• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK

Oleh: Khalid Hasan Minabari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Realitas kehidupan membuktikan bahwa, tidak satupun ciptaan Tuhan (Makhluk) yang benar-benar tunggal (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Kemajemukan atau pluralitas adalah kepastian dari Allah SWT. Dengan kata lain al-Qur'an secara alternatif menjelaskan ke-Esan Khalik dan pluralitas selain Dia. Bahkan Al-Qur’an sendiri merupakan referensi paling otentik bagi pluratitas.

Mengingkari pluralitas berarti mengingkari hukum alam. Jadi sebenarnya yang masalah bukan pluralitas, tetapi bagaimana menyikapi adanya pluralitas. Apakah dapat menghargai, menahormati, memelihara, dan mengembangkan pluralitas tersebut? Apakah kita mampu toleran terhadap yang lain dan siap untuk hidup berdapingan secara damai dengan orang lain atau kelompok lain yang berbeda etnik budaya dan agama? haruskah membenci atau memusuhi orang lain karena perbedaan etnik, budaya dan agama? Hal tersebut tidak dapat dipungkin bahwa kesalahpahaman terhadap pluralitas dan menimbulkan efek yang negatif bagi munculnya kekacauan, permusuhan dan konflik. Bila tidak disadari bahwa keanekaragaman, kemajemukan, perbedaan dan pluralitas itu sendiri mampu menjadi faktor permersatu. Hal seperti ini bisa terjadi apabila suatu masyarakat bersifat ekstrim, otoriter serta tidak mau mengakui adanya pluralitas itu sendiri.

Al-Qur’an merupakan sumber rujukan paling otentik atau pondasi bagi pluralitas di dalam Islam. Al-Our’an tidak pernah menghendaki manusia menjadi umat yang satu, yang diatur oleh satu konvensi atau satu gagasan. Tarmiji Taher 1 menungkapkan pluralitas atau keanekaragaman adalah hukum Tuhan yang diciptakan agar manusia mensyukuri perbedaan yang ada. Dengan kata lain secara

(2)

teologis pluralitas itu merupakan sunnatullah.2 Artinya adanya suatu keniscayaan

bersifat natural yang telah ditetapkan dan digariskan oleh Allah untuk senantiasa berlaku dalam dalam perputaran kosmos, (dunia). Upaya untuk menyeragamkan manusia ke dalam satu pandangan. system, cara prilaku keyakinan, dan kehidupan adalah usaha yang sia-sia dan bertentangan dengan ketetapan dan takdir Allah. Hal itu hanya membawa kepada kesia-siaan dan kegagalan. Contoh, suatu anggota keluarga adalah bentuk plural dalam kerangka kesatuan dan sehagai antitesis darinya. Pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah adalah bentuk pluralitas jenis manusia.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan makalah ini adalah:

1. Bagaimana konsep pluralitas makhluk di tinjau dari berbagai aspek? 2. Bagaimana konsep ke-Esaan Khalik ditinjau dari perspektif Islam? 3. Bagaimana eksistensi wacana pluralitas agama di Indonesia?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang lingkup Pluralitas.

2 Sunnatullah, berasal dari bahasa Arab Sunnah Allah yang terdiri dari dua kata, yaitu kata sunnah dan Allah. Kata sunnah merupakan bentuk tunggal yang artinya jalan, atau cara. Sedangkan bentuk jamaknya adalah sunnah. Secara leksikal, kata al-sunnah sinonim dengan kata al-thariqah (metode atau cara), dan al-shirat (jalan: baik jalan yang baik maupun yang buruk). Lihat Mu’jam al-wasit. (juz I : t.tp:t.th), h. 457.

(3)

Pluralitas3 antonim dari kata singular, secara umum berarti kejamakan atau kemajemukan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia pluralitas berasal dari kata ”plural” yang berarti jamak atau tidak satu, dalam arti berbeda-beda.4

Pada awalnya tema ini hanya dipahami secara etimologis dan tidak memiliki konotasi terminologis dan idiom khusus secara filisofis dan sosiologis. Akan tetapi akhir-akhir ini pluralitas telah menjadi diskursus intlektual dari kedua perspektif tersebut.

Said Agil al-Munawwar mendefinisikan, pluralitas adalah kondisi obyektif dalam suatu masyarakat yang terdapat di dalamnya sejumlah kelompok saling berbeda, baik strata ekonomi, ideology, keimanan serta latar belakang etnis.5

Sejumlah para pakar telah menulis tenting pluralitas. Muhammad Imarah6 menjelaskan bahwa pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan. Keunikan, dan kekerasan. Kerena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya, kecuali sebagai antitesis dan sebagai obyek komparatif, keseragaman, dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.

Pluralitas tidak pula dipahami kepada situasi “cerai-berai” dan “permusuhan” tanpa mempunyai tali persatuan yang mengikat dan merangkum semua bagian atau pihak. Tidak juga kepada kondisi “cerai-berai” yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak.

Secara filosofi, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman merupakan sebuah keniscayaan, sekaligus ikut serta makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah manusiawi dan bermartabat.7

3 Pluralitas berasal dari bahasa Inggris: plural: yang berarti lebih dari satu. Atau bentuk jamak. Lihat john M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Gramedia. 1996),h. 435

4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002),h. 883

5 Lihat Said Agil Husain al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 88

6 Lihat Muhammad Imarah, Al-Islam wat. Ta’addudiyah al-Ikhtilaf wat. Tanawwu fil

thaharil- wihdah. Di terjehkan oleh Abdul hayyie al-Kattanie dengan judul, Islam dan Pluralitas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 9

(4)

Secara sosiologis manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikatkan dirinya antara satu dengan yang lainnya. Sehingga pebedaan-perbedaan seperti itu merupakan bagian pluralitas.8

Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa suatu bangsa terdiri dari berbagai macam suku, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang berlainan, keluarga itu sendiri dari individu-individu yang tidak sama, semuanya menunjukkan perbedaan namun tetap dalam persatuan.

Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan, maka dapat dipahami bahwa semua makhluk ciptaan Tuhan termasuk manusia adalah bersifat pluralistic yang dalam kenyataannya sebagai manusia bahkan sebagai individu sesungguhnya adalah bersifat pluralistic. Dalam artian bahwa setiap individu memiliki lebih dari satu identitas.

B. Pluralitas Makhluk dalam Berbagai Perspekfif.

Secara realitas jika diperhatikan segala alam yang maujud ini, tanpa difikirkan lagi bahwa kesemuanya itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun para pakar Islam filosof Islam tertarik untuk membahas lebih jauh pluralitas makhluk ini secara rasional berdasarkan hasil fikiran mereka.Pembahasan ini banyak dipengaruhi oleh Filosof Yunani seperti Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Lalu kemudian dilanjutkan oleh Neo Platonisme (204-270 M) dengan teori emanasinya.9 Suatu teori penciptaan yang belum pernah diajukan oleh filosof lain. Tujuan teori ini untuk menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam Yang Esa ada banyak. Maksud teori emanasi ini tidak menimbulkan pengertian pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk.10 Ternyata teori emanasi yang telah dicetuskan oleh Neo Platonisme mendapat penparuh yang besar terhadap filosof Islam dan ahli tasawuf.

8 Lihat, Ibid, h. 89

9 Emanasi: Teori penciptaan yang menjelaskan bahwa semua kenyataan secara pasti berproses dari asas pokok dari keberadaan yang sempurnahnya satu dan abadi. Alam adalah pelimpahan dari yang satu dan bergabung padanya untuk kebedaraannya dan keteraturannya tetapi tidak sama dengannya. Teori ini diibaratkan antara cahaya dan matahari: bahwa makin jauh matahari semakin berkurang. Lihat Ali Muhdofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Cet. I; Yogyakarta Gajah Mada, 1996), h. 56

(5)

Filosof Islam yang sangat terkenal dan menganut faham, emanasi. Adalah al-Farabi (870-950 M). la mencoba untuk menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Menurut al-Farabi bahwa Tuhan sebagai akal berfikir tentang diriNya dan dari pemikiran ini timbal maujud lain dan seterusnya.11 Jika dicermati pendapat kedua folosof tersebut, maka mereka mengakui bahwa ada Tuhan sebagai wujud pertama sebagai sumber segala yang ada. Hanya saja kedua filosof tersebut tidak mengakui Tuhan sebagai pencipta menurut kehendakNya. Adanya wujud benda pertama secara otomatis agar terpancar wujud-wujud lain. Bukan lagi urusan Tuhan, tetapi semuanya memancar secara otomatis.

Dari penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa teori emanasi at-Farabi mempunyai pandangan yang mirip dengan hasil teori yang dikemukakan, oleh Neo Platonisme. Hanya yang membedakan adalah pada benda-benda yang mengitari bumi.

Al-Farabi tetap mengakui adanya Tuhan, segala yang maujud merupakan pancaran dari Tuhan, tetapi al-Farabi tidak mengakui adanya kekuasaan Tuhan untuk menciptakan sesuatu menurut kehendakNya dan kekuasanNya karena hal itu membawa kepada ketidak sempurnaan termasuk melimpahnya yang banyak dari diri-Nya secara sekaligus, dan tidak terjadi dalam waktu.12

Selain pendapat filosof tersebut, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M) berpendapat bahwa terjadinya makhluk yang pluralitas yang dapat disaksikan oleh mata kepala terletak pada kebebasan Tuhan berbuat. Menurutnya bahwa Tuhan berbuat dengan kemauan bebas, tidak satupun di antara perbuatan-perbuatan dan keherdak-kehendak-Nya dengan segala aktivitasnya meciptakan makhluk-makhluk-Nya yang timbul karena adanya suatu tekanan.13 Hal ini sesuai dengan Surah al-Mu’minun (23): 115



11 Lihat Sirajuddi Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo 2004), h. 76

12 Lihat Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),h. 39

(6)

Artinya: Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?14

Inilah yang dimaksudkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak tergantung kepada sesuatu sebab, ia sunyi dari sirat main-main hal itu sangat mustahil, bahwa segalag perbuatan Tuhan itu sunyi dari hikmah, sekalipun hikmanya itu tersembunyi dari tanggapan fikiran manusia. Terkadang hikmah sesuatu itu berbeda lamanya tersembunyi bagi manusia, tetapi kemudian ia menjadi jelas.

Manurut al-Gazali (1056-111M) Tuhan dalam keEsaanNya menciptakan sesuatu dari tiada. Sehingga al-Gazali mengkritik pendapat filosof yang mengatakan bahwa alam tidak bermula (qadim), artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kalau dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dan menciptakan sesuatu dari tiada dan kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.15

Padahal semua umat Islam sepakat bahwa Tuhan Maha pencipta. Kesimpulannya bahwa segala yang ada di dalam alam ini (maujud) yang diciptakan oleh Tuhan adalah atas kekuasaan dan kehendak-Nya tanpa campur tangan dengan orang lain. Lalu bagaimana kaitannya dengan pemeliharaan pluralitas makhluk, dapat dikatakan bahwa Tuhan pasti sibuk. Sehingga Muhammad Abduh mengatakan bahwa tidak ada satupun di antara kepentingan-kepentingan yang dapat mmemaksanya untuk mengawasi semuanya.16

Jika ditelusuri sifat Allah al-shamad: (bergantung segala sesuatu). Seluruh manusia bergantung kepadaNya yang selalu didatangi untuk dimintai

pertolongan-14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 1989),h. 540

15 Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme (Cet. VII; Jakarta Bulan Bintang, 1990),h. 45 Lihat juga Muhammad Luthfi Lam’ah, tarikh Falsafah al-Islamiy (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiy, t.tth), h. 74

(7)

Nya atau untuk menyelesaikan segala, persoalan.17 Ketidaan kekuasaan alam memaksa Tuhan untuk memelihara-Nya, sedangkan dari segi lain Tuhan menjadi tempat tergantungan semua makhluk ciptaanya. Padahal kenyatannya bahwa alam ini tersusun dengan rapih. Terpeliharanya alam ini dari segala yang maujud tiada lain kecuali Tuhan adalah pemelihara segala alam.

Oleh karena itu Tuhan Maha Pencipta, sehingga pengabdian hanya kepada-Nya la juga kuasa meniadakan segala ciptan-Nya. Adanya sebagian makhluk maujud selain dari wujud Tuhan diciptakan dari tiada. Tidak ada hikmah bagi makhluk yang lain jika benda-benda maujud tersebut lenyap baru akan diciptakan lagi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah al-Qashas (28): 83

                

Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.18

Dalam Islam, ketunggalan diyakini hanya ada pada Zat Allah, Zat wajib wujud, selain dari dirinya adalah nisbi relatif. Dia merupakan sumber kejamakan, keragaman dan parsialitas. Meyakini adanya hakekat ketunggalan selain dari zat-Nya, merupakan kemusyrikan. Dengan demikian keyakinan adanya pluralitas bagi makhluk adalah bagian dari iman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah al-An’am (6): 38

 

Artinya. Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.19

17 Lihat Ibnu Qayyim al-jauziyayyah, al-Asma al-Husna, Diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan Judul Nama-nama Indah Allah (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000), h. 51

(8)

Dari sudut pandang sufistik, dapat dilihat pandangan dan penganut aliran sufi itu sendiri. Salah seorang sufi yang terkenal yaitu Ibnu Arabi (116-1240 M) yang menganut faham wahda al-wujud menurutnya seluruh yang ada, walaupun ia nampak hanya sekedar bayang-bayang dari yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan tidak ada yang merupakan sumber bayang-bayang yang lainnya pun tidak ada, karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang memiliki wujud hanya Tuhan.20 Pada intinya bahwa ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence).21

Lebih lanjut Ibnu ‘Arabi mengungkapkan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki dan yang lain hanya memiliki wujud nisbi serta bergantung dari wujud selain diriNya, yaitu Tuhan. Semunya akan kembali kepada Satu yaitu wujud Tuhan. Sehingga nampak dalam pernyataan Ibnu ‘Arabi sendiri bahwa Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah esensi segalaga sesuatu itu.2 2

Hubungan wahdat al-wujud dengan pluralitas makhluk yang sangat signifikan adalah ketika diungkapkan “keadaan hanya ada Satu Diri”. Satu diri tersebut diuraikan melalui manifestasi. menjadi berlipatgandanya wujud, pribadi makhluk dan obyek-obyek dalam eksistensi dan bahwasanya “keadaan Satu Diri” tersebut tiada lain adalah Allah, Tuhan Yang Nyata. Yang absolute (mutlak), yakni identitas yang tersembunyi dari segala wujud yang banyak adalah cara Dia mengungkapkan diri dengan keterbatasan keanekaragaman makhluknya yang banyak cara-Nya menyembunyikan Diri Sendiri.23

Berdasarka pernyataan-penyataan Ibnu ‘Arabi tersebut, maka dapat dipahami bahwa ibnu ‘Arabi tidak mengakui penciptaan makhluk dari tiada menjadi ada. Karena segala yang ada dianggap Tuhan. Olehnya itu dikritik oleh ahli filsafat Barat sebagai penganut faham Pantheisme.24 Faham ini sering disalah

20 Lihat R.A. Nicholson, The Mystic of Islam (London: Borton, 1970),h. 79-80

21 Lihat Dewan Redaksi Ensiklopodi Islam, Ensiklopedi Islam (jilid V; Jakarta: Van Hoeve, 2001), h. 158

22 Lihat Ibid, h. 158

23 Lihat Cyril Glass, The Consice Ensiklopedi of Islam, Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta Raja Grafindo, 1999), h. 425

(9)

tafsirkan dengan pengertian sebuah kontinuitas (kelanjutan) atau kesamaan subsiansi antara alam dan Tuhan. yakni bahwa alam adalah Tuhan yang samar atau “laksana garis yang dipotong-potong” yang harus disatukan kembali. Sehingga hal ini menimbulkan puncak kemarahan.

Konsep wandat wujud dalam dunia sufi tidak hanya diungkapkan oleh Ibnu ‘Arabi tetapi banyak ahli-ahli sufi lainnya termasuk Mulla Sadra (1571-1640 M).25 Mengungkapkan bahwa ke-Esaan wujud dan keanekaragaman yang maujud. Dimana Yang Esa memanifestasikan diri yang beraneka ragam di dalam Yang Esa. Sekalipun demikian penetapan terhadap ke-Esaan, wujud dan keanekaragaman yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip ke-Esaan wujud dan yang maujud, yang merupakan prisip kaum sufi.

Mulla Sadra berupaya untuk merisintesiskan berbagai pandangan tentang prinsip metafisika yang paling dalam dan paling tersembunyi, tetapi juga paling nyata. Dia berusaha menunjukkan bahwa sesunggunya wujud adalah Esa, namun berbagai determinasi dan cara-cara memandangnya menyebabkan manusia memahami dunia keaneka ragaman, yang menutupi ke-Esaan Nya. Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki visi spiritual. prinsip wandat al-wujud ini merupakan kebenaran yang paling nyata dan terbukti, sedangkan keaneka ragaman tersembunyi darinya.26

Lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan terhadap kebenaran prinsip wahdat al-wujud bukan pembahasan yang bersifat rasional, melainkan berdasarkan pengalaman batin, melaui praktek-praktek dan disiplin spiritual yang sulit, di samping adanya kerunia Tuhan.27 Oleh karena itu semua orang mampu mengalami, kecuali orang-orang tertentu yang kehadiran mereka telah terbukti dalam sejarah.

Setelah dibahas kedua tokoh sufi tersebut, maka apa yang membedakan wandat al-wujud Ibnu ‘Arabi dan Mulla Sadra. Menurut hemat penulis bahwa Ibnu ‘Arabi telah menolak penciptaan alam dari tiada menjadi ada. Menurutnya

25 Lihat, Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 42

(10)

Allah al-Khalk (makhluk) adalah sama dengan Allah al-Haqq (pencipta). Oleh sebab itu jika pencipta dan ciptaannya sama, maka ajaran tentang penciptaan dari tiada tidak bermakna. Sedangkan Mulla Sadra mengakui bahwa hanya ada satu wujud yaitu wujud yang Esa dan tidak ada yang lain tetapi dia tidak, menafikan keberadaan-keberadaan yang lain. Wujud-wujud yang lain hanyalah manifestasi dari yang Esa. Jadi wujud yang sesunggunya hanya Satu, bukan banyak.

C. Ke-Esaan Khalik

Dalam kaidah Islam, mentauhidkan Allah, meng-Esakan menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa, merupakan suatu penyucian yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata, juga imajinasi rasio dalam mendefinisikan hakekat Allah serta esensinya. Oleh karena itu yang dilakukan adalah menafikan adanya suatu yang menyamaiNya.

Umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Esa tidak mempunyai sekutu dan tidak ada makhluk yang meyerupainya. Hal ini diungkapkan oleh Reynold A. Nicholson bahwa Tuhan itu adalah Esa dalam Zat-Nya.28 Tentang eksistensi Tuhan, Mikon K. Munitz,29 mengungkapkan bahwa Tuhan merupakan puncak dan mengatasi segala makhluk ciptaannya, termasuk alam ini. Tuhan tidak, sama dengan alam, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan alam dengan melihat kenyataan bahwa alam ini sangat bergantung pada pemeliharaannya.

Penyataan-pernyataan tersebut dapat dipahami, bahwa makhluk walaupun bagaimanapun pluralitasnya, tetap merupakan ciptaan Tuhan dan bukan bahagian dari Tuhan serta makhluk itu dipelihara oleh Tuhan. Pribadi Tuhan adalah segala kemahasucian-Nya dan terhindar dari macam syirik baik, dari segi penciptaan-Nya, pemeliharaan-Nya serta pengabdian kepada-Nya.

Tuhan dalam konsep Islam adalah Tuhan yang Esa (wahid ahad)3 0 yang

28 Lihat A. Nicholson, Loc-Cit

29 Lihat Milton K. Munitz, The Way of Phylosophy (New Work: mac Millan co inc, 1979), h. 101

(11)

menjadi tempat bergantung seluruh makhluk (al-samad).31 Dia tidak beranak, tidak, diperanakan dan tidak ada saingan bagi-Nya.32 Dia tidak serupa dengan apapun. Al-qur’an melarang orang-orang yang beriman membuat penyerupaan untuk-Nya. Tidak satupun yang serupa dengan Dia.

Pokok ajaran Islam itu adalah masalah tauhid, sehingga tauhid itu mengalami tingkatan-tingkatan.33

Pertama, mengucapkan “La ilaha Illallah”tidak ada Tuhan selain Allah” dengan lisan tanpa keyakinan hati. Seluruh orang munafik berada dalam tauhid seperti ini.Tauhid ini juga memiliki kehormatan, karena mereka dapat mencapai kebahagiaan dunia, harta dan darahnya terjaga, serta terjamin keluarga dan anak.

Kedua, Meyakini makna La Ilaha lllallah dengan taklid tanpa megetahui hakikatnya. Semua orang awam sampai pada derajat ini. Ketiga, yaitu terbukanya makna La Ilaha Illallah dengan dalil yang kuat sehingga kita mengetahuinya. Ketiga tingkatan tersebut saling berbeda nilainya. Yang pertama dimiliki oleh ahli maqalah (ucapan). Yang kedua adalah pemilik akidah. Dan yang ketiga dimiliki oleh ahli ilmu pengetahuan. Tidak ada dari ketiganya yang menjadi ahli hal. Pemilik derajat hal ini adalah kaum sufi, bukan ahli pengetahuan atau ucapan.

Keempat, dimiliki bersama pengetahuan. la menjadi ahli hal (penyaksian). Sembahannya hanyalah Satu (Allah SWT). Sedangkan, orang yang dikalahkan oleh nafsunya maka sembahannya adalah nafsunya. Sebagaimana Firman:



Artinya. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya...(al-jatsiyah: 23)

Kelima, tidak saja tauhid dalam batinnya mengalahkan syahwatnya serta nafsunya sebagai pengikut. Namun, ia juga menghancurkan syahwat dan nafsu itu sama sekali sehinggga ia tidak pernah menuriti nafsu dalam perbuatan apapun. Keenam,

31 Allah Yang kepadanya bergantung sesuatu. Kata al-samad mengandung pengertian yang amat luas karena dalam ayat ini menegaskan bahwa kebutuhan apa saja yangb ada dalam wujud ini tidak akan ditujukan selain kepada Allah, dan tidak seorang yang membutuhkan sesuatu dalam upaya memenuhi kebutuhanya selain Allah Swt. Segala yang bergantung di dunia ini Dialah yang menjadikan. Lihat Ibid, h. 366

32 Al-Ikhlas (1-4)

(12)

yaitu tauhid yang mengeluarkan perniliknya dari kekuasaan dirinya secara total dan mengeluarkannya dari dunia ini, bahkan juga mengeluarkannya dari akhirat, seperti mengerluarkannya dari ikatan dunia, sehingga tidak ada yang tersisa dirinya dan hanya mengingat Allah Swt. Ia melupakan dirinya dan hanya mengingat Allah Swt. Tingkatan terkhir ini menanamkan kondisi ini sebaaai “fana dalam tauhid” karena segala sesuatu selain al-Haq, adalah fana.

Tauhid pada intinya, orang yang menafikan sembahan selain Allah SWT. dan merupakan bagian dari tauhid orang yang menafikan maujud selain-Nya, karena dalam penegasian wujud, berarti penegasiar, sembahan juga. Dan seluruh tingkatan, tauhid terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan (menafikan) sembahan selain Allah Swt. Tauhid dengan seluruh tingkatannya terwuiudkan dalam tauhid orang yang menegasikan wujud selain Allah Swt.34 Demikianlah gambaran tingkatan-tingkatan tauhid yang pada intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt, dan menghilangkan hal-hal yang dapat mengganggu untuk mengingat kepada Allah.

Tauhid menurut Ibnu Taimiyah, adalah membawa kepada pembebasan dari berbagai macam kepercayaan palsu, seperti mitologi, yang selalu, membelenggu manusia. Kepercayaan palsu adalah segala bentuk praktek pemujaan kepada Allah sehingga tercipta Tuhan-Tuhan palsu.35

Almaududi menyimpulkan bahwa asas terpenting dalam Islam adalah tauhid. Bahkan seluruh Nabi dan Rasul mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid kepada seluruh umat manusia. Ajaran tauhid itu sangat sederhana, tidak ada Tuhan selai Allah dan Muhammad itu Rasul Allah. Pernyataan itu mengandung ikrar kesediaan manusia mematuhi kehendak Allah.36

Di pinak lain, al-Fairuqi37 menjelaskan bahwa tauhid sebagai prinsip dasar Islam karena tauhid adalah esensi Islam. Sebagai landasan bagi pengelolaan hidup kemasyarakatan dalam Islam, tauhid menurut al-Faruqli membawa kepada tiga

34 Lihat al-Gazali, Fadhail al-Anam min rasa’il Hujjah al-Islam al-Gazali (Tausia; 1972),h. 49

35 Lihat Badr al-Din al-Hanbali, Mukhtasar Fatwa Ibnu Yaimiyah (Beirut: Dar-al-Kutub al-Taimiyyah, tth), h. 126

(13)

aplikasi: Pertama, masyarakat Islam adalah masyarakat yang egalitarian. Kedua, masyarakat Islam harus mengusahakan aktualisasi kehendak ilahi di semua bidang yang dapat dijangkaunya dan selanjutnya mengarahkannya kearah yang lebih baik. Ketiga, masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertanggung jawab untuk merealisasikan kehendak Ilahi.

Dalam al-Qu'ran banyak ayat-ayat yang menunjukkan tentang sifat-sifat Allah di antaranya: pada Surah al-Hasyr (59): 22,23,24: yang berbunyi:

                                           

22. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kata al-Malik Quddus yang berarti Tuhan Allah adalah raja Yang Maha suci. Menurut Quraish Shihab,38 al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap, sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang biasanya diterjemahkan sebagai raja adalah menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugrah dan pencabutan. Olehnya itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia tidak kepada barang yang tidak menerima perintah.

Lebin lanjut Imam al Gazali, menafsirkan kata al-Malik yang merupakan salah satu nama Allah Yang mulia adalah Dia Yang Zat dan sifat-Nya tidak

(14)

membutuhkan segala yang wujud, bahkan segala yang wujud butuh kepada-Nya.39 Jadi semua makhluk yang ada di bumi ini tergantung kepadaNya.

Silanjutnya kata al-Quddus berarti Yang Suci murni atau yang penuh keberkataan. Menurut al-Gazali al-Quddus adalah Dia Yang Maha Suci dari segala sifat yang dapat dijangkau oleh indra, dikhayalkan oleh imajinasi atau yang terlintas dalam naluri dan fikiran. Al-Biqai memahami al-Quddus adalah kesucian yang tidak menerima perubahan, tidak disentuh oleh kekotoran dan terus-menerus terpuji dengan langgengnya sifat tersebut.

AI-Mujahid dalam Fathul Qadir yang mengatakan bahwa Dia itu (alQuddus) adalah Allah Swt. Sebagiamana yang disebutkan juga dalam Surah al-jumuah: ayat 1.

           

Artinya: Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.40

Kandungan ayat ini adalah bertasbih secara terus menerus kepada Allah semata. Sejak wujudnya hingga kini dan semua apa yang ada di langit dan di bumi semua mengakui keagungan dan kebesarannya.

D. Pluralisme Agama di Indonesia

Setelah membicarakan masalah bagimana pendapat para pakar tentang pluralitas makhluk dan Ke-Esaan Khalik. maka dalam sub masalah ini penulis memaparkan secara, singkat bagaimana pluralisme agama di Indonesia dan bagaimana sikap umat Islam dalam memahami pluralisme tersebut. Serta mengapa hal ini penting? karena kesalahpahaman banyak orang yang selama ini tentang pluralisme menjadi persolan penting yang harus dicarikan solusinya, bahkan hampir terancam keberadaannya.

Pada pertengahan tahun 2005 lalu, ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang haram sekularisme, liberalisme dan pluralisme, banyak mendapat apresiasi dari berbegai elemen masyarakat, dengan alasan bahwa konskwensi logis dari paham

39 Lihat, Ibid, h. 136

(15)

pluralisme agama adalah pandangan yang relatif terhadap kebenaran dan otentitas al-Qur’an. Namun tidak sedikit pula dari elemen masyarakat yang mengacamnya bahkan menganggap bahwa pluralisme merupakan suatu kemestian. Beberapaalasan yang telah dikemukakan berkaitan dengan kelompok, yang menganggap pluralisme itu merupakan suatu kemestian: pertama, bahwa pluralisme itu adalah bukanlah soal bagaimana setiap orang harus sama. Pluralisme adalah soal menerima keberadaan, menolak diskriminasi terhadap terhadap kelompok berbeda. Kedua, bahwa kenyataan kita, sebagai manusia bahkan, sebagai individu sesungguhnya adalah pluralistic. Ketiga pluralisme yang benar justru mengakui perbedaan diantara agama-agama yang bersedia menerimanya.41

Menurut Nurcholish Madjid, wacana Islam dan pluralitas yang dimaksud adalah relevan dengan persoalan toleransi. Pluralitas menghendaki adanya keselamatan umat manusia dalam menjalani akfivitas keduniaan dalam bentuk, kemasyakatan dan kebangsaan. Demikian pula dengan masalah toleransi karena toleransi itu adalah procedural, maka persoalan-persoalan tata cara pergaulan yang enak antara kelompok yang berbeda-beda yang harus dipahami secara prinsip.4 2 Oleh karena itu, adanya kewajiban aajaran sebagaimana persoalan pluralitas, prinsip toleransi adala salah satu asas masyarakat madani yang dicita-citakan.

Gamal al-Banna seorang pluralis43 mengatakan bahwa sudah saatnya seorang da’i mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang beragama selain Islam. Dan mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan mereka. Sikap seperti ini pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut oleh para da’i setelah al-Qur’an mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, jagalah

41 Disadur dari Majalah”Syir’ah” No.49/VI/Januari 2006, h. 22-38

42 Nurcholis Madjid, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, dalam Kamaruddin Hidayat (ed), dengan judul Passing Over, Melintasi Batas Agama (Cet. III; jakarta: Gramedia, 2001), h. 173-178

(16)

dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi nudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (al-Maidah: 105)

Para da’i hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka lalu kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Karena hidayah hanya datang dari Tuhan.44 Kaum pluralis berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Ech one is valid within its particular culture. Mereka percaya bahwa rahmat Allah itu luas. Bahkan mereka tidak mengerti mengapa ada manusia yang membatasi kasih sayang Tuhan dan mengapa ada orang yang mengambil alih wewenang Tuhan. Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu? Bagaimana kesadaran mereka atas atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Kasih sayang seorang ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang Allah. Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka, kecuali manusia-manusia pembangkan yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi.45

Jalaiuddin Rakhmat, mengatakan sekiranya agama itu valid, maka kenapa Tuhan repot-repot membikin agama bermacam-macam. Lalu kenapa Tuhan tidak menjadikan semua agama itu satu saja.46 Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu?

Al-Qur’an menjawab dengan indah:

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat bajikan. Hanya kepada

44Ibid, h. 39

45 Jalaluddin Rakhamat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Cet. I; Jakarta: Serambi, 2006), h. 21

(17)

Allah-lah kembali kamu semuanya. Lalu diberikahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Dari ayat ini jalaluddin Rakhmat menyimpulkan beberapa hal:

1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (sayariat) dan pandangan hidupnya (akidah). Karna itu pluralisme sama sekali tidak berarti semua gama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan.

2. Tuhan, tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan.

3. Semua agama itu kembali kepada Allah, lslam, Hindu, Buddha, Nasrani, Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama.

Dari beberapa pendapat para pakar tersebut, maka dapat dipahami bahwa pluraliotas agama, budaya dan tradisi adalah merupakan suatu keniscayaan dan merupakan suatu kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Sehingga menuntut adanya kesadaran agar dapat dipahami dengan sikap toleran dan saling menghargai, sebab jika tidak, maka akan memicu terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap komunitas lokal yang merasa termarjinalkan.

E. Analisis

Pluralitas makhluk merupakan suatu hal yang sudah menjadi sunnatullah. Pluralitas tidak hanya terjadi dalam kerangka kesatuan keluarga akan tetapi lebih dari itu, ada pluralitas peradaban yang mempunyai keunikan masing-masing. Demikian juga nasionalisme yang, beragam di atas dasar pluralitas hukum yang kesemuanya nanti akan disatukan oleh kesatuan kemanusiaan yang tidak ada yang tidak ada perbedaan di antaranya.

(18)

masyarakata memiliki sikap ekstrim, represif dan otoriter yang tidak ingin

Tauhid merupakan, inti dari ajaran Islam, yang meyakinkan urnatnya bahwa Allah adalah satu atau Esa tidak ada syarikat bagi-Nya. Walaupun masalah tauhid ini merupakan hal pokok keimanan, namun para teolog, filosof dan juga kaum sufi masih terkadang dijadikan polemic tentang Zat dan sifat-sifat Tuhan. Sehingga ada sebuah hadis Nabi Saw, berbunyi:

Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu berfikir tentang Zatnya niscaya kamu celaka.

III. KESIMPULAN

1. Pluralitas makhluk adalah suatu keniscayaan, keharusan sekaligus sunnatullah. Penolakan terhadap pluralitas makhluk adalah penolakan terhadap terhadop suatu yang seharusnya terjadi serta kekufuran bagi yang mengingkarinya. Pluralitas tidak hanya disadari adanya masyarakat yang majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang Justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pengakuan, adanya pluralitas harus disertai dengan kesadaran yang yang mendalam untuk bersama-sama membangun suatu pergaulan yang dilandasi penghargaan atas kemajemukan.

(19)

Hal inilah yang banyak diperselisihkan oleh para filosof tentang alam. Apakah alam ini baharu atau qadim.

3. Islam menjelaskan Keesaan Khalik dan pluralitas selain Dia. Keesaan Khalik telah menjadi perbincangan yang kunjung selesai dalam dunia teologi dan filsafat. Namun demikian semuanya mengakui adanya Tuhan. Hanya yang membedakan adalah dalam memahami bagamaimana Keesaan Tuhan itu dalam kaitannya dengan eksistensi Tuhan dari segi Zat dan Sifatnya.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. IX: Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Abduh, Muhammad. Tafsir al-Qur'an a1 Karim juz ‘Amma, Kairo Mesir: Dar

Mathabi Asy-Syabi, t.th.

Al-Banna, Gamal. Al-Ta’dddiyah fi al-Mujtama’al-Islam. Di Terjemahkan oleh Taufilk dengan Judul Doktrin Pluralitas dalam al-Qur’an Bekasi: Menara, 2006. Departernen Agama RI, AI-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.

1989

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka 2002.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta: Van Hoeve, 2001

M. Echol, Johs dan Hasaan Shadily. Kamus Inggris Indonesia Cet. XXIII; Jakarta: Gramedia. 1996.

Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Bandung. Mizan, 1988.

(21)

A1-Gazali, Fadhil al-Anam min Rasa’il Hujjah al-Islam al-Gazali, Tunisia:, 1972.

Al-Hambali, Badr al-Din. Mukhtasar Fatwa Ibnu Taimiyah, Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyyah. t.th.

Imrah, Muhammad. Al-Islam wat. Ta’addudiyah al-Ikhtilaf wat.Tanawwu fi Ithharil-Wihdah. Di Terjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dengan judul, Islam dan Pluralitas perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Cet.I; Jakarta: Gema Insani, 1999

Jam’ah, Muhammad Lutfi. Tarikh falsafah al-Islamiy, Beirut: Al Maktabah al-Islamy, t.th.

Jauziyyah, Ibnu Qayyim. al-Asma al-Husna, Diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul. Nama-nama Indah Allah. Cet I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000

Madjid Nurcholish. Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, dalam Kamaruddin Hidayat (ed), dengan Judul Passing Over, Melintasi Batas Agama. Cet. III; Jakarta Gramedia, 2001.

Majala “Syir’ah” No. 49/VI/Januari 2006, h. 22-38

Al-Maududi, Abu A'la. Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan. 1984.

Mudhofir. Ali. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi, Cet.I Yogyakarta: Gaja Mada, 1996.

Al-Munawwar. Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2005.

K. Munitz, Milton K. The Way of Phylosophy, New York: Mac. Millan co inc, 1979.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme. Cet.VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Nasution, Hasyimsah. Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. R.A. Nichoson, The Mystic of Islam, London: Borton, 1970

Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mulla Sadra (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralime Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan

(22)

Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Shihab, M. Quraish. Tafsur al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-qur’an

Vol. 14 Cet. I; Jakarta: Lentera, 2003.

Sulaiman, Abdul Qasim. Mu’jam al-Wasith, Juz I ; t.th

Al-Suyuthi, Jalal al-Din. al-Durr al-manshur, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1983. At-Tabatthaba’I, Muhammad Husain. al-Mizan, Fi Tfsir al-Qur’an Jilid IV

Taheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1397 H.

Taher, Tarmizi, Membumikan Ajaran dalam Transformasi Bangsa Cet.I; Jakarta: Hikmah 1996.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Cet. V; Bandung: Rosdakarya, 1997.

(23)

PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK

Oleh: Khalid Hasan Minabari

(24)

PROGRAM PASCASARJANA

Referensi

Dokumen terkait

Maksud yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi karyawan

Dengan kelebihan yang ada dalam PBM dan Group Investigation (GI) maka perlu diteliti penggunaan kedua model pembelajaran ini pada materi sistem pencernaan

Saran dari tim Pengabdian Iptek berbasis Berbasis Prodi Dan Nagari Binaan (IbPSNB) pada Kelompok Tani dan Kelompok wanita tani Jorong Koto Luar Kelurahan

Judul Tesis : Pengaruh Pemanfaatan Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah dan Komitmen Organisasi Terhadap Kualitas Organisasi Terhadap Kualitas Laporan Keuangan dengan

Perhitungan dan desain dimensi untuk terumbu karang buatan yang digunakan berdasarkan gaya-gaya yang bekerja pada satu buah reef balls memiliki lebar atau berdiameter 1,8 m dan

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Derajat Nyeri Haid (Dismenorea) pada Remaja

Salah satu airport lounge di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta adalah Saphire Lounge milik PT Angkasa Pura Solusi yang merupakan anak perusahaan dari PT