• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Biopsikososial Dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Biopsikososial Dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

MAYANGSARI

NIM: 1111054100012

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas

Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari saya terbukti bahwa dalam penulisan skripsi ini bukan hasil karya

saya sendiri atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain (plagiat), maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, Juli 2015

(5)

i

Mayangsari

Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Perselingkuhan dan disertai dengan Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT merupakan pemicu perceraian rumah tangga nomor dua di Indonesia. Perceraian kerap kali membawa pengaruh dalam segala aspek kehidupan anak baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif.

Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah perceraian orang tua agar dapat melihat bagaimana dampak perceraian orang tua mempengaruhi kondisi kesehatan anak, psikologis anak, kehidupan sosial anak serta spiritual anak atau dapat disebut sebagai biopsikososial dan spiritual. Dengan memperhatikan aspek tersebut diharapkan perceraian tidak menjadi momok yang menakutkan bagi anak karena meskipun orang tua mereka berpisah, mereka masih dapat merasakan kasih sayang seutuhnya dari kedua orang tua.

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam skripsi ini adalah metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus, dimana dalam teknik pengumpulan data penulis melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Teknik pemilihan informan yang peneliti gunakan ialah purposive sampling.

Pemilihan purposive sampling berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh

subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik.

Peneliti melakukan wawancara dengan orang tua, anak yang menjadi korban perceraian serta beberapa temannya.

(6)

ii

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Bopsikososial dan Spiritual Anak (Studi Kasus terhadap Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).” Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Sang Teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat

guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses

penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis

ingin menghaturkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu

hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak

langsung kepada:

1. Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Ilmu Fakultas Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Suparto, M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr.

Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan bidang Administrasi Umum. Dr.

Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan

Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris Program Studi

Kesejahteraan Sosial. Terimakasih atas nasehat dan bimbingannya.

3. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

membantu mengarahkan, membina, dan selalu bersedia meluangkan

waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih

telah menjadi dosen pembimbing penulis sejak praktikum 1, praktikum

(7)

iii

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan

pengalamannya kepada penulis.

5. Kepada seluruh informan peneliti yang telah bersedia memberikan

informasi dan waktunya sehingga penelitian ini dapat selesai tepat

waktu.

6. Kedua orangtua tercinta ayahku Adeng Mustajab dan Ibuku Kristina

yang tak pernah hentinya memanjatkan doa dan memberikan

dukungannya kepada penulis, sehingga penulis selalu termotivasi

dengan kasih sayang kalian yang begitu besar. Dan untuk kedua

kakakku, Rizkyana dan Ludfy Adetia yang juga turut memberikan

dukungan bagi kelancaran penulisan skripsi ini. Serta keempat

keponakanku Kanza, Nada, Azka dan Dhiva yang menjadi penghibur

dikala lelah dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Muhammad Hafiz Zuldi dan Ade yang selalu memberikan dukungan

moril, semangat serta perhatian terbaiknya kepada peneliti sehingga

terselesaikannya skripsi ini.

8. Sahabat terbaikku sejak kecil Renzi Yurfiandi yang selalu membantu,

mengarahkan, mengantarkan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabatku tercinta Yusnia, Nindy, Retno, Sonia dan Tri yang selalu

berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini, serta

teman-teman kesejahteraan sosial Angkatan 2011 yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu.

Jakarta, Juni 2015

(8)

iv

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Metodelogi Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI ... 22

A. Keluarga ... 22

1. Pengertian Keluarga ... 22

2. Orang tua ... 23

3. Anak ... 23

a. Pengertian Anak...23

b. Anak dan Keluarga yang Bercerai...24

4. Pola Asuh ... 25

(9)

v

d. Perlakuan Salah Terhadap Anak...29

e. Akibat Kekerasan Pada Perkembangan Anak...30

f. Ayah sebagai Pengasuh...31

g. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...32

B. Perceraian ... 33

1. Definisi Perceraian ... 33

2. Penyebab Perceraian ... 33

C. Psikologi Sosial ... 35

1. Pengertian ... 35

2. Fase-fase Perkembangan ... 36

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psikososial ... 40

D. Biopsikososial...42

1. Faktor Biologis...42

2. Faktor Psikologis...44

3. Faktor Sosial...46

E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual...51

BAB III GAMBARAN UMUM INFORMAN ... 55

A. Profil Informan 1 ... 55

B. Profil Informan 2 ... 58

(10)

vi

E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual...66

BAB IV HASIL TEMUAN & ANALISIS ... 78

A. Temuan Lapangan ... 78

1. Kondisi Biologis...78

a. Dampak Perceraian Orang tua terhadap Aspek Kesehatan Anak...78

2. Kondisi Psikologis Anak...84

a. Fase-fase Perkembangan Anak...84

b. Hubungan dengan Lingkungan Keluarga...89

c. Status Ekonomi Orang tua...94

3. Kondisi Sosial Anak...98

a. Budaya...98

b. Status Sosial Ekonomi...101

c. Aspek Spiritual...103

4. Pola Asuh Orang tua...107

a. Jenis Pola Asuh...107

b. Kelekatan...112

c. Perlakuan Salah terhadap Anak...115

d. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...118

e. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...122

B. Analisa...125

1. Kondisi Biopsikososial dan Spiritual...126

(11)

vii

2) Hubungan Anak dengan Lingkungan Keluarga...128

3) Status Ekonomi Orang tua...129

c. Kondisi Sosial...129

1) Budaya...130

2) Status Sosial Ekonomi...130

3) Aspek Spiritual...131

2. Pola Asuh Orang Tua...131

a. Jenis Pola Asuh...131

b. Kelekatan...132

c. Hukuman...133

d. Perlakuan Salah terhadap Anak...134

e. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...134

f. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...135

BAB V PENUTUP ... 136

A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA...140

(12)

viii

(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 - Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 - Pedoman Wawancara

Lampiran 3 - Pedoman Observasi

Lampiran 4 - Transkip Wawancara

Lampiran 5 - Hasil Observasi

(14)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan

satu dengan yang lainnya, dan saling tolong menolong tanpa membedakan suku

bangsa mereka, sehingga tercapai suatu kehidupan yang dinamis dan harmonis.

Perkawinan merupakan bentuk kehidupan bersama antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan yang diridhai Allah. Melalui suatu perkawinan maka

diberikanlah suatu jalan yang aman dan sah pada naluri kebutuhan biologis antara

seorang laki-laki dan seorang peremuan. Selain itu dengan perkawinan akan

terjaga kemurnian dan terpelihara keturunan yang dilahirkan oleh pasangan

tersebut.

Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan

dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa saat itu

pasangan telah resmi menjadi suami istri. Duvall & Miller menjelaskan bahwa

pernikahan adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang

ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak,

dan membangun pembagian peran di antara sesama pasangan.1

Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai

1

(15)

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan bahwa “perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah”. 3

Akan tetapi, jika salah satu unsur dari ketiga sifat itu tidak

tertanam secara kuat dalam keluarga, maka kelangsungan keluarga tersebut akan

sangat rapuh. Upaya untuk tetap mempertahankan kebahagian rumah tangga

seringkali tidak berjalan mulus, dan tidak jarang suatu rumah tangga mengalami

hambatan-hambatan sehingga sukar untuk mempertahankan keutuhannya. Ketika

keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka jalur yang

ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian.

Sejalan dengan penegasan Rasulullah saw, bahwa menceraikan istri

merupakan perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah. Dalam hadits

riwayat dari Ibn Umar ra,. ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perbuatan

halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Abu Daud dan Ibn

Majah).4 Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi lain

juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami

isteri. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir

setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan

2

Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000), h. 96.

3

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinbapera Depag RI: 2000), h. 3.

4

(16)

kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lagi kecuali dengan perceraian

antara suami isteri.5

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Fenomena perceraian

cukup meningkat akhir-akhir ini. Baik dari kalangan artis maupun masyarakat

biasa. Dalam sebuah rumah tangga pasti tidak akan terlepas dari masalah.

Masalah dalam rumah tangga itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi

percekcokkan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis

akan disusul dengan perceraian. Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa

yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh pasangan suami isteri

yang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian merupakan kondisi dari

penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami isteri sudah

tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan

kedua belah pihak. 6

Seperti yang kita ketahui fenomena perceraian kini banyak terjadi. Usia

pernikahan yang baru sebentar rentan terhadap konflik yang berujung perpisahan.

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengakui bahwa angka perceraian

hingga saat ini masih tetap tinggi. Berdasar data Peradilan Agama (PA) secara

nasional angka perceraian pada 2010 mencapai 314.354 pada tingkat pertama.

Sementara berdasar bidangnya, jumlah perceraian mencapai 284.379, yakni cerai

gugat mendominasi mencapai 190.280 dan cerai talak sebanyak 94.009, dikutip

dari merdeka.com.7

5Jamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia”

, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 30.

6Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”, cet. 5 (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 307.

7

(17)

Selain itu faktor lain yang dapat memicu perceraian, diantaranya

perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain faktor ekonomi yang

menjadi alasan pertama para suami isteri memutuskan untuk bercerai, ternyata

perselingkuhan menduduki peringkat kedua sebagai alasan untuk melakukan

perceraian. Menurut data yang ada Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama

(Kemenag), Nasaruddin Umar mengakui bahwa penyebab perkawinan itu

bermacam-macam. Penelitian yang dilakukan pihaknya, ada 14 faktor penyebab

perceraian. Perceraian yang disebabkan perselingkuhan menaik dari sebelumnya.

Di urutan pertama ada ekonomi sebagai pemicu perceraian, di urutan kedua,

pemicu perceraian adalah perselingkuhan sebanyak 20.199 kasus. Jawa Timur

menempati urutan tertinggi dengan 7.172 kasus, menyusul Jawa Barat sebanyak

3.650 kasus dan posisi ketiga ditempati Jawa Tengah sebanyak 2.503. Sedangkan

di DKI Jakarta sebanyak 1.158 perceraian disebabkan perselingkuhan.8

Banyak pemberitaan di media baik cetak maupun elektronik yang

memaparkan berbagai faktor-faktor mengenai perceraian yang sering kita lihat

sehari-hari. Seperti halnya perceraian yang diakibatkan oleh faktor kekerasan atau

biasa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan Rumah

Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT dapat berupa kekerasan fisik,

kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga, tetapi

8

(18)

umumnya masyarakat masih banyak mengartikan bahwa KDRT itu hanya semata

kekerasan fisik.9

Banyak pasangan suami isteri yang memutuskan untuk melakukan

perceraian karena adanya indikasi kekerasan yang dirasakan oleh salah satu pihak,

biasanya isteri yang menjadi korban KDRT. Banyak isteri yang mengalami

luka-luka, kecacatan, bahkan banyak kasus KDRT yang berujung pada kematian

karena mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, hal tersebut bisa

disebabkan karena emosi yang tinggi, pertengkaran yang hebat dan sulit untuk

menemukan jalan keluarnya bahkan banyak juga isteri tersebut mengetahui

suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain.

Seringkali perceraian orang tua membuat anak menjadi korbannya.

Dampak yang ditimbulkan dari perceraian orang tua ternyata sangat berpengaruh

pada kehidupan anak. Banyak kita lihat dan bahkan kita rasakan bahwa perceraian

menjadikan pintu masuk kenakalan para remaja. Dampak dari perceraian orang

tua terhadap anak akan mempengaruhi segala aspek kehidupan anak, seperti aspek

biologis atau fisik, psikologi, sosial, dan spiritual.

Sebuah penelitian yang dilakukan Norwegian Institute of Public Health

dan The University of Olso, mempelajari 3.166 siswa kelas tiga untuk

memastikan apakah status pernikahan orang tua mempengaruhi gaya dan nafsu

makan anak-anak. hasilnya anak dengan orang tua bercerai memiliki berat badan

yang berlebih atau gemuk dibandingkan dengan anak yang tumbuh dengan orang

tua yang tidak bercerai. Penelitian juga menemukan, anak lelaki dengan orang tua

9

(19)

bercerai lebih beresiko mengalami obesitas.10 Selain itu terjadi dalam beberapa

kasus, anak yang orang tuanya bercerai menjadi lebih mudah terserang penyakit

yang diakibatkan dari trauma psikologis akibat dari perceraian orangtuanya.

Secara psikologis anak yang orang tuanya bercerai akan mengalami

kesedihan, merasa bersalah atas perpisahan orang tuanya, anak merasa kesepian,

kehilangan kasih sayang, depresi bahkan frustasi. Menurut psikolog sekaligus

pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan, perceraian membuat anak merasa

sedih, dan tidak lengkap. “Mereka cenderung menjadi tidak bersemangat, gelisah, bingung, dan sebaginya.” 11

Dampak dari trauma psikologis ternyata akan berpengaruh terhadap aspek

sosisal. Menurut sebuah studi di tahun 2011, American Sociological Review,

dampak negatif sosial pada anak-anak yang diakibatkan oleh perceraian orang tua,

umunya dimulai ketika proses perceraian itu dimulai. Kesedihan, kesepian,

kecemasan, masalah perilaku dan berkurangnya harga diri cenderung dialami oleh

anak. Anak-anak dalam penelitian itu, dikatakan menjadi sosok yang tidak

percaya diri di hadapan teman-temannya, kemampuan belajarnya berkurang,

begitu juga dengan keterampilan sosial interpersonalnya. Saat proses perceraian

selesai, anak akan “terpaksa” pindah dari lingkungannya karena harus mengikuti

salah satu dari orangtuanya. Lingkungan anak yang sebelumnya sudah sangat

akrab dengannya akan terputus.12

10“Perceraian Picu Anak Obesitas”, Warta Kota, 14 September 2014, h. 5. 11

http://m.life.viva.co.id/news/read/394141-dampak-perceraian-orangtua-terhadap-psikologis-anak, diakses pada 9 Maret 2015.

12

Perceraian Sebabkan Perkembangan Sosial Anak Terganggu,

(20)

Perceraian orang tua sangatlah berdampak negatif bagi anak-anak.

Dampak tersebut tidak hanya berasal disaat perceraian orang tua saja, tetapi

dampak tersebut juga dirasakan anak sejak sebelum perceraian dan setelah

perceraian. Sebelum perceraian orang tuanya, seorang anak biasanya akan

menyalahkan dirinya dan merasa bahwa dia adalah penyebab dari perceraian

orangtuanya. Dan ketika orangtua telah berpisah, ia akan merasa kehilangan sosok

atau figur seorang ayah atau ibu yang sekarang sudah tidak bersama lagi.

Biopsikososial dan spiritual adalah alat assesmen yang digunakan oleh

para pekerja sosial untuk melakukan intervensi terhadap seseorang yang biasa

dikenal dengan klien. Biopsikososial menekankan bagaimana pengaruh interaktif

dari faktor-faktor biologis, psikologis serta spiritual terhadap berkembangnya

masalah-masalah individu dari berbagai segi usia.13

Oleh karena itu, menarik untuk meneliti dampak perceraian orang tua bagi

anak dengan judul ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban

Perceraian Orang Tua (Studi kasus pada perceraian yang diakibatkan oleh

perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga)”.

Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terlebih

tentang dampak yang dihadapi oleh anak yang menjadi korban perceraian orang

tuanya meliputi aspek kesehatan, psikologis, sosial dan spiritualnya. Selain itu

skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pasangan suami

isteri yang sedang dalam proses perceraian atau sudah menjalani proses

perceraian, seyogyanya memperhatikan dan mempersiapkan suatu perceraian

dengan baik terutama bagi anak, dimulai dari memberikan pengertian pada anak

13

(21)

bahwa akan adanya sebuah perpisahan antara ayah dan ibu. Selain itu orang tua

juga harus tetap bertanggung jawab kepada anak-anak mereka, agar anak tersebut

tidak merasa kehilangan meskipun ada sebuah perpisahan. Dan bagi para calon

pasangan suami isteri yang akan menikah diharapkan skripsi ini dapat

memberikan informasi tentang dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh

anak. Perceraian sangat mahal harganya, hal ini berarti banyak hal yang harus

dibayar karena begitu banyak konsekuensi negatif yang menjadi resiko perceraian,

terutama bagi anak-anak dari hasil perkawinan tersebut, karena menikah bukan

hanya sebagai kesenangan semata, namun banyak tanggung jawab yang harus

diemban oleh suami dan isteri terlebih ketika mereka telah dikaruniai seorang

anak.

B. Batasan dan Rumusan Masalah A. Batasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penulis

memfokuskan hanya pada ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Korban

Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh

Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, penulis membuat rumusan

(22)

1. Bagaimana dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian

orang tua?

2. Bagaimana pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca perceraian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan kondisi biopsikososial dan spiritual anak

korban perceraian orang tua.

2. Untuk mengetahui pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca

perceraian orang tua.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis

1) Memberikan sumbangan pengembangan pengetahuan bagi

kompetensi pekerjaan sosial yang berkaitan dengan Biopsikososial

pada anak sebagai korban perceraian orang tua.

2. Manfaat Praktis

1) Memberikan masukan dan saran kepada orang tua tentang dampak

perceraian terhadap Biopsikososial anak. menjadikan suatu

rekomendasi kepada calon pasangan suami isteri yang akan

menikah tentang dampak perceraian kepada anak. Serta bagi para

suami isteri yang telah memutuskan untuk memilih bercerai, agar

lebih memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan anak-anak

pasca perceraian.

2) Untuk masyarakat yang belum menikah, agar mempersiapkan suatu

(23)

agar kelak tidak terjadi perceraian, karena perceraian sangat mahal

harganya bagi anak.

E. Metodelogi Penelitian

Metode Penelitian merupakan suat proses yang harus dilalui dalam suatu

penelitian agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Metode penelitian ini

kemudian dibagi menjadi:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut

Bodgan Tailor dalam bukunya sebagaimana di kutip oleh Lexy

J.Moleong, metodelogi kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data dan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka

pendapat ini diartikan pada latar dan individu secara holistic (utuh).

Peneliti tidak boleh mengisolasikan inividu atau organisasi kedalam

variabel atau hipotesis, tetapi perlu gambaran sebagai dari suatu

keutuhan.14

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami

fenomena dalam setting dan konteks naturalnya (bukan di dalam

laboratorium) dimana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi

fenomena yang diamati. 15

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study).

Studi kasus merupakan penelitian tentang suatu “kesatuan sistem”.

14Dr. Lexy J.moleong, “Metodelogi Penelitian Kualitatif”

, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h.3.

15

(24)

Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau

sekelompok individu yang terkait oleh tempat, waktu atau ikatan

tertentu. Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk

menghimpun data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman

dari kasus tersebut. Kasus sama sekali tidak mewakili populasi dan

tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan dari populasi.

Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus

bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan

kasus lainnya.16

Studi kasus adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi

dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded system) pada satu kasus

atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data

secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang

kaya akan konteks. Sesuai dengan salah satu ciri dari model studi kasus

adalah keunikan dari kasus yang diangkat. Dalam studi kasus, kasus

yang diangkat biasanya kasus-kasus yang memiliki keunikan dapat

berupa program, kejadian, aktivitas atau subjek penelitian.17 Peneliti

akan mencoba mencari tahu dampak-dampak apa saja yang dirasakan

oleh anak pasca perceraian orang tuanya meliputi aspek bio/fisik,

psikologi dan sosial.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

16

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. 1, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 61.

17

(25)

Adapun lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah sesuai

dengan domisili para informan yaitu di Jakarta, Depok dan Bekasi.

Waktu penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2015 hingga Juni

2015.

4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam penelitian

ini adalah ialah purposive sampling. Pemilihan purposive sampling

berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih

karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan

dilakukan.18

Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik.

Typical sampling adalah suatu strategi yang digunakan untuk

kasus-kasus yang bersifat khas atau unik atau individu-individu yang memiliki

karakteristik unik. Unik dapat berarti tidak familier atau tidak biasa,

tetapi bukan merupakan suatu hal yang ekstrem. Identifikasi yang dapat

dilakukan oleh peneliti adalah dengan bertanya langsung kepada

individu yang bersangkutan atau dengan menggunakan data demografis

atau data survei, tergantung dari kasus yang akan diteliti.19 Untuk itu

peneliti memilih lima orang anak yang menjadi korban perceraian orang

tua sebagai sumber informan yang sesuai dengan ciri-ciri dari penelitian

yang akan dilakukan. Selain itu peneliti juga akan menggali informasi

yang diperoleh dari orang tua, guru disekolah, dan teman-teman.

18

Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, h. 106.

19Ibid

(26)

Keterangan informasi yang akan diperoleh dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 1

Karakteristik Informan

No Informan Informasi yang dicari Jumlah

1. Anak korban

perceraian orang tua

Untuk mengetahui tentang biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua setelah adanya

(27)

5. Sumber Data

Data Primer diperoleh dari proses penelitian langsung dari

partisipan atau sasaran penelitian, yaitu daya yang berasal dari 4 orang

anak korban perceraian orang tua, 4 orang tua yang bercerai, dan 2 orang

teman.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literatur,

buku-buku, Perpustakaan, atau internet yang terkait dengan penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai

berikut:

a. Teknik Observasi

Metode observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik

pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan perceraian.

5. Teman Mengetahui

perubahan-perubahan yang

dirasakan setelah orang tua bercerai

2 Orang

(28)

mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku,

kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.20

Inti dari observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya

tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku

yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung,

dan dapat diukur. 21

Teknik observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipatif,

dimana sesuai dengan cirinya yaitu pendekatan dan rancangan yang

mendalam, kualitatif, dan studi kasus. Observasi partisipatif

mengharuskan peneliti terlibat langsung dalam berbagai kegiatan

informan. Teknik ini digunakan hanya untuk dua orang informan saja,

yaitu informan “IA” dan “AP”. Hal tersebut ditengarai karena kedua

informan masih belum bisa diajak berkomunikasi secara aktif, sehingga

untuk mendapatkan data, peneliti menggunakan teknik observasi ini

kepada kedua informan. Seperti melakukan observasi ketika informan

sedang berinteraksi dengan orang tuanya serta lingkungan sekitar. Selain

itu peneliti juga akan melakukan observasi ketika informan berada

dirumah. Dengan menggunakan metode observasi diharapkan peneliti

dapat memperoleh data terkait tentang aspek sosial informan.

b. Metode Wawancara

Wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah

satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk

20

M.Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 165.

21

(29)

suatu tujuan tertentu.22 Bentuk wawancara yang digunakan adalah

wawancara tidak terstruktur karena peneliti akan melakukan wawancara

secara mendalam dan percakapan ini mirip dengan percakapan informal.

Penggunaan metode wawancara dipilih karena peneliti dapat

menggali informasi secara mendalam dari para informan tentang aspek

biopsikososial dan spiritual anak pasca perceraian orang tuanya. Selain

itu peneliti juga bisa menggali informasi dari sumber-sumber yang sudah

ditentukan seperti guru, teman dan orang tua informan.

c. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data

kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang

dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Studi

dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti

untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu

media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung

oleh subjek yang bersangkutan.23 Teknik dokumentasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah peninggalan tertulis, foto-foto, rekam medis,

buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, teori maupun literatur

lainnya.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan uraian dasar.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

22Ibid

., h.118.

23Ibid

(30)

interactive model yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Teknik

analisis data ini meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan lalu diverifikasi.24

Tahap pertama reduksi data melibatkan langkah-langkah editing,

pengelompokkan, dan meringkas data. Pada tahap kedua, peneliti

menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo) mengenai berbagai hal

termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses hingga

peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok, dan pola-pola data.

Berdasarkan keterangan diatas, maka setiap tahap dan proses tersebut

dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh

data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan

bentuk dokumen pribadi, gambar, foto, dsb, melalui metode wawancara

yang didukung dengan studi dokumentasi. Hal ini sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu mengungkap lebih dalam,

menganalisis, serta menggambarkan tentang seberapa besar dampak

perceraian orang tua mempengaruhi aspek biopsikososial anak serta

bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan pasca perceraian orang tua.

8. Teknik Keabsahan Data

Burhan Bungin dalam bukunya penelitian kualitatif mengatakan

bahwa dalam melakukan penelitian kualitatif seringkali menghadapi

persoalan dalam menguji keabsahan hasil penelitian, hal ini dikarenakan

banyak hal, yaitu karena, (1) alat penelitian yang diandalkan adalah

wawancara dan observasi mendukung banyak kelemahan ketika

24

(31)

dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa control dalam observasi

partisipatif, (2) sumber data kualitatif yang kurang akan mempengaruhi

hasil akurasi penelitian.25 Oleh sebabitu, hendaknya seperti yang telah

dijelaskan oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya Metodelogi Kualitatif

dalam menentukan keabsahan data adalah dengan melakukan triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.26

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sehingga data yang

diperoleh sangat berpeluang untuk keluar dari obyektifitas, untuk itu

cukup penting untuk penulis melakukan pemeriksaan kembali data yang

diperoleh, dengan tujuan untuk mendapatkan kevalidan data.

Teknik keabsahan data yang digunakan oleh peneliti adalah

triangulasi sumber dan metode. Menurut Burhan Bungin, triangulasi

yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara,

sedangkan triangulasi sumber membandingkan apa yang dikatakan

didepan umum dengan apa yang dikatakan orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

9. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka

sebagai langkah dari penyusunan skripsi yang penulis teliti, agar

terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang sudah ada

25

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Ekonomi, Kebijakan public, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 156.

26

(32)

sebelum-sebelumnya. Setelah mengadakan tinjauan pustaka, maka

peneliti menggunakan skripsi sebagai tinjauan pustaka pada skripsi ini.

Peneliti menggunakan literatur berupa skripsi yang dianggap

relevan dengan penelitian ini. Skripsi pertama membahas tentang

“Dampak Perceraian pada Anak Remaja” oleh Grace Killis

(089900046Y), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia, tahun 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak perceraian orang tua

pada anak usia remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi dampak

perceraian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada awal

perceraian anak akan lebih merasakan dampak negatifnya tetapi seiring

dengan berjalannya waktu ternyata perceraian juga mempunyai dampak

positif bagi kehidupan individu yang mengalaminya.27

Skripsi kedua membahas tentang “Perbedaan Self-Esteem antara Anak

Usia Middle Childhood yang Orang Tuanya Bercerai dan yang Orang

Tuanya Tidak Bercerai” oleh Belinda Agustya Pawidya Putri

(0606092290), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia tahun 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan self-esteem antara anak

usia middle childhood yang orang tuanya bercerai dan yang orang tuanya

tidak bercerai. Aspek yang diukur pada penelitian ini yaitu personal,

akademis (sekolah), sosial (teman sebaya), dan keluarga (orang tuanya).

Hasil analisis menunjukkan rendahnya Self-Esteem pada anak yang

orangtuanya bercerai, baik secara menyeluruh atau pada tiap aspeknya.

27

(33)

Pada dua kelompok ditemukan bahwa anak perempuan memiliki

Self-Esteem yang tinggi dibandingkan anak laki-laki.

Judul pada penelitian ini adalah Dampak Biopsikososial Anak

Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada perceraian yang

diakibatkan oleh perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga).

Peneliti akan membahas tentang dampak-dampak perceraian orang tua

yang dirasakan oleh anak-anak dari berbagai macam aspek yaitu aspek

kesehatan, psikologis, sosial dan spiritual.

Untuk teknis penulisan hasil penelitian ini mengacu pada buku

pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya

Hamid Nasuhi, dkk. Yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality

Development Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.

10. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini disajikan kedalam 5 Bab, berikut adalah sistematika

penulisan skripsi:

BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian

(terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik

pemilihan subyek dan informan, sumber data, teknik analisis data, teknik

keabsahan data), serta Sistematika Penulisan.

BAB II Landasan Teori, Bab ini mengemukakan tentang keluarga, tentang perceraian, psikososial, serta aspek biopsikososial.

(34)

orang tua berpengaruh ada biopsikososial dan spiritual anak, serta untuk melihat

bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua pasca perceraian.

BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis Data, Pada bab ini memuat tentang temuan-temuan dan analisis yang mendukung secara garis besar mengenai

dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial anak serta bagaimana pola

asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak pasca perceraian.

(35)

22

Penelitian ini berisikan tentang dampak perceraian orang tua terhadap

biopsikososial dan spiritual anak. Untuk menunjang penelitian ini, maka peneliti

menuliskan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini, yaitu:

A. Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Dalam Islam, untuk membentuk sebuah keluarga maka para muslim

dan muslimah dianjurkan untuk melakukan pernikahan, karena menikah

merupakan fondasi dalam pembentukan keluarga.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan

manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di

dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.1

Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau

perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ibu, bapak dan

anak-anaknya. Ini disebut keluarga batih (nuclear family). Keluarga yang diperluas

(extended family) mencakup semua orang dari satu keturunan dari kakek dan

nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan isteri. Keluarga mempunyai

fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, dan

menolong serta melindungi yang lemah, khususnya orang tua yang lanjut usia.2

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari

suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, ata ibu dan

1

W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 180.

2

(36)

anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai

dengan derajat ketiga. 3

Jadi yang dimaksud keluarga merupakan kelompok orang yang

memiliki hubungan darah atau perkawinan, dan keluarga merupakan kelompok

sosial yang pertama dalam kehidupan. Yang termasuk dalam keluarga adalah

ayah, ibu, adik, kakak, nenek dan mencakup semua keturunan dari suatu

keturunan.

2. Orang Tua

Seperti yang telah kita ketahui diatas, bahwa keluarga terdiri dari

ayah, ibu, dan anak, bahkan ada juga keluarga yang terdiri dari beberapa orang

lainnya seperti ada kakek, nenek, paman dan sebagainya. Dalam keluarga, ayah

dan ibu biasa disebut sebagai orang tua yang memiliki peran masing-masing

dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya.

Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu

tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.4

3. Anak

a. Pengertian Anak

Anak merupakan anugrah terindah yang dititipkan Tuhan kepada

para pasangan suami isteri yang harus dijaga dengan baik. Anak

membutuhkan kasih sayang, perhatian, rasa aman dalam setiap tumbuh

kembangnya.

Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut

3

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Surabaya: Kesindo Utama, 2003), h. 4.

4Ibid

(37)

undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.5

Menurut John Locke, anak adalah pribadi yang masih bersih dan

peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.6

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak

merupakan manusia yang berusia 0 hingga mencapai 18 tahun dan memiliki

pribadi yang bersih dan peka terhadap rangsangan dari lingkungan.

b. Anak dan Keluarga yang Bercerai

Sebagian besar peneliti setuju bahwa anak-anak dari keluarga yang

bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibanding

anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai.7 Anak yang berasal dari keluarga

bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah akademis,

menunjukkan masalah-masalah eksternal seperti kenakalan, kurang

memiliki tanggung jawab, memiliki hubungan intim yang kurang baik,

putus sekolah, berhubungan dengan peer yang antisosial, dan memiliki nilai

diri yang rendah.8

Konflik perkawinan bisa memiliki akibat negatif terhadap anak,

baik dalam konteks perkawinan maupun perceraian. Kepribadian dan

tempramen memainkan peran dalam penyesuaian anak-anak dari keluarga

bercerai. Anak-anak yang secara sosial dewasa dan bertanggung jawab,

yang hanya menunjukkan sedikit masalah emosional, dan yang memiliki

temperamen yang terkendali lebih baik dalam menghadapi perceraian

5

Ibid, h. 4.

6

Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Tugu Publisher, 2012), cet.1, h. 11.

7

Santrock, Perkembangan Anak, h. 186.

8Ibid

(38)

mereka. Anak-anak dengan tempramen yang sulit sering kali mengalami

kesulitan dalam menghadapi perceraian orang tua mereka. Ketika hubungan

orang tua yang bercerai terjalin harmonis dan ketika mereka menggunakan

gaya pengasuhan otoritatif, penyesuaian anak-anak akan meningkat.9

4. Pola Asuh

A. Jenis-Jenis Pola Asuh

Hubungan suami isteri yang harmonis merupakan prakondisi yang

diperlukan guna mewujudkan pengasuhan anak yang kondusif. Kehilangan

pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orang tua, baik

untuk sementara maupun selamanya, bencana alam, dan berbagai hal yang

bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kualitas kesehatan fisik,

emosi, mental dan spiritual anak.

Dengan mengacu pada konsep dasar tumbuh kembang anak, maka

secara konseptual pengasuhan anak adalah upaya orang dewasa dalam

lingkungan keluarga guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anak

untuk tumbuh kembang (asah, asih dan asuh) dengan baik dan benar,

sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.10

Menurut Diana Baumrind ada 4 jenis pola pengasuhan orang tua,

yaitu:11

9

Santrock, Perkembangan Anak, h. 188.

10

Asep Usman Ismail, MA., Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosail: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, h. 165.

11

(39)

a. Pengasuhan Otoritarian (Authoritarian Parenting)

Pengasuhan otoritarian ini adalah pola yang membatasi dan

menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan

orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Batas dan

kendali yang tegas diterapkan pada anak, dan sangat sedikit

tawar-menawar verbal yang diperbolehkan. Pola ini bisa mengakibatkan

perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial. Anak yang memiliki

orang tua otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika

membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas,

dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Anak dengan pola

pengasuhan ini mungkin berperilaku agresif.

b. Pengasuhan Otoritatif (Authoritatif Parenting)

Pola ini mendorong anak untuk mandiri, namun masih

menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal

memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat

dan penyayang kepada anak. Pola ini biasanya mengakibatkan perilaku

anak yang kompeten secara sosial. Anak yang memiliki orang tua

otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan

berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung mempertahankan hubungan

yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa,

dan bisa mengatasi stres dengan baik.

c. Pengasuhan Yang Mengabaikan (Neglectful Parenting)

Pola dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan

(40)

aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka.

Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak

diantaranya memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk.

d. Pengasuhan Yang Menuruti (Indulgent Parenting)

Suatu pola dimana orang tua sangat terlibat penuh dengan anak

tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada

mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya

sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang

memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati

orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.

Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan

kesulitan dalam hubungan dan teman sebaya.

Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan

bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti

mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan

anak dan apa harapan orangtua. Dengan demikian pengasuhan yang

diberikan oleh orangtua lebih mengutamakan kasih sayang, kebersamaan,

musyawarah, saling pengertian dan penuh keterbukaan. Jika anak-anak

dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang demokratis, niscaya dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi yang dimiliki anak

dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada gilirannya nanti

anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud.

Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan

(41)

menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif,

jujur, dan mempunyai toleransi yang baik.

B. Kelekatan (Attachment)

Kelekatan yang aman pada orang tua dalam masa remaja bisa

membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan anak yang tercermin dalam

harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Anak yang lekat

secara aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan

perilaku bermasalah.12

C. Hukuman

Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul dianggap

sebagai metode yang perlu dan bahkan disarankan untuk mendisiplinkan

anak. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua

berasosiasi dengan tingkat ketaatan dan agresi cepat yang lebih tingi oleh

anak-anak. Selain itu hukuman fisik berhubungan dengan tingkat

internalisasi moral dan kesehatan mental yang lebih rendah.13

Berikut adalah alasan mengapa orang tua tidak dibenarkan

memberikan hukuman fisik ataupun hukuman serupa, yaitu:14

1. Ketika orang tua menghukum anak dengan berteriak, menjerit atau

sebagainya, mereka menunjukkan kepada anak model lepas kendali

ketika menghadapi situasi yang menekan. Anak-anak mungkin akan

meniru perilaku agresif dan lepas kendali ini.

12

John W. Santrock, Perkembangan Anak, h. 177.

13

Santrock, Perkembangan Anak, h. 169.

14Ibid

(42)

2. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan penghindaran.

Pemukulan terhadap anak bisa menyebabkan anak takut dengan orang tua

dan pada akhirnya memilih untuk menghindari orang tua.

3. Hukuman memberi tahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi anak

seharusnya diberikan umpan balik.

4. Hukuman bisa bersifat menyiksa. Ketika orang tua mendisiplinkan anak

mereka, mereka mungkin tidak bermaksud menyiksa. Namun mereka

menjadi begitu terpancing ketika menghukum anak tersebut sehingga

menjadi bersifat menyiksa.

Kebanyakan psikolog anak merekomendasikan orang tua agar

mengajak anak berpikir logis, khususnya menjelaskan akibat tindakan anak

terhadap orag lain, sebagai cara terbaik untuk menangani perilaku anak yang

salah.

D. Perlakuan Salah Terhadap Anak

Penting untuk diketahui bahwa kekerasan terhadap anak adalah

kondisi yang beragam, bahwa keparahan kekerasan itu biasanya mulai dari

ringan ke sedang, dan bahwa kekerasan terhadap anak hanya disebabkan

oleh karakteristik kepribadian orang tua. Berikut akan dijelaskan tipe

perlakuan yang salah terhadap anak menurut National Clearinghouse on

Child Abuse and Neglect:15

1. Kekerasan fisik, dicirikan oleh terjadinya cidera fisik karena

penonjokan, pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran atau

pembahayaan anak.

15

(43)

2. Penelantaran anak, dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi

kebutuhan dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik,

meliputi peninggalan, pengusiran dari rumah, pengawasan yang kurang

memadai dan penundaan dalam mencari perawatan kesehatan.

Penelantaran pendidikan, meliputi membiarkan anak bolos sekolah

yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan

tiadak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, dan penelantaran

emosional meliputi, tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak

akan kasih sayang, penolakan atau ketidakmampuan untuk memberikan

kepedulian psikologis yang perlu, penyiksaan pasangan di depan anak,

dan pembiaran penggunaan alkohol dan obat-obatan oleh anak.

3. Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak,

hubungan seksual, pemerkosaan, sodomi, eksploitasi komersial melalui

pelacuran atau produksi materi pornografi.

4. Kekerasan emosional meliputi tindakan pengabaian orang tua atau

pengasuh yang menyebabkan atau bisa mengakibatkan pada masalah

behavioral, kognitif atau emosional yang serius.

Walaupun bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak diatas bisa

ditemukan secara terpisah, namun bentuk-bentuk tersebut sering juga terjadi

dalam kombinasi. Kekerasan emosional hampir selalu ada ketika bentuk

kekerasan lain terjadi.

E. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak

Akibat perlakuan salah terhadap anak pada perkembangannya

(44)

masalah dalam hubungan dengan peer group, kesulitan beradaptasi di

sekolah, dan masalah psikologis lainnya.16 Anak yang diperlakukan secara

salah mungkin menunjukkan emosi negatif yang berlebihan, seperti mudah

marah atau menangis, atau mereka mungkin juga menunjukkan emosi

positif yang tidak peka seperti jarang tersenyum atau tertawa.

Ketika anak-anak diperlakukan secara salah, mereka sering

menunjukkan pola keterlibatan yang tidak percaya diri dalam hubungan

sosial mereka ketika dewasa. Anak-anak yang diperlakukan secara salah

kurang memiliki bekal untuk mengembangkan hubungan peer yang

berhasil. Mereka cenderung menjadi terlalu agresif terhadap teman sebaya

atau menghindari interaksi dengan teman sebaya. Anak-anak yang menjadi

korban kekerasan dan penelantaran beresiko menghadapi masalah akademis.

Kekerasan fisik terkait dengan kecemasan anak, masalah kepribadian,

depresi, gangguan perilaku dan kenakalan.17

Pengasuhan yang baik membutuhkan waktu dan usaha. Pada dasarnya

orang tua tidak bisa melakukannya hanya dalam waktu satu menit. Tentu bukan

hanya jumlah waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak yang penting

bagi perkembangan anak tetapi kualitas pengasuhan jelas lebih penting.

F. Ayah Sebagai Pengasuh

Parke & Sawin dalam Santrock, menunjukkan bahwa ayah

memiliki kemampuan untuk bertindak secara peka dan secara tanggap

terhadap anaknya.18 Meskipun ayah dapat menjadi pengasuh yang aktif,

(45)

sabar dan terlibat penuh dengan si anak, tetapi masih jarang orang tua yang

mengikuti pola ini.

Memang terdapat perbedaan antara perilaku ayah dan ibu terhadap

seorang anak. Interaksi ibu dan anak biasanya berpusat pada kegiatan

pengasuhan anak, memberi makan, mengganti popok, memandikan dan lain

sebagainya. Sedangkan interaksi ayah dengan anak mencakup aktivitas

permainan. Ayah lebih banyak melibatkan diri dalam permainan fisik

seperti melambungkan bayi, melemparkan bayi ke udara, menggelitik dan

lain sebagainya.

G. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak

Peran ayah juga memberi pengaruh pada anak. keterlibatan ayah

dalam membesarkan anak pada usia 5 tahun merupakan penentu empati

terkuat bagi pria dan wanita pada usia 31 tahun. Pria dan wanita tersebut

memiliki hubungan sosial yang lebih baik mengalami lebih banyak

kehangatan dari ayah semasa anak-anak. Ayah yang menggunakan gaya

pengasuhan otoritatif lebih cenderung memiliki anak dengan masalah

eksternal seperti mengekspresikan perasaan yang tertahan atau bersikap

sangat agresif dan masalah internal seperti kecemasan atau depresi yang

lebih sedikit dibandingkan dengan ayah yang menggunakan gaya

pengasuhan lainnya.19

19

(46)

B. Perceraian

Perceraian dapat dikatakan sebagai mimpi buruk bagi para pasangan suami

isteri terlebih ketika mereka telah memiliki anak. Perceraian sendiri akan

membuat anak menjadi korbannya. Untuk itu perlu diperhatikan kepada para

pasangan orang tua yang telah bercerai, maupun yang sedang dalam proses

perceraian, hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik terlebih

dengan kesiapan mental dari anak itu sendiri. Berikut adalah beberapa teori yang

peneliti gunakan terkait dengan perceraian.

1. Definisi Perceraian

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan

tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta kepada

pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus

memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh

selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan mereka

menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat

dipahami karena besarnya dampak perceraian yang tidak hanya menimpa

suami-isteri, tetapi juga anak-anak. anak-anaklah yang sangat merasakan

pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. Sejatinya perceraian dapat

diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi

realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.20

2. Penyebab Perceraian

Banyak hal yang dapat menyebabkan pasangan suami isteri memiliki

jalan untuk bercerai sebagai jalan terakhir. Seperti yang kita ketahui, dewasa

20

(47)

ini tidak hanya seorang suami yang menjatuhkan talak, justru seorang istri yang

lebih banyak menggugat suaminya. Berikut akan dibahas yang menjadi

penyebab-penyebab perceraian.

Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainnya yang

sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa

seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

mengancam jiwa pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar

disembuhkan sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai

suami/istri.

6. Serta antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran

terus-menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan.21

Selain itu Miller dalam bukunya menyatakan bahwa penyebab

perceraian dapat dibagi dalam beberapa kategori spesifik, yaitu:

a. Ketidaksesuaian yang tidak dapat ditanggulangi lagi.

21

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, artikel diakses pada tanggal 16 Maret 2015, dari

(48)

b. Tinggal secara terpisah lebih dari 18 bulan tanpa kemungkinan untuk

bersatu kembali.

c. Selingkuh.

d. Perkawinan kontrak.

e. Meninggalkan pasangan secara sukarela selama lebih dari 1 tahun.

f. Pergi tanpa kabar berita selama 7 tahun.

g. Kebiasaan mabuk-mabukan.

h. Kekerasan yang tidak dapat ditoleransi.

i. Pasangan menjalani hukuman.

j. Pasangan dalam perawatan karena gangguan mental selama 5 dari 6 tahun

terakhir. 22 C. Psikologi Sosial

Psikologi sosial merupakan salah satu cabang psikologi yang secara

nyata berhubungan langsung dengan masalah sosial manusia.

1. Pengertian

Psikologi sosial adalah psikologi dalam konteks sosial. Psikologi,

seperti yang telah kita ketahui, adalah ilmu tentang perilaku, sedangkan sosial

di sini berarti interaksi antar individu atau antar kelompok dalam masyarakat.

Psikologi sosial adalah psikologi yang dapat diterapkan dalam konteks

keluarga, sekolah, teman, kantor, politik, negara, lingkungan, organisasi dan

sebagainya.23

Kata psikososial itu sendiri menggaris bawahi suatu hubungan yang

dinamis antara efek psikologis dan sosial, yang mana masing-masingnya saling

22Grace Kilis, “Dampak Perceraian Pada Anak Remaja”, (Skripsi S1 Fakultas Psikologi,

Universitas Indonesia, Juli 2003), h. 10.

23

(49)

mempengaruhi. Kebutuhan psikososial mencakup cara seseorang berfikir dan

merasa mengenal dirinya dengan orang lain, keamanan dirinya dan

orang-orang yang bermakna baginya, hubungan dengan orang-orang lain dan lingkungan

sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian-kejadian

disekitarnya.24

Baron dan Byrne mengemukakan bahwa psikologi sosial adalah

cabang psikologi yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan cara

berpikir, berperasaan, dan berperilaku individu yang dipengaruhi oleh

kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain itu dapat dirasakan secara langsung,

diimajinasikan, ataupun diimplikasikan.25

Selain itu menurut Allport, psikologi sosial adalah upaya untuk

memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan dan perilaku individu

terpengaruh oleh kehadiran orang lain. Pengaruh tersebut dapat bersifat aktual,

dalam imajinasi, maupun secara tidak langsung. 26

Jadi psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana

seseorang berinteraksi dengan orang lain dan interaksi tersebut saling

mempengaruhi baik dalam pikiran maupun dalam berperilaku.

2. Fase-Fase Perkembangan

Menurut Erik H. Erickson, fase-fase perkembangan psikososial

dibagi dalam beberapa tahapan tertentu, yaitu sebagai berikut:27

24

Departemen sosial, Standar Rehabilitasi Psikososial Pekerja Migran, (Jakarta: 2004), h.2.

25

Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cet. I, h. 1.

26

Sarwono dan Meinarno, Psikologi Sosial, h. 12.

27

(50)

a. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar (Trust vs Mistrust) Masa bayi berlangsung antara 0-1 tahun. pada tahap ini anak mulai

belajar percaya pada orang yang ada di sekitarnya. Namun sebaliknya,

pada tahap ini pula anak dapat merasa tidak percaya pada orang lain,

menarik diri dari lingkungan masyarakat dan melakukan pengasingan

diri. Pemenuhan kebutuhan pada tahap ini cenderung bersifat fisik,

seperti pemenuhan kepuasan untuk makan dan mengisap, rasa hangat

dan nyaman, cinta dan rasa aman. Semua pemenuhan ini akan

menimbulkan sebuah kepercayaan pada diri anak terhadap orang lain.

Sebaliknya jika kepuasan ini tidak terpenuhi maka akan

mengakibatkan perasaan curiga, rasa takut dan tidak percaya pada

orang lain. Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi

yang buruk.

b. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan (autonomy vs shame and doubt)

Masa kanak-kanak permulaan yaitu berlangsung pada usia 2-3 tahun

yang menentukan tumbuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak

mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban

dan hak-haknya yang disertai pembatasan-pembatasan yang dikenakan

pada dirinya. Inilah tahap saat berkembangnya kebebasan

pengungkapan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa

percaya diri pada anak. Konsekuensi apabila kepuasan pada tahap ini

(51)

c. Inisiatif versus Kesalahan (Initiative vs Guilt)

Masa bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah.

Pada tahap ini anak mulai belajar pada tingkat ketegasan tertentu.

Anak mulai mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.

Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak bisa merasa kurang

percaya diri, pesimis, takut salah. Perasaan takut salah ini muncul pada

saat anak melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang yang

lebih tua darinya. Selain itu, anak juga perlu belajar untuk melakukan

aktivitas yang tidak merusak hak-hak orang lain.

d. Kerajinan versus Inferioritas (Industry vs Inferiority)

Masa usia sekolah, berlangsung antara usia 6-11 tahun. Pada masa ini

berkembang kemampuan berpikir deduktif, disiplin diri dan

kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu

akan meningkat. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing

dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya, anak mungkin akan

kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari sekolah dan

teman sebaya. Anak mulai mendapatkan pengenalan melalui

demonstrasi ketrampilan dan produksi benda-benda serta

mengambangkan harga dirinya melalui sesuatu pencapaian apa yang

diinginkannya. Tahap ini mendorong anak untuk memiliki perasaan

inferior, yaitu perasaan yang timbul akibat adanya orang yang dewasa

yang memandang usaha anak untuk belajar bagaimana sesuatu bekerja

melalui manipulasi dianggap merupakan sesuatu yang bodoh atau

Gambar

Tabel 1.1 Karakteristik Informan ..........................................................................
Tabel 1 Karakteristik Informan
Gambaran fisik: jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan,
GAMBARAN UMUM INFORMAN
+2

Referensi

Dokumen terkait

Aset berwujud dalam bentuk bahan atau perlengkapan yang dimaksud adalah berupa peralatan medis dan obat-obatan yang terdapat pada persediaan rumah sakit. Akuntansi persediaan

Yaitu perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instnsi yang bertanggung jawab di

Pada hari ini Kamis tanggal Delapan Bulan September Tahun Dua Ribu Enam Belas (08-09- 2016), kami yang bertanda tangan di bawah ini Kelompok Kerja (Pokja) ULP

 Dengan proses cuklim yaitu batuan yang mengandung perak yang sudah diambil akan terlarut dalam larutan asam nitrat dan meninggalkan endapan

Kinerja yang dimaksud adalah kualitas kerja dari seorang Pamong Belajar yang diserahkan tanggung jawab untuk melaksanakan tupoksinya dalam semua kegiatan

Dalam rangka penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 308 tahun 2005,

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat dalam dunia pendidikan, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis tentang peningkatan kemampuan membaca

Tujuan keseluruhan dari kerja sama ASEAN di bidang ketenagakerjaan adalah untuk membangun visi menuju kualitas hidup yang lebih baik, pekerjaan yang produktif, dan perlindungan