• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian menurut undang-undang no.23 th.2002 tentang perlindungan anak : ( analisis putusan perkara mahkamah agung no.349 K/AG/2006 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian menurut undang-undang no.23 th.2002 tentang perlindungan anak : ( analisis putusan perkara mahkamah agung no.349 K/AG/2006 )"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

( Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 )

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

Oleh: Diana Yulita Sari

106043201329

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua Sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika Suatu saat terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 September 2010

(3)

ii

KATA PENGANTAR











Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi ini. Semoga rahmat dan

karunianya menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa

sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW dan para

pengikutnya yang selalu istiqomah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Dengan selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta

dukungan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa

terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA selaku Ketua Jurusan Perbandingan

Mazhab dan Hukum.

3. Bapak DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan

(4)

iii

4. Bapak Nahrowi, SH., MH., dan Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni M.Ag selaku

pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, serta

memotivasi penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tak kenal lelah mentranformasi ilmunya disetiap

saat.

6. Bapak Muh. Muslih, S.HI., M.H., dan Drs. Afdal Zikri, SH., MH., selaku

pengacara yang telah memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan

oleh penulis.

7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah maupun Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya bagi

penulis.

8. Ayahanda tercinta Yusrizal (alm) dan Ibunda Rusmiyati, beliaulah yang

membesarkan, mendidik, memberikan semangat, memberikan kasih sayangnya

serta doa’anya agar penulis dapat cepat selesai dalam menyusun skripsi.

9. Kepada abang-abangku yang selalu memotivasi dan membantu penulis dalam segi

materi dan non materi.

10.Kepada teman-teman seperjuangan Perbandingan Hukum Angkatan 2006 yang

telah memberikan warna hidup dan selalu kompak selama menempuh perkuliahan

(5)

iv

11.Kepada teman-teman KKS Naringgul yang selam 1 bulan penuh selalu

bersama-sama dalam suka dan duka, yang tanpa hentinya memberikan yang terbaik untuk

Naringgul.

12.Kepada seluruh pihak yang tidak tertulis, penulis mengucapkan mohon maaf yang

sebesar-besarnya dan terima kasih atas segala bantuannya.

Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan dan

kekeliruan yang tidak disengaja, oleh karena itu penulis meminta maaf yang

sebesar-besarnya.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya yang diterima penulis akan

mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amien

Jakarta, 22 September 2010

(6)

v DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Permasalahan 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

D. Metode Penelitian 9

E. Review Studi Terdahulu 11

F. Sistematika Penulisan 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian 15

B. Macam-macam Perceraian 21

C. Akibat Hukumnya 28

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASUH ANAK (HADHANAH) A. Pengertian Hadhanah 35

1. Menurut Hukum Islam 35

(7)

vi

B. Dasar Hukum Hadhanah 50

C. Syarat-Syarat hadhanah 52

D. Pihak-Pihak Yang Berhak Atas Hadhanah 54

E. Masa Hadhanah 56

BAB VI ANALISIS PUTUSAN PERKARA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 349 K/AG/2006 TENTANG HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR A. Posisi Kasus dalam Persidangan 58

B. Proses Putusan Hakim 61

1. Proses Pemeriksaan 61

2. Pertimbangan Majelis Hakim 69

3. Putusan Majelis Hakim 71

C. Analisis Putusan hakim tentang hak asuh anak 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 77

B. Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 82

(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.1 Undang-Undang tidak membolehkan

perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan

yang sah. Perceraian mempunyai akibat terhadap anak yang masih di bawah umur,

yakni kekuasaan orang tua dapat berubah menjadi perwalian. Karena itu jika

perkawinan diputuskan oleh hakim maka harus diatur pula tentang perwalian terhadap

anak yang masih di bawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah

mendengar keluarga dari pihak ayah maupun pihak ibu yang erat hubungannya

dengan anak tersebut.

Generasi muda atau anak-anak merupakan generasi penerus dan pengganti

orang tua sekaligus generasi harapan bangsa. Jika orang tua dapat mendidik

anak-anak tersebut dengan baik, maka anak-anak tersebut dapat diharapkan menjadi penerus

bangsa. Orang tua baik secara jasmani maupun rohani bertanggung jawab mendidik

dan memelihara anak sampai tumbuh menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti

kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkemampuan

untuk meneruskan cita-cita berdasarkan Pancasila.

1

(9)

2

Suatu perceraian dapat terjadi dikarenakan kehidupan rumah tangga tidak

harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk rukun dan damai

lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah

usaha dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki kehidupan

perkawinannya, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hanya dengan

dilakukan perceraian antara suami dan istri.2

Putusnya suatu perkawinan akibat perceraian sebisa mungkin hanya sebagai

pintu darurat yang dilakukan, jika saja perceraian menjadi jalan terakhir maka

sepatutnya proses-proses perdamaian telah dilakukan baik oleh inisiatif pasangan

tersebut maupun oleh usaha keluarga yang disebut “hakamain” atau juru damai

maupun yang selalu diupayakan oleh hakim di Pengadilan sebelum bersidang,

hendaklah upaya damai tersebut menjadi pertimbangan yang memang harus diresapi

oleh pihak yang ingin bercerai.

Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut pasal 1

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya akan disebut UU Perkawinan)

yang menyatakan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhananYang Maha Esa.3

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang

terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk

2

Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet.2, h. 30.

3

(10)

3

kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman

bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara

suami-istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus

seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut

kehendak pihak-pihak. Selain itu tujuan Perkawinan adalah untuk menghasilkan

keturunan yang baik guna meneruskan perjuangan keluarga dan mengharumkan.4

Dalam pandangan Islam, tujuan dari perkawinan antara lain adalah agar suami

istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir dan batin dan saling cinta

mencintai dalam satu rumah tangga yang bahagia. Disamping itu, diharapkan pula

kehidupan rumah tangga dapat berlangsung kekal, oleh karena itu, Islam telah

memberi petunjuk atau jalan yang harus ditempuh bila sewaktu-waktu terjadi

perselisihan dalam rumah tangga.5

Akan tetapi pada kenyataannya berdasarkan pengamatan, tujuan dari

perkawinan itu banyak yang tidak tercapai secara utuh. Hal yang baru tercapai

mengenai pembentukan rumah tangga, sedangkan bahagia dan kekal belum tercapai

karena banyak perceraian.

Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai Negara yang

berdasarkan Pancasila di mana sila pertama adalah keTuhanan Yang Maha Esa, maka

perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama, bukan hanya

unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan

4

Abdurahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rinek Cipta,1992), Cet. Ke-1 h. 4.

5

(11)

4

penting.6 Dengan terjadinya perceraian maka akan berakibat bahwa kekusaan orang

tua berakhir dan berubah menjadi hak asuh. Oleh karena itu jika perkawinan diputus

oleh hakim maka perlu diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih di

bawah umur.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(selanjutnya akan disebut UU Perlindungan Anak) hanya mengatur kuasa asuh dan

hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tua menelantarkan anak-anak atau

tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak.

Dalam UU Perkawinan pasal 41, disebutkan mengenai hal-hal yang harus

dilakukan pihak istri maupun pihak suami setelah perceraian sebagai berikut:

1. Baik ibu maupun bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusan.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak, bilamana dalam kenyatannya bapak tidak dapat

memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut

memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.7

6

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1996), Cet. Ke-2, h. 2-3.

7

(12)

5

Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan bahwa

jika suami-istri telah bercerai, maka kewajiban untuk mengasuh dan merawat

anak-anak tetap menjadi kewajiban mereka, dengan kata lain bukan hanya merupakan

kewajiban dari suami saja atau istri saja.

Majelis hakim bebas untuk menetapan ayah atau ibu yang berhak memelihara

anak tersebut, tergantung dari siapa yang paling cakap atau yang paling baik

mengingat kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi sering kali pertikaian masih sering

berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan salah satu pihak

merasa tidak puas terhadap putusan tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menyatakan bahwa pemeliharaan

anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, akan

tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan belum sesuai dengan aturan tersebut karena

masih ada sebagian ibu yang merasa berhak untuk mengasuh anak-anaknya namun

hak tersebut jatuh kepada sang ayah sesuai dengan putusan majelis hakim. Berkaitan

dengan apa yang akan penulis kemukakan dalam skripsi ini terhadap perkara di

Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor Perkara 349 K/AG/2006 pada kasus Tamara

Bleszinski dan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan

pengasuhan Rassya Isslamay Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya (Teuku Rafly

Pasya).

Seorang hakim memutuskan bahwa sang ayah yang berhak mendapatkan hak

asuh anak tersebut walaupun usia si anak masih belum mumayyiz atau di bawah

(13)

6

kedudukan untuk mengasuh anak tersebut tergantung kepada hakim yang

memutuskan perkara tersebut.

Sedangkan istilah fikih pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian disebut

Hadhanah. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil

setelah terjadinya perceraian. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis

antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan

bantuan dari ayah dan ibunya.8

Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa terdapat perbedaan antara

tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dan tanggung jawab yang bersifat

pengasuhan. Tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dalam konsep Islam

merupakan kewajiban ayah, sedangkan tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat

pengasuhan adalah tanggung jawab ibu. Dalam berbagai literatur fikih yang paling

berhak atas pengasuhan anak diberikan kepada ibu selama anak tersebut belum

mumayyiz. Dan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak tersebut disuruh

memilih kepada siapa di antara ayah dan ibunya.

Yang ingin penulis analisis adalah mengapa seorang hakim memberikan hak

asuh kepada ayah, karena sangat bertolak belakang pada Kompilasi Hukum Islam

pasal 105 yang isinya jelas mengatur tentang hak asuh anak di bawah umur diberikan

kepada ibu. Dan apa alasan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh

anak tersebut, serta apakah hakim dalam memutuskan perkara sudah memperhatikan

8

(14)

7

ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik dengan

problematika kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam

sebuah karya ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat

Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak” (Studi Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006).

B. Pembatasan dan Perumusan Permasalahan

Untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman dan memperoleh gambaran

yang lebih jelas dari tulisan ini, serta mengingat akan meluasnya permasalahan ini.

Maka penulis membuat rumusan masalah dengan menitik beratkan pada hak asuh

anak di bawah umur dan hukum yang terkait tentang hak seorang anak akibat

perceraian.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis membatasi

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana lingkup hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2. Bagaimana putusan hakim dalam putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349

(15)

8

3. Apakah hakim dalam putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006

tentang Hak Asuh Anak di Bawah Umur tidak menyalahi Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam skripsi ini penulis memiliki tujuan untuk mendapatkan jawaban atas

pertanyaan yang penulis uraikan di atas, sesuai dengan ke-akademisan suatu

pengetahuan yang di mana hasil penulisan ini dapat ditinjau kembali oleh siapapun,

dan penulisan skripsi ini bertujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hak asuh anak di bawah

umur akibat perceraian kedua orang tuanya menurut Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Untuk mengetahui hasil putusan majelis hakim dalam memutuskan perkara

Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 yang berkaitan tentang hak asuh

anak.

c. Untuk mengetahui apakah hakim dalam memutuskan perkara yang berkaitan

dengan hak asuh anak akibat perceraian sudah memperhatikan ketentuan

(16)

9 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi

khususnya bagi pengembang konseptual secara akademis.

b. Manfaat Praktis: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi

khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana hak asuh anak

akibat perceraian sehingga jika terjadi perceraian orang tua harus berfikir

matang-matang bahwa anaklah yang akan menjadi korban.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sebuah metode untuk menemukan kebenaran yang juga

merupakan sebuah pemikiran kritis (critical thinking). Metode penelitian hukum

terbagi atas dua jenis metode penelitian yaitu: Penelitian hukum normatif atau

kepustakaan dan penelitian hukum sosiologi atau empiris.9

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip umum yang mendasari

perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Penelitian Lapangan (field research) yaitu untuk memperoleh informasi yang

akurat dari tempat penelitian baik dengan wawancara maupun mengumpulkan

data-data dari Pengadilan Agama.

9

(17)

10

b. Penelitian Kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara menguji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan

yang lainya atau yang ada hubunganya dengan judul skrpisi ini.

2. Sumber Data

Dalam penyusunan skripisi ini penulis menggunakan dua jenis sumber

data yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Data primer yang penulis peroleh berasal dari Sidang Putusan

Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak, serta

melihat bahan Peraturan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yang akan digunakan penulis sebagai tinjauan terhadap analisis putusan

tersebut dan buku-buku yang membahas langsung mengenai hadhonah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah merupakan data yang diperoleh dari

bahan kepustakaan.10 Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan

skripsi ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa analisis

dari penulis lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data, metode yang di pergunakan sebagai

berikut:

10

(18)

11 a. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.11Dalam hasil

wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan atau

Pengacara dari tergugat dalam perkara ini.

b. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa

catatan, taranskip, surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya.12

Agar penelitian menjadi kajian yang baik, maka penulis menggunakan

literatur yang ada, baik berupa berita-berita dan artikel dari internet yang berkaitan

dengan permasalahan ini, catatan, maupun laporan hasil penelitian yang berhubungan

dengan objek yang di teliti.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan

judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut:

Penulis : Irwan Hermawan

Fakultas : Syariah dan Hukum

Tahun : 2006

11

Ibid. h. 205.

12

(19)

12

Judul : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK

PEMELIHARAAN ANAK

Perbedaan dengan skripsi penulis, adalah skripsi yang ditulis Irwan Hermawan hanya

membatasi tulisannya pada apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

menetapkan hak asuh terhadap putusan Nomor 674/Pdt.G/2002/PA.JS. Dalam

perkara tersebut,dalam perkara tersebut, hakim memutuskan hak asuh anak di bawah

umur jatuh ketangan bapak (ayah).

Persamaan dalam skripsi ini yang ditulis oleh Irwan Hermawan dengan penulis ialah

sama-sama membahas tinjuaun umum tentang hadhanah. Selanjutnya:

Penulis : Firman Sulaeman

Fakultas : Syariah dan Hukum

Tahun : 2005

Judul : HAK PEMELIHARAAN ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ

AKIBAT PERCERIAN (Studi kritis terhadap pasal 105 point A

Kompilasi Hukum Islam)

Persamaan dalam skripsi ini yang ditulis oleh Firman Sulaeman dengan penulis ialah

sama-sama membahas tentang syarat-syarat hadhanah, siapa saja yang berhak

memelihara anak yang belum mumayyiz. Perbedaan dengan skripsi penulis, adalah

skripsi yang ditulis oleh Firman Sulaeman fokus terhadap efektifitas pasal 105 point a

Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam

(20)

13 F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap bab

dibagi dalam beberapa sub-bab.

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang akan mengawali rangkaian

pembahasan skripsi ini. Di awal pembahasan ini akan berisikan mengenai gambaran

umum dari permasalahan yang akan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan

bab berikutnya. Pada pendahuluan ini terdapat sub-bab yang terdiri dari latar

belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penulisan yang mempunyai maksud untuk mengetahui mengenai suatu cara

yang telah teratur dan dipikirkan secara baik yang bertujuan agar penyusunan skripsi

ini sesuai dengan penyusunan karya ilmiah sebagaimana dikehendaki berdasarkan

ilmu pengetahuan. Selanjutnya review studi terdahulu yang berisikan sebagai

patokan dalam penyusun skripsi dan sistematika penulisan berisikan tentang kerangka

permasalahan skripsi secara berurutan yang di awali dengan pendahuluan dan diakhiri

dengan penutup.

Bab kedua membahas tentang perceraian dan akibat hukumnya, di bab ini

menerangkan pengertian perceraian, macam-macam perceraian dan akibat perceraian

terhadap anak, terhadap hubungan suami-istri, dan masa iddah menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Bab ketiga membahas tentang tinjauan umum tentang hak asuh anak

(hadhanah), pengertian hadhanah menurut Islam dan hak asuh menurut

(21)

14

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Maupun

dasar hukum dari hadhanah, syarat-syarat hadhanah, pihak-pihak yang mendapatkan

hadhanah, serta masa hadhanah dan upah hadhanah.

Bab keempat yakni membahas dan menganalisa putusan perkara Mahkamah

Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak, membahas posisi kasus

dalam persidangan, proses pemeriksaan, pertimbangan majelis hakim dan putusan

majelis hakim dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Bab kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap

jawaban permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Sekaligus memberikan saran yang

mungkin dapat membantu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam

(22)

15 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Perceraian

Dalam ajaran agama Islam pernikahan itu berguna untuk membina suatu

kehidupan rumah tangga yang bahagia. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam

pasal 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk

keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Pada

dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah

seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam, Namun

dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan

itu dalam arti apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka

kemudharatan akan terjadi dalam perkawinan tersebut.

Di dalam mengaruingi bahtera rumah tangga terkadang sering terjadi

percecokan atau terjadi keributan-keributan kecil antara suami isteri. Percecokan

tersebut terkadang sulit untuk didamaikan yang menyebabkan pihak isteri ataupun

suami menuntut untuk bercerai. Ajaran Islam dalam hal ini merupakan agama

yang memberikan solusi atas setiap permasalahan-permasalahan yang

menerpanya. Sehingga problematika-problematika yang menimpa keluarga

(23)

16

Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh

agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan

kerukunan, kedamaian, dan kebahagian namun harapan dalam tujuan perkawinan

tidak akan terwujud atau tercapai sehingga berujung pada perceraian.

Perceraian adalah merupakan akibat dari suatu hubungan yang disebabkan

oleh adanya hubungan perkawinan. Keduanya (antara perkawinan dan perceraian)

saling berhubungan di mana perceraian hanya dapat terjadi karena adanya sebuah

ikatan perkawinan. Dalam KHI, disebutkan pula bahwa putusnya perkawinan

dapat terjadi karena perceraian dan dapat terjadi karena thalak atau gugatan

perceraian. Sebagaimana ketentuan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan pasal 39 ayat 1 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang Pengadilan yang bersangkutan berusaha dengan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

Ini adalah aturan yang pantas dalam masyarakat yang berbudaya menuju

masyarakat yang modern. Disamping menghindarkan persoalan-persoalan yang

sewenang-wenang terutama dari pihak suami, yang dengan sesuka hatinya tanpa

prosedur apapun dapat melemparkan istri tanpa alasan hukum yang sah.13

Perceraian dalam istilah fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti

membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah berarti bercerai

lawan dari berkumpul. Perkataan “talaq” dan “furqah” dalam istilah fiqh

mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum adalah segala

13

(24)

17

macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh

hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang

disebabkan meninggalkan salah satu dari suami atau isteri, sedangkan arti khusus

adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.14

Kata thalaq dapat diartikan melepaskan atau meninggalkan. Dalam

al-munawir kamus Arab-Indonesia, thalaq berarti meninggalkan seperti dalam

kalimat thalaqa zaujatahu.15 Sedangkan menurut istilah thalaq adalah melepaskan

ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan (suami-istri) dengan

mengucapkan secara sukarela ucapan thalaq kepada istrinya dengan kata-kata

yang jelas dan dengan sendiri.16

Definisi talak menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali

memdefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau

pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara

langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku

ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang di maksud “di

masa akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh sesuatu

hal.17

14

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-2, h.156.

15

A. W. Munawir, Al-munawir: Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya : pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 861.

16

Ahmad Shidik, Hukum Talak dalam Agama Islam, (Surabaya : Putera Pelajar,2001), cet. 1, h.9.

17

(25)

18

Mazhab Syafi’i mendefiniskan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan

lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Sedangkan Mazhab Maliki

mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya

kehalalan hubungan suami istri.18

Prof. Subekti SH mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan

perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

perkawinan itu.19 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 tentang

perkawinan, hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:

a. Karena Perkawinan

b. Karena perceraian dan

c. Karena putusan pengadilan

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka

ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, talak merupakan

pemutusan hubungan suami isteri serta hilanglah pula hak dan kewajiban sebagai

suami isteri. Meskipun dalam pengucapan talak menggunakan lafal-lafal tertentu,

namun penekananya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu untuk berpisah

antara suami istri, dalam artian putusnya perkawinan.

18

Ibid.,

19

(26)

19 2. Dasar Hukum Perceraian

Pada prinsipnya pernikahan dalam agama Islam mengadung dasar

kelanggengan, namun pada prateknya dalam menjalankan kehidupan rumah

tangga terkadang terjadi ketidakcocokan di antara masing-masing kedua belah

pihak. Kondisi tersebut bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan dampak

yang negatif dan sulit untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah,

waramah. Untuk mengatasi dampak yang buruk itu, Islam memberikan solusi

yang terakhir digunakan, yaitu dengan cara melalui “thalaq” adapun dasar hukum

talak dinyatakan dalam beberapa surat di antaranya sebagai berikut:

a. Q.S. Thalaq ayat 1:

















































































































































Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah

kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)

iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah

kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah

mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka

mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah,

(27)

20

kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu

sesuatu hal yang baru.

b. Q.S Al-Baqarah ayat 231:





























































































































































































Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir

iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau

ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu

rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian

kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka

sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah

kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat

Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al

kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu

dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah

(28)

21

Pada dasarnya talak merupakan yang tidak disukai oleh Allah SWT,

Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak

(Perceraian).

Talak tidak selalu dibenci sebagaimana yang dikemukakan, tergantung

dalam situasi dan kondisi tertentu talak tidak tercela bahkan bisa berubah menjadi

langkah yang baik. Terlebih lagi jika mempertahankan rumah tangganya akan

menimbulkan permusuhan dan menanamkan kebencian antara keduanya bahkan

antar kerabat mereka. Sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak menemukan titik

tentu, sehingga tidak ada jalan lain selain talak (perceraian) menjadi alternatif

akhir yang ditempuh sebagai jalan terbaik.

Meskipun talak dianggap dapat menjadi jalan yang terbaik, hal ini tidak

boleh seenaknya dalam menjatuhkan, karena akan menimbulkan suatu akibat

hukum. Karena menurut ajaran Islam perceraian diakui setelah

pertimbangan-pertimbangan secara matang, serta dengan alasan-alasan yang bersifat darurat atau

sangat mendesak.

B. Macam-Macam Perceraian

Secara umum perceraian itu ada dua macam, yaitu cerai talaq dan cerai gugat.

Cerai talaq diajukan oleh suami dan cerai gugat diajukan oleh isteri. Sedangkan

dalam hukum islam cerai itu sama dengan talaq, adapun macam-macamnya yaitu:

1. Talak

(29)

22 A. Talak Sunni

Dalam KHI pasal 121, talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak

yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam

waktu sucinya tersebut. Dengan kata lain talak dijatuhkan ketika isteri telah suci

dari haidnya, dan belum dicampuri. Sejak saat berhentinya dari haid ini, maka ia

telah masuk ke dalam iddahnya. Pada saat ini suaminya boleh menjatuhkan talaq

bila hendak menceraikaanya.

B. Talak Bid’i

Talak bid’i (pasal 121 KHI) adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang

dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci

tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.Talak bid’i adalah talak yang

bertentangan dengan sya’ra yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam

keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci

tersebut atau seorang mentalak tiga kali dalam satu kali ucap atau mentalak tiga

kali secara terpisah dalam satu tempat.

Adapun jika talak ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami rujuk kembali pada

isterinya sebagai berikut:

1) Talak Raj’i

Dalam (pasal 118 KHI) Talak raj’I adalah talak kesatu atau kedua

dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Thalaq Raj’i

(30)

23

kehendaknya. Dan thalaq raj’i ini diisyaratkan pada istri yang telah

digauli.20Thalaq Raj’i tidak melarang bekas suami berkumpul dengan bekas

istrinya sebab akad perkawinannya tidak mempengaruhi hubungannya hak

(kepemilikan) dan tidak mempengaruhi hubungan yang halal (kecuali

persetubuhan).

2) Talak Ba’in

Talak Ba’in adalah talak yang memberi hak ruju bagi bekas suami

terhadap bekas isteri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami, jika

ingin kembal bersama harus dengan akad nikah yang baru.

Talak Ba’in ada dua macam:

a) Talak ba’in sughra (pasal 118 KHI) talak yang tidak boleh dirujuk

tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya.

b) Talak ba’in kubra (pasal 119 KHI) adalah talak yang terjadi untuk

ketiga kalinya. Talak ini tidak boleh dirujuk dan tidak dapat dinikahi

kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isterinya

menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad

-dukhul dan habis masa iddahnya.

2. Khulu

Khulu atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami

isteri, yaitu dengan jatuhnya talak satu dari suami atas persetujuan suami istei,

yaitu dengan jahtunya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta

20

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil Ikhtishaar,

(31)

24

atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu

tersebut.21Khulu yang dibenarkan dalam Agama Islam tersebut berasal dari kata

bahasa arab artinya meninggalkan pakaian.22 Karena perceraian sebagai pakaian

laki-laki dan laki-laki pun pakaian perempuan. Menurut ahli fiqh, Khulu adalah

istri memisahkan dari suami dengan ganti rugi kepadanya.23

Firman Allah dalam Al-Qur’an tentang Khulu, yakni surat Al-baqarah 229:























































































Artinya : tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah

kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak

akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir

bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum

Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang

diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.

Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu dan penerimaan iwadh.

Khulu yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut

iwadh

21

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta:UIP, 1974), cet. Ke-2. h. 115.

22

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Kamaludin A. Marzuki, h.95.

(32)

25 3. Fasakh

Fasakh berarti mencabut atau mengahpus maksudnya ialah perceraian

yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau

isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan

kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.24

Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan

salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada

pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum

berlangsungnya perkawinan.25

Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan proses

peradilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan

atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penguggat dalam perkara fasakh ini

haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan

keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.

4. Li’an

Li’an adalah perkataan suami sebagai berikut, “saya persaksikan kepada Allah

bahwasannya benar tuduhan saya kepada isteri saya bahwa ia telah berzina”.26

Adapun Li’an ialah saling menyatakan bahwa bersdia dilaknat allah setelah

mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan

sumpah yang dilakukan oleh suami isteri karena salah satu pihak bersikeras

24

Ibid., h. 212.

25

Sayuti Thalib, h. 117.

26

(33)

26

menuduh pihak lain melakukan perbuatan barzina, atau suami tidak mengakui

bahwa anak yang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya dan

pihak yang lain bersikeras menolak tudauhan tersebut, sedangkan masing-masing

tidak mempunyai alat bukti yang dapat diajukan hakim.27

Sebagaimana terdapat firman Allah:



































































Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka

tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka

persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,

Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

5. Il’a

Il’aartinya sumpah si suami tidak akan mencampuri isterinya dalam masa

yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya. Apabila

seorang suami bersumpah tersebut hendaklah ditunggu sampai 4 bulan, kalau dia

kembali baik kepada isterinya sebelum sampai 4 bulan, maka dia wajib membayar

denda sumpah kafarat saja. Tetapi sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan

isterinya, hakim berhak menyuruhnya memeilih diantara 2 perkara : membayar

kafaraat sumpah serta kembali baik kepada isterinya, atau mentalak isterinya,

kalau suami itu tidak mau menjalankan salah satu dari kedua perkara tersebut,

maka hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa.

27

(34)

27 6. Zihar

Dzihar ialah seorang laki-laki menyerupakan isterinya dengan ibunya

sehingga itu haram atasnya.28Seperti kata suami kepada isteriny, “engkau tampak

olehku seperti punggung ibuku.”

Jika seorang laki-laki mengatkan demikian dan tidak diteruskannya

kepada talak, maka ia wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan

isterinya sebelum membayar kafarat itu. Zihar ini pada zaman jahiliyah dianggap

menjadi talak. Kemudian diharmkan oleh agama islam serta diwajibkan

membayar denda (kafarat)

Seorang suami yang melakukan zihar maka ia harus membayar denda

(kafarat) zihar antara lain:

1. Memerdekakan hamba sahaya

2. Kalau tidak memerdekakan hamba sahaya, maka puasa 2 bulan berturut-turut.

3. Kalau tidak kuat puasa, maka member makan 60 orang iskin tiap=tiap orang

¼ sa’fitrah (3/4)liter.

Tingkatan ini perlu berturut-turut sebagaimana tersebut di atas, berarti yang

wajib dijalankan adalah yang pertama lebih dahulu, kalau yang pertama tidal

dapat dijalankan baru boleh dengan yang kedua, begitu juga kalu tidak dapat

yang kedua baru boleh yang kedua boleh yang ketiga.

28

(35)

28 C. Akibat Hukum Perceraian

Dengan terjadinya perceraian bukan berarti masalah perceraian ini selesai,

akan tetapi masih ada akibat-akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian

menurut UU Perkawinan berdampak kepada misalnya, mengenai hubungan suami

istri menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tingal dan sebagainya. Tetapi yang lebih

penting mengenai nasib anak-anak kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak

yang masih kecil-kecil atau di bawah umur.

Hukum merupakan salah satu saran untuk mengatur, menertibkan, dan

menyelesaikan berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat di samping

sarana dan pranata sosialnya, perihal landasan yuridis legal formal dari akibat hukum

putusnya perkawinan di mana orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara dan

mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya sampai anak tersebut berrumah tangga atau

baligh sehingga dikemudian hari tidak terjadi penderitaan atas diri anak baik secara

fisik maupun batin.

Namun antara aturan Undang-Undang dan realita di lapangan jauh berbeda

karena banyak ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan salah satu pihak tidak

dapat menjalani apa yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Sehingga

Pengadilan dapat menentukan bahwa kedua orang tua turut andil dalam pemeliharaan

dan pembiayaan terhadap anak-anaknya, Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam pasal

41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adapun putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(36)

29

a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak, bila mana dalam kenyatannya bapak tidak dapat

memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut

memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah

pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan

pendidikan anak ialah bapak.29

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 menyatakan bahwa akibat dari

putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali

bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

29

(37)

30

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari

ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas

permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan

hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat

mengurus diri sendiri (21 Tahun)

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan

Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan

jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut

padanya.

Namun apabila diurai lebih lanjut mengenai akibat-akibat dari perceraian

yaitu:

1. Akibat Terhadap Anak

Suami yang menjatuhkan thalak pada istrinya wajib membayar nafkah

untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan

anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah

(38)

31

penghasilan, apabila bercerai dua orang suami istri sedangkan mereka mempunyai

anak yang belum mumayyiz, maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan

merawat anak itu, sampai anak itu memahami kemaslahatan dirinya, meskipun

anak tersebut ditinggalkan bersama ibunya, tetapi belanjanya tetap wajib dipikul

oleh bapaknya.

Sabda Rasullah SAW.

seorang perempuan telah datang mengadu halnya kepada Rasululah

SAW perempuan itu berkata : saya telah diceraikan oleh suami saya, dan anak

saya akan diceraikan dari saya. Kata rasullah kepada perempuan itu : engkaulah

yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum kawin dengan

orang lain”. (H.R.Abu Daud dan Hakim).30

Apabila suami istri yang bercerai mempunyai anak maka yang akan

memelihara anak itu hendaklah dirembukkan dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu

Pengadilan dapat memberikan putusannya, yang harus dijadikan dasar pikiran

antara lain adalah, siapakah di antara keduanya yang pemeliharaan akan paling

menguntungkan bagi anak tersebut.

Kewajiban orang tua dan anak menurut UU Perkawinan dan KHI yaitu

kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baik,

kewajiban tersebut sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban

tersebut berlaku terus meskipun antara kedua orang tua putus.

30

(39)

32

Dalam KHI pasal 105, dijelaskan bahwa pemeliharaan anak belum

mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, untuk anak yang sudah

mumayiz hak pengasuhan diserahkan kepada anak tersebut. Untuk memilih di

antara ayah atau ibunya, selain itu biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

2. Akibat Terhadap Hubungan Suami Istri

Bagi pasangan telah bercerai, maka haram bagi mereka untuk melakukan

hubungan suami istri. Selain itu mantan suami juga berkewajiban untuk

memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istrinya tersebut. Mut’ah yang

diberikan oleh mantan suami tersebut dapat berupa barang atau uang.

KHI juga telah mengatur masalah ini secara mendalam yang dimuat dalam

pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau

benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah,

kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan

tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla

al dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur

(40)

33 3. Akibah Terhadap Masa Iddah

Bagi seorang istri yang putus perkawinan berlaku waktu tunggu atau

iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinanya putus bukan kerena kematian

suami.

KHI pasal 153 ayat (2)

Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu

dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan

hukum yang tetap. Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,

tunggang waktu dihitung sejak kematian suaminya.

Kemudian bentuk-bentuk iddah itu ada bermacam-macam yaitu:

a) Iddah istri yang berhaid, masa tempo menunggu tiga kali haid.

b) Iddah istri yang tidak lagi haid, masa tempo menunggu tiga bulan.

c) Iddah istri yang kematian suami, masa tempo menunggu empat bulan sepuluh

hari.

d) Iddah istri yang hamil, yaitu masa tempo menunggu sampai melahirkan

anak.31

Ketentuan iddah ini, mempunyai beberapa hikmah yang sangat tinggi bagi

kehidupan kekeluargaan, yaitu antara lain:

a) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang istri dari kehamilan, sehingga

tidak tercampur keturunan seseorang dengan yang lainya.

31

(41)

34

b) Memberi kesempatan kepada suami istri yan bercerai untuk kembali rukun

seperti semula, jika mereka menganggap hal itu adalah baik.

c) Untuk menjunjung tinggi ikatan perkawinan sebagai ikatan suci, sehingga

memberi kesempatan kepada suami istri berpikir panjang untuk memutuskan

perceraian secara pasti. Sebabnya jika tidak ada masa ddah ini, tak ubahnya

seperti anak-anak kecil bermain, sebentar dia menyusun permainannya,

kemudian sebentar lagi dirusaknya.32

32

(42)

35 BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASUH (HADHANAH)

A. Pengertian Hadhanah 1. Menurut Hukum Islam

Pemeliharaan anak disebut juga pengasuhan anak dalam Islam dinamakan

“hadhanah.” Secara etimologi hadhanah berarti disampingkan atau berada di

bawah ketiak.33 Hadhanah berasal dari kata

نضح

yang memiliki arti mengasuh

atau memeluk anak.34

Dalam literatur fiqih, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologi,

diantaranya:

a. Menurut Sayyid Sabiq:

“Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun

perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan

buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu

mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan menjaganya dari sendiri dan belum

tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikkan dan menjaga dari sesuatu yang

menyakiti dan membahayakan, mendidik serta mengasuhnya baik fisik,

33

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoepe, 1999), Jilid. 2, h.415.

34

(43)

36

mental maupun akal, agar mampu menegakkan kehidupan yang sempurna dan

bertangung jawab.”35

b. Menurut Muhammad Ibnu Ismail As Shan’ani

“Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri, dan

menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan.”

c. Menurut Wahbah Zuhaili

“Mendidik anak yang mempunyai hak hadhanah, yaitu mendidik dan

menjaga orang yang tidak kuasa atas kebutuhan dirinya dari hal-hal yang

membahayakannya karena ketidakmampuannya untuk memilih, seperti anak

kecil dan orang gila.”

d. Menurut Imam Abi Zakaria An-Nawawi

“Menjaga anak yang belum mummayiz, dan belum mampu mengurus

kebutuhannya, mendidiknya dengan hal-hal yang bermanfaat baginya, dan

menjaganya dari hal-hal yang membahayakannya.”

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpullkan bahwa yang dimaksud

dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayyiz

supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung jawab.

Disamping itu hadhanah berbeda maksudnya dengan “pendidikan” (tarbiyah).

Dalam hadhanah terkandung pengertian pendidikan terhadap anak.36

35

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, (Beirut: Dar al-fikr, 1983), Jil.8, h.228.

36

(44)

37

Sedangkan menurut istilah fiqh hadhanah ialah tugas menjaga dan

mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga

atau dapat mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti tugas

hadhanah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus.37

Menurut Peunoh Daly, mengemukakan definisi hadhanah ialah pekerjaan

yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih

kecil, bodoh atau lemah fisik.38

Dalam buku hukum perdata Islam di Indonesia, di katakan bahwa

hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri

yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk

melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat

merusaknya.39 Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku

selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga

berlanjut setelah terjadinya perceraian.40

2. Menurut Peraturan Perundang-Undangan

a. Hak Asuh Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

37

Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h.237.

38

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 399-400.

39

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67.

40

(45)

38

Walaupun kata “Hak Asuh” telah biasa dipergunakan dalam membahas

hak orang tua untuk mengasuh anaknya khususnya ketika pasangan suami istri

yang telah memiliki anak melakukan perceraian atau pisah rumah akan tetapi kata

hak asuh tersebut tidak ditemukan dalam UU Perlindungan Anak yang terkait

dalam hukum keluarga.

Kosa kata yang identik dengan itu adalah Kuasa Asuh sebagaimana

dijelaskan dalam pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan

bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,

memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai

dengan agama yang dianutnya dan kemanpuan, bakat, serta minatnya.41

Apabila kata “Kuasa Asuh” tersebut berdiri sendiri maka kata tersebut

dapat diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengasuh. Pemahaman

demikian dapat memberikan kesan bahwa orang tua di satu pihak memiliki

kewenangan terhadap anak di pihak lain. Namun demikian halnya apabila

menafsirkan kata “Kuasa Asuh” seperti halnya rumusan UU Perlindungan Anak

yang dikutip di atas karena kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan

dalam mengasuh, mendidik, memelihara, membina dan melindungi serta

kewenangan untuk menumbuh kembangkan anak dengan catatan bahwa cara dan

arah pengembangan harus disesuaikan dengan Agama yang dianut serta

kemampuan, minat dan bakatnya, dengan kata lain kuasa asuh merupakan hak

dari orang tua untuk menjalankan kewajiban dalam hal-hal tersebut.

41

(46)

39

Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur tentang

perlindungan terhadap anak, tanpa melihat latar belakang kondisi orang tua yang

bercerai atau tidak bercerai. Undang-Undang ini juga tidak mempermasalahkan

apakah anak memiliki kejelasan orang tua atau tidak. Makna lain yang terlihat

adalah, adanya fenomena kekhususan dan ketegasan UU Perlindungan Anak

dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Tanggung jawab perlindungan

anak berdasarkan UU ini, secara tegas dikontruksikan dengan pelibatan kewajiban

bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara yang terbaik bagi anak.

UU Perlindungan Anak dapat dikatakan memiliki nilai Universal yang

tinggi. Sebab prolog kelahiran Undang-Undang ini setelah lebih dulu melalui

fase-fase keprihatian masyarakat Internasiaonal. Khususnya berkaitan dengan

nasib anak sebagai penerus peradaban manusia.42

b. Hak Asuh Anak Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Disahkannya UU Perkawinan dapat dikatakan melalui suatu proses dengan

kadar sensitivitas tinggi. Kenyataan ini dapat dimaklumi mengikat persoalan

perkawinan, selain memiliki dimensi perikatan keperdataan, juga sangat lekat

dengan dimensi keagamaan. Produk hukum belanda yang hendak digantikan

ketika itu, dianggap sama sekali tidak memiliki kesepahaman dalam memberikan

makna terhadap perkawinan.

42 United nations children’s fund,

(47)

40

Pemahaman terhadap perkawinan yang hanya dianggap sebagai peristiwa

perdata menurut hukum belanda, mengalami perubahan signifikan di mana sahnya

perkawinan harus berdasarkan norma Agama. Setelah pengesahan perkawinan

secara Agama selanjutnya baru dicatatakan di dalam register Negara, sebagai

wujud dari aspek administratif sipil. Oleh karena itu validasi anak yang

dihasilkan, memiliki keabsahan dengan berpedoman pada keabsahan perkawinan

orang tuanya secara Agama.

Validasi perkawinan akan sangat menentukan validasi perceraian

manakala terdapat pihak-pihak yang menghendaki adanya perceraian. Sedangkan

validasi perceraian akan menentukan validasi kekuasaan orang tua terhadap anak

pasca perceraian. Di dalam proses perceraian tersebut, sekaligus akan ditentukan

persoalan kekuasaan orang tua terhadap anak. Dengan demikian kekuasaan orang

tua terhadap anak pasca perceraian, akan selalu di dalam satu rangkaian validasi

perkawinan dan perceraian orang tua.

Interprestasi dan kontruksi kekuasaan orang tua terhadap anak pasca

perceraian orang tua di dalam UU Perkawinan, pada dasarnya mengarah pada

tanggung jawab orang tua dalam bentuk seperangkat kewajiban guna memenuhi

hak-hak anak. Pengutamaan kewajiban orang tua dari pada hak orang tua terhadap

anak, di dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak, pada akhirnya

melahirkan suatu rumusan bahwa jaminan atas kepentingan anak merupakan

keutamaan yang harus direalisasikan. Orang tua yang bercerai diwajibkan berbuat

(48)

41

Kontruksi demikian telah menujukan bahwa sebenarnya UU Perkawinan

memiliki pradigma “berikan yang terbaik bagi anak”. Bahwa adanya perceraian

orang tua tetap menutut tangung jawab penuh atas kepentingan anak hasil

perkawinan mereka. Perceraian orang tua tidak memberikan ruang bagi orang tua

untuk bertindak yang dapat merugikan kepentingan anak.

Kendati demikian, secara global sebenarnya UU Perkawinan telah

memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan putusnya

sebuah perkawinan di dalam pasal 41 UU Perkawinan, pasal tersebut menjelaskan

bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

dengan sebaik-baiknya. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum

menikah berada dalam kekuasaan orang tua selama tidak dicabut kekuasaanya,

mereka tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak

mereka. Pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah

terjadinya perceraian, mereka mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan

segala kepentingan pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta kesejahteraan

anak-anak tersebut.43

Menuru

Referensi

Dokumen terkait

Ketika terjadi perceraian, dalam undang- undang perkawinan (baik dalam kompilasi hukum islam maupun dalam hukum sipil) biasanya hak asuh anak di bawah.. usia 12 tahun

PEMENUHAN HAK ANAK UNTUK BERTEMU DENGAN SALAH SATU ORANG TUANYA YANG TIDAK MENDAPATKAN HAK ASUH SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT PASAL 14 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR

Kedua apakah akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan?. Ketiga apakah perbedaan

Tim Pustaka Yustisia, Hukum Keluarga, Kumpulan Perundang-Undangan Tentang Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT, dan Anak, Yogyakarta:

Alasan lain orang tua laki-laki (ayah) tidak memberikan biaya nafkah anak berkaitan dengan aspek psikologis si anak yang tidak dapat menerima perceraian kedua orang tuanya,

Pengasuhan anak atau hadhanah (dalam istilah Islam) adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini

Namun anak juga dapat membuat susah kedua orang tuanya manakala anak tersebut tidak berbakti kepadanya, serta tidak taat beribadah, sehingga kedua orang tua

Jika dari perkawinan yang telah dilakukan terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2)