5 Faktor satu esensial atau lebih penting dari faktor yang lainnya. 7 Faktor yang satu jelas lebih penting dari faktor yang lainnya. 9 Faktor yang satu mutlak lebih penting dari faktor yang lainnya. 2,4,6,8 Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang

berdekatan. Menentukan prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dikakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan prioritas (peringkat relatif) dari seluruh kriteria dan alternatif.

Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.

Konsistensi logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

(53)

3

8

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Gambar 2  Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan sampel
Gambar 3 Skema Penempatan Petak Contoh
Gambar 4  Diagram Hierarki Analisis Arahan Pengelolaan Ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
+7

Referensi

Dokumen terkait

TIPE-TIPE KEPRIBADIAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN. KABUAPATEN

Dilakukanlah penelitian tentang Perilaku Berbiak Burung Kuntul Kerbau ( Bubulcus ibis L.) di Kawasan Mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan,

Dilakukanlah penelitian tentang Perilaku Berbiak Burung Kuntul Kerbau ( Bubulcus ibis L.) di Kawasan Mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan,

Kabupaten Deli Serdang menempatkan Kecamatan Percut Sei Tuan menjadi salah satu.. konsentrasi utama pengembangan

Gastropoda yang hidup pada ekosistem hutan mangrove hasil restorasi di Desa Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara terdapat 6 Family dan

Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Peneltian ini bertujuan untuk menduga kandungan karbon hutan mangrove hasil restorasi pada bekas lahan tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

RIZKA AMELIA: Potensi Karbon Hutan Mangrove Hasil Restorasi pada Lahan Bekas Tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, di bumbing