• Tidak ada hasil yang ditemukan

STABILITAS DAN ADAPTABILITAS HASIL DAN K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STABILITAS DAN ADAPTABILITAS HASIL DAN K"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

Chindy Ulima Zanetta

150320120002

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Pertanian Program Pendidikan Magister Program Studi Agronomi

Konsentrasi Pemuliaan Tanaman

PROGRAM MAGISTER AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

(2)
(3)
(4)

ABSTRACT

Stability and Adaptability on Yield and Yield Components of Potential Genotypes Black Soybean in Java

Black soybean is a strategic and potential commodity. Trough a selection of the representative environments,explore the potential of high yield, and observe the effect of genotype x environment interactions is expected to obtained a high yielding genotype of black soybean. The objectives of this study were to obtain information about the effect of genotype x environment interaction on the performances of black soybean genotypes and to obtain black soybean genotypes are stable and widely adapted or adapt to specific region. The experiment were conducted at 10 locations across Java, i.e. Bogor, Cianjur, Jatinangor 1 and 2, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Ngawi, and Banyuwangi, from March 2012 until October 2013. A randomized complete block design with four replicates at each environment was employed with seven genotypes as treatment. Joint regression analysis, AMMI biplot, and YSi were applied to analyze stability and adaptability. The result showed that the whole trait of yield and yield components of black soybean genotypes affected by genotype x environment interactions. Genotypes CK 6 and KA 2 regarded as the most stable and widely adapted for traits of seed weight per plant, 100 seed weight, and yield. Genotypes CK 5, CK 12, KA 6, Cikuray, and Detam 1 showed adaptability in specific region.

(5)

ABSTRAK

Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil dan Komponen Hasil Genotip Potensial Kedelai Hitam di Pulau Jawa

Kedelai hitam merupakan komoditas yang strategis dan potensial. Melalui seleksi pada lingkungan yang representatif, menggali potensi hasil tinggi, dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotip x lingkungan diharapkan diperoleh genotip unggul kedelai hitam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotip x lingkungan terhadap penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dan mendapatkan genotip kedelai hitam yang stabil dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah. Percobaan dilaksanakan di 10 lokasi yang tersebar di pulau Jawa, yaitu Bogor, Cianjur, Jatinangor 1 dan 2, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Ngawi, dan Banyuwangi, mulai dari Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Percobaan di setiap lokasi menggunakan metode eksperimen berdasarkan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak empat kali dengan tujuh genotip potensial sebagai perlakuan. Analisis stabilitas dan adaptabilitas hasil menggunakan tiga metode, yaitu regresi linier Eberhart Russell, AMMI biplot, dan YSi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh karakter hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan. Genotip yang memiliki bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hasil paling stabil dan beradaptasi luas adalah CK 6 dan KA 2. Genotip CK 5, CK 12, KA 6, Cikuray, dan Detam 1 beradaptasi spesifik wilayah.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil dan Komponen Hasil Genotip Potensial Kedelai Hitam di Pulau Jawa”. Selama penelitian dan penyusunan tesis

ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik berupa saran, bimbingan, dan masukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr.Sc.Agr. Agung Karuniawan, Ir., M.Sc.Agr., selaku ketua tim pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Meddy Rachmadi, Ir., MS., selaku anggota tim pembimbing yang telah

mengarahkan, membimbing, dan memberi saran selama penyusunan hingga selesainya tesis ini.

3. Dedi Ruswandi, Ir., M.Sc., Ph.D., selaku penelaah pertama, Noladhi

Wicaksana, SP., MP., Ph.D., selaku penelaah kedua dan Dr. Neni Rostini, Ir., MS., selaku penelaah ketiga yang telah memberikan saran dan masukan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Budi Waluyo, SP., MP., yang telah membantu penulis selama penelitian

(7)

5. Konsorsium kedelai melalui Balitkabi Malang T.A. 2012/2013 yang telah mendanai penelitian.

6. Seluruh peneliti tim underutilized crops yang telah membantu selama

penelitian hingga selesainya tesis ini.

7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa pascasarjana khususnya bidang kajian

pemuliaan tanaman angkatan 2012, yaitu Anna Aina Roosda, SP., dan Heri Syahrian Khomaeni, SP.

8. Kedua orang tuaku dan adik tercinta yang selalu memberikan do’a, kasih

sayang, perhatian, dukungan, dan bantuan hingga penulis mampu menyelesaikan studi magister.

Akhir kata semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pertanian khususnya kajian pemuliaan tanaman dan bagi pembaca.

Bandung, 21 Juli 2014

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS .7 2.1 Kajian Pustaka ...7

2.2 Kerangka Pemikiran ...19

2.3 Hipotesis ...23

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...24

3.1 Tempat dan Waktu Percobaan ...24

3.2 Bahan dan Alat Percobaan ...24

3.3 Metode Penelitian ...25

3.4 Pelaksanaan Percobaan ...25

3.5 Variabel Pengamatan ...27

3.6 Analisis Data ...29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...39

4.1 Keragaan Lingkungan ...39

4.2 Keragaman Komponen Hasil dan Hasil Kedelai Hitam ...45

4.3 Interaksi Genotip x Lingkungan ...47

(9)

4.5 Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil Kedelai Hitam ...59

4.6 Hubungan Hasil dan Parameter Stabilitas ...77

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...85

5.1 Simpulan ...85

5.2 Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA ...87

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar genotip kedelai hitam yang digunakan ... 25 Tabel 2. Karakter hasil dan komponen hasil yang diamati... 28 Tabel 3. Analisis ragam rancangan acak kelompok untuk masing-masing

lokasi... 29 Tabel 4. Analisis ragam gabungan dengan mengintegrasikan model 1) analisis regresi gabungan dan 2) analisis AMMI ... 30 Tabel 5. Ringkasan metode analisis stabilitas dan adaptabilitas ... 37

Tabel 6. Kuadrat tengah genotip sembilan karakter komponen hasil dan

hasil kedelai hitam pada 10 lokasi ... 46 Tabel 7. Analisis homogenitas ragam galat sembilan karakter kedelai

hitam di 10 lokasi ... 48 Tabel 8. Kuadrat tengah genotip analisis ragam gabungan komponen hasil

dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI... 51 Tabel 9. Kontribusi sumber ragam komponen hasil dan hasil tujuh genotip

kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI ... 52 Tabel 10. Penampilan bobot biji per tanaman (g) tujuh genotip kedelai di 10

lingkungan ... 56 Tabel 11. Penampilan bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai di 10

lingkungan ... 57 Tabel 12. Penampilan hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ... 58 Tabel 13. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas bobot biji per

(11)

Tabel 16. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter bobot biji per tanaman (g) di 10 lokasi ... 65 Tabel 17. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV),

dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter bobot 100 biji (g) di 10 lokasi... 67 Tabel 18. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV),

dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter hasil (t/ha) di 10 lokasi ... 71 Tabel 19. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot biji per tanaman (g)

tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi ... 74 Tabel 20. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot 100 biji (g) tujuh

genotip kedelai hitam di 10 lokasi ... 74 Tabel 21. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) tujuh genotip kedelai hitam

di 10 lokasi ... 75 Tabel 22. Stabilitas dan adaptabilitas hasil genotip berdasarkan tiga metode... 76 Tabel 23. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter

bobot biji per tanaman (g) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam ... 78 Tabel 24. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter

bobot 100 biji (g) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam ... 80 Tabel 25. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip, diadaptasi dari Finlay dan Wilkinson (1963). ... 15

Gambar 2. Interpretasi parameter regresi bi dan (Becker dan Leon,

1988) ... 16 Gambar 3. Curah hujan per bulan (mm) dan curah hujan harian (mm)

selama percobaan di 10 lokasi ... 42 Gambar 4. Suhu udara maksimum dan minimum selama percobaan di 10

lokasi ... 43 Gambar 5. Kelembaban udara (%) selama percobaan di 10 lokasi ... 44 Gambar 6. Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk bobot biji per

tanaman (g) 7 genotip kedelai hitam di 10 lokasi. ... 66 Gambar 7. Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk bobot 100 biji (g)

tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi. ... 69 Gambar 8. Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk hasil (t/ha) tujuh

genotip kedelai hitam di 10 lokasi. ... 72 Gambar 9. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas

dan adaptabilitas karakter bobot biji per tanaman tujuh genotip kedelai hitam ... 79 Gambar 10. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas

dan adaptabilitas karakter bobot 100 biji tujuh genotip kedelai hitam ... 81 Gambar 11. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Deskripsi lokasi percobaan ... 96 Lampiran 2. Deskripsi varietas unggul 1 yang digunakan ... 97 Lampiran 3. Deskripsi varietas unggul 2 yang digunakan ... 98 Lampiran 4. Penampilan umur berbunga (hst) tujuh genotip kedelai di 10

lingkungan ... 99 Lampiran 5. Penampilan umur panen (hst) pada tujuh genotip kedelai di 10

lingkungan ... 100 Lampiran 6. Penampilan tinggi tanaman (cm) pada tujuh genotip kedelai di

10 lingkungan ... 101 Lampiran 7. Penampilan jumlah polong pertanaman tujuh genotip kedelai di

10 lingkungan ... 102 Lampiran 8. Penampilan jumlah biji pertanaman tujuh genotip kedelai di 10

lingkungan ... 103 Lampiran 9. Penampilan bobot biji perplot (kg) tujuh genotip kedelai di 10

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) merupakan salah satu komoditas

tanaman yang penting dan strategis. Di beberapa negara, kedelai hitam telah digunakan sebagai sumber pangan yang sangat baik untuk mencegah penyakit (Xu dan Chang, 2008). Studi saat ini menunjukkan bahwa kedelai hitam kaya akan

sumber -tokoferol dan fenol (isoflavon, flavonol, proantosianidin, dan

antosianin), besarnya kandungan tersebut tergantung varietasnya (Correa et al.,

2010). Di Indonesia kedelai hitam banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap. Kedelai hitam lebih disukai karena dapat memberikan warna hitam alami pada kecap yang dihasilkan. Kecap yang dibuat dari kedelai hitam memiliki kandungan protein dan nutrisi yang lebih baik dibanding dengan kecap yang dihasilkan dari kedelai kuning (Adie et al., 2009).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, bertambahnya jumlah penduduk, dan bertambahnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai hitam akan meningkatkan kebutuhan kedelai hitam di Indonesia. Untuk menunjang kebutuhan tersebut, maka diperlukan adanya varietas

unggul kedelai hitam. Sejak 1918 – 2012 pemerintah Indonesia telah melepas 74

(15)

dibandingkan dengan varietas unggul kedelai kuning. Hal ini terjadi karena hasil penelitian terhadap kedelai hitam jauh lebih rendah dibanding kedelai kuning.

Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai hitam adalah dengan perakitan varietas unggul kedelai hitam baru. Perakitan varietas unggul kedelai hitam dilakukan melalui program pemuliaan tanaman. Kegiatan pemuliaan tanaman diharapkan dapat mendapatkan genotip yang terbaik melalui seleksi pada lingkungan yang representatif, menggali potensi hasil tinggi, dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotip dan lingkungan.

Interaksi genotip x lingkungan menjadi hal penting dan mendasar dalam perakitan varietas unggul. Interaksi genotip x lingkungan menghasilkan perbedaan ekspresi genotip pada suatu rentang lingkungan (Basford dan Cooper, 1998). Perbedaan respons karakter genotip tersebut, menyebabkan peringkat genotip dapat sangat berubah pada beberapa lingkungan.

Evaluasi terhadap stabilitas dan daya adaptasi dapat dipenuhi dengan pengulangan plot pengujian, evaluasi karakter, dan seleksi genotip-genotip yang mempunyai peringkat teratas pada setiap pengujian pada rentang lingkungan atau

musim tertentu (Waluyo et al., 2006). Stabilitas berkaitan dengan konsistensi

penampilan hasil suatu genotip pada beberapa lingkungan yang berbeda. Kemampuan adaptasi suatu genotip berkaitan dengan wilayah atau lingkungan tumbuh yang direspons secara optimal yang dikonversi menjadi hasil tinggi.

(16)

spesifik wilayah. Adaptasi luas memberikan stabilitas terhadap keragaman ekosistem, tetapi adaptasi spesifik dapat memberikan keuntungan hasil yang

signifikan pada lingkungan tertentu (Wade et al., 1999). Pengujian multilokasi

memungkinkan untuk identifikasi genotip yang mempunyai penampilan konsisten dari tahun ke tahun (stabilitas temporal) dan yang konsisten dari lokasi ke lokasi (stabilitas spasial) (Kang, 2002). Stabilitas temporal adalah yang diinginkan oleh petani, sedangkan stabilitas spasial bermanfaat bagi pemulia. Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas dapat ditentukan melalui pendekatan metode statistik (Lin et al., 1986).

Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis interaksi genotip x lingkungan, untuk memilih genotip yang memiliki penampilan konsisten di

beberapa lingkungan, dan untuk mengetahui daya adaptasi (Lin et al., 1986;

Becker dan Leon, 1988). Pendekatan statistik yang pertama kali digunakan adalah regresi linier (Yates and Cochran, 1938). Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russell (1966), dan Perkins dan Jinks (1968) memodifikasi pendekatan regresi, diharapankan hasil memberikan respons yang linier terhadap lingkungan. Metode statistik lain yang banyak mendapatkan perhatian adalah model additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) (Gauch dan Zobel, 1996). Model ini menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama. Untuk menggambarkan hubungan antara pengaruh genotip dan pengaruh interaksi genotip x lingkungan dengan memplotkan dua komponen AMMI

pertama yang divisualisasikan dalam bentuk biplot (Yan et al., 2000). Tampilan

(17)

penampilan genotip pada lingkungan yang berbeda, dan pengelompokan lingkungan pada sektor yang sama (Annicchiarico, 2002).

Varietas unggul yang diharapkan adalah mampu merespons lingkungan tumbuh secara optimal yang ditandai dengan hasil panen tinggi dan stabil. Untuk memperoleh varietas atau genotip tersebut, maka diperlukan seleksi secara simultan pada rentang lingkungan yang luas. Kang (1993) mengembangkan metode untuk seleksi terhadap genotip hasil tinggi dan stabil. Metode ini mengintegrasikan hasil dan stabilitas menjadi satu pendekatan statistik yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi.

Laboratorium pemuliaan tanaman Unpad memiliki koleksi plasma nutfah kedelai kedelai hitam yang terdiri dari varietas lokal, hasil seleksi galur murni, dan aksesi-aksesi yang dikelola oleh lembaga penelitian. Koleksi plasma nutfah tersebut dikelola di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unpad. Pada penelitian ini digunakan tujuh genotip kedelai hitam, terdiri dari lima galur harapan Unpad dan dua varietas unggul nasional.

(18)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1) Apakah penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam

dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan?

2) Apakah ada genotip kedelai hitam yang memiliki stabilitas hasil tinggi dan

beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotip x lingkungan

terhadap penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam.

2) Untuk mendapatkan genotip kedelai hitam yang memiliki stabilitas hasil

tinggi dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Genotip-genotip berdaya hasil tinggi, stabil, beradaptasi luas atau beradaptasi

spesifik wilayah dapat dijadikan calon varietas unggul untuk pelepasan varietas tanaman sebagai jaminan kontinyuitas produksi dan penyediaan bahan baku industri khususnya industri kecap.

2. Informasi interaksi genotip x lingkungan, stabilitas hasil, serta daya adaptasi

(19)

lingkungan, dan pemilihan wilayah-wilayah untuk penanaman kedelai hitam di Pulau Jawa.

3. Informasi stabilitas dan adaptabilitas kedelai hitam pada wilayah yang

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Lingkungan Tumbuh dan Wilayah Produksi Tanaman Kedelai di

Indonesia

Iklim tropis seperti di Indonesia cocok untuk pertumbuhan kedelai, dan penanamannya bisa dilakukan sepanjang musim. Lingkungan tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Komponen lingkungan yang menentukan produksi kedelai menurut Sumarno dan Manshuri (2007) adalah faktor iklim (suhu, lama penyinaran, hujan, dan distribusi hujan) dan kesuburan tanah dan biologi (tekstur, pH, dan bahan organik).

Tanaman kedelai sensitif terhadap panjang hari. Lama penyinaran adalah faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif sebelum tanaman mulai berbunga (Martin, 1998). Kedelai diklasifikasikan sebagai tanaman berhari pendek, maka tidak dapat berbunga jika panjang hari melebihi 16 jam dan akan lebih cepat berbunga ketika lama penyinaran kurang dari 12 jam (Adie dan Krisnawati, 2014). Untuk pertumbuhan yang cepat, suhu udara yang diperlukan

antara 25 - 30C (Beversdorf, 1993).

(21)

ton. Wilayah produksi tertinggi sebagian besar dari Pulau Jawa, akan tetapi wilayah lain di luar Jawa juga mempunyai potensi untuk pengembangan kedelai.

Percobaan ini dilakukan pada lahan, elevasi, dan jenis tanah yang bervariasi. Lahan yang digunakan berupa lahan sawah dan lahan tegalan. Untuk wilayah Jawa bagian Barat, percobaan dilakukan di lokasi Bogor, Cianjur, Jatinangor, Majalengka, dan Cirebon, dengan elevasi rendah sampai dengan tinggi. Lokasi yang menggunakan lahan sawah untuk penanaman adalah Cianjur dan Majalengka dengan jenis tanah regosol.

Cianjur termasuk dataran tinggi (750 m dpl) dan Majalengka termasuk dataran rendah (56 m dpl). Penanaman di lokasi Bogor, Jatinangor, dan Cirebon pada lahan tegalan dengan jenis tanah berturut-turut latosol, inceptisol, dan entisol. Bogor dan Cirebon termasuk dataran rendah dengan elevasi 100 m dpl (Bogor) dan 15 m dpl (Cirebon), sedangkan Jatinangor termasuk dataran tinggi dengan elevasi 780 m dpl.

Untuk wilayah Jawa bagian Tengah diwakili oleh Yogyakarta, lahan yang digunakan adalah lahan tegalan dengan jenis tanah latosol. Elevasi lokasi Yogyakarta 200 m dpl, yaitu termasuk dataran rendah. Wilayah Jawa bagian Timur, percobaan dilakukan di lokasi Madiun, Ngawi, dan Banyuwangi. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah dengan jenis tanah vertisol untuk lokasi Madiun, regosol kelabu untuk Ngawi, dan asosiasi latosol untuk lokasi Banyuwangi. Ketiga lokasi di Jawa Timur ini termasuk dataran rendah dengan

elevasi dari 36 – 75 m dpl.

(22)

2.1.3 Interaksi Genotip x Lingkungan

Penampilan individu tanaman adalah hasil dari konstitusi genetik, lingkungan tumbuh, dan interaksi keduanya. Interaksi genotip x lingkungan diartikan sebagai kegagalan suatu genotip untuk mempertahankan penampilannya pada lingkungan yang berbeda (Baker, 1988). Adanya interaksi genotip x lingkungan mengakibatkan penampilan genotip tidak stabil. Interaksi genotip x lingkungan menjadi tantangan dan konsekuensi bagi pemulia dalam mengembangkan varietas unggul.

Penting untuk memahami genotip dan lingkungan yang menyebabkan interaksi genotip x lingkungan, termasuk rancangan idiotipe, seleksi tetua berdasarkan karakter, dan seleksi berdasarkan hasil (Jackson et al., 1996; Yan dan Hunt, 1998). Pengetahuan mengenai penyebab interaksi genotip x lingkungan digunakan untuk memilih lokasi pengujian, untuk seleksi adaptasi luas atau adaptasi spesifik wilayah, dan menentukan pengujian multilokasi untuk jumlah genotip yang banyak atau sedikit (Yan et al., 2007). Oleh karena itu, biaya untuk pengujian akan lebih berkurang dengan mengurangi lokasi uji yang tidak sesuai.

(23)

dipengaruhi oleh faktor genetik dan interaksi genotip x lingkungan (Baihaki et al., 1976; Allard dan Bradshaw, 1964).

Bilbro dan Ray (1976) mengemukakan bahwa interaksi genotip x lingkungan akan menjadi optimal dan potensial jika (i) tingkat hasil genotip yang mempunyai hasil di atas rata-rata, (ii) adaptasi, yaitu bentuk lingkungan yang dapat memunculkan genotip-genotip terbaik, dan (iii) stabilitas, yaitu konsistensi hasil suatu genotip dibandingkan dengan genotip lain. Semua aspek ini akan terintegrasi dalam satu pengukuran suatu karakter pada suatu genotip.

Lingkungan juga harus diperhatikan dalam proses seleksi genotip untuk perakitan varietas unggul. Lingkungan yang sesuai akan mendukung keberhasilan seleksi genotip-genotip terbaik. Wilayah penanaman dibagi ke dalam beberapa area kecil pada suatu mega-lingkungan yang dapat mendukung nilai heritabilitas lebih tinggi, kemajuan pemulia untuk mencapai tujuan lebih cepat, potensi daya saing produsen benih lebih kuat, dan hasil yang tinggi di tingkat pengguna (Gauch dan Zobel, 1997). Penerapan metode statistik untuk klasifikasi lingkungan menjadi wilayah - wilayah kecil dapat ditentukan dengan cara analisis klaster, yaitu mengkategorikan lingkungan menggunakan analisis komponen utama

(principal component analysis) (Carver et al., 1987; Geng et al., 1990; Kearsey

dan Pooni, 1996) dan model additive main effect and multiplicative interactions

(AMMI) yang menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama

(24)

2.1.4 Stabilitas dan Adaptabilitas

Keberhasilan suatu genotip atau varietas adalah yang memiliki hasil dan karakter agronomi baik. Selain itu, penampilannya stabil pada lingkungan yang luas atau spesifik lingkungan tertentu. Stabilitas hasil adalah hal penting bagi pemulia, dan berkaitan dengan kemampuan adaptasi tanaman. Beberapa

pengertian dan konsep stabilitas telah dijelaskan selama bertahun-tahun (Lin et

al., 1986; Becker dan Leon, 1988).

Pengertian stabilitas bersifat relatif, tergantung tujuan akhir dan karakter yang menjadi pertimbangan pemulia. Dua konsep stabilitas dikemukakan Becker dan Leon (1988), yaitu konsep statis dan konsep dinamis. Stabilitas statis adalah penampilan hasil suatu genotip cenderung konstan pada semua lingkungan. Stabilitas dinamis menunjukkan bahwa penampilan genotip stabil, tetapi untuk beberapa lingkungan saja. Stabilitas statis sejalan dengan konsep biologis, dan stabilitas dinamis sejalan dengan konsep agronomis yang dikemukakan oleh Becker (1981).

Lin et al. (1986) mengkategorikan tiga konsep stabilitas, yaitu:

1. Tipe 1. Jika varians genotip di antara lingkungan kecil, maka genotip

dianggap stabil. Berdasarkan tipe ini, genotip memiliki penampilan yang sama pada lingkungan yang berbeda. Tipe 1 termasuk dalam konsep stabilitas statis atau konsep biologi menurut Becker dan Leon (1988). Parameter yang digunakan pada tipe stabilitas ini adalah koefisien variabilitas (CVi) (Francis

(25)

2. Tipe 2. Genotip dianggap stabil jika respons terhadap lingkungan sejajar dengan respons rata-rata semua genotip. Menurut Becker dan Leon (1988) tipe ini termasuk dalam stabilitas dinamis atau konsep agronomis. Parameter untuk mengukur stabilitas yang sesuai dengan tipe ini adalah koefisien regresi (bi)

(Finlay dan Wilkinson, 1963) dan Shukla (1972) varians stabilitas ( ) serta

ecovalence (Wricke, 1962) yang memberikan hasil sama untuk peringkat

genotip (Becker dan Leon, 1988).

3. Tipe 3. Genotip dianggap stabil jika kuadrat tengah galat dari model regresi

pada indeks lingkungan kecil. Indeks lingkungan adalah rata-rata hasil seluruh genotip di setiap lokasi dikurangi rata-rata umum seluruh genotip di seluruh lokasi. Tipe 3 merupakan bagian dari konsep stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon (1988). Untuk mengukur stabilitas tipe 3 dapat digunakan model regresi linier Eberhart dan Russell (1966) dan metode Perkins dan Jinks (1968).

Konsep stabilitas Tipe 4 dikemukakan Lin dan Binns (1991) yang sangat terkait dengan konsep statis. Stabilitas Tipe 4 lebih ditekankan pada konsistensi hasil secara waktu, yaitu selama siklus tanaman dalam lokasi yang sama. Sedangkan Tipe 1 berkaitan dengan konsistensi hasil pada kedua hal yaitu waktu dan lokasi, baik pada lokasi yang berbeda ataupun sama.

(26)

menunjukkan tingkat adaptasi yang baik pada lingkungan yang luas (Annicchiarico, 2002). Dalam konteks pemuliaan tanaman, adaptabilitas lebih berhubungan dengan kondisi daripada proses, yang menunjukkan genotip memiliki potensi hasil tinggi pada suatu lingkungan atau kondisi tertentu (Cooper dan Byth, 1996). Kemampuan adaptasi sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman, tujuannya adalah untuk mendapatkan genotip yang berpenampilan baik hampir di seluruh lingkungan atau spesifik wilayah (Annicchiarico, 2002).

Menurut Simmonds (1962) adaptasi memiliki empat aspek, sebagai berikut:

1. Genotip beradaptasi spesifik, yaitu genotip yang mampu beradaptasi pada

lingkungan yang terbatas.

2. Genotip beradaptasi umum, yaitu kemampuan genotip beradaptasi pada

berbagai lingkungan.

3. Populasi beradaptasi spesifik, merupakan aspek adaptasi spesifik pada

populasi heterogen yang disebabkan oleh interaksi antar komponen bukan berasal dari komponen sendiri.

4. Populasi beradaptasi umum adalah kapasitas populasi heterogen untuk

beradaptasi pada berbagai lingkungan.

2.1.5 Metode Statistik untuk Identifikasi Stabilitas dan Adaptabilitas

(27)

parametrik, non parametrik, dan multivariat. Parametrik lebih umum digunakan dan melibatkan hubungan antara respons genotip terhadap kondisi lingkungan. Pendekatan non parametrik mendefinisikan genotip dan lingkungan dalam konteks faktor biotik dan abiotik. Teknik multivariat pada analisis stabilitas memberikan informasi mengenai respons nyata genotip terhadap lingkungan.

2.1.5.1 Metode Regresi Linier

Finlay dan Wilkinson (1963) menentukan koefisien regresi dengan meregresikan rata-rata genotip pada rata-rata lingkungan, dan memplotkan koefisien regresi genotip terhadap rata-rata hasil genotip. Gambaran secara umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip dapat dilihat pada Gambar 1. Jika koefisien regresi sama dengan 1 mengindikasikan stabilitas. Ketika genotip stabil dan memiliki hasil tinggi, maka genotip tersebut adaptabilitasnya baik. Ketika genotip stabil namun memiliki hasil yang rendah, maka genotip tersebut adaptabilitasnya buruk pada semua lingkungan. Jika koefisien regresi > 1, genotip sensitif terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi spesifik pada lingkungan yang produktif. Nilai koefisien regresi < 1, genotip tahan terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal.

(28)

Gambar 1. Gambaran umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip, diadaptasi dari Finlay dan Wilkinson (1963).

Menurut Finlay dan Wilkinson (1963), genotip yang memiliki nilai bi = 0 adalah stabil (konsep statis), sedangkan menurut Eberhart dan Russell (1966) genotip yang stabil adalah memiliki nilai bi = 1 (konsep dinamis). Koefisien

regresi (bi) dianggap sebagai parameter respons dan sebagai parameter

(29)

Gambar 2. Interpretasi parameter regresi bi dan Sd2 (Becker dan Leon, 1988)

Metode regresi linier telah banyak digunakan oleh pemulia tanaman dalam menghitung stabilitas dan adaptabilitas. Metode ini termasuk dalam metode stabilitas parametrik. Kelemahan dari metode regresi linier, rata-rata genotip (variabel x) dan rata-rata lingkungan (variabel y) tidak independen terhadap hubungan variabel x dan variabel y yang lainnya. Metode ini mengasumsikan hubungan linier antara interaksi dan lingkungan, yang tidak selalu terjadi dan hasilnya mungkin kurang akurat (Westcott, 1986).

2.1.5.2 Metode Additive main effects and multiplicative interaction method

(AMMI) dan Biplot

(30)

analisis untuk mendiagnosa model lain sebagai sub kasus ketika model-model tersebut lebih baik untuk set data tertentu (Gauch, 1988). Kedua, AMMI menjelaskan interaksi genotip x lingkungan dan merangkum pola dan hubungan

genotip dan lingkungan (Zobel et al., 1988; Crossa, 1990). Ketiga, untuk

meningkatkan akurasi dalam estimasi hasil. Jika akurasi estimasi hasil meningkat,

hal ini setara dengan meningkatkan jumlah ulangan (Zobel et al., 1988; Crossa,

1990).

Model AMMI menggabungkan analisis ragam genotip dan efek utama lingkungan dengan analisis komponen utama dari interaksi genotip x lingkungan. Bermanfaat untuk memahami interaksi genotip x lingkungan yang kompleks. Hasil dari analisis AMMI dapat digambarkan dalam bentuk biplot yang memperlihatkan efek utama dan interaksi terhadap genotip dan lingkungan.

Analisis komponen utama (PCA) dari AMMI membagi interaksi genotip x lingkungan menjadi beberapa sumbu ortogonal, yaitu analisis interaksi komponen utama (IPCA). Gauch dan Zobel (1996) menunjukkan bahwa model AMMI 1 dengan IPCA 1 dan AMMI 2 dengan IPCA 1 dan IPCA 2 biasa digunakan dan model tersebut representasi grafis dari sumbu. Jika model AMMI 3 atau lebih

tinggi lagi digunakan untuk data pertanian, sumbu IPCA akan didominasi noise

dan tidak memiliki nilai prediktif (Van Eeuwijk, 1995).

(31)

menunjukkan bahwa genotip tersebut beradaptasi spesifik. AMMI terbukti memberikan penjelasan biologis yang lebih memadai tentang interaksi genotip x lingkungan daripada menggunakan model regresi (Crossa, 1990; Gauch dan Zobel, 1996; Annicchiarico, 1997).

2.1.5.3 Metode Yield Stability Statistic (YSi)

Varietas berdaya hasil tinggi akan lebih dipilih oleh petani jika ada jaminan sampai batas tertentu, bahwa varietas tersebut konsisten dari tahun ke tahun pada beberapa lokasi (Kang dan Pham, 1991). Kang dan Pham (1991) membahas beberapa metode seleksi secara simultan hasil dan stabilitas dan hubungan keduanya. Untuk itu Kang (1993) membahas mengenai alasan untuk memasukkan stabilitas dalam proses seleksi.

Pengembangan dan penggunaan YSi telah memungkinkan penggabungan stabilitas dalam proses seleksi (Kang, 1993). Metode YSi yang dijelaskan oleh Kang (1993) dan diaplikasikan untuk seleksi genotip yang stabil dan berdaya hasil tinggi. Komponen stabilitas YSi adalah berdasarkan Shukla (1972) varians

stabilitas ( ). Lin et al. (1986) mengklasifikasikan sebagai tipe-2, yaitu

konsep stabilitas dinamis, dimana genotip dianggap stabil jika responsnya terhadap lingkungan sejalan dengan respons rata-rata seluruh genotip dalam perlakuan.

(32)

pemulia dalam memilih tetua untuk meningkatkan konsentrasi protein dan stabilitas dengan menggabungkan galur yang stabil dengan galur yang stabil dan protein tinggi. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa metode statistik yang sama dapat digunakan untuk pengujian lain yang akan membantu dalam memberikan rekomendasi kepada produsen kedelai.

2.2 Kerangka Pemikiran

Penampilan hasil tanaman kedelai hitam pada dasarnya merupakan potensi genetik yang dipengaruhi oleh faktor genotip, lingkungan, dan interaksi genotip x lingkungan yang diformulasikan sebagai : P = G + E + GE. Allard (1960) mengemukakan bahwa suatu karakter dapat berekspresi optimal pada suatu lingkungan yang mendukung jika gen atau gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut ada pada tanaman dan merespons lingkungan secara optimal. Perubahan lingkungan direspons secara beragam oleh genotip dan bervariasi antar genotip yang berbeda.

(33)

Mekanisme tanggapan dan isyarat secara genetik sangat kompleks, bervariasi pada tingkatan efisiensi dalam merespons lingkungan, dan mekanisme tersebut berbeda pada setiap genotip.

Hasil penelitian Lawn dan James (2011), penanaman kedelai pada wilayah yang berbeda dan waktu yang berbeda menunjukkan adanya respons fenologi yang beragam. Respons genotip ini dijadikan dasar sebagai pengelolaan praktis agronomis untuk memilih genotip yang sesuai, dan memilih wilayah

pengembangan kedelai yang sesuai. Menurut Boote et al. (2001), model

pertumbuhan tanaman secara parsial dapat digunakan ulang untuk mengkaji interaksi genotip x lingkungan jika penelitian dilakukan pada rentang lokasi dan cuaca yang sangat beragam, dan model tanaman dapat digunakan untuk membantu pemulia tanaman menargetkan perbaikan kultivar untuk lingkungan yang spesifik.

Tanggapan karakter suatu genotip terhadap perubahan lingkungan dapat bersifat stabil atau secara relatif berubah. Stabilitas atau perubahan ekspresi karakter adalah upaya tanaman untuk memanfaatkan kemampuan lingkungan

secara optimal. Heinrich et al. (1983) mengungkapkan mekanisme stabilitas

muncul melalui heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap cekaman lingkungan, dan daya pemulihan yang cepat terhadap tekanan lingkungan. Kemampuan genotip untuk mempertahankan penampilan menurut

Allard dan Bradshaw (1964) didasarkan pada fenomena homeostatis, yaitu

(34)

yang diekspresikan pada penampilan yang stabil atau hanya mampu beradaptasi pada lingkungan lokal dengan daya dukung yang relatif optimal untuk genotip tersebut. Kemampuan menyesuaikan diri suatu genotip terhadap fluktuasi lingkungan ditentukan oleh plastisitas tanaman, dan konsep ini dikemukakan oleh Bradshaw (1965). Konsep ini mengemukakan bahwa perubahan penampilan fenotip dipicu oleh adanya variasi dimensi ruang dan waktu.

Lingkungan yang berpengaruh terhadap penampilan karakter dan genotip tanaman secara garis besar ada dua, yaitu lingkungan yang dapat diprediksi dan lingkungan yang tidak dapat diprediksi (Allard dan Bradshaw, 1964). Lingkungan yang dapat diprediksi misalnya jenis iklim dan tanah, pemupukan, panjang hari, waktu tanam, metode panen, dan praktek agronomi lainnya. Lingkungan yang tidak dapat diprediksi meliputi fluktuasi cuaca, seperti jumlah dan distribusi hujan, temperatur, dan faktor lainnya yang tidak dapat diduga. Perbedaan dalam plastisitas untuk karakter yang sama di lingkungan beragam ditentukan oleh cekaman yang diterima oleh karakter (Couso dan Fernández, 2012).

(35)

Cady, 1979). Penelitian Azizah et al. (2011) pada kedelai hitam yang ditanam pada lingkungan yang beragam, menunjukkan adanya interaksi genotip x lingkungan dan mengidentifikasi genotip-genotip yang stabil dan beradaptasi luas.

Pada pemuliaan tanaman, interaksi antara genotip x lingkungan ini memberikan peluang bagi pemulia tanaman untuk merakit varietas tanaman yang dapat beradaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan tertentu. Perubahan lingkungan yang tidak dapat diprediksi menyebabkan perubahan hasil yang tidak bisa diprediksi pada tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan perakitan varietas yang beradaptasi luas dan mampu merespons perubahan lingkungan secara optimal dengan mengkonversi menjadi hasil.

Pada program pemuliaan tanaman, genotip yang berdaya hasil tinggi, beradaptasi luas, atau beradaptasi spesifik wilayah sangat diperlukan untuk menjaga kontinyuitas produksi. Indentifikasi genotip-genotip yang mampu merespons lingkungan menjadi hasil tinggi telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan bantuan statistik, dengan interpretasi beragam berkenaan dengan genotip dan respons genotip terhadap lingkungan.

Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas telah dikelompokkan berdasarkan

pendekatan metode statistik oleh Lin et al. (1986). Walaupun demikian,

(36)

penentuan stabilitas, adaptabilitas, dan rata-rata hasil tinggi didasarkan pada pendekatan regresi, aditif-multifikatif, dan stabilitas genotip berdaya hasil tinggi.

Eberhart dan Russell (1966) menggunakan pendekatan regresi linier untuk menduga respons genotip terhadap lingkungan dengan interpretasi adanya genotip yang stabil, genotip beradaptasi spesifik pada lingkungan produktif, genotip beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal, dan genotip tidak stabil. Gauch dan Zobel (1999) menggunakan pendekatan model aditif dan multifikatif, interpretasi yang diperoleh ditujukan pada genotip beradaptasi luas dan genotip beradaptasi spesifik wilayah. Pendekatan stabilitas hasil yang dikemukakan oleh Kang (1993), menjelaskan genotip yang stabil dan memiliki daya hasil tinggi. Penggunaan metode-metode pendugaan tersebut diharapkan mampu mengidentifikasi genotip-genotip yang berdaya hasil tinggi, beradaptasi luas maupun beradaptasi spesifik wilayah, serta mengidentifikasi wilayah-wilayah pengembangan kedelai hitam di Pulau Jawa.

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

1) Penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh

interaksi genotip x lingkungan.

2) Terdapat genotip kedelai hitam yang stabil dan beradaptasi luas atau yang

(37)

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Percobaan

Percobaan dilaksanakan di 10 lingkungan yang tersebar di Pulau Jawa. Tujuh lokasi, yaitu Kab. Cianjur, Kab. Bogor, Kab. Majalengka, Kab. Gunung Kidul, Kab. Ngawi, Kab. Madiun, dan Kab. Banyuwangi dilakukan oleh Konsorsium Kedelai. Tiga lokasi lain, yaitu Kab. Sumedang di dua lokasi dan Kab. Cirebon dilakukan oleh laboratorium pemuliaan tanaman Unpad. Deskripsi lokasi percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Percobaan dilakukan mulai dari Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Keseluruhan analisis dan interpretasi data dilakukan oleh laboratorium pemuliaan tanaman Unpad.

3.2 Bahan dan Alat Percobaan

Bahan yang digunakan adalah tujuh genotip potensial kedelai hitam. Lima genotip dari genotip-genotip tersebut merupakan galur-galur harapan hasil seleksi galur murni dari populasi varietas nasional dan varietas lokal, yang telah dilakukan uji daya hasil pendahuluan dan uji daya hasil lanjutan. Sedangkan, dua varietas yang digunakan adalah varietas unggul nasional yang telah dilepas. Adapun tujuh genotip yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

(38)

Tabel 1. Daftar genotip kedelai hitam yang digunakan

4 KA 2 Varietas lokal Karang Ampel, Indramayu

5 KA 6 Varietas lokal Karang Ampel, Indramayu

6 Cikuray Balitkabi yang diperoleh dari hasil seleksi keturunan

persilangan kedelai No. 630 dan No. 1343 (Orba)

7 Detam 1 Balitkabi yang diperoleh dari hasil seleksi persilangan

galur introduksi 9837 dengan Kawi

3.3 Metode Penelitian

Percobaan pada masing-masing lokasi menggunakan metode eksperimen berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan tujuh genotip potensial sebagai perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.

3.4 Pelaksanaan Percobaan

3.4.1 Persiapan Lahan

(39)

3.4.2 Penanaman

Sebelum ditanami, lubang tanam diberi insektisida karbofuran. Setiap plot terdapat tujuh baris tanaman dan dalam satu baris terdiri dari 30 lubang tanam.

Tiap lubang tanam ditanami 2 biji kedelai dengan kedalaman  3 cm, sehingga

jumlah tanaman dalam satu plot 420.

3.4.3 Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pemupukan, penyiangan gulma, penyiraman, dan pengendalian hama penyakit. Penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman yang tidak tumbuh atau mati, dilakukan paling lambat 7 hst (hari setelah tanam). Pemupukan anorganik setara dengan 250 kg Ponska/ha

dan 100 kg SP 36seluruhnya diberikan 1 minggu setelah tanam.

Penyiangan dilakukan secara intensif agar tanaman terbebas dari gulma. Penyiraman dilakukan intensif jika hari tidak hujan, terutama pada periode kritis yaitu fase perkecambahan, menjelang tanaman berbunga, dan periode pengisian polong. Tindakan preventif terhadap hama utama (pengendalian hama lalat bibit,

ulat grayak, ulat penggerek polong, ulat perusak daun, dan Thrips sp.) maupun

penyakit dilakukan secara intensif dengan menggunakan insektisida atau fungisida

anjuran.

3.4.4 Panen dan Pascapanen

(40)

menguning. Brangkasan segera dijemur setelah dilakukan pemanenan. Biji dirontokan bila brangkasan telah benar-benar kering.

3.5 Variabel Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan penunjang dan pengamatan utama.

3.5.1 Pengamatan Penunjang

Pada percobaan ini dilakukan pengamatan penunjang untuk mendukung pengamatan utama dan untuk mengetahui keragaan lingkungan pengujian. Pengamatan penunjang yang dilakukan meliputi komponen sebagai berikut:

1. Pengamatan curah hujan (mm)

Pengamatan ini dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat curah hujan harian di masing-masing lokasi.

2. Suhu (C)

Pengamatan dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat suhu udara minimum dan maksimum di masing-masing lokasi.

3. Kelembaban (%)

Pengamatan dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat rata-rata kelembaban udara harian di masing-masing lokasi.

(41)

3.5.2 Pengamatan Utama

Pengamatan utama pada percobaan ini dilakukan terhadap karakter hasil dan komponen hasil. Karakter-karakter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakter hasil dan komponen hasil yang diamati

No. Karakter yang

Diamati

Metode Pengamatan/Pengambilan Sampel

1 Umur berbunga

(hst)

Pengamatan dilakukan saat 50% dari populasi tanaman pada setiap aksesi telah berbunga.

2 Umur panen (hst) Pengamatan dilakukan saat polong telah memasuki fase

matang fisiologis dengan ditandai perubahan warna polong dari hijau muda atau hijau tua menjadi kecoklatan dan mengering.

3 Tinggi tanaman

(cm)

Diukur tinggi tanaman setiap genotip saat fase R-7.

4 Jumlah polong

per tanaman

Dihitung jumlah polong yang menghasilkan biji dari tiap aksesi. Pengamatan dilakukan setelah panen.

5 Jumlah biji per

tanaman

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah biji pada tiap tanaman untuk masing-masing aksesi.

6 Bobot biji per

tanaman (g)

Dilakukan dengan menimbang semua biji bernas kering per tanaman.

7 Bobot 100 biji (g) Ditimbang bobot 100 biji bernas kering per tanaman.

8 Bobot biji per plot

(kg)

(42)

Tabel 2 (Lanjutan). Karakter komponen hasil dan hasil yang diamati

Dihitung berdasarkan bobot total biji kering pada

ukuran plot 12.6 m2, dan dikonversi menggunakan

Analisis ragam dilakukan di setiap lokasi untuk mengetahui perbedaan

respons masing-masing genotip terhadap lingkungan (Tabel 3).

Tabel 3. Analisis ragam rancangan acak kelompok untuk masing-masing lokasi

Sumber Ragam db KT KTH

Sebelum dilakukan analisis ragam gabungan, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas ragam galat semua lingkungan menggunakan metode Bartlett dengan prinsip uji kecocokan Chi-Square (Petersen, 1994) sebagai berikut :

(43)

[ ̅ ∑ ] ̅

Keterangan :

= derajat bebas galat

= kuadrat tengah galat pada lokasi ke-i a = jumlah lokasi

Jika nilai ragam galat semua lingkungan homogen maka dilakukan analisis varians gabungan seluruh lokasi untuk mengetahui interaksi genotip x lingkungan. Analisis ragam gabungan diintegrasikan dengan model a) analisis regresi linier dan b) analisis AMMI, komponen uji diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis ragam gabungan dengan mengintegrasikan model 1) analisis regresi gabungan dan 2) analisis AMMI

Sumber Ragam db KT

Lingkungan y-1 KTlingkungan

Ulangan (lingkungan) y(r-1) KTulangan(lingkungan)

Genotip g-1 KTgenotip

Genotip x lingkungan (g-1)(y-1) KTgenotip x lingkungan

(44)

Jika berdasarkan analisis ragam gabungan untuk seluruh lingkungan terdapat pengaruh interaksi genotip x lingkungan, maka selanjutnya harus dilakukan analisis daya adaptasi dan stabilitas hasil untuk menentukan populasi-populasi yang mempunyai daya adaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan spesifik dan stabil.

3.6.1 Analisis Stabilitas dan Adaptabilitas

Analisis stabilitas memberikan gambaran dari pola respons genotip terhadap perubahan lingkungan. Tiga metode statistik digunakan untuk analisis stabilitas dan daya adaptasi, dua metode termasuk ke dalam tiga konsep stabilitas Lin et al. (1986) dan satu metode adalah multivariat.

1) Model regresi linier Eberhart dan Russell

Eberhart dan Russell (1966) menyatakan bahwa paremeter stabilitas hasil

yang penting ialah nilai koefisien regresi (bi) dan simpangan regresi ( ). Model

linier sebagai berikut :

Keterangan:

= rata-rata genotip ke-i pada lingkungan ke-j

= rata-rata genotip ke-i di semua lingkungan

(45)

= indeks lingkungan, yaitu deviasi dari rata-rata genotip pada suatu lingkungan dari semua rata-rata :

∑ ∑

, dimana t = banyaknya genotip, s = banyaknya lingkungan

ij = deviasi regresi dari genotip ke-i pada lingkungan ke-j

Simpangan regresi ( ) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

dimana = kuadrat tengah dari galat gabungan, n = banyaknya lingkungan.

Stabilitas hasil berdasarkan analisis regresi linier Eberhart dan Russell (1966), ditentukan berdasarkan nilai simpangan regresi. Jika nilai simpangan

mendekati nol ( = 0) maka suatu genotip disebut mempunyai hasil stabil.

Adaptabilitas suatu genotip ditentukan berdasarkan nilai koefisien regresi berdasarkan Finlay dan Wilkinson (1963). Dengan memperhatikan nilai simpangan mendekati nol, jika suatu genotip mempunyai nilai koefisien regresi sama dengan satu (bi = 1) maka genotip tersebut mempunyai adaptasi yang luas.

Genotip yang memiliki nilai bi > 1 artinya beradaptasi spesifik pada

(46)

2) Model AMMI dan Biplot

AMMI merupakan gabungan analisis varians dan pengaruh utama lingkungan dengan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) dari interaksi genotip x lingkungan. Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk biplot yang memperlihatkan pengaruh utama dan interaksi untuk genotip dan lingkungan. Persamaan model AMMI adalah sebagai berikut (Gauch and Zobel, 1997) :

Yger =  + g + e + n n gn en + ge + ger

Dimana:

Yger = penampilan (hasil) genotip g pada lingkungan e dan ulangan r

 = rata-rata umum

g = deviasi genotip g dari rata-rata umum

e = deviasi dari lingkungan e

n = nilai tunggal IPCA (interaction principal component axis) n

gn = eigenvector genotip untuk axis n

en = eigenvetor lingkungan

ge = residual

ger = error

(47)

1. Penilaian peringkat genotip dan lingkungan berdasarkan AMMI Stability Value (ASV) dapat dilakukan dengan pendekatan persamaan dari Purchase (1997) sebagai berikut:

Nilai ASV suatu genotip yang mendekati nol menunjukkan genotip tersebut mempunyai daya adaptasi yang luas. Penentuan genotip yang mempunyai nilai mendekati nol dilakukan dengan uji t. Jika suatu genotip mempunyai nilai :

dimana,

maka genotip tersebut tidak stabil.

2. Berdasarkan selang kepercayaan jari-jari dari pusat elips (JPE) pada biplot

yang dinyatakan dengan pendekatan Hotelling test (Johnson dan Wichern,

2014) sebagai berikut:

Keterangan:

ri = jari-jari elips untuk PCAi

p = komponen PCA yang digunakan

n = banyaknya genotip yang diuji

(48)

Berdasarkan persamaan matematika untuk elips, maka dapat dinyatakan genotip yang stabil. Persamaan metematika elips untuk titik pusat (0,0), dan titik (x,y) sebagai (IPCA1, IPCA2) :

Suatu genotip akan berada di dalam garis elips mendekati nol jika

maka genotip tersebut dinyatakan stabil.

Untuk menentukan adaptasi, jika dari persamaan elips suatu genotip mempunyai nilai < 1 maka genotip tersebut berada di dalam wilayah elips pusat mempunyai daya adaptasi yang luas. Jika suatu genotip berada di luar lingkaran maka dapat ditentukan adaptasi beradasarkan wilayah spesifik.

Titik-titik terluar dari koordinat-koordinat terluar IPCA1i dan IPCA2i suatu genotip

saling dihubungkan. Kemudian ditarik garis tegak lurus yang memotong garis hubung dan melalui titik pusat (0,0). Wilayah yang berada diantara garis tegak lurus ini merupakan sektor yang menyatakan wilayah adaptasi spesifik suatu genotip yang berada di luar garis elips.

(49)

3) Metode Yield Stability Statistic (YSi)

Metode yield stability (YSi) statistic seperti yang dijelaskan oleh Kang

(1993), tahapannya adalah sebagai berikut:

1. Menentukan kontribusi setiap genotip terhadap interaksi genotip x lingkungan

dengan menghitung (Shukla, 1972), sebagai berikut:

[ ⁄ ] [ ∑ ( ̅ ) ∑ ∑ ( ̅ ) ],

dimana ̅ , = nilai karakter yang diamati genotip ke-I pada

lingkungan ke-j, ̅ = rata-rata seluruh genotip pada lingkungan ke-j, ̅

, s = jumlah lingkungan, dan t = jumlah genotip.

2. Urutkan genotip mulai dari genotip tertinggi ke terendah dan diberi peringkat

(Y’), hasil terendah diberi peringkat 1.

3. Hitung LSDα/2 untuk membandingkan rata-rata hasil:

⁄ √ , dimana v = db galat, KTG = kuadrat tengah galat, b

= jumlah lingkungan, dan n = jumlah ulangan.

4. Penyesuaian Y’ sesuai dengan LSD, kemudian tentukan Y tersesuaikan.

5. Tentukan apakah nilai signifikan atau tidak pada uji F α(2) = 0.10, 0.05,

0.01. Genotip yang signifikan mengindikasikan bahwa penampilan genotip tersebut tidak stabil.

6. Menentukan penilaian stabilitas (S) sebagai berikut: -8, -4, dan -2 untuk

berturut-turut signifikan pada α = 0.01, 0.05, dan 0.1, dan 0 untuk non

(50)

7. Untuk menentukan nilai YSi setiap genotip diperoleh dari jumlah Y ditambah S.

8. Genotip terpilih diperoleh dari genotip yang memiliki nilai YSi lebih besar

dari rata-rata YSi.

Perhitungan untuk mendapatkan analisis varians stabilitas Shukla ( ) dan

nilai YSi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak program R versi 3.1.0 untuk

Windows (R Core Team, 2014) dengan package ‘Agricolae’ (de Mendiburu,

2014).

Untuk memudahkan dalam menentukan kategori genotip yang stabil dan adaptasi luas atau adaptasi spesifik wilayah berdasarkan ketiga metode tersebut, dapat dilihat ringkasan metode pada Tabel 5.

Tabel 5. Ringkasan metode analisis stabilitas dan adaptabilitas

Metode Kategori

Stabil dan Adaptasi Luas Tidak Stabil Adaptasi Spesifik

(51)

Tabel 5 (Lanjutan). Ringkasan metode analisis stabilitas dan adaptabilitas

Metode Kategori

Stabil dan Adaptasi Luas Tidak Stabil Adaptasi Spesifik

Sektor ditentukan

3.6.2 Hubungan Metode Analisis Stabilitas dan Adaptabilitas

Untuk mengetahui hubungan antar parameter stabilitas dan adaptabilitas pada masing-masing model dilakukan dengan analisis korelasi Spearman pada nilai rata-rata genotip dan nilai parameter stabilitas dan adaptabilitas. Persamaan Spearman untuk menghitung korelasi adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1980):

Pengelompokkan parameter stabilitas dan adaptabilitas dilakukan melalui

analisis agglomerative hierarchical clustering (AHC) dengan kedekatan

menggunakan koefisien korelasi Spearman dan metode pengelompokkan single

linkage. Perhitungan korelasi Spearman dan analisis AHC menggunkan perangkat

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keragaan Lingkungan

Sepuluh lokasi pengujian genotip potensial kedelai hitam memiliki karakteristik lingkungan bervariasi. Variasi lingkungan tersebut dilihat dari curah hujan, temperatur, kelembaban, ketinggian tempat, jenis lahan, dan jenis tanah. Perbedaan lingkungan berpengaruh terhadap penampilan genotip yang diuji melalui mekanisme interaksi genotip x lingkungan.

Kondisi lingkungan tumbuh yang optimal diperlukan oleh tanaman kedelai agar diperoleh hasil yang optimal. Faktor iklim menjadi salah satu penentu keberhasilan pertanaman kedelai. Percobaan dilakukan pada bulan Maret 2012 sampai dengan Juni 2012 untuk lokasi Bogor, Cianjur, Majalengka, Yogyakarta, dan Banyuwangi. Untuk lokasi Cirebon, Madiun, dan Ngawi percobaan dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan Juli 2012. Percobaan di lokasi Jatinangor dilakukan pada dua musim yang berbeda, untuk Jatinangor 1 pada musim hujan

bulan Desember 2012 – Maret 2013, sedangkan Jatinangor 2 pada musim

kemarau bulan Juli 2013 – Oktober 2013.

(53)

perkecambahan tercukupi, sehingga proses pertumbuhan kedelai cukup baik. Seiring dengan bertambahnya umur tanaman, kebutuhan air terus meningkat. Bulan April sampai Mei memasuki fase berbunga dan pengisian polong, kebutuhan air pada fase ini paling tinggi. Pada bulan Juni curah hujan di seluruh lokasi mengalami penurunan, tanaman kedelai memasuki stadia pematangan biji. Selama stadia pematangan biji diperlukan kondisi lingkungan yang kering agar diperoleh kualitas biji yang baik. Kondisi lingkungan yang kering dapat mempercepat proses pematangan biji kedelai.

Curah hujan di lokasi Cirebon, Madiun, dan Ngawi selama percobaan berturut-turut adalah 441.5 mm, 581.9 mm, dan 581.9 mm (Gambar 3). Curah hujan tertinggi di masing-masing lokasi terjadi pada awal penanaman yaitu bulan April 2012. Curah hujan terendah pada bulan Juli 2012, dimana kondisi tanaman telah memasuki stadia pematangan biji dan akan panen. Kondisi curah hujan yang rendah mempercepat proses pematangan biji.

(54)

dengan lokasi Jatinangor 1 hasil yang diperoleh dari lokasi Jatinangor 2 lebih baik, karena curah hujan di lokasi Jatinangor 2 tidak terlalu tinggi.

Suhu udara juga mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Suhu optimum untuk

pertumbuhan kedelai berkisar antara 25 – 30 C (Beversdorf, 1993). Untuk

pembungaan suhu udara optimal adalah 24 – 25 C (Sutardi, 2011). Selama

percobaan di seluruh lokasi tidak terjadi perubahan suhu yang ekstrim selama percobaan di seluruh lokasi. Suhu minimum di lokasi Bogor, Cianjur, Majalengka,

Yogyakarta, dan Banyuwangi berkisar antara 19 C – 21 C, dan suhu maksimum

berkisar antara 32 C - 36 C (Gambar 4). Untuk lokasi Cirebon suhu udara

minimum berkisar antara 18 C – 22 C, dan suhu maksimum berkisar antara 31

C – 33 C. Lokasi Madiun dan Ngawi menunjukkan suhu udara yang sama

selama percobaan, yaitu berkisar antara 18 C – 33 C. Lokasi Jatinangor 1 suhu

udara minimum berkisar antara 18 C – 20 C, suhu maksimum berkisar antara 28

C – 29 C. Untuk lokasi Jatinangor 2 karena percobaan dilakukan pada musim

kemarau maka suhu udara minimum berkisar antara 14 C – 17 C pada malam

sampai pagi hari, dan suhu maksimum berkisar antara 29 C – 33 C pada siang

hari. Berdasarkan data suhu udara seluruh lokasi tersebut, maka suhu selama percobaan menunjang untuk pertumbuhan optimal tanaman kedelai.

(55)
(56)
(57)
(58)

4.2 Keragaman Komponen Hasil dan Hasil Kedelai Hitam

Analisis ragam terhadap sembilan karakter pada tujuh genotip kedelai hitam bersifat “nested” di seluruh lokasi. Pengujian menunjukkan terdapat karakter yang mempunyai keragaman genotip di seluruh lokasi dan ada karakter yang menunjukkan keragaman hanya di sebagian lokasi (Tabel 6). Karakter kedelai yang menunjukkan keragaman di seluruh lokasi pengujian di Jawa yaitu umur berbunga (hst), umur panen (hst), dan bobot 100 biji (g).

(59)

Tabel 6.Kuadrat tengah genotip sembilan karakter komponen hasil dan hasil kedelai hitam pada 10 lokasi

Jumlah biji pertanaman 740.70* 337.44 1,915.55* 326.76 202.25 938.67 23,464.23* 149.13 978.63 640.09

Bobot biji pertanaman (g) 0.97 14.39* 18.87* 3.98 40.06* 3.63 255.80* 5.35* 12.47 0.95

Bobot 100 biji (g) 9.76* 6.12* 8.62* 26.87* 1.87* 5.85* 6.12* 8.48* 2.47* 2.37*

Bobot biji perplot (kg) 0.08 1.01* 0.14 0.07 0.81* 0.40* 0.22* 0.14 0.19* 0.20*

Hasil (t/ha) 0.05 0.63* 0.09 0.05 0.51* 0.27* 0.14* 0.09 0.12* 0.12*

(60)

4.3 Interaksi Genotip x Lingkungan

Hasil uji homogenitas ragam galat setiap karakter di 10 lokasi berdasarkan metode Bartlett menunjukkan bahwa semua ragam galat karakter yang diamati homogen (Tabel 7). Kesembilan karakter yang mempunyai ragam galat homogen tersebut ialah umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, bobot biji per plot, dan potensi hasil. Pada kesembilan karakter ini dapat dilakukan analisis ragam gabungan untuk mengetahui adanya interaksi genotip x lingkungan.

Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan terdapat pengaruh interaksi yang nyata pada penampilan sembilan karakter pada tujuh genotip kedelai hitam yang diuji di 10 lokasi (Tabel 8). Lingkungan tempat pengujian juga menunjukkan adanya keragaman. Semua karakter menunjukkan pengaruh interaksi genotip x lingkungan yang nyata.

(61)

Tabel 7. Analisis homogenitas ragam galat sembilan karakter kedelai hitam di 10

(62)

genotip maka fenotip tanaman akan merupakan ekspresi kombinasi kedua pengaruh.

Ragam lingkungan, interaksi genotip x lingkungan, dan genotip menunjukkan signifikan untuk seluruh atau sebagian karakter, namun besarnya variasi belum diketahui, untuk itu dihitung kontribusi sumber ragam terhadap keragaman total. Persentase keragaman total dihitung dari jumlah kuadrat sumber ragam dibandingkan dengan jumlah kuadrat total. Lingkungan memberikan kontribusi utama, yaitu sebesar 28.5% sampai 77.6% dari total keragaman komponen hasil dan hasil (Tabel 9). Tingkat keragaman total terbesar yang disebabkan oleh lingkungan adalah untuk karakter bobot biji per plot, dan terendah adalah bobot 100 biji.

Urutan kedua terbesar kontribusi terhadap keragaman total adalah interaksi genotip x lingkungan, yaitu sebesar 9.7% sampai 24.7% (Tabel 9). Selanjutnya, genotip memberikan kontribusi sebesar 2.9% sampai 39.4% terhadap keragaman total, dimana karakter bobot 100 biji yang memiliki persen tingkat keragamn total yang terbesar. Kontribusi genotip dan interaksi genotip x lingkungan pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan kontribusi lingkungan, penelitian yang

dilakukan Mohebodini et al., (2006) dan Sabaghnia et al., (2008) menunjukkan

(63)

Berdasarkan pendekatan regresi, interaksi genotip x lingkungan lebih besar disebabkan oleh simpangan, kecuali untuk karakter jumlah biji per tanaman, dan sisanya disebabkan oleh heterogenitas antar regresi (Tabel 9). Besar atau kecilnya penjelasan dengan model ini akan mempengaruhi simpangan terhadap regresi yang menunjukkan ketepatan model. Sebagian besar proporsi interaksi genotip x lingkungan disebabkan oleh komponen non linier, yang mungkin dianggap sebagai parameter penting dalam pemilihan genotip stabil.

(64)

Tabel 8. Kuadrat tengah genotip analisis ragam gabungan komponen hasil dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI

(65)

Tabel 9. Kontribusi sumber ragam komponen hasil dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI

Sumber ragam

(66)

4.4 Penampilan Hasil Kedelai Hitam pada Lingkungan yang Berbeda

Pada karakter kuantitatif, penampilan genotip yang berbeda sering bervariasi dari satu lingkungan ke lingkungan lain. Penampilan suatu genotip dapat dinyatakan sebagai fungsi linier dari variabel lingkungan (Finlay dan Wilkinson, 1963; Eberhart dan Russell, 1966; Perkins dan Jinks, 1968; Hardwick dan Wood, 1972). Indeks lingkungan pada model Eberhart dan Russell (1966) dihitung dari rata-rata penampilan seluruh genotip pada satu lingkungan dibandingkan dengan rata-rata umum (Singh dan Chaudhary, 1979).

Rata-rata penampilan seluruh genotip di setiap lingkungan digunakan untuk menghitung indeks lingkungan dan digunakan sebagai variabel independen dalam regresi, hal ini dianggap sebagai keterbatasan model Eberhart dan Russell karena tidak ada independensi antar variabel (Becker dan Leon, 1988; Crossa, 1990). Indeks lingkungan merepresentasikan daya dukung setiap lingkungan terhadap penampilan karakter tanaman suatu genotip dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal (Tabel 10, 11, dan 12).

(67)

Berdasarkan indeks lingkungan dapat ditentukan kategori lingkungan rata-rata, lingkungan marginal dan lingkungan produktif. Lingkungan Bogor, Cianjur, Cirebon, Jatinangor 2, Madiun, dan Ngawi merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan mendekati rata-rata umum untuk karakter bobot biji per tanaman, yaitu berturut-turut 8.20 g, 12.77g, 13.68 g, 7.80 g, 12.98 g, dan 9.48 g (Tabel 10). Lingkungan-lingkungan tersebut disebut sebagai lingkungan rata-rata.

Lingkungan Jatinangor 1 dan Majalengka merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan di bawah rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan marjinal untuk karakter bobot biji per tanaman (Tabel 10). Lokasi yang termasuk pada lingkungan produktif adalah Banyuwangi dan Yogyakarta. Lingkungan produktif mendukung karakter bobot biji pertanaman berkembang secara optimal, yaitu berturut-turut 17.58 g dan 25.41 g.

Untuk memudahkan identifikasi genotip yang kurang potensial dan genotip potensial tanpa harus setiap waktu mengacu pada rata-rata genotip, maka dihitung indeks fenotip. Indeks fenotip dihitung dari rata-rata pengaruh seluruh lingkungan terhadap genotip tertentu, dibandingkan dengan rata-rata umum. Konsep ini dikemukakan oleh Sharma (2006). Penentuan indeks fenotip didasarkan pada efek aditifitas pengaruh lingkungan dan pengaruh ini dianggap bisa dirata-ratakan. Hal ini menunjukkan pendekatan statistik yang digunakan, tidak menggunakan konsep

bahwa genotip tersarang pada lingkungan (LeClerg et al., 1966). Dihubungkan

dengan konsep Eberhart dan Russell (1966), bahwa suatu genotip yang stabil

(68)

fenotip digunakan untuk menentukan genotip yang mempunyai penampilan di atas rata-rata umum sebagai genotip yang berdaya hasil tinggi.

Indeks lingkungan lokasi Bogor, Cianjur, Jatinangor 2, Madiun, Majalengka, Ngawi, dan Yogyakarta menunjukkan tidak berbeda nyata untuk karakter bobot 100 biji (Tabel 11). Lokasi-lokasi tersebut termasuk lingkungan yang produktivitasnya rata-rata, yang mendasari penampilan adaptasi luas pada suatu genotip. Lingkungan Jatinangor 1 merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan di bawah rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan marjinal. Lingkungan Banyuwangi dan Cirebon merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan di atas rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan produktif yang mendukung karakter bobot 100 biji untuk berkembang secara optimal.

(69)

Tabel 10.Penampilan bobot biji per tanaman (g) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

(70)

Tabel 11. Penampilan bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

(71)

Tabel 12. Penampilan hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Gambar

Gambar 1. Gambaran umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip, diadaptasi dari Finlay dan Wilkinson (1963)
Gambar 2. Interpretasi parameter regresi bi dan Sd2 (Becker dan Leon, 1988)
Tabel 1. Daftar genotip kedelai hitam yang digunakan
Tabel 2 (Lanjutan). Karakter komponen hasil dan hasil yang diamati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setiap perusahaan yang ada berusaha untuk mendapatkan karyawan dengan SDM yang baik agar dapat mendukung peningkatkan kinerja karyawan dan diyakini akan berdampak pada efektivitas

Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif diantara anggota kelompok, serta para anggota The Jakmania bisa menjalin kekompakkan,

pahtumat kohtauksessa Kuningataräidin synnyttämään blendiin. Kun tiedämme Jeesuksen lausuneen kyseiset sanat hetkellä, jolloin hän koki maanpäällisen tehtävänsä

Terbukti dengan munculnya penelitian I Nyoman Kusuma Wardana bertajuk perancangan sistem pakar untuk diagnosa penyakit mulut dan gigi menggunakan bahasa pemrograman CLIPS

Tujuan dari penelitian ini selain untuk mengetahui kandungan mikrob dan memetakan populasi mikrob pada tempe (kapang-khamir dan bakteri asam laktat) pada beberapa jenis tempe yang

Definisi obat tradisional menurut undang-undang No 23 Tahun 1992 adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan

• Khorea : gerakan involunter pada ekstremitas, biasanya lengan atau tangan, eksplosif, cepat bergani sifat dan arah gerakan secara idak teratur, yang hanya terheni pada waktu..

(2007) melakukan penelitian tentang bagaimana karakteristik tugas seperti kompleksitas tugas mungkin memoderasi hubungan kinerja orientasi tujuan dan dengan