• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBENTUKAN SIKAP MEMELIHARA LI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI PEMBENTUKAN SIKAP MEMELIHARA LI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBENTUKAN SIKAP MEMELIHARA

pembentukan sikap memelihara lingkungan pada anak usia dini pada sekolah formal. Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga di bawah yayasan Ar-Risalah Bogor yaitu siswa-siswa Taman Kanak-Kanak Ar-Risalah Bogor dan siswa-siswa kelas tiga Sekolah dasar yang kursus di Yayasan Ar-Risalah Bogor. Sampel penelitian sebanyak 35 responden. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling. Kriteria dalam pengambilan responden adalah siswa Taman Kanak-kanak kelas B dan siswa Sekolah Dasar setinggi-tingginya kelas tiga.

Hasil penelitian menunju dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap sikap dalam memelihara lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS seri 10.0, adalah sebagai berikut: Dari 15 item pertanyaan dimana nilai maksimum pertanyaan masing-masing 2, maka probabilitas skor tertinggi adalah 30 dan probabilitas skor terendah -30, diperoleh hasil dilapangan adalah skor tertinggi 30 dan terendah 16 dan rata-rata (mean) sebesar 26,14 dan standar deviasi sebesar 3,76. Hal itu berarti siswa memiliki sikap dalam memelihara lingkungan yang cukup baik karena mendekati skor tertinggi (30). Dengan demikian, secara sederhana penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, Pendekatan proses pembelajaran yang dilakukan secara

kontekstual (contextual teaching and learning) terbukti dapat membantu siswa dalam

membentuk sikap memelihara lingkungan yang baik. Kedua, Strategi pendekatan kontekstual juga dapat diterapkan pada anak usia dini, yang mana selama ini masing belum mendapatkan perhatian.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Persoalan lingkungan hidup dewasa ini sudah sangat mendesak untuk

ditanggulangi, oleh karena kualitas lingkungan hidup semakin hari semakin memburuk.

Fenomena pencemaran, kekeringan dan banjir adalah contoh yang dekat didepan mata

1 Dosen Jurusan Geografi FIS UNJ dan Direktur Lintas Survey Nusantara (LSN) dan Direktur Lembaga

(2)

kita. Belum lagi masalah limbah (baik rumahtangga, industri maupun lainnya) yang

merupakan produk yang tidak bisa dihindarkan sebagai akibat dari aktivitas manusia

sehari-hari.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah-masalah sosial lainnya, proses

penyadaran masalah-masalah lingkungan dapat dilakukan dengan beragam pendekatan

dan beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut sekurang-kurangnya ada tiga: (1) menyadari

bahwa masalah lingkungan sebagai suatu kenyataan yang harus diatasi; (2) melakukan

analisis terhadap masalah tersebut dengan jalan mengidentifikasi penyebab utamanya;

(3) mengembangkan strategi kuratif terhadap kerusakan lingkungan. Tahap-tahap

pemecahan ini perlu diketahui oleh masyarakat khususnya pemerintah dan lembaga

kependidikan ditingkat terendah hingga tertinggi.

Di Indonesia, tahap pertama biasanya dilakukan dengan memasang spanduk,

slogan-slogan pejabat-pejabat dan berita-berita di media cetak dan elektronik seperti

kerusakan hutan, polusi air laut, air tanah, udara, masalah banjir dan kekeringan,

kebakaran hutan, sampah dan lai-lain. Pada dasarnya tahap ini cukup mudah direalisir.

Tahap kedua biasanya dilakukan dengan sudah melakukan kajian (analisis) terhadap

masalah yang ada. Misalnya mengapa pada saat musim hujan terjadi banjir dan saat

musim kemarau terjadi kekeringan. Mengapa air sungai sekarang ini kotor, dan lain-lain.

Tahap ketiga erat kaitannya dengan yang kedua. Misalnya untuk mengurangi dampak

banjir, maka sampah-sampah harus dibersihkan. Untuk mencegah kerusakan taman

digunakan pendekatan psikologis dan budaya. Misalnya “Taman ini dibuat atas biaya

(3)

Secara keseluruhan dari pengenalan kita tentang seluk-beluk lingkungan hidup,

jelas bahwa manusia sampai saat ini telah mengelolanya secara sepihak. Yakni dengan

kecenderungan dan perhatian yang lebih besar tentang bagaimana mencapai pemenuhan

kebutuhan sendiri dalam jangka pendek. Bersikap sangat eksploitatif, dan tanpa disadari

mengelabui diri sendiri, karena kegiatan yang dilakukan dalam jangka panjang akan

meracuni kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraannya sendiri. Sikapnya terlalu

eksklusif dan antroposentrik dengan ciri utamya yang konsumtif.

Secara keliru sebagian orang beragamapun menganggap pandangan ini berasal

dari ajaran agama, pada hal agama mengajarkan sikap transendental. Bahkan untuk

menggaris bawahi (memperjelas tanggung jawab) keharusan bagi manusia untuk

memperlakukan alam secara baik karena tanggung jawab yang lebih dari makhluk hidup

lainnya di muika bumi dan begitu pula kepada generasi penerusnya. Pada dasarnya,

kebutuhan manusia akan cinta kasih tidak berbeda dengan kebutuhan kita akan alam

yang indah dan nyaman, dengan segala keanekaragaman dan keindahannya, merupakan

kebutuhan yang bersifat genetik, fisiologik dan psikologik. Dalam deklarasi Rio De

Jeneiro juga menyatakan bahwa manusia merupakan pusat pembangunan berkelanjutan.

Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Deklarasi Rio De Jeneiro berpandangan

antroposentris. Tetapi, sifat antroposentris itu dapat mengandung bahaya dalam

pencapaian pembangunan berkelanjutan itu jika tidak terkontrol. Deklarasi itu berupaya

untuk mengurangi bahaya itu dengan menyatakan bahwa manusia berhak atas kehidupan

yang sehat dan produktif yang serasi dengan alam. Jadi, sebenarnya kerusakan alam

yang ditimbulkan manusia yang makin hari makin berat itu sebenarnya adalah sama

(4)

lebih holistik. Oleh karena itu diperlukan pengkajian terhadap generasi masa datang,

dengan mempersiapkan mereka untuk mengelola secara baik lingkungannya.

Dalam tulisan ini akan dilihat beberapa pendekatan yang seharusnya dilakukan

kepada anak usia dini dalam pengelolaan lingkungan disekitarnya, dengan harapan dapat

menumbuhkan kesadaran anak-anak usia dini untuk senantiasa terbiasa memelihara

lingkungannya. Dengan demikian diharapkan pula tercipta generasi muda dimasa datang

yang peduli terhadap lingkungan hidup.

Perumusan masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan untuk menentukan strategi pembentukan

sikap memelihara lingkungan pada anak usia dini, maka dalam penelitian ini akan

dibatasi pada: Bagaimanakah strategi pembentukan sikap memelihara lingkungan pada

anak usia dini di lingkungan pendidikan formal ?

Manfaat Penelitian

Dengan dilakukan kajian terhadap strategi pembentukan sikap memelihara

terhadap anak usia dini dilingkungan pendidikan formal, diharapkan dapat dibuat

alternatif untuk membantu pembentukan kepribadian dan perilaku yang ramah

lingkungan kepada anak usia dini dalam rangka membantu mereka mempersiapkan

memasuki kehidupannya jika sudah dewasa dan mandiri nanti.

KAJIAN PUSTAKA

Strategi Pembentukan Sikap

Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai

(5)

berarti bahwa penyesuaian diri terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan

sosial, fisik dan kesediaan untuk bereaksi dari orang tersebut terhadap obyek.

Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung, akan tetapi harus ditafsirkan

terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Secara operasional,

pengertian sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap kategori

stimulus tertentu dan dalam penggunaan praktis, sikap seringkali dihadapkan dengan

rangsangan sosial dan reaksi yang bersifat operasional.

Dalam pendekatan yang bersifat teoritis dan operasional, sikap dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga) bagian:

1. Komponen kognisi yang berkaitan dengan beliefs (kepercayaan), ide dan

konsep.

2. Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang.

3. Komponen konasi yang merupakan kecenderungan untuk bertingkah

laku.

Untuk lebih menjelaskan konteks sikap (misalnya sikap dalam memelihara lingkungan),

perlu dibedakan terlebih dahulu fungsi sikap dan kejadiannya. Dengan demikian sikap

sangat erat dengan topik tertentu. Pada tulisan ini secara khusus ditekankan dalam

melihat sikap memelihara lingkungan pada anak usia dini dari usia Taman

Kanak-Kanak (5 tahun) hingga kelas 3 sekolah dasar (9 tahun).

Karakteristik dari sikap senentiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal

komponen afeksi. Sedangkan kejadiannya tidak diikutsertakan dengan evaluasi

emosional. Oleh karena itu sikap adalah relative konstan dan agak sukar berubah. Jika

(6)

mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Kejadian

bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, kerusuhan yang mengakibatkan kebakaran

dan kerusakan, sampah yang menggunung dan menimbulkan bau yang tidak sedap

adalah merupakan sebagian dari kejadian yang dapat menyebabkan kemungkinan dapat

berubanya sikap khususnya sikap dalam memelihara lingkungan. Hal ini karena sikap

merupakan kesimpulan dari berfikir, keyakinan dan pengetahuan. Sementara fakta yang

dialami seseorang adalah sesuatu yang tidak terbantah merupakan sumber pengetahuan

yang penting. Informasi tentang dampak bencana tersebut dapat membentuk emosi dan

perasaan anak. Sedangkan pengetahuan dan perasaan anak yang merupakan kluster

dalam sikap akan menhasilkan tingkah alku tertentu. Dengan demikian, dalam suatu

proses pembentukan perilaku pengelolaan lingkungan, proses pembentukan sikap

memelihara lingkungan adalah sangat penting.

Obyek yang dihadapi anak pertama berkaitan langsung dengan apa yang ia

pikirkan dan dinalarnya. Informasi dari media (cetak, elektronik dan lain-lain), guru dan

lingkungan terdekatnya seperti keluarga, teman dan lingkungan tempat tinggalnya akan

dapat membentuk wacana berfikirnya. Oleh karena itu komponen kognisi yang mana

melukiskan obyek tentang keadaan lingkungan sekitar anak, serta dikaitkan dengan

obyek-obyek lain disekitarnya. Proses ini terjadi karena seseorang anak mampu menalar

terhadap karakteristik obyek tentang lingkungan. Misalnya seorang anak melihat sampah

yang menumpuk berserakan disekitar lingkungan rumahnya, di jalan-jalan, ditepi dan di

dalam sungai serta menimbulkan bau yang tidak sedap; sekaligus masuk pada komponen

kognisinya dan menggambarkan bahaya dari keadaan lingkungan tersebut kepada

(7)

banjir karena menutupi saluran air. Akibat dari gambaran ini seorang anak akan

memiliki pemahaman bahwa lingkungan yang tidak baik dan nyaman, seperti tumpukan

sampah yang terlalu banyak (karena tidak dikelola secara baik) disuatu permukiman

dapat menimbulkan akibat tertentu bagi masyarakatnya. Sekurang-kurangnya bagi

kepentingan bermainnya yang cukup terganggu.

Lingkungan dan Pemeliharaannya

Pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1997 adalah

upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian,

pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Sasarannya adalah terjadinya

keseimbangan ekosistem, karena ketidak-seimbangan ekosistem menyebabkan tidak

tercapainya fungsi lingkungan hidup, tidak terkendalinya pemanfaatan sumberdaya

secara bijaksana dan akhirnya tidak terjaminnya kepentingan generasi kini dan generasi

masa depan.

Bagi anak usia dini, model pengelolaan yang perlu diperkenalkan kepada mereka

sudah tentu berbeda dengan pengertian di atas. Tujuan dari pemeliharaan lingkungan

bagi anak usia dini adalah bagaimana memperkenalkan dan membiasakan untuk

melakukan kegiatan rutin sehari-hari itu tidak merusak lingkungan. Lebih dari itu

ditanamkan sejak awal untuk mencintai tumbuhan, hewan dan lingkungan sekitar

melalui kegiatan nyata seperti menanam tumbuhan di pot atau di halaman yang sudah

disediakan, merawatnya hingga tumbuh subur. Proses dari menanam hingga merawat

tumbuhan tersebut diharapkan akan menimbulkan interaksi antara anak dengan salah

satu unsur lingkungan, sehingga diharapkan akan menumbuhkan sikap yang ramah

(8)

lingkungan yang lain, seperti hewan. Begitu juga kepada air, membiasakan

menggunakannya secara hemat walaupun dimusim hujan banyak air melimpah. Begitu

juga terhadap kebersihan lingkungan, seorang anak sejak awal harus dibiasakan melalui

penciptaan kondisi lingkungan yang bersih dengan menyediaan tempat pembuangan

sampah.

Pendekatan Kontekstual

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan

belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika

anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahui’-nya. Pembelajaran yang

berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat

jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam

kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita.

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching ang Learning) merupakan konsep

belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga

dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi

siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja

dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran

lebih dipentingkan dari pada hasil.

Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa maanfaatnya, dalam

status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Siswa perlu menyadari bahwa yang

(9)

mempelajari apa yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan berupaya untuk menggapainya.

Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.

Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi belajar mengajar dari pada

memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja

bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang

baru (misalnya pengetahuan dan keterampilan) lebih banyak dating dari ‘menemukan

sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan

pendekatan kontekstual.

Kontekstual hanya strategi pembelajaran, yang dikembangkan dengan tujuan agar

pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat

dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.

Ada 7 (tujuh) komponen pendekatan CTL (contextual teaching and learning), yaitu:

(1) Konstruktivisme (constructivism), merupakan landasan berpikir (filosofi)

pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,

yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak

sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap

untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan

memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan

masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.

Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus

mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis

(10)

kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka

sendiri. Disinilah perbedaan antara pandangan berfikir konstruktivisme dengan

pandangan obyektivis yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam

pandangan konstuktivisme, strategi untuk memperoleh informasi lebih di utamakan

dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.

Jadi, menurut pandangan konstruktivisme tugas guru adalah memfasilitasi proses

tersebut dengan: satu, menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, dua

memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan tiga

menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti

kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda.

Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu

dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihugungkan dengan

kotak(struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan

dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur

pengetahuan yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah struktur pengetahuan yang

sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya

pengalaman baru.

Dalam kaitannya dengan penerapan strategi pembentukan sikap memelihara

lingkungan siswa, yaitu seorang guru harus merancang pembelajaran di dalam dan luar

kelas dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik,

(11)

kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan lingkungan. Sudah barang tentu jenis

kegiatannya disesuaikan dengan usia dan lingkungan siswa tersebut.

(2) Menemukan (Inquiry), merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran

berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang dibangun atas dasar

‘menemukan’ bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi

merupakan hasil dari menemukan sendiri oleh siswa. Menjaga kebersihan lingkungan

kelas dan sekolah, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan ‘menurut

buku’. Contoh langkah-langkah kegiatan menemukan (inqury) pada anak usia dini:

 Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)

 Bagaimanakah menjaga dan membersihan lingkungan kelas dan sekolah ?

 Mengamati atau melakukan observasi

 Mengamati kelas-kelas yang kotor dan kelas-kelas yang bersih

 Melihat bacaan dan gambar-gambar di buku, koran, majalah dan sumber

lainnya tentang kebersihan lingkungan.

 Menganalisis dan menyajikan dalam tulisan (narasi sederhana), gambar, laporan.

 Siswa membuat narasi sederhana tentang kebersihan lingkungan.

 Siswa membuat laporan sederhana hasil observasinya.

 Siswa membuat atau mengumpulkan gambar tentang lingkungan yang kotor

dan lingkungan yang bersih serta membandingkan baik buruknya.

 Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas, guru & lainnya

 Siswa menceritakan secara lisan hasil perbandingan situasi lingkungan kelas

(12)

 Bertanya jawab dengan teman sekelas

 Memunculkan ide-ide baru

 Menempelkan hasil karya siswa atau pilihan gambar hasil observasi di kelas

tentang kebersihan lingkungan sekolah.

(3) Bertanya (Quesioning). Sebagai suatu proses, pengetahuan selalu bermula

dari munculnya ‘pertanyaan’. Sebelum mengetahui letak terminal “Blok M”,

biasanya seseorang akan bertanya ‘kemana arah menuju terminal Blok M ?’.

Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis kontekstual.

Bertanya dalam suatu proses pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk

mendorong, membimbing, dan menilai kemampaun berfikir siswa. Bagi siswa,

kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran

berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah

diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

Persoalannya adalah bagaimanakah penerapannya dalam pembentukan sikap

memelihara lingkungan di kelas ? Hampir pada setiap aktivitas belajar, bertanya

dapat diterapkan. Antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa

dengan orang lain yang diundang ke kelas dan lain-lain. Aktivitas bertanya juga

ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui

kesulitan, ketika mengamati dan lain-lain. Semua kegiatan-kegiatan itu

menumbuhkan dorongan untuk bertanya. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut

menjadikan anak untuk mencari tahu dan pada akhirnya membentuk sikap dari apa

(13)

(4) Masyarakat Belajar (Learnign Community). Menurut konsep ‘masyarakat

belajar’ hasil pembelajaran sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.

Ketika seorang anak ingin membuang sampah sisa makanannya, ia akan bertanya

kepada temannya atau kepada guru, dimana tempat membuang sampah ?. Bagi anak

yang sudah mengetahui, maka hal itu akan ditunjukkan. Ketika seorang anak baru

belajar naik sepeda, ia akan bertanya ‘bagaimana caranya belajar naik sepeda ?’

Tolong dong bantu aku belajar naik sepeda! Lalu bagi temannya yang sudah bisa

naik sepeda menunjukkan sekaligus membantu mengajari naik sepeda. Dua kegiatan

di atas, pada dasarnya sudah membentuk masyarakat belajar (learning community).

Hasil belajar terjadi dari proses ‘berbagi’ (sharing) antara teman, antar kelompok,

dan antara, antara yang belum tahu dengan yang sudah tahu, antara yang sudah ahli

dengan yang belum ahli. Di kelas, di luar kelas atau yang terjadi dimanapun juga

adalah anggota masyarakat belajar. Di dalam kelas yang menggunakan pembelajaran

kontekstual, guru disarankan untuk selalu melaksanakan pembelajaran dalam

kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya

bervariasi. Kegiatan bekerjasama dalam kelompok ini dapat diterapkan dari sekolah

Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, tergantung kerumitan topik

masalahnya. Bagi anak-anak usia dini, kegiatan ini bertujuan utama untuk

menumbuhkan kerjasama (karena nilai informasi masih relatif belum begitu

dominan), sementara bagi mahasiswa selain dapat menumbuhkan kerjasama juga

dapat saling melengkapi informasi, karena masing-masing individu sudah memiliki

pendapat sendiri tentang suatu konsep, teori atau interpretasi suatu fenomena di

(14)

komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajar dengan metode ceramah saja,

adalah bukan contoh dari masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi dalam

satu arah. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat

belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran

saling belajar. Setiap orang bisa menjadi sumber belajar dari pihak lain, maka setiap

orang dapat menjadi sumber belajar. Berarti pula akan memperkaya pengetahuan dan

pengalaman. Metode pembelajaran ‘masyarakat belajar’ (learning community) ini

sangat membantu dalam proses pembelajaran di kelas khususnya dalam

pembentukan sikap memelihara lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan melalui:

 Pembentukan kelompok (besar maupun kecil)

 Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas

 Bekerja dengan kelas sederajat atau di atasnya

 bekerja dengan masyarakat.

(5) Pemodelan (modeling). Pemodelan yang dimaksud adalah bahwa setiap

pembelajaran keterampilan atau pengetahuan, ada model yang dapat ditiru. Model

itu dapat berupa cara mengoperasikan seseuatu, cara menggunting, cara melipat, cara

memisahkan sampah basah dan kering, contoh karya tulis, cara menghafal ayat-ayat

(Al-Qur’an) dan lain-lain. Artinya, seorang guru memberi contoh model ‘bagaimana

cara belajar’. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonnstrasikan cara

mengolah sampah. Sampah yang dapat membusuk (organik) dipisahkan dengan

sampah plastik (unorganik), antara sampah basah dengan sampah kering; lalu

dibungkus pada tempat yang berbeda, kemudian dibuang ketempat yang terpisah.

(15)

tidak, yang tidak boleh dibuang ke tanah dan tidak. Karena jika sampah plastik

dibuang ke tanah akan dapat merusak kesuburan tanah. Contoh lain adalah guru

mendemonstrasikan gerakan rotasi, revolusi bumi dan anggota tatasurya lainnya ke

dalam kelas. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka

berlatih menemukan ‘kata kunci’ bagi pemahamannya. Dalam kasus ini guru

menjadi model. Tetapi, guru bukan satu-satunya model bagi siswa. Model dapat pula

diberikan oleh siswa yang pandai, model yang dirancang pada media elektronik

(seperti simulasi), Penutur asli (native speaker) dalam bahasa yang didatangkan ke

kelas.

(6). Refleksi (Reflection). Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru

dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dipelajari

sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau

pengetahuan yang baru diterima. Kuncinya adalah bagaimana pengetahuan yang

baru dipelajari itu mengendap dibenak siswa. Siswa mencatat yang yang sudah

dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir pelajaran, guru

menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi, yang realisasinya sebagai

berikut:

* Kesan tentang pelajaran hari itu

* Hasil-hasil karya siswa di tempel di dinding kelas

* Catatan di buku siswa

* Diskusi

(7) Penilai yang Sebenarnya (Authentic Assessment). Assessment adalah proses

(16)

siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa

memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Data yang

dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari

informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya

ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari, bukan

mengetahui sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Kemajuan

belajar diperoleh dari proses, bukan hanya hasil. Siapa kelompok yang membenahi

seluruh hasil kerja kelompok, dan membuang sampah pada tempatnya dalam setiap

mata pelajaran, maka akan menambah nilai bagi kelompok. Penilaian kelompok

menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa

(penilaian autentik). Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang lain.

Adapun karakteristik penilaian autentik adalah:

* Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung

* Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif

* Yang diukur bukan mengingat fakta, tetapi keterampilan dan performansi

* Berkesinambungan

* Terintegrasi

* Dapat digunakan sebagai umpan balik (feed back)

Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa adalah:

 Proyek/kegiatan dan laporannya

 Pekerjaan Rumah (PR)

 Kuis

(17)

 Presentasi atau penampilan siswa

Intinya, dalam penilaian autenti, pertanyaan yang ingin dijawab adalah: “apakah

anak-anak belajar ?”, bukan “apa yang sudah diketahui oleh anak-anak ?” dan siswa

dinilai kemampuannya dengan berbagai cara.

Pendidikan Berbasis Masyarakat

A. Konsepsi Pendidikan Berbasis Masyarakat.

Salah satu tujuan reformasi yang kuat bertema adalah otonomi daerah dengan lahirnya UU No.2 Tahun 1999. Bagi dunia pendidikan, otonomi daerah juga berarti mengembalikan jati diri pendidikan dalam arti segala urusan pendidikan hendaknya atas dasar pengelolaan dari dan oleh untuk masyarakat. Sementara program pemerintah sebagai penentu kebijakan makro dan penentu subsidi. Artinya peran pemerintah yang kuat harus dikurangi. Sementara itu pola hubungan seperti ini menguntungkan baik masyarakat maupun pemerintah. Bagi pemerintah otonomi dana pendidikan tidak seluruhnya ditanggung pemerintah, tapi ditopang oleh dana masyarakat. Bagi masyarakat, kebutuhan tentang pendidikan dan macamnya diperlukan dan ditentukan pula oleh masyarakat, bukan hanya pemerintah.

(18)

bawah, agar pendidikan berlatar masyarakat, dikelola masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Apa pandangan dari konsep ini ? adalah masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan menilai sendiri, apa yang diperlukan secara spesifik. (Surakhmad,1999)

Untuk berperan sebagai lembaga pendidikan nasional sekaligus untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat, unsur-unsur PBM harus berciri :

1. Pola pengembangan yang melibatkan profesi didalam masyarakat untuk

turut bertanggung jawab mengenai mutu pendidikan masyarakat khususnya, mutu pendidikan nasional umumnya.

2. Pola swadaya yang mengutamakan pengelolaan sendiri pendidikan

didalam konteks masyarakat, meliputi antara lain : a. Penentuan program pendidikan yang khas. b. Penyediaan dana operasional dan infrastruktural c. Pengadaan tenaga yang kompeten.

d. Pelaksanaan peraturan secara menyeluruh.

e. Penilaian dan peningkatan efisiensi dan efektifitas.

3. Pola program pendidikan dan pelaksanaannya secara umum merujuk pola

dasar yang bersumber dari UU Pokok Pendidikan Nasional serta dari ketentuan hukum yang dinilai perlu untuk pengembangan pendidikan secara nasional (Surakhmad, 1999).

A. Pesantren Sebagai Salah Satu Implementasi PBM.

(19)

terlibat (tokoh masyarakat, alim ulama) menyediakan tenaga, waktu dan dana untuk berlangsungnya proses pendidikan. Setiap unsur masyarakat boleh menyumbangkan apa saja sesuai kemampuannya. Oleh karena itu di pesantren semangat itu terus hidup teratur, tekun hingga kini tetap ada. Bagi penyelenggaraan di pesantren sendiri, diperlukan revitalisasi tujuan. Karena keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikannya adalah semangat pendidikan bebasis masyarakat. Salah satu yang perlu diperbaharui adalah pandangan yang melihat pentingnya pengelolaan lingkungan secara terpadu dengan lingkungan pendidikan. Berkembangnya pendapat dikalangan masyarakat bahwa pesantren identik dengan tempat yang cenderung kumuh, santrinya banyak yang menderita penyakit kulit (karena tempat yang kurang bersih), sanitasi yang kurang layak dan laun sebaginya menunjukkan bahwa pengelolaan di pesantren belum cukup penting melihat lingkungan sebagai aset yang penting dalam mendukung proses pembelajaran. Tetapi, ada juga pesantren-pesantren yang fasilitas infrastruktur bangunan dan fasilitas pendidikan yang sudah sangat maju, terutama bagi pesantern-pesantren modern, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Jadi, walaupun penyelenggaraan itu sudah berbasis masyarakat, penting pula melihat pengelolaan lingkungan sekitar agar implementasi dari hadist yang berbunyi:

“kebersihan adalah sebagian dari iman” dapat lebih teraktualisasikan lagi. Nampaknya proses pembelajaran dipesantren selama ini masih dominan bersifat normatif dan proses pembelajarannya yang cenderung monoton. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi proses pembelajaran dengan menerapkan

pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Dengan demikian

(20)

METODOLOGI PENELITIAN

Pentingnya Penelitian

Dengan adanya tema penelitian ini, diharapkan dapat diketahui strategi

yang efektif dalam pemebentukan sikap memelihara lingkungan anak usia dini

khususnya di sekolah formal penelitian tahap I). Pada tahap kedua penelitian

akan dilakukan pada peranan keluarga dalam pembentukan sikap memelihara

lingkungan anak usia dini. Pada tahap ketiga penelitian akan dilakukan pada

peranan pemerintah dalam pembentukan sikap memelihara lingkungan pada anak

usia dini. Untuk selanjutnya akan dibuat strategi pembentukan sikap memelihara

lingkungan pada anak usia dini. Dengan harapan dapat membantu mengarahkan

siswa-siswa untuk berperilaku yang ramah akan lingkungan dimasa datang.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah siswa-siswa Taman Kanak-Kanak Ar-Risalah Bogor

dan siswa-siswa kelas tiga Sekolah dasar yang kursus di Yayasan Ar-Risalah

Bogor. Sampel penelitian sebanyak 35 responden. Pemilihan responden dilakukan

secara purposive sampling. Kriteria dalam pengambilan responden adalah siswa

Taman Kanak-kanak kelas B dan siswa Sekolah Dasar setinggi-tingginya kelas tiga.

Metode yang Digunakan

Berdasarkan tujuan penelitian yang ditetapkan, maka metode penelitian yang

digunakan adalah metode deskriptif non-eksperimen dengan pendekatan survei.

Survei dilakukan pada proses pembelajaran Taman Kanak-Kanak Ar-Risalah.

Sebelum pengamatan dilakukan, peneliti berkolaborasi dengan guru kelas untuk

(21)

pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan. Data yang dibutuhkan dijaring

melalui instrumen berupa kuesioner.

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Pada tahap pertama (yang dilakukan dalam penelitian ini) data yang

diambil dalam penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh melalui

kuesioner. Data pada kuesioner untuk memenuhi aspek pada sikap memelihara

lingkungan yang meliputi lingkungan kelas dan sekolah serta disekitar sekolah.

Analisis data dilakukan menggunakan teknik deskriptif persentase. Sebelum

dilakukan analisis data secara deskriptif, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

data untuk ujin persyaratan analisis pada data sikap memelihara lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Data

Sesuai dengan jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya, instrumen

dibagikan secara purposif kepada siswa TK kelas B dan siswa Sekolah Dasar

setinggi-tingginya kelas 3. Semula, terdapat kesulitan siswa dalam menjawab pertanyaan, atas

dasar itu kemudian strategi pertanyaan diubah, dimana guru yang langsung mengarahkan

pertanyaan secara individual. Pelaksanaan proses pembelajaran yang dipantau adalah

selama kurang lebih satu bulan. Setelah itu, selama kurang lebih satu minggu proses

penjaringan data dilakukan.

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka sesuai dengan petunjuk

pada instrumen, dibuat frekuensi kumulatif dari jawaban responden yang terdiri dari tiga

(22)

dan konsep. (2) Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang. (3)

Komponen konasi yang merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku. Adapun

topik yang dibahas untuk melihat sikap ini adalah Kebersihan lingkungan, Pengelolaan

sampah di kelas dan pemeliharaan tanaman di sekolah. Selanjutnya instrumen terhadap

sikap dalam memelihara lingkungan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Dimensi dan Indikator Instrumen Sikap dalam Memelihara Lingkungan

Topik/indikator

Dimensi Sikap

Kebersihan

lingkungan Pengelolaan sampahkelas Pemeliharaan Tanaman

Kognisi 2 item 2 item 1 item

Afeksi 2 item 1 item 2 item

Konasi 1 item 2 item 2 item

Dari tabel 1 di atas, diperoleh informasi bahwa dari ketiga dimensi sikap masing-masing

terdiri dari 5 item pertanyaan, begitu juga berdasarkan topik atau indikatornya

masing-masing terdiri dari 5 item pertanyaan. Skala instrumen sikap yang digunakan dalam

pertanyaan ini adalah skala likert. Skala ini biasanya mengarahkan jawaban responden

kedalam data yang bersifat kategorikal seperti sangat tidak senang, senang, tidak tahu

dan tidak senang serta sangat tidak senang. Oleh karena instrumen ini diarahkan pada

anak usia dini, maka pilihan atas jawaban yang diberikan di sederhanakan menjadi 3

opsi, yakni senang (dengan nilai 2), tidak tahu ( dengan nilai 0) dan tidak senang

(dengan nilai -2). Jika seorang anak menjawab sesuai dengan teori yang digunakan,

maka nilai maksimumnya adalah 30 (didapat dari jumlah item soal dikali skor 2).

(23)

SIKAP

(didapat dari jumlah item soal dikali -2). Secara teoritis, siswa yang menjawab tidak tahu

adalah lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menjawab salah.

Untuk memenuhi kelayakan instrumen, maka dilakukan uji normalitas data dari

instrumen sikap dalam memelihara lingkungan. Hasil uji normalitas ‘good of fitness’

data diperoleh hasil sebagai berikut: Chi Square (X2) = 20,20 pada derajat kebebasan

(df) = 11, dan asymptotic significance adalah 0,043 (probabilitasnya kurang dari 0,05).

Itu berarti datanya normal.

Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Distribusi Data Sikap Memelihara Lingkungan

Analisis Data

Hasil perhitungan dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap sikap dalam

memelihara lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS

(24)

Dari 15 item pertanyaan dimana nilai maksimum pertanyaan masing-masing 2 (lihat

pada lampiran 2), maka probabilitas skor tertinggi adalah 30 dan probabilitas skor

terendah -30, diperoleh hasil dilapangan adalah skor tertinggi 30 dan terendah 16 dan

rata-rata (mean) sebesar 26,14 dan standar deviasi sebesar 3,76. Hal itu berarti siswa

memiliki sikap dalam memelihara lingkungan yang cukup baik karena mendekati skor

tertinggi (30).

Panafsiran Hasil

Dengan menggunakan pendekatan proses pembelajaran kontekstual (contextual

teaching and learning) yang telah diterapkan selama kurang lebih satu bulan, maka

diperoleh hasil yang memuaskan terhadap pembentukan sikap memelihara lingkungan.

Dari gambar 1 di atas, diperoleh gambaran bahwa secara verbal lebih 80 persen

siswa bersikap baik dalam memelihara lingkungan baik dikelas maupun di sekolahnya.

Arah kurva yang menunjukkan kemiringan pada angka tertinggi disebelah kanan, juga

menunjukkan bahwa kecenderungan umum dari sikap siswa yang baik dalam

memelihara lingkungannya. Jika gambar 1 dikaitkan dengan tabel 1 maka hal itu juga

berarti dimensi kognisi yang merupakan komponen ide dan konsep memelihara

lingkungan, dimensi afeksi yang merupakan komponen kehidupan emosional siswa

dalam kaitannya dengan masalah lingkungan dan dimensi konasi yang merupakan

komponen kecenderungan bertingkah laku dalam memelihara lingkungan; adalah

cenderung baik.

Secara teoritis, sikap itu relatif konstan dan agak sukar berubah. Oleh karena itu

hasil ini menunjukkan bahwa pada saat dewasa anak-anak tersebut akan cenderung

(25)

kuat atas dirinya seperti bencana ( seperti banjir, longsor dan lain-lain), proses belajar

mengajar di kelas yang tidak baik dan keadaan dirumah yang tidak harmonis; maka

kecenderungan sikap memelihara lingkungan yang telah di perolehnya tersebut mungkin

sekali untuk berubah. Jadi, kuntinuitas (keberlanjutan) pendidikan dijenjang selanjutnya

(Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan

Tinggi) dan pendidikan di lingkungan keluarga sangat menentukan terpeliharanya sikap

memelihara lingkungan seorang anak selanjutnya.

Penelitian ini juga dapat memberi gambaran bahwa model pembelajaran yang

digunakan ( pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learing) juga turut

menentukan keberhasilan dalam pembentukan sikap khususnya sikap memelihara

lingkungan.

KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil perhitungan dan penafsiran terhadap hasil perhitungan yang terdapat di

dalam BAB IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendekatan proses pembelajaran yang dilakukan secara kontekstual

(contextual teaching and learning) terbukti dapat membantu siswa dalam

membentuk sikap memelihara lingkungan yang baik.

2. Strategi pendekatan kontekstual juga dapat diterapkan pada anak usia dini,

(26)

Implikasi Kebijakan

Dengan terbuktinya pendekatan pembelajaran kontekstual dalam membantu

pembentukan memelihara lingkungan pada anak usia dini, maka hal ini dapat

berimplikasi sekurang-kurang pada dua aspek: pertama, selama ini sekolah belum secara

pro-aktif dalam meningkatkan kualitas siswa dengan berbagai cara. Terutama dalam hal

sikap memelihara lingkungan, karena masalah ini mungkin belum dianggap penting.

Oleh karena itu perlu kiranya memperbaiki orientasi dalam hal pembentukan sikap

memelihara lingkungan di sekolah-sekolah. Kedua, siswa ternyata lebih menyukai

proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa dari pada yang berorientasi pada guru.

Oleh karena itu perlu ditekankan kembali proses pembelajaran yang berorientasi pada

siswa aktif dan kontekstual.

Saran

1. Perlu diterapkannya pendekatan pembelajaran kontektual dalam rangka

membantu membentuk sikap memelihara lingkungan.

2. Pembentukan sikap memelihara lingkungan ternyata dapat dilakukan pada

sekolah formal seperti TK, SD, SMP dan lain-lain maupun pada lembaga

kursus yang lain seperti bimbingan belajar, kursus bahasa, aritmatika dan

lain-lain; dengan cara melakukan integrasi materi lingkungan hidup pada bidang

studi yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Untuk itu

(27)

Daftar Pustaka

Basic Education Managment. 2000. A Pilot Project Community & School Based Managment in Jakarta Metropolitan School. Cooperation Between Institute of Managment, State University of Jakarta and Education and Instruction Department of Jakarta Special Capital Region (DKI).

Iskandar, Rudi. 2003. Perilaku Rumahtangga dalam Pengelolaan Limbah Domestik Di

Jakarta-Depok-Bogor. Kasus Desa-Desa yang dilalui aliran Sungai Ciliwung.

Disertasi S-3 Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB Bogor.

Iskandar, Rudi. 2000. Laporan Kegiatan Pelatihan untuk Lembaga Swadaya

Masyarakat Peduli Pendidikan dalam rangka membantu menciptakan Pendidikan Berbasis Masyarakat Di Kelurahan Rawabunga Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. LPKM UNJ.

Mar’at. Sikap, 1981. Perubahan dan Pengukurannya. Ghalia Indonesia

Pendekatan Kontekstual, 2003. Depdiknas Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

(28)

Daftar Pustaka

Basic Education Managment. 2000. A Pilot Project Community & School Based Managment in Jakarta Metropolitan School. Cooperation Between Institute of Managment, State University of Jakarta and Education and Instruction Department of Jakarta Special Capital Region (DKI).

Iskandar, Rudi. 2003. Perilaku Rumahtangga dalam Pengelolaan Limbah Domestik Di

Jakarta-Depok-Bogor. Kasus Desa-Desa yang dilalui aliran Sungai Ciliwung.

Disertasi S-3 Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB Bogor.

Iskandar, Rudi. 2000. Laporan Kegiatan Pelatihan untuk Lembaga Swadaya

Masyarakat Peduli Pendidikan dalam rangka membantu menciptakan Pendidikan Berbasis Masyarakat Di Kelurahan Rawabunga Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. LPKM UNJ.

Mar’at. Sikap, 1981. Perubahan dan Pengukurannya. Ghalia Indonesia

Pendekatan Kontekstual, 2003. Depdiknas Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Gambar

Tabel 1. Dimensi dan Indikator Instrumen Sikap dalam Memelihara Lingkungan
Gambar 1. Distribusi Data Sikap Memelihara Lingkungan

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian masih pada kotak dialog yang sama klik tombol “Add” dan pilih file yang akan ditampilkan.. Klik

STRATEGI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MEMBINA AKHLAK GENERASI 2 (STUDI KASUS DI SMAN 26 BANDUNG).. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Untuk memperjelas kajian ini, maka pembahasan tesis ini hanya akan mengkaji dan menganalisis kearifan ekologis Osman Bakar dalam perspektif filsafat sainsnya,

Oleh karena nilai P untuk Formula II > 0,05, maka hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada ukuran droplet sediaan CC Cream Formula II selama waktu

chinensis yang terperangkap pada pertanaman bawang yang diaplikasi perangkap likat kuning (P1) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perangkap likat transparan (P2)

Bluetooth Low Energy menggunakan daya yang lebih rendah daripada Bluetooth standar dan digunakan dalam perangkat keras seperti pelacak kebugaran, jam tangan cerdas, dan

(6) Bantuan Pemerintah dalam bentuk pemberian bantuan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g, bantuan operasional potensi dan sumber

Pada rangkaian receiver, digunakan lima buah photodetector yang terpasang di purwarupa robot mobil, empat buah photodetector yang terletak di sisi atas, bawah , kanan, dan