• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM ORANG TUA YANG MELALAIKAN KEWAJIBAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF JURNAL ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AKIBAT HUKUM ORANG TUA YANG MELALAIKAN KEWAJIBAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF JURNAL ILMIAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH

Oleh:

ILMA HAKIKI D1A014136

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

2018

(2)

AKIBAT HUKUM ORANG TUA YANG MELALAIKAN KEWAJIBAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF

JURNAL ILMIAH

Oleh:

ILMA HAKIKI D1A014136

Menyetujui:

Pembimbing Pertama,

Saharuddin, SH.,MH NIP. 196312311992031016

(3)

Ilma Hakiki D1A014136 Fakultas Hukum Universitas Mataram

ABSTRAK

Tujuan yang ingin dicapai yakni untuk mengetahui kewajiban orang tua kepada anak dan untuk mengetahui akibat hukum bagi orang tua yang melalaikan kewajiban kepada anaknya berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Manfaat yang bisa diperoleh adalah manfaat secara teoritis dan praktis. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif. Adapun permasalahan yang akan diteliti mengenai bagaimanakah kewajiban orang tua kepada anaknya berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia dan bagaimanakah akibat hukumnya apabila kewajiban orang tua kepada anaknya tidak terpenuhi berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Karena itu judul yang diangkat dalam skripsi ini adalah Akibat Hukum Orang Tua yang Melalaikan Kewajiban Terhadap Anak Menurut Hukum Positif.

Kata kunci: Melalaikan kewajiban kepada anak.

DUE TO THE PARENT OF THE PARENTS EXPRESSLY LIABILITIES TO CHILDREN BY POSITIVE LAW

ABSTRACT

Objectives to be achieved are to know the obligations of parents to children and to know the legal consequences for parents who neglect obligations to their children under the laws in force in Indonesia. The benefits to be gained are theoretical and practical benefits.

The method used in this research is normative research method. The problems to be studied about how the obligations of parents to their children under the law in Indonesia and how the legal consequences if the obligations of parents to their children are not met under the laws in force in Indonesia. Because of that the title raised in this thesis is the Parent Legal Consequences that Neglect Obligations Against Children by Positive Law.

Keywords: Neglect obligations to the child.

(4)

i. PENDAHULUAN

Pernikahan adalah langkah awal bagi sebuah bangunan baru dalam masyarakat muslim dan tiang pancang baru untuk menyanggah keutuhan bangunan tersebut, maka sangatlah pantas bila semua anggota masyarakat menyambut gembira peritiwa itu dengan ucapan selamat dan doa keberkahan yang diliputi rasa gembira dan bersuka ria. Akan tetapi harus tetap berada dalam koridor dan etika islam, agar proses pendirian bangunan itu tetap terarah dan kuat, sehingga masyarakat yang islami akan terwujud dengan baik.1

Didalam Undang-undamg Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang termuat dalam Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang termuat dalam Pasal 2 menyatakan bahwa Perkawinan menurut hukum islam adalah “pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di dalam Pasal 26 menyatakan bahwa Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.

Artinya, bahwa suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal diatas hanya memandang hubungan perdata saja, yaitu hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan. Sedangkan tujuan dari suatu perkawinan tidak disebutkan disini.

Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut hukum Islam tujuan dari perkawinan ialah menurut perintah Allah SWT untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.2

Diantara nikmat terbesar, hadiah teragung, dan pemberian yang paling banyak adalah kala manusia dikaruniai keturunan yang shalih, berbahagia dengan mereka di dunia dan menjadikan mereka sebagai simpanan (pahala) setelah kematiannya.3

1 AhmadBin AbdulAziz al-Hamdan, RisalahNikah, DarulHaq, Jakarta, 2016, hlm.1-2

2Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.21-23

3Abdurrahman Bin AbdullahAs-Sanad, HimpunanMateriKultum, DarulHaq, Jakarta, 2015, hlm.153

(5)

Dan diantara musibah terbesar dan kesusahan yang paling dahsyat adalah kala seseorang di antara kita dikaruniai keturunan, lalu dia berharap hilangnya keturunan itu, berdoa kepada rabbnya agar menyegerakan kebinasaannya (yaitu) pada saat seorang ayah diuji dengan anak durhaka, rusak, mencemari nama baik ayahnya, membuat mukanya merah padam (karena malu), membuatnya tidak tidur malam harinya, mengganggu tidurnya, di saat anak menjadi siksa sebagai pengganti nikmat.4

Anak merupakan amanah dari Allah. tidak semua pasangan yang menempuh suatu pernikahan dikaruniai anak. Hanya keluarga yang dikehendaki oleh Allah-lah yang akan dititipi anak. Oleh karena itu, suatu hari kelak, tanggungjawab kita sebagai orang tua akan diperhitungkan oleh Allah.5 Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Munculnya berbagai permasalahan sosial yang terjadi pada saat ini salah satu penyebabnya adalah akibat merenggang dan hancurnya sistem dalam keluarga baik sistem nilai maupun sistem aturan hak dan kewajiban sehingga saat ini anak-anak kurang memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya terhadap orang tua. Begitu juga sebaliknya, orang tua kurang memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya terhadap anak mereka.

Begitu besar tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Namun demikian, ada sebagian orang tua yang tidak menyadari tanggung jawab ini sehingga bertindak kurang baik dan tidak amanah terhadap anak-anaknya.6Banyak diantara kita, para orang tua yang menganggap sudah cukup memberikan makan yang layak kepada anak, serta harta yang melimpah. Namun, itu semua ternyata masih kurang apabila perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak tidak terpenuhi.7

4Ibid.

5Ibid, hlm.7

6NurulChomaria, MenzalimiAnakTanpaSadar, PT.AqwamMediaProfetika, Solo, 2010, hlm.8

7Ibid.

(6)

Dan mengenai hal ini, penulis mengangkat judul tentang “akibat hukum orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anak menurut hukum positif” dengan alasan untuk membandingkan apa saja kewajiban orang tua terhadap anak, dan bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap orang tua yang melalaikan kewajibannya, baik karena orang tua itu berkelakuan buruk maupun dikarenakan perceraian dari kedua orang tua tersebut menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun tujuan yang ingin dicapai yakni untuk mengetahui kewajiban orang tua terhadap anak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, dan Untuk mengetahui akibat hukum apabila kewajiban orang tua kepada anaknya tidak terpenuhi berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

(7)

ii. PEMBAHASAN

Kewajiban Orang Tua Kepada Anaknya Berdasarkan Hukum Positif

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berpasangan, yakni laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanan hidup manusia, merupakan hal yang sangat lumrah apabila antara laki-laki dan perempuan tersebut memiliki rasa saling ketertarikan antara satu dengan yang lain, dan pada akhirnya hubungan tersebut berlanjut kejenjang perkawinan.

Pernikahan adalah langkah awal bagi sebuah bangunan baru dalam masyarakat muslim dan tiang pancang baru untuk menyanggah keutuhan bangunan tersebut, maka sangatlah pantas bila semua anggota masyarakat menyambut gembira peritiwa itu dengan ucapan selamat dan doa keberkahan yang diliputi rasa gembira dan bersuka ria. Akan tetapi harus tetap berada dalam koridor dan etika islam, agar proses pendirian bangunan itu tetap terarah dan kuat, sehingga masyarakat yang islami akan terwujud dengan baik.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anaknya terdapat dalam BAB X mengenai Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak Pasal 45-49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun hak dan kewajiban tersebut antara lain:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat (1)).

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (Pasal 45 ayat (2)).

3. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1)).

4. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46 ayat (2)).

5. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya (Pasal 47 ayat (1)).

6. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan (Pasal 47 ayat (2)).

7. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48).

(8)

8. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal (Pasal 49 ayat (1)):

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali.

9. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut (Pasal 49 ayat (2)).

Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak terdapat dalam BUKU I tentang Hukum Perkawinan pada BAB XIV mengenai Pemeliharaan Anak dalam Pasal 98, Pasal 104, Pasal 105 dan Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam. Adapun hak dan kewajiban tersebut antara lain:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 98 ayat (1)).

2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 98 ayat (2)).

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu (Pasal 98 ayat (3)).

4. Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyususan dibebankan kepada orang tua yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya (Pasal 104 ayat (1)).

5. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya (Pasal 104 ayat (2)).

6. Dalam hal terjadinya perceraian (Pasal 105):

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

7. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi (Pasal 106 ayat (1)).

8. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). (Pasal 106 ayat (2)).

Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak terdapat dalam BAB XIV tentang kekuasaan orang tua dalam Pasal 298 dan Pasal 299 KUHPerdata. Adapun hak dan kewajiban tersebut antara lain:

1. Tiap-tiap anak, dalam umur berapa pun juga, berwajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya.

Si bapak dan si ibu, keduanya berwajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua

(9)

atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa, berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam bagian ketiga bab ini (Pasal 298).

2. Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung dibawah kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu (Pasal 299).

Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak terdapat dalam BAB IV bagian keempat mengenai kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan keluarga pada Pasal 26 Undang-undang Perlindungan Anak. Adapun hak dan kewajiban tersebut antara lain:

(1)Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

b. Menumbuhkembangkan anak, sesuai dengan kemampuan bakat, dan minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, dan

d. Memberikan pendidikan karekter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

(2)Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Akibat Hukum Bagi Orang Tua Yang Melalaikan Kewajiban Terhadap Anaknya Berdasarkan Hukum Positif

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Allah. Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna yakni manusia. Perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan. Sejak anak lahir dari perkawinan yang sah lahirlah kekuasaan orang tua, sepanjang anak itu hidup dan tumbuh menjadi dewasa. Kecuali dalam perjalanan waktu tersebut kekuasaan orang tua dicabut atau dibebaskan oleh hakim. Atau perkawinan orang tuanya diputus cerai. Demikian juga dengan matinya anak, maka

(10)

kekuasaan orang tua dengan sendirinya berakhir.8 Terhadap anak-anak luar kawin, kekuasaan orang tua lahir sejak orang tuanya mengakui anak itu sebagai anaknya, atau sejak kedua orang tua melakukan perkawinan satu sama lainnya. Kekuasaan orang tua tidak akan berakhir, dengan adanya perpisahan orang tua tentang meja dan tempat tidur.9 Adapun akibat hukum merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan berakibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan.10 Yang dimaksud akibat hukum adalah akibat sesuatu tindakan hukum. Tindakan hukum adalah tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki yang diatur oleh hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karna kejadian-kejadian terterntu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.11

Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat (1): Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya.

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

Ayat (2): Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata di dalam Pasal 319a menyatakan: apabila ternyata, bahwa seorang bapak atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak cakap atau tidak mampu menunaikan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, dan kepentingan anak-anak itu pun karena hal-hal lain tidak menentangnya, maka atas permintaan orang Dewan Perwalian atau atas tuntutan Jawatan

8Ibid

9Ibid, hlm 67

10SoedjonoDirdjosisworo, PengatarIlmuHukum,PT.RajaGrafindoPersada, Jakarta, 1983, hlm.131- 132

11PipinSyarifin, PengantarIlmuHukum,CV.PustakaSetia, Bandung, 1999, hlm.71

(11)

Kejaksaan, bolehlah ia dibebaskan dari kekuasaan orang tuanya, baik terhadap sekalian anak, maupun terhadap seorang atau lebih dari anak-anak itu.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai akibat hukum orang tua yang melalikan kewajiban terhadap anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak terdapat dalam Bab VI mengenai Kuasa Asuh pada Pasal 30 ayat (1) menyatakan bahwa:

Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. Ayat (2): Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 105 terdapat dua aspek yang penekanannya meliputi:

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dalam hal perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 secara garis besarnya mengatur tentang perkawinan dan anak yang sah akibat lahir dari perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat, sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam khususnya mengatur ketentuan-ketentuan syahnya perkawinan secara Islam meskipun tidak didaftarkan ke pencatatan perkawinan. Akan tetapi hak dan kewajiban antara orang tua dan anak tidak akan pernah lepas, meskipun perkawinan orang tuanya telah berpisah. Dan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sendiri, perkawinan dipandang hanya dalam hubungan-hubungan keperdataan artinya bahwa suatu perkawinan itu hanya mempunyai hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan. Sedangkan tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak disebutkan dalam KUHPerdata. Sementara Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak lebih menekankan pada perlindungan anak tersebut supaya orang tua didalam menjalankan

(12)

kewajibannya, anak memperoleh jaminan pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi anak.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan bahwa bapak bertanggungjawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan Agama dapat menetukan bahwa ibu ikut memikul biaya dimaksud. Bagaimanapun pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orang tua, oleh karenanya setiap orang tua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja, sebab baik buruknya sifat dan kelakuan anak-anak, sepenuhnya tergantung baik buruknya pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. 12

Mengingat pentinganya pemeliharaan anak agar hidup dan pendidikan mereka tidak terlantar, Undang-undang menentukan agar bapak sepenuhnya dapat menanggung pembiayaan anak-anaknya termasuk biaya pendidikan. Apabila ternyata si bapak tidak dapat memenuhinya, ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak tersebut melalui suatu penetapan Pengadilan. Dengan demikian tanggungjawab pemeliharaan berada di bawah kewenangan ibu anak-anak tersebut. Di samping itu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga mengisyaratkan seperti Pasal 49, Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 319a Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 30 Undang-undang Perlindungan Anak. Ketentuan Pasal ini membuka jalan bagi Hukum Pengadilan Agama untuk menghukum suami isteri atau keduanya, agar melepaskan kekuasaan mereka terhadap anaknya. Akan tetapi pencabutan kekuasaan

12 AmiurNuruddin, AzhariAkmalTarigan, HukumPerdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 311

(13)

tersebut tidak berpengaruh terhadap hak seorang bapak untuk menjadi wali nikah dan mereka masih tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak-anak mereka.13

Jika menurut pertimbangan Hakim kepentingan anak-anak menghendakinya, maka masing-masing orang tua, sekedar ia belum kehilangan kekuasaan orang tuanya, atas permintaan orang tua lain, atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat ke empat dari anak-anak itu, atau atas permintaan Dewan Perwalian, atau akhirnya pun atas tuntutan Jawatan Kejaksaan, boleh dipecat dari kekuasaan orang tuanya, baik terhadap sekalian anak-anak maupun terhadap seorang atau lebih dari anak-anak itu karena:

1. Telah menyalahgunakan kekuasaan orang tuanya, atau terlalu mengabaikan kewajibannya dalam memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih.

2. Kelakuannya yang buruk.

3. Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan mutlak, karena sengaja telah turut serta dalam sesuatu kejahatan terhadap seorang anak belum dewasa yang ada dalam kekuasaannya.

4. Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan mutlak, karena sesuatu kejahatan yang tercantum dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX dan XX buku ke dua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dilakukan terhadap seorang anak belum dewasa yang ada dalam kekuasaannya.

5. Telah mendapat hukuman hanya dua tahun lamanya atau lebih, dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan mutlak.

Dalam Hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Positif) sudah sangat-sangat jelas tertera ketentuan-ketentuan yang mencakup segala kewajiban orang tua terhadap anaknya. Namun permasalahan yang timbul di masyarakat pada

13 Ibid, hlm. 312-313

(14)

umumnya ialah masalah orang tua yang tidak memenuhi atau melalaikan kewajibannya kepada anaknya. Permasalahan mengenai tidak memenuhi atau melalaikan kewajiban kepada anak banyak kita jumpai di daerah-daerah pedesaan, namun di daerah perkotaan juga tidak luput dari permasalahan tersebut, dimana permasalahan mengenai tidak terpenuhi atau melalaikan kewajiban kepada anak disebabkan oleh salah satu faktor yakni pendidikan rendah dan kemiskinan sehingga anak-anaknyalah yang menjadi korban, akibatnya orang tua tidak bisa memenuhi dan melalaikan kewajibannya kepada anaknya.

(15)

iii. PENUTUP Simpulan

Kewajiban orang tua kepada anak yakni mengasuh dan memelihara, mendidik serta melindungi anak-anaknya sebaik-baiknya, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum. Penyusuan dilakukan untuk paling lama 2 tahun serta merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan.

Jika orang tua tidak bisa memenuhi atau melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk, maka kekuasaan orang tua tersebut bisa dicabut untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua lain (saudara kandung yang telah dewasa, keluarga anak dalam garis lurus keatas, atau pejabat yang berwenang) dengan keputusan Pengadilan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 319a Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Pasal 30 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sedangkan menurut Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam), di dalam Pasal 105 meski orang tua telah dicabut kekuasaannya dan orang tua tersebut mengalami perceraian, jika anaknya belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah merupakan hak ibunya sementara ayahnya harus memenuhi biaya pemeliharaannya dan jika anknya sudah mumayyiz (sudah berumur 12 tahun) maka ia berhak memilih antara ibu atau bapaknya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

Saran

Dalam Hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Positif) sudah sangat-sangat jelas tertera ketentuan-ketentuan yang mencakup segala kewajiban orang tua terhadap anaknya.

(16)

Namun permasalahan yang timbul di masyarakat pada umumnya ialah masalah orang tua yang tidak memenuhi atau melalaikan kewajibannya kepada anaknya. Permasalahan mengenai tidak memenuhi atau melalaikan kewajiban kepada anak banyak kita jumpai di daerah-daerah pedesaan, namun di daerah perkotaan juga tidak luput dari permasalahan tersebut, dimana permasalahan mengenai tidak terpenuhi atau melalaikan kewajiban kepada anak disebabkan oleh salah satu faktor yakni pendidikan rendah dan kemiskinan sehingga anak-anaknyalah yang menjadi korban, akibatnya orang tua tidak bisa memenuhi dan melalaikan kewajibannya kepada anaknya.

(17)

Daftar Pustaka Buku

Abdurrahman Bin Abdullah As-Sanad, Himpunan Materi Kultum, DarulHaq, Jakarta, 2015.

Ahmad Bin Abdul Aziz al-Hamdan, Risalah Nikah, DarulHaq, Jakarta, 2016.

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, 2007.

Nurul Chomaria, Menzalimi Anak Tanpa Sadar, PT.Aqwam Media Profetika, Solo, 2010.

Peraturan-peraturan

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Soesilo dan Pramudji R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(3)menyimpulkan hasil dari analisis.Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa buku pelajaran bahasa inggris mengembangkan tujuh latihan komunikatif yang

Satu penelitian menunjukkan bahwa respon inflamasi yang berhubungan dengan infeksi sistemik menjadi predisposi perkembangan respon autoimun dari sel T helper 1

Dengan bertambahnya wawasan dan informasi menengenai suatu prosedur, maka pasien akan merasa lebih tenang sehingga level kecemasan pasien akan berkurang (Pertiwi,

Tujuan penelitian ini adalah : mempelajari pengaruh penambahan volume enzim alfa-amilase dan gluko-amilase pada proses hidrolisa terhadap kadar glukosa yang dihasilkan,

[r]

Sehingga peneliti menyarankan tetap untuk diadakannya pelatihan bagi tenaga kerja non edukatif secara rutin untuk meningkatkan produktifitas kerja dan untuk

The most important modules that you can find here are as follows: • Project model : This is used to work with the Visual Studio project • Text control : This allows you to work