13
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Defenisi Perceraian
Perkawinan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia. Selanjutnya ia
juga hapus jika salah satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin dari hakim,
bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh
tahun lamanya, dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat
dihapuskan dengan perceraian.10
Mengenai putusnya perkawinan beserta akibatnya diatur oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didalam Bab VIII dengan judul
Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Pengaturan perceraian menurut
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 jo.
Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yang diberlakukan secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.11 Dalam Pasal 38
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa
perkawinan dapat putus jika disebabkan oleh :
1. Kematian;
2. Perceraian atau;
3. Putusan pengadilan.
10
Subekti, op.cit., hlm.42.
11
Jadi secara yuridis perceraian berarti putusnya perkawinan, yang
mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai suami istri.12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai putusnya
perkawinan karena kematian dan akibat hukumnya karena kematian merupakan
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Undang-Undang ini hanya menyinggung
mengenai putusnya perkawinan disebabkan karena kematian pada Pasal 38. Yang
dimaksud dengan perkawinan antara suami istri putus ialah “apabila perkawinan
tersebut berakhir”, dan berakhirnya perkawinan itu bisa karena perceraian,
demikian pula bisa karena kematian salah seorang suami atau isteri, atau karena
keputusan pengadilan.13
Putusnya perkawinan karena perceraian ini merupakan kehendak dari
manusianya sendiri, apakah dari pihak istri atau dari pihak suami yang
berkeinginan untuk melakukan perceraian. Dengan adanya perceraian, berarti
mereka tidak mengingat akan tujuan perkawinan itu pada mulanya atau apakah
memang perkawinan mereka itu dilakukan hanya sekedar untuk syarat saja untuk
memenuhi tujuan-tujuan tertentu lainnya yang mungkin terpuji atau mungkin juga
tidak terpuji. Kehendak manusia yang sekarang kadang-kadang berlainan dengan
yang akan datang, bahkan kadang-kadang bertentangan. Apalagi dengan pesatnya
perkembangan zaman, manusia semakin banyak kehendaknya dan semakin susah
menentukan pilihan, sehingga semakin susah pula menentukan apa yang lebih
baik baginya, bahkan terkadang hal yang dipilih itu sebenarnya bertentangan
12
Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, Sinar Gravika, Palembang , 2012, hlm.15
13
dengan hati nuraninya, karena sangat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
pertimbangan-pertimbangannya.
Keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat dengan mudah dicapai oleh
pasangan suami istri, sehingga kerap berakhir dengan perceraian. Perceraian
sering dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah di dalam
rumah tangga. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang.14 Oleh karena itu dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila
mempunyai alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.
Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan
menolaknya apabila ada gugatan atau tuntutan untuk bercerai tersebut.15
Dalam agama Islam, perceraian walau diperbolehkan, namun itu adalah
salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Hal tersebut memberikan isyarat
kepada kita, bahwa perceraian itu suatu hal yang diperbolehkan, dan hal tersebut
menjadi norma agama yang menjadi dasar atau patokan bagi manusia dalam
pembentukan hukum positif dalam hal perceraian. Dengan demikian tidak
mungkin manusia membentuk hukum yang berlawanan dengan norma agama,
misalnya norma agama memperbolehkan, maka norma hukum yang dibentuk oleh
manusia harus memperbolehkannya juga, bukan sebaliknya.
Oleh karena perceraian termasuk kaedah hukum yang berisikan kebolehan,
maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berani
mencantumkan pasal yang melarang perceraian dalam perkawinan. Paling tinggi
usaha yang telah dilakukan oleh Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun
14
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 12
15
1974 ialah Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian.16
Mengingat perkawinan adalah perjanjian dan kaedah hukum perceraian
berisikan kebolehan, maka terjadi atau tidak terjadinya perceraian itu sangat
tergantung dari kehendak suami atau istri. Dengan demikian menurut Pasal 16 dan
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 peranan pengadilan hanyalah
menyaksikan perceraian dan setelah itu membuat surat keterangan tentang
terjadinya perceraian.
B. Jenis-Jenis Perceraian
Perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan hanya mungkin dilakukan
apabila dipenuhi salah satu alasan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan harus
dilakukan di muka sidang Pengadilan. Alasan-alasan tersebut tercantum dalam
Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta
Peraturan Pelaksanaannya dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam perceraian,
yaitu Cerai Talak dan Cerai Gugat yang mana kedua-duanya harus memenuhi
salah satu alasan yang telah tersebut di atas.
1. Cerai Talak
Cerai Talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat dijatuhkannya
talak oleh seorang suami terhadap isterinya, dimuka sidang Pengadilan.17
16
Merupakan suatu tindakan suami secara sepihak untuk memutuskan atau
menghentikan perkawinan yang sedang berjalan. Cerai talak ini hanya khusus
untuk yang beragama Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang hendak menceraikan atau menalak
isterinya, hendaknya memberitahukan maksudnya atau mengajukan surat kepada
Pengadilan Agama ditempat dimana ia bertempat tinggal, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud untuk menceraikan isterinya disertai dengan
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan tersebut.”
2. Cerai Gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang terjadi akibat adanya gugatan salah satu
pihak kepada Pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Jika cerai talak hanya dapat dilakukan oleh
seorang suami yang melangsungkan pernikahan menurut agama Islam, maka
gugatan perceraian (Cerai Gugat) dapat dilakukan oleh seorang isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dan oleh seorang suami atau
istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama/kepercayaannya selain
agama Islam, sebagaimana dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
17
C. Alasan-Alasan Terjadinya Perceraian
Perceraian adalah suatu hal yang sangat tidak disenangi oleh pasangan
suami istri. Perceraian bagaikan pintu darurat di pesawat udara yang tidak perlu
digunakan kecuali dalam keadaan darurat demi untuk mengatasi suatu krisis.
Penggunaan cerai tanpa kendali akan merugikan bukan saja kedua belah pihak
tetapi terutama anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Banyaknya broken
home membawa akibat langsung timbulnya dan tambahnya problema anak-anak
nakal. Hingga kini angka perceraian masih tinggi, hal ini disebabkan karena
penggunaan hak cerai secara sewenang-wenang dengan dalil hak suami. Oleh
karena itu kepincangan masyarakat ini harus diperbaiki. Untuk itu
Undang-Undang menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. Itupun setelah
Pengadilan berusaha tapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.18
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang.19 Oleh karenanya dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila
mempunyai alasan-alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.
Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan
menolaknya apabila ada pemberitahuan atau gugatan atau tuntutan untuk bercerai
tersebut.
Mengenai alasan perceraian, Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan hanya
mengatakan, bahwa untuk bercerai harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
18
H. Arso Sasroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm.32-33
19
isteri itu tidak akan dapat saling hidup rukun sebagai suami isteri. Pasal tersebut
hanya menyebutkan harus adanya alasan untuk menuntut perceraian, tetapi tidak
menentukan lebih lanjut alasan-alasan apa yang ditentukan oleh Undang-Undang
yang dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian. Selanjutnya Penjelasan
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan alasan-alasan yang
dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian. Alasan-alasan yang secara limitif
ditentukan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
ditentukan kembali di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19,
dengan alasan-alasan sebagai berikut:20
1. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan. Alasan ini dapat digunakan untuk
mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat zina
berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan kesakralan
suatu perkawinan, termasuk perbuatan menjadi pemabuk, pemadat dan
penjudi, yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum
positif.
2. Salah satu pihak (suami/isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya. Hal ini terkait dengan
kewajiban memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila kemudian
salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu lama tanpa seijin
pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya
pemenuhan kewajibannya yang harus diberikan kepada pasangannya.
20
Sehingga bila pasangannya kemudian tidak rela, maka dapat mengajukan
alasan tersebut untuk menjadi dasar diajukannya gugatan perceraian di
pengadilan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman
yang lebih berat setelah pekawinan berlangsung. Hampir sama dengan poin
b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk
mengajukan gugatan perceraian. Sebab, jika salah satu pihak sedang
menjalani hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih, itu artinya yang
bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang
dapatmembahayakan pihak lain. Poin ini menitikberatkan pada keselamatan
individu/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap dipertahankan namun
akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika
perkawinan itu diputus dengan perceraian. Dalam hal ini harus benar-benar
bisa dibuktikan, mengenai tindakan atau ancaman yang membahayakan
keselamatan seseorang/salah satu pihak.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Tidak dapat
dipungkiri bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor-faktor, terutama
masalah kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri dikarenakan cacat badan
atau penyakit yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,
serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tidak
ada kehidupan rumah tangga yang rukun, tenteram dan nyaman, apabila
terjadi perselisihan secara terus-menerus. Apalagi, bila pertengkaran
tersebut tidak dapat terelakkan dan tidak dapat terselesaikan. Jika hal itu
berlangsung terus-menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang
lebih besar ke depan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan
perceraian kepada pengadilan.
Jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 39
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan
walaupun alasan-alasan tersebut dipenuhi apabila masih mungkin antara
suami-isteri itu untuk hidup rukun kembali maka perceraian tidak dapat dilakukan.21
Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan
peristiwa-peristiwa yang disebut dalam alasan-alasan perceraian di atas, baik
dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
maupun dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1975 karena dianggap sudah cukup jelas.
D. Akibat Hukum Perceraian
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena perceraian akan berakibat
sebagai berikut:
21
1. Mengenai Hubungan Suami Istri
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Meskipun hak dan kewajiban sebagai suami isteri menjadi hapus, namun
menurut Pasal 225 jo Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
pihak yang tidak mempunyai penghasilan yang cukup wajib diberikan
tunjangan nafkah sampai salah satu pihak meninggal.
b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban di antara suami isteri itu
sendiri. Tetapi ada hak dan kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan
seperti pada Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami isteri harus
hidup bersama dalam rumah yang tetap. Ketentuan tersebut tidak perlu
lagi dilakukan ketika mereka bercerai, karena tidak mungkin dua orang
yang sudah merasa tidak cocok kembali hidup bersama. Oleh karena itu
jika terjadi perceraian tidak ada kewajiban untuk hidup bersama lagi.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hal ini tidak diatur, tetapi
kita dapat melihat ketentuannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pada pasal 24 ayat (1) yang
menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya
yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Tujuannya untuk
mencegah agar tidak terjadi bahaya yang mungkin timbul apabila suami
2. Mengenai Kedudukan Anak
a. Kitab Undang-Undang Hukum perdata
Kekuasaan orang tua hapus dan beralih menjadi perwalian. Menurut
Pasal 229, “Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua
orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu.” Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai
pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230b “Hakim
dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain
untuk membiayai anak di bawah umur.”
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Pasal 41 antara lain:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberikan keputusan.
2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung
jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak
dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya tersebut.
3. Mengenai Harta Benda
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sejak terjadinya perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum
terjadi pencampuran harta kekayaan bulat tanpa mempermasalahkan
suami ataupun isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama
dalam keluarga selaku milik bersama dari suami isteri, kecuali sebelum
perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat
ketentuan bahwa dengan adanya perkawinan tidak akan terjadi
percampuran kekayaan sama sekali atau percampuran itu hanya terbatas
percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan. Jadi, jika
terjadi perceraian, maka menurut Pasal 128 “Harta kekayaan bulat dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka
masing-masing, tanpa mempedulikan asal-usul harta.” b. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 35 Undang-Undang tersebut, harta kekayaan dalam
perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Pasal 37 juga
menjelaskan bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Maksud dari hukumnya masing-masing adalah hukum agama maupun hukum adat.
Sedangkan mengenai harta bawaan yang diperoleh suami isteri sebagai
hadiah atau warisan tidak diatur secara jelas, hanya disebutkan dalam
Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.” Pasal ini tidak menjelaskan apakah ketentuan tersebut berlaku pada saat perkawinan masih berlangsung, atau tetap berlaku
dalam Pasal 36 ayat 2 disebutkan “mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta bendanya.”
E. Tata Cara Perceraian Dalam Undang-Undang Perkawinan
Perceraian memiliki tata cara yang diatur di dalam perUndang-Undangan
secara lengkap dan menyeluruh sehingga lebih menjamin adanya kepastian hukum
didalam melaksanakan perceraian. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14
sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Ada dua macam prosedur perceraian, yaitu cerai dengan cara talak dan cerai
dengan cara gugatan. Perceraian talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam
seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 yaitu “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada
pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan
agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan perceraian
talak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan
Agama bagi pasangan suami isteri yang beragama Islam.22
Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam Pasal 15 sampai dengan
Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:
1. Pengadilan mempelajari isi surat yang diajukan oleh suami dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari, memanggil pihak yang mengirim surat dan
22
juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan maksud perceraian;
2. Setelah mendapat penjelasan dan ternyata memang terdapat alasan-alasan
untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun kembali
dalam hidup berumah tangga, kemudian Pengadilan menyaksikan perceraian
yang dilakukan oleh suami dalam sidang;
3. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian, Ketua
Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian dan
mengirimkan Surat Keterangan itu kepada Pegawai Pencatat ditempat
terjadinya perceraian untuk diadakan pencatatan perceraian;
4. Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian tersebut dinyatakan di
depan sidang Pengadilan.
Jelas bahwa talak harus diselenggarakan di depan sidang Pengadilan,
dimana kedua pihak akan didengar dan dimintai penjelasan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan maksud perceraian. Meskipun terdapat alasan agar
perceraian dilaksanakan tetapi dapat dimungkinkan untuk berdamai dan dapat
hidup rukun kembali dalam berumah tangga, sehingga perceraian dapat tidak
dilakukan.
Perceraian dengan cara gugat hanya dapat dilakukan oleh isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama selain Islam.23
23
Tata cara perceraian dengan cara gugatan diatur dalam Pasal 20 sampai
dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut:
1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;
2. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian
dapat diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat;
3. Dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri maka gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat dan Ketua
Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada Tergugat melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat;
4. Apabila alasan perceraian tersebut karena salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, maka gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat
setelah lampau waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Tergugat meninggalkan
dan tidak mau lagi kembali ke rumah;
5. Apabila gugatan perceraian dengan alasan antara suami isteri terus menerus
terjadi perselisihan, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan
ditempat kediaman Tergugat. Gugatan dapat diterima oleh Pengadilan
setelah sebelumnya mendengar penjelasan dari pihak keluarga atau
orang-orang yangdekat dengan suami isteri mengenai sebab-sebab perselisihan itu;
6. Gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak mendapat hukuman
Penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan dengan
keterangan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
7. Dengan pertimbangan bahaya yang mungkin saja timbul, Pengadilan dapat
mengizinkan suami isteri tidak tinggal serumah selama gugatan perceraian
berlangsung;
8. Penggugat atau Tergugat dapat memohon kepada Pengadilan untuk:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang-barang-barang yang
menjadi hak isteri.
9. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal dunia
sebelum ada putusan Pengadilan;
10. Para pihak akan dipanggil secara resmi oleh juru sita untuk pemeriksaan
gugatan perceraian di Pengadilan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum
sidang dibuka;
11. Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka dilakukan
pemanggilan dengan menempelkan gugatan pada papan pengumuman atau
melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggat waktu 1 bulan
antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua.
12. Bila tempat kediaman Tergugat di luar negeri maka pemanggilan dilakukan
13. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak berkas diterima dan dalam hal Tergugat berdomisili di luar
negeri sidang ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak gugatan
dimasukkan ke Paniteraan Pengadilan;
14. Pada sidang pemeriksaan gugatan, baik isteri dan suami harus datang sendiri
atau dapat diwakili oleh kuasa hukumnya;
15. Sebelum perkara diputuskan, Hakim akan berusaha mendamaikan kedua
belah pihak;
16. Apabila usaha perdamaian berhasil maka Pengadilan membuat akte
perdamaian dan alasan yang diajukan untuk bercerai tidak dapat lagi
digunakan oleh Penggugat;
17. Bila tidak tercapai perdamaian maka sidang dilanjutkan dan dilakukan
dalam sidang tertutup;
18. Putusan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka dalam arti siapa saja
boleh mendengarkan dan putusan pengadilan didaftarkan dikantor
pencatatan oleh Pegawai Pencatat;
19. Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan berkewajiban selambatnya 30
(tigapuluh) hari mengirim satu helai salinan putusan perceraian kepada
Pegawai Pencatat untuk didaftar;
20. Bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah yang
berbeda denga wilayah tempat berlangsungnya perkawinan, maka satu helai
salinan putusan dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah dicatat pada
21. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan
disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian dalam
mengirimkan salinan putusan menjadi tanggung jawab Panitera;
22. Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memeberikan akta cerai sebagai
surat bukti kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung
setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
F. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua 1. Hak Anak
Adapun yang menyangkut hak dan kewajiban seorang anak diatur dalam
Bab III Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, dari Pasal 4
sampai dengan Pasal 19. Hak anak dalam UU tersebut meliputi :
Pasal 4 :
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 :
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
Pasal 6 :
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
Pasal 8 :
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9 :
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak
yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus.
Pasal 10 :
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
Pasal 12 :
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13 :
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Pasal 14 :
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15 :
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16 :
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Pasal 17 :
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 :
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
Pasal 19 :
Setiap anak berkewajiban untuk :
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
2. Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua
Kedudukan anak diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (vide Pasal 42
UUP).24 Sementara perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan
menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.25
Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling
sempurna didalam hukum dibandingkan dengan kelompok anak yang lain, karena
anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak
waris dalam peringkat yang paling tinggi, diantara golongan-golongan ahli waris
yang lain, hak sosial dimana ia akan mendaptkan status terhormat ditengah-tengah
24
C.S.T.Kansil, op.cit., hlm.129
25
lingkungan masyarakat dan hak alimentasi yaitu hak untuk mendapatkan
penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya.26
Akibat adanya perceraian seperti yang dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2
KUH Perdata “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau
memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dan
anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari
kedua orang tua yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika
kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua. Penetapan
itu berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak.
Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan
banding tidak boleh dimajukan.”
Sesuai dengan bunyi pasal di atas, maka dalam hal ini diserahkan kepada
hakim untuk menunjuk siapa yang akan menjadi wali, hanya saja dalam
penunjukan ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya
perihal kepentingan anak-anak tersebut, kepada siapa anak-anak ini lebih terjamin
kepentingan dan kehidupannya.27 Namun demikian pihak yang tidak ditunjuk
menjadi wali berhak mengajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang tepat.
Kekuasaan orang tua yang dimaksud terhadap diri anak-anak tersebut adalah
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak tersebut berupa
pendidikan dan pemeliharaannya.
Pemeliharaan terhadap anak dimaksudkan adalah upaya dari orang tua untuk
memenuhi memenuhi segala kebutuhan anak baik dari kebutuhan akan pendidikan
26
D.Y.Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Prestasi Putra Karya, Jakarta, 2012, hlm.37.
27
maupun kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani dan rohaninya, seperti
perhatian, kesehatan, kasih sayang, dan perkembangan si anak itu sendiri.
Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan
dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah
ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan atas
kehidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah tanggung jawab
ayahnya.28 Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat
ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Jika anak tersebut memilih ibunya, maka
si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, tetapi jika anak itu memilih ikut ke
ayahnya, maka hak mengasuh ikut berpindah kepada ayahnya.
Pendapat yang sama dengan pendapat Soemiyati tersebut, dikemukakan
oleh Hilman Hadikusuma, yang menjelaskan bahwa bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak
setelah putusnya perkawinan karena perceraian.29 Jika bapak dalam kenyataannya
tidak dapat melaksanakan kewajibannya membiayai kehidupan dan pendidikan si
anak, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung
jawab membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu.
28
Soemiyati, op.cit., hlm.30
29