• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang sah, jadi tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur alasan-alasan untuk melakukan perceraian di dalam penjelasan Pasal 39 Ayat (2) yang dicantumkan kembali di dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Zina yaitu hubungan kelamin (sexsual) intercourse yang dilakukan oleh suami atau isteri dengan seseorang pihak ketiga yang berlainan seks.33

Suatu perbuatan zina kemungkinan dapat dilakukan : - Dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan tidak bebas, - Atas persetujuan pihak suami atau pihak isteri,

- Tanpa sepengetahuan pihak suami atau isteri yang bersangkutan.

33 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: Zahir Tading Co, 1975), hal.

(2)

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahu berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena atau hal lain di luar kemampuannya.

Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka pihak yang ditinggalkannya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan mempergunakan alasan ini.

Pada dasarnya alasan untuk meninggalkan pihak lain ini haruslah dilakukan : - Dengan penuh kesadaran dan kehendak bebas dari suami atau isteri yang

meninggalkan pihak lain itu,

- Bukan karena adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan, - Dengan tanpa izin dari pihak yang ditinggalkan dan tanpa alasan yang sah, - Selama dua tahun berturut-turut.

Namun kenyatannya kadang-kadang sangatlah sulit untuk menentukan apakah ketentuan seperti tersebut di atas adalah tepat untuk menentukan alasan meninggalkan pihak lainnnya ini, oleh karena itu maka hakim dalam memeriksa gugatan perceraian yang menggunakan alasan ini haruslah memperhatikan :

- Apakah yang menjadi penyebab salah satu pihak dari suami isteri tersebut meninggalkan pihak lainnya,

- Dan di pihak manakah kesalahan yang menyebabkan salah satu pihak dari suami isteri tersebut meninggalkan pihak lainnya itu terletak.

(3)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat.

Bilamana seorang suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat maka isterinya dapat mengajukan gugatan perceraian atas dasar alasan ini, demikian juga sebaliknya apabila seseorang isteri mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun ataupun mendapatkan hukuman yang lebih berat maka suaminya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan memakai alasan ini.

Hukuman penjara selama 5 tahun ini maupun hukuman yang lebih berat seperti tersebut di atas harus dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung, dengan demikian disini tidaklah dipersoalkan kapan pihak yang mendapat hukuman tersebut melakukan kejahatan, apakah ia melakukan sebelum perkawinan dilangsungkan ataukah setelah perkawinan berlangsung. Yang penting dalam hal ini adalah penjatuhan hukumannya haruslah dilakukan setelah perkawinan berlangsung.

Alasan perceraian ini dimaksudkan untuk melindungi para pihak yang ditinggalkan dengan adanya penjatuhan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih ini, jangan sampai mereka mengalami penderitaan.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

Bila diperhatikan alasan ini maka dapat diperinci menjadi : a. Melakukan kekejaman,

(4)

Melakukan kekejaman disini dimaksudkan adalah melakukan kekerasan. Dengan demikian maka seorang suami yang sering berlaku kasar terhadap isterinya walaupun sikap yang ia lakukan tidak sampai melakukan pemukulan ataupun penganiayaan namun dapatlah si suami tersebut dikatakan telah melakukan kekejaman terhadap isterinya.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami isteri

Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri, yang bersangkutan mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-isteri, maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan percaraian dengan memakai alasan ini.

Untuk menentukan cacat badan atau penyakit yang diderita oleh salah satu pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan yang mengakibatkan dirinya tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami atau isteri yang dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian, maka harus dilihat kembali ketentuan di dalam undang-undang perkawinan ini yang mengatur mengenai kewajiban suami-isteri.

6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Di dalam undang-undang perkawinan ini ditentukan bahwa suatu perkawinan dilangsungkan dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, jadi untuk mendapatkan kebahagian, baik kebahagian material maupun spritual di dalam keluarga yang bersangkutan.

(5)

Dengan terjadinya pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus di antara kedua belah pihak suami isteri tersebut, maka keluarga bahagia yang semula dicita-citakan akan terwujud di dalam perkawinan hanya akan menjadi cita-cita saja. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambah dua point lagi sebagai alasan terjadinya perceraian sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

7. Suami melanggar taklik talak

Taklik talak adalah suatu ucapan yang dilafazkan suami tatkala selesai melakukan akad nikah. Taklik talak tersebut diucapkan dihadapan wali pengantin perempuan dan juga pegawai pencatat nikah. Taklik talak dibuat untuk memberikan perlindungan kepada wanita atas kesewenang-wenangan suami. Dan apabila taklik talak tersebut dilanggar maka perceraian dapat terjadi.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga

Pengertian murtad tidak terdapat dalam Hukum Islam. Tetapi dari istilah-istilah yang timbul sehari-hari di kalangan masyarakat Islam maka pengertian murtad itu adalah pindah agama.

Murtad menurut menurut Kamisa adalah keluar dari Islam.34

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya pengertian tentang murtad tersebut hanya dikenal dalam Hukum Islam, yaitu seseorang yang selama ini berada dalam lingkungan agama Islam baik itu bertingkah laku maupun di dalam

34

(6)

masyarakat, lalu merubah statusnya tersebut dengan berpindah ke agama lain. Apabila salah satu pasangan dalam suatu perkawinan berpindah agama ke agama di luar Islam maka pada secara langsung perkawinan tersebut putus.

B. Akibat Hukum Perceraian

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.35 Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.36 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu: 1. Terhadap anak-anaknya,

2. Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan). 3. Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi

talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut.

35J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 104. 36Ibid., hal. 101.

(7)

1. Akibat terhadap anak

Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.37Hal ini menyebabkan :

1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.

2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.

3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik.

Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan. Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatkan bahwa :

Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah 37Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, (Semarang: UNS, 2005), hal. 57.

(8)

konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila, dan kebiasaan delinkuen.38

Lebih lanjut Kartini kartono juga mengatakan bahwa :

Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis social dan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.39 Akan tetapi, “semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki”.40 “Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal”.41

2. Akibat terhadap harta

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri

38Kartini Kartono.Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), hal 17.

39Ibid., hal 18

40Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57. 41Kartini Kartono, Op.Cit., hal 18.

(9)

serta harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 UUP menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

“Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan”.42

“Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”.43Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah “semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah”.44

Menurut Mukti Arto dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta

42Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 199.

43

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 200

44 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal.156

(10)

kekayaan, yaitu:

1. Harta pribadi suami ialah:

a. Harta bawaan suami, yaitu yang dibawa sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan

2. Harta pribadi isteri ialah:

a. Harta bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

c. Harta bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.45

Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan itu pula Satrio menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :

1. Harta bersama

2. Harta Pribadi, dapat berupa: a. Harta bawaan suami b. Harta bawaan isteri

c. Harta hibahan/ warisan suami d. Harta hibahan/ warisan isteri.

Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur

45 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 70.

(11)

menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian.

Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:

1. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing. 2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi

tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta guna kaya), jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k/ Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).

3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan). Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH Perdata

Pasal 37 UUP belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan dualisme hukum. Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu separuh bagi bekas suami dan separuh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.

(12)

suami dan separuh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas “hak dan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri”. Akan tetapi, dalam hukum Islam Kekayaan Suami-Isteri terpisah masing-masing satu sama lainnya. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri. Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain. “Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam”.46

Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh yang berwajib, siapakah diantara keduanya (ibu atau bapak) yang lebih baik dan lebih pandai, untuk mendidik anak itu, maka hendaklah si anak diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, kalau keduanya sama saja, anak itu harus disuruh memilih kepada siapa diantara keduanya dia lebih suka. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Bahwasannya Nabi besar SAW telah menyuruh pilih kepada seorang anak yang sudah sedikit mengerti untuk tinggal bersama bapaknya atau bersama ibunya” Riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi.47

Berdasakan uraian di atas, jelaslah bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan

46Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.

(13)

jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.

C. Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Pada setiap masyarakat manapun baik yang beraneka ragam corak kehidupannya maupun yang tidak, setiap perkawinan tidak dapat dipandang lepas dari kemungkinan menurunkan keturunan atau anak yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan, karena seorang anak dianggap salah satu pembawa kebahagiaan dari hasil dari perkawinannya tersebut.

Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.48Yang dimaksud dengan keturunan ialah hubungan antara anak dengan orang tua, atau lebih luas dari itu: antara di satu pihak para anak, di lain pihak para orang tua beserta nenek-moyang mereka.49

Memang dalam kehidupan yang nyata tujuan perkawinan tidak hanya untuk memperoleh keturunan, namun demikian tetap dikhawatirkan perkawinan akan mudah putus apabila tujuan tersebut tidak tercapai dalam arti tidak adanya anak yang lahir selama perkawinan berlangsung.

Suatu rumah tangga yang ideal tidak hanya cukup jika dilandasi atas dasar

48Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hal. 38-39.

49H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet. I, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hal.121.

(14)

kasih sayang semata-mata, lambat laun rasa kasih sayang ini dapat menjadi pudar bilamana kehadiran seorang anak yang merupakan penghubung cinta kasih antara suami dan istri tersebut tidak ada. Maka dari itu dipandang dari sudut lingkungan kekeluargaan yang meliputi suami dan istri tersebut, keturunan adalah sangat penting untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga yang kelak akan dibina disamping sebagai penerus keturunan yang merupakan ikatan turun temurun dalam silsilah keluarga.

Menurut pengertian yang sebenarnya, anak adalah hasil dari perbuatan bersetubuh seorang laki-laki dengan seorang perempuan, lahirlah dari tubuh si perempuan seorang manusia lain yang dapat dikatakan, bahwa laki-laki tadi adalah bapaknya dan perempuan tadi adalah ibunya.50

Ketentuan-ketentuan mengenai anak ini dimuat pula dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya.

Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan.51 Pengertian ini bersandar pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun, namun belum mampu

50Prodjodikoro, Op.Cit., hal.57.

(15)

menghidupi dirinya sendiri, maka ia termasuk katagori anak. Namun berbeda apabila ia telah melakukan perbuatan hukum, maka ia telah dikenai peraturan hukum atau perUndang-Undangan.

Anak menurut Undang-Undang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

Selain itu, dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatakan bahwa, “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama ia tidak dicabut dari kekuasaanya.

Mengenai perwalian dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.52 Dalam perspektif Undang-Undang Peradilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.53 Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia

52Pasal 1 (2), UU. No. 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak. 53Pasal 1 (1), UU. No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.

(16)

21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.54 Adapun pengertian anak menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana) sebelum umur 16 (enam belas) tahun.55

Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebih awal.56 Dengan demikian pasal ini mengakui bahwa batas usia kedewasaan dalam aturan hukum sebuah Negara mungkin berbeda dengan ketentuan KHA. Dalam kasus ini Komite Hak Anak menekankan agar Negara meratifikasi KHA menyelaraskan peraturan-peraturan hukumnya dengan KHA.

Dari pengertian ini tidak terlihat permulaan atau dimulainya status anak. Apakah sejak anak tersebut lahir, ataukah sejak anak tersebut masih dalam kandungan ibunya. Dalam hal ini KHA tidak menyebutkan secara tegas. Tetapi dalam bagian mukadimah, dinyatakan bahwa anak dikarenakan ketidakmatangan jasmani dan mentalnya memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahirannya.57 Pada prinsipnya pokok pikiran yang harus dipegang adalah bahwa Negara yang

54

Instruksi Presden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2001), hal. 50.

55Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,1993), hal.19.

56KHA, Pasal 1.

57Lihat mukadimah KHA pada Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Aditya Bakti, 2003), hal. 103-104.

(17)

meratifikasi KHA harus memajukan dan melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia hingga mereka bisa mencapai kematangan mental dan fisik.

Dalam perkembangan anak diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Pertama, anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawian yang sah atau hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.58 Kedua, anak terlantar, yaitu anak yang tidak memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Ketiga, anak yang menyandang cacat, yaitu anak yang mengalami hambatan secara fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. Keempat, anak yang memiliki keunggulan, yaitu anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan atau bakat luar istimewa. Kelima, anak angkat, yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atas penetapan pengadilan. Keenam, anak asuh, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.59

Sedangkan dalam Undang-Undang peradilan anak dikatakan bahwa pengertian dari anak nakal adalah anak yang melakukan pidana atau anak yang

58KHI, Pasal 99.

(18)

melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun, dalam perkara anak nakal ini hanya bisa diajukan ke pengadilan apabila telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.60 Dan sesuai asas praduga tak bersalah, maka seorang anak nakal yang sedang dalam proses pengadilan tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Batas usia 8 tahun bagi anak nakal untuk dapat diajukan ke sidang anak berdasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai usia 8 tahun dianggap belum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Kedudukan anak, berhubungan dengan status yang disandangnya. Istilah status itu hampir sama dengan kedudukan. Secara literal, kata status berarti kedudukan.61 Kata status berarti “keadaan, tingkatan, organisasi, badan atau Negara dan sebagainya”.62 Adapun kata kedudukan adalah “keadaan dimana seseorang itu hidup menunjukan kepada suatu hubungan kekeluargaan tertentu”.63 Maka status anak sah yang dimaksudkan sebagai pandangan hukum terhadap anak sah. Sedangkan kedudukan anak sah menunjukan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

60Pasal 1 dan 2, Undang-Undang Nomer 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.

61 John M. Echols – Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. Ke-XX, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal 554.

62Departemen Pendidikan Nasionao, Op.Cit. 63HFA. Vollmar, Op.Cit, hal. 60.

(19)

Anak tidak sah, yang oleh hukum positif diistilahkan dengan anak luar nikah64 atau menurut Hukum Islam disebut dengan anak zina, bila disahkan atau mendapatkan lembar pengesahan akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya maupun dengan ayahnya, meskipun penguasa anak tersebut adalah walinya.65 Hubungan keperdataan anak luar kawin terjadi setelah mendapatkan pengakuan dari ayahnya. Hubungan itupun hanya terbatas sampai hubungan ibunya dan ayahnya saja. Anak ini tidak memiliki kakek dan nenek baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibunya terus keatas.66 Dari pengertian inilah hukum positif membolehkan upaya pengakuan dan pengabsahan.

Berkenaan dengan kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran, pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan apabila terjadi perkawinan campuran antara warga Republik Indonesia dengan warga Negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang

64Belum menikah dan tidak ada larangan untuk kawin), (2) anak zina (pelaku zina atau salah satunya sedang dalam ikatan perkawinan), dan (3) anak sumbang (pelaku zina masih ada hubungan darah sehingga dilarang kawin). Anak luar nikah (anak alam) dibedakan dari anak zina dan sumbang. Dua jenis anak terakhir ini tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak tersebut terpaksa disahkanpun tidak ada akibat hukumnya. Lihat KUH Perdata pasal 288. bandingkan dengan Vollmar, Pengantar Studi, hlm. 130. Kedudukan anak itu sangat menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya anak zina dan sumbang hanya diketahui oleh pelaku zina saja itu sendiri. Asal anak lahir dalam keadaan ibunya terikat perkawinan yang sah, otomatis menjadi anak sah. Oleh karena itu kecenderungan hukum perdata itu membolehkan pengabsahan anak. Sedangkan menurut al-Qur’an, selain anak sah adalah anak zina (tidak sah). Lihat Abdurrouef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 96.

65KUH Perdata, Pasal 409.Vollmar, Pengantar Studi, hal. 131.

66 KUH Perdata, Pasal 281 atau Pasal 336 BW. Bandingkan dengan Vollmar, Pengantar

(20)

berlaku.67

D. Ketentuan Mengenai Pemeliharaan Anak Setelah Terjadi Perceraian

Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus menerus antara suami istri, suami/istri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian.

Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami istri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami istri tersebut.

Berkaitan dengan masalah pemeliharaan anak setelah perceraian, di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terdapat ketentuan yang mengatur hal ini. Adapun bunyi ketentuan Pasal 41 tersebut adalah :

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi putusannya.

2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak

(21)

bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan di atas dapat diketahui bahwa baik bapak maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan anak meskipun telah bercerai.

Sehubungan dengan pemeliharaan anak ini sering timbul masalah baru setelah perceraian, yaitu adanya pasangan suami istri yang bercerai dan memperebutkan hak pemeliharaan anaknya. Masalah seperti ini sering membutuhkan waktu persidangan yang lama di pengadilan, karena masing-masing bapak dan ibu tidak mau mengalah. Dalam hal demikian biasanya Hakim akan memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun (belum mumayyiz) diserahkan kepada ibu, sedangkan hak pemeliharaan anak untuk anak yang berumur 12 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau dipelihara bapaknya. Namun demikian ada pengecualian terhadap hal ini, yaitu jika anak yang masih dibawah umur 12 tahun sudah dapat memilih, maka anak diminta memilih sendiri untuk dipelihara ibu atau bapaknya.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, apabila hak pengasuhan anak jatuh ke tangan ibunya dan apabila ibunya tersebut menikah lagi, maka orang tua lainnya yang

(22)

tidak menikah lagi dapat meminta kembali hak pemeliharaan anaknya melalui pengadilan. Adapun alasan yang diajukan adalah ia khawatir apabila anak ikut orang tua tiri maka perhatian dan kasih sayang yang diterima anak tidak akan cukup. Atas permohonan ini, pengadilan yang memanggil para pihak untuk didengar keterangannya.

Selain itu juga dalam Pasal 49 UUP diatur bahwa:

1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, kedua anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hah-hal:

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. ia berkelakuan buruk sekali.

2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Berkaitan dengan Pasal 49 UUP tersebut di atas, maka orang tua yang memperoleh hak pemeliharaan anak dapat dicabut haknya berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri apabila telah memenuhi unsur-unsur tersebut di atas. Seperti yang terjadi pada kasus pencabutan hak pemeliharaan anak berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006 tanggal 3 Januari 2007 mengenai kasus perceraian antara Tamara Bleszyinski dengan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan pengasuhan anak bernama Rassya Isslamay Pasya

(23)

berada dalam pengasuhan ayahnya.68

Mahkamah Agung telah mengambil sikap untuk menetapkan pengasuhan anak, manakala pasangan suami isteri bercerai dan si isteri kembali ke agamanya semula. Anak tersebut ditetapkan pengasuhannya kepada pihak ayah dengan pertimbangan untuk mempertahankan agama anak.69 Masalah agama/aqidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seseorang Ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz.

Pertimbangan tentang aqidah sebagai kelayakan untuk mengasuh anak merupakan pertimbangan dari sudut syar’i yang mengedepankan salah satu maqhosidusy syar’iyyah (tujuan syari’at Islam) yaitu menjaga keutuhan agama Islam dengan ditopang oleh beberapa hadits Rasulullah. Namun di sisi lain perlu dicermati dari sudut pandang yuridis normatif, pertimbangan Mahkamah Agung tersebut setidaknya telah menyimpangi dari dua ketentuan hukum :

1. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan pengasuhan anak dibawah umur (dibawah usia 12 tahun) berada dalam pengasuhan ibunya, tanpa pernah menyinggung permasalahan agama ibunya. Sebagai perbandingan pasal 116 huruf h, menyebutkan bahwa perceraian karena murtad itu dapat dilakukan apabila ternyata kemurtadan tersebut akan menimbulkan perpecahan dalam rumah tangga. Dalam pemahaman a contrario, manakala kemurtadan tersebut tidak menimbulkan perpecahan rumah tangga, maka si isteri berhak untuk mengasuh anak tersebut dalam 68Badilag.net, Paradigma Baru dalam Penyelesaiaan Sengketa Hak Asuh Anak Pada

Peradilan Agama. www.badilag.net/data/artikel. Diakses terakhir pada tanggal 27 Juli 2013.

69Ibid. Lihat juga Syamsuhadi Irsad, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Pada Tingkat

Kasasi, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 20. Serta Achmad Djunaeni, Putusan Pengadilan Agama Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 149, masing-masing dalam

Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Dan Penerapannya, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2004.

(24)

naungan ikatan perkawinan yang syah. Oleh karenanya pasangan suami isteri tetap berhak mengasuh anak tersebut, meskipun salah satu pihak murtad.

2. Ketentuan dari hukum Hak Asasi Manusia yang tertera pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 51 ayat (2) dimana setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.70

Latar belakang pemikiran maqoshidusy syar’i (tujuan disyari’atkannya agama Islam) dalam yurisprudensi Mahkamah agung dijelaskan oleh Achmad Djunaeni bahwa masalah aqidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz. Begitu juga menurut Syamsuhadi Irsyad bahwa Mahkamah Agung menempatkan aqidah sebagai ukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadlonah tersebut atau menjadi gugur karenanya. Ketentuan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan tentang adanya kemungkinan orang tua (ayah ibu) atau salah satunya dicabut kekuasaannya untuk waktu tertentu dengan alasan sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan pengasuhan anak terhadap salah satu dari kedua orang tuanya bukan merupakan penetapan yang bersifat permanen, akan tetapi sewaktu-waktu hak anak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain melalui pengajuan gugatan pencabutan kekuasaan ke Pengadilan.71

Apabila melihat adanya kebolehan terhadap pencabutan kekuasaan orang tua untuk waktu tertentu, maka secara gramatikal analogis boleh pula menetapkan pengasuhan anak terhadap salah satu pihak untuk jangka waktu tertentu. Oleh karenanya akanlah sangat bijak apabila seorang hakim dapat menetapkan pengasuhan anak belum mumayyiz kepada ibunya yang kembali ke agamanya semula dengan memberikan jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini dapat diperhitungkan hingga anak tersebut mampu berinteraksi dan memahami agamanya, misalkan ditetapkan pengasuhan anak hingga anak mencapai usia 5 atau 7 tahun serta menetapkan

70Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 71Badilag.net, Op.Cit.

(25)

pengasuhan berikutnya kepada si ayah.

Dengan alternatif seperti ini, maka hakim dalam memberikan penetapannya tidak menyalahi ketentuan hak asasi dari pihak ibu dan juga tetap menjaga maqhosidusy syari’ah yaitu menjaga aqidah anak, karena ketika anak beranjak dewasa (memasuki masa mumayyiz) telah berada pada kekuasaan ayahnya.

Demikian juga dalam masalah harta bersama, sering terjadi sengketa antara suami dan istri yang harus diselesaikan di pengadilan. Sengketa ini berkisar dalam masalah perebutan harta yang diakui sebagai milik pribadi, padahal harta itu adalah harta bersama.

Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh para ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri.

Tidak ada seorangpun yang ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dari perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan lagi sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami istri.

Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa “Pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah

(26)

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Jadi jika dalam sidang-sidang pengadilan, Hakim dapat mendamaikan kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan.

Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh Pengadilan selama istri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang diwajibkan kepadanya, dapat dituntut oleh bekas istri dengan menggunakan dasar putusan Pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami.

Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Jika dari perkawinan yang telah dilakukan terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

(27)

Di lain pihak bagi pemeluk Agama Islam, akibat putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 149 sampai dengan 162 Kompilasi Hukum Islam. Khusus untuk akibat perceraian terhadap anak, dapat dilihat dalam Pasal 156 huruf a sampai f Kompilasi Hukum Islam.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

a. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu b. Ayah

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula

4. Semua nafkah dan hadhanah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

(28)

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d)

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam di atas, jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, jauh lebih lengkap. Hal ini wajar, disebabkan ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan peraturan yang sifatnya umum (untuk semua agama), sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang khusus untuk pemeluk agama Islam saja, sehingga ketentuan-ketentuan yang dimuat harus sedetail-detailnya.

Terlepas dari sifat umum dan khusus kedua peraturan itu, pada dasarnya ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menentukan kewajiban yang sama bagi orang tua yang bercerai untuk memelihara anaknya, hal mana yang justru sering menimbulkan persengketaan baru antara orang tua untuk memperebutkan hak pemeliharaan anaknya tersebut.

Namun demikian apabila perceraian terjadi antar suami istri yang telah berketurunan, yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah istri (ibu anak-anak) dengan syarat istri tersebut belum menikah dengan laki-laki lain. Dalam hal ini yang paling penting diperhatikan dalam menentukan pemberian pemeliharaan anak adalah kepentingan anak itu sendiri, dalam arti akan dilihat siapakah yang lebih mampu menjamin kehidupan anak, baik dari segi materi, pendidikan formal, pendidikan

(29)

akhlak dan kepentingan-kepentingan anak lainnya.

Untuk menentukan orang yang paling dapat dipercaya untuk memelihara anak, di dalam Pengadilan biasanya Hakim akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Informasi ini dapat berasal dari para pihak sendiri, maupun berasal dari saksi-saksi yang biasanya dihadirkan dalam persidangan. Untuk masalah harta kekayaan setelah perceraian, diatur di dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Pada Penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Untuk melengkapi pembahasan dalam sub bab ini akan diuraikan salah satu putusan Mahkamah Agung yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 171 K/Pdt/2008 dalam perkara:

dr. NYOMAN SRI BUDAYANTI, bertempat tinggal di Jalan Letda Reta Gg. XV/1 Denpasar, dalam hal ini memberi kuasa kepada I MADE DJAYA, SH., Advokat, berkantor di Jalan Letda Reta XXV/1 Denpasar, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 12 Oktober 2007, Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding.

m e l a w a n :

dr. IDA BAGUS EKA ERLANGGA, bertempat tinggal di Jalan Anyelir No. 9 Denpasar, dalam hal ini memberi kuasa kepada IDA BAGUS WIKANTARA, SH., Advokat, berkantor di Perum Nuansa Penatih No. F2 Denpasar, Bali, berdasarkan

(30)

surat kuasa khusus tanggal 5 Nopember 2007, Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding.

Diantara Penggugat-Tergugat telah dilangsungkan perkawinan menurut Agama Hindu dan Adat Bali di tempat kediaman Penggugat di Banjar Dinas Tangeb, Desa Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng pada tanggal 8 Oktober 1994 dimana Penggugat dalam perkawinan tersebut berkedudukan sebagai purusa.

Dalam perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan seorang anak dengan nama : IDA BAGUS KRESNASANDI umur 8 tahun, sesuai dengan kutipan akte kelahiran No. 738/Um.DT/1998, anak tersebut sampai saat ini berada dalam pengawasan Tergugat.

Pada mulanya perkawinan antara Penggugat-Tergugat berjalan sebagaimana mestinya seperti kehidupan keluarga lainnya namun pada perkembangannya terjadi pertengkaran-pertengkaran dan percekcokan-percekcokan sebagai akibat dari ketidakcocokan antara Penggugat-Tergugat.

Demi kebaikan, kebahagiaan dan ketenangan Penggugat secara pribadi dan demikian pula dengan Tergugat serta perkembangan watak anak Penggugat-Tergugat maka perceraian adalah satu-satunya jalan dan penyelesaian yang terbaik dan tidak mungkin dapat dihindari lagi.

Berdasarkan hukum adat Bali anak adalah menjadi hak mutlak dari seorang Ayah/Bapak selaku purusa untuk memiliki, memelihara, membesarkan, melindungi, memberikan kehidupan, kasih sayang, pendidikan dan mengayomi anak tersebut dan juga sebagai penerus keturunan keluarga Penggugat.

(31)

Dalam hal ini Penggugat selaku ayah dan berstatus purusa dalam perkawinan sehingga sudah sangat pantas dan sudah menjadi hukum anak Penggugat-Tergugat yang bernama Ida Bagus Kresnasandi umur 8 tahun, sesuai dengan kutipan akte kelahiran No. 738/Um.DT/1998, adalah sangat tepat berada di bawah kekuasaan Penggugat untuk memelihara, mengasuh, membesarkan, mendidik dan mengayomi anak tersebut sekaligus sebagai generasi penerus keluarga Penggugat dikemudian hari.

Pengadilan Negeri Denpasar telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 162/Pdt.G/2006/PN.Dps. tanggal 19 September 2006 yang amarnya sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;

2. Menyatakan hukum perkawinan antara Penggugat (dr. Ida Bagus Eka Erlangga) dengan Tergugat (dr. Nyoman Sri Budayanti) yang dilangsungkan menurut Agama Hindu dan Adat Bali di Banjar Dinas Tangeb, Desa Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng pada tanggal 8 Oktober 1994 putus karena perceraian.

3. Menetapkan kepada Tergugat sebagai Pengasuh anak yang bernama Ida Bagus Kresnasandi, walaupun Penggugat menurut Hukum Adat Bali selaku Purusa sampai anak tersebut dewasa.

4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.

(32)

Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dengan putusan No. 84/PDT/2007/PT.DPS. tanggal 30 Juli 2007.

Sedangkan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara No. 171 K/Pdt/2008 adalah:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : dr. NYOMAN SRI BUDAYANTI tersebut.

Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 84/PDT/2007/PT.DPS. tanggal 30 Juli 2007 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 162/Pdt.G/2006/PN.Dps. tanggal 19 September 2006 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;

2. Menyatakan hukum perkawinan antara Penggugat (dr. Ida Bagus Eka Erlangga) dengan Tergugat (dr. Nyoman Sri Budayanti) yang dilangsungkan menurut Agama Hindu dan Adat Bali di Banjar Dinas Tangeb, Desa banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng pada tanggal 8 Oktober 1994 putus karena perceraian.

3. Menetapkan kepada Tergugat sebagai Pengasuh anak yang bernama Ida Bagus Kresnasandi, walaupun Penggugat menurut Hukum Adat Bali selaku Purusa sampai anak tersebut dewasa.

4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

(33)

Denpasar, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.

5. Mewajibkan kepada Penggugat untuk turut menanggung biaya pemeliharaan dan pengasuhan anak sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) per bulan.

6. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya ;

Terlepas dari permasalahan hukum perceraian yang dilakukan oleh para pihak dalam Putusan Mahkamah Agung No. 171 K/Pdt/2008, maka dapat dilihat bahwa pemeliharaan anak pada putusan tersebut jatuh ke tangan tergugat yaitu pihak ibu kandung dari IDA BAGUS KRESNASANDI umur 8 tahun dan menolak hak asuh penggugat yaitu ayah kandung dari IDA BAGUS KRESNASANDI walaupun Penggugat menurut Hukum Adat Bali selaku Purusa sampai anak tersebut dewasa.

Selain itu Mahkamah Agung mewajibkan Penggugat/Terbanding/ Termohon Kasasi harus turut bertanggung jawab atas kebutuhan anaknya karenanya mewajibkannya untuk memberi nafkah anaknya Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.

(34)

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah dikutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak–anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus. Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak–anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut.

Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak–anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.

Kondisi dari keadaan yang diberikan oleh ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga tercermin dalam Agama Hindu dimana meskipun telah terjadi perceraian kedua orang yang bercerai tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak.72

Kenyataan ini memberikan suatu pandangan dalam kajian perbandingan antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Agama Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian adalah berada di tangan orang tuanya. Hanya saja dalam prakteknya keadaan-keadaan tidak dipenuhi kewajiban tersebut merupakan suatu alasan tersendiri, bagi semua umat beragama termasuk bagi masyarakat yang beragama Hindu. Dengan perkataan lain apa yang

(35)

dikemukakan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Ajaran Agama Hindu tentang pemeliharaan anak adalah beriringan dan sejalan. Hanya saja dalam dalam konteks prakteknya keadaan tersebut tidak dapat berjalan dengan dukungan berbagai faktor seperti ekonomi, orang tua menikah lagi, psikologis dan faktor kemampuan salah satu pihak yang bercerai.

Dikarenakan menurut kitab agama Hindu tidak diatur saat perceraian maka tidak ada mengatur juga tentang tanggung jawab kepada anak apabila terjadi perceraian. Oleh karena itu menjadi satu celah kekosongan aturan ataupun alibi untuk umat Hindu hanya bercerai secara adat/agama untuk lari dari tanggung jawab terhadap anak dan sebenarnya itu sudah menjadi tanggung jawab moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diatur dalam dharmasastra.73

Shri Mariman, mengungkapkan sloka dalam sastra Hindu pun banyak memuat ungkapan mengenai martabat anak, baik dalam Nitiscistra, Manawa Dharmasastra, maupun Dharmasastra.74

Perlakuan terhadap anak diungkapkan melalui kakawin Nitisastra, wirama wirat raga kusuma, sloka 20. Di situ disebutkan, anak berumur lima tahun hendaknya diperlakukan seperti anak raja. Jika sudah berumur tujuh tahun diberikan pendidikan agar memiliki ilmu pengetahuan. Jika sudah berumur enam belas tahun diperlakukan sebagai sahabat, dan berhati-hati memberi nasihat atau menunjukkan kesalahannya. Jika sudah berkeluarga, amati perilakunya, jika ingin memberi pelajaran cukup dengan gerak dan isyarat. Kakawin yang memuat ketentuan orangtua mendidik

anak-73Wawancara Dengan Bapak Muthu Sekertaris PHDI Medan di Medan, tanggal 23 Juli 2013. 74 Wawancara Dengan Shri Mariman, selaku Perhimpunan dan bagian dari pada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Medan, tanggal 5 Juli 2013.

(36)

anaknya ini diperkuat lagi dengan kakawin Dharmasastra sloka 80. Demikian ajaran Putrasasana.75

Perbedaan mendidik anak manusia dengan bangsa binatang lain juga termuat dalam kakawin nitisastra, wirama sardula wikridita sloka 13. Di situ disebutkan, bangsa burung hanya sewaktu-waktu menyentuh telurnya dengan perlahan. Tetapi, jika tiba saatnya telur itu akan menetas, dengan sendirinya anak itu keluar dari kulit telur yang pecah itu. Wajah/rupanya, tak berbeda jauh dengan induknya. Tidak demikian halnya dengan anak-anak manusia. Mereka harus diperhatikan, dipelihara, dididik, dan dilindungi agar tumbuh dan berkembang menjadi anak suputra.76

Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Medan. menambahkan, perlindungan anak tak hanya termuat dalam sastera Hindu, juga dalam kitab suci. Secara Hindu disebutkan, manusia dilahirkan ke dunia berbekal tiga utang (Tri Rna), salah satunya utang kepada leluhur (Pitra Rna). Ketiga utang itu belum tentu terbayarkan dengan satu kali kelahiran di dunia. Untuk itu anak/keturunan yang memiliki kewajiban melanjutkan kewajiban keluarga demi kelangsungan keluarga itu sendiri.77

Dalam Kitab Manawa Dharmasastra IX.138 disebutkan “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orangtuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tak memiliki keturunan), karena itu ia disebut putra”. Dayu Tary menyebutkan untuk mendapatkan anak dengan karakter dan kepribadian serta

75Wawancara Dengan Shri Mariman, selaku Perhimpunan dan bagian dari pada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Medan, tanggal 5 Juli 2013.

76Wawancara Dengan Bapak Taya Rajaball, selaku Ketua Paruman Pendeta Parisada Kota Medan, tanggal 23 Juli 2013.

77Wawancara Dengan Bapak Chandra Bose, Wakil Ketua PHDI Sumut di Medan, tanggal 6 Juli 2013.

(37)

memiliki budi pekerti yang baik, sebenamya sudah dimulai dari vivaha samskara yang dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan dan dilanjutkan dengan samskara-samskara lain, salah satunya garbadhana sarira (megedong-gedongan). “Dan situ sudah seorang ibu sudah melakukan Tri Kaya Parisudha baik dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan itu harus suci.78

Setelah kelahiran sang bayi, diikuti samskara yang lain. Tugas orangtua menjadi lebih besar yakni mengasuh anak. Ini juga termuat dalam Nitisasatra II. 16 dan 18 yang menyebutkan “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, jangan berlebihan karena berakibat tidak baik. Beri pendidikan maupun hukuman untuk disiplin selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau sudah dewasa (16 tahun) didiklah ia sebagai teman”. Di sinilah sebenarnya peran orangtua dalam membentuk sebuah keluarga yang sukinah (baik dan harmonis).

Tak hanya itu, dalam Nitisastra VIII.3 juga dimuat lima kewajiban orangtua terhadap anaknya (Panca Vida) yakni melahirkan anak sesuai kodratnya untuk meneruskan generasi umat manusia; setelah dilahirkan orangtua wajib memeliharanya dengan memberi makan dan minum untuk kesehatan fisik, kecerdasan memperhatikan tumbuh kembang anak; memberikan kesempatan mengenyam pendidikan baik formal maupun nonformal; pembinaan mental spiritual dengan menkondisikan anak dalam nuansa hidup religius, siap memberikan jaminan keamanan kepada anak. “Jika orangtua sudah menjalani panca vida itu otomatis anak

78Wawancara Dengan Bapak Chandra Bose, Wakil Ketua PHDI Sumut di Medan, tanggal 6 Juli 2013.

(38)

akan bakti pada orangtua,” katanya.

Bagi anak yang berbakti pada orangtuanya, dalam Sarasamuscaya 250 disebutkan Tuhan akan memberikan empat pahala yang mulia yakni, kemakmuran dan kemasyuran, panjang umur dan sehat, kuat secara fisik dan mental, serta jasa-jasa dari perbuatan baiknya.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan perlindungan hukum terhadap anak akibat pembatalan perkawinan orangtuanya adalah karena status anak tetap anak sah sekalipun perkawinan kedua orang tuanya

Tesis yang berjudul :”Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”,

Sehubungan dengan pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

38 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 113, disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) Kematian (2) Perceraian (3) Putusan Pengadilan Pada pasal

Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat (1): Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih

Selain anak yang berdampak pada perceraian tersebut juga berdampak kepada harta perkawinan mereka dimana apabila terjadi suatu perceraian maka harta perkawinan

Dan apabila istri mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan dengan alasan tidak diberikan nafkah dan istri menuntut nafkah seperti aturan dalam Pasal 41

Seorang anak dikategorikan sebagai anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang perkawinan jika dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, ada dua