• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI - Hubungan Adversity Quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha Pada Wirauasaha Wanita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI - Hubungan Adversity Quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha Pada Wirauasaha Wanita"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Pada bab ini akan dijabarkan sejumlah teori yang menjadi kerangka berpikir dalam melaksanakan penelitian. Penjabaran teori terbagi dalam sejumlah bagian yaitu tinjauan teori mengenai kepuasan berwirausaha, Adversity Quotient. Selain itu terdapat juga aspek-aspek dan faktor-faktor dari kepuasan berwirausaha serta dimensi dari Adversity Quotient dan penjelasan wirausaha pada wanita. Pada akhir bab ini diuraikan mengenai hubungan antara variabel Adversity Quotient kepuasan berwirausaha, sehingga menghasilkan sebuah hipotesis dari penelitian ini.

A. Kepuasan Berwirausaha

a) Pengertian Kepuasan Berwirausaha

(2)

untuk mengukur kepuasan kerja, antara lain pekerjaan itu sendiri, gaji, promosi jabatan, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja.

Meskipun kebanyakan penelitian berkonsentrasi pada kepuasan kerja pada karyawan daripada pengusaha (Cooper & Artz 1995 ; Carree & Verheul, 2011). Akan tetapi studi menunjukkan bahwa seorang wirausaha lebih memperlihatkan kepuasan terhadap pekerjaan mereka daripada karyawan (Blanchflower and Oswald, 2007). Oleh karena itu kepuasan kerja pada saat ini tidak hanya berfokus pada karyawan akan tetapi juga berfokus pada wirausaha.

Suryana dan Bayu (2010) menjelaskan bahwa wirausaha ialah orang yang mempunyai kemampuan menjalankan usaha secara mandiri dan berwirausaha berati melakukan kegiatan dengan menciptakan dan menjalankan usaha mandiri. Sedangkan kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana wirausaha menyukai kegiatan wirausahanya (Suyatini, 2004). Kepuasan berwirausaha adalah kepuasan yang dibagi menjadi tiga aspek kepuasan, tiga aspek kepuasan itu adalah kepuasan akan income, psychological well being dan leisure time (Carree & Verheul, 2011).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana wirausaha menyukai kegiatan wirausaha yang ditinjau dari tiga aspek kepuasan, yaitu income yang diterima, psychological well being yang dirasakan ,dan leisure time yang dimiliki.

b) Aspek- aspek Kepuasan Wirausaha

(3)

(2011), Imbalan tersebut merupakan aspek kepuasan dalam berwirausaha. Aspek kepuasan tersebut yaitu, income, psychological well being dan leisure time.

1. Income

Income merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi aktivitas dan kelangsungan dari suatu usaha. Income dapat dijadikan sebagai indikator naik turunnya suatu usaha yang dijalankan. Income yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap kepuasan dari seorang pengusaha. Income bagi pengusaha merujuk kepada imbalan berupa laba. Sehingga Kepuasan terhadap income sangat relevan bagi pengusaha yang memulai usaha untuk mendapatkan hidup atau untuk kesuksesan finansial (Andersson 2008; Feldman & Bolino, 2000; Carree & Verheul, 2011; Hasni, 2011).

Hasil finansial dari bisnis apapun harus dapat mengganti kerugian waktu (ekuivalen dengan upah) dan dana (ekivalen dengan tingkat bunga atau deviden) sebelum laba yang sebenarnya dapat direalisasikan. Wirausaha mengharap hasil yang tidak hanya mengganti kerugian waktu dan uang yang mereka investasikan, tetapi juga memberikan imbalan yang pantas bagi resiko dan inisiatif yang mereka ambil dalam mengoperasikan bisnis mereka sendiri (Longenecker, Carlos & William, 2001).

2. Psychologial Well Being

(4)

pengusaha untuk mendapatkan Psychologial Well Being yang berasal dari dukungan dari dalam dan dari luar. Dukungan dari dalam dapat diperoleh dari kecerdasan emosional pada diri tiap pengusaha, dan dukungan dari luar dapat diperoleh dari dukungan sosial dari orang di sekitar pengusaha.

Wirausaha sering kali menyatakan kepuasan yang mereka dapatkan dalam menjalankan bisnisnya sendiri. Beberapa wirausaha menyatakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan merupakan suatu kesenangan tersendiri. Psychological Well Being yang mereka dapatkan mungkin berasal dari kebebasan mereka, dalam Psychologial Well Being tersebut merefleksikan pemenuhan kerja secara pribadi (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).

3. Leisure Time

Income dan Leisure Time adalah dua sumber utama tradisional utilitas di bidang ekonomi (Bonke, Deding, & Lausten, 2009; Carree & Verheul, 2011). Beberapa orang memulai usaha dengan memiliki jam kerja yang lebih fleksibel untuk menggabungkan jam kerja dirumah tangga dan tanggung jawab pekerjaan. Seseorang dapat mengatur waktunya sendiri untuk memulai membuka usahanya sendiri, bahkan jika usahnya mengambil tempat di rumah, maka seseorang tidak perlu meninggalkan rumah (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).

(5)

c) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Wirausaha

Cooper dan Artz (1995); Carree & Verheul (2011) menyatakan bahwa faktor yang menjadi Tingkat kepuasan kewirausahaan yaitu adanya pengaruh dari karakteristik usaha, motif untuk start-up dan karakteristik pribadi.

1. Karekteristik usaha

Pada beberapa studi Carree dan Verheul, (2011) membedakan antara tiga utama pada usaha yaitu :

a. Ukuran

Usaha baru yang ukurannya lebih besar biasanya datang dengan tanggung jawab yang lebih tinggi dan harapan dan dapat mengakibatkan lebih banyak stres. Di sisi lain, besar start-up biasanya membutuhkan lebih persiapan dan harus berurusan dengan pengawasan luar, misalnya, oleh pemasok modal, sehingga mengurangi kemungkinan kerugian yang tak terduga. Hal yang mempengaruhi ukuran perusahaan adalah jumlah karyawan, jumlah modal awal, dan apakah bisnis beroperasi dari rumah atau tempat usaha yang terpisah. Memulai dan menjalankan bisnis di luar rumah mungkin menjadi indikator kehati-hatian dari pihak pengusaha, dan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan Leisure time.

(6)

untuk mendefinisikan Pengertian dan kriteria ukuran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pengertian-pengertian UMKM tersebut adalah :

1) Usaha Mikro

Usaha Mikro adalah Peluang Usaha Produktif milik orang perorangan atau badan Usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dengan asset Maks. 50 Juta /tahun dan omset Maks. 300 Juta. Contoh usaha mikro adalah pedagang kaki lima.

2) Usaha kecil

Usaha Kecil adalah Peluang Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan Usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha menengah atau Usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Dengan asset usaha lebih dari 50 Juta – 500 Juta/tahun dan omset lebih dari 300 Juta – 2,5 Miliar. Contoh usaha kecil adalah pedagang grosiran di pasar.

3) Usaha menengah

(7)

b. Kompleksitas

Kompleksitas lingkungan yang lebih besar dapat menyebabkan ketidakpuasan pada pengusaha, dengan adanya dihadapkan beberapa sumber kemunduran tak terduga. Ukuran yang digunakan dalam kompleksitas yaitu: apakah start-up dalam high- sektor teknologi, dan apakah pengusaha percaya bahwa ia mampu bersaing dengan semua perkembangan yang relevan.

c. Keterlibatan

Alokasi waktu untuk tugas kewirausahaan berbagai mungkin bervariasi di setiap start-up. Pengusaha yang dihadapkan dengan tekanan waktu yang cukup besar mungkin berasal kurang kepuasan dari perusahaan mereka. Pada penelitian Haile (2009) menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang (lebih 48 jam setiap minggunya) di temukan adanya efek positif dan berhubungan secara signifikan dengan kepuasan pencapaian akan prestasi.

2. Motif untuk start-up

(8)

perusahaan sebagai tujuan awal mereka dan yang diharapkan (Carree & Verheul, 2011).

3. Karakteristik pribadi

Karakteristik merupakan ciri atau sifat yang berkemampuan untuk memperbaiki kualitas hidup, sedangkan karakteristik pribadi adalah ciri khas yang menunjukkan perbedaan seseorang tentang motivasi, inisiatif, kemampuan untuk tetap tegar menghadapi tugas sampai tuntas atau memecahkan masalah atau bagaimana menyesuaikan perubahan yang terkait erat dengan lingkungan yang mempengaruhi kinerja individu. Karakteristik pribadi dapat dipengaruhi oleh faktor sosial-demografi seperti :

a. Latar Belakang Budaya

Manusia tidak akan lepas dari lingkungan sekitarnya, sehingga secara tidak langsung tingkah laku mereka dibatasi oleh norma atau nilai budaya setempat. Oleh karena itu kewirausahaan bearsal dari berbagai jenis kebudayaan. Perbedaan budaya menimbulkan perbedaan nilai dan kepercayaan. Ada kebudayaan yang dikenal memiliki orientasi prestasi tinggi dan dapat memunculkan wirausaha yang berhasil. Ada budaya yang menganggap kewirausahaan sebagai suatu pekerjan yang positif, namun ada kebudayaan yang menganggapnya sebagai suatu pekerjaan yang merendahkan harga diri. ( Lambing & Kuehl, 2000 ; Nasution, Noer & Suef, 2001)

(9)

secara umum budaya masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa risiko” seperti menjadi pegawai negeri, ABRI atau bekerja di perusahaan besar (Sunarso, 2010).

b. Usia

Kepribadian manusia bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. makin berumur seseorang diharapkan makin mampu bersifat toleran, mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lain yang menunjukkan intelektual dan psikologis (Carree & Verheul, 2011).

c. Pasangan hidup

Pasangan hidup berguna untuk mengurangi stres yang didapat dari pekerjaan dengan berbagi masalah dan juga dapat membantu keuangan dari wirausaha itu sendiri. Clark, Oswald, dan Warr, (1996); Carree dan Verheul, (2011) menemukan bahwa pekerja yang menikah memiliki kepuasan kerja yang tinggi, terutama kepuasan pada pendapatan. Penelitian dari Blanchflower dan Oswald, (2007) menunjukkan bahwa adanya efek positif antara pernikahan dengan kebahagiaan pekerja, baik itu pekerja yang digaji maupun wirausaha. Selain itu, mereka juga mendapatkan efek negatif terdapat pada pekerja tanpa pasangan hidup seperti pada janda, orang yang bercerai, dan individu yang telah berpisah.

d. Gender

(10)

yang menyatakan bahwa wirausaha wanita lebih puas dalam menjalankan bisnisnya daripada wirausaha pria.

Seorang pria memiliki kepercayaan diri berlebih dalam menjalankan bisnisnya yang membuat dirinya memiliki ketergantungan kerja yang tinggi pada usahanya (Lundeberg, Fox & Punchocar, (1994); Carree & Verheul, 2011) dan biasanya tugas yang berat itu lebih ditujukan pada karakter maskulin yang memiliki jiwa kewirausahaan (Beyer & Bowden, 1997; Carree & Verheul, 2011). Selain itu, penelitian dari Gazioglu dan Tansel, (2006) menyatakan tentang efek partisipasi dimana wanita biasanya dianggap sebagai pendukung pencari nafkah dan mereka dapat membuat keputusan cepat untuk berhenti dari pekerjaan ketika mereka tidak puas akan pekerjaan itu.

e. Risk tolerance

Wirausaha biasanya memiliki toleransi resiko yang tinggi daripada karyawan yang bekerja (Kihlstrom & Laffont, 1979 Carree & Verheul, 2011). Risk tolerance dimana ketika ada masalah wirausaha lebih suka menganggapnya sebagai sebuah hal yang positif atau sebagai tantangan bagi dirinya.

(11)

Seorang wirausaha yang berani mengambil resiko merupakan seorang wirausaha yang berani mengubah kegagalan menjadi suatu peluang (Stoltz, 2000). Peluang yang dimiliki seorang wirausaha diharapkan mampu menghadapi tantangan dan menyelesaikan hambatan-hambatan yang ditemui seorang wirausaha dalam mencapai kepuasan berwirausaha. Oleh karena itu, menurut Stoltz (2003) sangat diperlukan Adversity Quotient.

B. Adversity Quotient (AQ)

Adversity Quotient(AQ) merupakan satu konsep yang dikemukakan oleh Paul G.Stoltz (2000) mengenai kualitas pribadi yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang hidupnya. Stoltz (2003) menekankan pada unsur kesulitan (adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, kesuksesan seseorang dalam pekerjaan dan sebagian besar kehidupan ditentukan oleh Adversity Quotient. Sebagai sebuah teori ilmiah, Adversity Quotient memiliki pengertian dan dimensi-dimensi yang menyusunnya.

1. Pengertian Adversity Quotient

(12)

Stoltz (2000) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan.

Adversity quotient (AQ) juga menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi keadaan sulit (adversity) dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan yang tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2003).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan (Adversity Quotient) adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa –peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

2. Dimensi- dimensi Adversity Quotient

(13)

CORE ini akan menentukan adversity quotient individu secara menyeluruh (Stoltz, 2003). Adapun penjelasan dimensi- dimensi adversity quotient menurut Stolz, (2003) yaitu:

a. Control (C)

Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan. Stolz, ( 2003) menjelaskan bahwa dimensi Control terdapat dua pengertian yaitu :

- Sejauh mana seseorang mampu secara positf memepengaruhi situasi? - Sejauh mana seseorang dapat mengendalikan tanggapan diri sendiri

terhadap suatu situasi

Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor control yang tinggi mampu mengubah situasisecara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang dengan skor control yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor control yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih efektif.

(14)

yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat dari kesulitan tersebut. Individu menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan akan menimbulkan pandangan hidup menyerah kepada nasib.

Dalam hal ini Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi ini cenderung berpikir: “Ini di luar jangkauan saya!”; “Tidak ada yang bisa saya

lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke

dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan Mereka yang

memiliki skor lebih tinggi, bila berada dalam situasi yang sama cendrung berpikir : “Wow, ini sulit! Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”;

“Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak berdaya

dalam situasi seperti ini, Selalu ada jalan”; “Siapa berani, akan menang; Saya

harus mencari cara lain”. Sehingga Orang-orang yang berAQ tinggi relatif tahan

terhadap ketidakberdayaan. b. Ownership

(15)

yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri ( Stolz, 2000), akan tetapi dalam buku Stolz tahun 2003 menyatakan bahwa yang penting adalah bukan siapa atau apa yang harus disalahkan (origin) tapi sejauh apa orang-orang mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit (ownership) untuk mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik ( Stolz, 2003).

Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui akibat - akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.

Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi owenership ini cenderung berpikir: “Ini semua kesalahan saya” ; “Saya memang bodoh sekali”;

“Seharusnya saya lebih tahu”; “Apa yang tadi saya pikirkan, ya? “; “ Saya malah

jadi tidak mengerti” ; “Saya sudah mengacaukan semuanya”; “Saya memang

orang yang gagal”. Sedangkan Mereka yang skornya lebih tinggi, bila berada

dalam situasi yang sama, cendrung akan berpikir: “Waktunya tidak tepat” ;

“Seluruh industri sedang menderita”; “Kini, setiap orang mengalami masa-masa

yang sulit”, “Ia hanya sedang tidak gembira hatinya”; “Beberapa anggota tim

tidak memberikan kontribusi”; “Tak seorang pun bisa meramalkan datanya yang

(16)

untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan saya aka menerapkannya bila lain waktu saya berada dalam situasi seperti itu lagi”.

c. Reach (R)

Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh mana orang membiarkan suatu kesulitan menjalar/masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan yang lain (Stolz, 2003). Reach menetapkan seberapa luas seseorang menganggap suatu masalah. Semakin luas masalah yang muncul, Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan seseorang menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas, menyerap kebahagiaan seseorang. Sementara itu, semakin tinggi skor R, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk membatasi jangauan masalah pada peristiwa yang sedang dihadapi (Stolz, 2003).

Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

(17)

menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil tindakan.

d. Endurance (E)

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan yang konstruktif ( Stolz, 2003).

(18)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kecerdasan dalam menghadapi rintangan tidak cukup hanya mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkannya, tetapi yang perlu diperhatikan adalah dimensi-dimensinya agar dapat memahami kecerdasan dalam menghadapi rintangan sepenuhnya.

3. Tipe Adversity Quotient

Individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka didorong oleh beberapa respon yang mengarahkan individu tersebut dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa respon yang mendorong individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka. Menurut Stolz (2003) ada tiga respon terhadap kesulitan yaitu dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stolz (2003) membagi orang-orang itu dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu: quitter, camper, dan climber.

1. Quitters

(19)

2. Campers

Campers merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup sampai disini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quitter), kelompok ini sudah pernah menerima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu bidang tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.

3. Climbers

Climbers merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan untuk berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal-hal lain yang terus dapat setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus mendaki dan mendaki.

C. Wirausaha Pada wanita

Wirausaha wanita adalah wanita yang memiliki bisnis, memiliki inisiatif, menerima segala resiko dan keuangan serta bertanggung jawab secara administrasi dan sosial yang secara efektif memimpin dalam manajemennya (Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007).

(20)

yang menjalankan bisnisnya sendiri atau bersama rekan bisnisnya, yang membayar pegawai ataupun yang tidak membayar pegawai ( Ryanti, 2007).

I. Karakteristik Wirausaha Wanita

Dari kacamata peran gender tradisional wanita bukan sebagai pencari nafkah, melainkan peran domestik seperti mengurus suami, anak dan rumah tangga. ( Hurlock, 2004). Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah kecuali kondisi ekonomi memaksa, dan apabila hal ini terjadi, wanita diharapkan bekerja dibidang pelayanan seperti perawat, guru dan sekretaris. Tapi ada sejumlah wanita yang berinvestasi dan membangun usaha sendiri. Bukan hanya itu saja, banyak wanita yang menjalankan peran ganda, mengelolah bisnis sekaligus juga mengerjakan berbagai tanggung jawab dalam rumah tangga seperti mengasuh anak ( Ryanti, 2007).

Menurut Nasution Noer dan Suef (2001) menjelaskan bahwa karekteristik wanita memiliki feminitas antara lain: emosional, sensitif, peka, kooperatif, penuh kasih, cermat, hangat, simpati dan intuitif. Pada wanita yang makin tinggi pendiidkannya maka makin luas pula wawasan mereka dan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa wirausahanya. Dari segi usianya makin berumur maka para wirausaha wanita ini makin toleran dan semakin matang sifat-sifat wirausahanya.

(21)

menjadi wirausaha yang baik, yang tidak kalah dengan wirausaha pria, baik dalam keputusan yang mereka buat serta dalam perilaku mengambil resiko.

D. Hubungan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Berwirausaha

Seorang wirausaha sering kali di hadapkan pada kondisi ekonomi yang belum bisa diprediksikan. Oleh karena itu, seorang wirausaha harus berusaha untuk membuat perhitungan yang matang, artinya bahwa dalam kondisi yang cepat berubah, mereka harus mampu mengambil tindakan secara bijaksana dan mampu mengubah hambatan menjadi suatu peluang bisnis (Sunarso, 2010). Menurut Stolz (2000) konsep mengubah tantangan dan hambatan menjadi suatu peluang adalah adversity quotient.

Adversity quotient pada wirausaha merupakan gambaran sejauh mana kinerja seorang wirausaha dalam menghadapi tantangan dan menyelesaikan permasalahan dalam mengembangkan usaha. Tantangan tersebut dapat berupa finansial, emosional, fisik, pergaulan dan yang berkaitan dengan pengembangan karier dari wirausaha (Stolz, 2003). Tanpa adanya adversity quotient yang tinggi maka dikhawatirkan seseorang akan mengalami frustasi dan kegamangan dalam menjalani proses menjadi seorang wirausaha nantinya (Stoltz, 2000). Sedangkan wirausaha yang memiliki adversity quotient yang tinggi tidak akan menyerah, dan tetap bertahan dimasa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk menghadapi tantangan selanjutnya (Stolz, 2003) dan dapat menjadikan sebuah hambatan menjadi peluang bisnis (Stolz, 2000).

(22)

inilah yang nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Imbalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar yaitu income, leisure time dan psychological well being (Longenecker, Carlos, & William, 2001). Carree dan Verheul (2011) menyatakan bahwa tiga kategori dasar inilah yang menentukan kepuasan dalam berwirausaha.

Wirausaha sering kali menyatakan kepuasan yang mereka dapatkan dalam menjalankan bisnisnya sendiri (Carree & Verheul, 2011). Kepuasan yang di rasakan tentu saja di dapatkan dari perjuangan dalam menghadapi tantangan selama berwirausaha seperti permasalahan bisnis, kerja keras, waktu yang panjang, dan pendapatan yang tidak pasti dan resiko yang sangat besar. Sehingga di butuhkan pengorbanan untuk dapat memperoleh imbalan tersebut (Longenecker, Carlos, & William, 2001) dan dibutuhkan adanya adversity quotient untuk menghadapi tantangan tersebut (Stolz, 2003). Seorang wirausaha yang menyukai tantangan dan menjadikannya sebuah peluang bisnis akan menimbulkan kesenangan tersendiri bagi wirausaha tersebut, sehingga dapat meningkatkan adversity quotient (Stolz, 2000).

(23)

Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Cara panen dengan pemetikan bertahap berdasarkan tingkat kemasakan daun juga memberikan keuntungan lain yaitu merupakan langkah awal proses grading, hal ini karena

Data di atas menunjukkan mahasiswa Fakultas ilmu Sosial dan Politik telah memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai sampah.. Tinggi tingkat pengetahuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peluang kerja suami dan istri pada rumahtangga nelayan tradisional di luar sektor

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Hasil asuhan kebidanan secara komprehensif pada Ny.“L” selama kehamilan trimester II dan III dengan keluhan fluor albus, pada persalinan dengan persalinan secara

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan dengan Wagh, et.al (2006) pada pabrik tepung di kota Jalgoan, India, dimana didapat hasil bahwa dengan rata-rata kadar

Visitasi adalah proses kunjungan lapangan yang bertujuan untuk mengkonfirmasi informasi yang tercantum dalam proposal pembukaan program studi. Proses ini didasarkan pada

〔商法 五三三〕取締役再任前の事情および取締役未就任時の事情による解任の訴えの可否宮崎地 裁平成二二年九月三日判決 宮島,