BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada
usia ini sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak
dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan
dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah
merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan
penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu
(Wong, 2009).
Anak usia sekolah merupakan generasi penerus bangsa sebagai sumber
daya manusia pada masa yang akan datang. Kualitas bangsa di masa depan
ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Anak usia sekolah sering disebut
sebagai periode peralihan antara masa pra sekolah dengan masa remaja. Pada
kondisi ini akan terjadi banyak perubahan pada diri anak usia sekolah, baik
kondisi fisik, mental, sosial, serta terjadi peningkatan kemampuan dan
keterampilan terutama keterampilan motorik. Hal ini akan mempengaruhi tumbuh
kembang dan kesehatan anak usia sekolah (Edeldan & Mandle, 1996 dalam
Kozier, 2004).
Perkembangan anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga
masa awal anak. Permulaan masa pertengahan dan akhir ini ditandai dengan
terjadinya perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial (Perry & Potter, 2009).
Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seragam sampai
mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas. Seiring dengan masuknya anak ke
sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut mengalami perkembangan
yang pesat, karena dengan masuk sekolah, berarti dunia dan minat anak
bertambah luas, dan dengan meluasnya minat maka bertumbuh pula pengertian
tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak-anak
(Perry & Potter, 2009).
Perkembangan kognitif meliputi hal-hal seperti belajar, daya ingat,
perkembangan bahasa, proses berpikir, daya kreatifitas. Sedangkan
perkembangan psikososial meliputi perubahan dan stabilitas dalam kepribadian
dan hubungan sosial seseorang. Pada tahap ini anak lebih memahami dirinya
melalui karakteristik internal daripada karakteristik eksternal dan dapat memilih
apa yang baik bagi dirinya, maupun memecahkan masalahnya sendiri dan mulai
melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya (Perry
& Potter, 2009).
Erikson (dalam Sumanto M.A, 2014) mengatakan anak usia sekolah
(6-12 tahun) berada dimasa Industry vs Inferiority Virtue Competence, dimana
perkembangan kemampuan psikososial anak usia sekolah ini adalah kemampuan
menghasilkan karya, berinteraksi, dan berprestasi dalam belajar berdasarkan
sekolah yang normal atau produktif adalah menyelesaikan tugas yang diberikan,
mempunyai rasa bersaing, senang berkelompok dengan teman sebaya dan
mempunyai sahabat karib, berperan dalam kegiatan kelompok.
Anak adalah kelompok yang paling berisiko tinggi mengalami
masalah-masalah psikososial. Reaksi-reaksi yang muncul pada anak saat menghadapi
sebuah masalah adalah menarik diri, suka mengganggu atau sulit berkonsentrasi,
tingkah laku yang mundur dari tahapan usianya, misalnya menghisap ibu jari,
mengompol, mimpi buruk, sulit tidur, ketakutan yang tidak masuk akal (seperti:
takut gelap, takut akan segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada), mudah
tersinggung, menolak masuk sekolah, marah yang meledak-meledak, dan suka
berkelahi. Terkadang ada keluhan sakit perut atau mengenai sakit lainnya.
Terkadang juga mengalami rasa tertekan (depresi), perasaan bersalah,ataupun
mati rasa atau emosi yang datar mengenai apapun (emosional numbness), dan
cemas (Sumarno, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan, diantaranya faktor
genetika yaitu totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada
anaknya (baik fisik maupun psikis) yang mempengaruhi keunikan pribadi. Faktor
sosial (keluarga, teman sekolah, teman sebaya, dll) yaitu faktor penentu
perkembangan kepribadian anak baik dalam berpikir, bersikap, maupun
berprilaku. Faktor media massa yaitu bisa berdampak positif seperti mendapat
informasi, memperoleh hiburan dan pendidikan dan dampak negatifnya yaitu
apabila anak tidak dapat menyaring informasi. Dan faktor lingkungan yaitu
keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi, atau kondisi) fisik/alam misalnya
bencana (Soetjiningsih, 2002).
Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengganggu kehidupan
masyarakat, bisa disebabkan oleh faktor alam atau faktor non alam sehingga
menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta, dan dampak
pada psikologis korbannya (UU No. 24 tahun 2007).
Bencana alam kembali menghantam sejumlah wilayah di dunia pada
tahun 2013. Salah satunya adalah erupsi Sinabung yang ada di Sumatera Utara,
Kabupaten Karo.
Erupsi Sinabung bisa dikatakan salah satu bencana vulkanologi yang
parah tahun ini.Salah satu letusan dahsyat Sinabung terjadi pada 25 November
2013. Dalam waktu 2 jam saja, Sinabung bererupsi tiga kali dengan ketinggian
embusan asap mencapai 2 kilometer. Sementara, hujan abu terjadi hingga radius 7
km. Status Sinabung terus disesuaikan sejak letusan pada September 2013. Pada
15 September, letusan Sinabung dinaikkan dari waspada ke siaga. Sempat
diturunkan kembali menjadi waspada pada 29 September, pada akhir November
status Sinabung dinyatakan Awas. Akibat erupsi Sinabung, 14.000 orang terpaksa
dievakuasi (BNPB, 2013).
Badan Nasional Pengawas Bencana (BNPB) tanggal 14 Februari 2014
mengatakan bencana erupsi gunung Sinabung ini telah menimbulkan 17 orang
dewasa, lansia, remaja, dan anak-anak. Banyak Desa yang terkena dampak
sinabung, salah satunya adalah Desa Batu Karang. Desa Batukarang terletak 7
Km dari gunung Sinabung. Ada 1706 kepala keluarga disana, anak-anak ± 1250
jiwa, remaja ±1500 jiwa, dewasa ± 3000 jiwa, dan lansia ± 700 jiwa, dan
semuanya ikut mengungsi.
Belum dapat dipastikan sampai kapan aktivitas gunung Sinabung
berhenti. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa kekhawatiran atau traumatik bagi
masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Rasa khawatir dan trauma
tersebut merupakan tanda gangguan psikologis pasca bencana (Videback, 2008
dalam Astuti, 2012).
Meskipun tidak semua individu yang mengalami kejadian erupsi gunung
merapi akan mengalami gangguan stress pasca trauma, trauma pasca bencana
dapat beresiko menghasilkan gangguan stress pasca trauma sebanyak 3,8 %
dibandingkan dengan kejadian traumatis lainnya. Gangguan pasca bencana ini
dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak usia sekolah dan remaja
(Astuti, 2012).
Hasil penelitian tentang dampak psikologis anak korban gunung
Sinabung menunjukkan anak yang mengalami dampak kategori ringan 5%, anak
yang mengalami dampak kategori sedang 85%, dan anak yang mengalami
dampak kategori berat 10%. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang
dialami oleh anak yaitu mudah menangis, marah, gelisah, tidak bisa tidur dan
Durkin (1993 dalam Nasution, Wahyuni, & Daulay, 2014) mengatakan
bahwa akibat peristiwa traumatis bencana alam yang terjadi menyebabkan 10%
anak mengalami peningkatan perilaku agresif dan 34% akan mengalamai
enuresis. Kar (2009 dalam Nasution, Wahyuni, & Daulay, 2014) menyebutkan
bahwa prevalensi terjadinya depresi pada anak korban bencana sebesar 17%,
gangguan kecemasan 12%, PTSD sebanyak 5-43%. Wooding & Raphael (2004)
menyebutkan anak yang mengalami PTSD sebanyak 51,5%, anak mudah
menangis 11,7%.
Hasil wawancara dengan beberapa anak sekolah di Desa Batu Karang
menyatakan bahwa “takut gunungnya meletus lagi, takut dengar suara gunungnya,
kasihan orang tua tidak bisa ke ladang, tanam-tanaman rusak semua, takut pergi
main-main”.
Dari latar belakang diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana respon
psikososial anak usia sekolah (6-12 tahun) pasca erupsi Sinabung. Alasan peneliti
memilih judul dan lokasi penelitian adalah karena dengan pertimbangan belum
ada yang melakukan penelitian mengenai perkembangan psikososial anak usia
sekolah di daerah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan psikososial anak usia
sekolah pasca erupsi gunung Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi
Sinabung?
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca
erupsi Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan
data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut khususnya
mengenai perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi.
1.5.2 Bagi pendidikan keperawatan, hasil dari penelitian ini adalah evidence
based practice yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang
perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi, dan menambah
referensi untuk mata ajar Keperawatan Jiwa dan mata ajar yang relevan
lainnya.
1.5.3 Bagi praktik keperawatan, hasil penelitian ini memberikan masukan tentang
perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi untuk dapat
dijadikan sebagai landasan dalam memberikan praktik keperawatan
terhadap anak sehingga perkembangan psikososial anak usia sekolah di