BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Kopi merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang sudah lama
dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis yang lumayan tinggi. Konsumsi kopi
dunia mencapai 70% berasal dari spesies kopi arabika dan 26% berasal dari
spesies kopi robusta. Kopi berasal dari Afrika, yaitu daerah pegunungan di
Etiopia. Namun, kopi sendiri baru dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman
tersebut dikembangkan di luar daerah asalnya, yaitu Yaman di bagian selatan
Arab, melalui para saudagar Arab (Rahardjo, 2012).
Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), klasifikasi botanis kopi mempunyai
sistematika sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Coffea
Spesies : Coffea sp.
Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang penting di Indonesia.
Sejarah perkopian di Indonesia mencatat bahwa pertama kali masuk ke Indonesia
sejak abad ke-18 kopi Arabika menjadi andalan ekspor utama Indonesia. Jenis
kopi Arabika tersebut menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, dengan nama
sesuai dengan daerah pengembangannya selain yang dikenal sebagai Kopi Jawa
diantaranya dikenal dengan nama Kopi Gayo, Kopi Sidikalang, dan Kopi Toraja
(Syamsulbahri, 1996).
Kopi adalah tanaman tropis, pada dasarnya ada sekitar 30 jenis spesies dari genus
ini dan sampai saat ini hanya tiga jenis kopi, yaitu Robusta, Arabika dan Liberika.
Tanaman kopi bisa mencapai 4-6 meter pada usia yang matang. Pada awal masa
berbuah, bunga akan tumbuh sekitar 6-7 bulan yang kemudian menjadi buah kopi.
Biji buah kopi hijau lama-kelamaan berubah menjadi merah dan siap untuk
dipetik. Kopi bisa tumbuh baik di beberapa belahan dunia di negara tropis seperti
di Asia Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika dan Indonesia. Di Indonesia,
tanaman kopi banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara sampai Papua
(Najiyati dan Danarti, 2004).
Kondisi tanah yang mencakup struktur, tekstur dan topografi tanah sangat
mempengaruhi kualitas pertumbuhan tanaman kopi. Tanaman kopi menurut
persyaratan tanah yang disatu pihak cukup berpori sehingga memungkinkan air
mengalir ke dalam tanah secara bebas, tetapi dilain pihak harus dapat menahan
cukup air. Tanaman kopi tidak cocok untuk ditanam di tanah liat yang terlalu lekat
karena menahan terlalu banyak air, sebaliknya tidak pula cocok untuk ditanam
ditanah berpasir karena terlalu berpori. Tanaman kopi memerlukan distribusi
yakni pada masa pembentukan primordial bunga, pemekaran bunga dan
penyerbukan (Retnadari dan Tjokrowinoto, 1991).
Tanaman kopi yang sudah cukup dewasa dan dipelihara dengan baik dapat
menghasilkan ribuan bunga. Bunga tersusun dalam kelompok, masing-masing
terdiri dari 4-6 kuntum bunga. Pada setiap ketiak daun dapat menghasilkan 2-3
kelompok bunga sehingga setiap ketiak daun dapat menghasilkan 8-18 kuntum
bunga atau setiap buku menghasilkan 16-36 kuntum bunga. Bila bunga sudah
dewasa, kelopak dan mahkota akan membuka sehingga terjadi penyerbukan.
Setelah itu bunga akan berkembang menjadi buah. Ciri-cirinya adalah mahkota
bunga tampak mengering dan berguguran. Kemudian kulit buah berwarna hijau
semakin membesar. Bila sudah tua, kulitnya menguning, lalu menjadi merah tua.
Waktu yang diperlukan sejak terbentuknya bunga hingga buah menjadi matang
sekitar 6-8 bulan untuk kopi Arabika (Najiyati dan Danarti, 2004).
Buah kopi pada umumnya mengandung 2 butir biji, tetapi kadang-kadang
mengandung hanya sebutir saja. Pada kemungkinan yang pertama biji-bijinya
mempunyai bidang datar (perut biji) dan bidang cembung (punggung biji). Pada
kemungkinan yang kedua biji kopi berbentuk bulat panjang (kopi jantan).
Komposisi kimia biji kopi berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah tempat
tumbuh dan pengolahan kopi (Ridwansyah, 2003).
Pemanenan buah kopi dilakukan secara manual dengan cara memetik buah yang
telah masak. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan warna kulit buah.
Kulit berwarna hijau tua ketika masih muda, berwarna kuning ketika setengah
setelah masak penuh terlampaui (over ripe). Maka, sortasi pada buah kopi ini
sangat penting, sebab perlakuan mulai dari penggilingan buah (pulping),
fermentasi, penjemuran dan penyosohan biji buah merah, kuning hijau
berbeda-beda. Apabila penggilingan kopi buah disatukan maka resikonya buah kopi hijau
hancur sampai ke biji-bijinya, kulit buah kuning masih tetap utuh sementara buah
merah hanya hancur kulit buahnya (Budiman, 2008).
Menurut Panggabean (2011) kualitas kopi yang baik hanya dapat diperoleh dari
buah yang telah masak dan melalui pengolahan yang tepat. Buah kopi yang baru
dipanen harus segera diolah. Pasalnya, buah kopi mudah rusak dan menyebabkan
Pertumbuhan ekspor dunia dan Indonesia sedang mengalami penurunan, tetapi
penurunan Indonesia lebih tinggi dibandingkan penurunan dunia. Pertumbuhan
negatif ekspor kopi Indonesia terjadi karena adanya kelemahan pada komposisi
produk, distribusi pasar, dan daya saing. Indonesia belum memanfaatkan jenis
produk dan negara pengimpor yang sedang tumbuh permintaannya, yaitu kopi
olahan. Dalam hal nilai tambah, industri kopi bubuk memberikan nilai tambah
tertinggi yang mencapai Rp. 318.9 miliar atau 43,5% dari total nilai tambah
seluruh industri pengolahan kopi, kemudian diikuti oleh industri kopi Arabika
pada urutan kedua dan industri kopi Robusta pada urutan ketiga masing-masing
dengan nilai tambah sebesar Rp. 226,7 miiliar dan Rp. 105 milliar
(Anggraini, 2006).
Dari hasil ekspor kopi, negara dapat memperoleh uang dalam jumlah besar,
sehingga dapat dipergunakan untuk membeli alat-alat dan bahan-bahan industri
yang belum bisa dibuat. Disamping itu tanaman kopi juga mempunyai fungsi
sosial, sebab dengan adanya perkebunan kopi tersebut, berarti memberi
kesempatan kerja bagi orang-orang yang terlibat didalamnya. Misalnya saja
terdapat perkebunan dengan luas 1000 ha. Kalau rata-rata tiap hektar diperlukan
satu pekerja, dan tiap pekerja memiliki istri dengan 2 atau 3 anak, berarti tiap satu
hektar perkebunan tersebut dapat memberi penghidupan 3 atau 4 orang
(Aak, 2009).
Menurut Panggabean (2011) pada perkembangan bisnis kopi dalam negeri pada
tahun 1980-an hingga 1990-an, petani kopi dalam negeri sempat khawatir dengan
1998 – 2008 harga kopi sudah lumayan stabil. Pada awal tahun 2010, harga kopi
Arabika grade 1 dipasaran lokal sebesar Rp. 34.000 hingga Rp. 45.000/kg,
sedangkan kopi Arabika dengan grade asalan atau cabutan Rp. 22.000 – Rp.
30.000/kg.
Selain itu terdapat kecenderungan masyarakat mengkonsumsi kopi baik di
Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk di luar Indonesia terutama di benua
Eropa dan Amerika masyarakat sangat menyukai cita rasa kopi Arabika. Rata-rata
peningkatan konsumsi kopi di Benua Asia sebesar 5-8% setiap tahun. Sementara
itu, di Benua Eropa dan Amerika naik melebihi 8% pertahun. Didalam negeri
sendiri permintaan kopi mencapai 140.000 ton pada tahun 2003. Dalam lima
tahun terakhir harga perdagangan kopi lokal di Indonesia rata-rata meningkat
15-30%. Bahkan untuk jenis kopi Arabika, harga jualnya pada tahun 2006-2007
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pendapatan
Menurut Soekartawi (1999), biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan petani
dalam proses produksi, dihitung dalam rupiah per satuan luas tanam (Ha).
Sedangkan pendapatan dapat dihitung dengan mengurangi nilai output total
(penerimaan) dengan nilai input (biaya). Singkatnya adalah selisih antara
penerimaan dan semua biaya. Persamaan ini dapat ditulis sebagai berikut:
Pd = TR – TC
Dimana:
Pd = pendapatan
TR = total penerimaan
TC = total biaya
Penerimaan diperoleh dengan perhitungan jumlah hasil produksi dikalikan dengan
harga atau:
TR= Q.P
Dimana:
TR = Total penerimaan
Q = Jumlah Hasil Produksi
Usahatani adalah usaha yang tidak terlepas dari biaya-biaya. Biaya dalam
usahatani dibedakan menjadi dua yakni biaya tetap (Fixed cost) dan biaya variabel
(Variable cost). Jumlah dari kedua biaya tersebut dikenal dengan biaya total
(Total Cost).
TC= TFC + TVC.
Dimana:
TC = Total Biaya
FC = Biaya Tetap
VC = Biaya Variabel
(Soekartawi, 1995)
Menurut Hermanto (1993), ada beberapa ukuran pendapatan petani yaitu:
a. Pendapatan kerja petani (operator labor income); diperoleh dengan
menghitung semua penerimaan yang berasal dari penjualan yang dikonsumsi
keluarga dan kenaikan nilai inventaris. Setelah itu dikurangi dengan semua
pengeluaran baik yang tunai maupun yang tidak diperhitungkan.
b. Penghasilan kerja petani (operator farm labor earning); diperoleh dari
menambah pendapatan kerja petani ditambah dengan penerimaan tidak tunai.
c. Pendapatan kerja keluarga (family farm labor earning); merupakan hasil balas
jasa dari petani dan anggota keluarga.
d. Pendapatan keluarga (family income); yaitu dengan menjumlahkan semua
Pendapatan bersih usahatani merupakan suatu tolak ukur untuk melihat
profitabilitas tahunan suatu usaha tani. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari
hasil pengurangan seluruh biaya secara rill yang dikeluarkan oleh petani terhadap
pendapatan kotornya. Beberapa faktor produksi seperti tenaga kerja keluarga,
modal sendiri, dan tanah milik sendiri tidak perlu dihitung jasanya
(Wahyudi, 2008).
Tujuan akhir usahatani keluarga adalah pendapatan keluarga petani (familiy farm
income) yang terdiri atas laba, upah tenaga kerja keluarga dan bunga modal sendiri. Pendapatan yang dimaksud adalah selisih antara nilai produksi dikurangi
dengan biaya yang betul-betul dikeluarkan oleh petani. Laba, upah tenga kerja,
dan bunga modal sendiri dianggap satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi
(Suratiyah, 2006).
2.2.2 Nilai Tambah (Value Added)
Pada proses distribusi komoditas pertanian terjadi arus yang mengalir dari hulu ke
hilir, yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Komoditas
pertanian mendapat perlakuan-perlakuan seperti pengolahan, pengawetan, dan
pemindahan untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah. Ada dua
cara untuk menghitung nilai tambah yaitu dengan cara menghitung nilai tambah
selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran
(Baroh, 2007).
Industri pengolahan hasil pertanian dapat menciptakan nilai tambah. Jadi konsep
nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input
dan nilai komoditas selama mengikuti arus komoditas pertanian (Hardjanto,
1993). Selanjutnya perlakuan-perlakuan serta jasa-jasa yang dapat menambah
kegunaan komoditi tersebut disebut dengan input fungsional. Input fungsional
dapat berupa proses mengubah bentuk (from utility), menyimpan (time utility), maupun melalui proses pemindahan tempat (place utility) dan kepemilikan.
Proses nilai tambah merujuk kepada aktivitas mengubah bahan mentah dan
produk setengah jadi yang memiliki nilai lebih tinggi. Proses menghasilkan nilai
tambah merupakan proses kompleks yang berjalan terus menerus dan hanya dapat
dikatakan berhasil jika berlakunya pemanfaatan mesin, kemahiran manusia, dan
bahan mentah sepenuhnya dapat dipadukan oleh teknologi sehingga menghasilkan
produk yang bernilai tinggi daripada nilai bahan mentah yang asli
(Rasli dan Sukri, 2005).
Aktivitas dikatakan bernilai tambah bila secara bersamaan memenuhi tiga kondisi
yaitu aktivitas yang menghasilkan perubahan, perubahan itu tidak dapat dicapai
oleh aktivitas sebelumnya, aktivitas itu memungkinkan aktivitas lainnya dapat
dilakukan. Dari pengertian tersebut dapat didefenisikan biaya bernilai tambah
adalah biaya untuk melakukan aktivitas bernilai tambah secara efisien
(Nafarin, 2007).
Proses pengolahan hasil pertanian memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan produk pertanian itu sendiri sehingga mampu memberikan
kontribusi nilai ekonomis yang tinggi. Dalam beberapa peranan pengolahan hasil
baik pengolahan hasil pertanian maupun penunjang dapat meningkatkan
meningkatkan devisa negara, dan mendorong tumbuhnya industri lain
(Soekartawi, 1999).
Perhitungan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan suatu produk
dapat menggunakan metode Hayami. Kelebihan dari analisis nilai tambah dengan
metode Hayami adalah :
1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output dan produktifitas.
2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi.
3. Prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat diterapkan untuk subsistem lain
diluar pengolahan, misalnya kegiatan pemasaran (Suprapto, 2006).
2.2.3 Pengolahan dan Pasca Panen
Pasca panen adalah cara penanganan hasil panen atau perlakuan khusus yang
diberikan terhadap hasil panen sehingga memiliki keunggulan dari bentuk
sebelumnya. Perlakuan pasca panen dapat berupa sortasi (pemilihan), pengolahan,
pengepakan dan penyimpanan (Panggabean, 2011).
Untuk mempermudah pasca panen kopi, dibutuhkan prasarana dan sarana yang
memadai sehingga diharapkan diperoleh hasil pasca panen yang bermutu tinggi.
Sarana pendukung dalam penanganan pasca panen kopi antara lain bangunan, alat,
mesin, wadah dan pembungkus (Natawidjaya, 2012).
Secara prinsip pengembangan dan pengolahan produk dilakukan untuk
memperbaiki penampilan produk, sehingga pembeli lama mau membeli lagi
produk dengan penampilan baru (bentuk, ukuran, gaya dan kemasan). Karena
Menurut Pearce dan Robinson (1997, dalam Yusuf 2007) yang menyatakan
bahwa pengembangan produk seringkali digunkan untuk memperpanjang daur
hidup produk yang sudah ada, atau untuk memanfaatkan reputasi ataupun merek
favorit. Pemikirannya adalah menarik pelanggan yang puas untuk membeli
produk baru sebagai akibat pengalaman positif mereka dengan produk
sebelumnya.
Pemahaman tentang komponen-komponen pengolahan memerlukan pemahaman
fungsi-fungsinya. Dari segi teknis, tiga tujuan pengolahan agroindustri adalah
merubah bahan baku menjadi mudah diangkut, diterima konsumen dan tahan
lama. Fungsi pengolahan harus pula dipahamai sebagai kegiatan strategis yang
menambah nilai dalam mata rantai produksi dan menciptakan keunggulan
kompetitif. Sasaran-sasaran ini dicapai dengan merancang dan mengoperasikan
kegiatan pengolahan yang hemat biaya atau dengan meragamkan produk
(Soekartawi, 2000).
Alternatif teknologi yang tersedia untuk pengolahan hasil-hasil pertanian
bervariasi mulai dari teknologi tradisional yang digunakan oleh industri kecil
(cottage industry) sampai kepada teknologi canggih yang biasanya digunakan oleh
industry besar. Dengan demikian alternative teknologi tersebut bervariasi dari
teknologi yang padat karya sampai teknologi yang padat modal (Said dkk, 2004).
2.3 Penelitian Terdahulu
Nailul Khairati (2011) meneliti dengan judul “Analisis Perbedaan Pendapatan
Penjualan Kopi Arabika dalam Bentuk Buah Panen (cherry red) dan Kopi Biji di
digunakan adalah metode analisis pendapatan, metode independent sample T-test
dan metode deskriptif dengan uji Kendall’s. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa pendapatan dalam bentuk kopi biji lebih besar dari pada dalam bentuk
gelondong merah. Terdapat perbedaan secara nyata volume jual dan biaya
produksi antara petani yang menjual kopi Arabika dalam bentuk gelondong merah
dan kopi biji akan tetapi untuk pendapatan tidak terdapat perbedaan secara nyata,
serta alasan yang membuat petani menjual dalam bentuk gelondong merah adalah
umur tanaman, jumlah permintaan, tenaga kerja, keadaan cuaca serta efisiensi
waktu.
Jandwi Sarah (2013) meneliti dengan judul “Analisis Perbandingan Pendapatan
Petani Jagung yang Menjual Biji Basah dengan Menjual Biji Kering di Desa
Tuppak Raja, Kecamatan Gunung Sitember, Kabupaten Dairi. Metode yang
digunakan adalah metode independent sample T-test dan metode Hayami. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan petani yang
menjual biji basah dengan petani yang menjual biji kering per petani, tetapi
terdapat perbedaan pendapatan petani yang menjual biji basah dengan menjual biji
kering per Ha. Ada nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan biji basah
menjadi biji kering. Alasan petani menjual biji basah adalah butuh pengembalian
uang yang cepat, jumlah hari hujan yang tidak menentu, upah tenga kerja pada
proses pengeringan, tidak tersediannya tempat penyimpanan biji jagung.
Sedangkan alasan petani menjual biji kering adalah harga jual yang lebih tinggi
2.4 Kerangka Pemikiran
Usahatani Kopi Ateng merupakan suatu kegiatan yang produktif bagi masyarakat
di daerah Kabupaten Simalungun. Dalam melakukan usahatani petani pasti
membutuhkan input produksi yang diperlukan untuk menghasilkan output
usahatani kopi. Output langsung dari usahatani Kopi Ateng berupa produksi Kopi
Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red). Petani dalam menjual hasil
produksinya dapat menggunakan alternatif bentuk penjualan Kopi Ateng sesuai
kebutuhan dan permintaan.
Penjualan kopi Ateng dapat berupa gelondong merah (cherry red) secara
langsung, atau dengan perlakuan pasca panen seperti kopi biji. Dalam penjualan
Kopi Ateng dalam bentuk kopi biji terdapat nilai tambah (value added) yang
diperoleh petani.
Kopi Ateng yang dijual dalam bentuk kopi biji memiliki nilai tambah (value
Secara sistematika kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :
Keterangan :
: Menyatakan Hubungan
Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran Usahatani
Kopi Ateng
Produksi
Penjualan
Kopi Biji Gelondong
Merah ( Cherryred)
Pendapatan Nilai Tambah
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada perbedaan pendapatan antara usahatani kopi Ateng yang dijual dalam
bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji.
2. Ada nilai tambah (value added) yang diperoleh petani yang menjual kopi