An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 1 Dampak Perceraian terhadap Kelangsungan
Pendidikan Anak di Pangkung Buluh, Jembrana Oleh:
Fathur Rahim & Hidjriah Fitriawati Dosen STIT Jembrana
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai gejala-gejala yang timbul sebagai dampak perceraian yang memiliki hubungan dengan kelangsungan pendidikan anak. Penelitian yang mengambil lokasi di dusun Pangkung Buluh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Provinsi Bali ini melibatkan 9 responden yang memiliki orang tua bercerai. Data-data diperoleh dengan mengamati secara langsung, dan mewawancarai anak-anak pasca perceraian, keluarga, tetangga, teman dan pihak sekolah tempat dimana anak tersebut sekolah untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif. Data hasil penelitian tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus (case study) yang menghasilkan kesumpulan bahwa secara umum perceraian berdampak buruk bagi kelangsungan pendidikan anak.
Kata kunci: Dampak Perceraian, Kelangsungan Pendidikan Anak
A. Pendahuluan
Setiap orang ingin memiliki keluarga harmonis namun tidak semua keluarga dapat mewujudkannya. Banyak keluarga yang semula rukun ketika terjadi konflik tidak mampu mengatasinya dengan baik hingga akhirnya berujung pada perceraian. Di Indonesia sendiri, angka perceraian terus mengalami peningkatan per tahunnya. Berdasarkan data dari Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung periode 2014-2016 perceraian di Indonesia memiliki tren yang meningkat. Dari 344.237 perceraian pada 2014 naik menjadi 365.633 perceraian di tahun 2016, naik 3 persen di setiap tahunnya.1
Perceraian pasangan suami istri bukan hanya berdampak pada pasangan suami-istri, melainkan juga berdampak pada anak-anak
1
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 2
yang sebenarnya tidak berdosa.2 Perceraian dapat mengakibatkan anak-anak merasa tidak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya dan gangguang pesikologis lainnya sekaligus menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan prilaku dan kepribadian anak sehingga banyak studi yang dilakukan untuk memahami akibat-akibat dari perceraian bagi anggota keluarga, khususnya anak3.
Anak-anak sebenarnya dapat melihat dan merasakan ketegangan yang dialami orang tuanya, namun ia khawatir jika ia mengungkapkan emosinya akan menambahkan buruk keadaan hingga ia harus menyimpannya sendiri. Banyak anak yang keluarganya mengalami “broken home” mengalami gangguan emosi dan berakibat pada sikap dan tingkah lakunya terhadap pendidikan. Anak bisa saja putus sekolah karena stress dan merasa minder karena perceraian orang tuanya.
Oleh sebab itu kajian ini difokuskan untuk menyingkap dampak perceraian terhadap kelangsungan pendidikan anak yang terjadi di Pangkung Buluh, Kabupatern Jembrana, Provinsi Bali.
B. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study). Pada penelitian studi kasus, peneliti dapat meneliti individu atau satuan unit tertentu seecara mendalamsecara single case study maupun
multi-case study .Sumber data yang dari penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu responden (subyek penelitian) dan informan (narasumber). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan observasi, wawancara dan catatan lapangan . Pengumpulan data dengan teknik yang berbeda ini bertujuan untuk membandingkan data dari masing-masing teknik pengumpulan data sehingga dapat diiperoleh data yang lebih utuh dan lengkap.
Sedangkan teknik analisa data yang digunakan mencakup reduksi data, display (penyajian data) dan pengambilan keputusan. Sedangkan untuk memastikan validitas data yang diperoleh digunakan metode trianggulasi.
2 Arso Sosroatmodjo, S.H., dan Wasit Aulawi, MA, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004), 54
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 3 C. Kajian Teori
1. Perceraian
Perceraian dalam bahasa Arab disebut Thalaq yang secara etimologi berarti “melepaskan atau meninggalkan”, sedangkan secara epistemologi fiqh, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suami.4 Sedangkan dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; Putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah perceraian. Dalam pasal 39 Undang-undang Perkawinan mengatakan: a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak; b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri; c) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.5
Dalam penelitian ini, pengertian perceraian yang digunakan mengacu pada perceraian sebagaimana yang diatur dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974. Sehingga data-data kasus perceraian akan ditelusuri melalui kasus yang telah diputuskan di Pengadilan Agama Jembrana. Sementara kasus perceraian yang tidak terdaftar dalam Pengadilan Agama tidak akan dijadikan subyek penelitian.
2. Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang mempunyai arti memelihara dan memberi latihan. Kedua hal tersebut memerlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan tentang kecerdasan pikiran. Pengertian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2006), 191
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 4
dan pelatihan. Dengan melihat definisi tersebut, sebagian orang mengartikan bahwa pendidikan adalah pengajaran karena pendidikan pada umumnya membutuhkan pengajaran dan setiap orang berkewajiban mendidik.6 Pendidikan juga bisa diartikan sebagai usaha untuk mempengaruhi manusia agar bersedia dan mampu mewujudkan apa yang ia pandang sebagai makna eksistensi manusia di dunia ini7.
Dalam tatanan praksis, pendidikan dapat dibagi dibagi menjadi tiga klasifikasi yang mencakup:
a. Pendidikan Formal
Pendidikan adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
b. Pendidikan Nonformal
Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjemjang misalnya kursus, TPA/TPQ dan bimbingan belajar. Pendidikan Nonformal juga bisa diartikan sebagai kegiatan belajar yang diselenggarakan oleh warga dan peserta didik di dalam suatu wadah yang diorganisasi (berstruktur) yang terjadi di luar lembaga persekolahan. Adapun ciri dari
pendidikan Nonformal adalah berjangka pendek
pendidikannya, program pendidikannya merupakan paket yang sangat khusus, persyaratan pendaftarannya lebih fleksibel serta materi yang disampaikan lebih luas, tidak berjenjang. c. Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sama sekali tidak terorganisasi secara struktural, tidak terdapat penjenjangan kronologis, tidak mengenal adanya ijazah, waktu belajar sepanjang hayat dan lebih merupakan hasil pengalam induvidual mandiri serta pendidikannya tidak terjadi di dalam
6 Fransisca Chandra, “Peran Partisipasi Kegiatan di Alam Masa anak, Pendidikan dan Jenis
Kelamin sebagai Moderasi Terhadap Perilaku Ramah Lingkungan”. Disertasi S3. (Yogyakarta:
Program Magister Psikologi Fakultas Psikologi. Unversita Gadjah Mada Yogyakarta, 2009), 33
7 Lihat Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo, Masalah Pendidikan Nasional: Beberapa
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 5
medan interaksi belajar mengajar buatan seperti pendidikan budi pekerti, etika, sopan santun dan moral.8
Dari ketiga jenis pendidikan ini, kelangsungan pendidikan yang akan diteliti dalam penelitian ini hanya mencakup pendidikan Formal dan Nonformal, sementara pendidikan Informal tidak menjadi obyek penelitian. Hal ini dilakukan karena pendidikan informal bersifat pengalaman manusia yang tidak tersetruktur, tidak terorganisasi, tidak dapat direncanakan dan tidak dapat diadakan penilaian dan evalusi dalam waktu tertentu.
3. Dampak Perceraian terhadap Anak
Perceraian dalam sebuah keluarga akan berdampak besar bagi kehidupan anak secara umum. Rifa’i mengklasifikasikan dampak perceraian orang tua terhadap anak menjadi tiga, antara lain: a) Dampak psikologis yang membuat anak menyalahkan diri sendiri, tidak percara diri, merasa tidak diinginkan orang tuanya serta tidak merasa aman dan kesepian, b) Dampak sosial yang membuat anak mengalamim perubahan perilaku yanng cenderung ke arah negatif karena efek traumatis pasca perceraian, dan c) Dampak pendidikan yang mencakup mencakup a) Tidak terpenuhinya kebutuhan pendidikan, baik biaya maupun fasilitas karena orang tua kurang dapat memberikan perhatian yang sesungguhnya terhadap pendidikan anak; b) Perceraian orang tua dapat mempengaruhi prestasi belajar anak yang sebelumnya selalu mendapat kontrol dari orang tua sebelum terjadi konflik; c) Anak menjadi stres akibat menanggung beban yang terlalu berat dari perceraian orang tuanya sehingga bisa mengakibatkan putusnya pendidikan.9
Karena yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah kelangsungan pendidikan anak maka, kegiatan penelitian diarahkan pada dampak perceraian terhadap pendidikan anak. Sementara dampak-dampak lain akan tetap diperhatikan sebagai informasi lain yang mendukung dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan.
8 Lihat Evi Rine Hartuti, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Laksana, 2012), 12-13
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 6 D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Responden I (AK)
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, AK merupakan sosok pemuda yang cuek dan kurang peduli terhadap lingkungan dan pandangan orang lain. Orang tuanya bercerai Ibunya selingkuh dengan pria lain. Ketika orang tuanya bercerai, dia merasa sangat kecewa dan memilih tinggal dengan Bapaknya dan masih aktif sekolah. Tetapi ketika Bapaknya dan Ibunya membina keluarga baru, ia merasa tidak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya lagi dan mulai mencari perhatian di luar rumah. AK bergaul dengan anak-anak nakal hingga ia terjerumus dalam pergaulan yang salah dan dikeluarkan dari sekolah ketika duduk di kelas 2 SMK. Alasan ia dikeluarkan dari sekolah karena berbulan-bulan bolos tanpa alasan yang jelas. AK mulai pun mulai mengenal kebiasaan buruk seperti merokok, meminum minuman beralkohol, berjudi hingga melakukan seks bebas. Nasehat orang tuanya pun sudah tidak lagi didengarkannya sama sekali.
AK juga tidak pernah mengaji. ketika diwawancarai, Ustadzah tempat AK mengaji menceritakan kalau AK memang pernah mengaji namun sering tidak hadir. Ia lebih suka nongkrong di tempat penyewaan playstation daripada mengaji. ketika ditanya, AK hanya menjawab malas dan malas. AK sendiri mengakui perangainya itu. Ketika peneliti bertemu dengan AK, Ia mengakui jika ia malas mengaji karena tempatnya tidak enak, gurunya gaak, banyak kegiatan yang tidak disukainya. Ia merasa banyak melakukan dosa dan mengaku merasa bingung dengan hidupnya sendiri. Salah seorang tetangga AK memberikan informasi bahwa AK memang sejak orang tuanya belum bercerai merasa kurang diperhatikan dan acapkali bertingkah. Karena kenakalannya tersebut ia sering mengalami perlakuan yang tidak baik dari bapaknya. Hampir setiap hari ia menerima pukulan dan umpatan berupa kata-kata kotor. Setelah orang tuanya bercerai kenakalannya semakin menjadi-jadi hingga ia lepas kendali. Ia selalu menentang orang tuanya ketika dinasehati.
Berbeda dengan kebanyakan informan yang terkesan menimpakan kesalahan semuanya pada diri AK, Nenek AK
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 7
memiliki pandangan lain. Menurutnya, kenakalan AK tersebut tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi akibat kurang perhatian dari orang tuanya. Orang tua AK hanya sekedar menyuruh AK. Mau sekolah atau tidak, mau mengaji atau tidak terserah pada AK, tidak ada tindak lanjutnya. Nenek AK berpandangan sikap orang tua AK tersebut disebabkan karena masing masing orang tua AK sibuk dengan keluarga baru mereka.
2. Responden II (MR)
MR adalah adik perempuan dari AK. Berbeda dengan saudaranya, MR merupakan anak yang baik, sopan dan tampak memiliki pemikiran yang dewasa. Ketika orang tuanya bercerai, ia tinggal bersama bapaknya. Setelah bapaknya menikah lagi, MR memutuskan tinggal bersama ibunya sedangkan untuk urusan pembiayaan kebutuhan sekolahnya masih ditanggung sepenuhnya oleh bapak. Ibunya selalu memberikan perhatian dalam urusan pendidikan.
Berbeda dengan kakaknya AK, MR tidak ingin kehilangan masa depan. Ia memotivasi dirinya sendiri untuk bisa hidup secara normal sebagaimana teman-temannya. Salah seorang teman dekat MR yang berhasil peneliti wawancarai menceritakan jika MR bisa disebut anak yang baik ketika di rumah maupun ketika di sekolah. Hubungan sosialnya dengan orang lain pun berjalan baik. Tidak ada rasa minder dengan keadaan keluarganya. Walaupun MR bukan anak yang berprestasi, namun ia rajin dan selalu bersemangat dalam belajar karena teman-teman dekatnya selalu menyemangatinya.
Dalam hal pendidian Nonformal, MR sudah tidak mengaji lagi di TPQ karena teman-temannya yang seusia dengannya sudah tidak ada yang mengaji di TPQ. Akan tetapi, MR mengaku setiap minggu pergi mengaji mengantar dan mendampingi neneknya ke salah satu Majlis Taklim di desa Tuwed yang berbeda kecamatan dengan tempat tinggalnya.
Karena sikapnya yang baik, MR tidak memiliki masalah dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Ia dapat bergaul dengan siapa saja dan tidak mengalami kendala sama sekali.
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 8
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, AF merupakan anak yang baik, cerdas dan mudah bergaul. Setelah perceraian kedua orang tuanya, AF memilih tinggal bersama ibunya di rumah neneknya. Walaupun awalnya ada rasa kecewa dengan perceraian yang menimpa keluarganya, AF tampaknya dapat menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada. Menurut pengakuannya, ia sama sekali merasa tidak minder dengan teman-temannya yang keluarganya masih utuh. Toh, dirinya masih memiliki kedua orang tua walaupun tidak serumah. Di sekolah, AF merupakan salah satu murid berprestasi bai di bidang akademik maupun di bidang non-akademik. Ia selalu berhasil mendapatkan peringkat 10 besar di kelasnya dan menjadi atlet wood ball di sekolahnya bersama tim wood ball sekolah yang sering mendapatkan juara dalam kompetisi antar kelas dan antar sekolah. Bahkan ketika peneliti mewawancarai guru BP AF, Guru BP tersebut tidak mengetahui kalau AF berasal dari keluarga yang “broken home”. Ia termasuk murid yang ceria dan bergaul seperti anak-anak pada umumnya. Tidak ada tanda jika ia mengngalami stress atau gangguan psikologis lainnya. Demikian juga dengan aktifitas pendidikan Nonformal AF. Guru mengaji AF menilai AF merupakan anak yang baik. Walaupun prestasi mengajinya tidak secemerlang prestasi sekolahnya, AF giat belajar, rajin datang ke pengajian dan sering ikut terlilbat lomba-lomba pada peringatan hari besar keagamaan. Sikap rajin mengaji AF ini banyak dipengaruhi oleh neneknya yang selalu memberikannya support untuk terus mengaji. Nenek AF mendorong AF untuk terus mengaji dilatarbelakangi oleh rasa penyesalan pribadi tidak punya pengalaman mengaji. Ia tidak mau kejadian itu berualang pada cucunya.
AF juga bercerita kalau ayahnya juga memiliki perhatian terhadap pendidikannya. Ayah AF sempat menawarkannya untuk memasukkan AF ke pondok pesantren di Jawa agar mendapatkan pedidikan yang lebih baik, namun AF keberatan. AF tidak ingin mondok jauh-jauh dengan alasan di sekitar rumahnya saja masih banyak pondok pesantren. Disamping itu, ibunya juga tidak setuju dengan alasan AF masih membutuhkan perhatian dari orang tua pasca perceraiannya dengan suaminya.
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 9
IQ merupakan siswa kelas 5 Madrasah Ibtida’iyah. Kedua orang tuanya IQ bercerai karena faktor ekonomi. Ayahnya pengangguran sehingga segala kebutuhan hidup dan sekolah IQ ditanggung oleh ibunya. Untuk urusan sekolah, ibunya selalu memberikan dukungan baik material maupun moral untuk rajin sekolah. Seringkali ibunya memarahi IQ jika ia tidak mau pergi sekolah.
Melalui wawancara peneliti terhadap IQ dan kerabatnya, sebenarnya IQ adalah anak yang ceria, mudah bergaul dan tidak minder ketika bermain bersama teman-temannya yang lain. Namun tante IQ bertutur sejak kedua orang tuanya bercerai, IQ sering menangis di sekolah sehingga mengalami kesulitan dalam bergaul. Akhirnya, setelah ia pindah sekolah dan memiliki banyak teman dan mulai betah di sekolahnya yang baru walaupun perangainya tergolong nakal. Ketika peneliti mewawancarai pihak sekolah, pihak sekolahnya yang baru mengaku pernah mengadakan pendekatan kepada IQ dan hasilnya, IQ bertingkah nakal hanya ingin mencari perhatian saja.
Hal yang sama juga terjadi pada pendidikan nonformal IQ. Menurut pengakuan ibunya, IQ sempat mogok mengaji. Sudah dua kali ia memindahkan anaknya mengaji tapi selalu saja ia mengatakan tidak kerasan karena tidak punya teman. Tapi ditempat pengajiannya yang terkhir ini, IQ sudah mulai rajin mengaji. Besarnya perhatian dan motivasi ibunya merupakan faktor utama yang membuat IQ rajin mengaji. Ketika diwawancarai, IQ mengaku malas mengaji tapi ibunya selalu memaksanya untuk mengaji. ibunya tak henti-hentinya memberikan motivasi mengaji kepada dirinya, dari cara yang lembut sampai cara yang keras.
Jika melihat dari sikap IQ di sekolah dan pengajian, tampak memiliki gejala yang sama, dimana pasca perceraian ia mengalami gangguan psikologis, susah berteman dan kehilangan semangat belajar. Namun ia beruntung memiliki ibu yang selalu dapat memotivasi dirinya untuk bangkit dan melewati tekanan psikologis yang dialaminya dengan tanpa kenal lelah. Akhirnya, berekat perhatian yang besar dari ibunya, IQ mendapatkan kembali kehidupannya yang normal setelah melalui waktu yang tidak sebentar.
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 10
5. Responden V QA
QA merupakan anak perempuan yang cerdas dan berprestasi walaupun kedua orang tuanya bercerai. Pasca perceraian, ia tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh industri rumahan (home industri). Ketika masih duduk di bangku SMA ia selalu mendapatkan peringkat 1 di kelasnya walaupun sepulang sekolah QA bekerja paruh waktu untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan keluarga. Setelah lulus SMA, ia sempat masuk bangku kuliah walaupun akhirnya memilih berhenti demi membantu ibu dan adik-adiknya.
Walaupun sudah tidak kuliah, QA masih tetap aktif mengikuti pendidikan nonformal. Ia sangat rajin mengikuti pengajian mingguan di pesantren dekat rumahnya. QA membuat pengakuan jika motivasi untuk menatap hidup dengan optimis didapatkannya dari majlis ilmu yang diikutinya. Dari sana ia memahami pentingnya untuk menghargai ibu dan dengan membantu mengurangi beban keluarganya dalam membesarkan dirinya dan adik-adiknya.
Menurut ketua majlis ilmu tempat QA mengaji, QA adalah anak yang supel dalam pergaulan. Ia sama sekali tidak merasa minder dan mudah berinteraksi dengan sesama anggota pengajian. Bahkan ilmu agama yang didapatkannya dari pengajian langsung diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga QA dikenal dalam keluarganya sebagai seorang anak yang religius.
6. Responden VI (IJ)
IJ merupakan adik dari QA yang masih sekolah di duduk di bangku Madrasah Ibtida’iyah (MI). IJ anak yang manis dan memiliki prestasi di sekolahnya tapi IJ masih terlalu kecil untuk memahami arti dari sebuah perceraian. Ketika diwawancarai, IJ mengaku tidak tahu mengapa ia tidak punya bapak. Ibunya hanya memberikan informasi kalau bapak pulang ke Jawa dan tidak mau lagi pulang ke rumah. Namun demikian, ibunya selalu menekankan pentingnya sekolah. Ketika ia merasa malas untuk pergi sekolah, kakaknya selalu datang untuk memberinya semangat.
IJ juga anak yang rajin mengaji. Setiap sore ia pergi mengaji bersama teman-temannya tanpa minta diantar oleh akak atau
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 11
ibunya. Ibu dan kakaknya sangat menekankan kedisiplinan dalam urusan pendidikan agama. Bahkan jika IJ malas mengaji ibunya tak segan-segan untuk memukulnya. Ibunya berharap IJ akan tumbuh menjadi anak yang pintar mengaji, menjaga sholatnya serta selalu mendo’akan keluarganya agar bisa hidup dengan lebih baik.
Ketika diwawancarai, IJ mengaku ia mengaji bukan karena ikut-ikutan lantaran semua temannya mengaji. Ia mengaji karena ada keinginan agar kelak Tuhan mengabulkan keinginannya. Ibu dan kakaknya selalu memberikan semangat kepadanya kalau ia pandai mengaji, rajin sholat dan berdo’a kepada Allah maka segala keinginan kita bisa terkabul.
Tampaknya yang paling besar pengaruhnya dalam membimbing dan menentukan pendidikan IJ adalah kakaknya. Ketika diwawancarai, Paman IJ menceritakan bahwa ketika lulus TK, ibunya ingin IJ masuk SD saja karena tidak banyak memakan biaya, akan tetapi kakaknya menolak dan lebih memilihkan MI untuk pendidikan adiknya. Kakaknya ingin adiknya mendapatkan pendidikan umum sekaligus agama yang bagus walaupun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
7. Responden VII (AR)
AR adalah sebenarnya bukanlah anak yang baik, ia sama sekali bukan anak yang nakal. AR putus sekolah lebih
dikarenakan ibunya tidak mampu memenuhi biaya
pendidikannya sehingga ia kemudian memutuskan untuk merantau ke Sulawesi untuk bekerja di bengkel milik pamannya. AR tidak ingin membebani biaya pendidikannya kepada ibunya, lebih jauh ia ingin membantu ibunya oleh karena itu ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan merantau. Bapaknya sendiri setelah perceraian tidak pernah memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi kebutuhan belajarnya.
Ketika diwawancarai, Paman AR yang mengetahui keadaan AR di Sulawesi bercerita jika sebelum merantau AR termasuk anak yang rajin mengaji. tapi setelah ia bekerja di Sulawesi, ia tidak lagi mengaji karena diminta untuk mengajar ngaji anak-anak kecil yang berusia 5-6 tahun. Pamannya juga bercerita jika AR termasuk anak yang taat beribadah dan mudah bergaul dengan masyarakat.
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 12
8. Responden VIII (AU)
AU adalah anak satu-satunya yang biasa dimanja tuanya sebelum orang tuanya bercerai. Apa yang ia minta pasti dipenuhi. Pasca perceraian kedua orang tuanya, AU tinggal bersama ibunya. Tapi karena dulu biasa dimanja, AU selalu merasa kekurangan secara finansial mengingat ibunya tidak bekerja. Ia sering minggat dari rumah ibunya ke rumah saudara tirinya ketika permintaannya tidak dituruti. Dari kejadian itu, AU sering bolos sekolah karena rumah saudara tirinya yang jauh dari lokasi sekolah.
Perceraian tampak memberi goncangan psikologi yang besar bagi AU. Ketika diwawancarai, AU merasa bingung tinggal dengan siapa. Mau tinggal dengan bapaknya, ia merasa tidak enak dengan ibu tirinya. Mau tinggal dengan dengan ibunya, ia juga merasa tidak enak dengan bapak tirinya. Walaupun Ia masih dikirimi uang oleh bapaknya untuk biaya pendidikan, ia sudah tidak berminat lagi ke sekolah karena merasa malu dengan teman-temannya. Ia merasa kehidupannya sudah hancur dengan kehadiran orang ketiga daalam keluarganya.
Dalam urusan pendidikan nonformal, AU juga tidak mengaji lagi. Dulu ia pernah mengaji tapi jarang-jarang. Setelah orang tuanya bercerai dan ia tinggal bersama kakak tirinya, AU sama sekali tidak pernah mau mengaji. AU merasa saat ini ia bebas untuk melakukan apa yang diinginkannya tanpa ada orang yang melarang. Menurut salah seorang kerabat dekatnya, perangai AU yang tidak baik itu merupakan kesalahan dari orang tuanya yang tidak memberikan anaknya arahan tentang pentingnya belajar agama. Di rumah pun orang tuanya tidak pernah mendorongnya untuk mengaji.
Apa yang dikatakan oleh kerabat dekatnya ini diakui oleh AU. Ia mengaku tidak mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam keluarganya. Sekolah saja ia diarahkan untuk masuk ke bangku SMP, bukan Mts. Ia mengaku pengetahuan agamanya sangat minim namun untuk belajar mengaji, ia tidak memiliki keinginan sama sekali.
9. Responden IX (ML)
ML dulunya adalah anak yang baik namun setelah perceraian orang tuanya, ML kemudian menjadi anak wanita
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 13
yang nakal. Dia sangat terpukul dengan perceraian kedua orang tuanya karena seringkali di-bully oleh teman teman perempuannya. Hingga kini ia seringkali keluar dengan teman-teman laki-laki yang tidak dikenali oleh masyarakat sekitar rumahnya.
Ketika peneliti mewawancarai tetangganya, mereka mengatakan jika pasca perceraian, Ibu ML menikah dengan lelaki yang tidak seagama. Semenjak itu, ML bertingkah seperti perempuan liar karena ia tinggal bersama bapaknya yang sibuk mengurusi istrinya yang baru. Tidak ada yang bisa mencegahnya untuk keluar malam dengan laki-laki yang diinginkannya.
Pendidikan nonformal ML pun sudah berhenti pasca perceraian kedua orang tuanya. Ketika diwawancarai, ML membuat pengakuan kalau dulu ia aktif mengaji. Namun saat ini, ia tidak memiliki keinginan untuk mengaji. Ia mengaku tidak pernah didorong oleh orang tuanya untuk mengaji. Apalagi setelah ibunya menikah dengan pria beda agama, ia merasa tidak memiliki figur yang pantas untuk diteladani. Bapak kandungnya sendiri sibuk mengurus keluarganya yang baru.
Dalam pergaualan, ML pun mengalami masalah. Ia tidak mampu mengendalikan emosinya dan cenderung agresif. Menurut tetangganya, ML sudah menjadi perempuan yang tidak benar. Ia sering gonta-ganti pacar sehingga menjadi gunjingan masyarakat. Bahkan ia pernah memukul teman sekolahnya karena rebutan pacar. Oleh sebab itu ia kemudian dikeluarkan dari sekolah.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Perceraian berdampak buruk terhadap kelangsungan pendidikan anak di Pangkung Buluh, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, yaitu putus sekolah. Sementara anak-anak yang masih tetap dapat melanjutkan sekolah dikarenakan adanya keterlibatan faktor eksternal dalam bentuk dukungan baik dari lingkungan keluarga maupun teman bergaul.
2. Saran
a) Orang Tua
Bagi orang tua yang bercerai untuk tidak mengabaikan tanggung jawab terhadap anak pasca perceraian dengan selalu
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 14
memberikan dukungan materil maupun moril untuk kelangsungan pendidikan anak serta tidak menciptakan suasana nyaman ketika bertemu dengan anak walaupun sudah tidak tinggal serumah.
b) Sekolah
Pihak sekolah seyogyanya untuk memberikan perhatian dan lebih serta layanan konseling yang intensif terhadap anak-anak yang orang tuanya bercerai atau sedang menghadapi proses perceraian karena anak-anak tersebut sangat membutuhkan nasehat dan masukan untuk keluar dari ketegangan yang dialaminya dalam keluarga.
c) Masyarakat
Bagi masyarakat hendaknya menjaga hubungan yang baik dengan pasangan yang sudah bercerai dengan tidak mengucilkannya dan memberikan lingkungan yang baik kepada anak-anak mereka agar anak-anak tersebut agar dapat keluar dari ketegangan yang disebabkan konflik yang terjadi di antara orang tua mereka.
An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 15 DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2006)
Arso Sosroatmodjo, S.H., dan Wasit Aulawi, MA, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004)
Evi Rine Hartuti, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Laksana, 2012)
Fransisca Chandra, “Peran Partisipasi Kegiatan di Alam Masa anak, Pendidikan dan Jenis Kelamin sebagai Moderasi Terhadap Perilaku Ramah Lingkungan”. Disertasi S3. (Yogyakarta: Program Magister Psikologi Fakultas Psikologi. Unversita Gadjah Mada Yogyakarta, 2009)
Hurlock Elizabeth, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1992)
Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo, Masalah Pendidikan Nasional: Beberapa Sumbangan Pikiran (Jakarta: CV Masagung, 1989)
Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam- nusantara/18/01/21/p2w4v9396-ratusan-ribu-kasus-perceraian-terjadi-dalam-setahun