• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN - Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN - Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

13

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Defenisi Perceraian

Perkawinan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia. Selanjutnya ia

juga hapus jika salah satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin dari hakim,

bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh

tahun lamanya, dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat

dihapuskan dengan perceraian.10

Mengenai putusnya perkawinan beserta akibatnya diatur oleh

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didalam Bab VIII dengan judul

Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Pengaturan perceraian menurut

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 jo.

Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

yang diberlakukan secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.11 Dalam Pasal 38

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa

perkawinan dapat putus jika disebabkan oleh :

1. Kematian;

2. Perceraian atau;

3. Putusan pengadilan.

10

Subekti, op.cit., hlm.42.

11

(2)

Jadi secara yuridis perceraian berarti putusnya perkawinan, yang

mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai suami istri.12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai putusnya

perkawinan karena kematian dan akibat hukumnya karena kematian merupakan

kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Undang-Undang ini hanya menyinggung

mengenai putusnya perkawinan disebabkan karena kematian pada Pasal 38. Yang

dimaksud dengan perkawinan antara suami istri putus ialah “apabila perkawinan

tersebut berakhir”, dan berakhirnya perkawinan itu bisa karena perceraian,

demikian pula bisa karena kematian salah seorang suami atau isteri, atau karena

keputusan pengadilan.13

Putusnya perkawinan karena perceraian ini merupakan kehendak dari

manusianya sendiri, apakah dari pihak istri atau dari pihak suami yang

berkeinginan untuk melakukan perceraian. Dengan adanya perceraian, berarti

mereka tidak mengingat akan tujuan perkawinan itu pada mulanya atau apakah

memang perkawinan mereka itu dilakukan hanya sekedar untuk syarat saja untuk

memenuhi tujuan-tujuan tertentu lainnya yang mungkin terpuji atau mungkin juga

tidak terpuji. Kehendak manusia yang sekarang kadang-kadang berlainan dengan

yang akan datang, bahkan kadang-kadang bertentangan. Apalagi dengan pesatnya

perkembangan zaman, manusia semakin banyak kehendaknya dan semakin susah

menentukan pilihan, sehingga semakin susah pula menentukan apa yang lebih

baik baginya, bahkan terkadang hal yang dipilih itu sebenarnya bertentangan

12

Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, Sinar Gravika, Palembang , 2012, hlm.15

13

(3)

dengan hati nuraninya, karena sangat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi

pertimbangan-pertimbangannya.

Keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat dengan mudah dicapai oleh

pasangan suami istri, sehingga kerap berakhir dengan perceraian. Perceraian

sering dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah di dalam

rumah tangga. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan

pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

Undang-Undang.14 Oleh karena itu dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila

mempunyai alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.

Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan

menolaknya apabila ada gugatan atau tuntutan untuk bercerai tersebut.15

Dalam agama Islam, perceraian walau diperbolehkan, namun itu adalah

salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Hal tersebut memberikan isyarat

kepada kita, bahwa perceraian itu suatu hal yang diperbolehkan, dan hal tersebut

menjadi norma agama yang menjadi dasar atau patokan bagi manusia dalam

pembentukan hukum positif dalam hal perceraian. Dengan demikian tidak

mungkin manusia membentuk hukum yang berlawanan dengan norma agama,

misalnya norma agama memperbolehkan, maka norma hukum yang dibentuk oleh

manusia harus memperbolehkannya juga, bukan sebaliknya.

Oleh karena perceraian termasuk kaedah hukum yang berisikan kebolehan,

maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berani

mencantumkan pasal yang melarang perceraian dalam perkawinan. Paling tinggi

usaha yang telah dilakukan oleh Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun

14

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 12

15

(4)

1974 ialah Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya

perceraian.16

Mengingat perkawinan adalah perjanjian dan kaedah hukum perceraian

berisikan kebolehan, maka terjadi atau tidak terjadinya perceraian itu sangat

tergantung dari kehendak suami atau istri. Dengan demikian menurut Pasal 16 dan

Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 peranan pengadilan hanyalah

menyaksikan perceraian dan setelah itu membuat surat keterangan tentang

terjadinya perceraian.

B. Jenis-Jenis Perceraian

Perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan hanya mungkin dilakukan

apabila dipenuhi salah satu alasan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan harus

dilakukan di muka sidang Pengadilan. Alasan-alasan tersebut tercantum dalam

Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta

Peraturan Pelaksanaannya dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam perceraian,

yaitu Cerai Talak dan Cerai Gugat yang mana kedua-duanya harus memenuhi

salah satu alasan yang telah tersebut di atas.

1. Cerai Talak

Cerai Talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat dijatuhkannya

talak oleh seorang suami terhadap isterinya, dimuka sidang Pengadilan.17

16

(5)

Merupakan suatu tindakan suami secara sepihak untuk memutuskan atau

menghentikan perkawinan yang sedang berjalan. Cerai talak ini hanya khusus

untuk yang beragama Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang hendak menceraikan atau menalak

isterinya, hendaknya memberitahukan maksudnya atau mengajukan surat kepada

Pengadilan Agama ditempat dimana ia bertempat tinggal, yang berisi

pemberitahuan bahwa ia bermaksud untuk menceraikan isterinya disertai dengan

alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk

keperluan tersebut.”

2. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang terjadi akibat adanya gugatan salah satu

pihak kepada Pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Jika cerai talak hanya dapat dilakukan oleh

seorang suami yang melangsungkan pernikahan menurut agama Islam, maka

gugatan perceraian (Cerai Gugat) dapat dilakukan oleh seorang isteri yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dan oleh seorang suami atau

istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama/kepercayaannya selain

agama Islam, sebagaimana dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 20 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

17

(6)

C. Alasan-Alasan Terjadinya Perceraian

Perceraian adalah suatu hal yang sangat tidak disenangi oleh pasangan

suami istri. Perceraian bagaikan pintu darurat di pesawat udara yang tidak perlu

digunakan kecuali dalam keadaan darurat demi untuk mengatasi suatu krisis.

Penggunaan cerai tanpa kendali akan merugikan bukan saja kedua belah pihak

tetapi terutama anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Banyaknya broken

home membawa akibat langsung timbulnya dan tambahnya problema anak-anak

nakal. Hingga kini angka perceraian masih tinggi, hal ini disebabkan karena

penggunaan hak cerai secara sewenang-wenang dengan dalil hak suami. Oleh

karena itu kepincangan masyarakat ini harus diperbaiki. Untuk itu

Undang-Undang menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada

alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. Itupun setelah

Pengadilan berusaha tapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.18

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan

pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

Undang-Undang.19 Oleh karenanya dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila

mempunyai alasan-alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.

Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan

menolaknya apabila ada pemberitahuan atau gugatan atau tuntutan untuk bercerai

tersebut.

Mengenai alasan perceraian, Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan hanya

mengatakan, bahwa untuk bercerai harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

18

H. Arso Sasroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm.32-33

19

(7)

isteri itu tidak akan dapat saling hidup rukun sebagai suami isteri. Pasal tersebut

hanya menyebutkan harus adanya alasan untuk menuntut perceraian, tetapi tidak

menentukan lebih lanjut alasan-alasan apa yang ditentukan oleh Undang-Undang

yang dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian. Selanjutnya Penjelasan

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan alasan-alasan yang

dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian. Alasan-alasan yang secara limitif

ditentukan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan

ditentukan kembali di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19,

dengan alasan-alasan sebagai berikut:20

1. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan. Alasan ini dapat digunakan untuk

mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat zina

berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan kesakralan

suatu perkawinan, termasuk perbuatan menjadi pemabuk, pemadat dan

penjudi, yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum

positif.

2. Salah satu pihak (suami/isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah

atau karena hal lain di luar kemampuannya. Hal ini terkait dengan

kewajiban memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila kemudian

salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu lama tanpa seijin

pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya

pemenuhan kewajibannya yang harus diberikan kepada pasangannya.

20

(8)

Sehingga bila pasangannya kemudian tidak rela, maka dapat mengajukan

alasan tersebut untuk menjadi dasar diajukannya gugatan perceraian di

pengadilan.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman

yang lebih berat setelah pekawinan berlangsung. Hampir sama dengan poin

b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk

mengajukan gugatan perceraian. Sebab, jika salah satu pihak sedang

menjalani hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih, itu artinya yang

bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang

dapatmembahayakan pihak lain. Poin ini menitikberatkan pada keselamatan

individu/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap dipertahankan namun

akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika

perkawinan itu diputus dengan perceraian. Dalam hal ini harus benar-benar

bisa dibuktikan, mengenai tindakan atau ancaman yang membahayakan

keselamatan seseorang/salah satu pihak.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Tidak dapat

dipungkiri bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor-faktor, terutama

masalah kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri dikarenakan cacat badan

atau penyakit yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai

(9)

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,

serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tidak

ada kehidupan rumah tangga yang rukun, tenteram dan nyaman, apabila

terjadi perselisihan secara terus-menerus. Apalagi, bila pertengkaran

tersebut tidak dapat terelakkan dan tidak dapat terselesaikan. Jika hal itu

berlangsung terus-menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang

lebih besar ke depan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan

perceraian kepada pengadilan.

Jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 39

ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan

walaupun alasan-alasan tersebut dipenuhi apabila masih mungkin antara

suami-isteri itu untuk hidup rukun kembali maka perceraian tidak dapat dilakukan.21

Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan

peristiwa-peristiwa yang disebut dalam alasan-alasan perceraian di atas, baik

dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

maupun dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor

9 tahun 1975 karena dianggap sudah cukup jelas.

D. Akibat Hukum Perceraian

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena perceraian akan berakibat

sebagai berikut:

21

(10)

1. Mengenai Hubungan Suami Istri

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Meskipun hak dan kewajiban sebagai suami isteri menjadi hapus, namun

menurut Pasal 225 jo Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

pihak yang tidak mempunyai penghasilan yang cukup wajib diberikan

tunjangan nafkah sampai salah satu pihak meninggal.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban di antara suami isteri itu

sendiri. Tetapi ada hak dan kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan

seperti pada Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami isteri harus

hidup bersama dalam rumah yang tetap. Ketentuan tersebut tidak perlu

lagi dilakukan ketika mereka bercerai, karena tidak mungkin dua orang

yang sudah merasa tidak cocok kembali hidup bersama. Oleh karena itu

jika terjadi perceraian tidak ada kewajiban untuk hidup bersama lagi.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hal ini tidak diatur, tetapi

kita dapat melihat ketentuannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pada pasal 24 ayat (1) yang

menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas

permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya

yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri

tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Tujuannya untuk

mencegah agar tidak terjadi bahaya yang mungkin timbul apabila suami

(11)

2. Mengenai Kedudukan Anak

a. Kitab Undang-Undang Hukum perdata

Kekuasaan orang tua hapus dan beralih menjadi perwalian. Menurut

Pasal 229, “Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua

orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu.” Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai

pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230b “Hakim

dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain

untuk membiayai anak di bawah umur.”

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Menurut Pasal 41 antara lain:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak,

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,

Pengadilan memberikan keputusan.

2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung

jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak

dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya tersebut.

3. Mengenai Harta Benda

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Sejak terjadinya perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum

terjadi pencampuran harta kekayaan bulat tanpa mempermasalahkan

(12)

suami ataupun isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama

dalam keluarga selaku milik bersama dari suami isteri, kecuali sebelum

perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat

ketentuan bahwa dengan adanya perkawinan tidak akan terjadi

percampuran kekayaan sama sekali atau percampuran itu hanya terbatas

percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan. Jadi, jika

terjadi perceraian, maka menurut Pasal 128 “Harta kekayaan bulat dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka

masing-masing, tanpa mempedulikan asal-usul harta.” b. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Pasal 35 Undang-Undang tersebut, harta kekayaan dalam

perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Pasal 37 juga

menjelaskan bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian maka harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Maksud dari hukumnya masing-masing adalah hukum agama maupun hukum adat.

Sedangkan mengenai harta bawaan yang diperoleh suami isteri sebagai

hadiah atau warisan tidak diatur secara jelas, hanya disebutkan dalam

Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

bahwa “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah

dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.” Pasal ini tidak menjelaskan apakah ketentuan tersebut berlaku pada saat perkawinan masih berlangsung, atau tetap berlaku

(13)

dalam Pasal 36 ayat 2 disebutkan “mengenai harta bawaan

masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta bendanya.”

E. Tata Cara Perceraian Dalam Undang-Undang Perkawinan

Perceraian memiliki tata cara yang diatur di dalam perUndang-Undangan

secara lengkap dan menyeluruh sehingga lebih menjamin adanya kepastian hukum

didalam melaksanakan perceraian. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14

sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Ada dua macam prosedur perceraian, yaitu cerai dengan cara talak dan cerai

dengan cara gugatan. Perceraian talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam

seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 yaitu “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada

pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud

menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan

agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan perceraian

talak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan

Agama bagi pasangan suami isteri yang beragama Islam.22

Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam Pasal 15 sampai dengan

Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:

1. Pengadilan mempelajari isi surat yang diajukan oleh suami dan dalam waktu

selambat-lambatnya 30 hari, memanggil pihak yang mengirim surat dan

22

(14)

juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan maksud perceraian;

2. Setelah mendapat penjelasan dan ternyata memang terdapat alasan-alasan

untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang

bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun kembali

dalam hidup berumah tangga, kemudian Pengadilan menyaksikan perceraian

yang dilakukan oleh suami dalam sidang;

3. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian, Ketua

Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian dan

mengirimkan Surat Keterangan itu kepada Pegawai Pencatat ditempat

terjadinya perceraian untuk diadakan pencatatan perceraian;

4. Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian tersebut dinyatakan di

depan sidang Pengadilan.

Jelas bahwa talak harus diselenggarakan di depan sidang Pengadilan,

dimana kedua pihak akan didengar dan dimintai penjelasan mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan maksud perceraian. Meskipun terdapat alasan agar

perceraian dilaksanakan tetapi dapat dimungkinkan untuk berdamai dan dapat

hidup rukun kembali dalam berumah tangga, sehingga perceraian dapat tidak

dilakukan.

Perceraian dengan cara gugat hanya dapat dilakukan oleh isteri yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau isteri yang

melangsungkan perkawinan menurut agama selain Islam.23

23

(15)

Tata cara perceraian dengan cara gugatan diatur dalam Pasal 20 sampai

dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut:

1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;

2. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau

tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian

dapat diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat;

3. Dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri maka gugatan perceraian

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat dan Ketua

Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada Tergugat melalui

Perwakilan Republik Indonesia setempat;

4. Apabila alasan perceraian tersebut karena salah satu pihak meninggalkan

pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa

alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, maka gugatan

perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat

setelah lampau waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Tergugat meninggalkan

dan tidak mau lagi kembali ke rumah;

5. Apabila gugatan perceraian dengan alasan antara suami isteri terus menerus

terjadi perselisihan, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan

ditempat kediaman Tergugat. Gugatan dapat diterima oleh Pengadilan

setelah sebelumnya mendengar penjelasan dari pihak keluarga atau

orang-orang yangdekat dengan suami isteri mengenai sebab-sebab perselisihan itu;

6. Gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak mendapat hukuman

(16)

Penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan dengan

keterangan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

7. Dengan pertimbangan bahaya yang mungkin saja timbul, Pengadilan dapat

mengizinkan suami isteri tidak tinggal serumah selama gugatan perceraian

berlangsung;

8. Penggugat atau Tergugat dapat memohon kepada Pengadilan untuk:

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami;

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan

pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya

barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang-barang-barang yang

menjadi hak isteri.

9. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal dunia

sebelum ada putusan Pengadilan;

10. Para pihak akan dipanggil secara resmi oleh juru sita untuk pemeriksaan

gugatan perceraian di Pengadilan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum

sidang dibuka;

11. Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka dilakukan

pemanggilan dengan menempelkan gugatan pada papan pengumuman atau

melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggat waktu 1 bulan

antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua.

12. Bila tempat kediaman Tergugat di luar negeri maka pemanggilan dilakukan

(17)

13. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari sejak berkas diterima dan dalam hal Tergugat berdomisili di luar

negeri sidang ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak gugatan

dimasukkan ke Paniteraan Pengadilan;

14. Pada sidang pemeriksaan gugatan, baik isteri dan suami harus datang sendiri

atau dapat diwakili oleh kuasa hukumnya;

15. Sebelum perkara diputuskan, Hakim akan berusaha mendamaikan kedua

belah pihak;

16. Apabila usaha perdamaian berhasil maka Pengadilan membuat akte

perdamaian dan alasan yang diajukan untuk bercerai tidak dapat lagi

digunakan oleh Penggugat;

17. Bila tidak tercapai perdamaian maka sidang dilanjutkan dan dilakukan

dalam sidang tertutup;

18. Putusan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka dalam arti siapa saja

boleh mendengarkan dan putusan pengadilan didaftarkan dikantor

pencatatan oleh Pegawai Pencatat;

19. Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan berkewajiban selambatnya 30

(tigapuluh) hari mengirim satu helai salinan putusan perceraian kepada

Pegawai Pencatat untuk didaftar;

20. Bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah yang

berbeda denga wilayah tempat berlangsungnya perkawinan, maka satu helai

salinan putusan dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat

perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah dicatat pada

(18)

21. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan

disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian dalam

mengirimkan salinan putusan menjadi tanggung jawab Panitera;

22. Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memeberikan akta cerai sebagai

surat bukti kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung

setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

F. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua 1. Hak Anak

Adapun yang menyangkut hak dan kewajiban seorang anak diatur dalam

Bab III Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, dari Pasal 4

sampai dengan Pasal 19. Hak anak dalam UU tersebut meliputi :

Pasal 4 :

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi

secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5 :

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan.

Pasal 6 :

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi

sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

(19)

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh

kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak

diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai

dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Pasal 8 :

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai

dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9 :

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak

yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,

sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan

pendidikan khusus.

Pasal 10 :

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,

dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi

pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai

(20)

Pasal 12 :

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan

sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13 :

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana

pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari

perlakuan :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman.

Pasal 14 :

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan

dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15 :

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

(21)

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;

e. Pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16 :

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan

apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir.

Pasal 17 :

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya

dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak

yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18 :

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan

(22)

Pasal 19 :

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

2. Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua

Kedudukan anak diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (vide Pasal 42

UUP).24 Sementara perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan

menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.25

Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling

sempurna didalam hukum dibandingkan dengan kelompok anak yang lain, karena

anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak

waris dalam peringkat yang paling tinggi, diantara golongan-golongan ahli waris

yang lain, hak sosial dimana ia akan mendaptkan status terhormat ditengah-tengah

24

C.S.T.Kansil, op.cit., hlm.129

25

(23)

lingkungan masyarakat dan hak alimentasi yaitu hak untuk mendapatkan

penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya.26

Akibat adanya perceraian seperti yang dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2

KUH Perdata “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau

memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dan

anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari

kedua orang tua yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika

kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua. Penetapan

itu berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak.

Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan

banding tidak boleh dimajukan.”

Sesuai dengan bunyi pasal di atas, maka dalam hal ini diserahkan kepada

hakim untuk menunjuk siapa yang akan menjadi wali, hanya saja dalam

penunjukan ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya

perihal kepentingan anak-anak tersebut, kepada siapa anak-anak ini lebih terjamin

kepentingan dan kehidupannya.27 Namun demikian pihak yang tidak ditunjuk

menjadi wali berhak mengajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang tepat.

Kekuasaan orang tua yang dimaksud terhadap diri anak-anak tersebut adalah

untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak tersebut berupa

pendidikan dan pemeliharaannya.

Pemeliharaan terhadap anak dimaksudkan adalah upaya dari orang tua untuk

memenuhi memenuhi segala kebutuhan anak baik dari kebutuhan akan pendidikan

26

D.Y.Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Prestasi Putra Karya, Jakarta, 2012, hlm.37.

27

(24)

maupun kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani dan rohaninya, seperti

perhatian, kesehatan, kasih sayang, dan perkembangan si anak itu sendiri.

Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan

dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah

ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan atas

kehidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah tanggung jawab

ayahnya.28 Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat

ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Jika anak tersebut memilih ibunya, maka

si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, tetapi jika anak itu memilih ikut ke

ayahnya, maka hak mengasuh ikut berpindah kepada ayahnya.

Pendapat yang sama dengan pendapat Soemiyati tersebut, dikemukakan

oleh Hilman Hadikusuma, yang menjelaskan bahwa bapak yang bertanggung

jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak

setelah putusnya perkawinan karena perceraian.29 Jika bapak dalam kenyataannya

tidak dapat melaksanakan kewajibannya membiayai kehidupan dan pendidikan si

anak, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung

jawab membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu.

28

Soemiyati, op.cit., hlm.30

29

Referensi

Dokumen terkait

HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SRAGEN).. Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pertimbangan hakim dalam menentukan pelimpahan hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian adalah hakim melihat dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pertimbangan hakim dalam menentukan pelimpahan hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian adalah hakim melihat dan

tidak terjadi perceraian dan anak hasil perkawinan tersebut dapat merasakan. cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh kedua

Dari uraian diatas penulis hendak memberikan beberapa sumbangsih saran atas permasalahan pelaksanaan putusan sengketa hak asuh anak akibat perceraian adalah sebagai

yang semula bahagia, dengan murtadnya salah satu pihak yaitu suami atau isteri menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga dan berakhir dengan perceraian. Perselisihan antara

Tugas akhir yang akan penulis buat ini akan diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Program Studi Ilmu Hukum sebagai syarat untuk memperoleh

Dari pengertian diatas, dapatlah di pahami bahwa talak mempunyai arti, putusnya ikatan perkawinan atau dengan kata lain perceraian antara suami isteri baik itu timbulnya dari pihak