(Studi Kasus pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
MAYANGSARI
NIM: 1111054100012
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari saya terbukti bahwa dalam penulisan skripsi ini bukan hasil karya
saya sendiri atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain (plagiat), maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Juli 2015
i
Mayangsari
Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Perselingkuhan dan disertai dengan Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT merupakan pemicu perceraian rumah tangga nomor dua di Indonesia. Perceraian kerap kali membawa pengaruh dalam segala aspek kehidupan anak baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah perceraian orang tua agar dapat melihat bagaimana dampak perceraian orang tua mempengaruhi kondisi kesehatan anak, psikologis anak, kehidupan sosial anak serta spiritual anak atau dapat disebut sebagai biopsikososial dan spiritual. Dengan memperhatikan aspek tersebut diharapkan perceraian tidak menjadi momok yang menakutkan bagi anak karena meskipun orang tua mereka berpisah, mereka masih dapat merasakan kasih sayang seutuhnya dari kedua orang tua.
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam skripsi ini adalah metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus, dimana dalam teknik pengumpulan data penulis melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Teknik pemilihan informan yang peneliti gunakan ialah purposive sampling.
Pemilihan purposive sampling berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh
subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik.
Peneliti melakukan wawancara dengan orang tua, anak yang menjadi korban perceraian serta beberapa temannya.
ii
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Bopsikososial dan Spiritual Anak (Studi Kasus terhadap Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).” Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Sang Teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat
guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
ingin menghaturkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada:
1. Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Ilmu Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suparto, M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr.
Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan bidang Administrasi Umum. Dr.
Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan
Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris Program Studi
Kesejahteraan Sosial. Terimakasih atas nasehat dan bimbingannya.
3. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
membantu mengarahkan, membina, dan selalu bersedia meluangkan
waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih
telah menjadi dosen pembimbing penulis sejak praktikum 1, praktikum
iii
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan
pengalamannya kepada penulis.
5. Kepada seluruh informan peneliti yang telah bersedia memberikan
informasi dan waktunya sehingga penelitian ini dapat selesai tepat
waktu.
6. Kedua orangtua tercinta ayahku Adeng Mustajab dan Ibuku Kristina
yang tak pernah hentinya memanjatkan doa dan memberikan
dukungannya kepada penulis, sehingga penulis selalu termotivasi
dengan kasih sayang kalian yang begitu besar. Dan untuk kedua
kakakku, Rizkyana dan Ludfy Adetia yang juga turut memberikan
dukungan bagi kelancaran penulisan skripsi ini. Serta keempat
keponakanku Kanza, Nada, Azka dan Dhiva yang menjadi penghibur
dikala lelah dalam mengerjakan skripsi ini.
7. Muhammad Hafiz Zuldi dan Ade yang selalu memberikan dukungan
moril, semangat serta perhatian terbaiknya kepada peneliti sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
8. Sahabat terbaikku sejak kecil Renzi Yurfiandi yang selalu membantu,
mengarahkan, mengantarkan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabatku tercinta Yusnia, Nindy, Retno, Sonia dan Tri yang selalu
berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini, serta
teman-teman kesejahteraan sosial Angkatan 2011 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu.
Jakarta, Juni 2015
iv
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Metodelogi Penelitian ... 10
BAB II KAJIAN TEORI ... 22
A. Keluarga ... 22
1. Pengertian Keluarga ... 22
2. Orang tua ... 23
3. Anak ... 23
a. Pengertian Anak...23
b. Anak dan Keluarga yang Bercerai...24
4. Pola Asuh ... 25
v
d. Perlakuan Salah Terhadap Anak...29
e. Akibat Kekerasan Pada Perkembangan Anak...30
f. Ayah sebagai Pengasuh...31
g. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...32
B. Perceraian ... 33
1. Definisi Perceraian ... 33
2. Penyebab Perceraian ... 33
C. Psikologi Sosial ... 35
1. Pengertian ... 35
2. Fase-fase Perkembangan ... 36
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psikososial ... 40
D. Biopsikososial...42
1. Faktor Biologis...42
2. Faktor Psikologis...44
3. Faktor Sosial...46
E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual...51
BAB III GAMBARAN UMUM INFORMAN ... 55
A. Profil Informan 1 ... 55
B. Profil Informan 2 ... 58
vi
E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual...66
BAB IV HASIL TEMUAN & ANALISIS ... 78
A. Temuan Lapangan ... 78
1. Kondisi Biologis...78
a. Dampak Perceraian Orang tua terhadap Aspek Kesehatan Anak...78
2. Kondisi Psikologis Anak...84
a. Fase-fase Perkembangan Anak...84
b. Hubungan dengan Lingkungan Keluarga...89
c. Status Ekonomi Orang tua...94
3. Kondisi Sosial Anak...98
a. Budaya...98
b. Status Sosial Ekonomi...101
c. Aspek Spiritual...103
4. Pola Asuh Orang tua...107
a. Jenis Pola Asuh...107
b. Kelekatan...112
c. Perlakuan Salah terhadap Anak...115
d. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...118
e. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...122
B. Analisa...125
1. Kondisi Biopsikososial dan Spiritual...126
vii
2) Hubungan Anak dengan Lingkungan Keluarga...128
3) Status Ekonomi Orang tua...129
c. Kondisi Sosial...129
1) Budaya...130
2) Status Sosial Ekonomi...130
3) Aspek Spiritual...131
2. Pola Asuh Orang Tua...131
a. Jenis Pola Asuh...131
b. Kelekatan...132
c. Hukuman...133
d. Perlakuan Salah terhadap Anak...134
e. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...134
f. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...135
BAB V PENUTUP ... 136
A. Kesimpulan ... 136
B. Saran ... 138
DAFTAR PUSTAKA...140
viii
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 - Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 - Pedoman Wawancara
Lampiran 3 - Pedoman Observasi
Lampiran 4 - Transkip Wawancara
Lampiran 5 - Hasil Observasi
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan
satu dengan yang lainnya, dan saling tolong menolong tanpa membedakan suku
bangsa mereka, sehingga tercapai suatu kehidupan yang dinamis dan harmonis.
Perkawinan merupakan bentuk kehidupan bersama antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang diridhai Allah. Melalui suatu perkawinan maka
diberikanlah suatu jalan yang aman dan sah pada naluri kebutuhan biologis antara
seorang laki-laki dan seorang peremuan. Selain itu dengan perkawinan akan
terjaga kemurnian dan terpelihara keturunan yang dilahirkan oleh pasangan
tersebut.
Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan
dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa saat itu
pasangan telah resmi menjadi suami istri. Duvall & Miller menjelaskan bahwa
pernikahan adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang
ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak,
dan membangun pembagian peran di antara sesama pasangan.1
Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai
1
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan bahwa “perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah”. 3
Akan tetapi, jika salah satu unsur dari ketiga sifat itu tidak
tertanam secara kuat dalam keluarga, maka kelangsungan keluarga tersebut akan
sangat rapuh. Upaya untuk tetap mempertahankan kebahagian rumah tangga
seringkali tidak berjalan mulus, dan tidak jarang suatu rumah tangga mengalami
hambatan-hambatan sehingga sukar untuk mempertahankan keutuhannya. Ketika
keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka jalur yang
ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian.
Sejalan dengan penegasan Rasulullah saw, bahwa menceraikan istri
merupakan perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah. Dalam hadits
riwayat dari Ibn Umar ra,. ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perbuatan
halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Abu Daud dan Ibn
Majah).4 Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi lain
juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami
isteri. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir
setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan
2
Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000), h. 96.
3
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinbapera Depag RI: 2000), h. 3.
4
kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lagi kecuali dengan perceraian
antara suami isteri.5
Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Fenomena perceraian
cukup meningkat akhir-akhir ini. Baik dari kalangan artis maupun masyarakat
biasa. Dalam sebuah rumah tangga pasti tidak akan terlepas dari masalah.
Masalah dalam rumah tangga itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi
percekcokkan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis
akan disusul dengan perceraian. Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa
yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh pasangan suami isteri
yang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian merupakan kondisi dari
penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami isteri sudah
tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan
kedua belah pihak. 6
Seperti yang kita ketahui fenomena perceraian kini banyak terjadi. Usia
pernikahan yang baru sebentar rentan terhadap konflik yang berujung perpisahan.
Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengakui bahwa angka perceraian
hingga saat ini masih tetap tinggi. Berdasar data Peradilan Agama (PA) secara
nasional angka perceraian pada 2010 mencapai 314.354 pada tingkat pertama.
Sementara berdasar bidangnya, jumlah perceraian mencapai 284.379, yakni cerai
gugat mendominasi mencapai 190.280 dan cerai talak sebanyak 94.009, dikutip
dari merdeka.com.7
5Jamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia”
, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 30.
6Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”, cet. 5 (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 307.
7
Selain itu faktor lain yang dapat memicu perceraian, diantaranya
perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain faktor ekonomi yang
menjadi alasan pertama para suami isteri memutuskan untuk bercerai, ternyata
perselingkuhan menduduki peringkat kedua sebagai alasan untuk melakukan
perceraian. Menurut data yang ada Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama
(Kemenag), Nasaruddin Umar mengakui bahwa penyebab perkawinan itu
bermacam-macam. Penelitian yang dilakukan pihaknya, ada 14 faktor penyebab
perceraian. Perceraian yang disebabkan perselingkuhan menaik dari sebelumnya.
Di urutan pertama ada ekonomi sebagai pemicu perceraian, di urutan kedua,
pemicu perceraian adalah perselingkuhan sebanyak 20.199 kasus. Jawa Timur
menempati urutan tertinggi dengan 7.172 kasus, menyusul Jawa Barat sebanyak
3.650 kasus dan posisi ketiga ditempati Jawa Tengah sebanyak 2.503. Sedangkan
di DKI Jakarta sebanyak 1.158 perceraian disebabkan perselingkuhan.8
Banyak pemberitaan di media baik cetak maupun elektronik yang
memaparkan berbagai faktor-faktor mengenai perceraian yang sering kita lihat
sehari-hari. Seperti halnya perceraian yang diakibatkan oleh faktor kekerasan atau
biasa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan Rumah
Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT dapat berupa kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga, tetapi
8
umumnya masyarakat masih banyak mengartikan bahwa KDRT itu hanya semata
kekerasan fisik.9
Banyak pasangan suami isteri yang memutuskan untuk melakukan
perceraian karena adanya indikasi kekerasan yang dirasakan oleh salah satu pihak,
biasanya isteri yang menjadi korban KDRT. Banyak isteri yang mengalami
luka-luka, kecacatan, bahkan banyak kasus KDRT yang berujung pada kematian
karena mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, hal tersebut bisa
disebabkan karena emosi yang tinggi, pertengkaran yang hebat dan sulit untuk
menemukan jalan keluarnya bahkan banyak juga isteri tersebut mengetahui
suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain.
Seringkali perceraian orang tua membuat anak menjadi korbannya.
Dampak yang ditimbulkan dari perceraian orang tua ternyata sangat berpengaruh
pada kehidupan anak. Banyak kita lihat dan bahkan kita rasakan bahwa perceraian
menjadikan pintu masuk kenakalan para remaja. Dampak dari perceraian orang
tua terhadap anak akan mempengaruhi segala aspek kehidupan anak, seperti aspek
biologis atau fisik, psikologi, sosial, dan spiritual.
Sebuah penelitian yang dilakukan Norwegian Institute of Public Health
dan The University of Olso, mempelajari 3.166 siswa kelas tiga untuk
memastikan apakah status pernikahan orang tua mempengaruhi gaya dan nafsu
makan anak-anak. hasilnya anak dengan orang tua bercerai memiliki berat badan
yang berlebih atau gemuk dibandingkan dengan anak yang tumbuh dengan orang
tua yang tidak bercerai. Penelitian juga menemukan, anak lelaki dengan orang tua
9
bercerai lebih beresiko mengalami obesitas.10 Selain itu terjadi dalam beberapa
kasus, anak yang orang tuanya bercerai menjadi lebih mudah terserang penyakit
yang diakibatkan dari trauma psikologis akibat dari perceraian orangtuanya.
Secara psikologis anak yang orang tuanya bercerai akan mengalami
kesedihan, merasa bersalah atas perpisahan orang tuanya, anak merasa kesepian,
kehilangan kasih sayang, depresi bahkan frustasi. Menurut psikolog sekaligus
pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan, perceraian membuat anak merasa
sedih, dan tidak lengkap. “Mereka cenderung menjadi tidak bersemangat, gelisah, bingung, dan sebaginya.” 11
Dampak dari trauma psikologis ternyata akan berpengaruh terhadap aspek
sosisal. Menurut sebuah studi di tahun 2011, American Sociological Review,
dampak negatif sosial pada anak-anak yang diakibatkan oleh perceraian orang tua,
umunya dimulai ketika proses perceraian itu dimulai. Kesedihan, kesepian,
kecemasan, masalah perilaku dan berkurangnya harga diri cenderung dialami oleh
anak. Anak-anak dalam penelitian itu, dikatakan menjadi sosok yang tidak
percaya diri di hadapan teman-temannya, kemampuan belajarnya berkurang,
begitu juga dengan keterampilan sosial interpersonalnya. Saat proses perceraian
selesai, anak akan “terpaksa” pindah dari lingkungannya karena harus mengikuti
salah satu dari orangtuanya. Lingkungan anak yang sebelumnya sudah sangat
akrab dengannya akan terputus.12
10“Perceraian Picu Anak Obesitas”, Warta Kota, 14 September 2014, h. 5. 11
http://m.life.viva.co.id/news/read/394141-dampak-perceraian-orangtua-terhadap-psikologis-anak, diakses pada 9 Maret 2015.
12
Perceraian Sebabkan Perkembangan Sosial Anak Terganggu,
Perceraian orang tua sangatlah berdampak negatif bagi anak-anak.
Dampak tersebut tidak hanya berasal disaat perceraian orang tua saja, tetapi
dampak tersebut juga dirasakan anak sejak sebelum perceraian dan setelah
perceraian. Sebelum perceraian orang tuanya, seorang anak biasanya akan
menyalahkan dirinya dan merasa bahwa dia adalah penyebab dari perceraian
orangtuanya. Dan ketika orangtua telah berpisah, ia akan merasa kehilangan sosok
atau figur seorang ayah atau ibu yang sekarang sudah tidak bersama lagi.
Biopsikososial dan spiritual adalah alat assesmen yang digunakan oleh
para pekerja sosial untuk melakukan intervensi terhadap seseorang yang biasa
dikenal dengan klien. Biopsikososial menekankan bagaimana pengaruh interaktif
dari faktor-faktor biologis, psikologis serta spiritual terhadap berkembangnya
masalah-masalah individu dari berbagai segi usia.13
Oleh karena itu, menarik untuk meneliti dampak perceraian orang tua bagi
anak dengan judul ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban
Perceraian Orang Tua (Studi kasus pada perceraian yang diakibatkan oleh
perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga)”.
Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terlebih
tentang dampak yang dihadapi oleh anak yang menjadi korban perceraian orang
tuanya meliputi aspek kesehatan, psikologis, sosial dan spiritualnya. Selain itu
skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pasangan suami
isteri yang sedang dalam proses perceraian atau sudah menjalani proses
perceraian, seyogyanya memperhatikan dan mempersiapkan suatu perceraian
dengan baik terutama bagi anak, dimulai dari memberikan pengertian pada anak
13
bahwa akan adanya sebuah perpisahan antara ayah dan ibu. Selain itu orang tua
juga harus tetap bertanggung jawab kepada anak-anak mereka, agar anak tersebut
tidak merasa kehilangan meskipun ada sebuah perpisahan. Dan bagi para calon
pasangan suami isteri yang akan menikah diharapkan skripsi ini dapat
memberikan informasi tentang dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh
anak. Perceraian sangat mahal harganya, hal ini berarti banyak hal yang harus
dibayar karena begitu banyak konsekuensi negatif yang menjadi resiko perceraian,
terutama bagi anak-anak dari hasil perkawinan tersebut, karena menikah bukan
hanya sebagai kesenangan semata, namun banyak tanggung jawab yang harus
diemban oleh suami dan isteri terlebih ketika mereka telah dikaruniai seorang
anak.
B. Batasan dan Rumusan Masalah A. Batasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penulis
memfokuskan hanya pada ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Korban
Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh
Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, penulis membuat rumusan
1. Bagaimana dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian
orang tua?
2. Bagaimana pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca perceraian?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menggambarkan kondisi biopsikososial dan spiritual anak
korban perceraian orang tua.
2. Untuk mengetahui pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca
perceraian orang tua.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis
1) Memberikan sumbangan pengembangan pengetahuan bagi
kompetensi pekerjaan sosial yang berkaitan dengan Biopsikososial
pada anak sebagai korban perceraian orang tua.
2. Manfaat Praktis
1) Memberikan masukan dan saran kepada orang tua tentang dampak
perceraian terhadap Biopsikososial anak. menjadikan suatu
rekomendasi kepada calon pasangan suami isteri yang akan
menikah tentang dampak perceraian kepada anak. Serta bagi para
suami isteri yang telah memutuskan untuk memilih bercerai, agar
lebih memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan anak-anak
pasca perceraian.
2) Untuk masyarakat yang belum menikah, agar mempersiapkan suatu
agar kelak tidak terjadi perceraian, karena perceraian sangat mahal
harganya bagi anak.
E. Metodelogi Penelitian
Metode Penelitian merupakan suat proses yang harus dilalui dalam suatu
penelitian agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Metode penelitian ini
kemudian dibagi menjadi:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut
Bodgan Tailor dalam bukunya sebagaimana di kutip oleh Lexy
J.Moleong, metodelogi kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data dan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka
pendapat ini diartikan pada latar dan individu secara holistic (utuh).
Peneliti tidak boleh mengisolasikan inividu atau organisasi kedalam
variabel atau hipotesis, tetapi perlu gambaran sebagai dari suatu
keutuhan.14
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami
fenomena dalam setting dan konteks naturalnya (bukan di dalam
laboratorium) dimana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi
fenomena yang diamati. 15
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study).
Studi kasus merupakan penelitian tentang suatu “kesatuan sistem”.
14Dr. Lexy J.moleong, “Metodelogi Penelitian Kualitatif”
, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h.3.
15
Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau
sekelompok individu yang terkait oleh tempat, waktu atau ikatan
tertentu. Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk
menghimpun data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman
dari kasus tersebut. Kasus sama sekali tidak mewakili populasi dan
tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan dari populasi.
Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus
bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan
kasus lainnya.16
Studi kasus adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi
dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded system) pada satu kasus
atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data
secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang
kaya akan konteks. Sesuai dengan salah satu ciri dari model studi kasus
adalah keunikan dari kasus yang diangkat. Dalam studi kasus, kasus
yang diangkat biasanya kasus-kasus yang memiliki keunikan dapat
berupa program, kejadian, aktivitas atau subjek penelitian.17 Peneliti
akan mencoba mencari tahu dampak-dampak apa saja yang dirasakan
oleh anak pasca perceraian orang tuanya meliputi aspek bio/fisik,
psikologi dan sosial.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
16
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. 1, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 61.
17
Adapun lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah sesuai
dengan domisili para informan yaitu di Jakarta, Depok dan Bekasi.
Waktu penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2015 hingga Juni
2015.
4. Teknik Pemilihan Informan
Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam penelitian
ini adalah ialah purposive sampling. Pemilihan purposive sampling
berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih
karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan
dilakukan.18
Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik.
Typical sampling adalah suatu strategi yang digunakan untuk
kasus-kasus yang bersifat khas atau unik atau individu-individu yang memiliki
karakteristik unik. Unik dapat berarti tidak familier atau tidak biasa,
tetapi bukan merupakan suatu hal yang ekstrem. Identifikasi yang dapat
dilakukan oleh peneliti adalah dengan bertanya langsung kepada
individu yang bersangkutan atau dengan menggunakan data demografis
atau data survei, tergantung dari kasus yang akan diteliti.19 Untuk itu
peneliti memilih lima orang anak yang menjadi korban perceraian orang
tua sebagai sumber informan yang sesuai dengan ciri-ciri dari penelitian
yang akan dilakukan. Selain itu peneliti juga akan menggali informasi
yang diperoleh dari orang tua, guru disekolah, dan teman-teman.
18
Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, h. 106.
19Ibid
Keterangan informasi yang akan diperoleh dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 1
Karakteristik Informan
No Informan Informasi yang dicari Jumlah
1. Anak korban
perceraian orang tua
Untuk mengetahui tentang biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua setelah adanya
5. Sumber Data
Data Primer diperoleh dari proses penelitian langsung dari
partisipan atau sasaran penelitian, yaitu daya yang berasal dari 4 orang
anak korban perceraian orang tua, 4 orang tua yang bercerai, dan 2 orang
teman.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literatur,
buku-buku, Perpustakaan, atau internet yang terkait dengan penelitian.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai
berikut:
a. Teknik Observasi
Metode observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik
pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan perceraian.
5. Teman Mengetahui
perubahan-perubahan yang
dirasakan setelah orang tua bercerai
2 Orang
mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku,
kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.20
Inti dari observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya
tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku
yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung,
dan dapat diukur. 21
Teknik observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipatif,
dimana sesuai dengan cirinya yaitu pendekatan dan rancangan yang
mendalam, kualitatif, dan studi kasus. Observasi partisipatif
mengharuskan peneliti terlibat langsung dalam berbagai kegiatan
informan. Teknik ini digunakan hanya untuk dua orang informan saja,
yaitu informan “IA” dan “AP”. Hal tersebut ditengarai karena kedua
informan masih belum bisa diajak berkomunikasi secara aktif, sehingga
untuk mendapatkan data, peneliti menggunakan teknik observasi ini
kepada kedua informan. Seperti melakukan observasi ketika informan
sedang berinteraksi dengan orang tuanya serta lingkungan sekitar. Selain
itu peneliti juga akan melakukan observasi ketika informan berada
dirumah. Dengan menggunakan metode observasi diharapkan peneliti
dapat memperoleh data terkait tentang aspek sosial informan.
b. Metode Wawancara
Wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah
satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk
20
M.Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 165.
21
suatu tujuan tertentu.22 Bentuk wawancara yang digunakan adalah
wawancara tidak terstruktur karena peneliti akan melakukan wawancara
secara mendalam dan percakapan ini mirip dengan percakapan informal.
Penggunaan metode wawancara dipilih karena peneliti dapat
menggali informasi secara mendalam dari para informan tentang aspek
biopsikososial dan spiritual anak pasca perceraian orang tuanya. Selain
itu peneliti juga bisa menggali informasi dari sumber-sumber yang sudah
ditentukan seperti guru, teman dan orang tua informan.
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data
kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang
dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Studi
dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti
untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu
media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung
oleh subjek yang bersangkutan.23 Teknik dokumentasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peninggalan tertulis, foto-foto, rekam medis,
buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, teori maupun literatur
lainnya.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan uraian dasar.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
22Ibid
., h.118.
23Ibid
interactive model yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Teknik
analisis data ini meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan lalu diverifikasi.24
Tahap pertama reduksi data melibatkan langkah-langkah editing,
pengelompokkan, dan meringkas data. Pada tahap kedua, peneliti
menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo) mengenai berbagai hal
termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses hingga
peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok, dan pola-pola data.
Berdasarkan keterangan diatas, maka setiap tahap dan proses tersebut
dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh
data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan
bentuk dokumen pribadi, gambar, foto, dsb, melalui metode wawancara
yang didukung dengan studi dokumentasi. Hal ini sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu mengungkap lebih dalam,
menganalisis, serta menggambarkan tentang seberapa besar dampak
perceraian orang tua mempengaruhi aspek biopsikososial anak serta
bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan pasca perceraian orang tua.
8. Teknik Keabsahan Data
Burhan Bungin dalam bukunya penelitian kualitatif mengatakan
bahwa dalam melakukan penelitian kualitatif seringkali menghadapi
persoalan dalam menguji keabsahan hasil penelitian, hal ini dikarenakan
banyak hal, yaitu karena, (1) alat penelitian yang diandalkan adalah
wawancara dan observasi mendukung banyak kelemahan ketika
24
dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa control dalam observasi
partisipatif, (2) sumber data kualitatif yang kurang akan mempengaruhi
hasil akurasi penelitian.25 Oleh sebabitu, hendaknya seperti yang telah
dijelaskan oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya Metodelogi Kualitatif
dalam menentukan keabsahan data adalah dengan melakukan triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.26
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sehingga data yang
diperoleh sangat berpeluang untuk keluar dari obyektifitas, untuk itu
cukup penting untuk penulis melakukan pemeriksaan kembali data yang
diperoleh, dengan tujuan untuk mendapatkan kevalidan data.
Teknik keabsahan data yang digunakan oleh peneliti adalah
triangulasi sumber dan metode. Menurut Burhan Bungin, triangulasi
yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara,
sedangkan triangulasi sumber membandingkan apa yang dikatakan
didepan umum dengan apa yang dikatakan orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
9. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka
sebagai langkah dari penyusunan skripsi yang penulis teliti, agar
terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang sudah ada
25
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Ekonomi, Kebijakan public, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 156.
26
sebelum-sebelumnya. Setelah mengadakan tinjauan pustaka, maka
peneliti menggunakan skripsi sebagai tinjauan pustaka pada skripsi ini.
Peneliti menggunakan literatur berupa skripsi yang dianggap
relevan dengan penelitian ini. Skripsi pertama membahas tentang
“Dampak Perceraian pada Anak Remaja” oleh Grace Killis
(089900046Y), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia, tahun 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak perceraian orang tua
pada anak usia remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi dampak
perceraian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada awal
perceraian anak akan lebih merasakan dampak negatifnya tetapi seiring
dengan berjalannya waktu ternyata perceraian juga mempunyai dampak
positif bagi kehidupan individu yang mengalaminya.27
Skripsi kedua membahas tentang “Perbedaan Self-Esteem antara Anak
Usia Middle Childhood yang Orang Tuanya Bercerai dan yang Orang
Tuanya Tidak Bercerai” oleh Belinda Agustya Pawidya Putri
(0606092290), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia tahun 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan self-esteem antara anak
usia middle childhood yang orang tuanya bercerai dan yang orang tuanya
tidak bercerai. Aspek yang diukur pada penelitian ini yaitu personal,
akademis (sekolah), sosial (teman sebaya), dan keluarga (orang tuanya).
Hasil analisis menunjukkan rendahnya Self-Esteem pada anak yang
orangtuanya bercerai, baik secara menyeluruh atau pada tiap aspeknya.
27
Pada dua kelompok ditemukan bahwa anak perempuan memiliki
Self-Esteem yang tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Judul pada penelitian ini adalah Dampak Biopsikososial Anak
Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada perceraian yang
diakibatkan oleh perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga).
Peneliti akan membahas tentang dampak-dampak perceraian orang tua
yang dirasakan oleh anak-anak dari berbagai macam aspek yaitu aspek
kesehatan, psikologis, sosial dan spiritual.
Untuk teknis penulisan hasil penelitian ini mengacu pada buku
pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya
Hamid Nasuhi, dkk. Yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality
Development Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
10. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini disajikan kedalam 5 Bab, berikut adalah sistematika
penulisan skripsi:
BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian
(terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik
pemilihan subyek dan informan, sumber data, teknik analisis data, teknik
keabsahan data), serta Sistematika Penulisan.
BAB II Landasan Teori, Bab ini mengemukakan tentang keluarga, tentang perceraian, psikososial, serta aspek biopsikososial.
orang tua berpengaruh ada biopsikososial dan spiritual anak, serta untuk melihat
bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua pasca perceraian.
BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis Data, Pada bab ini memuat tentang temuan-temuan dan analisis yang mendukung secara garis besar mengenai
dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial anak serta bagaimana pola
asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak pasca perceraian.
22
Penelitian ini berisikan tentang dampak perceraian orang tua terhadap
biopsikososial dan spiritual anak. Untuk menunjang penelitian ini, maka peneliti
menuliskan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini, yaitu:
A. Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Dalam Islam, untuk membentuk sebuah keluarga maka para muslim
dan muslimah dianjurkan untuk melakukan pernikahan, karena menikah
merupakan fondasi dalam pembentukan keluarga.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan
manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di
dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.1
Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau
perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ibu, bapak dan
anak-anaknya. Ini disebut keluarga batih (nuclear family). Keluarga yang diperluas
(extended family) mencakup semua orang dari satu keturunan dari kakek dan
nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan isteri. Keluarga mempunyai
fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, dan
menolong serta melindungi yang lemah, khususnya orang tua yang lanjut usia.2
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, ata ibu dan
1
W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 180.
2
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga. 3
Jadi yang dimaksud keluarga merupakan kelompok orang yang
memiliki hubungan darah atau perkawinan, dan keluarga merupakan kelompok
sosial yang pertama dalam kehidupan. Yang termasuk dalam keluarga adalah
ayah, ibu, adik, kakak, nenek dan mencakup semua keturunan dari suatu
keturunan.
2. Orang Tua
Seperti yang telah kita ketahui diatas, bahwa keluarga terdiri dari
ayah, ibu, dan anak, bahkan ada juga keluarga yang terdiri dari beberapa orang
lainnya seperti ada kakek, nenek, paman dan sebagainya. Dalam keluarga, ayah
dan ibu biasa disebut sebagai orang tua yang memiliki peran masing-masing
dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya.
Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu
tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.4
3. Anak
a. Pengertian Anak
Anak merupakan anugrah terindah yang dititipkan Tuhan kepada
para pasangan suami isteri yang harus dijaga dengan baik. Anak
membutuhkan kasih sayang, perhatian, rasa aman dalam setiap tumbuh
kembangnya.
Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut
3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Surabaya: Kesindo Utama, 2003), h. 4.
4Ibid
undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.5
Menurut John Locke, anak adalah pribadi yang masih bersih dan
peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.6
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak
merupakan manusia yang berusia 0 hingga mencapai 18 tahun dan memiliki
pribadi yang bersih dan peka terhadap rangsangan dari lingkungan.
b. Anak dan Keluarga yang Bercerai
Sebagian besar peneliti setuju bahwa anak-anak dari keluarga yang
bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibanding
anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai.7 Anak yang berasal dari keluarga
bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah akademis,
menunjukkan masalah-masalah eksternal seperti kenakalan, kurang
memiliki tanggung jawab, memiliki hubungan intim yang kurang baik,
putus sekolah, berhubungan dengan peer yang antisosial, dan memiliki nilai
diri yang rendah.8
Konflik perkawinan bisa memiliki akibat negatif terhadap anak,
baik dalam konteks perkawinan maupun perceraian. Kepribadian dan
tempramen memainkan peran dalam penyesuaian anak-anak dari keluarga
bercerai. Anak-anak yang secara sosial dewasa dan bertanggung jawab,
yang hanya menunjukkan sedikit masalah emosional, dan yang memiliki
temperamen yang terkendali lebih baik dalam menghadapi perceraian
5
Ibid, h. 4.
6
Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Tugu Publisher, 2012), cet.1, h. 11.
7
Santrock, Perkembangan Anak, h. 186.
8Ibid
mereka. Anak-anak dengan tempramen yang sulit sering kali mengalami
kesulitan dalam menghadapi perceraian orang tua mereka. Ketika hubungan
orang tua yang bercerai terjalin harmonis dan ketika mereka menggunakan
gaya pengasuhan otoritatif, penyesuaian anak-anak akan meningkat.9
4. Pola Asuh
A. Jenis-Jenis Pola Asuh
Hubungan suami isteri yang harmonis merupakan prakondisi yang
diperlukan guna mewujudkan pengasuhan anak yang kondusif. Kehilangan
pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orang tua, baik
untuk sementara maupun selamanya, bencana alam, dan berbagai hal yang
bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kualitas kesehatan fisik,
emosi, mental dan spiritual anak.
Dengan mengacu pada konsep dasar tumbuh kembang anak, maka
secara konseptual pengasuhan anak adalah upaya orang dewasa dalam
lingkungan keluarga guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anak
untuk tumbuh kembang (asah, asih dan asuh) dengan baik dan benar,
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.10
Menurut Diana Baumrind ada 4 jenis pola pengasuhan orang tua,
yaitu:11
9
Santrock, Perkembangan Anak, h. 188.
10
Asep Usman Ismail, MA., Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosail: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, h. 165.
11
a. Pengasuhan Otoritarian (Authoritarian Parenting)
Pengasuhan otoritarian ini adalah pola yang membatasi dan
menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan
orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Batas dan
kendali yang tegas diterapkan pada anak, dan sangat sedikit
tawar-menawar verbal yang diperbolehkan. Pola ini bisa mengakibatkan
perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial. Anak yang memiliki
orang tua otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika
membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas,
dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Anak dengan pola
pengasuhan ini mungkin berperilaku agresif.
b. Pengasuhan Otoritatif (Authoritatif Parenting)
Pola ini mendorong anak untuk mandiri, namun masih
menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal
memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat
dan penyayang kepada anak. Pola ini biasanya mengakibatkan perilaku
anak yang kompeten secara sosial. Anak yang memiliki orang tua
otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan
berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung mempertahankan hubungan
yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa,
dan bisa mengatasi stres dengan baik.
c. Pengasuhan Yang Mengabaikan (Neglectful Parenting)
Pola dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka.
Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak
diantaranya memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk.
d. Pengasuhan Yang Menuruti (Indulgent Parenting)
Suatu pola dimana orang tua sangat terlibat penuh dengan anak
tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada
mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya
sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang
memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati
orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.
Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan
kesulitan dalam hubungan dan teman sebaya.
Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan
bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti
mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan
anak dan apa harapan orangtua. Dengan demikian pengasuhan yang
diberikan oleh orangtua lebih mengutamakan kasih sayang, kebersamaan,
musyawarah, saling pengertian dan penuh keterbukaan. Jika anak-anak
dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang demokratis, niscaya dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi yang dimiliki anak
dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada gilirannya nanti
anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud.
Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan
menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif,
jujur, dan mempunyai toleransi yang baik.
B. Kelekatan (Attachment)
Kelekatan yang aman pada orang tua dalam masa remaja bisa
membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan anak yang tercermin dalam
harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Anak yang lekat
secara aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan
perilaku bermasalah.12
C. Hukuman
Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul dianggap
sebagai metode yang perlu dan bahkan disarankan untuk mendisiplinkan
anak. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua
berasosiasi dengan tingkat ketaatan dan agresi cepat yang lebih tingi oleh
anak-anak. Selain itu hukuman fisik berhubungan dengan tingkat
internalisasi moral dan kesehatan mental yang lebih rendah.13
Berikut adalah alasan mengapa orang tua tidak dibenarkan
memberikan hukuman fisik ataupun hukuman serupa, yaitu:14
1. Ketika orang tua menghukum anak dengan berteriak, menjerit atau
sebagainya, mereka menunjukkan kepada anak model lepas kendali
ketika menghadapi situasi yang menekan. Anak-anak mungkin akan
meniru perilaku agresif dan lepas kendali ini.
12
John W. Santrock, Perkembangan Anak, h. 177.
13
Santrock, Perkembangan Anak, h. 169.
14Ibid
2. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan penghindaran.
Pemukulan terhadap anak bisa menyebabkan anak takut dengan orang tua
dan pada akhirnya memilih untuk menghindari orang tua.
3. Hukuman memberi tahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi anak
seharusnya diberikan umpan balik.
4. Hukuman bisa bersifat menyiksa. Ketika orang tua mendisiplinkan anak
mereka, mereka mungkin tidak bermaksud menyiksa. Namun mereka
menjadi begitu terpancing ketika menghukum anak tersebut sehingga
menjadi bersifat menyiksa.
Kebanyakan psikolog anak merekomendasikan orang tua agar
mengajak anak berpikir logis, khususnya menjelaskan akibat tindakan anak
terhadap orag lain, sebagai cara terbaik untuk menangani perilaku anak yang
salah.
D. Perlakuan Salah Terhadap Anak
Penting untuk diketahui bahwa kekerasan terhadap anak adalah
kondisi yang beragam, bahwa keparahan kekerasan itu biasanya mulai dari
ringan ke sedang, dan bahwa kekerasan terhadap anak hanya disebabkan
oleh karakteristik kepribadian orang tua. Berikut akan dijelaskan tipe
perlakuan yang salah terhadap anak menurut National Clearinghouse on
Child Abuse and Neglect:15
1. Kekerasan fisik, dicirikan oleh terjadinya cidera fisik karena
penonjokan, pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran atau
pembahayaan anak.
15
2. Penelantaran anak, dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi
kebutuhan dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik,
meliputi peninggalan, pengusiran dari rumah, pengawasan yang kurang
memadai dan penundaan dalam mencari perawatan kesehatan.
Penelantaran pendidikan, meliputi membiarkan anak bolos sekolah
yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan
tiadak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, dan penelantaran
emosional meliputi, tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak
akan kasih sayang, penolakan atau ketidakmampuan untuk memberikan
kepedulian psikologis yang perlu, penyiksaan pasangan di depan anak,
dan pembiaran penggunaan alkohol dan obat-obatan oleh anak.
3. Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak,
hubungan seksual, pemerkosaan, sodomi, eksploitasi komersial melalui
pelacuran atau produksi materi pornografi.
4. Kekerasan emosional meliputi tindakan pengabaian orang tua atau
pengasuh yang menyebabkan atau bisa mengakibatkan pada masalah
behavioral, kognitif atau emosional yang serius.
Walaupun bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak diatas bisa
ditemukan secara terpisah, namun bentuk-bentuk tersebut sering juga terjadi
dalam kombinasi. Kekerasan emosional hampir selalu ada ketika bentuk
kekerasan lain terjadi.
E. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak
Akibat perlakuan salah terhadap anak pada perkembangannya
masalah dalam hubungan dengan peer group, kesulitan beradaptasi di
sekolah, dan masalah psikologis lainnya.16 Anak yang diperlakukan secara
salah mungkin menunjukkan emosi negatif yang berlebihan, seperti mudah
marah atau menangis, atau mereka mungkin juga menunjukkan emosi
positif yang tidak peka seperti jarang tersenyum atau tertawa.
Ketika anak-anak diperlakukan secara salah, mereka sering
menunjukkan pola keterlibatan yang tidak percaya diri dalam hubungan
sosial mereka ketika dewasa. Anak-anak yang diperlakukan secara salah
kurang memiliki bekal untuk mengembangkan hubungan peer yang
berhasil. Mereka cenderung menjadi terlalu agresif terhadap teman sebaya
atau menghindari interaksi dengan teman sebaya. Anak-anak yang menjadi
korban kekerasan dan penelantaran beresiko menghadapi masalah akademis.
Kekerasan fisik terkait dengan kecemasan anak, masalah kepribadian,
depresi, gangguan perilaku dan kenakalan.17
Pengasuhan yang baik membutuhkan waktu dan usaha. Pada dasarnya
orang tua tidak bisa melakukannya hanya dalam waktu satu menit. Tentu bukan
hanya jumlah waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak yang penting
bagi perkembangan anak tetapi kualitas pengasuhan jelas lebih penting.
F. Ayah Sebagai Pengasuh
Parke & Sawin dalam Santrock, menunjukkan bahwa ayah
memiliki kemampuan untuk bertindak secara peka dan secara tanggap
terhadap anaknya.18 Meskipun ayah dapat menjadi pengasuh yang aktif,
sabar dan terlibat penuh dengan si anak, tetapi masih jarang orang tua yang
mengikuti pola ini.
Memang terdapat perbedaan antara perilaku ayah dan ibu terhadap
seorang anak. Interaksi ibu dan anak biasanya berpusat pada kegiatan
pengasuhan anak, memberi makan, mengganti popok, memandikan dan lain
sebagainya. Sedangkan interaksi ayah dengan anak mencakup aktivitas
permainan. Ayah lebih banyak melibatkan diri dalam permainan fisik
seperti melambungkan bayi, melemparkan bayi ke udara, menggelitik dan
lain sebagainya.
G. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak
Peran ayah juga memberi pengaruh pada anak. keterlibatan ayah
dalam membesarkan anak pada usia 5 tahun merupakan penentu empati
terkuat bagi pria dan wanita pada usia 31 tahun. Pria dan wanita tersebut
memiliki hubungan sosial yang lebih baik mengalami lebih banyak
kehangatan dari ayah semasa anak-anak. Ayah yang menggunakan gaya
pengasuhan otoritatif lebih cenderung memiliki anak dengan masalah
eksternal seperti mengekspresikan perasaan yang tertahan atau bersikap
sangat agresif dan masalah internal seperti kecemasan atau depresi yang
lebih sedikit dibandingkan dengan ayah yang menggunakan gaya
pengasuhan lainnya.19
19
B. Perceraian
Perceraian dapat dikatakan sebagai mimpi buruk bagi para pasangan suami
isteri terlebih ketika mereka telah memiliki anak. Perceraian sendiri akan
membuat anak menjadi korbannya. Untuk itu perlu diperhatikan kepada para
pasangan orang tua yang telah bercerai, maupun yang sedang dalam proses
perceraian, hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik terlebih
dengan kesiapan mental dari anak itu sendiri. Berikut adalah beberapa teori yang
peneliti gunakan terkait dengan perceraian.
1. Definisi Perceraian
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan
tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta kepada
pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus
memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh
selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan mereka
menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat
dipahami karena besarnya dampak perceraian yang tidak hanya menimpa
suami-isteri, tetapi juga anak-anak. anak-anaklah yang sangat merasakan
pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. Sejatinya perceraian dapat
diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi
realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.20
2. Penyebab Perceraian
Banyak hal yang dapat menyebabkan pasangan suami isteri memiliki
jalan untuk bercerai sebagai jalan terakhir. Seperti yang kita ketahui, dewasa
20
ini tidak hanya seorang suami yang menjatuhkan talak, justru seorang istri yang
lebih banyak menggugat suaminya. Berikut akan dibahas yang menjadi
penyebab-penyebab perceraian.
Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainnya yang
sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa
seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
mengancam jiwa pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar
disembuhkan sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri.
6. Serta antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran
terus-menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan.21
Selain itu Miller dalam bukunya menyatakan bahwa penyebab
perceraian dapat dibagi dalam beberapa kategori spesifik, yaitu:
a. Ketidaksesuaian yang tidak dapat ditanggulangi lagi.
21
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, artikel diakses pada tanggal 16 Maret 2015, dari
b. Tinggal secara terpisah lebih dari 18 bulan tanpa kemungkinan untuk
bersatu kembali.
c. Selingkuh.
d. Perkawinan kontrak.
e. Meninggalkan pasangan secara sukarela selama lebih dari 1 tahun.
f. Pergi tanpa kabar berita selama 7 tahun.
g. Kebiasaan mabuk-mabukan.
h. Kekerasan yang tidak dapat ditoleransi.
i. Pasangan menjalani hukuman.
j. Pasangan dalam perawatan karena gangguan mental selama 5 dari 6 tahun
terakhir. 22 C. Psikologi Sosial
Psikologi sosial merupakan salah satu cabang psikologi yang secara
nyata berhubungan langsung dengan masalah sosial manusia.
1. Pengertian
Psikologi sosial adalah psikologi dalam konteks sosial. Psikologi,
seperti yang telah kita ketahui, adalah ilmu tentang perilaku, sedangkan sosial
di sini berarti interaksi antar individu atau antar kelompok dalam masyarakat.
Psikologi sosial adalah psikologi yang dapat diterapkan dalam konteks
keluarga, sekolah, teman, kantor, politik, negara, lingkungan, organisasi dan
sebagainya.23
Kata psikososial itu sendiri menggaris bawahi suatu hubungan yang
dinamis antara efek psikologis dan sosial, yang mana masing-masingnya saling
22Grace Kilis, “Dampak Perceraian Pada Anak Remaja”, (Skripsi S1 Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia, Juli 2003), h. 10.
23
mempengaruhi. Kebutuhan psikososial mencakup cara seseorang berfikir dan
merasa mengenal dirinya dengan orang lain, keamanan dirinya dan
orang-orang yang bermakna baginya, hubungan dengan orang-orang lain dan lingkungan
sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian-kejadian
disekitarnya.24
Baron dan Byrne mengemukakan bahwa psikologi sosial adalah
cabang psikologi yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan cara
berpikir, berperasaan, dan berperilaku individu yang dipengaruhi oleh
kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain itu dapat dirasakan secara langsung,
diimajinasikan, ataupun diimplikasikan.25
Selain itu menurut Allport, psikologi sosial adalah upaya untuk
memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan dan perilaku individu
terpengaruh oleh kehadiran orang lain. Pengaruh tersebut dapat bersifat aktual,
dalam imajinasi, maupun secara tidak langsung. 26
Jadi psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
seseorang berinteraksi dengan orang lain dan interaksi tersebut saling
mempengaruhi baik dalam pikiran maupun dalam berperilaku.
2. Fase-Fase Perkembangan
Menurut Erik H. Erickson, fase-fase perkembangan psikososial
dibagi dalam beberapa tahapan tertentu, yaitu sebagai berikut:27
24
Departemen sosial, Standar Rehabilitasi Psikososial Pekerja Migran, (Jakarta: 2004), h.2.
25
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cet. I, h. 1.
26
Sarwono dan Meinarno, Psikologi Sosial, h. 12.
27
a. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar (Trust vs Mistrust) Masa bayi berlangsung antara 0-1 tahun. pada tahap ini anak mulai
belajar percaya pada orang yang ada di sekitarnya. Namun sebaliknya,
pada tahap ini pula anak dapat merasa tidak percaya pada orang lain,
menarik diri dari lingkungan masyarakat dan melakukan pengasingan
diri. Pemenuhan kebutuhan pada tahap ini cenderung bersifat fisik,
seperti pemenuhan kepuasan untuk makan dan mengisap, rasa hangat
dan nyaman, cinta dan rasa aman. Semua pemenuhan ini akan
menimbulkan sebuah kepercayaan pada diri anak terhadap orang lain.
Sebaliknya jika kepuasan ini tidak terpenuhi maka akan
mengakibatkan perasaan curiga, rasa takut dan tidak percaya pada
orang lain. Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi
yang buruk.
b. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan (autonomy vs shame and doubt)
Masa kanak-kanak permulaan yaitu berlangsung pada usia 2-3 tahun
yang menentukan tumbuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak
mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban
dan hak-haknya yang disertai pembatasan-pembatasan yang dikenakan
pada dirinya. Inilah tahap saat berkembangnya kebebasan
pengungkapan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa
percaya diri pada anak. Konsekuensi apabila kepuasan pada tahap ini
c. Inisiatif versus Kesalahan (Initiative vs Guilt)
Masa bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah.
Pada tahap ini anak mulai belajar pada tingkat ketegasan tertentu.
Anak mulai mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.
Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak bisa merasa kurang
percaya diri, pesimis, takut salah. Perasaan takut salah ini muncul pada
saat anak melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang yang
lebih tua darinya. Selain itu, anak juga perlu belajar untuk melakukan
aktivitas yang tidak merusak hak-hak orang lain.
d. Kerajinan versus Inferioritas (Industry vs Inferiority)
Masa usia sekolah, berlangsung antara usia 6-11 tahun. Pada masa ini
berkembang kemampuan berpikir deduktif, disiplin diri dan
kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu
akan meningkat. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing
dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya, anak mungkin akan
kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari sekolah dan
teman sebaya. Anak mulai mendapatkan pengenalan melalui
demonstrasi ketrampilan dan produksi benda-benda serta
mengambangkan harga dirinya melalui sesuatu pencapaian apa yang
diinginkannya. Tahap ini mendorong anak untuk memiliki perasaan
inferior, yaitu perasaan yang timbul akibat adanya orang yang dewasa
yang memandang usaha anak untuk belajar bagaimana sesuatu bekerja
melalui manipulasi dianggap merupakan sesuatu yang bodoh atau